Menjadi Laki-Laki Indonesia pada 1950-an

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Maskulinitas atau norma gender yang mengatur identitas kelelakian dalam kajian akademik cenderung terabaikan. Studi gender selama ini masih banyak berkutat pada perempuan dan identitas keperempuanan. Kaum perempuan adalah pihak yang banyak dirugikan dalam sistem patriarkal. Oleh karena itu, perempuan sering disorot dan mendapat perhatian dalam berbagai isu terkait kesetaraan gender.

Masyarakat sering abai terhadap pentingnya peran laki-laki dalam kesetaraan gender.  Laki-laki adalah pemegang hak istimewa (privilege) dalam sistem patriarkal. Oleh karena itu, kaum lelaki yang bersedia mereformasi konstruksi maskulinitas yang patriarkal adalah kunci penting bagi terciptanya tatanan gender yang lebih adil.

Studi maskulinitas dan representasinya dalam berbagai produk budaya perlu dilakukan secara lebih aktif. Dengan cara ini, informasi dan pengetahuan tentang laki-laki dan maskulinitas akan semakin banyak didapatkan. Ini juga akan bisa membuka kesadaran masyarakat tentang dimensi sosial-budaya norma maskulinitas. Semakin banyak kajian maskulinitas akan memberi kontribusi terhadap pengetahuan tentang maskulinitas sebagai konstruksi sosial-budaya, bukan sesuatu yang terberi atau dibawa sejak lahir. Dengan demikian, masyarakat akan semakin sadar bahwa maskulinitas bersifat dinamis, bergantung pada konteks sosial-budaya yang melahirkannya, dan karena itu terbuka terhadap perubahan yang mendukung tatanan gender yang lebih adil.

Mempelajari representasi maskulinitas dalam sastra anak adalah salah satu cara untuk mengidentifikasi norma sosial yang dianggap baik atau ideal dalam suatu masyarakat. Bacaan atau sastra anak sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu media yang efektif untuk mendidik anak. Oleh karena itu, informasi tentang norma maskulinitas yang dianggap ideal pada suatu masa bisa didapatkan dari kajian tentang sastra anak pada masa tersebut.

Sejarah bangsa Indonesia era 1950-an adalah salah satu fase yang terpenting. Masa itu adalah saat ketika Indonesia sebagai suatu entitas negara bangsa baru saja berdiri dan kohesi nasional sedang dalam fase pembentukan. Artikel ini mengaji norma kelelakian pada masa tersebut. Ini adalah topik yang  menarik yang bisa memberikan informasi tentang keterkaitan antara nasionalisme dan maskulinitas.

Pada 1950-an, jumlah buku bacaan anak dan remaja mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah buku bacaan ini sebetulnya sudah terjadi di masa pendudukan Jepang. Pada masa ini, media adalah sarana utama untuk melakukan propaganda politik Jepang. Penggunaan media untuk tujuan propaganda politik ini ternyata berlanjut meskipun masa pendudukan Jepang sudah berakhir. Ini bisa dilihat pada fakta semakin menjamurnya surat kabar yang memiliki kolom khusus untuk pemuda pada 1940-an. Fenomena ini menunjukkan bahwa sastra anak dan remaja mulai dianggap secara serius sebagai media yang bisa digunakan untuk mempromosikan pesan-pesan politik. Sejak 1950-an, terbitan untuk anak-anak dan remaja semakin beragam, terutama dalam hal bentuk dan teknik penulisan. Penerbit seperti Balai Pustaka, Djambatan, J.B. Wolters, dan NV Nusantara, menerbitkan teks dan bacaan yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Beberapa majalah anak muda yang terbit di masa ini adalah Kunang-kunang pada 1949 dan Si Kuntjung pada 1956. Semakin beragamnya bacaan anak muda pada masa tersebut menandakan bahwa kaum muda mulai dianggap secara serius sebagai pembaca potensial dan kebutuhan mereka terhadap buku mulai diperhatikan.

Meningkatnya ketersediaan buku dan bahan bacaan untuk kaum muda membuka semakin banyak kemungkinan untuk melakukan diseminasi nilai-nilai budaya. Buku untuk pembaca muda menjadi salah satu medium untuk menggali dan mengidentifikasi norma maskulinitas Indonesia yang khas pada masa tersebut.

Artikel ini membahas berbagai teks dan narasi yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja dan diterbitkan pada periode 1950-an hingga awal 1960-an. Bentuk bacaan tersebut sangat beragam, mulai dari novel, cerita pendek hingga opini. Sebagian besar sumber data  tulisan ini diambil dari berbagai surat kabar yang mempunyai kecenderungan ideologis tertentu. Periode ini adalah masa ketika politik Indonesia masih sangat kental dengan pertarungan berbagai ideologi politik, misalnya komunis, Islam dan nasionalis.

Pemilihan berbagai sumber data yang terkait dengan berbagai ideologi politik ini juga untuk membuktikan bahwa norma gender, khususnya norma maskulinitas, sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial, budaya, dan politik. Hal ini diafirmasi oleh Raewyn Connell, seorang pakar maskulinitas yang  sangat dikenal di dunia, bahwa maskulinitas itu plural dan dinamikanya sangat bergantung pada faktor-faktor sosial, budaya, dan politik.

Patriotisme dan nasionalisme yang menjadi semangat zaman itu turut memengaruhi munculnya tarik-menarik antara dua arus budaya. Kedua nilai budaya tersebut adalah semangat revolusioner untuk menjadi sebuah negara yang mandiri dan semangat nasionalisme yang menuntut warga negaranya untuk loyal, memberi kontribusi kepada negara, dan  menahan ego atau kepentingan pribadi.

Dinamika semangat zaman tersebut memunculkan tokoh laki-laki yang memiliki karakteristik tertentu. Setidaknya, ada tiga jenis karakter laki-laki yang dimunculkan dalam teks yang dipelajari: maskulinitas yang bercirikan budi pekerti luhur, maskulinitas yang menjunjung heroisme kolektif, dan maskulinitas revolusioner.

 

Maskulinitas dengan Keluhuran Budi Pekerti

Maskulinitas yang mengusung keluhuran budi pekerti sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Cerita yang menampilkan tokoh laki-laki seperti ini banyak ditemukan pada cerita yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Tokoh laki-laki dengan budi pekerti luhur banyak ditemukan pada cerita terbitan Balai Pustaka di awal pendiriannya pada 1917. Ini bisa dimengerti karena penokohan laki-laki yang baik sangat sejalan dengan agenda penjajah Belanda yang mengidealkan anak laki-laki bumiputra yang penurut. Adalah hal yang mustahil bagi Balai Pustaka untuk  mempromosikan anak laki-laki yang nakal dan suka menentang aturan, seperti tokoh Tom Sawyer besutan Mark Twain, pengarang Amerika Serikat.

Ternyata, sesudah Indonesia merdeka pun, Balai Pustaka masih tetap konsisten menciptakan karakter laki-laki yang sejalan dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Salah satu majalah untuk anak-anak di zaman ini yang sangat kuat dalam menanamkan nilai budi pekerti adalah Si Kuntjung. Keunggulan moral yang ditonjolkan dalam majalah ini terlihat pada representasi tokoh utama laki-laki yang memiliki keunggulan moral yang tinggi. Ini bisa dilihat pada sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Chrysanto berjudul “Penebang Kaju jang Djudjur” (1956, 8). Tokoh protagonis dalam cerita ini mendapat hadiah sebuah kapak yang terbuat dari emas. Barang berharga ini diberikan oleh seorang peri sebagai imbalan atas kejujurannya untuk tidak mengakui kapak emas yang dia temukan di hutan sebagai miliknya.

Pada 1950-an, menampilkan tokoh laki-laki yang memberi prioritas pada tanggung jawab sosial dan sifat luhur sangat selaras dengan nilai sosial yang mengedepankan identitas nasional. Nilai inilah yang bisa menyatukan beragam masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan budaya.

Dalam suatu negara bangsa yang baru merdeka, semangat nasionalisme ini perlu terus dikibarkan untuk membangun kohesi nasional. Adalah sesuatu hal yang mustahil pada masa ini untuk mengedepankan individualisme dan keinginan untuk memenuhi kepentingan pribadi—kecuali dalam puisi-puisi Chairil Anwar, yang sejak kemunculannya pada masa pendudukan Jepang telah dikecam sebagai pembawa nilai-nilai individualisme.

Ini adalah masa ketika nilai-nilai yang berhubungan dengan kebersamaan dianggap sangat esensial untuk membangun identitas bersama. Tidak mengherankan jika dalam teks yang dipelajari nilai-nilai kekeluargaan, seperti gotong royong, persaudaraan, dan kesediaan untuk berkorban bagi kepentingan keluarga atau masyarakat, sangat terlihat menonjol. Ideologi kekeluargaan terlihat pada penggambaran karakter laki-laki dalam narasi yang sering menjadi pelindung atau pemimpin komunitas atau keluarga yang menjunjung nilai-nilai kebersamaan. Nilai-nilai kekeluargaan tersebut dirangkum dalam Pancasila, yang adalah dasar ideologi Indonesia.

 

Heroisme Kolektif

Maskulinitas yang mengunggulkan heroisme kolektif banyak ditemukan pada cerita-cerita pertualangan. Cerita-cerita tersebut, misalnya seri Si Pitak karya R. Soekardi, menampilkan pentingnya nilai-nilai solidaritas dan loyalitas terhadap masyarakat atau komunitas. Kerja sama membangun solidaritas, dalam cerita tersebut, dianggap sangat penting untuk menciptakan kedamaian dan tatanan masyarakat.

Tema-tema yang berhubungan dengan solidaritas, loyalitas, dan heroisme mencerminkan semangat dominan era 1950-an. Dalam bacaan anak muda masa itu, tema-tema tersebut ditonjolkan melalui pertualangan para tokoh utama dan usaha mereka untuk mengembalikan tatanan masyarakat.

Si Pitak menampilkan tokoh utama laki-laki yang memberi prioritas pada kepentingan kelompok atau masyarakat. Dalam serial tersebut, aksi heroik lebih banyak dilakukan secara berkelompok, bukan secara sendirian. Tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Munir atau yang biasa dipanggil Pitak, diperkenalkan sebagai tokoh pelindung masyarakat dari kejahatan:

Dan dengan ini saya perkenalkan kepada khalayak ramai, Munir atau Pitak, sa-orang pahlawan kechil, pembela keadilan, penentang kejahatan, dibantu oleh dua orang kawan-nya Aman dan Amin yang ketiganya merupakan tiga-sarangkai, pengawas keamanan dalam kampong dan kota kita. (R. Soekardi 1961, 84)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Si Pitak menekankan sosok tokoh utama dalam usahanya mengembalikan stabilitas dan tatanan dalam masyarakat. Keuntungan pribadi, misalnya popularitas, tidak terlalu ditonjolkan. Si Pitak dan kawan-kawan ditampilkan sebagai pahlawan yang mengembalikan kedamaian dan ketenangan dalam masyarakat dari ancaman dan gangguan tokoh jahat.

 

Maskulinitas Revolusioner

Maskulinitas revolusioner banyak ditemukan dalam surat kabar berhaluan sosialis, misalnya Bintang Timur dan Harian Rakjat. Cerita-cerita pendek dan opini yang ditulis dalam kolom untuk pemuda di harian tersebut menonjolkan ide yang menjunjung pentingnya pemuda Indonesia memiliki semangat menjadi bangsa unggul dan terdepan di dunia. Semangat progresif ini harus menyertai keinginan untuk menghilangkan kemiskinan dan jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin, masalah utama bangsa Indonesia pada saat itu.

Semangat revolusioner yang mengejawantah melalui tokoh utama laki-laki di berbagai teks untuk anak muda dibingkai dengan nasionalisme. Semangat perubahan disuarakan dalam teks tersebut sebagai usaha untuk memperkuat persatuan nasional. Dalam Bintang Timur, misalnya, semangat perubahan tersebut tidak digalakkan untuk mendorong sikap perlawanan terhadap negara. Sebaliknya, semangat progresif ini dinyalakan untuk menyadarkan para pemuda akan penderitaan kaum marginal. Dalam sebuah esai yang ditulis oleh Ansari (1960,3) berjudul “Siap Mewakili Djamannya”, misalnya, penulis menyerukan pentingnya menulis tulisan yang patriotik dalam kolom untuk anak muda. Hal ini karena anak muda dianggap lebih siap untuk membela kemerdekaan dan rakyat kecil dari penderitaan dan kemiskinan.

Penyalaan semangat revolusioner tersebut bisa dibaca sebagai sebuah usaha atau agenda untuk membangun Indonesia yang adil bagi semua orang. Ini sejalan dengan misi koran berhaluan kiri yang mempromosikan nilai-nilai sosialisme.

Periode di bawah kepersidenan Sukarno adalah masa penting dalam proses penguatan identitas nasional. Inilah masa ketika apa yang disebut dengan budaya Indonesia mulai muncul dan dibentuk. Sastra anak muda terbukti terlibat secara aktif dalam pembentukan identitas nasional. Konstruksi maskulinitas ideal dalam teks tersebut terbukti sangat dipengaruhi oleh visi nasionalis.

Berbagai bentuk norma maskulinitas yang ada bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk mendukung proyek identitas nasional dari suatu negara bangsa yang baru saja berdiri. Norma maskulinitas seperti itu bisa dijadikan sebagai suatu sarana untuk memperkuat otoritas pemerintah setelah Kemerdekaan. Dalam penciptaan identitas laki-laki Indonesia di masa ini, nilai-nilai lama yang terkait dengan agenda pemerintah penjajah Belanda ternyata masih bisa ditemukan.

Secara umum, narasi untuk anak muda pada era 1950-an menunjukkan pentingnya semangat kebersamaan di fase sulit pendirian Indonesia untuk membangun negara yang makmur dan berkeadilan.

 

Referensi

Ansari. 1960. “Siap Mewakili Djamannya”. Bintang Timur (September) :3.

Chrysanto. 1956. “Penebang Kaju Jang Djudjur”. Si Kuntjung 1 (September): 8.

Connell, R.W. 1995. Masculinities. London : Routledge.

  1. Soekardi. 1966. Si Pitak Kerani Muda. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

__________. 1962. Si Pitak Jauh di-Rantau. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

__________. 1961. Si Pitak Pahlawan Kechil Tiga Serangkai. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Blog11 Juli 2022

Nur Wulan


Nur Wulan adalah pengajar dan peneliti di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Ia menyelesaikan studi S1 di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga pada 1992. Pendidikan Magister di bidang Sastra Inggris dari Auckland University ditempuh pada 2001- 2003. Pada 2010, ia menyelesaikan studi S3 di jurusan Kajian Indonesia, Sydney University. Tema disertasi S3-nya adalah representasi maskulinitas dalam sastra anak Indonesia. Ia telah menulis berbagai penelitian tentang maskulinitas dan sastra anak. Artikelnya yang terbaru berjudul “Negotiating Collective Goals and Individual Aspirations: Masculinities in Indonesian Young Adult Literature in the 1950s” telah terbit dalam jurnal internasional Southeast Asian Studies pada April 2022.