Dalam fiksi berlatar masa kolonial Belanda, kelihatan bermacam-macam sifat perempuan di berbagai lapangan kehidupan. Ada yang bersikap pasrah karena mengalami diskriminasi dan eksploitasi laki-laki Belanda. Ada yang mempertahankan martabat dengan cara bunuh diri. Ada pula sosok perempuan yang menjadi suri teladan di wilayahnya berkat pendidikan. Tentu saja, gambaran perempuan dalam sejumlah fiksi yang dibahas di sini tidak bisa dipandang sebagai representasi dari perempuan Indonesia secara keseluruhan.
Pada cerpen berjudul “Gundik” karya Ardi Wina Saputra, misalnya, sang pengarang bersuara mengenai penderitaan jiwa seorang perempuan yang berujung pada kematian:
“Tuan, apapun yang kau inginkan selalu terwujud, setelah ini aku akan menunjukkan betapa rupawan kekasihku,” mata gadis ini mulai terpejam.
Ia sudah tidak menggenggamku lagi. Nampaknya ia mengantuk. Kuraba pipinya dari belakang. Tunggu! Kenapa kering?! Kenapa tidak ada setetes air pun membasahi pipinya?!
Perlahan kutengok wajahnya! Air itu nampaknya ke luar dari mulutnya yang mulai berbusa! Kuhempaskan ia dengan keras ke sisi ranjang. (Gundik 2017: 19-20).
Demikian bagian cerpen “Gundik” yang terhimpun dalam Aloer-aloer Merah karangan Ardi Wina Saputra (Pelangi Sastra, 2017)—kumpulan yang memuat sepuluh cerpen berlatar Surabaya dan Malang. Cerpen “Gundik” yang berlatar Malang menampilkan tokoh utama Suratni yang lebih memilih mati meminum racun untuk menjaga martabatnya supaya tidak jadi gundik (piaraan) seorang tuan kebun bangsa Belanda yang bernama Haklaar.
Penggambaran yang hidup tentang Suratni—perempuan yang adalah korban seorang ayah mata duitan—membuat cerita menjadi menarik. Kemiskinan ternyata “perangkap” yang bisa membuat seorang perempuan terjual sebagai alat untuk membalas kebaikan hati seorang laki-laki asing.
Suratni sadar bahwa sekalipun sikap antipati terhadap laki-laki asing itu ada, ia tak bisa melawan keinginan ayahnya yang berada di bawah pengaruh Haklaar.
Ardi Wina Saputra berhasil menuliskan kejamnya dunia secara dramatis. Di depan Haklaar sebelum meninggal, Suratni mengaku sudah mempunyai seorang tambatan hati yang bernama Marsudi. Pekerjaan Marsudi adalah seorang laskar rakyat. Karena cerpen hanya memaparkan satu peristiwa kecil dari perjalanan hidup manusia, kisah ini berakhir untuk menginsafkan manusia atas kekurangan yang ada dalam diri masing-masing. Yang menarik bahwa keinsafan itu mesti dimunculkan dengan membuat tokoh perempuan membunuh dirinya.
Berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) sejak awal abad ke-17, menandai permulaan proses eksploitasi ekonomi kolonial di wilayah Nusantara—yang kemudian bernama Indonesia. Usaha ini didukung penuh oleh pemerintah Belanda karena dengan adanya perdagangan ke benua lain akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat Belanda. Maka dari itu, VOC diberikan octrooi (hak istimewa) untuk memonopoli perdagangan, membentuk angkatan perang, membangun benteng, menyusun kekuatan militer yang terdiri dari unsur serdadu sewaan dan membuat perjanjian dengan raja-raja di Indonesia.
Akibat proses kolonialisme ini, berangsur-angsur hegemoni dalam struktur sosial masyarakat menempatkan orang Belanda pada posisi atas (puncak). Berhubungan dengan itu, dengan segenap kekuasaannya pula, laki-laki Belanda menempatkan perempuan Bumiputra sebagai nyai atau subaltern (tertindas). Cerita tentang seorang perempuan Indonesia yang mengalami eksploitasi dari pria Belanda menjadi sorotan utama novel De Winst karangan Afifah Afra.
Seorang pemilik pabrik gula De Winst, Jan Thijsee, mengelola perusahaannya dengan motif-motif keuntungan belaka. Untuk mengejar neraca keuntungan perdagangan yang tinggi, ia tidak segan-segan membayar biaya sewa yang rendah kepada masyarakat Colomadu sebagai pemilik tanah dan pekerja pabrik. Hal ini berlangsung cukup lama dan tidak ada hukum yang dapat menjeratnya.
Jan Thijsee juga berbudi rendah. Meski sudah menikah dengan Everdine Kareen Spinoza, ia masih “memelihara” Partini sebagai gundiknya. Novel De Winst menggambarkan sosok perempuan yang tertarik kepada kekayaan seorang laki-laki dan memanfaatkan peluang untuk untuk selamat di tengah tatanan kolonial yang menindas.
Sebagaimana dalam kutipan berikut:
Akan tetapi, Jan adalah manusia dewasa yang normal secara seksual. Untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya, ia pun memilih cara seperti yang dilakukan oleh sebagian besar lelaki sebangsanya. Ia memiliki seorang wanita pribumi sebagai gundik. Partini nama perempuan itu. Seorang wanita jelita yang begitu pintar memikat hati lelaki. Kemiskinan yang menghimpit, telah membuat ia memilih jalan pintas, yaitu menjual satu-satunya yang ia miliki, rupa elok sekaligus tubuh yang semok. (De Winst 2008: 172).
Novel ini sekaligus melukiskan keadaan masyarakat dengan nada yang agak pesimistis. Rusaknya moral manusia disebabkan oleh faktor kemiskinan dan orang yang jahat seterusnya tetap jahat, seperti diri Jan Thijsee. Namun, novel ini juga memperlihatkan bahwa tatanan kolonial itu dapat disiasati oleh perempuan yang berani mengambil peluang.
Pesan lain yang tersirat adalah perbaikan terhadap suatu keadaan yang buruk, tidak mungkin dengan nasihat melulu. Haruslah ada kemauan dari dalam diri seseorang untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik.
Jauh sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda pada 1928, sebagian perempuan di Indonesia sudah punya inisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Demikianlah tercatat dalam sejarah: perkumpulan Keutamaan Estri di Tasikmalaya, Keutamaan Estri Minangkabau di Padang Panjang, Pawiyatan Wanita di Magelang, Wanita Oetomo di Yogyakarta, dan perkumpulan perempuan lainnya. Malahan Wanita Oetomo yang berdiri pada April 1921, mempunyai cabang di Solo, Purwerejo, dan Gombong.
Walaupun perkumpulan perempuan tersebut bersifat kesukuan dan menggunakan bahasa daerah masing-masing, cita-cita mereka sama: mendorong tumbuhnya kesadaran kebangsaan, pentingnya pendidikan dan upaya perempuan untuk kembali menggali akar kepribadian bangsa. Pokok terakhir ini dipandang penting karena ketika itu banyak perempuan terpelajar yang bersikap kebelanda-belandaan, kebalikan dari seorang perempuan tidak terpelajar, yang dinilai rendah dan kerjanya hanya untuk mengurus rumah tangga.
Penggambaran sosok perempuan yang unggul berpikir ketimbang orang Eropa dan punya antusiasme terhadap perkembangan kemajuan kaumnya kita temukan dalam novel Kepunan karya Benny Arnas. Tokoh Aku adalah seorang perempuan di Musirawas yang ingin membekali diri dengan pendidikan. Di sini mengemuka suatu paradoks.
Di satu sisi, Aku menguraikan dengan terang ketidaksukaannya terhadap cara hidup orang Belanda dan tetap setia kepada tradisi dengan belajar mengaji di surau. Di sisi lain, Aku memilih masuk sekolah privat oleh orang Belanda, Denis de Veidjn. Di sini mulai tampak tegangan yang tidak mudah diselesaikan dalam sosok perempuan berpendidikan pada masa kolonial.
Krisis mulai berkembang ketika Aku memilih tidak mau tampil ke depan sebagai orang yang pintar “berdebat” . Ia menilai sikap seperti itu kurang punya tata krama. Bagi tokoh Aku, semakin jelas terlihat bahwa pendidikan Barat ada juga titik lemahnya. Supaya terlihat berbeda sekaligus punya nilai lebih dibandingkan temannya bangsa Eropa, mau tidak mau Aku harus punya keistimewaan. Aku memilih bertekun dengan buku-buku pelajaran dan sastra. Usaha kerasnya tidak sia-sia. Kegigihannya untuk menjadi manusia dengan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi telah membentuk dirinya menjadi kuat dan dinamis.
Namun, sayangnya, diskriminasi terhadap Aku tetap berjalan. Sebutan “jenius” yang ditujukan kepadanya bukan untuk memuji, tetapi memang untuk merendahkannya sebagai perempuan bumiputra. Ia berusaha mencari jalan lain supaya perhatian orang lain bukan kepada dirinya. Kawan-kawannya tetap menganggap ia bukan orang pintar sambil menunjukkan reaksi keheranan karena ternyata ada perempuan bumiputra yang bisa menjawab satu pertanyaan dengan bagus. Adegan berikut ini menggambarkan konflik batin perempuan berpendidikan masa kolonial yang malu sekaligus bangga atas pendidikan Barat yang didapatnya:
Fleur dan Emma serempak memandang ke arahku.
Suasana hening.
Sebelum kemudian Emma bersorak, “Hei, bagaimana kau bisa sejenius ini?!”
Aku gugup. Sungguh, aku takut kalau-kalau sebutan “jenius” akan mendepakku dari kelas ini. Ya, tidak selayaknya aku melampaui mereka untuk pertanyaan itu.
Jawabanmu bukan saja bagus, puji Madam Marin. Pilihan katamu juga mengagumkan, senyumnya mengembang.
Dia sangat suka membaca karya-karya sastra, celetuk Fleur. Dia bahkan bisa menceritakan ulang Ze Zijn Opgemaakt dengan baik, seru Emma.
Sesekali Madam perlu membaca karangannya, imbuh Julia.
“Dia berbakat jadi pengarang, atau…jangan-jangan dia sudah jadi pengarang!”
“Pengarang yang berbakat lebih tepatnya!” Sophie tak mau kalah.
Aku benar-benar bangga sekaligus malu. (Kepunan 2016: 94-95).
Setelah melewati fase kebimbangan itu, Aku kemudian bisa membawakan diri dengan wajar dan akhirnya luwes bergaul dengan anak-anak Belanda. Di sini, paradoks itu kembali muncul: perempuan bumiputra hanya diakui sejauh mampu mengatasi sifat-sifat bumiputranya dan masuk ke dalam alam pikiran Barat yang menyetarakan. Sebuah kesetaraan yang dibangun di atas ketidaksetaraan.
Sesungguhnya persoalan kolonialisme dalam kaitan dengan perempuan masih amat luas untuk dibicarakan. Tulisan pendek ini hanyalah pancingan ke arah pembicaraan yang lebih sistematis dan mendalam tentang aneka representasi perempuan zaman kolonial dalam fiksi kontemporer Indonesia.
Sebagaimana periodisasi lainnya, kecenderungan perilaku perempuan Indonesia menghadapi tantangan hidup pada masa kolonial penting dihadirkan dalam bentuk fiksi. Representasi perempuan pada masa kolonial yang dihadirkan dalam karya sastra kontemporer ini menginformasikan kembali betapa beranekanya kehidupan perempuan pada masa tersebut, dan bagaimana refleksi para penulis kontemporer hari ini terhadap narasi kolonial.
Persisnya, dari fiksi zaman penjajahan ini, kita dapat melihat bagaimana para perempuan mengatasi ketertindasan dalam lingkup personal—dan pada waktu yang sama, juga mengalami keterjajahan dari kolonial.
Koko Hendri Lubis
Koko Hendri Lubis menulis sejumlah buku nonfiksi: Taguan Hardjo: Langsung dari dalam Hati (2016), Roman Medan, Sebuah Kota Membangun Harapan (2018), dan Zam Nuldyn: Menemukan (Kembali) Nusantara (2021). Sejumlah tulisannya tentang komik dibukukan dalam Kalam yang Menggapai Bumi: Rimba Perjalanan Komik Indonesia dalam Esai dan Wawancara (2019). Ia baru saja menerbitkan novel Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname (2021).