Serupa Tapi Tak Sama
Dari Syair ke Roman Perang Kamang

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Upaya menghadirkan narasi kesejarahan dalam karya sastra di Indonesia dapat dikatakan sudah berlangsung lama. Namun, pembacaan kesejarahan dalam karya sastra terbilang baru dan belum terlalu banyak. Bisa jadi semua ini terjadi, sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo (2004), akibat pandangan yang melihat kesatuan sejarah dan sastra sebagai mitos. Keduanya berpisah jalan, setelah kesadaran mitis itu berakhir dan ilmu pengetahuan modern berkembang pesat sejak abad ke-20.

Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa sejarah dan sastra berbeda dalam struktur dan substansi. Sejarah sebagai ilmu pengetahuan hidup dalam dunia realitas dan pekerjaannya adalah merekonstruksi realitas, sementara sastra sebagai seni hidup dalam dunia imajinasi dan pekerjaannya adalah mengekspresikan imajinasi.

Salah satu pandangan menarik mengenai hubungan sastra dan sejarah diungkapkan Taufik Abdullah dalam makalahnya “Sastra dan Ilmu Sejarah di Indonesia”(1976). Ia menggambarkan bahwa karya-karya pengarang Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, dan seterusnya hanya dipandang dalam konteks periodisasi sejarah sastra. Karya-karya tersebut belum dilihat dalam kaitan timbal-balik dengan seluruh situasi sejarah. Hal ini terjadi karena kurang sensitifnya ahli sejarah terhadap suasana perasaan yang dipantulkan oleh karya sastra. Juga karena belum adanya studi sastra yang memadai bagi keperluan ilmu sejarah.

Abdullah memandang bahwa studi dan kritik sastra yang dominan di Indonesia baru menghasilkan sejarah sastra dan analisis karya sastra. Karya sastra cenderung dipandang sebagai sebuah kesatuan utuh, terpisah dari tradisi kesusastraan yang sedang berkembang dan situasi historis yang melingkupi karya tersebut. Padahal seharusnya karya sastra juga bisa didekati sebagai dokumen sejarah dan oleh karena itu dapat digunakan sebagai salah satu sumber sejarah.

Selain itu, karya sastra juga hanya bisa didekati secara lebih adil dengan mempertimbangkan konteks sejarah yang melingkupinya, baik itu sejarah sastra maupun sejarah dalam arti luas.

Dalam prosedur penulisan, menurut Kartodirdjo (2016:102-104), terdapat persamaan antara penulisan sejarah dengan sastra, sama-sama menggunakan imajinasi. Hanya saja pengarang sastra (roman) tidak terikat pada fakta-fakta sejarah mengenai apa, siapa, kapan, dan di mananya. Namun, dalam menyusun cerita pengarang dituntut untuk mengikuti logika situasional, ada hubungan logis antara motivasi, sikap dan tindakan. Merekonstruksi sesuatu plot (jalan cerita) perlu ada garis logis yang menghubungkan berbagai perilaku aktor-aktor. Faktor rekayasa pengarang mewujudkan cerita sebagai suatu kebulatan atau koherensi, dan sesekali  ada relevansi dengan situasi sejarah.

Baik sejarawan maupun pengarang sastra membuat rekonstruksi yang terwujud sebagai suatu konstruksi yang koheren. Hanya saja sejarawan dituntut merujuk pada hal-hal yang pernah ada atau terjadi, sedang penulis roman dapat menggambarkan sesuatu yang tidak pernah ada atau terjadi, semuanya bersumber pada rekaan. Sejarawan terikat pada keharusan, yaitu bagaimana sesuatu sebenarnya terjadi di masa lampau, artinya tidak dapat titambah-tambahkan atau direka. Penulis roman sebaliknya, ia sepenuhnya bebas mencipta dengan imajinasinya (Kartodirdjo:105).

Sastra sebagai dokumen sejarah dan hubungan prosedur penulisan ini dapat dilihat melalui roman Kamang Affaire karya Martha dan Syair Perang Kamang. Dua teks ini sama-sama bercerita mengenai sejarah Perang Kamang dengan sudut pandang dan model penceritaan berbeda.

Dalam dua teks ini dapat dilihat bagaimana perspektif sejarah hadir dengan keberbedaan dan keragaman, tetapi tetap terikat pada narasi mengenai peristiwa tentang Perang Kamang.

 

Perang Kamang dalam Roman Kamang Affaire dan Syair Perang Kamang

Perang Kamang merupakan sebuah upaya penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemungutan pajak (belasting), sebagai pengganti coffestelsel yang dihapus Belanda pada 1908. Sebab musababnya bisa dilacak dari sejumlah peraturan yang diberlakukan Belanda pad atahun itu. Pada 21 Februari 1908 Belanda menerbitkan tiga peraturan sekaligus: Peraturan Pemerintah No. 93, 95 dan 96 yang dimuat dalam Lembaran Negara. Pada 1 Maret 1908 Belanda mulai memberlakukan aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Peraturan tersebut, menurut Rusli Amran, menetapkan pajak sebesar 2% terhadap semua penduduk di Sumatra Barat yang disebut pajak atas perusahaan dan pemasukan-pemasukan lainnya, atau pajak pencarian. Selain itu, pemasukan dari harta pusaka juga dikenai pajak. Jika pajak tersebut tidak dibayar, maka harta pusaka akan disita atau pelakunya dikenai hukuman penjara atau pengasingan. Tidak hanya itu saja, pemotongan hewan seperti sapi, kerbau, atau kuda juga dikenai pajak.

Kamang termasuk salah satu wilayah yang menolak keras pemungutan pajak tersebut. Para pemangku adat, pemuka agama dan ulama, serta pemuda bersatu menyerukan perlawanan dengan berbagai cara, termasuk unjuk rasa dan longmarch. Perundingan yang dilakukan perwakilan Belanda L.C. Westenenk baik dengan Laras Kamang dan perwakilan nagari pun menemukan jalan buntu. Di saat itulah muncul seruan untuk melakukan perlawanan oleh beberapa orang pemuka agama, termasuk Haji Abdul Manan, ayah dari Haji Ahmad Marzuki yang mengarang Syair Perang Kamang. Seruan perlawanan ini juga kerap dianggap sebagai “Perang Sabil” dan puncaknya terjadi pada 16 Juni 1908 di Nagari Kamang.

Kondisi masyarakat yang terjadi pada latar waktu Perang Kamang tersebut muncul dalam roman Kamang Affaire karya Martha (Maisir Thaib) dan Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki.[1] Meskipun roman Kamang Affaire dan Syair Perang Kamang ditulis sekitar 30 tahun setelah Perang Kamang, gambaran peristiwa perang dan kondisi masyarakat pada waktu kejadian tersebut dikisahkan hampir sama.

Dua karya tersebut dapat dikatakan berbeda genre, Kamang Affair berupa roman (69 halaman) yang mengambarkan sebuah situasi yang tidak dialami oleh penulisnya sendiri. Sedangkan Syair Perang Kamang dituliskan oleh pengarang yang mengalami kejadian dan merupakan semacam catatan pribadi yang dibuat berupa syair—dengan istilah nazam oleh pengarangnya. Syair ini sendiri pada awalnya ditulis dalam huruf Arab Melayu berupa manuskrip dan kemudian diterbitkan dalam bentuk berbeda (sebagian dan utuh) dalam beberapa buku.

Sudarmoko (2010) mencatat bahwa terdapat beberapa transliterasi syair ini yang sudah diterbitkan. Pertama, transliterasi Rusli Amran “Nazam Perang Kamang” yang kemudian dijadikan bagian dalam bukunya berjudul Sumatera Barat: Pemberontakan Pajak 1908 (1988). Kedua, transliterasi Anas Nafis yang berjudul Syair Perang Kamang, diterbitkan PPIM (2004). Isi kedua transliterasi ini, menurut Sudarmoko, tidak jauh berbeda. Namun, dari segi genre dan bentuk, Syair Perang Kamang berbeda dari Nazam Perang Kamang karena transliterasi Anas Nafis merupakan satu kesatuan utuh dari karya yang ditulis oleh Ahmad Marzuki. Penulis sendiri menemukan hasil transliterasi ketiga terbitan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Republik Indonesia dengan judul “Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908” dalam buku berjudul Kajian Naskah Pemimpin Ke Syurga dan Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908 (1996/1997). Tim transliterasi dan kajian naskah Depdikbud menerangkan bahwa hasil transliterasi tersebut berdasarkan naskah karangan Haji Ahmad Marzuki yang kemudian diperbaiki oleh Labai Sidi Rajo, dalam aksara Arab Melayu, tahun 1928. Versi inilah yang penulis gunakan dalam pembahasan.

Roman Kamang Affaire memadukan kisah percintaan dan narasi kesejarahan. Roman ini pada awalnya menceritakan tokoh Bagindo yang berguru pada Mak Pono dimusuhi oleh Saiboen berguru pada Mak Pangeran. Penyebabnya adalah karena Rawana, perempuan kembang desa Kamang, yang memilih lebih menyukai Bagindo daripada Saiboen. Hingga pada suatu ketika bertemulah Bagindo dengan Saiboen pada gelanggang persilatan dalam sebuah acara. Bagindo bertarung dengan Saiboen hingga Saiboen tewas.

Dendam muncul dari guru Saiboen, Mak Pangeran, teman-teman seperguruan, termasuk keluarga Saiboen. Mereka berupaya mencari celah untuk membunuh Bagindo, tetapi tak ada kesempatan. Salah satu cara adalah dengan merusak kehidupan Bagindo. Murid-murid Mak Pangeran lalu menculik Rawana yang sudah menjadi tunangan Bagindo. Namun, orang-orang mengira Rawana tidak diculik melainkan dibunuh karena dalam kamarnya ditemukan darah berceceran.

Bagindo sudah mengira bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Mak Pangeran dan anak muridnya. Ia lalu berupaya membalas dendam dengan cara membakar pondok, tempat Mak Pangeran dan muridnya biasa tidur. Hingga suatu malam ketika Bagindo ingin melakukan siasatnya itu, Nagari Kamang berada dalam puncak kemelut karena pasukan Belanda menyerang. Urung membakar pondok, Bagindo lalu ikut berperang dan melihat orang-orang meninggal karena tembakan pasukan Belanda. Mak Pangeran dan anak muridnya juga ikut berperang dan tertembak. Namun, Bagindo berpikir panjang untuk menyerang karena ia ingat pesan Mak Pono bahwa mereka tidak akan bisa melawan pasukan Belanda dengan senjata modernnya. Ilmu yang mereka pelajari mungkin bisa tahan pada senjata seperti pedang, tetapi belum terbukti tahan peluru, pesan Mak Pono.

Sekian mayat bergelimpangan di Nagari Kamang dan Bagindo melihat Mak Pangeran masih hidup sehingga timbul rasa iba Bagindo untuk membantunya. Pada waktu itulah Mak Pangeran mengakui kekhilafannya; ia mengatakan tidak membunuh Rawana, melainkan menculiknya. Sedangkan darah di kamar Rawana diakuinya sebagai darah kambing. Mereka ingin membuat Bagindo rusak kehidupannya. Bagindo pun memaafkan dan pada akhirnya ia menemui Rawana di tempat yang ditunjukkan oleh Mak Pangeran.

Latar penceritaan Kamang Affaire ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Kamang dalam kondisi bersiap untuk perang menolak penerapan pajak oleh pemerintah Belanda.

Hal tersebut tampak dari narasi yang mengungkapkan banyak pemuda belajar silat dan belajar ilmu kebal di surau-surau dengan guru agama atau seorang syeh. Bahkan mereka mengganggap perlawanan terhadap Belanda sama dengan “Perang Sabil”. Kita dapat melihat gambaran tersebut pada narasi Kamang Affaire berikut:

Negeri Kamang dikala itoe sedang panas menggelegak. Kita sedang berada ditahoen 1908, dimana pemerintah telah menitahkan kewadjiban belasting. Kewadjiban itoe diterima disemoe tempat. Tetapi tidak di Kamang. Kewadjiban itoe tak diterima oleh pendodoek dengan keakoeran, tapi dengan hati mendongkol. Laloe timbul asoetan-asoetan boeat melawan kepada pemerintah dan dimana-mana orang asjik mempeladjari ilmoe sihir, ilmoe koeat kebal, agar tak telap dimakan besi dan pelor dalam “perang sabil” (?) jang akan datang itoe. Diwaktoe itoe diantara orang-orang alim agama banjak jang mengadjarkannja, seakan-akan ilmoe sihir itoe dibolehkan agama. (Martha, 1939, 13)

Gambaran serupa juga dikisahkan Haji Ahmad Marzuki dalam Syair Perang Kamang. Ia bersaksi pasukan Belanda beserta Tuan Si Teneng mendatangi rumahnya tengah malam. Haji Ahmad Marzuki diminta mencari ayahnya, Syekh Abdul Manan, karena ia dianggap sebagai “kepala perang” atau pelaku utama perlawanan masyarakat Kamang terhadap Belanda. Ia pun dalam syairnya mengatakan bahwa Syekh Abdul Manan dituduh menyebarkan jimat kebal:

Engku Syekh Abdul Manan orang yang tuo

Di dalam nagari Kamang namonyo

Tempat menompang yang benar kironyo

Itulah sebab dicari juanyo

 

Dan lagi pada waktu itu

Beliau tertuduh di zaman itu

Memberi azimat satu persatu

Tiap-tiap orang khabarnya itu

 

Azimat itu kabarnya orang

Akan dibawa terus berperang

Tidak talok piluru menentang

Yaitu fitnah kepada orang Gadang

Dalam artikel The Kamang War in 1908: The People’s Movement Toward The Duch (Masyitah dkk, 2019) diterangkan bahwa ketika kabar penerapan belasting sudah mulai tersebar ke seluruh daerah di Minangkabau, para pemimpin daerah dan beberapa orang yang menjadi penggerak pemberontakan mulai menginstruksikan kepada masing-masing daerah untuk mempersiapkan diri.

Aneka persiapan itu antara lain menyiapkan beberapa pasukan perang yang sebelumnya telah dibekali pelajaran silat, ilmu kebatinan seperti kerelaan hati untuk syahid, ketawakalan dan berjuang di jalan Allah serta berbagai ilmu lain. Demikian pula persiapan dalam hal senjata yang akan digunakan untuk menghadapi Belanda dan sebagainya.

Kedekatan masyarakat Minangkabau, khususnya Kamang dengan ilmu tarekat dan silat, serta ilmu kebal yang dituliskan Martha dalam romannya sebagai “ilmu sihir yang diperbolehkan agama” memang sudah menjadi salah satu ciri khas masyarakat Minangkabau periode itu. Sebagaimana diungkap Muhammad Nasir (2020), di Kamang Syekh Abdul Manan mengajarkan tarekat, keterampilan silat, ilmu pedang dan sebagainya. Nasir mengungkapkan bahwa Syekh Jalaluddin Fakih Shagir dalam naskah yang disunting oleh Sjafnir Abu Nain (2004) menggambarkan Kamang sebagai salah satu pusat tarekat Syattariah. Tarekat ini dikembangkan oleh Tuanku Nan Tuo di Kamang. Hal senada dituliskan oleh Audrey Kahin (2005), yakni bahwa perang belasting (termasuk Perang Kamang) dipimpin oleh ulama terutama aliran tarekat Syatariah.

Dalam Kamang Affaire dikisahkan bagaimana ilmu kebal, atau jimat, dan semain gandrung dipelajari saat huru-hara di Kamang akan terjadi. Martha bahkan menuliskan nama “Haji Manan” (Syekh Abdul Manan) dalam roman tersebut sebagai “pemuka perang sabil”. Gambaran tersebut terlihat pada narasi berikut ini:

Telah hiroe biroelah negeri Kamang jang ketjil itoe… Nama-nama seperti Hadji Manan dan lain-lain pemoeka “perang sabil”, mendjadi boeah bibir.

Horoe-hara itoe telah ditjampoer oleh kepala-kepalanja dengan rasa agama, sehingga pendodoek jakin mereka jang mati dalam perdjoeangan itoe, akan mati sjahid, teroes masoek sjoerga djannatoenna’im.

Tapi kenapa mereka akan mati, sedang mereka telah mendapat keputusan ilmoe sihir, tak mempan dimakan sendjata, tak telap oleh besi, tahan bedil.

Dimana-mana soerau orang ratib dengan tak berkepoetoesan, meminta kemenangan dalam “peperangan” (?) jang akan dihadang itoe. Pergoeroean sihir makin2 ramai. Propaganda didjalankan dengan giat. (Martha, 1939, 38)

Di bagian ini tokoh Bagindo termasuk salah seorang pemuda yang sudah bertekad ikut ambil bagian dalam perjuangan. Mak Pono selaku gurunya sudah berusaha menasihati Bagindo agar tidak ikut serta. Mak Pono yakin perjuangan tersebut akan gampang dipadamkan dan akan sia-sialah hidup Bagindo. Guru Bagindo tersebut ragu apakah ilmu kebal yang dipelajari oleh orang-orang Kamang bisa menahan muntahan peluru dari pasukan Belanda. Perkataan Mak Pono terbukti, orang-orang Kamang yang ikut dalam perjuangan tersebut dikalahkan oleh muntahan peluru dari pasukan Belanda. Korban perang tidak seimbang bergelimpangan. Kengerian tersebut digambarkan oleh Martha dalam roman Kamang Affaire:

Boenji bedil soedah sangat dekat kedengaran. Orang berlari berdojoen-dojoen dari segenap pihak. Sebentar-sebentar kedengaran sorak rioeh jang diiring-iringi oleh pekik seni, dan lolongan perempoean dikampoeng-kampoang berkeliling.

. . . dilihatnja seorang Hadji madjoe dengan gembira, seraja mengatjoekan roedoesnja; jang pandjang berkilat. Oo itoe dia orang jang mengadjarkan ilmoe. Beberapa orang mengiringkannja dengan bertampik sorak . . . .

Pang, pang pang pang, boenji bedil menderoe, diiringi oleh pekik dan rintih sebagai biasa kompoelan itoe rebah tapi Hadji itoe berdiri madjoe kembali… Benarkah ia tahan bedil, atau tak tepat kena tembak? Ia madjoe, dan daris egala pihak bersomboeran banjak orang mengiringnja, tapi oh, satoe tembakan mendengoeng, dan iapoen rebah ke boemi bergelimang darah . . . . (Martha, 1939, 58-61)

Kengerian perang tersebut juga tergambar dalam syair yang ditulis Haji Ahmad Marzuki:

Buni senapang gagap gumpito

Batuduang kanai jatuah batumpu

Patahlah kaki apolah dayo

Hilang pikiran sado sakutiko

 

Allahu Rabbi khalaqul ‘alam

Buni senapa berdantam-dantam

Gagap gumpito rasonto alam

Satangah mati satangah tarbanam

 

Satangah lari berserak-serak

Entah kemana badan tercampak

Ada nan luka kaku pun merusak

Setengah berjalan jadilah tenjak

 

Umat di situ berbagai macam

Setengah lari ka rimbo dalam

Setengahnya pacah tulang di dalam

Karena serdadu datang mahantam

Baik roman Kamang Affaire dan Syair Perang Kamang memperlihatkan penilaian yang sama tentang peristiwa perang belasting di Kamang. Meskipun istilah “jimat” atau “ilmu kebal” digambarkan oleh Martha sebagai “ilmu sihir”, tetapi barangkali istilah tersebut lebih berterima untuk genre roman pada masa ketika pemahaman modernitas mulai masuk. Dua teks  sama-sama memperlihatkan sebuah pertautan peristiwa dan kesejarahan. Begitu juga dengan teks-teks sejarah yang kemudian hari dituliskan oleh sejarawan. Kita dapat melihat, bahwa teks sastra dan teks sejarah dapat dihubungkan dan dapat digali bagian-bagian penting mengenai kejadian yang berlangsung pada periode itu.

 

Sastra Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi

Sejarah sebagai kenyataan, menurut Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam (2005:46-47), merupakan suatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang dikenal saat ini adalah produk bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat bergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu.

Dalam konteks ini, sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebutkan sebagai representasi langsung dari objektivitas masa lalu, karena jarak itu telah mereduksi secara langsung kemampuan rekonstruktifnya. Sebagai sebuah realitas sejarah hanya ada pada masa lalu dan tidak mungkin dijangkau oleh sejarawan yang ada pada masa “kini”.

Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu orang ke orang lain (Fay, Pomper and Vann (eds.), 1998; Callinicos, 1995; dalam Purwanto, Bambang dan Adam, Asvi Warman, 2005).

Sebagai sebuah proses pemahaman, rekonstruksi sejarah memungkinkan produk sastra, dalam hal ini roman dan syair, sebagai salah satu sumber alternatif dalam melakukan pembacaan terhadap sejarah. Pengumpulan terhadap sumber-sumber sejarah (heuristik), kritik-kritik atas sumber itu adalah merupakan kegiatan-kegiatan ilmiah.

Dalam dua kegiatan berikutnya yaitu penafsiran dan penulisan sejarah itu sendiri yang disebut historiografi, sejarawan harus menggunakan bahasa retorika. Pemerian (deskripsi) tentang peristiwa-peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah (historical actors), semua menggunakan media bahasa sehingga menggunakan narasi (cerita) sejarah yang menarik dan bermakna. Penggunaan retorika membuat sejarah erat sekali hubungannya dengan sastra sehingga sejarah dianggap sebagai “seni” dan karena itu termasuk dalam humaniora atau artes liberales (Sjamsuddin, 2012, 222).

Menurut Sjamsuddin (2012:223), berbeda dari seni sastra murni yang merupakan produk fantasi pengarang, sejarah bukanlah hasil rekaan melainkan merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber-sumber sejarah yang memang ada. Dalam menyusun rekonstruksi itu sejarawan menggunakan imajinasinya, bukan fantasinya. Namun, tidak mustahil pengarang-pengarang sastra atau penyair-penyair menggunakan latar belakang peristiwa-peristiwa sejarah atau tokoh-tokoh  sejarah untuk karya sastranya sehingga menghasilkan roman-roman atau novel-novel sejarah atau syair-syair sejarah. Di Indonesia, dalam sastra-sastra Melayu kuno atau sastra-sastra daerah terdapat sejumlah peninggalan karya-karya sejarawan-pengarang, atau pengarang-sejarawan, atau penyair-sejarawan yang menghasilkan Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Negarakertagama, Syair Perang Makassar, Hikayat Perang Sabil, dan lain-lain.

Roman Kamang Affaire karya Martha dan Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki termasuk ke dalam bagian sastra sejarah di mana kedua pengarang merujuk pada latar peristiwa Pemberontakan Pajak 1908 di Sumatra Barat. Tidak hanya itu, kedua pengarang di dalam karya menghadirkan gambaran pertikaian yang terjadi antara masyarakat Kamang dengan pasukan Belanda, termasuk menghadirkan gambaran mengenai tokoh yang dianggap sebagai pemicu terjadinya pemberontakan. Jika merujuk historiografi setelah penerbitan dua karya tersebut maka akan tampak kedekatan rekonstruksi peristiwa yang dihadirkan atara dua karya sastra tersebut dengan penulisan sejarah.

Sebagai sebuah karya sastra sejarah dua karya tersebut mempunyai keunikan masing-masing. Jika roman Kamang Affaire ditulis oleh Martha berdasarkan ingatan dari seseorang yang hidup ketika peristiwa terjadi, Syair Perang Kamang ditulis oleh orang yang secara langsung mengalami peristiwa tersebut. Roman Kamang Affaire narasinya lebih imajinatif dengan menghadirkan tokoh-tokoh lain dan peristiwa tambahan di luar persitiwa utama (pemberontakan). Sedangkan Syair Perang Kamang ditulis sebagai catatan pribadi Haji Ahmad Marzuki, dengan narator orang pertama, yang mengisahkan tuduhan Belanda kepada ayahnya (Syekh Abdul Manan) dan peristiwa penangkapan dirinya hingga dibawa ke penjara di Padang. Narasi yang dihadirkan Haji Ahmad Marzuki lebih intens, runut, dan linear mengisahkan kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya pada saat peristiwa terjadi.

Dua karya ini juga mempunyai perspektif berbeda dalam memandang peristiwa Perang Kamang yang membuat karya sastra sejarah bersifat unik ketika menceritakan sebuah persitwa sejarah karena tidak terikat penuh pada realitas sejarah. Hal ini tampak salah satunya dari bagaimana Martha menggambarkan laku-laku spiritual yang dianggap sebagai “sihir” dengan perantara jin untuk mendapatkan ilmu kebal melawan pasukan Belanda. Laku-laku “sihir” yang diistilahkan Martha tersebut dipimpin oleh seorang guru di daerah Kamang. Sedangkan dalam Syair Perang Kamang muncul istilah “azimat . . . tidak talok piluru” (jimat tahan peluru) dan Haji Ahmad Marzuki dalam syair tersebut menyangkal bahwa ayahnya adalah guru yang memberika jimat pada penduduk untuk berperang melawan belanda: “Yaitu fitnah kepada orang gadang,” tulis Haji Ahmad Marzuki.

 

Kepustakaan

Buku

Amran, Rusli. (1988). Sumatera Barat: Pemberontakan Pajak 1908. Jakarta: Gita Karya.

Djurip, dkk. (1996). Kajian naskah Pemimpin ke Syurga dan Syair Perang Kamang yang kejadian dalam Tahun 1908 (Wahyuningsih. Penyunting). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kahin, A. (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan PolitikIndonesia, 1928-1998” (Azmi & Zulfahmi, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartodirdjo, Sartono (2016). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogayakarta: Penerbit Ombak.

Martha. (1939). Kamang Affaire (Roman Pergaoelan No. 8. Serie 9/Pi, 1 November, Tahun I). Fort de Kock (Bukittinggi): Boekhandel & Uitgeverij “Penjiaran Ilmoe”.

Purwanto, Bambang dan Asvi Warman Adam. (2005). Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sjamsuddin, Helius (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sudarmoko. (2008).Roman Pergaoelan (1938-1941). Yogyakarta: INSISTPress.

Jurnal & Tesis

Kuntowijoyo. (2004). Sejarah/Sastra. Jurnal Humaniora. 16 (1).

Masyitah, dkk. (2019). The Kamang War in 1908 (The Peoples’s Movement Toward The Ducth).

Jurnal Online Makasiswa FKIP Universitas Riau. 6 (1).

Sudarmoko. (2010). Empat Karya Sastra tentang Perang Kamang.Jurnal Edita (Jurnal

Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan Universitas Andalas). 01 (Juli-Desember).

Artikel Internet

Nasir, Muhammad. (2020). Haji Abdul Manan, Kepala Perang Kamang (1908),

https://langgam.id/haji-abdul-manan-kepala-perang-kamang-1908/, diakses tanggal 7 November 2021, pukul 20.30 WIB.

 

[1]Roman Kamang Affaire karya Martha (Maisir Taib) termuat dalam Roman Pergaoelan, No. 8. Serie 9/Pi, 1 November, Tahun I (1939), diterbitkan Boekhandel & Uitgeverij “Penjiaran Ilmoe”, Fort de Kock (Bukittinggi). Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki digubah sewaktu pengarangnya dalam penjara setelah Perang Kamang (1908). Haji Ahmad Marzuki merupakan anak dari Haji Abdul Manan yang dianggap sebagai Kapalo Parang (Kepala Perang) pada waktu itu.

Blog16 Mei 2022

Esha Tegar Putra


Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatra Barat, 29 April 1985. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan menempuh pascasarjana di Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Diundang dalam Temu Penyair Empat Kota (Yogyakarta, 2006), Temu Penyair Lima Kota (Payokumbuh, 2008), Temu Sastrawan Indonesia II, III, IV (Tanjung Pinang, 2009; Pangkal Pinang, 2010; Ternate, 2011), Ubud Writers & Readers Festival (Ubud, 2009), Utan Kayu-Salihara International Literary Biennale (Jakarta, 2011), Korean-Asean Poet Literary Festival (Pekanbaru, 2009), Pertemuan Penyair Nusantara VI (Jambi, 2012), Pertemuan Pengarang Indonesia (Makassar, 2012), Asean Literary Festival (Jakarta, 2015). Buku puisinya Pinangan Orang Ladang (2009) dan Dalam Lipatan Kain (2015), Sarinah (2016), dan Setelah Gelanggang Itu (2020). Dalam Lipatan Kain meraih shortlist, lima besar, dalam penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2015.