Pengungsi Wahana: Berkarya di Era Data

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Anda yang sekarang sedang membaca tulisan ini mungkin baru saja bergeser dari tab sebelah di aplikasi peramban yang sedang membuka laman situs Chat GPT, Stable Diffusion, atau MusicLM. Tentu Anda tidak sendirian, karena mesin-mesin tersebut terbukti berhasil menjadi ruang eksplorasi dan eksperimentasi baru dewasa ini bagi para pekerja kreatif–entah itu sepenuhnya digerakkan oleh rasa ingin tahu atau didorong oleh kecenderungan bias konfirmasi untuk meredakan kecemasan dalam benak akan kemungkinan peran penulis atau seniman (baca: manusia) direduksi atau bahkan digantikan oleh mesin. Di tengah persimpangan antara rasa penasaran dan upaya penghiburan diri itu terbitlah kembali satu diskursus yang bisa dibilang sudah cukup lama tidak diperdebatkan secara seru dan sengit, yakni terkait wahana dan peralihannya.

Sekian lama kita dibuat yakin dengan konstruksi tentang wahana yang terkesan final dan definitif, yakni bahwa sastra bermain di ranah kata, musik di ranah bunyi, dan seni rupa di ranah citra. Pembagian dan pembedaan tersebut mendapat dukungan dari sejumlah tokoh besar, seperti Ezra Pound di dunia sastra dan Clement Greenberg di dunia seni. Dengan adanya kerangka wahana, karya-karya kreatif memiliki kandangnya masing-masing yang merumuskan identitas dan kekhasan karya, dan pada gilirannya–secara langsung atau tidak–juga membentuk identitas dan kekhasan pembuatnya.

Misalnya A dikenal sebagai seorang penulis alih-alih perupa karena karya-karyanya bermain di ranah kata, dan berlaku sebaliknya. Sementara itu, kerja-kerja yang melibatkan perlintasan batas-batas wahana telah dipugar oleh Sapardi Djoko Damono sebagai alih wahana dengan beragam jenis turunannya seperti adaptasi, musikalisasi, ekranisasi, dan lain-lain.

Layaknya konsep-konsep atau konstruksi-konstruksi lain yang menuai penerimaan, pembacaan ulang, dan bahkan penolakan, gagasan tentang wahana yang sempat berlaku sedemikian mengikat dalam perjalanannya juga mengalami dinamikanya sendiri. Dinamika tersebut sedikit banyak merupakan imbas disruptif dari perkembangan teknologi. Sejarah peradaban manusia telah mencatat terjadinya disrupsi–kecil ataupun besar–yang ditimbulkan oleh lahirnya teknologi baru. Sebut saja misalnya perubahan mendasar pada sistem dan pola kerja pertanian yang sebelumnya bergantung sepenuhnya pada tenaga manusia dan hewan kemudian termekanisasi dengan hadirnya mesin traktor yang digerakkan oleh bahan bakar minyak. Sementara itu, di ranah penciptaan karya kreatif, kelahiran teknologi sedikit banyak memengaruhi kelanggengan satu bentuk wahana dan pembagian jenis-jenis alih wahana. Salah satu contohnya adalah kemunculan film sebagai suatu modalitas yang memungkinkan peralihan wahana dari teks ke layar, hal yang tidak dimungkinkan untuk terjadi sebelum tercetusnya gambar bergerak serta dikembangkannya alat perekam dan penampil gambar bergerak. Terbukanya kemungkinan atas kerja-kerja ekranisasi atau alih wahana dari teks ke layar dapat dibaca sebagai disrupsi terhadap kelanggengan satu bentuk wahana, dalam hal ini adalah sastra yang dibangun oleh kata. Masuk ke era digital, disrupsi yang ditimbulkan oleh teknologi terjadi secara lebih besar. Sebut saja misalnya kamera digital yang membuat kita tidak lagi perlu mencetak gambar yang kita jepret dan pada gilirannya melemahkan sampai mematikan industri rol film.

Oleh karena itu, disrupsi sebenarnya satu hal yang tidak terhindarkan dari kemunculan bentuk-bentuk teknologi baru, bahkan pada beberapa titik bisa dibilang sebagai salah satu konsekuensi logis yang selalu mengikuti. Meskipun begitu, bukan berarti bahwa di tengah perkembangan teknologi yang pesat dewasa ini kita sudah siap menghadapi setiap perubahan dan disrupsi.

Buktinya, seperti yang saya singgung di atas, tidak sedikit dari kita yang berhadapan dan berinteraksi dengan mesin-mesin kecerdasan buatan untuk memuaskan bias konfirmasi dan meredakan kecemasan dalam kepala dan benak. Mungkin saat ini beberapa dari kita memang masih berada pada tahap berupaya mengerti dan memahami disrupsi terbaru yang kita hadapi saat ini–yang sebenarnya juga tidak sepenuhnya salah. Upaya untuk mengerti dan memahami itu pada gilirannya melahirkan ruang-ruang pertemuan dan diskusi, salah satunya diskusi bertajuk “Kata, Citra, Data” yang diselenggarakan tengara.id dan Rubanah Underground Hub pada Sabtu (1/4).

Sebagai narasumber pertama, Martin Suryajaya melalui paparannya “Tergantung pada Data”–yang judulnya saya cukup yakin terinspirasi dari Tergantung pada Kata karya A. Teeuw–mengajak para audiens memikirkan kembali konstruksi wahana di masa ketika ada mesin yang mampu menghasilkan karya seni berupa gambar dari input berupa teks singkat–bahkan satu kata sekali pun. Respons perupa terhadap suatu teks seperti karya sastra–atau sebaliknya–merupakan salah satu praktik kreatif yang sudah sekian lama menghidupi dunia sastra dan seni rupa. Biasanya, kerja-kerja respons lintas wahana melibatkan interpretasi pekerja kreatif atas karya yang dihadapinya untuk kemudian menghasilkan karya baru, yang dalam hal ini melibatkan aspek-aspek yang biasa disebut dengan intuisi, pembacaan kritis, kreativitas, gaya, bahkan juga “ideologi” pekerja kreatif dalam makna yang luas.

Pertanyaannya kemudian, apakah mesin-mesin yang berlagak seakan-akan melakukan respons lintas wahana juga membaca wahana dengan cara yang sama dan menerapkan proses kreatif yang sama dengan para pekerja kreatif? Menjawab pertanyaan tersebut, Martin berargumen bahwa perangkat-perangkat generative artificial intelligence telah meleburkan wahana, baik itu kata maupun citra, menjadi data. Sebagai konsekuensinya, norma-norma kekhasan yang selama ini coba dijaga dengan konstruksi wahana pun tidak lagi relevan, karena data secara substansial tidak memiliki kekhasan.

Data yang tersusun atas bit tidak mempunyai teknik goresan kuas tertentu atau metode penyusunan diksi tertentu yang membuatnya memiliki nilai berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, wahana menempati titik kerentanannya yang paling radikal dewasa ini ketika dihadapkan dengan mesin-mesin kecerdasan buatan yang bekerja dengan algoritma deep learning dan kemampuan generative.

Fenomena leburnya wahana yang berdampak pada praktik kesusastraan dan kesenimanan tersebut selanjutnya membawa kita pada pertanyaan yang agaknya terasa terlalu menakutkan untuk didengar, apalagi dicari jawabannya, yakni pertanyaan terkait kerentanan eksistensi dan peran pekerja kreatif. Namun, betapa pun menakutkan pertanyaan tersebut, menurut hemat saya, kita harus mau menghadapinya sebagai salah satu langkah untuk keluar dari jebakan bias konfirmasi yang tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ilusi bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dari dunia yang kita tinggali saat ini. Setelah pekerja kreatif tereduksi atau bahkan kehilangan perannya sebagai kreator dan fasilitator, yang tersisa tinggal kemampuan untuk mendapatkan pengalaman dari sudut pandang orang pertama sebagai manusia. Dibandingkan dengan algoritma deep learning yang mendapatkan “pengetahuan”-nya dari meraup data-data yang berkeliaran di dunia maya, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman keinderaan yang–paling tidak hari ini–belum bisa dilakukan oleh mesin-mesin kecerdasan buatan. Kembali pada kemampuan biologis manusia merupakan jawaban yang memiliki unsur kebenaran tinggi, tetapi sayangnya belum bersifat antisipatif.

Untuk mengisi rumpang tersebut, Martin menawarkan jawaban lain yang sekiranya dapat dilakukan untuk membantu kita menghadapi fenomena-fenomena yang ada saat ini dan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan muncul selanjutnya tanpa memeriksa kesiapan kita, yakni menjadi pengungsi wahana.

Menariknya, kecenderungan menjadi pengungsi wahana rupanya bisa kita temukan jauh sebelum perangkat-perangkat kecerdasan buatan merasuki kehidupan sehari-hari kita. Hal tersebut ditunjukkan oleh Grace Samboh melalui paparannya tentang karya-karya Danarto. Sosok yang dianggap sebagai pelopor realisme magis Indonesia tersebut menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk menerabas batas-batas wahana sastra dan seni rupa. Latar belakangnya sebagai mahasiswa seni mungkin sedikit banyak memberikan pengaruh pada keputusan artistiknya di kemudian hari, tetapi kesadaran untuk menjadi pengungsi wahana bukanlah suatu pengetahuan umum yang dimiliki semua pekerja kreatif.

Secara khusus, Grace berfokus pada salah satu cerpen Danarto yang judulnya ditulis/digambar dalam tangga nada dan diterbitkan di majalah Horison pada 1978. Beranjak dari judul, pembaca akan menemukan pertemuan yang intim antara wahana kata dan citra di sepanjang cerpen yang kemudian sering dikenal dengan “Cak Ngung” tersebut. Danarto menata kata-kata yang menyusun cerpennya sedemikian rupa sehingga pembaca akan mendapati elemen dari sastra sekaligus seni rupa dalam karyanya sehingga mengalami kerja sekuensial sekaligus keserentakan dalam satu karya. Sebut saja misalnya kata “ngung” yang ditulis tidak dalam satu baris sejajar melainkan disusun seakan-akan menguar dari sebuah mesin ketik yang mampu membantu penggunanya untuk mengetahui keberadaan seseorang yang namanya kita tulis menggunakan mesin ketik tersebut. Di samping itu, tidak lupa Danarto juga menambahkan ilustrasi di cerpennya tersebut, mempertegas kecenderungannya untuk bermain-main di antara batasan dua wahana.

Kecenderungan serupa juga dapat ditemukan pada karya-karya lain Danarto yang ditampilkan di pameran seni. Pameran sebagai ruang pada satu sisi menentukan ragam dari karya atau wadah wahana yang ditempati sebuah karya, yakni seni rupa. Logika wahana yang cenderung mengunci seketika mengarahkan pemaknaan atas karya Danarto sebagai karya seni, alih-alih karya sastra. Namun, sekali lagi Danarto mengawinkan unsur-unsur kata dan citra sehingga menghasilkan karya yang melintasi pagar batasan wahana dan menjadikan ia sebagai seorang pekerja kreatif yang berdiri di tepian lahan yang dipagari tersebut. Keputusan artistik Danarto membuktikan bahwa wahana yang pada mulanya tampak paten dan kaku sebenarnya memiliki kerentanannya sendiri ketika dihadapkan dengan eksperimentasi dan eksplorasi yang dilakukan manusia, sebelum mesin-mesin melakukan mekanisasi atas kerja-kerja kreatif.

Persimpangan antara keinginan mencari tahu dan memuaskan bias konfirmasi dan jejak-jejak artistik yang ditinggalkan Danarto menurut hemat saya cukup untuk menjadi alasan bagi kita untuk mengantisipasi sejumlah kemungkinan fenomena yang dapat terjadi dan berkembang di ranah kesusastraan dan kesenian Indonesia dengan hadirnya mesin-mesin kecerdasan buatan di tengah kehidupan manusia, di tengah proses kreatif para penulis dan seniman. (Bahkan pada titik ini saya mulai berpikir bahwa istilah-istilah seperti “penulis”, “sastrawan”, “seniman”, “pekerja kreatif” yang selama ini kita gunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan tertentu dalam waktu dekat akan menjadi usang karena semuanya telah melebur menjadi entitas tanpa identitas).

Dari pembicaraan bersama Martin dan Grace paling tidak menurut saya ada beberapa hal yang mulai perlu dipikirkan dan didiskusikan, seperti misalnya apa yang perlu dilakukan seorang kurator jika berhadapan dengan karya-karya yang dihasilkan mesin di antara karya-karya lain yang dibuat oleh pekerja kreatif: apakah serta merta menganggapnya tidak terkualifikasi sementara karya tersebut sebenarnya memiliki nilai estetika yang tinggi? Apa yang perlu dilakukan pemangku kepentingan di bidang pendidikan berkenaan dengan proses pembelajaran yang selama ini punya andil atau bahkan menjadi penentu proses pembangunan daya kreativitas dan pembentukan gaya pekerja kreatif: apakah tiga sampai empat tahun pendidikan formal atau belasan sampai tahunan nyantrik masih diperlukan jika semuanya pada akhirnya ditentukan oleh input prompt? Apa yang perlu diupayakan untuk menjadikan pengungsi wahana tetap memiliki agensi meskipun ia harus bergantung pada data?

 

Tulisan ini merupakan pengembangan dari esai “Wahana dan Alih Wahana di Era Data” yang dipublikasikan penulis di situs blog Medium pada 2 April 2023.

Blog3 Agustus 2023

Dhianita Kusuma Pertiwi


Dhianita Kusuma Pertiwi menamatkan studi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang dan Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia. Ia telah menerbitkan kumpulan naskah drama Pasar Malam untuk Brojo (2016), novel fiksi sejarah Buku Harian Keluarga Kiri (2019), prosa spekulatif Menanam Gamang (2020), kajian lakon wayang kulit Sesaji Raja Suya: Kuasa dan Rasa (2021), ensiklopedia istilah Mengenal Orde Baru (2021), serta karya terjemahan Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2022). Bersama Ruang Perempuan dan Tulisan, riset dan tulisannya mengenai Charlotte Salawati terbit dalam buku Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021). Dhianita merupakan salah satu peraih Nusantara Academic Award 2020. Ia menjadi salah satu pendiri sekaligus redaktur penerbitan Footnote Press. Sejak 2017, Dhianita merilis artikel tentang sejarah dan isu sosial-politik Indonesia setiap akhir pekan di situs pribadinya, dhiandharti.com.