Berkawan dengan Setan
Mengaji Pertanyaan-pertanyaan Teodisi dalam Tiga Kitab
Ah, tuanku, jika Tuhan menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata: Bukankah Tuhan telah menuntut kita keluar dari Mesir? Tetapi sekarang Tuhan membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian (Hakim-Hakim 6:13)
Dibuka dengan “Genesis” dan ditutup dengan “Nubuat”, buku kumpulan puisi Tiga Kitab karya Soe Tjen Marching tampak dengan sengaja dan terbuka menunjukkan intertekstualitasnya yang kuat dengan Alkitab yang diawali dengan “Kejadian” dan diakhiri dengan “Wahyu”.
Pembacaan sekilas atas gaya tutur puisi-puisi dalam Tiga Kitab yang sinis dan satir bisa menjebak pembaca pada kesimpulan yang simplistik, yakni bahwa karya tersebut menolak mentah-mentah narasi ketuhanan dan kenabian yang tertuang Alkitab–membuatnya rentan untuk dibaca sebagai karya yang menantang agama dalam logika keimanan. Sementara itu, pembacaan yang lebih kritis akan membawa pada pemaknaan yang lebih dalam, yakni dialektika tentang justifikasi Tuhan atau ketuhanan dalam konteks kejahatan, atau yang dikenal sebagai teodisi. Dialektika tersebut diformulasikan dalam Tiga Kitab melalui konstruksi aku-lirik yang mengutarakan pertanyaan-pertanyaan fundamental terkait kebajikan dan kejahatan (virtue dan evil).
“Teodisi” pertama kali dicetuskan oleh Gottfried Leibniz melalui tulisannya Essais de Théodicée sur la bonté de Dieu, la liberté de l’homme e l’origine du mal yang pertama kali diterbitkan pada 1710. Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana Tuhan yang mahabaik, mahakuasa, dan mahatahu dapat mengizinkan kejahatan terjadi di dunia dapat ditelusuri kemunculannya sampai ke Epicurus yang mendasarkan pemikirannya pada gagasan silogistik bahwa “jika Tuhan yang mahakuasa ada, maka kejahatan tidak ada; tetapi jika kejahatan ada, maka Tuhan yang mahakuasa tidak ada.” Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat Hakim-Hakim yang saya nukil sebagai pembuka tulisan ini, Alkitab pun sebenarnya sudah mengandung narasi teodisi yang kemudian digunakan sebagai landasan ajaran keagamaan dalam menjustifikasi sifat ilahiah Tuhan. Sementara itu, Leibniz beranggapan kejahatan di dunia tidak berkonflik dengan kebajikan Tuhan, dan terlepas dari semua kejahatan yang ada, dunia ini adalah versi dunia terbaik yang mungkin terjadi.
Problematisasi tersebut kemudian juga menjadi narasi yang diangkat dalam karya-karya sastra. Semisal Fyodor Dostoyevsky yang menghadirkan pertanyaan teodisi dalam Brothers Kamarazov melalui tokoh Ivan Kamarazov yang secara terbuka menolak sifat-sifat keutamaan Tuhan karena mendapati sejarah peradaban manusia yang diwarnai dengan kesengsaraan yang harus dihadapi anak-anak sebagai hal yang absurd. Keputusan Ivan untuk menjadi seorang ateis di tengah lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan gereja menunjukkan kecenderungan teks untuk menghadirkan narasi teodisi dengan mengedepankan gagasan individual free will dalam menentukan kepercayaan yang dianut. Tulisan lain yang menghadirkan narasi teodisi secara cukup gamblang adalah De Pest karya Albert Camus melalui pertanyaan terkait eksistensi Tuhan di tengah bencana wabah yang menewaskan banyak orang–senada dengan narasi teodisi yang dihadirkan dalam ayat Hakim-Hakim dengan Gideon sebagai subjek penanya. Kecenderungan serupa saya temukan jejaknya dalam Tiga Kitab melalui konstruksi aku-liris dalam berbagai wujud yang terus mempertanyakan eksistensi dan sifat keilahian Tuhan.
“Genesis” sebagai puisi pembuka menunjukkan permainan pada konstruksi aku-lirik di tengah balutan alusi Alkitab yang kuat dengan menghadirkan ‘aku’ dari sudut pandang orang pertama dan memosisikan Tuhan sebagai lawan bicara dari ‘aku’–bandingkan dengan kitab Kejadian yang menuturkan narasi dan menggambarkan Tuhan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Strategi tersebut dalam konteks teodisi dapat dibaca sebagai upaya menelanjangi sifat kemahatahuan Tuhan yang dikonstruksikan dalam kitab suci. Untuk memahami subjek yang berbicara dalam puisi “Genesis”, pembaca paling tidak perlu memiliki pengetahuan mendasar tentang narasi penciptaan yang terdapat dalam kitab suci agama Abrahami untuk memahami siapa aku-lirik yang tersirat dalam “pohon/ di taman itu/ peninggalanku”, “aku/ tak punya pilihan/ selain menumbuhkan/ pohon pengetahuan”, dan “bukankah aku/ tidak lebih lemah/ dari yang ia sembah”. Elemen-elemen seperti “taman” dan “pohon pengetahuan” menghadirkan alusi dengan penceritaan tentang Taman Eden dan kejatuhan manusia ke bumi yang terdapat dalam Kejadian 2–3. Namun, “Genesis” tidak berhenti pada alusi. Puisi tersebut bermain-main dengan vokalisator melalui penghadiran subjek ‘aku’ yang sebelumnya tidak ada dalam Alkitab, yakni setan. Tokoh setan sebagai vokalisator menghadirkan pertanyaan-pertanyaan teodisi yang memproblematisasi sosok Tuhan sebagai yang mahakuasa dalam narasi penciptaan manusia serta bumi dan seisinya; ia menggugat perannya yang cenderung disingkirkan dalam Alkitab.
Kecenderungan untuk menghadirkan aku-lirik dari tokoh yang tidak memiliki subjektivitas dalam sumber alusi berlanjut pada enam puisi berikutnya yang mengisi bagian pertama dari Tiga Kitab, Benih Pohon Khuldi.
Puisi “Saat”, “Kurban Kurban”, “Sang Kurban”, “Dalam Amanat”, “Sang Istri”, dan “Saudaraku” mengandung alusi perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya sebagai kurban persembahan yang tertuang dalam kisah Pengikatan Ishak di Alkitab (Kejadian 22: 2–8) dan kisah asal usul Idul Adha di Al-Qur’an (As-Saffat: 102–103). Dalam kedua kitab suci tersebut, Tuhan yang dihadirkan dengan sudut pandang orang ketiga diceritakan memberikan perintah kepada Abraham/Ibrahim untuk menjadikan salah satu dari putranya–Ishak dalam Alkitab dan Ismail dalam Al-Qur’an–untuk menjadi persembahan, sehingga vokalisasi diperankan oleh penulis kitab. Sementara itu, puisi “Saat” sampai “Sang Istri” memunculkan sosok ibu yang kehilangan anaknya sebagai subjek aku-lirik, sekali lagi penceritaan yang tidak terdapat dalam narasi kitab suci. Meski menggunakan sudut pandang pertama tunggal, saya berasumsi subjek dalam kelima puisi tersebut mewakili dua perempuan yang melahirkan sepasang saudara laki-laki Ismail dan Ishak, yakni Sarah dan Hajar–keduanya tidak diberi panggung sebagai subjek dalam kitab suci.
Tidak hanya menghadirkannya sebagai subjek, kelima puisi tersebut juga menyematkan identitas profetik bagi Sarah dan Hajar yang dalam narasi kitab suci terbatas dimiliki oleh nabi laki-laki. Hal tersebut ditunjukkan melalui “namun/ kilau pisau/ yang mencicipi/ leher sang putra/ luka abadi/ bermetamorfosa/ iman/ senantiasa/ menancap/ berabad-abad selanjutnya”, serta “maka tak seorang pun tahu mengapa/ kelak waktu melintasi kejadian itu/ kau selalu tergugu/ yang diajak ke bukit dulu/ –Ismail atau Ishak?–” dalam puisi “Kurban-Kurban” dan “namamu/ bahan perdebatan/ berabad kemudian” dalam “Sang Kurban” yang menunjukkan kemampuan mereka dalam menerka situasi masa depan yang terjadi di luar karya.
Selain suara perempuan, salah satu puisi dalam Tiga Kitab yang menarasikan kisah Ismail-Ishak juga menghadirkan suara anak-anak yang langka ditemukan dalam kitab suci agama Abrahami. Meski ditulis dengan gaya jenaka, puisi “Saudaraku” memproblematisasi gagasan Tuhan mahabaik melalui pertanyaan-pertanyaan seperti “saudaraku/ siapa yang sebenarnya meringkik di bukit?/ kita tak pernah sudi membahas/ walau terkencing setiap mendengar bapa/ mengasah pisau/ jangan-jangan ia dapat wangsit lagi/ untuk memutilasi anak sendiri/.
Keenam puisi dalam Tiga Kitab yang menarasikan penyembelihan Ismail atau Ishak menggugat sifat-sifat keutamaan dan kemahaan Tuhan. Kata-kata seperti “Yang Maha satu-satunya”, “Yang Kuasa”, “Yang Esa”, “Yang Maha Kuasa”, “sang Maha”, “Yang Maha Karya”, “Yang Maha Tinggi”, diutarakan dalam puisi-puisi tersebut dengan nada yang sinis–sebagai justifikasi moral atas kepantasan Tuhan untuk memberikan perintah yang tidak manusiawi, alih-alih sebagai pujian. Namun, gugatan-gugatan tersebut sesungguhnya belum mengindikasikan agensi para subjek aku-lirik. Agensi yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan subjek untuk membebaskan diri dari kekuatan besar yang dipertanyakannya. Hal tersebut baru ditunjukkan pada puisi terakhir yang menutup kitab Benih Pohon Khuldi, yakni “Dari Gurun Midian”.
Puisi “Dari Gurun Midian” sekilas menunjukkan upaya yang sama dengan “Saat”, “Kurban Kurban”, “Sang Kurban”, “Dalam Amanat”, dan “Sang Istri”, yakni menghadirkan subjek aku-lirik perempuan yang suaranya tidak dimunculkan dalam kitab suci, kali ini melalui karakter Ratu Vashti. Cerita tentang Ratu Vashti–atau Wasti dalam terjemahan bahasa Indonesia–merupakan narasi pokok dari Kitab Ester yang termasuk dalam Perjanjian Lama, tetapi tidak dibahas dalam Al-Qur’an. Ratu Vashti digambarkan dalam Alkitab sebagai sosok perempuan yang diusir dari istana setelah menolak perintah suaminya, Raja Ahasyweros, untuk menampilkan kecantikannya di hadapan para tamu saat pesta. Sementara itu, dalam ajaran Kristiani, ia sering dijadikan contoh gambaran perempuan yang tidak pantas dijadikan panutan karena sifatnya yang memberontak, tidak sesuai dengan kebiasaan dan tata krama orang Persia–sebagaimana dijelaskan dalam Ester 1:16–18.
Karakter Ratu Vashti dalam narasi Alkitab diafirmasi lebih lanjut dalam puisi “Dari Gurun Midian” dengan menjadikannya subjek aku-lirik. Ia tidak lagi diceritakan dalam sudut pandang orang ketiga, dijadikan objek pada level naratif dari sudut pandang narator dan relasinya dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Agensi Ratu Vashti sebagai subjek aku-lirik–perempuan–ditunjukkan melalui kata-katanya yang bernada menantang: “carilah ratu lain/ bila perlu/ gubahlah lagu/ untuk istri barumu/ bintang kecil di langit yang halu/.” Pernyataan tersebut disampaikan aku-lirik kepada suaminya Ahasyweros, alih-alih kepada Tuhan. Namun, sebagaimana ditawarkan oleh teologi kerajaan yang juga berkembang dalam ranah kajian Alkitab, raja berperan sebagai pemegang mandat Allah atas umat. Oleh karena itu, larik-larik perlawanan yang diutarakan Ratu Vashti merupakan wujud dari pertanyaan teodisi yang disampaikan oleh seorang perempuan yang dinistakan di tengah gempita pemujaan atas Tuhan dengan segala sifat-sifat keutamaannya.
Sebagai suatu kesatuan, puisi-puisi yang terhimpun dalam bagian pertama Tiga Kitab menggunakan alusi Alkitab dan Al-Qur’an yang ketat. Beberapa narasi seperti kisah Penciptaan dan penyembelihan Ismail atau Ishak bisa dibilang cukup populer di kalangan pembaca Indonesia, tetapi tidak untuk cerita tentang Ratu Vashti yang hanya tercantum di salah satu bagian dari Alkitab. Sebagai konsekuensinya, pemaknaan atas narasi yang dihadirkan dalam Kitab Buah Khuldi menuntut pembaca untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi tentang tokoh-tokoh dalam kitab suci agama Abrahami dan kisah hidupnya.
Judul yang dipilih untuk kitab kedua dari buku puisi Tiga Kitab mengindikasikan dua makna. Reinkarnasi, atau konsep teologi yang berkenaan dengan siklus kelahiran kembali manusia, tidak berlaku dalam agama Abrahami atau agama langit, tetapi menempati peran yang penting dalam beberapa agama bumi. Oleh karena itu, penggunaan kata Reinkarnasi sebagai judul mengindikasikan bahwa puisi-puisi dalam bagian kedua Tiga Kitab tidak berkutat pada narasi agama-agama langit sebagaimana telah menjadi tema utama dalam bagian pertama. Puisi-puisi dalam Reinkarnasi akan membawa pembacanya turun ke bumi setelah berpetualang di antara narasi-narasi ketuhanan dan kenabian yang terdapat dalam kitab dan ajaran agama langit. Pada saat yang sama, judul Reinkarnasi menjadi penanda bahwa pertanyaan-pertanyaan teodisi yang sebelumnya berkisar pada kisah-kisah dalam Alkitab mengalami kelahiran kembali dalam wujud yang baru di suatu latar dan kondisi yang baru.
Puisi “Sarah” yang membuka bagian kedua Tiga Kitab memiliki pertalian dengan puisi-puisi pada bagian pertama yang menarasikan perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya. Jika pada puisi-puisi sebelumnya, subjek aku-lirik mewakili kedua sosok ibu–Sarah dan Hajar–yang kehilangan putranya, “Sarah” secara spesifik menyematkan subjek aku-lirik pada Hajar. Pemilihan subjek aku-lirik dalam puisi tersebut masih dapat ditarik kaitannya dengan narasi dalam kitab suci, yakni Kejadian 21:10: “Berkatalah Sarah kepada Abraham: ‘Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak.’” Oleh karena itu, di tengah ketidakadilan yang dialami kedua perempuan tersebut karena perintah Tuhan, Hajar juga mengalami kesusahan yang disebabkan oleh perkataan Sarah. Melalui dialog yang dibangun antara kedua perempuan tersebut, puisi “Sarah” mengindikasikan keberlanjutan dari upaya untuk menghadirkan suara tokoh yang tidak muncul dalam kitab suci yang mendominasi puisi-puisi dalam bagian pertama buku tersebut.
Namun, sebagaimana diindikasikan melalui judul besar dari bagian tersebut, puisi “Sarah” mengembangkan lebih lanjut penceritaan tentang relasi yang terjalin antara kedua perempuan tersebut. Gagasan reinkarnasi atau kelahiran kembali dari ketidakadilan dihadirkan dengan memasukkan fenomena yang berada di luar ruang dan waktu kitab suci, yakni peristiwa pembunuhan massal yang terjadi di Indonesia pada periode 1965 – 66, khususnya pemusnahan organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan para anggotanya. Dengan memasukkan narasi tentang kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi ribuan tahun sesudah dituliskannya kitab suci, puisi “Sarah” menunjukkan bahwa sifat-sifat keutamaan Tuhan masih perlu dipertanyakan sampai hari ini, mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali pembelaan atas hal-hal yang dipercaya sebagai kebenaran.
Strategi serupa dipertahankan dalam “14 Jalan Salib” yang dari judulnya telah mengindikasikan alusi yang kuat dengan narasi tentang masa-masa terakhir atau penderitaan Yesus. Dalam tradisi agama Kristiani, 14 stasi yang dilewati Yesus meliputi (1) Yesus dijatuhi hukuman mati, (2) Yesus memanggul salib, (3) Yesus jatuh untuk pertama kalinya, (4) Yesus berjumpa dengan ibu-Nya, (5) Yesus ditolong oleh Simon dari Kirene, (6) Wajah Yesus diusap oleh Veronika, (7) Yesus jatuh untuk kedua kalinya, (8) Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya, (9) Yesus jatuh untuk ketiga kalinya, (10) pakaian Yesus ditanggalkan, (11) Yesus disalibkan, (12) Yesus wafat di kayu salib, (13) Yesus diturunkan dari salib, (14) Yesus dimakamkan. Narasi tersebut sampai hari ini masih memainkan peran penting dalam ajaran agama Kristiani dan menjadi elemen dari devosi yang dilakukan sebagai peringatan Paskah, biasanya diwujudkan dalam bentuk pengadeganan kembali (reenactment) perjalanan dan pemberhentian Yesus di masing-masing stasi.
Meski meminjam istilah “14 Jalan Salib”, puisi terpanjang dalam buku Tiga Kitab tersebut tidak mengikuti sekuens alur yang dinarasikan dalam tradisi ajaran agama. Selain itu, masing-masing yang menyusunnya juga terkesan berdiri sendiri dengan subjek aku-lirik yang berbeda-beda. Strategi tersebut digunakan untuk melepaskan teks dari narasi besar “kesengsaraan Yesus” yang menjadi titik kelahiran agama Kristiani dan menekankan pada kesengsaraan umat manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui penggambaran ulang dari penyembelihan anak Ibrahim, penyebutan tentang kamp, nama Hitler, serta kota Sodom and Gomorrah. Elemen-elemen tersebut dihadirkan untuk mempertanyakan keutamaan Tuhan dan Yesus sebagai sosok yang menghadirkan dan menjaga cinta kasih di dunia.
“Bapa Kami” menunjukkan karakteristik yang belum terlalu dieksplorasi dalam puisi-puisi sebelumnya, yakni permainan bentuk. Bentuk-bentuk seperti bintang dan pohon cemara yang disusun tanpa struktur urutan atau rangkaian tertentu mampu menguatkan satir dalam ujaran subjek aku-lirik yang mempertanyakan sifat-sifat keutamaan dan kebajikan Tuhan. Sekali lagi, puisi tersebut meminjam salah satu bentuk devosi dalam agama Kristiani, yakni Doa Bapa Kami yang bersumber dari Injil Matius dan Injil Lukas. Serupa dengan Ratu Vashti yang menantang suaminya, subjek aku-lirik perempuan dalam puisi “Bapa Kami” secara terang-terangan menantang sosok Tuhan dalam doanya dengan berkata “karena Engkaulah Raja di Raja/ semulia-mulia untuk selama-lamanya/ tapi mengapa Kau begitu pelit dan tega/ Gloria in Excelsis Deo/ Amin/ Amin.” Perlawanan tersebut kembali dibingkai dalam narasi peristiwa yang terjadi di luar Alkitab, yakni pelanggaran HAM dengan latar belakang sentimen ras yang terjadi pada Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia: “Kau/ takdirkan aku/ berada dalam bis/ bulan Mei itu bersama/ adikku yang juga bermata sipit/ dan Kau biarkan para lelaki menjajah tubuhku/ merobek tubuh/ adik/ ku”.
Nada dan suasana serupa dihadirkan kembali dalam puisi terakhir yang menutup kitab Reinkarnasi dalam kumpulan puisi Tiga Kitab, yakni “Doa Ratu Vashti yang bereinkarnasi menjadi janda di kompleks apartemen Jakarta Utara”. Puisi tersebut telah melepaskan diri dari alusi kitab suci dan lebih menonjolkan penggambaran kehidupan masyarakat urban yang terjadi dewasa ini. Latar kerajaan Persia dan Gurun Midian–yang terdapat dalam puisi “Dari Gurun Midian”–berganti dengan latar ibu kota dan apartemen yang padat penghuni. Namun, subjek aku-lirik yang dikonstruksikan dalam teks sebagai reinkarnasi Ratu Vashti mempertahankan perannya sebagai perempuan yang berani menyampaikan perasaan dan pemikirannya. Ia melontarkan sejumlah pertanyaan teodisi dalam refleksinya atas situasi-situasi yang berada di luar pemahaman dan kendali manusia, seperti wabah yang telah menewaskan suaminya dan membuat kantongnya “ngos-ngosan/ karena/ kehilangan/ pekerjaan”, penghakiman atas seksualitas yang membuatnya “merasa kotor”, serta semua peristiwa kejahatan atas kemanusiaan–mulai dari korupsi, penculikan, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan massal, sampai genosida–yang dalangnya tidak diketahui secara pasti sehingga “kami hanya bisa menduga-duga”. Sebagai sebuah puisi liris, penutup dari kitab kedua buku Tiga Kitab tersebut menghadirkan dengan jelas pertanyaan-pertanyaan seorang manusia mengenai eksistensi dan peran Tuhan di tengah semua kejahatan yang terjadi di dunia.
Dalam tempo yang terasa cepat, Tiga Kitab mengajak pembacanya ke bagian penutup yang berjudul Nubuat. Tiga puisi terakhir dalam buku tersebut semakin menguatkan permainan bentuk dan menegaskan keberjarakan dengan narasi-narasi ketuhanan dan kenabian yang terdapat dalam kitab suci dan kedekatan dengan fenomena kehidupan masa kini, khususnya yang dialami oleh masyarakat kota seperti wabah, kemiskinan, dan penindasan berbasis agama.
Namun, puisi pertama yang tidak berjudul dan diawali dengan “PADa…..”, serta “Ibu” dan “Jihad” tidak menunjukkan pembeda yang terlalu kentara dengan sejumlah puisi yang terdapat pada kedua bagian sebelumnya. Bahkan terkesan ada pengulangan yang tidak terlalu diperlukan pada konstruksi subjek aku-lirik, isu yang dipermasalahkan, dan pertanyaan-pertanyaan teodisi yang dilontarkan. Sementara itu, gagasan eskatologi barulah tampak pada puisi paling akhir. Hal tersebut berdampak pada bangunan suasana dan emosi yang coba dibangun dalam kumpulan puisi tersebut secara keseluruhan: bagian kedua terbaca terlalu cepat, sementara efek klimaks dari narasi akhir dunia tidak mampu dibentuk secara efektif.
Sejak dari judulnya, yakni “Kiamat Bukan Nubuat Nabi-Nabi”, puisi penutup Tiga Kitab tersebut menegaskan bahwa gagasan tentang kiamat dalam karya tersebut berbeda dengan yang diceritakan dalam kitab Wahyu sebagai penutup Alkitab. Judul tersebut mengindikasikan upaya teks untuk menelanjangi peran Tuhan dan nabi dalam momentum akhir dunia yang menjadi narasi penting di ajaran agama Abrahami–sebuah pergeseran radikal dari pengakuan atas sifat-sifat keutamaan Tuhan pada momentum penciptaan yang tergambarkan pada bagian Benih Buah Khuldi. Upaya tersebut terus ditekankan sampai akhir puisi dengan menghadirkan subjudul Kiamat bagi Sang Citra Allah dan “kebinasaan spesiesmu”. Posisi dan peran tokoh yang serba maha digantikan oleh virus Corona sebagai subjek aku-lirik yang menghakimi manusia karena “tercipta serupa Allah/ kalian jarah/ makhluk lain/”, “kalian perdagangkan/ makhluk mungil/ layaknya gadis-gadis di bawah umur/”. Puisi tersebut kemudian ditutup dengan larik terakhir dengan permainan pada bentuk untuk menguatkan gagasan tentang kehancuran dan kebinasaan dunia.
Buku kumpulan puisi Tiga Kitab menawarkan beragam strategi tekstual untuk menghadirkan pertanyaan-pertanyaan teodisi dalam karya sastra–alusi kitab suci yang ditubrukkan dengan peristiwa masa kini, penggambaran sifat-sifat keutamaan Tuhan dan nabi secara satir, permainan pada bentuk, sampai konstruksi subjek aku-lirik. Secara khusus, puisi-puisi dalam Tiga Kitab memberikan panggung vokalisasi kepada tokoh-tokoh yang didiamkan, diobjektifikasi, dan ‘dijadikan setan’ dalam teks kitab suci, ajaran dan tradisi agama, serta norma-norma sosial. Hal tersebut menjadikan pertanyaan-pertanyaan teodisi yang dilontarkan dalam puisi-puisi Tiga Kitab tidak hanya meneruskan tradisi yang telah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, tetapi menawarkan perspektif baru dalam mempertanyakan ulang serta memahami eksistensi Tuhan dan gagasan ketuhanan dengan berkarib dan berkawan dengan setan–alias mereka yang dipersetankan–atau bahkan ketika kita menjadi setan itu sendiri.
Dhianita Kusuma Pertiwi
Dhianita Kusuma Pertiwi menamatkan studi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang dan Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia. Ia telah menerbitkan kumpulan naskah drama Pasar Malam untuk Brojo (2016), novel fiksi sejarah Buku Harian Keluarga Kiri (2019), prosa spekulatif Menanam Gamang (2020), kajian lakon wayang kulit Sesaji Raja Suya: Kuasa dan Rasa (2021), ensiklopedia istilah Mengenal Orde Baru (2021), serta karya terjemahan Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2022). Bersama Ruang Perempuan dan Tulisan, riset dan tulisannya mengenai Charlotte Salawati terbit dalam buku Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021). Dhianita merupakan salah satu peraih Nusantara Academic Award 2020. Ia menjadi salah satu pendiri sekaligus redaktur penerbitan Footnote Press. Sejak 2017, Dhianita merilis artikel tentang sejarah dan isu sosial-politik Indonesia setiap akhir pekan di situs pribadinya, dhiandharti.com.
Makasih banyak untuk ulasannya yang bagus & mendetil.
Sekedar tanggapan tentang pendapat bahwa puisi “PADa…..”, serta “Ibu” dan “Jihad” tidak menunjukkan pembeda yang terlalu kentara dengan sejumlah puisi yang terdapat pada kedua bagian sebelumnya.” Menurut saya, justru ketiga puisi ini sangat berbeda dari bagian sebelumnya, karena pada puisi ini, saya mengkritik ulah manusia terhadap alam & spesies lainnya, dan mempertanyakan kecongkakan spesies yang bernama manusia. Ide ini tidak ada pada kedua bagian sebelumnya.
Selain itu, ulasannya sangat bagus & mengena!!! Makasih sekali lagi.