Sudah lumrah bahwa A.A. Navis (1924-2003) lebih sering disebut sebagai pengarang daerah ketimbang, katakanlah, pengarang saja. Tidak sepenuhnya salah bila sampai di masa sekarang penambahan kata “daerah” masih dilakukan ketika membicarakan Navis. Tentu ini konsekuensi dari praktik nyata politik sentralisasi (yang tak terelakkan menempatkan Jakarta sebagai pusat) dan wacana pusat-daerah yang sudah berkobar semenjak paruh akhir Orde Lama dan mencapai puncak ketegangannya saat Orde Baru[1]: rentang masa yang dialami Navis di sebagian besar hidupnya. Namun begitu, nyatanya, sebutan khusus sebagai pengarang daerah tak sebatas penanda untuk menunjukkan bahwa si pengarang tinggal di kawasan yang dikategorikan sebagai daerah dan/atau tokoh-tokoh fiksinya juga hidup dengan latar tempat yang sama.
Lebih konyol dari itu, label daerah ternyata bagi sejumlah pihak digunakan untuk menyatakan sejenis ketertutupan si pengarang dari dunia luarnya. Sebutan pengarang daerah dengan demikian berarti pengarang yang hanya sibuk mengurus persoalan di suatu daerah dan seakan tidak mau memikirkan hal-hal di luar itu. Bila pengertian seperti ini ditujukan kepada A.A. Navis tentu tidak tepat. Navis sendiri memang menerima label daerah sebagai salah satu identifikasi dirinya, akan tetapi dalam maksud politis.
Sebagaimana rekan sezamannya seperti Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, ataupun Pramoedya Ananta Toer, Navis juga lahir dan tumbuh di zaman penjajahan Belanda, ikut berada di gelanggang perang, berkembang pesat secara intelektual setelah Indonesia merdeka, dan kemudian menjadi generasi paling muda ketika berbagai imajinasi awal tentang masa depan Indonesia sedang berada di titik paling bergejolak. Namun, tidak seperti para sastrawan sezaman tersebut yang punya pengalaman berproses di Jakarta (dan karena itu tentunya tak akan disebut sebagai pengarang daerah), Navis memilih tetap tinggal di kampung halamannya.
Kalau kita baca 68 cerpen Navis sepanjang 1955-2002 yang terdapat dalam Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (Penerbit Buku Kompas, 2024) ini, kita bakal menemukan bahwa sebagian besar kejadian yang dialami tokoh-tokoh fiksinya berlangsung di lokasi-lokasi yang juga pernah ditinggali ataupun disinggahi pengarangnya. Persoalan-persoalan yang diapungkan dalam karya-karyanya pun tak jauh-jauh amat dari masyarakatnya. Bahkan ketika Navis cenderung dikenal karena cerpen satire, tidak dapat diluputkan bahwa langgam tersebut turut dipengaruhi oleh gaya berbahasa masyarakatnya. Meskipun begitu, penerimaan Navis terhadap sebutan “pengarang daerah” ataupun penggunaan sebutan itu kepadanya dari berbagai pihak (seberapapun berbeda maksudnya) tentu tidak sekadar sebab-musabab dimensi sosial budaya tersebut.
Dari “Pusat” ke “Daerah”
Navis menjadi “orang daerah” ketika kita melihatnya dari sudut pandang Indonesia sudah merdeka, apalagi Indonesia masa Orde Baru. Ia sebenarnya tumbuh dan berkembang sebagai “orang pusat”. Padang Panjang dan Bukittinggi sekitarnya (dua daerah tempat tumbuhnya Navis) selama zaman kolonial hingga menjelang akhir Orde Lama tentu bukanlah “daerah” dalam arti era Orde Baru. Kalaupun bukan satu-satunya pusat, dua kota itu jelas sedikit dari sejumlah pusat gerakan politik dan budaya yang penting selama era kolonial di Indonesia. Dua daerah ini adalah gelanggang pertarungan pikiran, gerakan, hingga senjata baik dalam kerangka anti kolonial hingga lika-liku pembentukan keindonesiaan.
Navis memang bukan bagian dari generasi yang merintis arena yang hidup-berapi tersebut, ia justru generasi berikutnya yang mendapatkan manfaatnya. Sebelum dirinya, di gelanggang yang sama, telah tumbuh-kembang generasi Tan Malaka hingga Anwar Sutan Saidi, generasi Ruhana Kudus hingga Rasuna Said, ataupun generasi Mohammad Sjafei hingga Hamka. Para pendahulu Navis itu merupakan orang-orang yang punya aspirasi besar membicarakan keindonesiaan dengan penuh api. Dengan suatu dan lain cara, generasi pendahulu Navis telah memperlihatkan terlebih dahulu suatu intelektualitas dan aktivisme dalam membangun bangsa dan Navis tentu berhutang budi pada apa-apa yang telah dimulai pendahulunya. Tapi keistimewaan tersebut tentu tidak selamanya begitu.
Ketika kekuasaan dan politik berganti dari era kolonial ke Indonesia merdeka, dengan sekian banyak gejolak yang mengubah banyak situasi (mulai dari Agresi Militer Belanda hingga menjelang akhir Orde Lama), gelanggang yang hidup tersebut pelan-pelan mulai tiba masa remangnya. Padang P anjang dan Bukittinggi mulai “menepi” baik secara politik, ekonomi, hingga kebudayaan. Dalam situasi yang tidak akan kembali seperti sebelumnya itu, Navis tidak memilih merantau, katakanlah, untuk melanjutkan hidup di tempat yang lebih menjanjikan, misalnya Jakarta, sebagai gelanggang lama yang masih bersitahan bahkan memuncak sendiri. Pilihan ini justru lebih banyak diambil oleh generasi setelahnya.
Keputusan Navis untuk tetap tinggal di daerah punya sebab yang tidak ringan. Navis mulai berkarir sebagai sastrawan pada tahun 1955. Hanya tiga tahun sebelum Sumatera Barat secara politik dan psikologi sosial mulai memasuki babak baru dari “pusat” menjadi “daerah”, yang ditandai oleh perang saudara yang berdampak panjang sampai saat ini, yakni penumpasan kelompok Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1958-1961. Ini merupakan kejahatan negara yang jarang disuarakan, dan tentunya tak pernah ditindak secara hukum, termasuk soal kekerasan seksual yang sangat brutal terhadap perempuan, apalagi peristiwa ini direduksi hanya sebagai “pemberontakan daerah” ataupun “pergolakan daerah”.
Soal kekejaman tentara pusat dan tentara PRRI terhadap rakyat sipil, Navis jelas menunjukkan sikap kontra pada keduanya, sekalipun ia bersetuju dengan kritik tentara PRRI terhadap sentralisasi politik dan ekonomi yang semakin menguat di paruh akhir Orde Lama. Yang pasti, kondisi masyarakat sehabis perang biadab yang sangat tidak seimbang itu, yang luluh-lantak dari sudut mana saja, mengubah cara Navis “membangun bangsa”. Ia tampak tidak banyak lagi mengajukan pandangan kebangsaan yang menyeluruh, katakanlah, untuk semua rakyat Indonesia, sesuatu yang sangat lumrah di gelanggangnya semenjak masa kolonial hingga awal-awal kemerdekaan. Situasi pasca perang membuat Navis semakin menyadari keberbagaian situasi di masing-masing daerah, yang tidak hanya berupa kesenjangan antar daerah tetapi juga dengan pusat pemerintahan.
Cerpen satire Robohnya Surau Kami (1956) yang ditulis sebelum perang PRRI jelas masih menyisipkan suara keindonesiaan lewat dialog antara Tuhan dan Haji Saleh. Penyebutan kata “Indonesia” sebagai nama bagi suatu kawasan subur tapi melarat dalam dialog itu tidak hanya sebatas penanda latar bagi tokoh-tokohnya, tetapi juga ruang lingkup bagi visi moral karyanya, sekalipun berpijak pada konteks lokal. Satire jenis itu tentu sangat jelas memperkarakan moral spiritual Haji Saleh dengan menyangkutkannya dengan moral kebangsaan sebagai bagian dari rakyat yang pernah dijajah. Sedangkan cerpen satire yang masih sejenis, Sebuah Wawancara (1963), yang ditulis setelah perang, mulai mengisyaratkan perubahan visinya. Cerpen ini menceritakan tentang wawancara wartawan Wahidin dengan sejumlah nabi, namun sang wartawan malah lebih banyak menyampaikan kabar tentang kondisi manusia terkini kepada narasumbernya. Peristiwa itu ternyata sebatas mimpi sebelum wartawan Wahidin mati dikeroyok di luar Gedung Pengadilan karena berita yang ditulisnya tidak disenangi kekuasaan. Dalam karya ini, upaya untuk menyisipkan visi keindonesiaan tidak muncul lagi dan diganti dengan, misalnya, visi kemanusiaan. Dengan pijakan latar lokal yang lebih kuat, visi demikian semakin kentara pada cerpen di tahun-tahun berikutnya.
Seiring Karya dengan Kerja
Perubahan visi tersebut tentu beriringan dengan ikhtiar Navis memperbaiki situasi paling dekat dengannya, dalam hal ini, daerah sendiri. Navis terlibat aktif di sejumlah bidang yang mengurusi hajat hidup orang banyak. Keterlibatannya tidak hanya di lapangan kebudayaan, tetapi juga pembangunan ekonomi rakyat, dan perjuangan di lapangan politik praktis. Di setiap bidang itu, pada sisi tertentu ia berlaku sebagai perintis, di sisi lain sebagai pelanjut, dan tentunya tak jarang sebagai pendobrak. Ia terlibat sebagai tokoh kunci membesarkan sejumlah koran, radio, sekolah alternatif INS Kayu Tanam, hingga Dewan Kesenian. Ia bahkan sangat sabar dan pelan-pelan belajar menulis akademik agar masyarakatnya punya buku yang membahas seluruh aspek budaya tradisional Minangkabau sebagai alternatif pertama dari hegemoni catatan kolonial yang merepresentasikan Minangkabau sebagai bangsa tidak jelas. Kerja-kerja semacam itu menjadi tanggung jawab tak terelakkan : memperbaiki bangsa Indonesia yang tinggal di Sumatera Barat jauh lebih konkret baginya dibanding terlalu percaya diri bisa memahami dan memberikan solusi bagi kebutuhan beragam rakyat Indonesia. Bahkan dari sekian aspek pemikiran Tan Malaka dan pendukungnya yang masih mempengaruhi Navis, obsesi bicara tentang Indonesia inilah yang ditinggalkannya.
Di masa kini, tentu saja, apa-apa yang dikerjakan Navis itu sudah ada ahlinya di masing-masing bidang. Tapi, setelah daerahnya dihajar oleh negara sendiri, bisa dikatakan Navis (dan sedikit “orang daerah” lainnya) tak punya pilihan lain selain menjadi “manusia serba bisa” meski tidak dengan sama suksesnya. Ia sering dianggap sebagai biang onar di setiap lapangan yang dimasukinya, namun sebagian besar membuahkan hasil yang baik bahkan manfaatnya masih dirasakan generasi sekarang. Keberlanjutan ekosistem budaya, termasuk sastra, pasca perang PRRI sampai sekarang masih mewarisi apa yang sudah dirintis Navis. Ini bukti nyata bahwa ia mengerjakan itu semua tidak untuk dirinya sendiri, apalagi bila ditambah dengan fakta bahwa ia sendiri tidak kaya- raya karena semua itu. Dan hasil yang baik tersebut, menurut Navis, hanya dapat dicapai bila kita bisa menjadi individu yang merdeka sekaligus bisa bekerja sama dengan individu merdeka lainnya. “[M]anusia yang paling konkret itu adalah individu. Perbedaan faham, idiologi [sic] politik atau agama tidak jadi alasan untuk tidak menyukai seseorang. Yang paling tidak saya sukai ialah mereka yang hipokrit, lain di mulut lain di hati,” ungkapnya.[2]
Dalam upaya membangkitkan masyarakat traumatik (istilah yang digunakan saat itu dalam bahasa Minangkabau: mambangkik batang tarandam/mengangkat batang [kayu] [yang] terendam [dalam lumpur]) sebagaimana dibayangkannya, Navis menyadari bahwa karya sastra punya keterbatasan tertentu dan karena itu ia memperluas gerakannya tanpa mengabaikan bahwa sastra tetap punya fungsi terbaiknya. “Menulis karya sastra hanyalah salah satu bentuk ekspresi intelektual saya […] Saya lebih merindukan kehidupan manusia yang bermartabat dan dengan sendirinya juga merindukan transformasinya dalam kehidupan sosial,” ungkap Navis tentang begitu banyak peran yang mesti dijalankannya di bidang kebudayaan, ekonomi, dan politik tersebut.[3]
Oleh karena itu, bagi Navis, menulis cerita pendek bukanlah semacam upaya menciptakan dunia yang diperlakukan otonom dari keseharian atau dari kerja di bidang lain. Justru sebaliknya, cerita pendek Navis adalah kesinambungan dari pengalaman-pengalaman lapangannya. “Kalau menulis cerita direkayasa, biasanya cerita itu macet,” ujar Navis di lain kesempatan.[4] Bahkan sekalipun cukup jamak cerpen yang berlatar tempat antah berantah, kesinambungan itu sebenarnya tetap berada pada persoalan manusia yang diperkarakannya. Dalam kadar yang berbeda-beda, cerita pendeknya bermula dari segala persoalan ironis yang dialaminya dalam membangun gerakan di lapangan. Ironi itu tidak hanya pada cara pemerintah dalam menjalankan kekuasaan atas kehidupan rakyatnya, tetapi juga cara masyarakatnya dalam melanjutkan hidup di bawah kuasa negara.
Yang tidak kalah penting, perhatian mendalam Navis pada persoalan di daerahnya bukanlah wadah untuk menyuburkan semacam primordialisme ataupun separatisme, melainkan sebagai arena paling mungkin untuk memperkarakan mentalitas feodal, baik yang dicontohkan dalam budaya politik pemerintah pusat maupun yang menggejala dalam masyarakatnya. “Dominasi birokrasi di Indonesia cenderung mendorong timbulnya semacam feodalisme baru (neofeodalisme) dalam masyarakat: orang tidak lagi mencari kata sepakat, melainkan minta petunjuk,” ungkap Navis.[5] Mentalitas feodal yang diperkarakan Navis jelas tidak hanya soal kuatnya kultus individu, penegasan hirarki, ataupun personalisasi kekuasaan, tetapi berkait dengan hilangnya kehendak individu untuk menggunakan akal, semakin lumrahnya tabiat hipokrit, dan perendahan harga diri atas pihak yang lemah. Navis menyoroti bahwa: “Demokrasi baru ada kalau orang sederajat. Dulu demokrasi hidup karena masyarakat memiliki rasa saling ketergantungan. Sekarang, masyarakat bergantung. Di mana demokrasi dalam masyarakat yang bergantung.”[6]
Sejumlah karya satire yang ditulis setelah perang PRRI cukup terang menunjukkan kritiknya pada budaya politik seperti itu. Alegori kekuasaan melalui sosok binatang dalam cerpen Pemburu dan Serigala yang ditulis tahun 1963 (sebagai kritik terhadap Su karno) tentu tak bisa dilewatkan sebagai intrik khas dalam melakukan kritik terhadap rezim yang sedang berkuasa. Tentu sosok Sukarno sebagai si pemburu tidak harfiah belaka kecuali kita mencoba mengaitkan tabiat si pemburu dengan gelagat kekuasaan zaman itu, perlakuan yang khas terhadap gaya alegori. Hanya saja, di luar teks, Navis sebagai pengarang juga ikut mengindikasikannya terang-benderang kepada Sukarno. Begitu juga, absennya penokohan, alur, dan dialog dalam cerpen/esai fiksi Angkatan 00 yang dipublikasikan tahun 1968[7] juga tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai kritik atas dominasi dan multifungsi militer semenjak awal berdirinya Orde Baru. Dengan penarasian cerita layaknya sebuah rancangan negara, cerpen ini menghadirkan gambaran tata kelola pemerintahan sebagai barang yang sudah jadi begitu saja. Kalaupun ada semacam kilas balik, itu tidak untuk menunjukkan adanya suatu proses, melainkan peneguhan atas keberterimaan barang jadi tersebut. Sejumlah karya lain yang bertendensi untuk menyerang tabiat feodal semacam itu, di antaranya, dapat kita baca dalam cerpen Tanpa Tembok (1963), Kucing (1990), Pelamar (1990), Pendekar dan Ayam Jago (2001), dan sejenisnya.
Namun begitu, serangan yang ditujukan pada kekuasaan jelas bukan satu-satunya arah satire Navis. Sebagaimana terdapat dalam cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati (1990), Orde Lama (1990), Sang Guru Juki (1990), Sepasang Jas dari Menteri (1990), Bayang-Bayang (1999), Kaos Kaki (2001), cerpen berjudul Politik Warung Kopi (1964) adalah contoh penting lainnya untuk menunjukkan bagaimana Navis menerapkan satire untuk menyasar pemerintah sekaligus masyarakat di daerahnya. Cerpen ini berisi tentang perdebatan para pelanggan sebuah lapau (warung kopi) perihal situasi politik Indonesia. Penokohan dalam cerita ini berfungsi ganda: sebagai cemooh atas versi bobrok dari budaya debat dalam masyarakat Minangkabau sekaligus sebagai alegori dari saling sikut partai-partai di Indonesia masa Orde Lama. Selain itu, yang tak kalah penting dilihat, cerpen Pak Menteri Mau Datang (1964). Karya ini jelas-jelas menertawakan mentalitas kultus individu yang dijalankan dalam suatu relasi kuasa antara pejabat pusat dan petinggi pegawai negeri sipil di daerah, yang menempatkan pegawai rendahan secara tragis sebagai pihak yang dipinggirkan dan tak dipedulikan. Secara karikatural mengolok-olok tabiat feodal dan jenis yang secara realistis menampilkan perubahan emosional tokoh-tokoh yang dipermainkan oleh kultur feodal tersebut. Repetisi yang dilakukan Navis dalam ucapan tokoh-tokoh soal kedatangan Pak Menteri tentu memperkuat model karikatural dari sosok pegawai negeri. Sementara itu, penggambaran sikap tokoh Pak Ayub, riuh-rendah suara hatinya, hingga kondisi tubuhnya di akhir cerita memberikan gambaran kontras dari model karikatural tersebut dan tentunya menghasilkan efek ironis yang kuat.
Tidak Cukup dengan Satire
Cerpen yang disebutkan terakhir, selain karena modus satirenya, sebenarnya juga menunjukkan aspirasi Navis dalam menulis cerita yang berwatak realis, khususnya melalui penggambaran tokoh Pak Ayub tersebut. Aspirasi semacam ini memang tidak terlalu sering diperhatikan dalam khazanah cerpen Navis, terlebih lagi karena label satiris ulung yang dilekatkan kepadanya seakan-seakan sebagian besar cerpennya, ataupun cerpen terbaiknya, hanya dari karya yang berwatak satire. Sebagai kesinambungan dari gerakan yang dilakukannya di lapangan budaya, ekonomi, dan politik, cerpen Navis tidak hanya berputar-putar dalam satu olok-olok ke olok-olok lain, tetapi juga mencoba mengajak publik untuk meningkatkan kepekaan terhadap benturan nilai-nilai kemanusiaan di kehidupan sehari-hari masyarakat.
Lebih terangnya, karya yang sezaman dengan Robohnya Surau Kami, seperti Pada Pembotakan Terakhir (1956), jelas menunjukkan praktik yang sama baiknya dari Navis akan realisme. Cerpen ini menghadirkan perubahan emosional tokoh aku, seorang bocah laki-laki yang menyaksikan teman seusianya, Maria, disiksa oleh Mak Pasah, bibi anak perempuan itu. Sebelum menyaksikan langsung, bocah itu sebelumnya nyaris setiap hari mendengar jeritan M aria minta ampun dan makian bibinya sambil menyiksa. Pertemuan bocah laki-laki dengan Maria sering terjadi ketika ibu si bocah setiap hari membeli kue yang dijajakan bocah perempuan itu. Kontras antara Maria di rumah dan luar rumah bersilang dengan kontras perlakuan si ibu terhadap jualan Mak Pasah sebelum dan setelah Maria meninggal, ditambah lagi kontras kehidupan Mak P asah yang dari pedagang kue ke pengusaha emas, memperdalam gejolak batin si bocah laki-laki ketika ia mengingat pengalaman masa kecil tersebut berpuluh tahun kemudian. Dalam cerpen ini Navis menyoroti semacam hubungan antara budaya dagang dan budaya kekerasan yang dimulai dari ranah domestik. Tanpa cemooh terhadap pemerintah atau masyarakat beserta budaya feodalnya, melalui gaya cerita seperti ini Navis tetap memberikan perhatian pada kasus kemanusiaan, dalam hal ini kekerasan dalam perekonomian, yang juga diprakti kkan kaum feodal dalam skala besar.
Cerpen lain yang berwatak realis sekitar itu, di antaranya, Anak Kebanggaan (1956), Datang Sepucuk Surat (1964), Tiada Membawa Nyawa (1981), dan Penolong (1992), Nora (1996), Dua Orang Sahabat (1999), Mak Pekok (2001) dan karya terakhir Navis, Persoalan Nurul (2002), dengan suatu dan lain cara juga menunjukkan aspirasi Navis untuk memperdalam kondisi kejiwaan tokoh-tokohnya ketika dihadapkan pada benturan nilai-nilai yang sama-sama dianggap baik atau sama-sama berterima oleh tokoh-tokohnya itu. Kalaupun ada nuansa satire, umumnya hanya sekilas dan tidak kentara dibanding upaya sang pengarang mengelaborasi dimensi psikologis lebih mendalam. Tentunya, sekalipun tidak bisa benar-benar dipisahkan, kita dapat menemukan semacam pola bahwa kadar penggunaan perangkat satire dalam cerpen Navis semakin kentara ketika ia memperkarakan mental feodal sebagai persoalan dalam ruang lingkup besar yang menyertakan negara dan masyarakat, sedangkan penggunaan perangkat realisme semakin kentara ketika ia membahas persoalan dalam ruang lingkup kecil dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan cara seperti itu, Navis sebenarnya sedang menunjukkan keterbatasan dari praktik cemooh dalam aktivismenya. Kapasitas humor yang dihadirkan karya-karya sejenis itu melalui modus pelebihan, karikatur, absurd, dan seterusnya, tentu saja, telah memudahkan pembaca untuk menangkap tabiat feodal pemerintah dan masyarakat kita. Dengan daya hiburnya yang juga kentara, perangkat satire telah membantu para pengarang untuk menghadirkan perkara serius, atau mungkin rumit, dengan cara santai lagi mengena. Bagaimanapun, sedikit-banyaknya, modus humor menambahkan semacam jarak emosional dengan mirisnya praktik feodal yang terjadi di lapangan. Dalam hal inilah, cerpen yang lebih banyak menerapkan sejumlah modus realisme mengisi keterbatasan yang dikandung perangkat satire tersebut.
Lewat penokohan yang lebih memampangkan naik-turun emosi tokoh, cerpen Navis yang berwatak realisme berupaya mendekatkan kita pada gejolak batin dari pribadi yang babak belur, baik oleh lingkungan feodal ataupun persoalan selain itu. Dan sebagai kesinambungan dari kerja-kerja di lapangan, cerita pendek Navis telah menjalankan tugas terbaiknya: proses membangun transformasi sosial tidak cukup hanya dengan melawan hal-hal besar. Membentangkan beragam kerumitan kecil yang tipikal di tengah masyarakat, yang jauh dari kesan perlawanan, juga tak kalah berguna. Barangkali itu salah satu cara Navis menjegal dirinya sendiri agar tidak tergoda mendaku sebagai pahlawan semua bangsa di Indonesia.
Navis Tidak Sendiri
Pada akhirnya, Navis telah menjalankan tanggung jawabnya untuk membangkitkan masyarakatnya, khususnya dari rumitnya trauma perang. Tidak mudah memperbaiki psikologi masyarakat yang luluh lantak, ditambah lagi perang yang nyatanya berakhir dengan pembantaian keji terhadap masyarakat sipil itu sudah diringkas Jenderal Ahmad Yani dengan sentimen etnis yang akut, yakni dengan mengatakan bahwa “orang Minang hanya pintar berdagang”.[8] Latar belakang Navis dari percampuran Jawa-Minangkabau membuatnya sudah terlatih hidup di tengah berbagai bangsa lain di Padang Panjang dan itu membekalinya untuk tidak mudah terbawa reaksi balik sentimen etnis yang sempat membayang setelah perang.
Kita tentu bersyukur bahwa Navis juga memberikan contoh baik lain, di antaranya, tetap bersikeras untuk tetap berteman dengan kelompok/afiliasi komunis (sebelum atau sesudah peristiwa 1965), meski itu membuat berbagai bentuk pledoinya tidak diacuhkan, bahkan ia tetap teguh hati ketika perkawanannya dengan Pramoedya Ananta Toer telah membuat HB Jassin risih dengannya. Namun, tentu saja Navis tak pernah lepas dari “kontradiksi” tertentu dan karena itu sejumlah kritik juga ditujukan kepadanya. Misalnya, kendala politik yang sering menghambat pemajuan kebudayaan akhirnya membuat Navis mencoba politik praktis tapi setelah satu dekade kemudian ia lebih tampak menyesali pilihan itu karena ketidakberdayaannya melawan kultur feodal dalam skena politik Indonesia. Para lawan politiknya sering menganggap penyesalan Navis sebagai “kekalahan”, tapi mereka lupa bahwa kalibut yang diciptakan Navis dalam feodalisme politik yang dimasukinya juga dapat dibaca sebagai “kemenangan.” Begitu juga, sikap keras Navis terhadap Jakarta sebagai pusat politik dan ekonomi bagi sejumlah pihak sering dianggap kontradiktif dengan “negosiasi” Navis terhadap Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Tak terelakkan, selain karena kerja kerasnya melatih kepengrajinan dalam menulis, Navis dibesarkan oleh media massa dan kantong-kantong budaya di Jakarta, sehingga ia mendapatkan akses yang luas untuk dikenal publik Indonesia. Tapi jangan dilupakan juga bahwa peredaran Navis di pusat kebudayaan di Jakarta berdampak pada upayanya membangun ekosistem kebudayaan di kampung halamannya sendiri, yang sebagian besar berhasil dan masih diwarisi sampai sekarang.
Menurut saya, dalam sejumlah contoh, ada sejumlah pilihan sikap Navis yang juga perlu didalami lagi secara kritis. Persetujuan Navis dengan kebangkitan gerakan Islam reformis membuatnya terlanjur menyudutkan kelompok Islam tradisional (khususnya kaum tarekat). Kekurangmampuannya mencari cara lain selain konfrontasi langsung dalam melawan perilaku nyata dari mental feodal telah membuat sejumlah kerja rintisannya tak sempat sampai di tujuan. Obsesinya untuk mendorong pembangunan masyarakat yang punya kreativitas dan daya tarung di sisi tertentu membuatnya tak bisa melunakkan sikapnya (atau menunjukkan perlakuan yang berbeda) dalam menghadapi generasi muda yang tampak lembek baginya. Begitu juga, sikapnya yang tegas memosisikan sastra sebagai bagian dari kerja aktivismenya di lapangan terkadang membuatnya tidak nyaman dengan tafsir yang terlalu jauh terhadap karyanya.
Jauh setelah era Navis, Sumatera Barat tetap tidak perlu merasa sebagai daerah paling menderita sehabis babak belur oleh peluru dari tentara. Meski tak bisa disamakan sepenuhnya, namun setelah perang PRRI itu, perang yang keji dari negara sendiri juga terjadi di Aceh, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor-Leste), dan Papua hingga kini, untuk menyebut beberapa contoh. Saya percaya, daerah-daerah yang merasakan sendiri betapa brutalnya peluru negara juga tak mudah lepas dari warisan traumatik hingga sekian generasi dan kata “daerah” tak hanya bermakna sebagai istilah administrasi. Bahkan bila ada yang menyebut “kedaerahan” sebagai istilah untuk sikap mengurung diri dari dunia luar (sebagaimana acap disematkan kepada Navis), itu bukan hanya sebuah stigma tetapi juga ketidakpekaan yang terang-benderang. Chauvinisme bukan penyakit endemik di daerah yang pernah diserang tentara dari segala sisi. Ia ada di bangsa mana pun.
Paling tidak, khazanah cerita pendek A.A. Navis merupakan contoh dari cara politis yang dilakukan “pengarang daerah” untuk menyuarakan kompleksitas “kedaerahannya” di bawah sekian rezim negara yang dikelola secara feodal dan penuh tembakan. Tentu Navis tidak sendiri. Ia bukan satu-satunya dan terakhir kalinya muncul sebagai “pengarang daerah” dalam arti yang politis seperti itu. Kini, tak hanya di Sumatera Barat, di tengah warisan sentralisasi yang tidak mudah diperbaiki dan semakin berkembangnya cara negara dalam menindas sekaligus membuat daerah-daerah tetap bergantung, istilah “politik kewilayahan” terdengar lebih positif dan kata “kedaerahan” lebih minim digunakan sebagai kategori politis, namun apa yang dilakukan Navis tetap dapat dilihat sebagai versi lama dari “politik kewilayahan” seperti yang kita kenal hari ini. Dengan ruang lingkup yang semakin beragam, visi yang tidak akan seiring semuanya, bahkan mungkin saling berbenturan, distribusi politik kewilayahan saat ini semakin tak terhindarkan. Semakin rumit agaknya. Dengan berbagai persoalan yang tak kunjung selesai, obsesi kita untuk memberikan solusi yang sepaket bagi semua bangsa di Indonesia mendapatkan tantangan yang semakin besar. []
Bahan Bacaan
Adilla, Ivan. A.A. Navis dalam Arena Kesusasteraan Indonesia. Universitas Gadjah Mada, 2015
Anderson, Benedict R. O’G. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Equinox Publishing, 2006.
Jones, Tod. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.
Kahin, Audrey. Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926–1998. Amsterdam University Press, 1999.
Navis, A.A. Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis. Kompas, 2024.
Navis, A.A. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam. Grasindo, 1996.
Sudarmoko. Literary Infrastructure in West Sumatra, Indonesia. Leiden University, 2021.
Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Gramedia Pustaka Utama, 1994.
[1] Jakarta tidak hanya sebagai pusat pemerintahan tetapi juga sebagai titik sentralisasi politik, ekonomi, hingga kebudayaan. Dalam hal kebudayaan, pidato Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, dalam pembukaan Festival Teater 1973 mencerminkan sentralisasi tersebut: “daerah adalah sumur yang harus kita gali, hasilnya kita bawa ke Jakarta.” Saya menyalin kutipan pidato tersebut dari arsip audio milik Dewan Kesenian Jakarta untuk keperluan diskusi “Arsip Teater Indonesia” dalam agenda Festival Teater Jakarta 2016 di Taman Ismail Marzuki, 21 November – 9 Desember 2016.
[2] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah (Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 135.
[3] Ibid., hlm. 5-6.
[4] Ibid., hlm. 83.
[5] Ibid., hlm. 191.
[6] Ibid.
[7] Dalam buku Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (Penerbit Buku Kompas, 2024), cerpen ini dimasukkan dalam kategori tahun 1990. Hal serupa juga terdapat dalam edisi cetakan pertama buku ini tahun 2005. Pada April 2020 lalu saya sempat mengulas cerpen ini berdasarkan versi majalah sastra Horison, No. 8, Tahun III, Agustus 1968.
[8] Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya (Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 122.

Heru Joni Putra
Heru Joni Putra merupakan penulis puisi, esai budaya, dan catatan seni rupa. Ia juga melibatkan diri dalam arena Sastra Minangkabau sebagai penulis serial cerita Cubadak Kantang. Ia pernah belajar di Jurusan Sastra Inggris, FIB, Universitas Andalas (Padang) dan Cultural Studies, FIB, Universitas Indonesia (Depok). Ia telah menerbitkan sejumlah buku, yaitu Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Puisi, 2017), Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (Kajian Memori Kolektif, 2020), dan Liburan Bersama Kambing (Puisi Anak, 2024). Saat ini sedang mempersiapkan buku puisi terbarunya, Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan.