Beberapa minggu lalu saya dikejutkan oleh sebuah berita baik: kumpulan cerpen karya seorang kawan saya, Norman Erikson Pasaribu, Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya—yang diterjemahkan oleh Tiffani Tsao menjadi Happy Stories, Mostly (Titled Axis Press, 2021)—masuk dalam daftar panjang International Booker Prize 2022. Bahkan, hari ini, buku ini memenangkan Republic of Consciousness Prize 2022. Tentu saja saya ikut senang. Jika saya boleh bilang, ini bukan sekadar kebanggaan karena semata-mata prestasi kawan saja. Fakta bahwa karya ini dinominasikan dan meraih penghargaan merupakan sesuatu yang signifikan dalam khazanah sastra Indonesia.
Saya tidak ingin berbicara soal representasi. Saya tidak akan berkoar-koar soal visibilitas, perwakilan, atau kebinekaan identitas gender dan orientasi seksual dalam skena sastra. Alih-alih, saya ingin berbicara tentang solidaritas. Ketika membaca judul tersebut, buku seperti apa yang ada di pikiran Anda? Spoiler alert: Tidak ada satu pun kisah yang seluruhnya bahagia di sini. Justru itu maksudnya. Seluruh kisah dalam buku ini hampir bahagia. Tidak jadi sampai karena sebuah keputusan, sebuah ucapan, sebuah tindakan. Tidak ada maksud jahat. Tak ada niat menyakiti. Tapi justru di sanalah kehampiran itu menghantui.
Sang Hampir, Sang Vampir
Dalam prakatanya dalam edisi Bahasa Inggris, Norman bermain-main dengan kemiripan antara kata hampir dan vampir. Dalam kehampiran—hampir diakui, hampir diterima, hampir bahagia—hampir berubah menjadi vampir, setan yang mengisap darah kita.
Mudah sekali untuk melihat betapa kisah-kisah dalam buku ini bisa bahagia. Tapi hampir bahagia tidak sama dengan bahagia seluruhnya. Hampir adalah vampir, vampir adalah hantu, dan kisah-kisah dalam buku ini semuanya berhantu.
Hantu yang harfiah—seorang tokoh yang menyadari kefiktifannya, seorang raksasa yang entah ada atau tidak, seorang penguntit, dan lainnya—maupun hantu yang lebih akrab dengan kita, yaitu hantu-hantu dari masa lalu. Berdansa dalam berbagai genre dengan luwes—surealisme, fiksi ilmiah, surat—Norman terus menggali tema tentang bagaimana kehampiran merupakan jurang gelap yang mungkin tidak akan pernah kita seberangi. Jurang gelap yang terus mengikuti kita sepanjang hidup.
Saya mulai menulis ulasan ini pada 31 Maret 2022. Trans Day of Visibility—Hari Visibilitas Transgender Sedunia. Sebuah hari yang bagi saya pribadi memicu berbagai emosi. Ada beberapa kawan-kawan transgender yang menggunakan momentum ini untuk berdiskursus di media sosial: Apa makna visibilitas bagi mereka? Apa harapan mereka tentang hak-hak transgender pada masa mendatang? Dan seterusnya. Saya pribadi memilih untuk melucu dan mengunggah sebuah swafoto dengan tajuk pelesetan trans day of kissability. Dalam ambang kehampiran dan kevampiran, saya tidak tahu apakah lebih penting untuk menjadi visible atau menjadi kissable.
Because here is the thing. Saat ini, saya, Norman, dan orang-orang seperti kami—kaum pelangi, mafia alfabet, Longsor Gempa Banjir Tsunami—sudah sangat-sangat visible. Semua orang tahu kami ada. Kami muncul di televisi, bekerja di kantor, lulusan SMA, nongkrong di meja Starbucks dekat pohon besar di sana. Tapi menjadi tampak tidak sama dengan mengada. Kami memang tampak. Tapi kami sekadar hampir ada.
Kami ada sebagai lelucon di TV. Bahan pembicaraan ibu-ibu arisan. Orang-orang menyimpang, tapi sebaiknya dikasihani. Kami lelucon di sekolah dan warung kopi. Orang-orang yang kami sayangi tidak membenci kami, tetapi “tidak bisa setuju dengan pilihan gaya hidup” kami. Orang-orang yang membela kami mengatakan tidak peduli dengan “urusan ranjang” kami—seolah-olah identitas kami hanya terbatas di selangkangan. Kami lelucon media sosial. Orang-orang asing mengirim pesan pribadi untuk menanyakan cara kami berhubungan seks. Kami lelucon di antara teman-teman kami sendiri kalau sedang nongkrong tanpa kami.
Beberapa bulan lalu sekelompok anak kampung di dekat kos-kosan saya berteriak “Bencong!” ketika saya lewat. Mungkin pengalaman serupa juga tidak asing bagi Norman. Ketika kita berbicara tentang penindasan kaum LGBTQIA+, orang-orang allocishet (non-queer) sering berpikir bahwa hal-hal itu yang menyakitkan. Tubuh kami dipandang sebagai situs penindasan, olok-olok, intervensi medis, dan lain sebagainya.
Tapi intinya sama sekali bukan itu. Inti pengalaman queer adalah sebuah kehampiradaan. Vampir tidak bisa melihat diri mereka di cermin. Kami berada dalam kastil hampir, tempat cermin tidak pernah bisa benar-benar merefleksikan siapa diri kami.
Sesungguhnya kami tidak pernah yakin apa kami benar-benar hidup dan nyata.
Penindasan Tak Butuh Niat Jahat
Kematian amat dekat dalam cerita-cerita Norman. Jika Anda tidak pernah berada dalam posisi tertindas, saya rasa agak susah untuk menangkap betapa signifikannya hal ini. Saya pribadi tidak ingat kapan terakhir kali saya hidup barang satu minggu saja tanpa mendengar berita percobaan bunuh diri atau curhatan keinginan bunuh diri dari seorang teman queer. Ketika kehidupanmu serba-hampir, kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Ketika tidak sedang terlalu lelah, kami terus berusaha hidup, walau hanya hampir sepenuhnya.
Kami tampak, tapi tetap tidak bisa menikah. Tidak bisa ganti gender di KTP. Tampak, tapi orang yang kami sukai tidak jarang menganggap kami terlalu berbeda. Tampak, tapi tidak ada layanan medis yang memadai. Birokrasi untuk kami dipersulit bukan main. Diterima orang tua, tapi apa kata keluarga besar? Didukung teman, tapi apa kata tetangga?
Kehampiradaan. Kami ada, tetapi kami tidak akan pernah setara. Kami hidup dalam kesadaran penuh bahwa eksistensi kami merepotkan orang-orang yang ingin mendukung kami. Bahwa memilih untuk menyayangi kami berarti memilih untuk dimusuhi dunia seperti kami.
Hampir bahagia, bukan? Kami tampak. Didukung teman. Diterima orang tua, jika beruntung. Sungguh, kami hampir bahagia.
Yang jenius dalam karya Norman adalah bahwa dia menggunakan tokoh-tokoh utama yang bukan-gay dalam kisah-kisahnya. Seorang ibu yang kehilangan anaknya. Seorang kawan yang kehilangan sahabatnya. Seorang kakak yang kehilangan adiknya. Dan lain-lain. Kehampirbahagiaan dieksplorasi dan digali dalam segala dimensinya melalui kacamata berbagai tokoh. Interseksionalitas homofobia dengan kebiasaan-kebiasaan budaya (khususnya Batak) dan agama (khususnya Katolik) dipotret dengan tajam bukan sebagai kejahatan, tetapi sebagai bingkai dunia. Bingkai ini jarang kita sadari, seperti ikan tidak sadar air.
Semuanya menderita di sini. Semuanya disiksa oleh cisheteronormativitas. Siapa yang salah? Tidak ada. Para tokoh sama sekali bukan orang yang sempurna—tidak sedikit yang malah merupakan orang-orang serba-kurang dan sok tahu—tapi tidak satu pun dari mereka yang didorong oleh niat jahat ataupun kebencian. Dan itulah intinya: Penindasan sama sekali tidak membutuhkan niat jahat. Penindasan tidak sama dengan kebencian. Penindasan dilakukan oleh orang-orang yang paling menyayangi kita tanpa mereka sengaja. Karena inilah dunia yang kita tinggali, tempat kita tidak lagi bisa berharap lebih dari sekadar hampir.
Darah dan Cermin
Pada 2013, teoretikus sosial Mark Fisher menulis sebuah esai yang populer berjudul “Keluar dari Kastil Vampir”. Dalam esai tersebut, dia menyatakan bahwa pergerakan sosial di dunia sudah sangat teracuni dengan kebiasaan sok benarnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk dialektika yang produktif. Semua perdebatan sekadar mengisap darah satu sama lain saja. Mark Fisher mempermasalahkan politik identitas dan mengajak kita untuk kembali pada permasalahan material dan ekonomi. Tentunya pemikiran ini punya masalahnya sendiri—saya kurang setuju ketika identitas dianggap tidak lebih dari turunan permasalahan ekonomi belaka—tetapi pengamatan Fisher cukup: Memang benar bahwa pergerakan sosial sering sekadar berujung pengisapan darah satu sama lain.
Tulisan ini saya beri judul “Keluar dari Kastil Hampir” karena hal ini. Kaum queer saat ini senantiasa berada dalam kastil hampir. Diterima oleh orang tua tapi disembunyikan dari keluarga besar dan tetangga merupakan kenyataan yang mengisap darah. Diterima oleh teman tapi teman tersebut mati-matian berdoa agar anak-anaknya “masih normal” merupakan kenyataan yang mengisap darah. Diterima oleh lingkungan kerja dengan catatan tidak akan pernah diberikan posisi yang penting merupakan kenyataan yang mengisap darah.
Hanya orang-orang yang pernah diisap darahnya yang bisa melihat bahwa kita sedang berada dalam kastil vampir. Hanya penulis seperti Norman yang mampu menyelami kehampiran ini dengan baik. Alangkah bahagianya saya ketika tahu versi Inggris Cerita-Cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya masuk dalam daftar panjang International Booker Prize 2022. Secara tematis, saya merasa buku ini penting untuk membangun solidaritas yang lebih luas.
Tema dalam buku ini amat erat dengan kehidupan queer. Namun, bukan berarti hanya kawan-kawan queer yang berada dalam kastil vampir. Case in point: Sastra Indonesia di mata dunia. Apa maksud saya? Tentunya vulgar untuk membandingkan kedua hal ini secara langsung. Dalam definisi yang paling luas, karya-karya Indonesia dari dulu hingga sekarang juga merupakan sesuatu yang hampir ada di mata dunia. Sekali dua kali muncul dan menjadi relatif populer—karya sastra, film, atau yang lainnya—tetapi tidak pernah dalam skala besar. Jika berbicara karya pop, jauh sekali rasanya jika kita dibandingkan dengan Amerika Serikat, Korea, atau Jepang. Saya bergerak dalam industri komik dan animasi. Ketika penerbit atau produser Barat atau Asia Timur menghampiri saya, saya tahu mereka tidak sedang mencari karya kreator Indonesia untuk ditenarkan. Mereka mencari tenaga kerja murah untuk memproduksi buah ide mereka. Buat apa mencari cermin jika bisa mendapatkan tubuh-tubuh segar untuk diisap darahnya?
Bahwa karya Norman masuk dalam daftar panjang International Booker Prize merupakan sesuatu yang sangat signifikan. Ternyata ada juga otak dari negeri tenaga kerja murah ini yang dipandang orang-orang berkulit putih. Namun, jika saya ingin hal ini dirayakan, saya tidak ingin alasannya klise: karya Indonesia disukai orang bule! Pasti penulisnya keren!
Norman selalu berusaha keras menciptakan cermin bagi mereka yang sudah kehabisan darah. Maka sejujurnya saya hanya ingin cermin buatan Norman ini dirayakan untuk berefleksi akan solidaritas. Bagi saya, karya ini menyampaikan universalitas pengalaman penindasan yang hanya dapat dipahami ketika kita merangkul perspektif queer. Saya harap fakta penghargaan ini bisa dilihat sebagai saksi universalitas ide-ide yang disampaikan oleh partikularitas perspektif Norman. Bahwa cermin yang jernih itu penting, baik bagi yang tertindas maupun bagi masyarakat lebih luas.
Saya percaya bahwa pada akhirnya universalitas inilah yang akan membuat kita semakin kritis dalam membangun solidaritas di hadapan interseksionalitas perjuangan, baik yang queer maupun yang bukan. Walau pengalaman setiap kelompok dan setiap orang berbeda, ujung-ujungnya darah kita semua sedang diisap. Mungkin ada baiknya kita mulai dengan membaca tulisan mereka yang sudah terlalu sedikit darahnya hingga tidak punya bayangan pasti dalam cermin.
Suatu Saat, Siapa Tahu
Tulisan ini sudah hampir selesai. Namun, saya tidak juga mampu memberikan saran konkret selain permintaan memperluas wacana kita masing-masing di atas tadi. Klise sekali, ya?
Saya tahu di titik ini mungkin akan keren jika saya bisa berceramah tentang kanonisasi, tentang bagaimana khazanah sastra Indonesia hendaknya lebih melirik karya-karya dari teman-teman queer. Tapi sejujurnya saya bukan orang yang tepat untuk ceramah itu. Sebagian besar teman-teman queer yang saya kenal telah berkarya dalam ruang mereka sendiri, sedemikian rupa sehingga kebanyakan dari kami cukup acuh dengan skena yang lebih luas. Kebanyakan dari kami beranggapan bahwa wacana kanonisasi merupakan ranah pria-pria tua allocishet, dan sejujurnya wacana perebutan panggung sering terdengar amat melelahkan.
Dalam kanon sastra, karya-karya queer akan selalu ada, hampir seluruhnya.
Dalam industri global, karya-karya Indonesia akan selalu ada, hampir seluruhnya.
Sang hampir, sang vampir.
Mungkin akan baik jika saya tipe penulis yang mampu menyampaikan harapan-harapan besar di akhir tulisan. Mungkin malah itu yang Anda harapkan dari awal tadi? Karya queer Indonesia masuk daftar panjang International Booker Prize, inilah saatnya perubahan! Inilah harapan dan pesan-pesan saya bagi skena sastra Indonesia di masa mendatang!
Sayangnya saya bukan penulis yang punya semangat semacam itu. Sejujurnya saya ragu ada penulis queer yang punya hal-hal semacam itu. Kami hanya ingin menulis dalam kehabisan darah kami. Ada harapan kecil di antara kelelahan: Siapa tahu suatu saat kami bisa benar-benar ada. Siapa tahu suatu saat kami akan melihat cermin—yang terdiri dari citra maupun kata-kata dalam persegi panjang di tangan kami—dan melihat diri kami di sana.
Siapa tahu suatu saat anak-anak yang seperti kami ada yang bisa bahagia, benar-benar seluruhnya.
Itu saja.
Bonni Rambatan
Bonni Rambatan, seorang penulis filsafat dan komikus. Buku terbarunya Event Horizon: Sexuality, Politics, Online Culture, and the Limits of Capitalism (Zer0 Books, Januari 2022), ditulis bersama Jacob Johanssen.