Pesan Tersamar Pameran Revolusi Indonesia
Pameran di Rijksmuseum, Amsterdam

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Di Belanda, tahun 2022 bisa dikatakan merupakan tahun Indonesia. Sepanjang tahun ini, Indonesia menjadi sumber pelbagai kegiatan publik di Belanda. Awalnya adalah pameran Revolusi! Indonesië onafhankelijk (Revolusi! Indonesia merdeka), yang digelar oleh Rijksmuseum Amsterdam (museum nasional Belanda) dari Februari sampai Juni 2022. Kemudian pada Februari itu juga diluncurkan hasil penelitian besar tentang dekolonisasi Indonesia periode 1945-1949. Tiga lembaga penelitian Belanda, NIOD (Institut Dokumentasi Perang dan Holocaust Belanda), KITLV (Institut Kerajaan untuk kajian Asia Tenggara dan Karibia), dan NIHM (Institut Belanda bagi sejarah militer) sejak 2016 mengampu tugas meneliti kekerasan yang berlangsung selama perang kemerdekaan Indonesia dari 1945 sampai 1949. Hasil penelitian yang meliputi 12 buku ini akan terbit sepanjang tahun ini. Masih ada beberapa pameran lain, berupa pekan film Indonesia serta pelbagai diskusi/ceramah tentang hasil penelitian tiga lembaga tadi.

Tahun Indonesia ini berawal dengan ribut-ribut di Belanda. Pada Senin malam 10 Januari, situs koran NRC Handelsblad, menerbitkan artikel karya sejarawan Indonesia Bonnie Triyana dengan judul yang membelalakkan mata, “Schrap de term ‘Bersiap’ want die is racistisch” (Coret istilah ‘Bersiap’ karena itu rasistis).

Bersiap adalah istilah yang muncul pada 1980-an di Belanda terutama di kalangan Indo berdarah campuran Belanda-Indonesia untuk menunjuk periode berdarah-darah yang terjadi tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam suasana vakum kekuasaan, karena Jepang sudah menyerah kalah tetapi pemerintah Indonesia yang baru diproklamasikan masih harus menegakkan kekuasaan, para pemuda revolusioner melancarkan aksi kekerasan untuk menghindari kembalinya kekuasaan kolonial Belanda. Sebenernya korban aksi kekerasan itu bukan cuma orang Belanda, tetapi juga orang-orang Tionghoa, Maluku dan Minahasa yang dianggap kaki tangan Belanda, termasuk orang-orang Indonesia bumiputera lain yang bekerja dalam birokrasi kolonial Belanda. Judul asli artikel Bonnie dalam bahasa Indonesia adalah “Istilah ‘Bersiap’ yang Problematik”. Begini antara lain keberatan Bonnie, “dalam pengertian ‘Bersiap’ selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab, tak beradab serta disulut api kebencian ras. Padahal akar persoalannya terletak pada ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonialisme”.

Segera setelah artikel itu terbit, Senin malam itu juga teleteks NOS mengumumkan berita bahwa dalam pameran Revolusi! Rijksmuseum tidak akan digunakan kata ‘bersiap’. Segera media massa Belanda ramai dengan pemberitaan ini. Bahkan versi cetak harian NRC Handelsblad menerbitkan berita keberatan ini duluan pada edisi 11 Januari ketimbang artikel opini Bonnie sendiri.

Apalagi ketika itu kelompok kanan Federasi Indo-Belanda FIN menyatakan akan melaporkan Bonnie Triyana kepada polisi. Ketika akhirnya tulisan Bonnie itu terbit pada edisi cetak 12 Januari halaman 18, judulnya seperti mengalami pelunakan “Simplificerende term ‘Bersiap’ deugt niet als periode-naam” (Istilah gampangan ‘bersiap’ tidak cocok sebagai nama periode).

Baru di awal tahun Belanda ternyata sudah gempar, hanya akibat artikel karya seorang sejarawan Indonesia yang dianggap mengganggu gugat istilah ‘bersiap’ di negeri bekas penjajah yang tengah bersiap-siap mengadakan penghelatan tentang negeri bekas jajahannya. Sejarawan senior Belanda Henk Schulte Nordholt dalam wawancara dengan situs berita NOS menyatakan bahwa ‘Bersiap’ memang istilah peka di Belanda. Namun, dia membela Bonnie karena kekerasan yang terjadi tidak hanya menimpa orang Belanda atau orang Indo. Menurut Schulte Nordholt, “Belanda tidak memiliki hak eksklusif sebagai korban dalam periode itu”.

Kalangan yang menentang Bonnie tidaklah sedikit, dan bukan cuma FIN. Di jejaring sosial bertaburan makian terhadap sejarawan Indonesia ini. Bonnie misalnya dijuluki “Bersiap ontkenner” alias penyangkal bersiap, sedikit banyak merupakan plesetan “Holocaust denial”, yaitu kalangan yang menyangkal telah terjadinya pemusnahan orang-orang Yahudi oleh Nazi ketika berkuasa di Jerman. Ini memang simplifikasi alias penggampangan pendapat Bonnie. Dia jelas-jelas tidak menyangkal bersiap, dia cuma keberatan Bersiap dijadikan nama periode, karena dengan begitu hanya menunjuk orang Indonesia sebagai pelaku.

Kekacauan pada periode awal revolusi Indonesia itu tidak hanya menelan korban orang Belanda atau Indo Belanda, tetapi juga orang Indonesia. Salah satu korban periode yang di Indonesia antara lain juga dikenal sebagai ‘Daulat Rakyat’ itu adalah penyair terkenal Amir Hamzah.

Baru pada Rabu 12 Januari 2022, versi cetak koran sore NRC Handelsblad, memuat esai Bonnie. Ajaib, berbeda dari versi internet yang menggunakan kata schrap (coret), edisi cetak ini berjudul “Simplificerende term ‘Bersiap’ deugt niet als periode-naam” (Istilah ‘Bersiap’ yang merupakan penggampangan tidak pantas digunakan sebagai nama periode). Jelas judul yang lebih lunak. Walau begitu tetap saja beredar berita, apalagi di media sosial, yang diliputi salah paham. Seolah-olah pameran revolusi Indonesia tidak akan menggunakan kata ‘bersiap’. Benarkah demikian? Dalam wawancara dengan harian NRC Handelsblad edisi Sabtu 15 Januari (cetak maupun internet), direktur Rijksmuseum, Taco Dibbits menegaskan bahwa Rijksmuseum tetap akan menggunakan kata ‘Bersiap’. Dia menantang para calon pengunjung supaya datang melihat pameran Revolusi! dulu sebelum berkomentar lebih lanjut.

Pamerannya sendiri bisa dikatakan dibagi dalam dua seksi, seksi yang dilihat dan seksi yang dibaca. Keduanya saling melengkapi dan karena itu tidak terpisahkan. Hadirin dipersilahkan melihat kisah hidup dan pengalaman 23 orang yang merupakan saksi langsung revolusi Indonesia. Bukan saja pengalaman orang Belanda tetapi terutama juga pengalaman orang Indonesia. Maklum ini adalah pameran tentang revolusi Indonesia. Setelah itu, baru hadirin bisa membaca buku yang terbit bersama pameran ini. Buku ini penting karena menjelaskan konteks dan latar belakang sejarah bagi pengalaman masa revolusi orang-orang yang dipamerkan.

Pameran ini dibagi dalam tiga blok: blok pembuka yang mencakup lima ruang diawali dengan foto proklamasi 17 Agustus 1945, kemudian blok isi yang juga mencakup lima ruang besar serta blok penutup yang berisi satu ruang yang menayangkan wawancara dengan keturunan orang-orang yang pengalaman mereka semasa revolusi Indonesia dipamerkan. Misalnya wawancara dengan Kartika Affandi atau dengan Sukmawati Sukarnoputri tentang ayah-ayah mereka, yaitu pelukis Affandi dan proklamator Sukarno.

Pada akhir blok pembuka, pengunjung diajak melewati semacam jembatan untuk masuk ke dalam lima ruang blok isi yang diawali dengan periode kekerasan yang pecah menyusul proklamasi 17 Agustus. Di dinding terpampang kata “Geweld” bahasa Belanda untuk kekerasan. Berlawanan dengan pemberitaan pers Belanda sejak 10 Januari, ternyata istilah Bersiap terpampang di situ. Bukan cuma istilah yang dikenal di Belanda, melainkan juga istilah Indonesia seperti “ngeli”, “gedoran” dan “dombreng”. Sayangnya dalam pameran hanya ditampilkan riwayat seorang korban: orang Indo Belanda Annie Uhlenbusch. Namanya tertera sebagai salah satu dari sekitar 125 nama yang tertera dalam sebuah daftar berjudul “Personen, die in Tegal, tussen 10-12 October 1945 door Indon. zijn vermoord” (Orang-orang yang di Tegal pada 10-12 Oktober 1945 dibunuh oleh orang-orang Indonesia). Selain itu juga terpampang foto empat orang perempuan yang disebut sebagai kakak beradik Uhlenbusch.[1]

Pada buku tertera kisah dua keluarga lain, satu keluarga Tionghoa dan satu keluarga Indo-Belanda. Sayangnya tidak diungkap orang Indonesia (pada masa itu dikenal sebagai inlander alias bumiputera) yang juga menjadi korban kekerasan selama periode ini. Bisa jadi karena memang Rijksmuseum tidak berhasil memperoleh barang peninggalan orang Indonesia yang menjadi korban selama periode ini.

Mendiang profesor A. Teeuw, guru besar sastra Indonesia Universitas Leiden, dalam biografi singkat melengkapi dua kumpulan puisi sastrawan Poedjangga Baroe ini menulis bahwa Amir Hamzah dipenggal kepalanya pada tanggal 20 Maret 1946 bersama 25 orang lain.[2]

Oleh kalangan yang menamakan diri front rakyat, mereka didakwa merupakan kaki tangan Belanda, karena itu ditangkap dan dibawa dari Binjai ke Kuala Begumit untuk diadili dalam apa yang disebut “peradilan rimba”. Vonis peradilan itu adalah hukuman mati. Periode yang di Sumatra dikenal sebagai masa “daulat rakyat” ini nyaris menyapu habis kalangan bangsawan yang sampai pada zaman Belanda berkuasa di sana.[3]

Sebenarnya kekerasan menyusul proklamasi 17 Agustus 1945 juga ada dalam karya sastra Indonesia. Sudah pada 1948 terbit cerita pendek karya Idrus berjudul Surabaja.

Semula kumpulan sembilan cerita pendek ini diterbitkan sebagai buku tipis oleh Pertjetakan Repoeblik Indonesia dengan judul Soerabaja dan masih menggunakan ejaan kolonial Van Ophuyen. Kemudian, digabung dengan 11 cerita pendek lain serta sandiwara empat babak “Kedjahatan membalas dendam”, diterbitkan dalam kumpulan cerita pendek berjudul Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma, (dalam ejaan Republik) oleh Balai-Pustaka.

Surabaja sendiri sebenarnya bukan sepenuhnya fiksi; sembilan cerita pendek yang ada di dalamnya boleh dikatakan merupakan gabungan antara fiksi dengan non-fiksi. Kalau fiksi bercerita tentang tokoh tertentu, maka non-fiksi hanya bercerita tentang suasana Surabaya dan kota-kota sekitarnya serta aliran pengungsi akibat insiden bendera di hotel Yamato yang sekarang disebut hotel Majapahit.

Yang terakhir ini jelas lebih merupakan laporan kesaksian mata. Bergaya sinis, corak menulis yang relatif baru dalam sastra zaman itu, Idrus mengkritik siapa saja, termasuk para pemuda yang berperang melawan Belanda serta sekutu.

Pada cerita keempat ia bertutur tentang seorang perempuan muda yang ditahan para pemuda di pasar Mojokerto karena mengenakan selendang merah, baju putih dan selop biru. Merah putih biru adalah juga warna bendera Belanda, mungkinkah perempuan muda ini mata-mata Belanda? Perempuan malang itu disiksa sampai tak sadarkan diri. Baru setelah itu orang mendapati bahwa ternyata sepatunya berwarna hitam, bukan biru. Walaupun dia memaafkan para pemuda karena berjuang untuk tanah air, Idrus menulis, “berdjuang tinggal berdjuang. Kesalahan harus dihukum!”.[4]

Penulis lain yang lebih baru, Iksaka Banu, juga mendapat inspirasi dari kekerasan yang terjadi di Batavia/Jakarta pada awal revolusi Indonesia.

Pada 2012, di Koran Tempo terbit cerita pendeknya “Selamat Tinggal Hindia”, tahun 2014 cerita pendek ini masuk dalam kumpulan cerita Semua untuk Hindia yang dianugerahi Kusala Sastra Khatulistiwa. Cerita pendek pertama dalam kumpulan itu berkisah tentang nasib orang-orang Belanda dan Indo Belanda setelah Jepang menyerah dan proklamasi Indonesia merdeka. Kalau Idrus bertutur tentang orang-orang Indonesia, maka Banu menampilkan orang-orang Belanda dalam pelbagai ceritanya. Bukan orang Belanda sontoloyo, melainkan orang Belanda yang mendukung Indonesia merdeka. Greetje, nama panggilan Maria Geertruide Welwillend, tokoh utama cerita ini, juga dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa” atau “ibu pertiwi” dalam aktivitasnya sebagai mata-mata Indonesia. Memang cerita itu berjudul “Selamat Tinggal Hindia”, tetapi bagi Greetje ini adalah juga “Selamat Datang Indonesia”. Seperti Idrus, Banu juga kritis terhadap para pemuda bumiputera yang menurutnya telah “kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’”.[5]

Banu tidak menggunakan istilah tertentu untuk menyebut zaman kekerasan yang dikisahkannya. Idrus di lain pihak menggunakan kata “gedor” (disebutnya dalam pertanyaan “menggedorkah dia”[6] pada cerita ketujuh) untuk menamai zaman kekerasan di Surabaya dan kota-kota sekitarnya. Ini berarti bahwa periode kekerasan itu dikenal dalam sejarah dan fiksi Indonesia, walaupun tidak dengan istilah “bersiap” yang digunakan dengan luas oleh kalangan Indo di Belanda.

Selain kekerasan pada masa awal revolusi yang diributkan di Belanda, sebenarnya dalam pameran ini ada dua hal lain yang lebih penting bagi publik Indonesia. Pertama adalah pelbagai pamflet zaman revolusi yang disita oleh dinas rahasia Belanda. Pelbagai pamflet ini dipamerkan dalam ruang kedua blok isi. Selain menggambarkan semangat zaman, pamflet-pamflet itu juga mengungkap cita-cita awal Indonesia merdeka. Salah satu pamflet itu memuat semboyan “Tentara rakjat jang tjinta dan membela rakjat”. Supaya bisa lebih paham isi pamflet ini, ada baiknya untuk mengutip satu alinea dari cerita kesembilan (terakhir) cerpen Surabaja karya Idrus. Begini tulisnya:

Dalam sidang dewan perwakilan rakjat Malang kepala divisi sekitar Surabaja, mendapat kritik habis-habisan. Seorang anggota sangat marah, karena ia pernah ditahan oleh pengawal-pengawal batas dengan tjara tidak sopan. Ia meminta dengan sangat, supaja keadaan fascistis itu segera berobah. Negeri kita tidak boleh mendjadi negeri jang militeristis, katanja. Tentera sebenarnja harus tunduk kepada pegawai-pegawai pemerintahan sipil.[7]

Peringatan ini memang lebih tepat diarahkan kepada zaman diktator yang sudah berakhir hampir seperempat abad silam, pada Mei 1998. Walau demikian, keduanya, pamflet maupun goresan pena Idrus, tetap merupakan ancang-ancang untuk zaman sekarang; kita diajak untuk selalu ingat pada cita-cita awal zaman revolusi dulu. Oleh karena itu tidak mengulang lagi zaman diktator, tatkala peringatan Idrus (tentera sebenarnja harus tunduk kepada pemerintah sipil) dilanggar mentah-mentah.

Hal penting kedua adalah lukisan berjudul “Iboekoe” karya Trubus Soedarsono yang terpampang pada ruangan keempat blok isi. Perupa Trubus menampilkan ibunya sendiri sebagai model untuk lukisannya yang realis.

Lukisan yang diselesaikan tahun 1946 ini termasuk karya seni yang berusaha mewujudkan imajinasi dan kreasi seorang seniman bagi negeri dan bangsa yang merdeka. Karya Trubus ini bergerak di antara dua kutub: kutub politik yang waktu itu menuntut tekad dan keterlibatan siapa saja, apalagi seniman, serta kutub pribadi yang harus bisa menghasilkan karya seni bermutu serta kreatif. Trubus berhasil menggabung dua kutub itu dengan sempurna. Dalam lukisan “Iboekoe” dia melukis ibunya di belakang konteks perjuangan kemerdekaan, yaitu pita merah putih yang tersemat pada kebaya sang ibu. Tak pelak lagi, protret intim ibunya adalah monumen Trubus yang juga mengandung pesan politis, pita merah putih adalah dukungannya bagi Indonesia merdeka.[8]

Pada 1946, Trubus juga bergabung dalam organisasi Seniman Indonesia Muda SIM yang didirikan oleh salah satu mentornya, pelukis Sudjojono, di Madiun. Organisasi ini juga memperjuangkan kemerdekaan dengan memproduksi dan menyebarkan banyak pamflet yang mendukung Indonesia merdeka. Tatkala menempelkan pamflet anti-Belanda, Trubus tertangkap. Tidak jelas berapa lama dia ditahan, yang jelas dia akhirnya dibebaskan dan berkarya lebih lanjut, sampai akhirnya tiba zaman diktator. Pada lukisan karyanya tertera bahwa Trubus tutup usia tahun 1966, dalam usia 42 tahun (kelahiran 1924). Sampai sekarang orang tidak tahu kapan persisnya hari kematian Trubus, begitu pula di mana dia dimakamkan.

Trubus sebenarnya tidak pulang ketika terjadi banjir darah tahun 1965-1966 yang menandai tampilnya zaman kediktatoran. Inilah pesan terselubung yang ingin disampaikan Rijksmuseum. Lukisan karya Trubus dipajang bukan hanya karena maknanya bagi Indonesia merdeka, melainkan juga karena pelukisnya sendiri tidak pulang sampai sekarang dan orang juga tidak tahu di mana makamnya.

Salah seorang kurator pameran, Harm Stevens, membenarkan pesan tersamar ini. Tentu saja bagi mereka yang paham sejarah tragis Indonesia, tambah Stevens dalam surat elektronisnya. Maka jelas bahwa zaman kediktatoran diawali dengan penghilangan orang untuk kemudian (hampir) diakhiri juga dengan penghilangan. Salah satu korban yang sampai sekarang belum juga kembali adalah Wiji Thukul. Penyair yang terkenal dengan larik “hanya satu kata: LAWAN” ini hilang tahun 1996, menjelang berakhirnya zaman kediktatoran pada Mei 1998. Diawali dengan penghilangan, zaman keditatoran Indonesia diakhiri pula dengan penghilangan. Itu terjadi karena impunitas, tidak ada hukuman bagi pelaku.

Relevansi pameran untuk zaman sekarang tidak usah dipertanyakan lagi. Baik untuk publik Belanda apalagi untuk khalayak ramai Indonesia pameran Revolusi! ini tetap relevan dan menarik untuk ditonton. Akibat ribut-ribut soal istilah bersiap, pengunjung pameran sudah meluap, dan sampai sekarang pengunjung harus tetap mereservasi jam kunjungan, tanda bahwa pengunjung tidak berkurang.

Bonnie Triyana tersenyum renyah mendengar berita pengunjung terus mengalir. Berita ini diteruskannya kepada Frank Vermeulen, redaktur opini harian NRC Handelsblad yang menurunkan tulisan Bonnie tentang bersiap. Keduanya saling bercanda sebagai “provokator” yang menyebabkan orang marah. Berkat ribut-ribut ini sekarang orang bisa secara terbuka berbicara tentang periode bersiap yang sama sekali tidak dikenal di Indonesia. Kapan kita sebagai orang Indonesia bisa secara terbuka berbicara tentang banjir darah 1965-1966?

[1] Harm Stevens dan Marion Anker, “Dreiging en geweld in het begin van de revolutie”, dalam Revolusi! Indonesië onafhankelijk, oleh Harm Stevens, Amir Sidharta, Bonnie Triyana, Marion Anker (Amsterdam: Rijksmuseum, 2022), hlm. 108 dan 110.

[2] Amir Hamzah, Heimwee, gedichten, diterjemahkan oleh Rudy Kousbroek dan A. Teeuw (Amsterdam: Meulenhoff, 2001), hlm. 106.

[3] Henk Schulte Nordholt & Harry Poeze, Merdeka: de strijd om de Indonesische onafhankelijkheid en de ongewisse opkomst van de republiek, 1945-1950 (Zutphen: Uitgeverijmaatschappij Walburg Pers, 2022), hlm. 130.

[4] “Surabaja” dalam Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (Jakarta: Balai-Pustaka, 1948), hlm. 135.

[5] Iksaka Banu, Semua untuk Hindia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 3.

[6] “Surabaja” dalam Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (Jakarta: Balai-Pustaka, 1948), hlm. 146.

[7] “Surabaja” dalam Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (Jakarta: Balai-Pustaka, 1948), hlm. 154.

[8] Aminudin T. H. Siregar, Amir Sidharta, Harm Stevens, “Kameraden van de revolutie: kunstenaars en de Indonesische revolutie” dalam Revolusi! Indonesië onafhankelijk, oleh Harm Stevens, Amir Sidharta, Bonnie Triyana, Marion Anker (Amsterdam: Rijksmuseum, 2022), hlm. 205.

Blog13 April 2022

Joss Wibisono


Joss Wibisono adalah penulis dan wartawan lepas yang menetap di Amsterdam. Sebelum ditutup oleh pemerintah Belanda pada 2012, selama 25 tahun ia bekerja pada Siaran Indonesia Radio Nederland di Hilversum, Negeri Belanda, dengan posisi terakhir redaktur senior. Tahun 2011 menjadi peneliti tamu pada Pusat Kajian Asia Tenggara, CSEAS, Universitas Kyoto di Jepang. Aktif menulis untuk pelbagai media massa, antara lain di dalam negeri seperti Tempo dan situs Tirto.id (Jakarta), serta Suara Merdeka (Semarang). Di luar negeri tulisan-tulisannya juga terbit dalam bahasa-bahasa Belanda, Inggris dan Prancis. Pada 2012 kumpulan esainya terbit sebagai buku dengan judul Saling Silang Indonesia Eropa. Pada 2017 terbit kumpulan cerpen berjudul Rumah tusuk sate di Amsterdam Selatan dan novel pendek Nai Kai: Sketsa Biografis. Pada 2020, terbit buku keempatnya Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa. Sekarang sedang menyelesaikan naskah buku tentang keluarga Soejono yang selain berjuang bagi kemerdekaan Indonesia juga melakukan perlawanan di Belanda yang pada zaman Perang Dunia II diduduki Nazi Jerman.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.