Perang Batin Perempuan dalam Revolusi
Telaah atas Karya S. Rukiah

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Baik kita belajar praktis di dalam romantik kita.

Bilamana tulisan dan ceritaku pagi ini tak panjang-panjang, itu bukan tanda bahwa sayangku padamu tidak panjang, tapi urusanku di luar kepanjangan kasih sayang, banyak pula yang panjang-panjang. Sementara dalam perkelahian ideologi dan pertempuran darah macam begini, kita pisahkan dulu kedua ruangan ini, dan masing-masing tak usah dibikin ucapan yang panjang-panjang.

(S. Rukiah, Kejatuhan dan Hati)

 

Hampir semua ide cerita dalam karya S. Rukiah mengungkapkan peperangan batin para perempuan di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Mungkin itu peperangan batin pengarangnya, mungkin pula pembacanya. Barangkali karena keterlibatannya dalam Revolusi Kemerdekaan, Rukiah lebih banyak menceritakan kondisi peperangan batin yang dialami perempuan pada masa peralihan antara status quo dan revolusi atau antara kondisi terjajah dan kondisi merdeka, baik dalam arti struktural maupun personal, dan dalam arti makro (dunia ideologi, politik, ekonomi, negara) maupun mikro (dunia batin manusia).

Rukiah berhasil mengaitkan dengan sangat halus sekaligus tandas pandangan dunia struktural makro ke dalam dunia mikro (rasio, perasaan, kesadaran) melalui tokoh perempuan protagonisnya. Dengan membaca cerpennya, kita dapat merasakan apa hasrat yang tersembunyi dalam dunia mikro dan kepentingan yang ternyatakan pada dunia makro perempuan menghadapi revolusi.

Bagaimana hasrat dan kepentingan perempuan itu diungkapkan oleh Rukiah dengan menggunakan bahasa yang gamblang, ekspresif, dan terkadang liris ke dalam skema konflik batin perempuan—itulah yang menurut saya memberi kekhasan pada karya Rukiah.

Tetapi dalam mengungkapkan peperangan batin para perempuan itu Rukiah justru tidak menempatkannya di atas lanskap problem ketidakadilan gender. Persisnya, dia tidak menjadikan struktur patriarki sebagai penyebab utama peperangan batin perempuan. Rukiah justru menempatkan para perempuan sebagai tokoh protagonis yang secara rasional punya kemampuan menentukan diri sendiri dan kemudian memikul konsekuensi-konsekuensinya. Oleh karena itu, kita tidak akan menemukan konflik antara perempuan dan laki-laki, yang pada umumnya menempatkan perempuan pada pihak yang kalah dan tersubordinasi.

 

Saya meminjam pisau analisis Michelle Barret ketika menulis ulasan A Room of One’s Own karya Virginia Woolf. Ada tiga pisau analisis yang digunakan Barret untuk mengupas karya Woolf, yaitu mengenai (1) produksi budaya (sastra) seorang perempuan yang masih tersisih dalam dunia sastra abad ke-20, (2) penerima produksi budaya tersebut oleh pembaca perempuan, dan (3) representasi perempuan dalam karya Woolf tersebut. Menurut pandangan saya, tiga pisau analisis itu dapat kita gunakan untuk memberi perhatian pada karya-karya Rukiah.

Pertama, Rukiah telah berhasil menerobos ranah produksi budaya di bidang sastra pada pertengahan abad ke-20, yang sangat dipengaruhi oleh sudut pandang pengarang laki-laki. Setelah era Pujangga Baru, pada Angkatan ‘45 cukup banyak pengarang laki-laki menciptakan perempuan sebagai tokoh protagonis yang merepresentasikan kemajuan, yaitu kemajuan yang dibimbing oleh rasionalitas, dan bukan paham lama yang memuja irasionalitas, konservatisme, dan lain-lain. Misalnya, dalam novela Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. Larasati digambarkan sebagai perempuan dengan sikap teguh di tengah perang untuk tetap berpihak pada republik, dan secara simbolis telah memberikan selendang merah kepada para pemuda yang sedang berperang. Barangkali karena Pram seorang pengarang laki-laki, maka ia kurang mampu mengungkapkan kedalaman keperempuanan Larasati, yaitu peperangan batinnya, atau dunia unconscious motives tentang revolusi.

Hal ini berbeda dari Rukiah yang mampu menyelam ke dasar unconscious motives perempuan dan mengungkapkan tentang aneka hasrat yang disembunyikan dan tersembunyi. Kita dapat membaca pada seluruh karya Rukiah, baik prosa maupun puisi, betapa ungkapan peperangan batin perempuan itu sangat kuat, mengaduk-aduk rasio dan perasaan pembaca.

Kekuatan itu menempatkan Rukiah sebagai seorang pengarang perempuan yang bisa berkiprah di majalah sastra Pudjangga Baru (1948), dan menerima hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk Kejatuhan dan Hati. Itu artinya, Rukiah telah berhasil menerobos dunia sastra yang didominasi laki-laki melalui suara sastra perempuannya.

Kedua, mengenai penerimaan karya Rukiah oleh para pembaca perempuan. Sayang kita masih belum memperoleh fakta mengenai siapa pembaca karya-karya Rukiah dan seberapa jauh karya-karyanya telah memberikan pengaruh, terutama pada pembaca perempuan pada masa itu. Sebagai contoh, karya-karya Woolf telah berhasil menyedot pembaca perempuan dan memberikan pengaruh luar biasa, yaitu mampu membangun pertanyaan ke dalam diri perempuan tentang apa arti menjadi perempuan dan apa arti kebebasan? Namun, saya mencoba mengatasi ketiadaan fakta tentang pembaca itu dengan metode refleksivitas: saya menjadi pembaca masa sekarang untuk merasakan dan menilai peperangan batin perempuan di masa lalu. Pertanyaannya sederhana: apakah peperangan batin dalam gejolak revolusi yang diungkapkan Rukiah itu masih saya rasakan sampai saat ini? Seberapa jauh saya terpengaruh oleh gagasan yang termaktub dalam pandangan dunia Rukiah?

Ini jawaban saya sebagai pembaca masa kini. Kekuatan Rukiah ternyata tidak sekadar mengaduk perasaan pembaca sehingga pembaca mengucurkan air mata. Rukiah bukan penulis yang membuat pembaca menjadi cengeng, meski topik yang ia ceritakan tentang cinta. Namun, karyanya juga tidak membuat pembaca menjadi terbakar oleh retorika ideologis yang menundukkan cinta antarpersonal.

Yang menarik adalah bahwa Rukiah hendak menyeimbangkan antara rasio dan perasaan. Kenyataannya, relasi antara rasio dan perasaan itu tidak berlangsung dialektis, tetapi berangsung dalam pertentangan yang terus-menerus hingga para perempuan pada akhirnya harus memilih. Dengan kara lain, para perempuan berada di antara hasrat untuk tetap terpenjara, yang disebut Rukiah “aturan-aturan manusia (sosial) yang umum”, dan hasrat untuk merdeka.

Perang antara rasio dan perasaan itu masih dialami oleh para perempuan saat ini, tentu dengan latar yang berbeda, yaitu latar revolusi teknologi informatika. Di tengah revolusi teknologi informatika ini pintu kebebasan perempuan terbuka lebar, pilihan untuk menentukan nasib diri sendiri pun tersedia banyak, tetapi kebebasan itu bersifat virtual belaka. Kenyataannya, perempuan saat ini terpenjara kembali ke dalam ideologi yang ultra-konservatif, yang terwujud dalam kesadaran baru:  penutupan perempuan melalui pakaian (dari jilbab ke cadar dan mungkin ke burqa), perjodohan dan perkawinan dini, poligini dan melahirkan banyak anak.

Setelah membaca karya-karya Rukiah itu, sebagai pembaca kelas borjuasi kecil saya merasa bahwa gagasan Rukiah yang diekspresikan melalui perang batin perempuan itu membuat saya tiba-tiba ingin berjarak dengan tindakan praktis sehari-hari, lalu mencari keheningan untuk bersikap reflektif dan mendengarkan perang batin antara rasio dan perasaan! Kiranya ekspresi Rukiah yang jujur dalam karya-karyanya itu sanggup menelanjangi dominasi rasio dalam tindakan praktis sehari-hari yang mungkin sedikit atau banyak bertentangan dengan perasaan, dan bahkan suara hati.

Ketiga, tentang representasi perempuan sebagai tokoh protagonis. Dalam situasi revolusi, Rukiah menggambarkan peperangan batin perempuan dalam berbagai aspek hidup. Dalam Kejatuhan dan Hati: apakah pergi berperang mau ikut tentara kanan atau laskar pemuda kiri? Dalam cerpen “Istri Prajurit” (dalam kumpulan Tandus): memilih berdiam di rumah saja mengurus anak atau mencari suami yang “hilang” dalam revolusi? Dalam Kejatuhan dan Hati: menikah dengan laki-laki kaya untuk menyenangkan ibu atau mencari cinta bagi diri sendiri? Dalam cerpen “Antara Dua Gambaran” (Tandus): memilih cinta laki-laki yang beroganisasi politik dan terjun ke dalam revolusi atau cinta laki-laki peragu yang terlalu banyak membaca buku dan berpikir? Dalam cerpen “Mak Esah” (Tandus): Hidup mengalir biasa dalam kemiskinan atau gaduh dalam ketidakmenentuan revolusi? Semua itu adalah pilihan-pilihan yang mengepung para perempuan, baik perempuan terpelajar maupun yang buta huruf dan miskin. Di antara pilihan-pilihan itu Rukiah berupaya memenangkan “suara hati perempuan”, yang berdiri sebagai “pihak ketiga” atau menghadirkan sintesis kontradiksi antara rasio dan perasaan.

Dalam Kejatuhan dan Hati, sebagai contoh, cara pandang dunia Ibu yang diajarkan kepada tiga anak perempuannya adalah: carilah suami kaya agar dapat membalas budi ibu yang telah membesarkan mereka! Cara pandang dunia Ibu semacam ini sungguh berdiri di luar konstestasi ideologi sosialisme, kapitalisme/kolonialisme/imperialisme, nasionalisme, Islamisme, atau lainnya. Cara pandang Ibu itu membimbing dan sekaligus menciptakan peperangan batin anak-anak perempuan dalam menentukan masa depan mereka sendiri,  melampaui ideologi revolusi yang saat itu sedang membara. Hal itu bahkan melampaui cara pandang suaminya untuk membebaskan pilihan hidup anak-anaknya.

Apakah dalam hal ini Rukiah sedang melayangkan kritik kepada cara pandang yang memuja kebendaan, sehingga tolok ukur terhadap cinta pun berdasarkan kepemilikan atas harta kekayaan?

Saya berpendapat bahwa Rukiah sedang melayangkan kritik kepada cara pandang kebendaan melalui tokoh Ibu (representasi “adat dan paham lama” atau konservatisme), dan cara pandang ini lantas mendapat kritik (perlawanan) dari Susi (anak Ibu) sebagai representasi cara pandang baru yang membebaskan pilihan perempuan, dan yang kemudian diteguhkan oleh Lukman, kekasih Susi (representasi dari cara pandang sosialisme). Di tengah perang batin Susi antara pandangan dunia Ibu dan Lukman, Rukiah meneguhkan pilihan suara hati Susi, yaitu membuang yang tidak logis dari pandangan Ibu dan Lukman, dan menerima yang logis dari keduanya. Dengan kata lain, melalui representasi Susi, Rukiah menyodorkan pandangannya mengenai posisi realis seorang perempuan borjuasi kecil di tengah revolusi. Pada masa itu pihak yang memiliki kemewahan untuk mampu memikirkan dan memutuskan pilihan-pilihan adalah perempuan borjuasi kecil (yang terpelajar) seperti Susi, sementara perempuan rakyat pekerja miskin seperti Mak Esah telah terstruktur dalam posisi kelas dan tidak bisa memilih, kecuali mati! Kiranya revolusi kemerdekaan pada masa itu hanya mampu membebaskan perempuan seperti Susi, bukan perempuan seperti Mak Esah.

 

Menurut klasifikasi perkembangan genre sastra di Indonesia, Rukiah menurut saya dapat ditempatkan ke dalam genre sastra revolusi yang mempunyai ciri realis dalam memotret kondisi sosial, humanis dalam mencita-citakan kebebasan manusia dan ekspresif dalam arti gaya pengungkapan. Meskipun Rukiah berada dalam posisi borjuasi kecil, tetapi ia mengarahkan pandangan dunianya kepada pembebasan perempuan miskin (meski belum terbentuk sebagai kelas proletar). Namun, ketika ia mengarahkan pandangannya kepada sebuah revolusi sosialis (pembebasan rakyat miskin) ternyata ia memilih bersikap realistis dengan kenyataan dirinya sebagai perempuan borjuasi yang harus mengikuti norma umum, yaitu mempuyai suami yang stabil sumber nafkahnya, melahirkan anak, dan hidup dalam sebuah rumah yang tenteram, bukan gaduh seperti dalam perang. Itulah kiranya perang batin tak berkesudahan dalam struktur gender dan kelas yang berhasil diungkapkan oleh Rukiah secara jujur.

Blog21 Februari 2022

Ruth Indiah Rahayu


Ruth Indiah Rahayu adalah mahasiswa S3 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan bekerja sebagai peneliti lepas. Selain itu, ia aktif sebagai Ketua Bidang Pendidikan di IndoProgress Institute for Social Research and Education (IISRE) dan pegiat diskusi filsafat di Masyarakat Filsafat Indonesia (MFI).