Fobia Metafora dalam Puisi Indonesia

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fobia adalah “ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya”. Fobia yang paling terkenal tentu saja Komunistofobia dan Islamofobia.

Sementara istilah “ungkapan” dalam konteks Linguistik memiliki arti “kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur)”. Sederhananya, “ungkapan” adalah “kiasan” yang menurut KKBI lagi adalah (1) pertimbangan tentang suatu hal dengan perbandingan atau persamaan dengan hal yang lain; (2) perumpamaan; ibarat; (3) arti kata yang bukan sebenarnya; (4) lambang; (5) sindiran; (6) pelajaran (dari suatu cerita dan sebagainya). Dan “metafora” adalah salah satu contoh dari ungkapan/kiasan yang menurut KBBI memiliki arti “pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan”.

Dalam teori sastra, metafora adalah kata atau ekspresi yang dalam pemakaian literalnya menunjukkan satu benda dipakai untuk benda lain yang sangat berbeda, tanpa bermaksud membandingkan keduanya.

 

*

 

Dalam salah satu sajaknya yang berjudul “engkau dan sajakku” dalam bukunya Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Aan Mansyur menyatakan bahwa dia memilih “bahasa yang bersahaja saja” sebagai kredo kerjanya karena dia tidak mau “makna” sajaknya lenyap terjebak di “perangkap ungkapan”, atau metafora:

 

engkau selalu sengaja memilih busana yang sederhana
agar kecantikanmu tidak karam ke dalam kemewahan.
aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja
agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan.

 

Sementara Joko Pinurbo dalam sajaknya “Langkah-Langkah Menulis Puisi” menyatakan beginilah cara “menulis puisi” itu:

 

Langkah pertama:
Duduklah.
Langkah kedua:
Duduklah dengan tenang.
Langkah ketiga:
Duduklah dengan tenang di atas batu.

 

Langkah keempat:
Duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan menjadi batu nisanmu.
Langkah kelima:
Duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan menjadi batu nisanmu sambil membaca.
Langkah keenam:
Duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan menjadi batu nisanmu sambil membaca Pramoedya Ananta Toer: “Hidup sungguh sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
Langkah ketujuh dan seterusnya:
Abrakadabra.
2017

 

Dari kedua sajak di atas bisa kita lihat betapa bagi kedua penyair ini menulis puisi adalah pekerjaan yang biasa-biasa saja, seperti orang memilih busana, atau seperti orang yang duduk dengan tenang di atas sebuah batu sambil membaca Pramoedya Ananta Toer (Pram), walau pembaca tidak diberitahu karya Pram mana yang mesti dibaca itu agar bisa menulis puisi.

Karena menulis puisi itu adalah pekerjaan biasa-biasa saja, bukan pekerjaan keramat berdarah-darah seperti yang diyakini mayoritas penyair di dunia ini, minimal sejak kaum Romantik di Inggris sampai Chairil Anwar di Indonesia, maka bahasa puisi (jika memang bisa disebut demikian sajak-sajak mereka ini) mereka ya seperti yang dinyatakan Aan Mansyur di atas: bahasa yang bersahaja dan anti-bahasa ungkapan.

Saya menyebut cara menulis puisi mereka ini sebagai “fobia metafora”, sebuah ketakutan psikologis atas bahasa ungkapan, walau bahasa ungkapan itu sendiri belum tentu tidak bersahaja seperti yang dituduhkan Aan Mansyur. Joko Pinurbo juga mengidap fobia sastra ini seperti bisa dilihat dalam diksi sajak-sajaknya yang pada umumnya tidak menggunakan bahasa ungkapan seperti metafora itu walau tidak pernah dinyatakannya secara terus terang seperti Aan Mansyur.

Kedua nama ini saya pilih untuk dibicarakan karena keduanya sangat populer di media massa terutama media sosial Indonesia sebagai dua penyair top Indonesia. Kalau kita cari di Google misalnya maka nama mereka yang paling banyak muncul sebagai penyair Indonesia. Keduanya juga penyair yang paling banyak buku puisinya karena hampir tiap tahun mereka menerbitkan buku kumpulan puisi. Pencapaian yang tentu saja membuat para pemuja mereka makin kukuh menggilai keduanya.

Dalam sebuah artikel berjudul “5 Buku Puisi Karya Aan Mansyur yang Wajib Kamu Baca” di media idntimes.com misalnya, penulis artikel itu menyatakan bahwa “karyanya yang puitis mampu menghipnotis banyak orang. Bahkan, puisinya pernah dibacakan Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta 2”. Nah, kurang dahsyat apa lagi itu sampai dibacakan tokoh utama di sebuah film populer Indonesia!

Dalam media yang sama, Joko Pinurbo alias Jokpin diklaim sebagai “Joko Pinurbo atau akrab disapa Jokpin adalah salah satu penulis puisi atau penyair legendaris Indonesia. Ia berhasil menciptakan karya yang banyak dikagumi oleh pembacanya. Sudah banyak trofi yang ia peroleh dari karya-karyanya. Ia berhasil menuliskan banyak puisi dengan gaya dan ciri khasnya. Biasanya, puisi yang dibuat oleh Jokpin bernada humor, ironi, dan selalu menyimpan pesan di dalamnya.” Penyair legendaris yang sudah banyak memperoleh trofi yang puisinya selalu menyimpan pesan di dalamnya!

Tentang puisi Jokpin berjudul “Maghrib”, penulis artikel berjudul “5 Puisi Jokpin dalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi” itu menyatakan “Masih dengan diksi-diksi khasnya, Jokpin menulis puisi yang sederhana namun begitu indah. Puisi ini ditulis pada 2006 juga olehnya. Maghrib mengisyaratkan bagaimana indahnya langit ketika maghrib tiba. Karya Jokpin memang selalu berhasil bikin jatuh cinta, deh!”

 

*

 

Bahkan bisa diperluas lagi bahwa ketakutan atas perangkap ungkapan atau yang saya sebut sebagai fobia metafora merupakan gejala utama dalam arus utama perpuisian di negeri ini seperti yang direpresentasikan kedua penyair pop Indonesia tersebut.

Jika dalam dunia fiksi ada genre “Novel Pop”, maka puisi kontemporer Indonesia pun tidak mau kalah dan akhirnya memiliki apa yang saya sebut sebagai “Puisi Pop” dan Joko Pinurbo dan Aan Mansyur adalah kedua tokoh utamanya.

Novel pop biasanya didefinisikan sebagai tulisan-tulisan yang ditujukan kepada massa dan yang disukai massa. Jenis tulisan ini fungsi utamanya adalah memberikan hiburan. Puisi Pop pun bisa didefinisikan dalam karakteristik yang sama ketika pembaca massal dan faktor hiburan dari tulisan merupakan kedua unsur utamanya.

Kita belum lagi bicara soal absennya passion dalam puisi-puisi kedua penyair pop di atas dan kerumuman para epigon mereka terutama di media sosial. Bahasa prosais jurnalistik yang kering dan tidak puitis, yang merupakan salah satu ciri dominan bahasa puisi pop ini, begitu parah dibebani dengan pretensi bahasa sehari-hari, begitu bersemangat berusaha menjadi seolah bahasa percakapan sehari-hari hingga menjadi bahasa klise yang selalu kita temui dalam iklan-iklan produk kapitalis terutama di televisi dan gawai dagang digital. Dan selalu dihiasi dengan pseudo-(ber)filsafat tentang apa itu cinta, misalnya, atau apa itu sepi, apa itu patah hati, atau apa itu kematian. Bayangkan puisi pop yang berceramah tentang kehidupan!

Coba perhatikan kedua puisi dari Aan Mansyur dan Joko Pinurbo di bawah ini:

 

Tuhan di Kedai Kopi karya Aan Mansyur

tiap pagi aku ke kedai kopi dekat rumah
mencuri dengar kenyataan berhamburan
dari pikiran yang lebam & belum berhenti
mencari
“semalam di dalam mimpi aku bertemu tuhan
untuk aku sembah. dia bernama sakit yang tidak
mau sembuh.”
“aku meragukan tuhan. tetapi aku punya istri
& dua perempuan & ibuku semakin sering
diserang keinginan menghindar dari kata-kata
& negara tidak berhenti membunuh kita.”
“segelas kopi yang kugenggam sembari mengenang
hidupku yang terhapus adalah tuhan yang hangat.”
“aku sendiri. tuhan sendiri. aku masih berharap
dia mau berteman baik denganku.”
“apakah tuhan lebih dekat dari hidupku atau matiku?”
kerap kubayangkan diriku penyair. misalnya, pagi ini:
aku memungut mayat-mayat tuhan yang berjatuhan
di antara gelas-gelas kopi & aku ingin menulis puisi
____________tetapi menulis puisi berarti mengubah
setumpuk abu jadi hutan; berarti merebut bahasa
yang telah lama kembali ke mulut tuhan.

 

Jogja Selamat Malam karya Joko Pinurbo

Jogja selamat malam
Orang-orang beli puisi di warung kopi
Orang-orang yang tak punya waktu untuk mati
Dan perempuan tua yang murah senyum itu selalu sabar melayani
Kantuknya ia jaga sampai pagi
Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.
Besi, beton, dan cahaya tumbuh di mana-mana
Rezeki anak soleh tak kemana-mana.
Dua perantau muda beradu rindu di angkringan.
Pepet terus jangan kendor,
Sembari menambal cinta yang bocor.
Hatiku yang ranum tertinggal di kedai kopi.
Disimpan sepi di saku jaket mu.
Dan akan dikembalikan padaku lewat sajak yang bakal kutulis nanti.
Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.
Apa agamamu?
Agamaku air yang membersihkan pertanyaan mu.
Dalam secangkir teh ada hati Jogja yang lembut meleleh.
Dalam secangkir kopi ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi.
Dalam secangkir senja ada hati jogja yang hangat dan berbahaya.
Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Jogja selamat malam.

 

Vulgarisme bahasa yang menjadi ciri khas Puisi Pop ini bisa terjadi karena para penyair pop tersebut mengidap fobia atas metafora dan segala yang berhubungan dengan pemakaian bahasa figuratif dalam puisi dan terobsesi keterlaluan untuk menulis puisi yang gampang dipahami oleh semua orang. Seolah-olah jika puisi itu gampang dipahami oleh semua orang maka sudah otomatis jadi puisi-yang-menjadi-lah puisi tersebut, sesuai dengan arti istilah tersebut menurut Chairil Anwar.

Popularitas (dan juga bestseller) dianggap menjadi ukuran standar kualitas, ukuran pencapaian artistik. Tapi, memang itulah ciri khas semua produk budaya pop, komoditas kapitalis, di zaman yang sering disebut sebagai era kapitalisme akhir ini. Bukankah salah satu buku puisi Joko Pinurbo diberi judul Perjamuan Khong Guan (2020) yang mengingatkan pada produk biskuit dan wafer bermerek Khong Guan yang terkenal itu! Hebatnya bukunya ini masuk dalam 10 Besar Buku Sastra Pilihan Tempo 2020!

Berikut ini salah satu contoh “puisi” di dalamnya:

 

Kopi Koplo

Kamu yakin
yang kamu minum
dari cangkir cantik itu
kopi?
Itu racun rindu
yang mengandung aku.
(2018)

 

Kaum Romantik Inggris dan Imagiste, misalnya, juga memilih memakai bahasa sehari-hari, tapi pemilihan diksi merupakan faktor paling penting dalam pemakaian bahasa sehari-hari ini. Bukan sembarang diksi yang gampang dipahami semua orang, tapi diksi yang sarat dengan emosi, apa yang saya sebut sebagai passion di atas. Di samping menggunakan metafora, mereka tidak sekadar bercerita tentang objek puisi mereka, tapi memberikan informasi agar pembaca bisa merasakan dan menyentuh objek-objek tersebut.

Bagi penyair Romantik Inggris William Wordsworth puisi harus ditulis dalam “the real language of men”, bahasa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa, bukan bahasa adiluhung kaum bangsawan priyayi yang penuh bunga plastik dan eufemisme itu, dan merupakan “the spontaneous overflow of powerful feelings: it takes its origin from emotion recollected in tranquility”, lahir dari perasaan spontan yang membanjiri jiwa sang penyair saat melakukan kontemplasi atas insiden dan situasi dari kehidupan sehari-hari yang menjadi subjek puisi yang akan dituliskannya.

Sementara bagi kaum Imagiste di Inggris, seperti yang dinyatakan godfather dari gerakan tersebut penyair Ezra Pound dalam eseinya “A Retrospect” (1918), ada tiga hal yang jadi ciri sebuah puisi yang berhasil, puisi-yang-menjadi, yaitu:

  1. Direct treatment of the “thing”, whether subjective or objective.
  2. To use absolutely no word that does not contribute to the presentation.
  3. As regarding rhythm: to compose in sequence of the musical phrase, not in sequence of the metronome.

Pemakaian kata seperlunya, membuang kata-kata mubazir terutama kata sifat, dan pentingnya musikalitas baris adalah tiga hal penting dalam penulisan puisi bagi kaum Imagiste.

Pemakaian bahasa sehari-hari melalui seleksi diksi yang ketat merupakan ciri utama semua puisi-yang-menjadi, paling tidak sejak zaman Romantisisme di Inggris sampai munculnya Modernisme di Barat dan di Indonesia pada puisi Chairil Anwar. Coba perhatikan puisi Chairil Anwar ini:

 

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

 

Tidak ada yang akan berani mengatakan bahwa puisi Chairil di atas tidak memakai “bahasa yang bersahaja saja”, bahasa sehari-hari, terutama di baris akhirnya yang menyebabkan katarsis satori puitik itu! Tapi Chairil tidak mencampakkan metafora karena ketakutan bahwa makna sajaknya akan lenyap di perangkap ungkapan metaforis seperti pada Aan Mansyur. Justru “Mawar merah dan melati putih: darah dan suci” membuat makna “Mampus kau dikoyak-koyak sepi” jadi terasa lebih pedih lebih realistis! Penuh passion. Tidak mengada-ada sok puitis dan sok filosofis seperti pada sajak-sajak pop Aan Mansyur dan Joko Pinurbo.

Sebagai penutup mari kita nikmati puisi metaforis yang berbahasa sahaja yang dilupakan karena dominasi pseudo-puisi dalam sastra kontemporer kita di bawah ini. Itulah sebabnya sengaja tidak saya beri judul dan nama penyairnya:

 

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mata hari – bukan kawanku….
Blog31 Juli 2023

Saut Situmorang


Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia, tapi dibesarkan di Medan. Hidup selama sebelas tahun (1989-2000) sebagai imigran di Selandia Baru di mana dia menempuh pendidikan S1 Sastra Inggris dan S2 Sastra Indonesia. Sangat terlibat dalam acara-acara baca puisi bawah tanah di Selandia Baru dan mendapat beberapa penghargaan puisi seperti Original Composition Prize dari Victoria University of Wellington dan Blues Award dari University of Auckland. Awal 2000 kembali ke Indonesia dan sekarang tinggal di Yogyakarta sebagai penulis penuh waktu. Karya-karyanya diterbitkan di koran-koran dan majalah-majalah di seluruh Indonesia. Saut telah menerbitkan tujuh buku kumpulan puisi, dua buku kumpulan esei, dan satu buku kumpulan cerita pendek. Puisi, esei, dan cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Itali, Ceko, Prancis, dan Jerman. Saut adalah salah seorang perintis Sastra Internet di Indonesia dan salah seorang redaktur jurnal sastra bawah tanah boemipoetra. Tahun 2005-2007 jadi kurator sastra Festival Kesenian Yogyakarta. Dia juga merupakan salah satu kurator What Is Poetry?: International Poetry Festival Indonesia 2012 dan International Yogyakarta Literary Festival 2019. November 2012 diundang ke acara peluncuran buku puisi-puisinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis di Unesco House, Paris, Prancis. Diundang ke acara What is Poetry? Festival 2013 di Afrika Selatan dan festival HIFA di Zimbabwe pada April-Mei 2013 dan pada Juni 2013 diundang baca puisi di Poetry On The Road di Bremen, Jerman. Pada 2015 diundang baca puisi di ASEAN Literary Festival 2015 di Jakarta, Indonesia dan diundang sebagai penyair tamu di acara Pesta Puisi 3 Kota (Bandung, Yogyakarta, Denpasar) di Indonesia. Diundang sebagai salah seorang pembicara pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 di Jakarta, Indonesia. Bersama dua penyair Indonesia lain diundang baca puisi secara daring dalam acara Hari Puisi Dunia 21 Maret 2021 UNESCO Poesia 21 yang diorganisir oleh Pusat Puisi Dunia Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia dan Bienale Penyair Moskow, Rusia.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.