Menyiasati Narasi
Dari Sergius Mencari Bacchus sampai Korpus Ovarium
Pembuka
Sayembara Manuskrip Puisi yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) baru berlangsung tiga kali, yakni tahun 2015, 2021, dan 2023. Sebagai suatu wadah, sayembara ini belum cukup panjang untuk menjadi rujukan perkembangan penciptaan puisi Indonesia. Meski begitu, Sayembara Manuskrip Puisi DKJ dapat dilihat sebagai titik potensial, di antara banyak titik lainnya, untuk menilik bagaimana dan ke arah mana evolusi puisi Indonesia bergerak.
Dibutuhkan kerja panjang, tekun, dan teliti untuk memetakan secara komprehensif evolusi puisi Indonesia dari masa ke masa. Salah satu kesulitannya adalah bagaimana melacak persebaran puisi, baik yang tersiar secara terpisah di media massa maupun yang sudah diterbitkan sebagai buku, di seluruh wilayah Indonesia tanpa terlalu merujuk ke nama-nama yang sudah relatif dikenal. Sayembara Manuskrip Puisi bisa menjadi modus pengarsipan yang pada saatnya akan diperlukan. Semua manuskrip yang masuk ke panitia; 570 (2015), 457 (2021), dan 431 (2023), adalah bahan-bahan penting. Bisa dibayangkan jika tidak ada wadah yang menampung manuskrip-manuskrip tersebut, dibutuhkan tambahan kerja yang lebih panjang untuk mengumpulkannya
Di sisi lain, pembicaraan mengenai puisi Indonesia mutakhir jarang dilakukan. Terutama apabila kita membandingkan jumlah pembicaraan itu dengan jumlah puisi yang terus ditulis dan jumlah buku puisi yang terus diproduksi. Kalau pun pembicaraan-pembicaraan itu bisa dibilang “banyak”, ia tersebar dalam acara-acara peluncuran atau diskusi terbatas, jurnal-jurnal akademik, atau dalam bentuk ulasan-ulasan pendek di media massa atau media sosial; suatu kenyataan yang serta merta akan menyebabkan ciutnya semangat apabila terbesit niat untuk mengumpulkannya.
Tanpa bermaksud mengulang-ulang keluhan tentang minimnya kritik sastra, pembicaraan puisi Indonesia mutakhir pada kenyataannya juga belum diselenggarakan secara khusus, misalnya melalui sayembara atau acara. Tahun lalu Komite Sastra DKJ menyelenggarakan Sayembara Kritik Sastra yang khusus membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar. Tentu saja membicarakan (kembali) puisi-puisi dari sosok yang sudah dianggap sebagai penyair induk ini bukan hal yang tidak perlu. Apalagi pembicaraan kembali itu terkait dengan suatu momentum perayaan. Akan tetapi, pembicaraan perihal Chairil Anwar dan puisi-puisinya sudah berlangsung sejak dulu; bahkan mungkin sudah tidak terhitung lagi berapa banyak tulisan mengenai Chairil Anwar. Karena itu, pembicaraan terhadap puisi-puisi Indonesia mutakhir diperlukan, sebagaimana pembicaraan perihal puisi-puisi Indonesia di setiap masa, sebagai kerja lanjutan untuk menerangi jalan pelacakan evolusi puisi Indonesia. Rasanya bukan hal yang terlampau khayali apabila kita membayangkan adanya perhimpunan peneliti yang mengupayakan semacam “taksonomi” bagi puisi Indonesia.
Tidak semua manuskrip yang menjadi pemenang Sayembara Manuskrip Puisi DKJ. maupun yang menarik perhatian juri, kemudian diproduksi sebagai buku sehingga bisa diakses publik pembaca. Satu pemenang, ditambah satu manuskrip yang menarik perhatian juri, dari sayembara 2021 belum dibukukan, yaitu Sehimpun Nasihat Masuk Hutan karya Fariq Alfaruqi dan Jauh dari Newton, Mengakses Duka Anne Sexton karya Erni Aladjai. Adapun manuskrip para pemenang maupun yang menarik perhatian juri dari sayembara 2023 tentu masih membutuhkan waktu untuk diterbitkan sebagai buku.
Sergius Mencari Bacchus
Norman Erikson Pasaribu mula-mula dikenal sebagai pengarang cerpen. Buku kumpulan cerpennya Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu (Gramedia, 2014) cukup mendapat perhatian. Karena itu, mungkin, sedikit mengejutkan ketika Norman diumumkan sebagai Pemenang I Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015 melalui manuskripnya Sergius Mencari Bacchus yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, April 2016.
Puisi-puisi Norman dekat dengan bentuk prosa; ia bertumpu pada nalar logis yang menghubungkan satu baris dengan baris lainnya. Rata-rata baris-baris itu koheren; menyusun fragmen peristiwa, atau situasi-situasi tertentu, yang berpusat pada keadaan mental tokoh-tokohnya. Hadirnya para tokoh mempererat kedekatan puisi dengan prosa. Sebagian puisinya bahkan membentuk cerita, selain perenungan tersembunyi, atau analog-analog antara dua hal yang tampak tidak berhubungan.
Karena kedekatan dengan bentuk prosa, suara dalam puisi-puisi Norman pun disampaikan oleh narator, sebagaimana di dalam fiksi. Meskipun tidak di semua puisi, rata-rata narator ciptaan Norman bersifat impersonal. Ia absen sebagai pribadi, atau melesap dalam pribadi yang lain, sehingga bisa leluasa melihat ke segala bagian. Melalui tokoh-tokoh orang kedua, atau orang ketiga, sang narator menyiasati narasi menjadi puisi. Dalam hal ini puisi dimunculkan oleh “ke-akan-an”, oleh rahasia; oleh ketidakmutlakan.
Waktunya membuat surat pengunduran diri
yang dulu sekali kau ingin tulis. Waktunya
memperlihatkan amplop-amplop dari bank. Waktunya
menceritakan segalanya kepada istrimu. Waktunya
mengakui tak pernah ada rapat yang menguras semangatmu.
….
Waktunya menceritakan yang habis dalam gelap—
menunjukkan apa yang tersisa.
(“Puisi”)
Pengulangan kata “waktunya” memberi tekanan untuk bersegera. Narator memberitahu kita apa yang waktunya dilakukan, tapi sampai di ujung, di mana hal-hal yang semula jelas berubah menjadi samar dan tidak mudah diurai (yang habis dalam gelap), sang subjek tetap berada dalam “ke-akan-an”.
“Puisi” berisi momen seorang suami yang ingin mengaku kepada istrinya bahwa ia punya rahasia. Sang suami, sebagai subjek utama puisi, terhubung dengan istrinya dan rahasia itu. Akan tetapi istrinya dan rahasia itu tidak terhubungkan. Hubungan akan terjadi apabila sang suami sudah menceritakan semuanya. Namun, seperti disebutkan tadi, ia selalu berada dalam “ke-akan-an”, sehingga garis yang bakal melengkapi suatu hubungan segitiga mengalami penundaan.
Situasi serupa terbaca dalam puisi “Ia dan Pohon”:
Siang itu ia meminta maaf kepada satu-satunya pohon
di tepi lahan parkir kantornya, yang memayungi mobilnya
dari terik.
…
Pohon itu meratap, teringat dengan kawannya
yang dicabut dari tanah ketika mereka kanak-kanak,
…
Pohon itu menyesali tak sempatnya ia mengatakan
ia mencintai kawannya itu; ia ingin membawa kawannya itu
ke gereja, dan di depan altar mereka bisa dipersatukan di
hadapan tuhan yang bercabang tiga—seperti pohon—
…
Pria itu pun memeluk pohon itu
dan pohon itu memeluknya.
Tidak ada baris yang menghubungkan secara langsung si pria dengan kawan masa kanak sang pohon, tapi baris-baris akhir puisi ini menampakkan kilas yang menghubungkan (nasib) keduanya.
Hal serupa juga ada dalam puisi “Tentang Kue Panekuk Ibu” yang nyaris seperti cerita mini:
Ibu meninggal ketika sedang memasak panekuk untuk mereka. Ia dan adik
Perempuannya menemukan ibu mereka tergeletak di dapur.
…
Ia dan adik perempuannya menangis
sepanjang pagi di rumah sakit. Ketika mereka tiba kembali di rumah, ia
menemukan adik bungsunya, yang pagi tadi masih tidur, di meja makan. Dia
baru saja melahap seluruh panekuk setengah-jadi bikinan Ibu. “Itu hukuman
kalian karena jalan-jalan tanpa mengajakku,” katanya. “Di mana Ibu? Kalian
makan es krim ya?”
Pada absennya kenyataan perihal kawan masa kanak sang pohon di benak sang pria; pada absennya kenyataan perihal meninggalnya sang ibu di benak si adik bungsu, terletak “puisi”; suatu “rahasia”, atau momen mekarnya rahasia yang bisa demikian singkat, tapi karena ia tertahan di momen itu, ia jadi abadi; “detik sekaligus keabadian” dalam kata-kata Sitor, atau “sesaat adalah abadi” dalam kata-kata Sapardi.
Menunda, menyembunyikan, atau mencekal garis ketiga, ialah strategi Norman dalam menyiasati narasi. Ketika menggunakan narator personal (aku) Norman kadang-kadang membiarkan naratornya mencekal garis ketiga itu secara terang-terangan melalui tindak pengibulan.
Lelaki itu tak akan pernah sampai
kepada tujuannya, gunung
di mana kau hidup
sendirian,
menantiku pulang.
Telah kuberikan arah yang salah,
supaya kami kembali
dapat bertemu.
(“Catatan,33”)
Hubungan antara orang ketiga (lelaki itu) dan orang kedua (kau) dicekal oleh narator (aku) dengan cara sengaja menunjukkan arah yang salah. Narator terhubung dengan orang kedua dan orang ketiga. Namun, orang kedua dan orang ketiga tidak terhubungkan, meski kehadiran orang ketiga di dalam puisi itu adalah untuk mencari orang kedua.
Kadang-kadang narator personal (aku) menyamar jadi impersonal, seperti tampak dalam puisi “Cinta”:
Ketika hujan datang
dan ia sedang di rumah
ia naik, dan memasuki kamar ini
untuk memastikan tak ada
rembesan pada langit-langit.
Kata “ini” menunjukkan adanya orang pertama (yang implisit), yang terhubung dengan kamar, sebagaimana orang ketiga (ia) yang memasuki kamar. Kamar terhubung dengan keduanya. Namun, hubungan antara keduanya tidak ditampakkan. Bisa jadi, aku tidak lain adalah ia.
Dalam banyak puisinya Norman meletakkan setidaknya tiga subjek yang mencari satu sama lain untuk membentuk hubungan segitiga. Namun, hubungan itu tidak pernah sungguh-sungguh terbentuk di dalam puisi, meski hubungan itu bisa membayang jelas dalam benak pembaca. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika “3 (tiga)” menjadi kode penting dan kerap berulang, langsung atau tidak, dalam puisi-puisi Norman, sebagaimana yang juga tampak dari jumlah puisi (33) dalam kumpulan Sergius Mencari Bacchus ini.
Ada satu puisi yang menunjukkan eksperimen Norman terhadap “tiga”:
Inferno
Apakah yang kau cari di tempat gelap ini
Selain air mata dan kertak gigi,
Kau datang dengan wajah tanpa pengalaman—
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan padamu
Kau muncul sambil memanggil, Virgil! Virgil!
Kau sedang berada tepat di tengah hidupmu,
Tersesat dalam kemudaanmu, kau pun ingin
Mencari jalan menuju tua. Kau ingin
Tiba di usia di mana dunia tak lagi misterius:
(1)tak lagi perlu seseorang memahamimu,
Karena kau telah memahami dirimu sendiri
(2)tak lagi mendamba dicintai
Karena kau telah mencintai dirimu sendiri
Kau ingin berhenti menggapai-gapai,
Tak lagi tersedak air kehidupan
Dan hidup biasa saja, toh hidup tak abadi,
Kau paham puisi hanya bagus di dalam buku
Dan surga yang dibicarakan itu, Ada
di puisi lain yang tak membicarakanmu.
“Inferno” ialah satu puisi yang juga adalah tiga puisi. Kolom pertama adalah puisi pertama; kolom kedua adalah puisi kedua. Ujung kedua puisi itu berkait, titik simpulnya terletak di sekitar kata “Ada”, sehingga membentuk puisi ketiga, yakni gabungan puisi pertama dan puisi kedua. Puisi pertama berbeda dari puisi kedua. Dalam puisi pertama yang tampak adalah subjek aktif dan terkesan optimistik, sementara pada puisi kedua yang tampak adalah subjek pasif dan terkesan pesimistik. Frasa-frasa dari puisi pertama dan kedua saling berpunggungan: kau cari–ditemukan padamu; kau datang—kau sedang berada; memahami dirimu sendiri—seseorang memahamimu; mencintai dirimu sendiri—mendamba dicintai. Di baris-baris awal, yakni ketika kedua puisi belum tiba pada titik simpulnya, pemaknaan cenderung terang. Namun, menjelang dan setelah titik simpul, pemaknaan mulai samar: Kau paham puisi hanya bagus di dalam buku/Dan surga yang dibicarakan itu, Ada/di puisi lain yang tak membicarakanmu. Model komposisi seperti itu seperti mengalirkan narasi (yang cenderung jelas) ke arah puisi (yang cenderung samar). Model seperti itu juga terbaca dalam puisi “Puisi” yang, setelah baris-baris naratif yang jelas, diakhiri dengan baris-baris: Waktunya menceritakan yang habis dalam gelap—/menunjukkan apa yang tersisa; atau dalam puisi “Merebus Mie Instan di Ujung Pelangi” yang berakhir dengan dua baris kembar: Dan kasih adalah Cahaya/Dan Kasih adalah cahaya; atau dalam puisi “Selagi Ia Menulis Puisi Ini” yang dirampungkan dengan baris: Aku bisa mati, dan hidup tanpa siapa pun.
Norman bermain-main dengan narasi sebagai modus puisi-puisinya; dari narasi cerita sampai narasi iklan, dari narasi kitab suci sampai narasi ilmiah. Narasi diperlukan sebab puisi-puisinya berpusat, atau hendak berpusat, pada situasi mental tokoh-tokohnya. Akan tetapi, situasi mental itu kemudian disamarkan, sehingga lebih dekat dengan puisi. Artinya, narasi dalam teks Norman berupaya keras memusat pada puisi yang selalu berkelit dari kemutlakan. Apabila narasi itu genap, perlu ditambahkan satu hal lagi agar ia menjadi ganjil. Kadang satu hal itu cuma baris ringkas tapi langsung mengubah suatu tatanan narasi yang sudah umum. Misalnya baris: Dan seseorang yang lain, seperti lelaki itu, pun jadi, dalam puisi “Teman Jiwa”. Bagaikan lubang di dasar bak mandi yang menarik air keluar menuju ruang yang lebih luas, baris itu memusarkan seluruh narasi penciptaan manusia pertama di dalam kitab suci menjadi tema khusus; tema yang menjadi basis puisi-puisi Norman.
Karena puisi-puisi Norman berpusat pada situasi mental tokoh-tokohnya, spektrum psikologis menjadi demikian kentara: Coba kau rasakan apa yang kurasakan setiap harinya.//Dan tunjukkan aku cara menjadi ceria (“Tentang Perempuan yang Kau Tinggalkan”). Di tengah arus narasi, kesamaran puisi, dan spektrum psikologis itu hal-hal yang terkait dengan kehidupan modern kota serta produk budaya populer (kantor, mobil, taksi, gin, tonik, ponsel, Hello Kitty, psikiater, kos, restoran, kafe, klinik gigi, minimarket, dan sebagainya) melingkupi tindakan para tokoh; memberi ruang sosiologis kepada tema; menjadikan Sergius Mencari Bacchus himpunan puisi yang memendarkan kemurungan, kesedihan, serta kehilangan “orang kota” yang tak terelakkan, tapi sekaligus juga keceriaan dan harapan yang samar-samar.
Ibu Mendulang Anak Berlari
Sebagaimana Norman, Cyntha Hariadi juga belum dikenal dalam khazanah puisi Indonesia ketika namanya diumumkan sebagai Pemenang III Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015 melalui manuskrip Ibu Mendulang Anak Berlari. Bahkan, tidak seperti Norman yang sebelumnya telah menerbitkan buku kumpulan cerpen, buku puisi Ibu Mendulang Anak Berlari (Gramedia Pustaka Utama, April 2016) adalah buku pertama Cyntha.
Puisi-puisi Cyntha Hariadi disusun melalui sekuen-sekuen yang pada sejumlah puisi bersilang dan berseling antara tindakan satu subjek dengan subjek lainnya:
Ingat ayah mengambil dayung dan mendorong sampan,
ibu membuka kancing dan menetekimu?
Ingat ayah memangkas ladang untuk rumah baru kita,
ibu menggendong sampai kau tertidur?
(“Jarak”)
Anak melihat bola-bola dan balon-balon di toko mainan
ibu mengamati berbagai rupa biskuit Itali di balik kaca
Anak menonton mobil dan sepeda yang berseliweran di jalan
ibu membaca sebuah pengumuman tentang karnaval
(“Jalan-Jalan”)
Cara itu membentuk jalinan teks yang rapat; kadang sangat rapat seakan acuh pada struktur sintaksis, membuat struktur itu terkesan sumbang:
Musim dingin di pipimu
tumbuh apel dan bibirmu basah kepingin.
Terbungkus jaket tebal engkau melesat seperti kijang
kijang kau menjadi setiap habis berenang.
(“Penggoda”)
Kerap kali subjek cuma disiratkan; atau pronomina berganti dan berakibat pada bergantinya komunikan, misalnya subjek “aku” yang semula berbicara kepada “kau” tiba-tiba, di bait yang sama, berganti menjadi subjek “kami” yang berbicara kepada komunikan lain:
Kau menempelkan satu telunjuk di bibirmu
aku mengangguk dan mengambil tanganmu
pintu terbuka, kami melebur putih
cuma hidung telinga merah semakin jauh kami mengembara.
(“Putih”)
Komposisi yang disusun Cyntha membuat baris-baris puisinya bergerak zigzag melintasi adegan yang bersilang-seling. Namun, itu tidak membuat puisinya rumit, justru memberi kesan lugu, selugu anak manusia baru pertama memakai bahasa. Keluguan itu menjadi teknis sebab ia berfungsi untuk menyiasati narasi supaya puisi tidak menjadi prosa, tidak menjadi percakapan biasa.
Dalam kasus puisi-puisi Cyntha narasi bisa menggoda sebab Cyntha menyodorkan tema sehari-hari, yang personal, dan meletakkannya pada latar serta motif sehari-hari pula. Secara umum tema puisi-puisi Cyntha adalah hubungan kasih sayang ibu-anak. Akan tetapi, tema tersebut menjadi berbeda sebab kehadiran kata-kata yang membawa kesan kekerasan, kesakitan, atau derita (bengkak, kelu, ludahi, lebam, megap-megap, meraung, kutuk, dihimpit, mendidih, mengubur, bergemuruh, bolong, buas, sihir, menggulung, kupas, gigit, berontak, dibekuk, menjerit, meronta, patah, kaku, lengkingan, memaki, menyembelih, mencekik, membekap, dan seterusnya). Kata-kata itu seperti tidak semestinya ada di sana, sebab tema hubungan kasih sayang ibu-anak cenderung melahirkan ode; syair pujian. Apa boleh buat, “ibu” adalah kata yang telanjur berkembang sebagai konsep dan kian meninggalkan pengertiannya sebagai pribadi. Menulis tentang ibu berarti menulis tentang sosok yang hanya memberi tak harap kembali, seakan-akan sosok itu sudah menanggalkan seluruh aspek manusiawinya dan menjelma menjadi santa suci yang tidak tersentuh derita.
Dalam puisi-puisi Cyntha kita bisa melihat kata “ibu” dengan dua pengertian. Pertama, dalam pengertian harfiah, yakni sebutan untuk perempuan yang mengandung dan melahirkan anaknya. Kedua, dalam pengertian metaforis, yang kerap disandingkan dengan kata-kata lain sehingga menjadi istilah tersendiri: ibu pertiwi, misalnya. Pengertian yang kedua ini apabila dilekatkan pada sosok pribadi seorang ibu, yakni ia yang mengandung dan melahirkan anaknya, akan membawa serta sifat-sifat dari metafora tersebut. Sifat-sifat yang cenderung mengarah pada keagungan atau kesucian, sekaligus menghilangkan aspek pribadinya.
Cyntha berupaya untuk tidak membicarakan ibu yang seperti itu. Ia membicarakan ibu sebagai pribadi, dengan pengalaman-pengalamannya sendiri. Pilihan itu membuat kata-kata yang membawa kesan kekerasan, kesakitan, dan derita itu menghindar dari bayangan bahwa di balik hadirnya kata-kata tersebut ada penindasan, penguasaan, pemanfaatan, atau manipulasi, sebab sang pribadi memang tidak mengalaminya:
Subyek
Bagaimana aku bisa menuduhmu
menguasaiku,
mengendalikanku,
memanfaatkanku,
memanipulasiku,
menindasku,
mengangkangiku,
menjajahku,
mengurungku,
mengolok-olokku,
merendahkanku,
mempermainkanku,
kalau aku tak henti menciumi kakimu?
Dalam puisi “Menghangatkanmu”, ada bait-bait seperti ini:
Cepat kuambil winter coat
kucekal kau dan kujepit lagi.
Sumpah serapah adalah lagu penyatuan dua sisi resleting
yang terus terpeleset ketika tubuhmu meronta
seakan aku hendak menyembelihmu.
Shawl kulilitkan
hei, kau sangka aku hendak mencekikmu?
topi wool kutarik sampai menutup telinga
diam, bukan mau membekapmu!
Sosok ibu yang bersuara dalam puisi di atas tampaknya jauh dari kesan ibu yang berlimpah kasih. Kata-kata yang digunakannya (kucekal, kujepit, sumpah serapah, menyembelihmu, mencekikmu, membekapmu) menyiratkan kekejaman. Namun, kekejaman itu sirna sebab kita tahu sang ibu sedang memasangkan pakaian ke tubuh anaknya, bukan hendak menyiksanya.
Dalam puisi “Anak Perempuan” dan “Kelahiran”, Cyntha memainkan kata “beranak” dan “melahirkan”, dan dengan begitu juga kata “ibu”:
Aku berhenti menyiram
aku ludahi kepala ibuku
sampai aku beranak
dan tak ingin jadi ibu.
(“Anak Perempuan”)
Ibuku melahirkanku
sebagai seorang anak
anakku melahirkanku
sebagai seorang ibu.
(“Kelahiran”)
Bagaimana seorang yang beranak tak ingin jadi ibu? Bagaimana seorang anak bisa melahirkan ibunya? Dalam puisi “Anak Perempuan”, digunakan kata “beranak” yang identik, atau berasosiasi, dengan aspek fisik, artinya aspek alamiah. “Beranak” telah membuat sang subjek menjadi ibu dalam pengertian harfiah, dan ia menolak menjadi ibu dalam pengertian yang lain. Sementara kata “melahirkanku”, dalam puisi “Kelahiran”, diletakkan dalam dua pengertian. Kata “melahirkanku” yang pertama (Ibuku melahirkanku/sebagai seorang anak) meletakkan kata “ibu” dalam pengertian harfiah, sebab seorang ibu memang melahirkan anak. Namun, kata “melahirkanku” yang kedua (anakku melahirkanku/sebagai seorang ibu) tidak memberi pengertian harfiah pada kata “ibu”, sebab seorang anak tidak mungkin melahirkan ibunya. Bisa disimpulkan kata “ibu” tersebut merujuk pada pengertian yang lain; sebagai simbol, atau gelar.
Dalam pengertian sebagai simbol, kita sering mendengar ungkapan “surga ada di telapak kaki ibu”. Ungkapan tersebut menyebabkan kata “ibu” jadi berkesan suci dan agung, sekaligus memberi beban kepadanya. Dalam puisi “Surga”, subjek ibu menolak ungkapan tersebut sekaligus menyuarakan pendapatnya sendiri:
Anakku perempuan
dengarlah Ibu
tidak ada surga di telapak kakiku
juga di telapak kakimu
surga tidak hidup di telapak kaki siapa pun
Upaya membicarakan ibu dalam pengertian harfiah menimbulkan keadaan tertentu yang kian membuat nyaring diksi-diksi yang membawa kesan kekerasan, kesakitan, dan derita tadi. Setiap kali diksi-diksi semacam itu hadir, kesan ibu yang suci dan agung dapat diredam. Sebaliknya, meski membawa kesan kekerasan, kesakitan, dan derita, diksi-diksi tersebut diletakkan bukan untuk membicarakan hal-hal semacam itu. Justru ia adalah bagian dari ungkapan kasih sayang seorang ibu yang alami dan wajar, tanpa beban moral dan harapan akan empati dan simpati.
Lebih jauh lagi keadaan semacam itu muncul melalui beragam variasi peristiwa untuk menunjukkan perkembangan hubungan ibu-anak:
kau telan putingku
sungai pun mengalir
tanah menggeliat
angin bergemuruh
aku pun bangun
bertanya-tanya siapa kau dan aku
(“Terbangun”)
Lihat sendok ini Sayang
berenang seperti kecubung ke arahmu
Lihat kuali ini
melindungimu dari serangan senjata musuh
Lihat kolong meja ini
persembunyian kita dari binatang buas
Lihat karpet ini
menerbangkan kita ke negeri berlangit emas
(“Layar Lebar”)
Enam buah koper
satu ayah, satu ibu, satu bayi
kami satu hati kecuali si bayi
(“Pesawat Terbang”)
Mari kutunjukkan salju padamu
Januari baru saja melemparkan dadu
….
Kau kugendong
Menolak berjalan di salju
….
Kain gendong melorot
Kau terus melihat ke bawah
topi rajut berpom-pom merah muda mengangguk-angguk
memperhatikan salju dan
mendengarkannya bercerita
tentang musim dingin pertama di dunia
(“Januari”)
Dalam “Terbangun”—setelah penggambaran yang meleburkan kengerian dan ketakjuban dalam peristiwa melahirkan— subjek-aku bertanya-tanya siapa kau dan aku. Untuk apa ia bertanya-tanya? Bukankah sudah jelas aku adalah ibu, dan kau adalah anak? Persoalannya mungkin terletak pada model hubungan ibu-anak itu. Apakah itu hubungan suci dan agung yang bersamanya mesti ditambahkan pengabdian dan cinta kasih tidak terbatas, atau hubungan yang wajar dan alami sebagaimana pengertian harfiah ibu dan anak? Sementara dalam “Pesawat Terbang” sang ibu tahu bahwa ia berbeda dengan si bayi (kami satu hati kecuali si bayi). Tentu saja mereka tidak satu hati sebab sang ibu adalah manusia dewasa sementara seorang bayi belum mengerti apa-apa. Apabila ibu dalam puisi “Surga” menolak ungkapan “surga ada di telapak kaki ibu”, yang merupakan ungkapan metaforis dan karena itu bersifat imajinatif, ibu dalam puisi “Layar Lebar” justru mendesakkan imajinasi: karpet ini/menerbangkan kita ke negeri berlangit emas. Kedua ungkapan itu memang memiliki konteksnya masing-masing, tapi kita bisa melihat hal yang jelas dari keduanya: ungkapan pertama, yakni “surga ada di telapak kaki ibu”, sudah menjadi ungkapan umum, sedangkan ungkapan kedua diciptakan sendiri. Tampaknya sang ibu hendak berpesan bahwa ungkapan pribadi, yang diciptakan sendiri, lebih mustahak ketimbang ungkapan umum.
Dalam “Januari” apa yang dipesankan sang ibu itu menemukan kenyataan lain. Ketika sang ibu berkata Mari kutunjukkan salju padamu, sang anak menolak berjalan di salju. Mungkin kalau sang ibu berkata bahwa salju menerbangkan kita ke negeri berlangit emas, sebagaimana yang dikatakannya tentang karpet dalam puisi “Layar Lebar”, sang anak akan langsung melompat dengan riang. Akan tetapi, salju adalah salju, dan sang anak ragu-ragu menerimanya. Ia menolak berjalan di salju tapi terus melihat ke bawah sembari memperhatikan salju yang bukan sekadar salju, melainkan salju yang bisa bercerita/tentang musim dingin pertama di dunia.
Dalam perkembangannya, pengalaman-pengalaman tersebut mengantar kepada hubungan ibu-anak yang seimbang:
Kataku, kata-kataku buruk karena perilakumu buruk
katamu, kau tidak tahu, seharusnya aku lebih tahu.
Kalau aku tak pernah menyakitimu, kau tak belajar, kataku
kau tak belajar kalau kau selalu menyakitiku, katamu.
(“Katamu Kataku”)
Percuma aku menjelaskan diri
mengingkari dan meminta maaf
karena apa bedanya manusia dan binatang, tanyamu
kau tak bisa hidup tanpa keduanya.
(“Dua Aku”)
Model komposisi puisi-puisi Cyntha sebetulnya juga memperlihatkan situasi semacam itu; situasi yang hendak mencapai keseimbangan, yang pada ukuran tertentu tampak ironis. Meskipun suara dalam puisi-puisi Cyntha berasal dari subjek dewasa, yakni seorang ibu, tapi strukturnya memberi kesan selugu kanak-kanak yang baru belajar memakai bahasa; semacam ini budi/ ini ibu budi. Dengan komposisi seperti itu Cyntha menyiasati narasi dalam tema hubungan kasih sayang ibu-anak sehingga tidak jatuh menjadi sekadar “curahan hati” sepihak saja.
Kawitan
Sementara itu sikap empati dan simpati tampaknya punya tempat khusus dalam puisi-puisi Ni Made Purnama Sari. Berbeda dengan Norman dan Cyntha, Purnama sudah dikenal sebagai penyair sebelum manuskrip puisinya, Kawitan, diumumkan sebagai Pemenang II Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015. Purnama telah menyiarkan puisi-puisinya sejak ia masih remaja, dan semua puisi dalam Kawitan termasuk di antaranya. Kawitan diterbitkan sebagai buku oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2016.
Puisi-puisi Purnama menyediakan kalangan untuk laporan pandangan mata, objek-objek kecil, situasi tempat, profil-profil manusia, serta subjek-aku yang kerap bertanya-tanya. Semua itu saling memantulkan melalui pola komposisi yang membentuk susunan teks serupa jaring; memberi posisi setimbang bagi segala sesuatu sebagai pembentuk dunia, yang pada saatnya menimbulkan kesadaran sang subjek perihal keberadaan dirinya:
Baru saja sebutir kedelai
meluncur bergulingan
Sebelum roda seorang tukang becak
Menggilasnya pecah berserak
Becak tua langganan pedagang pasar lama
Kelupas catnya tersebab basuhan hujan garam
….
Tapi inilah cilame sekarang:
Sisa aroma kecap kedelai hitam
Yang meresap ke celah dinding
Menyusup hingga masa depan
Tak seorang pun kuasa mengingatnya
(“Jalan Cilame”)
Bahkan sebelum sempat menyentuh cecap bibir ini
es krim leleh dalam sebuah sendok perak
Tak jauh dari sini, seorang penyanyi jalanan
melantunkan lagu-lagu riang
….
Begitulah si papa ini
diri yang asing di sebuah kota yang asing:
Berhampa dalam tanya:
Bagaimana jadinya
bila nyanyian berakhir,
bila es krim ini telah sungguh leleh cair?
(“Veteran Satu”)
Dalam puisi-puisi Purnama kita dapat membaca bagaimana pengamatan bergerak dan berpindah dari sorot dekat ke sorot jauh; menempatkan sebutir kedelai, kelupas cat, nanas, dan sisa aroma kecap ke dalam satu bingkai bersama tukang becak, pedagang pasar lama, wisatawan, atau wartawan amatir. Atau membiarkan es krim dan suara penyanyi jalanan berpantulan melalui subjek-aku yang pancarannya kemudian meluas menjadi tinjauan perihal sebuah kota dengan alir sungai dan si miskin serta pernyataan dan pertanyaan akan keberadaan diri.
Subjek-aku dalam puisi-puisi Ni Made Purnama Sari tampaknya tidak enak hati menjadikan dirinya pusat; atau apabila ia tidak terhindarkan menjadi pusat, ia adalah pusat prismatis, di mana setiap hal yang melewatinya akan memancar menjadi keadaan-keadaan tersendiri, meski keadaan-keadaan itu tidak bisa dilepaskan dari sang subjek. Pada titik tertentu, keadaan itu mengantar ke situasi timbal balik antara sifat soliter dan sikap solider; kesan soliter dari hal-hal sepele (sebutir kedelai atau es krim) bertimbal balik dengan profil-profil manusia yang kepadanya terpancar solidaritas sosial. Persilangan pikiran dan perasaan subjek-aku dengan kenyataan sosial yang diamatinya melahirkan semacam “lirisisme sosial”.
Puisi-puisi semisal “Doa Natal Keluarga Poyk”, “Paskah di Benhil”, “Padalarang”, “Pemandangan Luar Kamar”, atau “Agustus di Lebanon” yang cenderung padat dengan sikap solider saling memantulkan dengan puisi-puisi seperti “Lantai Atas Stasiun Gambir”, “Bayam Pasar Banjaran”, “Ikan Asin Pasar Lama”, “De Wallen”, “Lanskap Pagi”, atau “Armenia” yang padat dengan situasi soliter. Saling memantulkan artinya di dalam yang satu membayang yang lain.
Ada satu bait dalam puisi “Ruang Empat Belas” yang menjelaskan motif munculnya situasi seperti itu:
Bila aku naik ke lantai dua gedung ini
duduk di satu bangku kelas
bisakah kutulis sajak tentang dunia?
Meski pertanyaan itu memberi kesan ragu-ragu, upaya menulis dunia dalam situasi soliter itu telah menjadi siasat puisi-puisi dalam Kawitan. Pada tahap berikutnya, pertanyaan itu memantik variasi komposisi sebagai pendekatan terhadap situasi tersebut.
Memang, dalam puisi “Doa Natal Keluarga Poyk” atau “Paskah di Benhil”, subjek-aku cenderung membatasi keberadaannya dan membiarkan situasi dunia, yang mengundang solidaritas, memenuhi kalangan. Sementara dalam puisi “Lantai Atas Stasiun Gambir” atau “Lanskap Pagi” pikiran dan perasaan subjek-aku melingkupi segala sesuatu dalam nuansa murung. Akan tetapi, dalam puisi “Jalan Cilame” atau “Cikoko Stasiun Cawang” kedua situasi itu saling memantulkan:
Gerimis yang malu-malu
menari bersama sepasang laba-laba
melompat dari jendela kereta
mempermainkan maut
dalam bayang pandang seorang lelaki buta
yang termangu di depan pintu
Keping koinku berdenting
meluncur ke kaleng using
tengadah separuh hampa
…
Andai bisa kuberi ia sedikit cahaya
agar terlihat diriku, sama-sama pendatang asing
yang menatap sunyi dirinya
Agar kami bercakap bagai dua kawan lama:
Dua kanak bahagia
yang ingin mempermainkan hidup
(“Cikoko Stasiun Cawang”)
Diksi gerimis, sepasang laba-laba, kereta, koin, kaleng usang, dirajut untuk membuka jalan bagi munculnya lelaki buta, sosok yang menjadi motif untuk tumbuhnya sikap solider; di mana empati dan simpati teralamatkan. Supaya solidaritas itu kian menemukan alasannya, digunakanlah modus “dua kawan lama” yang memberi asosiasi senasib-sepenanggungan. Modus tersebut kembali digunakan dalam puisi “Lewat Rotterdam Tengah Malam” atau “Aku dan Jiwaku”:
Lewat Rotterdam tengah malam
Kukira Hatta bersamaku di kereta
Bagai dua siswa sekolah mula
Tempuh ujian akhir
(“Lewat Rotterdam Tengah Malam”)
Aku dan jiwaku
Berbaring berdampingan
Kami telanjang
bagai dua kanak remaja
Kami saling menatap
seolah lama tak berjumpa
(“Aku dan Jiwaku”)
Upaya menyusupkan sikap solider di dalam situasi soliter kadang-kadang juga dilakukan dengan personifikasi, misalnya dalam puisi “Ikan Asin Pasar Lama” dan “De Wallen” yang bisa disebut balada kecil perihal ikan asin dan buah beri hijau:
Bening pandangmu
meredup sayup perlahan
lelah tengadah menunggu pembeli datang
(“Ikan Asin Pasar Lama”)
Aku bertumbuh di tanah ini—tak mengakar
paman moyang suriname
ibu bumi dari hindia
membudak hidup sampai mati
(“De Wallen”)
Kedua puisi di atas menunjukkan bahwa solidaritas dalam puisi-puisi Purnama bukan cuma diperuntukkan bagi manusia melainkan juga untuk bentuk-bentuk hayati lainnya. Hal yang sama terbaca juga dalam puisi “Kasuari”, “Matoa”, atau “Borneo”. Dan solidaritas untuk semua itu muncul karena situasi soliter yang dipancarkan oleh bentuk-bentuk hayati tersebut, yang sebetulnya memantul kembali ke diri subjek-aku;
Seekor kasuari mengembara
pada tenun yang belum selesai disusun
Ruhnya piatu, bagai menyusur rimba raya
(“Kasuari”)
Kubayangkan matoa yang ini
Terusir dari tanah leluhur
Cuma berkawan membagi hidup
Bersama segugusan pakis dan rumput
(“Matoa”)
Pada sebuah majalah wisata
Di ketinggian langit pesawat
Kupandangi wajah murung seekor orangutan
…
Bila kusentuh bayang air itu
Kembali ia memantulkan malam semata
Hingga muncul lagi wajah orangutan
Penuh kasihan pada diriku
(“Borneo”)
Perkara sifat soliter dan sikap solider itu tampaknya juga menjadi pertanyaan mendasar terkait hubungan penyair dengan puisi; bahwa kerja kepenyairan adalah kerja pribadi tidak membuat apa yang dihasilkannya pun mesti berkisar pada persoalan-persoalan pribadi belaka. Subjek-aku dalam puisi Purnama menginginkan kerja kepenyairan juga menghasilkan puisi yang mengandung tanggapan sosial, sebagai ekspresi solidaritas terhadap sesama:
Aku bisa lampaui ketakterdugaan itu
Hidupku, orang sekitarku, tak pernah bisa kukira:
Di terminal pagi hari aku berjejal bersama para pencuri
yang rupa dan namanya tak pernah kusadari
mereka mencopet, memaki, sembunyi
tanpa pernah kusadari
…
Apakah bahagianya jadi penyair
oh, Whitman, Rumi, Khayyam, Pas, Mistral?
Dua taman, anggur, bayang bulan gurun. Bersemilah
Tapi puisi, tak kumau hanya igaukan diri sendiri
(“Perpustakaan Kampus”)
Puisi “Perpustakaan Kampus” seperti tanggapan bagi pertanyaan dalam puisi “Ruang Empat Belas” tadi. Untuk apa puisi seharusnya ditulis, sebagai ekspresi pribadi atau ungkapan solidaritas, memang kerap menjadi perdebatan. Purnama merajut benda-benda kecil, situasi tempat, profil-profil manusia, serta aneka bentuk hayati, dan membuat semuanya saling memantulkan supaya puisi tidak hanya igaukan diri sendiri; supaya dari situasi soliter, solidaritas terhadap manusia dan alam tetap bisa terpancarkan.
Sapi dan Hantu
Apabila puisi-puisi Ni Made Purnama Sari menampilkan subjek-aku yang tampak moderat, puisi-puisi Dadang Ari Murtono tidak ragu-ragu mengabsenkan subjek-aku dan membiarkan narator-puisi menyampaikan peristiwa demi peristiwa yang memancing solidaritas dengan cara membunyikan mite dan sinkretisme seraya memperluasnya dengan masalah-masalah faktual.
Sebagaimana Purnama, Dadang juga sudah dikenal sebagai penyair, juga pengarang, sebelum manuskripnya, Sapi dan Hantu, diumumkan sebagai Pemenang III Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2021. Sapi dan Hantu kemudian diterbitkan oleh Pelangi Sastra pada 2022.
Dalam soal menyiasati narasi, Dadang terbilang tidak banyak menggunakan perangkat puitika; ia cenderung mempertahankan narasi, dalam hal ini cerita, sehingga sebagian besar puisinya bisa kita anggap sebagai cerita mini, atau kerangka suatu cerita. Puisi-puisinya relatif mudah dicerna; apa yang diperlukan adalah mencari hubungan kausal antara satu bagian dan bagian lainnya; baik itu berupa hubungan peristiwa atau hubungan gagasan.
Sapi dan Hantu kuat dalam konsep. Sebagaimana judulnya, buku puisi ini dibagi ke dalam dua bagian. Meski bermotif solidaritas, ada terendus niat untuk menghindari manusia dalam konsep tersebut; mendorong manusia ke pinggir dan membiarkan entitas lainnya menjadi pusat. Masyarakat manusia dalam puisi-puisi Dadang cuma berisi horor, kekerasan, dan kekejaman. Hal itu bahkan berlaku bagi makhluk mitologis:
patung sapi sumberan
ia percaya sedang tidur lelap dan mengalami mimpi
buruk panjang: tubuhnya beku dalam
balutan semen, bocah-bocah menunggang punggung
sambil memukul-mukul kepalanya, remaja tanggung
mabuk dan berlagak memerah susunya,
dan orang-orang tak jelas pada satu kala
memotong ekor dan kupingnya
ia yakin, pagi akan tiba dan ia bakal terbangun
sebagai diri sejatinya: nandini nan suci
Sapi-sapi Dadang adalah sapi-sapi yang malang; yang menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor; yang mati pelan-pelan, dalam kesakitan yang lepas dari batas pembayangan; yang gemar membayangkan (atau mengenangkan) bahwa di suatu masa yang lain mereka pernah menjadi makhluk suci. Kepada sapi-sapi itu solidaritas puisi-puisi Dadang dipusatkan. Namun, karena tidak sedikit manusia yang bernasib serupa dengan sapi-sapi tersebut, sejumlah manusia pun kena imbas solidaritas. Begitulah, meski tampak berupaya mendorong manusia ke pinggir kalangan, puisi-puisi Dadang tetap tidak tega menyingkirkan semua manusia. Ia mengumpulkan manusia-manusia terpilih, dengan landasan seberapa dekat nasibnya dengan sapi-sapi yang malang itu. Maka terlihat sejumlah kesamaan antara sapi dan manusia, terutama pada bagaimana harapan-harapan mereka putus dan pupus oleh manusia-manusia lainnya.
hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa
di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara
dan menyetarakannya dengan para brahmana
sebelum pada abad kesembilanbelas, orang-orang amerika
membersihkan punggungnya dari segala
yang kudus,
(“sejumlah sapi di kandang ganjaran, 1/brahman”)
burok itu datang pada suatu sore dengan bokong
belepotan tai kering di atas pikep bak terbuka
…
“itu hanya sapi,” kata orang-orang
“ia memakai topeng,” jawab mupit,
“perhatikan wajahnya, dan hanya wajahnya, yang putih
teduh, dan badannya merah berkilau belaka”
(“sejumlah sapi di kandang ganjaran, 2/simental”)
Sapi dan mupit sama-sama berangan-angan perihal sesuatu yang ajaib; bahwa kenyataan cuma mimpi buruk panjang, cuma topeng bagi surga yang nyata, bagi keagungan dan suka cita. Kelak segalanya akan tersingkap; sapi akan kembali ke masa di mana ia dipuja-puja, dan mupit akan memperoleh tunggangan menuju surga. Akan tetapi, semua itu cuma khayalan belaka; sapi disembelih di musim haji, dan mupit mati bunuh diri.
Kadang-kadang, dalam satu puisi, Dadang langsung menyilang nasib sapi dan nasib manusia:
“ia akan merasa di rumah sendiri,” jawab si anak ‒masih tiga sd
yang tadi pagi telah melihat foto dinding gua lascaux di buku
pengayaan, lalu ia lari dari sekolah sambil berteriak
“aku tahu sekarang, bapak,” napasnya tersengal dan si bapak
memberinya segelas air, “aku tahu kenapa sapi kita yang besar
dan coklat dan penuh otot itu seperti sedih dan gampang masuk angin”
“sebab ia kesepian dan kangen rumahnya,”
…
malam itu di kelonan si bapak, si anak bertanya,
“apakah ibu di arab sana juga sedih dan gampang
masuk angin?”
(“sejumlah sapi di kandang ganjaran, 3/limosin”)
Melalui sikap empati kepada sapi puisi-puisi Dadang mengirim pesan simpati kepada manusia-manusia kampung yang menjadi korban problem-problem kultural, sejarah, sosial, agama, lingkungan, serta absennya negara dalam menanggulangi problem-problem tersebut. Puisi “matahari bersalin di kandang ganjaran” dengan baik menggunakan bendera sebagai metafora untuk negara yang menyaksikan bencana di bawahnya,/orang-orang panik di bawahnya, kematian sia-sia di bawahnya,/ tanpa bisa berbuat apa-apa/masih saja berkibar/seolah semua baik-baik belaka.
Pada bagian kedua, Dadang berhenti mengurusi sapi dan beralih memilih sejumlah sosok yang kemudian dibunyikan kembali sebagai hantu. Kata “hantu” di sini tidak selalu merujuk pada entitas gaib yang menyeramkan; hantu lebih mengarah pada mereka yang dianggap asing, berbeda, dan berlawanan dengan perilaku umum. Memang masih ada sosok seperti mbah kajeng yang menunggu kekasihnya sampai ia berubah jadi beringin; buaya putih yang diyakini orang-orang sebagai malaikat kaum penganggur; macan putih yang berdiam dalam senjata pendekar durjana; seorang yang berubah jadi ikan atau celeng; dan sebagainya. Namun, ada juga mbok yah yang datang dengan menyeret tubuh kaku suaminya; cak ut si ahli daging yang dipercaya orang memiliki mata tambahan di kedua telapak tangannya; pak meng yang mengerti bahasa buah-buah; margono yang dipecat dari pabrik tisu, berkali-kali mencoba bunuh diri, dan berakhir sebagai pengemis; kasi dan sarjono yang dituduh pki; serta sejumlah perempuan yang dianggap iblis atau wewe gombel.
Di bagian kedua ini kenaratifan puisi Dadang kian tegas. Puisi-puisinya bahkan mempertahankan struktur dramatik cerita, dari konklusi, konflik, sampai resolusi. Dadang seperti menyunting sebuah cerita, menyingkirkan ornamen-ornamennya, mengeluarkan isinya, dan menjahitnya kembali menjadi puisi. Nasib malang sosok-sosok yang dipilihnya pun kian terang. Puisi-puisi Dadang seperti hendak menyimpulkan bahwa kian tegas narasi kian jelas nasib malang orang-orang, dan kian pantas pula solidaritas ditujukan kepadanya.
Nasib malang sosok-sosok di bagian kedua ini sebetulnya serupa dengan nasib malang sosok-sosok di bagian pertama. Hanya saja di bagian kedua ini latar peristiwa lebih gawat; kekejaman manusia atas manusia lainnya yang terkait dengan isu-isu besar dalam sejarah kita: komunisme, petrus, kapitalisme, puritanisme agama, dan sebagainya. Terhadap keadaan itu, masyarakat (sering diwakilkan dengan sebutan “orang-orang”), termasuk narator puisi, menyusupkan kepercayaan gaib sebagai tebusan bagi rasa ngeri saat menghadapi apa-apa yang asing, berbeda, atau berlawanan dengan perilaku umum tersebut. Kata “hantu” kemudian mewakili semua itu.
Sebagaimana dalam puisi-puisi Ni Made Purnama Sari, kesadaran akan peran puisi terhadap semua itu juga ditampakkan oleh Dadang:
tak ada yang memakan bangkainya, namun
seorang penyair telah menyadap kisahnya,
dan dalam puisi ia hidup lebih lama meski ia tak
pernah menyadarinya
(“dung kayangan”)
Sosok-sosok yang dipilih Dadang memang adalah sosok-sosok yang malang, baik itu sapi ataupun manusia. Mereka mati atau hidup sengsara. Akan tetapi, puisi telah “menghidupkan” kematian dan kesengsaraan sosok-sosok tersebut, dan di dalam puisi kematian menjadi berbeda:
kematian memberinya suara yang lebih
panjang, kata yang lebih lengkap, dan hidup yang
lebih kekal..
(“hantu kasidan”)
Korpus Ovarium
Berbeda dari puisi-puisi Dadang yang banyak berurusan dengan kematian, puisi-puisi Royyan Julian, sebaliknya, banyak berurusan dengan kelahiran.
Di antara para pemenang utama Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015 dan 2021, cuma manuskrip Royyan, Korpus Ovarium, yang terdiri atas hanya tiga puisi. Manuskrip Royyan juga satu-satunya manuskrip yang bersumber dari “semangat akademik”; hasil residensinya selama sebulan (Oktober-November 2019) di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dengan kata lain manuskrip ini adalah hasil riset.
Royyan Julian sendiri sudah dikenal sebagai penyair, penulis fiksi dan esai. Ia telah meraih banyak prestasi dan penghargaan sebelum Korpus Ovarium diumumkan sebagai Pemenang II Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2021. Korpus Ovarium kemudian diterbitkan oleh Penerbit Julang pada Juni 2022. Bersama dengan buku tersebut ditambahkan juga sebuah buku tipis, Melawat Mollo Melawat Pah Meto, yang berisi laporan perjalanan Royyan selama mengikuti residensi yang disponsori Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Dari buku tipis tersebut latar belakang manuskrip Korpus Ovarium dapat ditelusuri.
Tiga puisi dalam Korpus Ovarium memang rimbun rujukan; baik rujukan kosmologis maupun historis. Selain itu, istilah-istilah atau kutipan-kutipan dari bahasa lokal juga banyak digunakan. Walaupun arti dari istilah atau kutipan itu muncul juga di dalam tubuh puisi, sehingga kita tidak buta dalam pemaknaan, tetap saja hal itu mengganggu pembacaan. Untungnya, Royyan cukup cekatan; ia merakit puisinya dengan teliti; menggerakkan tiap-tiap baris dari satu pemahaman ke pemahaman lainnya sehingga membentuk komposisi yang merangkum seluruh aras yang menjadi sumber rujukannya.
Sebagaimana Dadang, Royyan juga mempertahankan narasi cerita. Hal itu, misalnya, bisa dibaca dari kata-kata seperti “maka”, “kini”, atau “sejak itu” yang menandakan adanya struktur dramatik. Bahkan, pada dasarnya Royyan hampir selalu menggunakan kalimat naratif yang dipotong-potong sehingga membentuk baris-baris ringkas. Sebagaimana Dadang pula, Royyan mengabsenkan subjek-aku dan memberi tempat bagi subjek komunal untuk bersuara melalui suatu visi perihal alam dan manusia. Ia meminjam figur-figur faktual maupun mitis yang secara bergantian hadir menyusun aras peristiwa.
Puisi “Ritus Aborsi” disusun dalam beberapa tingkat peristiwa yang perpindahannya tidak selalu punya tanda jelas. Meski begitu, di tiap tingkat terdapat topik, serta sosok, yang berbeda, meski semuanya terhubung oleh sarwa yang melingkupinya. Di tingkat pertama, ada Mollo, si adik bungsu yang rahimnya adalah hutan terlarang/ tempat leluhur disemayamkan, tapi oleh orang-orang asing disebut puan mandul/ yang tak kuasa/ menetaskan nyawa.
Maka perempuan itu menjerit
ketika pokok-pokok dibabat
dan pohon-pohon gaib
melepaskan arwah para pitarah
yang bersembunyi
di balik daun-daun.
…
Sejak itu
orang-orang asing
menggoresi suf,
menyapih tanah leluhur
dari bapa-mama,
Di tingkat kedua kita bertemu Bapa Yapson Ola:
Lelaki itu tahu
Uis Maka’, dewi kami
yang bersemayam
di seikat jagung
memanggil-manggil
hasil panen
yang tak pernah dituai.
…
Dada Bapa Yapson nyeri
oleh pertikaian warga
dan orang-orang asing
yang kembali berdenging
di telinganya.
Di tingkat ketiga kita bersua Odham Oematan, sang penguasa hutan, dalam ritus panen madu; menanti lebah-lebah madu yang disebut fetonay, sang perempuan agung:
Tetapi tiga purnama
telah menjauh di punggung lelaki itu
dan tak satu pun fetonay
memancar dari segala cakrawala.
Di tingkat keempat kita bersua Nona Harlenci Tampani yang mendapat bisik wahyu ketika ia gemetar dan takjub melihat air meluap-luap dari cabang cendana:
Dan dari lidah gadis itu
kata-kata meluncur
dalam keheningan yang melata
di sekujur raga gunung:
“Tulangku batu,
kulitku hutan
darahku air,
dagingku tanah.”
Di tingkat kelima kita bersua Nona Deci Nifu yang mendeklarasikan sumpah setia kepada Dewi Bumi, serta Mama Aleta Baun yang singgah dari/ dukuh ke dukuh/lembah ke lembah/malam ke malam:
hanya untuk menyampaikan
berita duka tentang
sekarat gunung batu
yang melenyapkan
nama-nama marga;
…
Maka di punggung bukit-bukit
berbulan-bulan para perempuan
menenun sambil menyanyikan
himne nenek moyang
untuk menghalau gergasi
yang mengeruk dan membongkar
rahim Ibu.
Dan di tingkat terakhir kita menemukan seorang pendeta yang berkhotbah:
“Kita hanya menjual
apa yang bisa kita buat
dan tak menjual
apa yang tak bisa kita buat.”
Dari aras-aras itu terbaca struktur peristiwa: upaya penghancuran alam oleh orang-orang asing, perlawanan terhadapnya, dan dipungkasi upaya pemurnian kembali alam tersebut. Kata kunci pemurnian itu paralel dengan pilihan Royyan terhadap diksi-diksi yang digunakannya; hutan, leluhur, jampi, batu, gua, arwah, pitarah, mahoni, gemilina, jangat bentala, kasuari, lembu, alang-alang, roh, mambang, ubi, batang noba, kulit cemara, serat nila, kayu ampupu, jagung, cendana, dahan bonak dan lete, dan sebagainya. Diksi-diksi semacam itu terus menerus muncul menimbulkan efek rimbun; menjaga resonansi kosmologis yang bersumber dari alam tetap bertahan sebagai inti tema.
Pola bertingkat digunakan lagi dalam puisi selanjutnya, “Bedah Sesar”. Puisi ini merakit latar peristiwa 65 dengan spektrum isu komunisme, khususnya Gerwani; peristiwa kelaparan akibat langkanya bahan pokok; serta determinasi agama terhadap kepercayaan setempat. Royyan menghubungkan latar tempat, Kota SoE, dengan topik yang dibicarakan melalui metamorfosis kebangkitan:
Kota SoE, Sayang,
kota yang kita cintai
bangkit sebagai perempuan
dengan punggung
berlubang-lubang.
Dari kata kunci “perempuan” kita dibawa ke tingkat berikutnya; situasi di sekitar petaka 65:
Di 65 yang suram, Sayang,
para perempuan itu
dijejalkan di tangsi
tanpa memahami dosa apa
yang mereka pintal.
Sementara dari kata kunci “lubang” kita dibawa ke tingkat selanjutnya dan bertemu dengan Nona Marselina dan Mama Bifemnasi:
Sementara di Kampung Aman, Sayang,
Nona Marselina melihat kaki Tuhan
melawat SoE dan mukjizat turun
dari munajatnya yang lugu.
Pada pukul Sembilan pagi
langit terbelah
dan di awang-awang
Tuhan berlambung bolong
menyerahkan cawan kepadanya.
…
Namun, dalam mimpi Mama Bifemnasi,
air liang itu bukan anggur,
melainkan darah yang meluap-luap,
Kata-kata seperti “lubang”, “bolong”, “liang”, yang bersumber dari para perempuan—jelmaan Kota SoE, Nona Marselina, dan Mama Bifemnasi—memusar di sekitar tema utama, yakni petaka 65.
Pada tingkat berikutnya situasi itu melahirkan konflik baru; anggur, atau darah yang meluap-luap, adalah juga “lubang” yang mengarah ke ruang kekerasan baru; kekerasan yang serupa dengan sebelumnya, tapi berbeda motif:
“Bencana kota ini
adalah hukuman Tuhan
kepada rakyat yang menolak
bersimpuh di bawah
Tiang Induk Rumah Allah.
…
Kota ini, wahai orang-orang fasik,
adalah Sodom dan Gomora
yang dijungkirbalikkan
karena maksiat dan makar.
Jangan berpaling
ke masa lalu, Anak-Anakku,
ke agama nenek moyang
yang menyimpang,
sebab sang Badai Api
akan membekukmu
menjadi pilar garam!”
Di tingkat terakhir muncul semacam resolusi atas konflik ketika Tuhan yang lain,/Tuhan orang-orang asing itu,/Tuhan yang juga pernah didera derita/merentangkan telapak tangan berongga/lalu berkata-kata kepada Efraim Tulaka://“Masuklah ke dalam luka-Ku.”
“Masuklah ke dalam luka-Ku” adalah tindakan politis tuhan; bahwa Ia dan manusia sama nasib sama penanggungan (Bukankah luka-Ku/lukamu juga?). Maka, di akhir, kita bertemu Mama Anita Besi yang mendaku: “Hayatku telah terang,” saat temukung membawa/perak dan muti/agar ia kembali/ke Atukus ma Anonot,/sang penuntun ke titian bayan.
Sejak itu, Sayang,
Besimnasi, dewa bajul kita,
tak lagi terpatri di tenun
Mama Anita dan para perempuan
yang menyatakan cinta
kepada Ia yang diurapi.
Struktur peristiwa yang terbaca dari tingkatan-tingkatan tersebut memperlihatkan bagaimana latar politik (petaka 65) dan efek sampingnya (kelaparan) menjadi modus bagi upaya pergeseran atau perubahan keyakinan di dalam kehidupan masyarakat.
Puisi ketiga, “Parabel Kelahiran”, tak lagi menggunakan pola bertingkat. Sebagaimana puisi “Teman Jiwa” dari Norman Erikson Pasaribu, puisi ini adalah variasi dari kisah penciptaan manusia pertama. Royyan merakit narasi dari agama besar itu dengan narasi dari kepercayaan lokal. Tiap unit “Parabel Kelahiran” dipenuhi kata-kata yang berkesan garib, purwa, dan kudus, menimbulkan citra adiluhung sebuah semesta yang tak berada di mana-mana:
Dan di pusat mandala taman
yang hanya dihampari rumput katai,
Bifel mendengar kerisik
dari satu-satunya pokok
yang menghunjam angkasa:
pohon kasuari.
…
Lalu keduanya saling memakan
buah yang melekat di raga,
di rimba yang tak pernah
dijejaki terompah Ilahi,
alas lengas dan sarat cendawan,
vegetasi hijau dan pahit,
pohon yang mendesah,
serta hewan buas yang mengerang.
Meski model komposisi yang digunakan Royyan biasa saja dalam penulisan puisi naratif, tiga puisi dalam Korpus Ovarium setidaknya memperlihatkan upaya Royyan menyiasati beragam narasi yang diperolehnya dari riset. Puisi-puisinya menjaga jarak dari teks-hasil-riset yang cenderung mentah, kaku, dan formal. Pakaian akademik, dengan bahan data dan fakta, dilepaskan, sehingga Korpus Ovarium tampil sebagai korpus puisi yang diciptakan dari (semata) kata-kata, meski kata-kata tak pernah bisa melepaskan diri dari data dan fakta yang menjadi sumbernya.
Penutup
Perlu disampaikan di sini bahwa Sayembara Manuskrip Puisi DKJ hanya salah satu indikator penilaian puisi Indonesia. Peran sayembara yang lebih penting justru adalah sebagai sarana pencatatan atau pemetaan nama dan karya para penyair generasi terbaru, meski tidak tertutup kemungkinan beberapa nama yang sudah cukup dikenal turut serta mengirimkan manuskripnya.
Meski begitu, kelima buku puisi di atas sedikit banyak telah menerakan titik-titik baru dalam peta evolusi puisi Indonesia. Dari kelimanya kita melihat sejumlah topik atau modus yang berulang. Topik petaka 65, determinasi agama, perusakan lingkungan, perisakan, atau posisi kaum perempuan, beririsan dengan modus peminjaman narasi-narasi besar, terutama narasi dari agama atau kitab suci. Semuanya barangkali bisa dilihat sebagai gejala partisipasi (atau terseretnya?) puisi ke isu-isu populis, atau memang begitulah “jiwa zaman” yang hidup sekarang.
Kelak, jika perhimpunan peneliti yang mengupayakan semacam “taksonomi” bagi puisi Indonesia sudah terbentuk—sampai di sini rasa-rasanya bayangan itu memang terlampau khayali—kita dapat melihat di mana posisi puisi-puisi dari kelima buku di atas dalam evolusi puisi Indonesia.*
Kiki Sulistyo
Kiki Sulistyo, menulis puisi, fiksi pendek, dan beragam esai. Ia telah meraih sejumlah penghargaan; Kusala Sastra Khatulistiwa (2017), Buku Puisi Terbaik TEMPO (2018 & 2021), serta Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (2023).