Karlina Supelli
Kelindan Sastra dan Sains

Ilustrasi: Jiwenk

Kendati sastrawan dan saintis menggunakan bahasa dan pendekatan berbeda, bukan sekali dua kita membaca karya-karya sastra dan sains yang mencoba menerabas batas atau meleburkan perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Jika selama ini sastra dianggap terlampau mengedepankan imajinasi, bagaimana jadinya jika imajinasi itu dibangun berdasarkan temuan-temuan sains, atau sebaliknya, bagaimana jika temuan-temuan antropologi atau biologi disampaikan dengan naratif yang meminjam kekuatan naratif sastra?

Bahkan, sebelum sains berkembang, orang merumuskan “penciptaan dunia” melalui mitos dan kitab suci—yang bisa dilihat sebagai “kitab sastra”. Kitab Kejadian dan mitologi Nordik, misalnya, dipandang sebagai kosmogoni, ihwal bagaimana alam semesta terbentuk. Ketika kecerdasan manusia tumbuh dan sains menjadi salah satu puncaknya, misteri alam mulai tersingkapkan, apa yang dilukiskan mitos atau kosmogoni bukanlah apa yang dibuktikan oleh sains. Sains dan sastra dalam hal ini menempuh jalannya sendiri-sendiri, memiliki penggemar dan pengikut masing-masing (kaum religius dan kaum ilmuwan).

Karlina Supelli, seorang kosmolog sekaligus pengajar filsafat, mengupas aneka segi relasi antara sastra dan sains. Dengan latar belakang ilmiahnya, Karlina telah membantu menguraikan bagaimana sains dapat mempengaruhi sastra, dan sebaliknya, bagaimana sastra dapat menginspirasi sains. Ia menjembatani kesenjangan antara dua dunia yang seringkali terpisah ini dengan memberikan contoh-contoh konkret tentang bagaimana imajinasi dalam sastra dapat memicu penelitian ilmiah yang mendalam, dan sebaliknya, bagaimana penemuan ilmiah dapat memberikan bahan inspirasi yang kaya bagi karya sastra.

Selain itu, Karlina Supelli juga menjelaskan bahwa relasi antara sastra dan sains bukan hanya tentang imajinasi dan fakta, tetapi juga tentang cara pandang manusia terhadap alam semesta dan diri mereka sendiri. Sastra seringkali digunakan sebagai cermin untuk merenungkan makna hidup dan eksistensi manusia, sementara sains mengungkapkan aspek-aspek konkret tentang bagaimana alam semesta berfungsi. Melalui pemikiran filsafatnya, Karlina mengajak kita untuk menggabungkan kedua perspektif ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan manusia. Dengan demikian, kontribusi Karlina Supelli telah membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan kaya tentang hubungan antara sastra dan sains dalam budaya manusia.

Percakapan ini membongkar asal-usul pertentangan antara sastra dan sains sebagai gejala yang relatif baru, yakni terjadi sejak era Romantik dan mencapai bentuk kanoniknya pada abad ke-20. Karlina juga menanggapi perkembangan teknologi terkini seperti ChatGPT dalam relasinya dengan masa depan sastra. Ia menunjukkan secara meyakinkan bahwa sastra selalu punya kedudukan yang tak-tergantikan bahkan di zaman ketika hampir seluruh segi kehidupan digerakkan oleh algoritma digital. Berikut ini percakapan redaksi tengara.id dengan Karlina Supelli.

 

Sastra dan Sains: Pada Mulanya, Adalah Cerita

Bagaimana sebenarnya proses munculnya mitos? Apakah ia berdasar dari peristiwa nyata atau sepenuhnya mengandalkan imajinasi manusia tentang alam dan misterinya? Apakah munculnya kecerdasan manusia atau asal-mula sains itu sepenuhnya untuk membuktikan ketidakbenaran mitos (tentang penciptaan dunia, misalnya), atau memang sains adalah jalan sendiri yang tidak berurusan atau tidak mengusik otoritas mitos?

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Bagaimana pandangan Anda secara umum terkait para sastrawan dan saintis yang menggunakan bahasa dan pendekatan berbeda dalam menjelaskan suatu fenomena sains?

KARLINA SUPELLI

Memang pernah ada pandangan bahwa antara sains dan imajinasi cenderung tidak ada persinggungan, karena sains mengedepankan nalar. Tapi, sebetulnya ini adalah warisan zaman Romantik yang berpengaruh betul-betul melihat sains, terutama karena perkembangan sains Newtonian. Jadi, sebetulnya sains dan sastra sangat bergantung pada imajinasi. Saya melihatnya begini: alam semesta dari perspektif manusia adalah cerita. Hidup kita adalah cerita.

Mimpi-mimpi kita yang membuat kita terbangun tengah malam itu adalah cerita. Tanpa cerita, sains tidak ada. Matematika itu cerita. Satu tambah satu, hanya cerita tentang satu tangan. Satu tambah satu sama dengan dua sudah menjadi cerita yang berbeda lagi. Karena ia adalah cerita, maka ia perlu imajinasi. Pertemuan antara sastra dan sains ada di sini. Mereka sama-sama beranjak dari cerita, bertemu dalam cerita.

Sewaktu saya mengadakan penelitian, dahulu sewaktu masih aktif di bidang astronomi, saya bertugas mengamati satu jenis bintang. Nama bintang itu kataklismik, jenisnya disebut variabel kataklismik. Kata itu berarti bencana, banjir, badai. Intinya adalah suatu cahaya yang menyala tiba-tiba, lalu redup, menghilang. Bintang ini ditemukan sejak abad ke-18, persis karena menarik perhatian bahkan oleh para pengamat sebelumnya.

Ini sudah menjadi cerita populer terutama di antara astronom amatir. Tapi, kan, pertanyaannya: bintang jenis apa itu? Disebut kataklismik karena menyala tiba-tiba, lalu padam, ini disangka bencana, bintang mengalami bencana. Ternyata, bintang serupa muncul lagi, dengan gejala yang sama lagi, artinya bintang itu tidak mati, tidak hancur. Apa ceritanya? Maka, dibayangkanlah. Dibayangkan macam-macam, antara lain, misalnya, salah satunya, “Oh, ini ada pasangan bintang, yang satu raksasa, yang satu kecil. Yang kecil mampat, lalu menyedot.”

Dengan teori-teori fisika, dipertanyakan: apa implikasinya kalau ada materi yang berputar cepat? Oh, ternyata itu cahaya. Ini cerita dari kehadiran bintang itu.

Dengan sastra, kita juga punya cerita. Ada cerita macam-macam di sekitar kita, bahkan perasaan kita pun kita jadikan cerita. Bedanya adalah bahwa cerita sains pada akhirnya perlu cocok, perlu benar. Benar dalam arti sesuai dengan faktanya, apa faktualnya. Di sini, lalu sains dan sastra beda jalur. Sastra tidak perlu pusing, sastra punya kebebasan yang tidak dimiliki oleh sains. Terkadang saya iri, begitu ya, orang sastra ini imajinasinya bisa begitu luar biasa. Mereka bisa menikmati itu. Sementara sains, di satu titik, ia harus pindah jalur.

Ini kemudian yang persis disebut sebagai metode ilmiah, sains bekerja paling banyak pada langkah itu. Langkah yang menunjukkan bahwa suatu hal harus diuji. Tapi, pada awalnya, tidak ada metode ilmiah yang ketat, yang ada di awal seperti A System of Logic karya John Stuart Mill, atau Novum Organum karya Francis Bacon. Bagi ilmuwan, itu fiksi. Fiksi, yang artinya itu adalah karangan mereka. Tapi, praktik kerja ilmuwan tidak begitu. Anda bisa bayangkan Teori Relativitas bisa menghasilkan gambaran: kita bisa melihat belakang tengkuk kita sendiri. Teori ini, kan, serupa fiksi, yang lalu diuji.

Jadi, sains dan sastra itu sama-sama membangun dunia yang mungkin: dunia hipotetis.

Perbedaan selanjutnya, perbedaan kedua, adalah bahasa. Bahasa sains itu, kendati pada mulanya dengan cerita, bisa sangat bebas, setelah teruji, ia menjadi sangat ketat. Jika kita membaca kisah Lilliput membelenggu Gulliver, Don Quixote menantang kincir angin, iya itu akan selalu benar. Tetapi, dalam sains, apa pun pengungkapannya, semuanya kemudian perlu menjadi sangat sistematis.

Sastra juga sistematik sebetulnya. Tetapi, bahasa matematis—kalau ini saya bicara sains ilmu-ilmu alam—bahasa matematis itu kemudian memberi kepastian, dan tidak ambigu. Kata bisa bermakna dua, bisa bermakna tiga, terserah yang menafsirkan. Secara formal, itu berarti tidak semua tahap, tapi ada langkah metodologis yang tidak bisa ditawar. Imajinasinya berjalin dengan kesangsian, kesangsian yang kejam sekali: sudahkah cerita sesuai dengan yang ada di alam?

Nah, kesesuaian ini—ini lagi syarat yang berikutnya pada sains—harus sama untuk semua orang. Di sini persis menjadi kurang manusiawinya di situ: dia harus sama. Kuda adalah kuda menurut sifat faktual kuda, bukan kuda menurut Humpty Dumpty di dalam Alice’s Adventures in Wonderland.

Persis karena bahasanya yang ketat, dengan bahasa matematis itu, kemudian ketika akan dibahasakan kembali ke bahasa cerita, sains menemukan kesulitan. Karena apa yang sudah teruji, ternyata sering kali tidak bisa divisualkan. Bagaimana, misalnya, waktu berkelindan dengan ruang di dalam mancalipat (manifold empat dimensi)? Daya kognitif kita hanya bisa menjangkau tiga dimensi. Tidak bisa. Mau dibayangkan seperti apa pun, gambaran empat dimensi itu sulit digapai. Metafora jadi sangat penting di sini. Metafora itu adalah kekuatan yang luar biasa pada sastra. Alegori, tamsil, dan segala macamnya. Jadi, lalu ilmuwan menikmati metafora itu. Semakin banyak dia membaca karya sastra, imajinasinya ikut berkembang, semakin kemudian membantu dia untuk mengembangkan sainsnya.

Itu yang saya lihat kalau mau melihat hubungan awal antara sastra dan sains.

 

MARTIN SURYAJAYA

Dalam sejarah sains, kalau kita lihat sains dalam pengertian tulisan tentang topik-topik ilmu, seperti misalnya fisika, kalau kita lihat satu genre, sebetulnya dalam sejarah perkembangannya juga mengambil bentuk sastra kadang-kadang, ya?

Kemarin saya baru nonton Life of Galileo yang diadaptasi dari lakon karya Bertolt Brecht, di sana digambarkan bagaimana prosesnya menulis dialog tentang dua sistem dunia, dan itu bentuknya seperti cerpen, artinya seperti novel, orang berdialog ngobrol-ngobrol, walaupun memang ada diagram-diagram di dalamnya.

 

KARLINA

Persis, persis.

Jadi, Galileo itu yang memulai. Sains modern dimulai dari zaman Copernicus-Galileo. Yang mengambil genre itu pertama kali adalah Galileo. Karena apa? Karena dia ingin penemuan pemikirannya, atau penemuan Copernicus, dibaca oleh orang kebanyakan.

Maka, dia tidak menggunakan bahasa Latin. Dia menggunakan bahasa Italia, bahasa Italia yang sehari-hari. Dan betul-betul indah jika kita baca.

Saya senang sekali membaca tulisan Galileo. Berbeda sekali dari buku ajar fisika yang kita baca di sekolah. Hukum-hukum gerak Galileo itu berbeda sekali. Jika kita membaca karyanya, bahkan ketika dia menulis buku harian, dia mengamati bulan, matahari, lalu dia laporkan itu dalam buku harian, itu cerita.

Lalu, Primo Levi, dia menulis memoar yang mengambil metaforanya dari unsur-unsur kimia. Nalarnya naturalistik. Dia menggunakan analisis kimia. Tetapi, cara dia mengungkapkannya menggunakan bahasa yang sangat puitis, sangat indah. Bahkan, kita bisa merasakan ada kegetiran di situ.

Newton pun, selain persamaan matematisnya itu, dia menutup risalahnya dengan satu kesimpulan umum dalam bentuk narasi, dalam wujud cerita.

 

Pemilahan Jalur: Antara Ilmu Alam dan Ilmu Sosial

Bagaimana posisi sastra dan sains sebagai dua bidang yang berbeda? Apa yang membedakan keduanya, apa pula yang mempertemukan dan meleburkan keduanya?

 

MARTIN

Itu berarti memang ada semacam cara atau keperluan untuk menerangkan sesuatu yang asing bagi pembaca awam, perlu masuk dari pintu imajinasi yang bisa diakses oleh banyak orang. Mungkin seperti itu juga, ya, pertimbangannya saat memilih gaya penulisan sastrawi di dalam tulisan sains itu?

 

KARLINA

Itu ketika dia mau mempopulerkan. Tetapi, jika kita membaca bahkan tulisan-tulisan Einstein, memang rumus matematisnya banyak, tetapi di antara rumus-rumus itu, ada narasi yang sangat enak dibaca.

Ketika dia menceritakan, dengan mengalir mengatakan, “Oh, saya bulan lalu mengirim paper ini. Tapi, setelah saya lihat lagi paper itu, ternyata saya melakukan kekeliruan. Imajinasinya sepertinya begini.” Einstein memulai dengan itu, selalu dimulai seperti itu.

Ini berbeda, ya. Ini memang abad yang lalu. Pada akhir abad ke-19, Henri Poincaré menulis indah sekali. Bukan hanya untuk orang awam lho, ya. Untuk buku-buku risalahnya juga indah. Namun, kemudian, ketika jurnal menjadi syarat, halaman-halaman tulisannya harus pendek, di sana cara penyampaiannya kemudian berubah.

 

MARTIN

Jika kita membaca artikel-artikel di Philosophical Transactions zaman dulu, di eranya Newton, penuturannya memang masih naratif, ya?

 

KARLINA

Naratif. Seperti Newton, naratif, lalu ditambahkan rumusnya seperti apa.

James Clerk Maxwell juga begitu. Ia menulis naratif, lalu ia tambahkan rumus-rumusnya, karena mereka pada saat itu belum dituntut oleh syarat jurnal yang sekarang makin ketat. Hanya boleh menulis dua lembar. Apa yang mau ditulis? Dua lembar ya sudah, rumus matematisnya saja.

Tapi, sampai awal abad ke-20, hal yang berlaku tidak begitu.

 

MARTIN

Mungkin itu ada kaitannya juga, ya, antara cara menulis yang imajinatif itu dengan upaya manusia untuk menerangkan gejala alam yang semula dalam bentuk mitos. Bentuk awal dari sains, para pemikir awal dari Yunani mencoba mengartikan regularitas yang ada di dalam alam lewat kosakata mitos. Mungkin di situ juga bisa ditemukan keterkaitan antara sastra di satu sisi dengan sains? Sastra dan sains sama-sama mau menjelaskan dunia.

 

KARLINA

Begini, ketika sistem tulisan ditemukan, yang tertuang pertama-tama adalah cerita, dalam mitos. Jadi, manusia itu sebetulnya ya makhluk pencerita, apakah lewat sains, entah lewat sastra, entah lewat teknologi. Jadi, selalu ada kebutuhan untuk bercerita.

Ada mitos, ada dongeng, ada cerita rakyat—mitos, yang menarik, kekhasan dari mitos persis adalah sifatnya yang keramat. Cerita yang keramat, yang terjadi di kala itu, kalau kita meminjam istilah Mircea Eliade, in illo tempore. Jadi, mitos selalu menggunakan frasa “kala itu”, sementara dongeng menggunakan “alkisah”. Mitos itu sejarah suci. Itu yang membedakan. Indonesia juga kaya sekali dengan upaya ini.

Saya agak berhati-hati hendak mengatakan mitos itu menerangkan alam. Karena dengan demikian kita akan melihat mitos sebagai prasains. Begitu sains ada, mitos menjadi tidak bermakna. Bukan itu fungsinya. Mitos lebih daripada menerangkan alam. Mitos memang adalah wujud ketika orang melihat gejala alam, ada unsur pengalaman, tetapi kemudian diimajinasikan. Jadi, yang dominan adalah imajinasinya. Imajinasi puitik. Tapi fungsinya bukan semata-mata menerangkan, tetapi membuat orang tidak lagi takut melihat suatu gejala. Kalau merasa takut, mereka melakukan ritual.

Kalau kita menganggap sebagai semata-mata upaya menerangkan alam, itu nanti bisa menjadi upaya merasionalkan mitos. Itu salah satu cara membunuh mitos: menggunakan alegori. Jadi, yang tadinya teogoni, ini adalah cerita tentang asal-mula dewa, dialihkan menjadi kosmogoni. Dewa-dewanya, yang keramat itu, mereka itu adalah asal mula bintang, asal mula matahari.

Saya jadi agak berhati-hati. Saya tidak memakai perspektif itu, bahwa mitos semata-mata menerangkan alam.

 

MARTIN

Jadi, mitos ada unsur performatifnya, begitu?

 

KARLINA

Iya, karena mitos terkait ritual. Sementara dongeng, atau cerita rakyat, itu tidak. Mitos selalu tentang “kala itu”, dongeng atau legenda menggunakan “alkisah”. Jadi, dongeng atau legenda itu sesuatu yang tidak terjadi, atau terjadi, tetapi menyangkut dunia manusia. Sementara, mitos itu menyangkut dunia keramat.

 

MARTIN

Jika kita melihat perkembangannya, kemudian, menyambung diskusi tadi tentang aktivitas sains ilmuwan dan sastrawan, di era Galileo atau di era sebelum itu narasinya masih bercampur, kan? Narasi sains dengan narasi sastrawi masih berkelindan. Tapi, tadi Anda menyampaikan, di abad ke-20 itu mulai terpisah. Khususnya dengan munculnya tradisi jurnal ilmiah yang menghendaki penulisan yang singkat dan langsung mengena ke poin-poin yang hendak disampaikan. Bersamaan dengan itu, di era modern dikenal ada pemisahan antara dua kebudayaan, yang disampaikan oleh C.P. Snow, tentang budaya literasi dalam pengertian sastra, terus bacaan-bacaan klasik di satu sisi, dan di sisi lain ada budaya sains yang sama sekali seperti bertentangan. Bagaimana Anda memandang pertentangan yang disampaikan oleh C.P. Snow itu?

 

KARLINA

Di abad ke-19, terjadi perdebatan metode antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora. Bermula dari situ. Tulisan-tulisan yang tadinya sangat naratif, dengan imajinasi yang luar biasa, salah satunya yang sangat terkenal, yang mengguncang Inggris waktu itu, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa, The Vestige. Sebetulnya itu fiksi sains, tetapi diklaim sebagai sains. Lalu, ada kelompok-kelompok seperti Thomas Henry Huxley dan teman-temannya itu, mereka mengatakan bahwa karya itu membingungkan publik. Jadi, siapa yang sebetulnya berhak menulis tentang sains? Maka, lahirlah profesi saintis itu. Saintis tadinya bukan profesi.

Lalu, kemudian dibatasi, siapa yang boleh menulis di jurnal-jurnal ilmiah? Ya, mereka yang profesinya saintis. Siapa yang berbicara di ruang-ruang publik tentang sains? Lalu, terjadilah pemisahan. Lalu, pengaruh positivisme, yang dianggap betul-betul menciutkan—menciutkan makna dunia hanya ke fakta.

Perkembangan ini juga berpengaruh. Pada zaman Romantik, ada penolakan terhadap filsafat mekanistik. Jadi, ini ada kait-kelindan pengaruhnya, lalu apalagi ada muncul positivisme logis, yang mau menghapus metafisika dan lain sebagainya. Ini jadi berpengaruh juga, kemudian kelihatanlah seolah terpisah kuliahnya C.P. Snow itu, puncaknya pada 1949.

Ini dua bidang yang tidak ada jembatannya. Padahal, dalam praktik ilmuwan, seperti Einstein, Eddington, tidak seperti itu. Karena, Eddington menulis buku yang sangat menarik tentang alam semesta. Pola pikir Einstein sangat imajinatif. Jadi, ada perbedaan sebetulnya antara praktik dan yang kemudian “diabstraksikan”. Oh, sains itu seperti ini.

Jika saya mengajar Filsafat Ilmu pakai siklus empiris, itu ya fiksinya filsuf ilmu tentang sains. Karena sebetulnya tidak seperti itu. Tapi, pengaruhnya juga dari filsafat, ya. Dari filsafat, dari tradisi ilmu-ilmu budaya sendiri yang melihat sains itu berbeda.

 

MARTIN

Dan juga mungkin pengaruh sains di dalam sastra ada juga, ya. Artinya, ketika sastra menjadi suatu ilmu, itu kan juga ada semacam usaha untuk menertibkan metodenya. Terutama, kritik sastra, T.S. Eliot berupaya untuk mencari kekhasan dari sastra, yang disebut sebagai medium specificity; yang khas dari sastra itu secara wahana apa, sih? Katanya, itu adalah kata, misalnya. Jadi, komposisi kata adalah kekhasan wahana sastra. Tampaknya ada semacam usaha yang sebetulnya juga dialami oleh perkembangan ilmu-ilmu pada masa itu, ya? Kekhasan sosiologi, ekonomi, itu apa, dan seterusnya?

 

KARLINA

Subject matter-nya. Subjeknya apa. Lalu, kalau sudah ada subjek yang mau diteliti itu, metodenya apa? Kalau pada T.S. Eliot itu, saya sebutnya, bias sains pada sastra. Jadi, memang terkait perkembangan sastra itu sendiri. Tapi, perdebatannya memang panas sekali pada abad ke-19.

 

MARTIN

Ya, itu berkaitan dengan perdebatan umum tentang arah kebudayaan.

 

KARLINA

Ya, persis itu.

 

MARTIN

Perkembangan universitas dan seterusnya itu, ya…

 

KARLINA

Karena yang terlibat waktu itu Humboldt. Lalu, universitas ini mau ke mana? Bidang-bidang apa yang mau dikembangkan, dan perlu pembagian bidang. Waktu itu dirasakan perlu pembagian bidang. Ada kecenderungan semua bidang ilmu mau mengambil model sains. Lalu, mereka menganggap itu tidak tepat.

 

ZEN

Tadi Anda menyebut bahwa sejak abad ke-20 atau zaman modern, sains menjadi sangat ketat. Tulisan-tulisan di jurnal ilmiah, katakanlah, menjadi semakin rigid dan menggerus sebanyak mungkin imajinasi. Berbeda dari apa yang sebelumnya terjadi di jurnal-jurnal ilmiah. Jika kita lihat fenomena ini, itu mungkin hanya terjadi di lapangan sains murni. Misalnya, dalam ilmu sosial, tidak seperti itu, ya? Antropologi, misalnya, laporan para antropolog cenderung mendekati sastra—tulisan-tulisannya Clifford Geertz, atau antropolog Amerika yang ke Afrika malah bikin novel etnobiografis. Apakah keketatan itu mungkin hanya terjadi di bidang-bidang sains; fisika, astronomi—tetapi tidak terjadi di ilmu sosial?

 

KARLINA

Betul, ya, yang sangat ketat memang pada sains alam. Tapi, sekarang ini, jika kita melihat kecenderungan terakhirnya, Humaniora memang masih tetap longgar. Jika sekarang ini kita melihat ilmu sosial dan ilmu politik, terutama sosiologi, semakin mengarah ke keketatan itu, dan bahkan metodenya pun sangat mengandalkan metode kuantitatif. Jadi, jika orang dari lapangan ilmu politik atau ilmu sosial hendak mengambil atau menulis penelitian dan tidak memakai metode kuantitatif, itu bukan lagi mainstream, justru diragukan. Clifford Geertz, kan, melakukan studi komparatif. Memang ada yang menggunakannya, tapi jurnal-jurnal ilmiah bidang itu, yang prestisius katakanlah, lebih akan menerima pendekatan yang kuantitatif tersebut.

 

ZEN

Kalau saya boleh kembali ke masa-masa kuliah di Salihara tempo hari, Anda banyak menyinggung soal mitos-mitos penciptaan dunia dalam tradisi Sumeria, misalnya. Enkidu dan segala rupa. Dan kita tahu bahwa memang pada saat itu, apa yang sekarang ini kita sebut sebagai teori penciptaan dunia dikuasai oleh mitos atau mitologi, sebelum kemudian sains memberi argumen saintifik perihal apa yang bercahaya di malam hari, oh itu bulan. Tapi, tetap saja, meski pada akhirnya sains menggerus wilayah mitos atau mitologi yang diambil oleh sastra, kemudian orang sains mengambil lagi unsur-unsur metaforik; misalnya menyebut nama-nama planet dengan nama Andromeda, Bima Sakti, dan seterusnya, bahkan milky way. Itu, kan, buat saya metaforis sekali. Sebetulnya penolakan sains terhadap sastra tidak bisa seratus persen, ya? Tetap saja saling mencuri atau memanfaatkan apa-apa yang dianggap penting untuk diri mereka masing-masing, entah itu sains secara pribadi maupun sastra yang menggunakan metode atau tampak ilmiah atau saintifik.

 

KARLINA

Saya berpendapat bahwa pandangan C.P. Snow, perihal sains dan sastra tidak ada jembatannya itu tidak tepat. Apalagi setelah perkembangan sains abad ke-20-21 ini, terlalu banyak temuan-temuan yang tidak mungkin semata-mata menggunakan bahasa formal untuk bisa digambarkan, karena sulit sekali, dan memerlukan imajinasi luar biasa. Imajinasi yang paling kuat, sebetulnya, kan adanya di sastra. Selain memang ada sejarahnya, bahwa pada mulanya adalah mitos. Cerita berupa mitos—sejarah itu dipegang, tetapi juga karena kekuatan bahasa itu.

Jadi, memang sastra betul-betul dipinjam. Dan, ilmuwan-ilmuwan besar adalah mereka yang mencintai dan membaca sastra. Kecuali mereka yang sangat positivistik, dan menganggap itu tidak perlu karena itu hanya fiksi.

Sebetulnya, dalam sastra, pengayaan terjadi luar biasa. Ketika kita mulai menyusun suatu karya ilmiah, sebelum keketatan berpikir dalam sains diterapkan, pertama-tama yang kita lakukan adalah melengkapi diri dengan imajinasi, kita perlu metafora-metafora dan emosi. Lepasnya emosi hanya terjadi di tahap akhir, ketika pengujian. Pada tahap awal, tahap penemuan, tahap menyusun pertama kali, bahkan masuk ke laboratorium, ada emosi yang terlibat.

Jadi, kita perlu lihat sains sebagai proses, sains sebagai kegiatan manusianya, si ilmuwannya ini, dan sains sebagai produknya, dan sains sebagai metode. Yang formal, yang digambarkan, itu yang keluar adalah sains sebagai produk, dan dibanggakan. “Ini sudah melalui pengujian ilmiah.” Metodenya ditunjukkan, supaya orang percaya bahwa ini memang teruji. Tetapi, yang jarang diceritakan adalah sains di tahap proses.

Sains di tahap proses adalah sains yang dihayati, sains sebagai kegiatan konkret si para ilmuwan. Ini sama emosionalnya seperti kegiatan manusia yang lainnya. Unsur psikologisnya sama. Jadi, semakin dia mengenal sastra—dan sering kali ada kebutuhan membaca sastra persis karena emosinya itu menjadi semakin terlatih—maka si ilmuwan akan menjadi semakin peka. Ini bahkan terjadi pada ilmuwan ahli Fisika, ya, sains yang kalau mau dikatakan yang paling kaku, Matematika juga begitu. Matematika membutuhkan imajinasi yang luar biasa.

 

ZEN

Kalau kita kembali ke soal-soal Matematika di sekolah, soal cerita, misalnya “Ani memiliki lima buah jambu, ibunya menambahkan tiga jambu”, itu sebetulnya 5 + 3. Itu adalah bagian sains yang sangat dibantu diterangkan secara sastra, bercerita, sehingga bagi anak-anak terutama, proses mengalami sains atau matematika sebagai sebuah cerita atau pengalaman yang menyenangkan, karena menyangkut dengan benda-benda atau sesuatu yang dekat dengan mereka.

 

KARLINA

Betul, dan itu menunjukkan bahwa ada lebih dari satu cara untuk menyelesaikan soal-soal. Matematika menjadi sangat menarik. Sebetulnya, pada dasarnya semua itu adalah cerita. Alam semesta adalah cerita. Tapi, kemudian, ada jalur yang berbeda, karena ada pertanggungjawaban yang berbeda.

 

Hubungan Sains dan Keindahan

Jika dulu T.S. Eliot menyebut bahwa “sastra/puisi harus melarikan diri dari personalitas”, maka dalam artian tersebut sastra harus mengalami “depersonalisasi, melampaui emosi”, bukankah itu juga cara kerja sains, ketika aspek emosi seorang ilmuwan tidak turut mempengaruhi cara kerja sebuah penelitian ilmiah?

 

MARTIN

Tadi kita sudah membahas kaitan antara sastra dan sains, dengan genre penulisan ilmiah, juga berkaitan dengan mitos—bukan dalam pengertian pra-sains, tapi sebagai cara untuk menyelenggarakan satu kehidupan sosial, atau berhadapan dengan situasi batin masyarakat dan fungsi ritual dari mitos itu.

Kita juga sudah membahas perkembangan ilmu sastra di abad ke-20, bersama dengan munculnya ilmu-ilmu yang lain, mulai dicari kekhasan pokok soal sastra dan juga metodenya. Anda juga sempat menyampaikan tentang T.S. Eliot, bahwa ada usaha dari Eliot untuk melakukan semacam saintifikasi terhadap sastra. Sejauh mana itu dimungkinkan? Artinya, dalam konteks ilmu alam atau ilmu sosial, yang dicari adalah suatu penjelasan yang sifatnya sebisa mungkin menggambarkan suatu hukum. Tapi, kalau dalam hal sastra, sepertinya agak sulit kita bicara adanya hukum yang mengatur dinamika sastra. Bagaimana pandangan Anda perihal itu?

 

KARLINA

Kalau kita membaca esai-esai Eliot tentang itu, dia memang mengatakan secara eksplisit: poetry is a science. Puisi adalah sebuah sains. Kata “sebuah” ini penting, “a”, jadi bukan poetry is science, tapi poetry is a science. Di sini pemilihan kata “suatu” tidak dijelaskan, tapi jika kita membaca tulisan-tulisannya, dia tidak menyebut ke sains partikular. Memang kelihatan ada kecenderungannya ke kimia, fisika, tetapi sebetulnya dia menjelaskannya sebagai sains bukan dalam pengertian Anglo-Sakson, tapi Jerman, Wissenschaft, pengetahuan yang sangat luas dan sistematik. Sistematika pencarian pengetahuan melalui riset, ada data di situ, ada eksperimen, ada keterorganisasian sains.

Sains sebagai praktik sosial, simbol kemodernan. Itu yang lebih dimaksudkan oleh Eliot. Persis di situ, kemudian dia mengatakan bahwa penyair harus melepaskan diri dari emosinya. Bahkan, kalau kita baca The Love Song of J. Alfred Prufrock, ada satu larik “there will be time to murder and create”. Eliot melihat sastra itu melibatkan kesinambungan sejarah. Ke sejarah sastra, tradisi sastra, itu yang pertama, dan bukan ekspresi pribadi seperti pada Wordsworth, misalnya.

Si penyair, atau sastrawan, menangkap kesan-kesan, lalu emosi yang muncul dalam dirinya bukan emosi pribadi, bukan semangat Romantik, atau pribadi sebagai pusat. Ini yang mau dilawan oleh Eliot. Jadi, kemudian, semua yang dia rasakan, dia peroleh, dia pelajari, seperti dikumpulkan saja. Lalu, begitu ada momen tertentu, semua itu keluar, dan menghasilkan suatu karya baru, yang sudah bukan emosi pribadi.

Jika saya melihat, itu yang dia maksud. Jadi, ada metode si penyair mempelajari tradisi sastra dengan sangat sistematik, dengan rapi, mengumpulkan kesan-kesan. Bukan mencari yang umum, saya tidak menemukan hukum-hukum seperti itu dalam Eliot. Implikasi ini yang terus berkembang menjadi the death of the author, matinya sang pengarang, karena pengarang lalu seakan-akan tidak bermakna. Tapi, pada zaman Romantik pun, John Keats sudah menyebut penyair bunglon, bahwa penyair tidak punya identitas, karena penanya diisi dengan macam-macam, yang bukan dirinya.

 

MARTIN

Kalau di era Romantik, kan, ada semangat tentang menyuarakan semangat zaman, mengekspresikan suatu bangsa yang dibayangkan.

 

KARLINA

Juga kuat kritik terhadap sains, ya. William Blake, kan, sampai mengatakan, “Saya tidak bernalar, saya mencipta.” Itu, kan, jelas memperlihatkan pandangan tentang perbedaan. Eliot, kalau menurut saya, tidak menjadikan sastra sebagai sains penuh, bukan dalam arti mencari hukum.

 

Fiksi Sains: Puncak Peleburan Sastra-Sains?

Fiksi sains dianggap sebagai karya sastra yang banyak menggunakan temuan sains, tetapi sebenarnya, seberapa besar peluang sastra dalam menggunakan temuan sains tersebut? Ataukah, ada peleburan lain yang tidak tertampung dalam kategori “fiksi sains”? Bagaimana kita melihat ragam “tulisan sains yang bergaya sastra” belakangan ini? Atau, karya-karya sastra yang menggunakan pendekatan atau basis penciptaan non-sastra (fiksi spekulatif, fiksi-esai atau Borgesian)? Bahkan karya-karya fiksi terbaru di Indonesia yang memanfaatkan algoritma komputer atau struktur game sebagai bahan atau pembangun cerita? Dengan kata lain, sejauh mana sastra bisa memperluas dirinya?

 

MARTIN

Selain itu, ketika kita berbicara tentang kait kelindan antara sastra dan sains di abad ke-20, ada berbagai respons, termasuk para kritikus baru di Amerika bagian selatan cenderung menolak bahwa sastra harus ditundukkan pada ideal-ideal sains.

Mereka mengkritik perkembangan sains modern pada masa itu. Tapi, di sisi lain, ada praktik para sastrawan yang justru dekat dengan sains, artinya mereka menggali inspirasi dari sains, yang sebetulnya sudah ada lama sejak abad ke-19-20 semakin dominan. Perkembangan genre fiksi sains, misalnya, yang mengemuka—tadi Anda sebutkan tulisan Aldous Huxley, H.G. Wells, berkembang terus di abad ke-20, sampai membentuk salah satu genre yang paling aktif, yang diproduksi sampai dengan hari ini.

Dari sudut pandang sains sendiri, bagaimana melihat fiksi sains ini? Dia sebetulnya bisa dikatakan seperti mengantisipasi beberapa ide aplikasi dari sains dan teknologi dewasa ini. Misalnya, internet sudah dibayangkan sejak jauh-jauh hari dalam fiksi sains; teknologi lain seperti ponsel pintar juga sudah dibicarakan sejak tahun 1950-an. Bagaimana sebaiknya kita melihat genre fiksi sains ini?

 

KARLINA

Ada beragam jenis fiksi sains, ada utopia, tentang masa depan yang diidealkan, atau sebaliknya, masa depan yang justru menjadi hancur berantakan. Sumbernya adalah ilmu, penemuan ilmu dan teknologi.

Ada prinsip-prinsip sains yang diikuti dalam cerita-cerita itu. Tapi, kemudian, kan dia bebas mengimajinasikan. Dan imajinasi manusia, begitu dia melihat satu benda hasil teknologi saja, imajinasi bisa berkembang ke mana-mana, ini yang kemudian melahirkan kisah-kisah antisipasi itu.

Jika kita mencermati, hal ini sudah berkembang sebelumnya, sejak zaman Leonardo da Vinci, sudah ada imajinasi yang membayangkan bagaimana manusia bisa terbang hanya dengan melihat burung. Kekuatannya tetap pada kemampuan imajinasi manusia. Yang menarik dari fiksi sains adalah ia menyebarkan metafora-metafora baru, untuk menyampaikan hal-hal yang belum terungkapkan.

Ada karya sastra yang betul-betul merupakan fiksi sains, betul-betul bagus, dan ada juga yang hanya “seolah-olah”, mereka memakai istilah sains atau teknologi, tapi tidak diolah secara memadai. Dan kalau karya itu masuk kategori fiksi sains, artinya dia tetap masuk sastra, berarti ada yang lebih dari sekadar memasukkan prinsip-prinsip sains.

Dia berbicara tentang sesuatu yang lebih, ada ironi, ada paradoks, ada memahami manusia bukan dari ranah manusia. Jika kita pernah membaca Isaac Asimov, ada seri ceritanya tentang robot, itu fiksi sains awal pada abad ke-20, yang betul-betul bisa mengaduk-aduk perasaan, sama seperti ketika kita membaca karya sastra yang bukan fiksi sains. Jadi, tidak semua fiksi sains berhasil. Dia berhasil mengangkat tema-tema sains atau teknologi, tetapi apakah ia berhasil sebagai sastra?

 

MARTIN

Yang juga penting dalam fiksi sains seringkali soal koherensi atau konsistensi internal. Artinya, sejauh mana dunia yang dibangun di dalam fiksi sains itu bisa konsisten, tidak arbitrer, dan orang masih bisa merasa itu masuk akal di dalam asumsi fiksi tersebut. Jadi, artinya, seringkali perincian menjadi sangat penting.

Perincian, misalnya, tentang komposisi atmosfer di satu planet, sering kali diuraikan begitu mendetail dengan buku-buku fisika dan semacamnya. Ada semacam usaha untuk membangun apa yang dalam dunia sastra disebut sebagai “world building” (membangun dunia). Dan itu memang membutuhkan semacam bacaan sains lumayan kuat, untuk bisa membangun dunia yang terperinci, sehingga orang bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi tokoh di dalam novel.

 

KARLINA

Ya, kita seperti dibawa masuk ke satu dunia, yang betul-betul dibayangkan bisa ada. Tapi, tidak ada sekarang ini, karya yang bisa begitu mendetailnya, termasuk peristiwa-peristiwa manusianya yang mendetail itu. Atau robot-robotnya itu, ya, yang tetap membangkitkan emosi kita. Saya terkadang menemukan karya fiksi sains, yang hanya mengambil istilah ilmiah, dan itu sudah digolongkan fiksi sains. Terus terang, saya tidak tertarik membaca itu. Karena membaca karya seperti itu, seperti membaca tempelan saja.

 

MARTIN

Dan biasanya, fiksi sains dikenal dalam satu rumpun besar SFF, Science Fiction/Fantasy, karena memang keduanya sebagai genre memadukan unsur-unsur keilmuan, walaupun agak berbeda, fiksi sains biasanya lebih ke masa depan, menggunakan ilmu-ilmu seperti fisika dan seterusnya, sementara fantasi ada unsur biologinya atau unsur-unsur sosial humaniora, misalnya seperti The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien, sangat terperinci menggali kekayaan bahasa dari middle earth, sehingga disediakan satu kamus oleh Tolkien. Artinya, memang fiksi sains dalam pengertian fiksi tentang masa depan yang menggunakan ilmu-ilmu alam ataupun fantasi sebetulnya sangat dekat, memperlihatkan keterkaitan yang erat antara sastra dan sains.

 

KARLINA

Karya Tolkien itu bisa disebut fiksi spekulatif, tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip ilmiah. Studinya sangat ketat, tentu saja, tetapi tidak dibatasi. Fiksi sains dibatasi oleh prinsip-prinsip sains. Kalau ini, tidak. Itu saya kira bedanya. Jadi, dia lebih bebas. Tolkien memang sangat terkenal terkait itu, sering kali dimanfaatkan untuk menentang realitas yang dominan, jadi semacam eksperimen pikiran.

 

ZEN

Jika saya melihat Tolkien yang dialihwahanakan ke dalam film, kita tahu ia ahli bahasa-bahasa Nordik. Bahkan, dia menciptakan bahasanya sendiri, aksaranya dan seterusnya, untuk mendukung perincian di dalam fiksi. Menurut saya, memang, tadi Anda mengatakan mana yang tempelan dan mana yang genuine dalam fiksi sains.

Bukankah yang sifatnya paten itu hanya mungkin dilakukan, karena tuntutan bentuk dari seorang pengarang? Jika dia mau membangun sebuah fiksi tentang sebuah planet yang jauh di sana, artinya kan dia harus membangun sebuah fiksi yang nalar ilmiahnya harus jalan. Artinya, dia membutuhkan segala perincian soal nama-nama planet, sifat kandungan udara, dan lain-lain, atau anatomi makhluk-makhluk yang hidup di sana.

Buat saya, itu semacam konsekuensi atau tuntutan dari hasrat mengejar realisme di dalam sastra. Jadi, gambaran tentang sesuatu yang nun jauh di sana itu harus serealistis mungkin agar pembaca bisa percaya. Tentu saja, kalau yang fiksi tempelan, itu orang malas saja yang mengerjakan. Bukan hanya dalam fiksi sains, dalam fiksi realistis juga banyak yang malas seperti itu. Jadi, itu adalah bagian atau konsekuensi bagi seorang penulis kalau dia ingin mengejar perincian atau nalar fiksi yang masuk akal. Maka, dia harus mencari sampai ke anasir-anasir saintifik di dalam fiksinya.

 

KARLINA

Jadi, perbedaan-perbedaan genre dan subgenre ini, bisa saja kalau menulis fantasi sepenuhnya, bisa disebut fantasi, tapi jangan disebut fiksi sains. Jadi, ada konsekuensinya, dia punya tanggung jawab kalau menyebut dirinya menulis fiksi sains. Tapi jika hendak menjadi seperti Tolkien—fiksi spekulatif—dan dia tidak menyebut dan menggolongkan karyanya sebagai fiksi sains, karena memang lalu dia menulis dengan sangat bebas. Jadi, memang ada konsekuensi. Pilihan dia apa?

Yang menarik buat saya, ada juga yang kemudian sulit untuk digolongkan. Jika saya membaca karya, One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez , di situ ada unsur waktu yang bukan-waktu, ruang waktu yang menyatu. Ini gambaran menarik sekali. Seorang tokohnya José Arcadio Buendía digambarkan seperti kelihatannya naif soal metode, tidak mampu membedakan antara takhayul dan pengetahuan, dia punya laboratorium. Tetapi, di jantung diri dia itu, jantung jiwanya, jantung batinnya itu, dia itu ilmuwan, yang begitu mengisolasikan diri.

 

ZEN

Buendía ini kakeknya, ya, yang punya laboratorium kecil di kamarnya.

 

KARLINA

Iya, dan dia di situ dengan sangat serius, tapi lalu, bukan waktu di dalam waktu. Ini menarik sekali, tetapi kan ini genre yang beda sekali, dan tidak disebut fiksi sains. Saya membaca si tokohnya ini, José Arcadio Buendía, saya membayangkan ya memang betul, mana ada ilmuwan yang tahu bahwa metodenya itu paling benar? Jadi, itu kan campuran mitos, ada paradoks, ada gambaran ilmu sedikit yang kemudian diputar begitu rupa. Lalu, ini tidak kena konsekuensi fiksi sains karena genrenya berbeda, tapi kekayaannya luar biasa.

 

MARTIN

Mungkin melihat Márquez, karyanya itu sering digolongkan sebagai genre realisme magis dan bukan fiksi sains. Menariknya, di dalam novel itu, banyak sekali kisah dengan nalar ilmunya. Jangan-jangan suatu karya disebut fiksi sains ketika dia mengandung uraian tentang sains yang muncul di Eropa. Tapi ketika muncul di dunia ketiga, di dunia yang non-saintifik itu, maka ia disebut realisme magis. Jadi, apakah artinya status dari fiksi sains itu sendiri relatif dari posisi sains yang kita bicarakan? Apakah sains modern Barat Eropa itu, ataukah sains vernakular? Bisa dibaca seperti itu?

 

KARLINA

Bisa dibaca seperti itu. Tapi, jika kita berbicara sekarang ini, secara umum yang disebut sains, apakah Barat atau bukan, sains punya kriteria-kriteria khususnya. Bahkan, jika kita mau berbicara tentang sains, tentang sistem pengetahuan Nusantara, yang sekarang disebut sistem pengetahuan, bukan sains, itu juga ada langkah sistematik.

Jangan katakan bahwa leluhur kita tidak punya epistemologi. Namanya saja yang bukan epistemologi, mereka bisa memilah mana subjek dan mana objek. Hanya memang, dunia kosmologinya kemudian memasukkan realitas yang magis, realitas yang mitis. Itu bedanya. Dalam fiksi sains, saya kira karya di Barat ciri khasnya adalah tidak ada yang supernatural. Semuanya prinsip-prinsip ilmiah.Tapi, jika saya hendak menyebut karya Márquez itu sebagai fiksi sains, justru merasa sayang, ya. Menciutkannya. Karena, karya itu jauh lebih luas dari itu.

 

Aspek Spekulatif dan Fantastis dalam Logika Barat

Dalam perbincangan tentang dikotomi antara pemikiran di Amerika Latin dan Barat, khususnya yang bersifat Kontinental, penting untuk mencatat bahwa karya sastra seperti Frankenstein dan Doctor Faustus memunculkan pertanyaan tentang hubungan antara sastra dan sains. Meskipun banyak kritikus mengaitkan sastra dengan logika sains, karya-karya seperti Frankenstein, yang memperkenalkan konsep membangkitkan yang mati, atau Doctor Faustus, yang mengeksplorasi penukaran jiwa dengan setan, secara esensial masuk ke dalam kategori spekulatif. Meskipun terkait dengan Barat, pemikiran ini menciptakan tantangan kompleks dalam menjelaskan bagaimana logika Barat dapat mencakup aspek-aspek spekulatif dan fantastis dalam karya sastra mereka.

 

MARTIN

Mungkin karya itu masuk di dalam kategori fiksi spekulatif, yang lebih sering digunakan—menerangkan ulang sejarah suatu bangsa secara alternatif, dengan narasi yang berbeda sama sekali dengan apa yang tertera dalam buku sejarah.

 

KARLINA

Jadi, lebih terbuka, lebih bebas, dan ada latar budaya yang berbeda, dan tidak merasa terganggu dengan mencampurkan antara yang mitos dan magis.

 

MARTIN

Dan memang dalam tradisi fiksi spekulatif sendiri, yang menjadi sumber utama Márquez adalah Borges. Sumber inspirasinya ketika menulis novel itu adalah dongeng Borgesian. Salah satunya ada satu cerpen Borges yang sangat singkat, hanya satu paragraf, yang juga mengangkat kaitan sains, judulnya On Exactitude in Science, satu paragraf pendek yang bercerita tentang suatu daerah yang memiliki tradisi ilmu kartografi yang bagus, sampai akhirnya masyarakat di daerah itu menciptakan satu peta yang skalanya 1:1. Jadi persis seperti apa yang digambarkan. Sampai akhirnya orang-orang merasa, setelah puncak pencapaian itu, ilmu kartografi ternyata tidak berguna kalau untuk membuat peta 1:1, karena pada akhirnya tidak ada beda antara yang dipetakan dan yang memetakan. Akhirnya, jadi sampah, peta itu dikesampingkan di satu hutan. Jadi, cerpen ini dalam satu paragraf secara singkat bisa menggambarkan problematika tentang realisme representasi di dalam sains dan seterusnya, ya.

 

KARLINA

Sama seperti “The Library of Babel” karya Borges yang lain lagi. Ini berkisah tentang buku begitu banyak, tapi tidak ada yang berguna. Ada satire di sana. Satu hal yang menarik dari cerita-cerita Amerika Latin itu, mereka menerima paradoks. Sementara di Barat, paradoks itu harus dipecahkan. Padahal, paradoks itu bukan dipecahkan, paradoks itu diterima. Jadi, ada logika naratif yang berbeda. Bagi saya, ya paradoks itu diterima, dibiarkan saja begitu. Ini yang sangat menarik, jika masuk ke logika kontemporer, ini menerima logika yang kontradiktif. Ini kekhasan Amerika Latin.

Jika kita mencermati mitos, mitos juga menampung logika yang kontradiktif seperti itu; kutub-kutub yang berlawanan itu bisa menyatu. Di Barat, kan, tidak diakui, bahkan infinitas tidak diakui sampai periode Georg Cantor. Tapi dalam masyarakat selatan, katakanlah, termasuk di Indonesia dan Amerika Latin, tidak ada masalah dengan itu.

 

MARTIN

Dan menariknya juga, logika nonklasik yang menerima kontradiksi itu dicetuskan oleh orang Amerika Latin, oleh Newton da Costa.

 

KARLINA

Sementara mulai dari Xeno, Kepler, David Hume, dan lainnya, mereka semua menolak infinitas. Memang berbeda, maka karya-karyanya pun juga berbeda.

 

ZEN

Itu bukan karena, katakanlah, di Amerika Latin atau negara-negara vernakular itu, ada sesuatu atau banyak yang tidak bisa diterangi oleh semangat pencerahan itu?

Artinya, ada bagian-bagian dunia yang tetap gelap saja, dan tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Misalnya, kenapa si A berlaku seperti itu, berdiam di dalam laboratorium yang aneh dan seterusnya.

Jadi, aspek-aspek itu bukankah lebih banyak ditemukan di luar negara-negara yang kategorinya vernakular, negara dunia ketiga, pascakolonial, dan seterusnya. Di Eropa kontinental, kan, mungkin bukan tidak ada cerita tentang hantu. Tapi, menurut saya lain, semuanya harus dipecahkan, harus dijawab oleh sains. Sementara di wilayah selatan, di Amerika Selatan, itu dibiarkan saja. Daerah gelap itu adalah bagian yang wajar dari kehidupan kita sehari-hari; seperti kisah-kisah hantu di Indonesia.

 

KARLINA

Saya pikir, memang begitu, ya. Logikanya berbeda, cara melihat realitasnya berbeda. Paradoks diterima sebagai paradoks, karena memang bukan untuk dipecahkan. Lalu, ada dunia lain, realitas lain, yang entah dipercaya atau tidak, ya sudah, itu ada. Dalam sains di Barat, dan filsafat sebetulnya, pengaruh yang paling besar ketika logos sangat didewakan—semua hal harus bisa dijawab oleh logos, jika tidak bisa dijawab oleh logos, menjadi mitos—hal ini sebetulnya membatasi. Maka, yang menarik bagi saya adalah sebetulnya ketika orang bisa berpikir dan mengakui bahwa sains tidak menjawab segala-galanya.

Dalam kuliah-kuliah saya sering memanfaatkan kisah-kisah mitos dan sastra, itu karena saya merasa letih dan capek menghadapi orang-orang yang mengagung-agungkan sains. Pokoknya sains itu yang tertinggi, yang bisa menjelaskan, dan dunia kalau belum tersentuh sains dipandang sebagai belum tercerahkan. Saya letih dengan pandangan itu. Jadi saya sering memakai mitos dan sastra, untuk menunjukkan bahwa ada cara berpikir dan bernarasi yang khas manusia, yang menyentuh kita, tapi berbeda dengan sains. Memang tidak bermaksud menjelaskan, dan jangan dianggap mau menjelaskan.

Sains bukan segala-galanya, dan sains menjadi berbahaya kalau justru dia tidak mau menerima bahwa ada yang memang entah belum terjelaskan, atau tidak terjelaskan. Kalau ilmuwan yang betul-betul sudah masuk ke ilmunya, mereka tidak memiliki keangkuhan itu. Karena mereka persis terbentur pada apa yang tidak bisa dijelaskan.

 

ZEN

Sudah makrifat namanya itu.

 

MICHELLIA

Anda menyebut tentang dikotomi bagaimana di Amerika Latin dan di Barat dan terutama yang Kontinental menulis tentang sastra dan sains, tetapi kita ingat cerita Frankenstein itu sendiri logikanya tidak bisa dijelaskan dengan sains, dan itu adalah fiksi sains pertama tentang membangkitkan yang mati. Atau Doctor Faustus tentang menukar jiwa dengan setan. Dalam sejarahnya karya-karya ini masuk ke dalam kategori spekulatif. Bagaimana menjelaskan bahwa itu juga termasuk logika Barat?

 

KARLINA

Kisah Frankenstein itu muncul pada abad ke-19. Sejak akhir abad ke-18 sampai abad ke-19, berkembang suatu keyakinan, dari Diderot dan sejumlah pemikir saat itu, bahwa materi yang mati itu bisa dihidupkan. Ini justru dasarnya adalah materialisme. Yang mati bisa dihidupkan dengan picuan-picuan listrik, petir dan sebagainya. Jadi, menghidupkan Frankenstein dari orang mati itu persis menggambarkan keyakinan filsafat materialisme dan sebagian sains waktu itu.

Ada dua macam aliran tentang asal mula hidup, yang satu dari benda mati, dan yang satu memang sudah hidup—yang nanti dibuktikan oleh Louis Pasteur, bahwa tidak mungkin dari yang mati menjadi hidup. Tapi ini adalah bagian dari itu, bahwa ada benda mati yang bisa dihidupkan. Sementara Faustus, tentang menukar keahlian dengan iblis—iblis adalah sesuatu yang sudah ada di keyakinan Barat sejak lama, iblis ini bisa diartikan sebagai iblis dalam arti yang diyakini agama-agama, tapi bisa juga bahwa itu adalah hasrat manusia, penafsiran tentang iblis. Jadi, Frankenstein itu fiksi sains, karena didasarkan pada skema pengalaman tentang materi waktu itu, dan sangat materialistik.

 

MICHELLIA

Sedari tadi Anda menyebut fiksi sains yang berkembang belakangan di tahun 1900-an, Isaac Asimov dengan I:Robot, dan kita tahu bahwa genre SFF punya konvensi, sehingga ada kalangan masyarakat SFF yang memutuskan siapa yang memenangkan Hugo Awards, dan sejak periode itu masyarakat SFF ini menentukan sendiri bagaimana atau apa yang disebut sebagai fiksi sains yang bersifat lebih rigid dibandingkan periode sebelumnya. Dalam kaitan itu, sedari tadi Anda menyebutkan fiksi-fiksi jauh sebelumnya, yang mengandaikan petualangan dengan kemampuan manusia supernatural yang bisa terbang dan lain sebagainya, semacam kemampuan parapsikologi, levitasi dan semacam itu, yang menggunakan kemampuan superinderawi manusia.

Dari pandangan Anda sebagai pembaca, dalam melihat kategori-kategori fiksi sains ini, apakah ada pengaruh dari penulisnya atau memang pergerakan pemikiran sendiri? Karena, kalau ini dipengaruhi penulisnya, tadi Anda menyebut bahwa ada fiksi sains yang memang ditulis oleh saintis. Isaac Asimov adalah saintis, atau Primo Levi dengan perandaian tabel periodik, dia saintis. Jika Anda bandingkan dengan penulis yang tidak punya latar belakang sains ketika menulis fiksi sains, apakah ada kategori-kategori sendiri untuk itu menurut Anda?

 

KARLINA

Kalau saya, cenderung merasa sastra perlu dibebaskan dari macam-macam kategori itu. Artinya, kategori-kategori ilmiah yang mau dimasukkan untuk karya itu, justru akan membatasi. Sementara, ketika kita membaca sastra, bukan itu yang kita cari. Kalau mau mencari itu, baca buku sains, yang ditulis dengan bahasa populer.

Yang menyentuh saya dengan I:Robot, misalnya, bukan unsur ilmiahnya. Tapi bagaimana dari unsur ilmiah teknologi yang menjadi latarnya, dibangun sebuah cerita yang membuat ada emosi dan perasaan, ada getir campur tawa, ada humor, ada ironi. Saya mencari sastra untuk itu.

Terkait penghargaan, saya pikir, ya, sering kali sastra sama seperti sains, menentukan mana yang paling prestisius berdasarkan penghargaan yang diperoleh. Saya sebagai pembaca tidak melihat itu penting. Bagi saya, dibebaskan saja. Yang penting, dia memiliki kepekaan atau cita rasa sastra. Justru itu yang dicari.

Ketika kita membaca karya sastra, berbeda dengan membaca teks ilmiah. Saat membaca sastra, kita pelan-pelan membangun emosi, dan terbangun daya pikirnya, imajinasinya.

 

Karlina di Masa Kecil dan Sastra

Bagaimana mulanya Karlina mengenal sastra? Mana yang lebih dulu kegemaran terhadap sastra atau sains? Buku-buku sastra apa saja yang pertama ia baca? Bagaimana kemudian minat terhadap sains berkembang—mengarah kepada astronomi dan filsafat—apakah minat ini kemudian menggugurkan kegemaran kepada sastra? Bagaimana ia memanfaatkan kekuatan sastra dalam menyusun pemikiran sains?

 

MICHELLIA

Pendirian semacam itu, kalau boleh tahu, apakah Anda sudah peroleh sejak awal membaca karya sastra? Sedari pengenalan Anda dengan Don Quixote, misalnya, atau karya sastra dengan kandungan sains yang Anda baca semasa kecil, atau bagaimana?

 

KARLINA

Ya, karena sastra yang pertama saya baca, atau dengar, adalah dongeng-dongeng. Fiksi sains baru di kemudian hari. Jadi, dongeng yang dibacakan oleh Ibu dari Grimm, Aesop. Lalu, dari pengasuh saya yang orang Sunda, dia berpantun tentang dedemit, kuntilanak. Yang saya dengar sedari SD semacam itu.

Lalu, saya baca Don Quixote, saya merasakan dengan serius. Rasa jatuh cinta di cerita itu luar biasa, patah hati waktu dia mati, saya juga serius. Anak umur 9 tahun, patah hati membaca kisah itu, saya menangis betul-betul waktu itu. Saya memang dari kecil membaca sastra. Lalu, kemudian, saya baru membaca fiksi sains di usia remaja.

 

MICHELLIA

Mana yang lebih dulu bagi Anda, ketertarikan Anda di dunia sains atau dalam pembacaan sastra?

 

KARLINA

Sastra lebih dulu. Saya membaca Don Quixote. Jatuh cinta, lalu patah hati sampai menangis, dan saya punya teman imajiner, saya bekerja di kebun seakan-akan saya juga melakukan perang seperti di Don Quixote. Kakak saya mungkin khawatir. Dia bawa buku Madam Curie, itu pada umur yang sama. Jadi kemudian, keduanya menyatu, berjalan seiring. Di situ, saya sebagai anak kecil, sok tahu, segera memutuskan segera ingin jadi ini, dan itu. Belum ngerti istilah ilmuwan waktu itu. Saya bilang, “Pokoknya saya mau jadi peneliti seperti ini.” Ya, ditertawakan oleh ibu saya. Anaknya kerjanya main lumpur, bikin PR saja lupa. Ha, ha, ha. Tidak ada sama sekali orientasi sains waktu itu.

Berjalan seiring, lalu di SMP baru mulai kelihatan minat saya pada sains. Saya punya guru ilmu ukur yang sangat menarik. Jadi, kalau saya di kelas, saya bandel, suka mengganggu teman. Tugas sudah selesai, saya ganggu teman. Saya diberi sanksi, disetrap di perpustakaan. Penjaga perpustakaan diberi pesan, “Dia hanya boleh baca sastra Indonesia.” Dia guru ilmu ukur, lho. Guru ilmu ukur dan aljabar, tapi olehnya saya disuruh membaca sastra.

Waktu saya kelas 3 atau 4 SD, saya tidak mengerti, apa pertimbangan bapak saya, saat ulang tahun di usia 9 ke 10 tahun, saya diberi hadiah Gema Tanah Air Jilid 1 dan 2. Anak kecil disuruh baca buku begitu, ha, ha, ha. Saya hanya mengerti sebagian, tapi saya terkesan dengan bentuk puisi. Ada satu cerita yang tertanam di kepala saya sampai sekarang, tentang teluh, tenung, dan itu membuat saya merasa takut saat membaca itu. Jadi, mulanya, sastra dulu, lalu sains baru di kemudian waktu.

 

MICHELLIA

Kemudian, kita tahu, Anda memilih Astronomi sebagai bidang studi. Apakah kemudian menggunakan imajinasi atau naratif bercerita yang Anda baca dari kisah-kisah itu, mungkin dalam skripsi Anda dahulu?

 

KARLINA

Saya masuk Astronomi, barangkali karena saya tertarik pada hal yang abstrak. Jadi, yang imajinatif, yang abstrak, eksperimen. Jatuh cinta dengan sains kali pertama lewat Marie Curie, mau jadi ahli kimia. Tapi, begitu saya betul-betul melaksanakan masuk laboratorium dan seterusnya di SMA, ya memang menyenangkan, karena seperti bikin sulap, mencampur zat kimia kemudian muncul berbagai warna seperti bikin sulap, hanya saja, yang lebih menarik sebetulnya yang lebih imajinatif, yang lebih menuntut abstraksi.

Di Astronomi, saya tidak terlalu tertarik pada observasi, walaupun harus melakukannya. Saya pilih kajian kosmologi, black hole, yang waktu itu masih sangat spekulatif. Spekulasinya lewat matematika. Dalam matematika, saya menemukan keindahan. Semakin abstrak matematikanya, semakin kelihatan keindahannya. Luar biasa, indah sekali.

Jadi, bayangkan persamaan medan Einstein, rumus matematikanya sederhana sekali, hanya pakai ruas kiri dan ruas kanan, beberapa simbol. Tapi, dari yang sangat sederhana itu, di dalam benak, muncul lanskap, ada lembah, ada gunung, ada palung yang tidak berdasar, dasarnya entah di mana, lalu tergambar benda-benda yang bergerak mengikuti itu, yang bergetar, tertarik, goyah, oleh, seperti tarian. Jadi, lewat matematika itu, saya menemukan lanskap yang lalu saya kira dari situ saya disebut sering berkhayal. Saya kira itu karena pengaruh saya membaca sastra.

 

MICHELLIA

Mungkin karena itu juga, Anda tadi menyebut juga mengenai karya Lewis Carroll, dunia Alice’s Adventures in Wonderland itu kan semacam masuk ke black hole, sebenarnya, ke rabbit hole.

 

KARLINA

Iya, dia Matematikawan dan dengan sangat bagus bisa menghasilkan suatu karya, yang menampilkan Humpty Dumpty tadi. Konstruktivisme, realisme, antirealisme, muncul semua dalam karya itu. Jadi, saya kira sastra membantu saya ketika masuk memilih astronomi, sub-bidang kosmologi.

 

MICHELLIA

Apakah secara pribadi, dari pengalaman tadi, imajinasi Anda yang lebih dikuatkan dengan latar belakang astronomi dan kosmologi tadi, kemungkinan mengantarkan Anda, apakah tertarik menjadi penulis sastra yang membangun world-building semacam itu?

 

KARLINA

Saya bukan orang yang punya kemampuan untuk itu. Saya menulis epistola, surat untuk anak-anak, karena mereka minta. Segala hal tumpah, ide, mimpi, kebodohan-kebodohan, hal-hal jenaka, imajinasi, dalam bentuk surat untuk anak-anak, menulis bebas. Tapi itu bukan karya sastra. Bukan dan tidak tahu nasibnya nanti seperti apa. Mungkin, ya sudah, terkubur saja nanti bersama saya.

Saya begitu mengagumi dan sangat menghormati karya sastra. Tapi, saya merasa tidak punya kemampuan untuk itu. Saya sendiri lalu merasa, sudah lah, kemampuan saya mungkin hanya untuk menikmati.

 

ZEN

Saya mau sedikit cerita perbandingan. Apakah pembacaan Anda terhadap fiksi sains yang ditulis penulis Indonesia, misalnya, kalau itu ada. Dulu kita pernah mendapatkan buku-buku cerita yang ditulis oleh Djokolelono atau Dwiyanto Setiawan dengan petualangan di suatu planet, dan bahkan model-model penciptaan makhluk super dan lain-lain. Bagaimana Anda melihat genre sejenis ini di dalam sastra berbahasa Indonesia?

 

KARLINA

Saya tidak terlalu mengikuti yang kontemporer, terus terang. Saya hanya sempat melihat satu-dua, dan agak kecewa sebetulnya, karena cerita-cerita itu hanya menawarkan istilah-istilah ilmiah. Tapi mungkin saya keliru memilih. Itu saja. Lalu, saya tidak terlalu mengikuti karya-karya sejenis itu lagi. Walaupun menurut saya, kita semakin terbuka dengan dunia digital seperti saat ini, kalau para penulisnya mau mengolah betul.

 

Perkembangan AI: ChatGPT dan Sastra

Kemunculan ChatGPT dalam menangani berbagai keperluan penulisan memunculkan tantangan baru pada era ini. Bagaimana para penulis hari ini bergelut, bersinggungan dengan perkembangan kecerdasan buatan, serta bagaimana mereka menggunakan fiksi sains sebagai alat untuk merenungkan dan merespons dinamika kompleks di era teknologi ini, sekaligus memberikan pandangan unik dan berharga untuk menghadapi perubahan zaman?

 

MICHELLIA

Karena sepertinya Anda cukup kecewa dengan fiksi sains Indonesia, dan tentunya Anda mengikuti diskursus saat ini tentang ChatGPT, AI atau kecerdasan buatan bisa menulis balasan email untuk orang yang mungkin kita merasa malas membalasnya, atau bisa menuliskan esai buat mahasiswa mengumpulkan ke dosennya. Mungkin kelak ada perkembangan lagi yang membuat aplikasi untuk mengecek apakah suatu tulisan dibuat oleh ChatGPT atau tidak. Ada perkembangan juga terkait bagaimana dunia algoritma saat ini, semua data kita dimiliki oleh korporasi dan lain sebagainya.

Dengan semua perkembangan teknologi ini, menilik pendalaman Anda latar belakang sains dan sejarah peradaban barat yang panjang sekali, apakah Anda punya harapan atau keinginan, seperti apa semestinya fiksi sains ditulis oleh penulis Indonesia?

 

KARLINA

Saya tidak mau mengatakan “semestinya” karena jadi terasa normatif, ada rambu-rambu tertentu yang harus dipenuhi. Tapi, tentu, dari pengalaman membaca karya-karya sastra, apakah itu fiksi sains atau bukan, ada harapan bahwa, ada kadar tertentu yang menyebutkan suatu karya sebagai sastra. Harapannya tentu bukan sekadar “Ini, lho, dunia kontemporer sekarang ini penuh dengan tantangan.”

Itu hanya titik berangkat, sebenarnya, yang lalu perlu diimajinasikan, diolah, dan selalu kemudian menyangkut pada manusianya sendiri, atau pada robot-robot, kecerdasan buatan yang mengambil bentuk fiksi apa pun nantinya. Tapi, kemudian, karena kita sebagai pembaca tetap manusia, karya tersebut perlu menyentuh batin yang paling mendalam.

Mungkin pengalaman pembacaan ini sangat personal, tapi pengalaman saya ketika membaca suatu karya, mungkin pertama merasa terkesima, terkesan, tersentak, tetapi lalu, ya sudah, tertinggal. Sampai, tiba-tiba, pada suatu waktu, oleh peristiwa tertentu, apa pun dalam hidup, atau saat membaca sains, tiba-tiba sesuatu yang sudah tenggelam itu rupanya tidak hilang. Dia menetap saja di dalam jiwa, dan kemudian muncul menyentak.

Bagi saya, karya yang baik atau bagus, atau apa pun istilahnya, bukan dalam artian normatif, tapi yang saya rasakan, yang menyentuh emosi saya, adalah karya semacam itu, yang berbicara lagi pada waktu tertentu, menyentak, dan seperti saya bangun dari tidur. Bukan hanya karya yang dibaca sekilas lalu.

Mungkin ini pengalaman sejak kecil, seperti saat saya membaca Don Quixote, muncul perasaan yang mencekam. Bukan keterpukauan dari sekadar fiksi sains yang mengandalkan sains dan teknologi. Ada rasa takjub, khawatir, cemas, terhadap kemajuan teknologi, yang juga melihat berbagai kemungkinan. Jadi, sains dan teknologi di sini bisa jadi latar atau titik berangkat, atau menjadi pusat yang dikelola atau diolah, tetap perlu diingat bahwa pembacanya adalah manusia. Jadi, kalau tidak menyentuh persoalan-persoalan yang mengena bagi hidup manusia, rasanya kurang.

 

ZEN

Yang Anda katakan sebetulnya segi-segi ketukangan seorang pengarang, craftsmanship saat bikin fiksi dalam genre apa pun, entah itu fiksi sains, fiksi sejarah, fiksi spekulatif; kalau dia bikin sembarangan, secara nalar kefiksian gagal, tidak akan menyentuh atau tinggal lama dalam benak pembaca. Artinya, Anda masih mengharapkan craftmanship dalam penulisan sastra, apa pun bentuk genrenya?

 

KARLINA

Ya, jadi betul-betul mengharapkan pengarang yang bisa menghasilkan karya yang menyentak benak pembaca, memunculkan sesuatu yang menjadi milik saya, tersimpan di dalam batin, dan sulit untuk hilang, menghidupkan sesuatu yang lain di dalam diri. Tadinya mungkin saya tidak kenal ketakutan itu, paradoks itu, kecemasan itu, tapi karya itu membangkitkan hal-hal itu di dalam diri saya, bahkan berbicara dengan suara saya sendiri terkait itu.

 

MARTIN

Seperti yang disebutkan Michellia mengenai perkembangan terkini teknologi, terutama AI, algoritma, betul-betul dalam waktu 10-15 tahun terakhir perkembangannya sangat pesat. Dari yang semula jadi spekulasi, fiksi sains, sekarang tiba-tiba sudah ada di depan kita. Artinya, algoritma yang menulis puisi, barusan saya coba di ChatGPT yang dikelola oleh OpenAI, saya beri prompt, “create a surrealist poetry on memory”, maka dia bikin secara spontan, puisi dengan gaya surealis tentang memori. Saya juga coba yang gayanya imagist. Dia bikin tema yang sama dengan gaya imagist. Ini suatu hal yang mungkin bagi pemikiran kita 20 tahun lalu, itu terkesan seperti fiksi sains, tapi sekarang hal-hal ini sudah ada di depan kita, dan ini membuat ilmu humaniora secara umum agak kesulitan menempatkan diri di hadapan itu.

Apakah masa depan kita ke arah itu? Ataukah memang masih ada ruang bagi yang sifatnya kerja manual, dikerjakan langsung oleh manusia sendiri dan seterusnya? Karena sekarang banyak hal sudah bisa di-outsource ke mesin, bahkan untuk hal yang semula kita anggap sangat-sangat intuitif, seperti melukis dan menulis puisi. Dia bisa kita beri perintah, “Buatlah gambar kucing dalam baju astronot sedang menyirami bunga mawar di planet Mars.” Dia akan buat, dalam beberapa iterasi berbeda, dengan variasi berlainan, dengan ide dasar yang sama.

Bagaimana menempatkan perkembangan teknologi di hadapan situasi seperti itu? Ketika kita bukan hanya bicara sastra, tapi juga dalam konteks humaniora secara umum. Ada semacam dilema, antara kita ikut menggunakan alat seperti itu, atau kita menolak sama sekali? Bagaimana Anda memandang soal ini?

 

KARLINA

Dari yang saya pelajari soal perkembangan itu, termasuk kesadaran mesin dan sebagainya, memang menghendaki sampai ke situ. Bedanya, begini, yang dikerjakan oleh AI tergantung pada input yang kita diberikan. Di dalam sistem sudah disiapkan, algoritma, apa yang tidak dimasukkan, dia tidak akan buat. Jika permintaannya umum, “Buatlah puisi surealis.” Itu informasi umum. Dia bisa kerjakan, karena dia sudah punya seluruh informasi menyangkut apa itu puisi surealis.

Tetapi, kalau kita minta sesuatu yang jauh lebih spesifik lagi, yang dia tidak punya atau belum dimasukkan, dia tidak bisa mengerjakannya. Termasuk mungkin emosi-emosi, dia akan bisa mengatakan apa itu cinta, karena dia punya informasi itu di dalam dirinya. Tapi kalau sudah menyangkut hal-hal yang spesifik menyangkut emosi manusia, atau kreativitas baru yang belum dimasukkan, saya percaya manusia tidak akan kalah. Tidak perlu cemas. Karena yang ada di dalam mesin-mesin ini, semuanya adalah yang ditanamkan. Mungkin seluruh karya sastra yang ada dimasukkan di situ, lalu kita menyuruh dia putar, diaduk-aduk saja, tapi tetap akan kelihatan, sampai tahap ini, sejauh ini masih kelihatan kalau itu karya mesin.

Anak saya memasukkan perintah sejenis itu, lalu dia kirim ke saya, “Ibu, ini tentang kamu, Karlina Supelli menurut AI.” Ha, ha, ha. Saya ketawa. Memang rapi, bahasanya rapi, semuanya rapi, tapi ada yang tidak beres di situ. Sampai tahap ini, sebelum mesin bisa mencapai kesadaran manusia, dan kesadaran manusia bukan hanya algoritma berpikirnya, tetapi emosinya, unsur-unsur yang mungkin transenden di dalam diri manusia, saya berpikir mesin belum bisa menyamai. Kalau pekerjaan-pekerjaan yang rutin, dia bisa. Bahkan, seperti melukis, dia juga bisa. Tapi, coba jajarkan antara buatan manusia dan buatan mesin. Sama seperti ketika kita melihat tenun. Tenun yang dibuat oleh mesin dan tenun yang ditangani oleh manusia. Pada akhirnya, kelihatan bedanya. Dan persis karena ada cacat di situ, kita tahu itu karya manusia, dan itu persis menunjukkan unsur manusianya. Tapi, kita tidak tahu juga bagaimana perkembangannya seratus tahun lagi. Mesin terus berkembang, dan terus menjadi luar biasa. Tapi, kalau sekarang, masih di tahap algoritma seperti itu. Belum sampai tingkat kesadaran. Itu masih jauh sekali.

 

MARTIN

Tadi ketika saya minta dia membuat puisi tentang longing, “create a poem on longing”, dia akan bisa buat dengan cepat. Tapi saat saya tanya selanjutnya, “Apa perasaanmu saat membaca puisi ini?” Dia tidak bisa menjawab. Dia tidak bisa menjelaskan sisi subjektif pengalaman.

 

KARLINA

Subjektivitas itu yang tidak ada. Akhirnya, itu menunjukkan bahwa ada sesuatu di dalam diri manusia yang tidak bisa diambil oleh mesin. Dan saya percaya karya sastra termasuk. Karya seni termasuk yang belum bisa diambil oleh mesin, betapapun mesin bisa meniru.

 

MARTIN

Karena mungkin ada sudut pandang orang pertama yang tidak bisa direduksi ke sudut pandang orang ketiga. Dalam bahasa observasi, itu tidak cukup.

 

KARLINA

Dan orang ketiga, jika mesin mau didefinisikan sebagai orang ketiga, dia tidak akan bisa menangkap kesadaran tertutup si orang pertama itu.

 

MARTIN

Mungkin itu sebabnya dia tidak bisa kreatif sepenuhnya, hanya mengikuti aturan.

 

KARLINA

Karena dia tidak punya kesadaran pertama itu, hanya punya aturan, algoritma. Jadi, sebetulnya tidak ada kreativitas pada mesin. Kreativitasnya ada pada si pembuatnya, yang membuat algoritma dan perintah, bukan di mesinnya. Mesin hanya yang memutar itu.

Tapi, memang diciptakan mesin yang bisa belajar, itu kan algoritmanya juga, algoritma terbuka.

 

MICHELLIA

Supervised machine learning.

 

MARTIN

Jadi jika bahannya beda, hasilnya juga bisa beda.

 

MICHELLIA

Bagaimana kalau misalnya kemudian mereka bekerja sama dengan korporasi yang memegang sumber-sumber pribadi kita, chat kita, surel kita, ada emosi, ada sudut pandang pertama, bagaimana kalau mereka mendapatkan informasi itu?

Ada film Upload, yang bercerita tentang bagaimana orang setelah meninggal masih bisa hidup di dunia virtual, karena segala emosi dan pikiran dia juga ter-upload, terunggah. Apakah ada kemungkinan itu? Lalu, peran sastra seperti apa dalam menghadapi kecemasan dan ketakutan semacam ini?

 

KARLINA

Itu cita-citanya RayKurzweil, mengunggah kesadaran ke dunia virtual. Keabadiannya ada di situ. Sejauh ini, memang belum ada, tapi kita sudah punya “awan-awan” itu. Jadi memang sesuatu yang kita perlu siap adalah hidup dalam dunia hibrida, ketika mesin-mesin itu menjadi bagian dari hidup kita. Kita perlu siap, bukan lalu merasa cemas atau menjadikan mesin sebagai lawan. Kita menjadikan saja mesin itu sebagai mitra. Tapi, tetap, sebelum dia bisa mencapai kesadaran pada tingkat subjektif seperti manusia, dia belum bisa mengalami hal-hal yang sepenuhnya menjadi pengalaman manusia. Dia bisa melakukan semua pekerjaan yang mungkin dilakukan oleh manusia, tapi menciptakan suatu kreativitas baru yang khas manusia, saya kira itu masih lama sekali. Kecuali jika kita merasa takut kalah dengan kreativitas tadi, hasil agoritme yang dicampur-campur. Emosi kita diambil, lalu dicampur-campur.

Itu sebabnya, saya menganjurkan hati-hati untuk mengumbar emosi yang sangat pribadi di dunia maya. Bahkan, suatu perusahaan yang sangat bisa dipercaya, pernah mengirimkan permintaan maaf kepada saya karena data yang bocor. Itu perusahaan aplikasi yang saya perlu untuk menulis catatan kaki. Kita tidak tahu bagaimana mereka menyimpan data kita. Jadi, saya kira, dalam hal sastra atau sains, antisipasi ke depan, kita perlu melihat kalau mesin ini akan berkembang. Tapi apakah akan menyaingi manusia dalam arti kesadaran? Menurut saya, belum, masih jauh.

 

MICHELLIA

Dalam beberapa tahun ke depan, tampaknya memang banyak pekerjaan yang akan habis. Sepuluh tahun belakangan, para content writer berupaya untuk menulis sehingga bisa diperingkat oleh Google, dengan sistem Alexa. Dengan adanya ChatGPT, menghapus sama sekali kerja mereka. Mereka sendiri menulis untuk mesin lewat format SEO, dan saat ini mesin sudah bisa menulis seperti yang mereka tulis. UI, UX, content writer, beberapa tahun ke depan mungkin sangat terancam. Dalam artian itu, sejauh apa kita bisa menghadapi ini? Memang tidak mengembangkan kecemasan, tapi dalam melihat ini, seperti apa kita semestinya mengantisipasi?

 

KARLINA

Kita memang mengantisipasi, perlu siap betul, karena masa depan berkembang dengan begitu cepat. Modal yang ditaruh untuk itu banyak sekali. Jadi memang cepat sekali, dan perlu mengantisipasi.

Tapi, begini. Sekarang ini kita sendiri masuk ke dalam perangkap itu. Kita mau ikut diperingkat, padahal peringkat itu dibuat oleh mesin. Ketika memeringkatkan itu, ketika yang memeringkatkan mesin, apakah mereka menangkap semua unsur manusiawi itu? Sama seperti universitas, juga diperingkat, berdasarkan algoritma yang dimasukkan. Ini yang menjadi kesulitan dunia pendidikan di Indonesia, dan di mana pun, persis adalah karena seluruh akreditasi dikerjakan oleh mesin. Unsur yang sangat subjektif, manusiawi, misalnya ada mahasiswa sakit, sehingga kemudian terlambat ujian, itu tidak lagi bisa dipertimbangkan, karena mesin hanya menerima, “Deadline tanggal segini. Harus masuk. Kalau tidak, harus mengulang di semester depan.” Padahal, ini yang dulu persis menjadi pertimbangan subjektif manusiawi kita. Bahwa, itu masuk pertimbangan, bisa diperpanjang. Diberi dispensasi, misalnya. Ini yang akan hilang. Saya kira, kekuatan sastra persis di unsur yang subjektif, walaupun saya sepakat bahwa sastra bukan semata-mata ekspresi atau emosi pribadi. Unsur subjektif ini yang sebenarnya menjadi kekuatan sastra. Saya berharap, kita bisa melawan kecenderungan ini. Walaupun karena ini adalah bagian dari kapitalisme yang sangat besar, ini sangat sulit untuk dilawan. Tapi, kita perlu antisipasi, apakah akan diam saja, dan malah ikut-ikutan masuk ke dalam peringkat mesin itu?

 

Kritik Sastra di Tangan Kecerdasan Buatan

Di ranah praktik penulisan, khususnya dalam kritik sastra dan sejarah sastra, eksperimen terkini membawa arah baru ke dalam diskursus. Digital humanities (humaniora digital) yang sedang berkembang pesat, melibatkan pendirian pusat humaniora digital di berbagai universitas, menghubungkan peneliti sastra, sejarah, dan teknisi AI. Inisiatif semacam itu menghasilkan temuan-temuan yang unik dalam bidang sastra dan seni secara umum, di antaranya Stanford Literary Lab, sebuah laboratorium sastra yang didasarkan pada humaniora digital. Melalui pendekatan ini, mereka merekonstruksi dan menantang ulang narasi sejarah sastra yang dominan, menjelajahi kembali pola-pola formal yang muncul saat membaca ribuan karya. Penggunaan AI dan humaniora digital dalam praktik kritik sastra atau filsafat menjadi suatu kemungkinan yang menjanjikan untuk dieksplorasi lebih lanjut.

 

MARTIN

Dalam praktik penulisan, misalnya kritik sastra atau sejarah sastra, belakangan juga ada lumayan banyak eksperimen ke arah situ. Dari sanalah mereka merekonstruksi, menantang ulang penulisan sejarah sastra yang dominan, dengan cara menafsirkan ulang pola-pola formal yang terbentuk saat membaca ribuan karya. Dalam arti itu, sebetulnya juga penggunaan AI dan digital humaniora dalam praktik kritik sastra atau filsafat menjadi suatu kemungkinan yang bisa dielaborasi, ya?

 

KARLINA

Tetapi digital humanities ini, kan, namanya saja? Humanities-nya menyangkut ilmu-ilmu humaniora. Bukan humanities, kemanusiaan, dalam arti rigid itu. Dia perangkat saja, dimasukkan begitu banyak informasi, lalu carilah yang disebut gaya tertentu, dengan melakukan komparasi, berbagai perbandingan. Kemudian, didapatlah suatu daftar. Tetapi, kemudian yang mengolah itu manusianya, yang kemudian melahirkan karya-karya baru, pengertian-pengertian baru, bukan si perangkatnya.  Perangkatnya, algoritmanya, melakukan pencarian, komparasi, mengeluarkan hasilnya—yang kalau dikerjakan oleh manusia akan memakan waktu puluhan tahun. Mesin melakukan dengan sangat cepat. Saya melihat bahwa ini sebagai alat pembantu saja. Tapi yang kemudian mengolahnya adalah para perisetnya itu, para sastrawan yang ada di sana.

 

MARTIN

Mungkin bisa dibandingkan, ya, perkembangan AI dan humaniora digital itu dengan penemuan alat teleskop oleh Galileo. Ketika ia mendapat teleskop yang diproduksi oleh saudagar Belanda, dia menggunakannya bukan untuk melihat kapal perang, tapi untuk melihat benda langit. Dari situ, muncul modus pengetahuan baru. Apakah dari humaniora digital ini dimungkinkan muncul suatu modus pengetahuan baru tentang sastra, sains, atau ilmu alam, atau ilmu humaniora secara umum?

 

KARLINA

Menurut saya, mungkin saja. Ada begitu banyak data yang kalau dikerjakan oleh manusia, betapa pun banyaknya manusia di dunia, itu bisa jadi memakan waktu yang sangat lama. Mesin membantu proses ini menjadi sangat cepat. Tapi, mau diapakan, akan menghasilkan apa, ini tergantung pada manusianya. Saya masih berpendapat begitu, karena kemampuan mesin pada saat ini baru pada tahap itu. Algoritma, komputasional, melakukan komparasi, tetapi belum menciptakan sesuatu yang betul-betul orisinal. Mesin belum bisa, mereka masih membutuhkan kreativitas manusia, si pencipta algoritmanya. Mesin melaksanakan saja.

 

MARTIN

Dalam konteks kritik sastra pun, mesin hanya alat. Yang memasukkan hipotesis, memasukkan paradigma penelitiannya, atau menyimpulkan, itu manusianya. Mesin hanya membantu menghitungkan, frekuensi kata, kata ini muncul dengan kata apa saja, misalnya.

 

KARLINA

Iya, yang membuat bahwa yang harus masuk kata dengan kriteria tertentu, yang harus masuk adalah kalimat tertentu, itu diputuskan oleh si manusia, bukan si mesin. Jadi, kita jangan keliru lalu melihat mesin itu berlebihan. Mesin memang hebat. Tetapi, kreativitasnya masih milik manusia. Sekarang mungkin mesin bisa belajar, tetapi dia belajar dari mana? Ketika dia belajar, dia mengambil data dari internet. Sophie, robot yang bicara dan kita ajak bercakap-cakap seperti manusia, itu karena dia tersambung ke internet. Ketika dia ditanya, prosesnya cepat sekali, karena dia menangkap data dari internet. Jadi, tetap, dalam hal ini, kritik sastra misalnya, yang menjadi penentu adalah kritikus sastranya, tergantung apa yang mau dia masukkan ke dalam penelitiannya. Mesin belum bisa mencapai kreativitas yang dimiliki oleh manusia, yang tidak ada batasnya.

 

MARTIN

Memang fungsinya dan sifatnya hanya untuk membantu manusia, misalnya membantu kritikus sastra dalam menguji hipotesisnya. Seperti penelitian yang baru-baru dilakukan oleh Stanford Literary Lab, mereka mau mendekati apa yang disebut Hélène Cixous sebagai ecriture feminine ‘tulisan perempuan’. Selama ini elusif, konsep yang susah didefinisikan, dan seperti apa bentuk yang dimaksud tulisan feminin. Apakah hanya ditulis oleh perempuan? Bukan begitu juga, ya. Semua penulis, dari berbagai macam gender, juga bisa menulis dengan gaya ecriture feminine itu. Tapi, kemudian, dicoba dilakukan pemetaan oleh mesin, ribuan karya sastra dengan penulis laki-laki dan perempuan, dari situ mesin dilatih untuk membedakan gender dari sebuah tulisan. Hasilnya, setelah dilatihkan, dia bisa mengenali gaya perempuan yang semula berbasis pada korpus yang dilatihkan, bahkan untuk mengidentifikasi korpus yang ditulis laki-laki. Ada penulis laki-laki yang secara stilistika menunjukkan gender feminin. Ini yang menurut para peneliti di Stanford kurang-lebih mendekati apa yang disebut sebagai ecriture feminine, ini membuat sastra menjadi test-able, dapat diuji, dapat diulang, jadi seperti sains.

 

KARLINA

Fungsinya adalah menyediakan data bagi kita. Kita, si manusia, yang menentukan apa yang kemudian bisa dikategorikan, “Ini, lho, ciri-cirinya penulisan perempuan.” Sebelum terbentuknya kesadaran mesin yang bisa menyamai kesadaran orang pertama, menggunakan istilah Thomas Nagel, saya tetap akan melihat bahwa itu adalah karya mesin yang belum bisa mencapai kreativitas manusia. Salah satu kekuatan sastra adalah ciri manusiawinya itu.

 

MARTIN

Mungkin karena mesin disembodied, tidak memiliki tubuh, jadi mereka berpikir hanya berdasarkan algoritma dan tidak berdasarkan tubuh yang mereka rasakan. Manusia berbeda, karena mereka berpikir dengan tubuhnya. Itu yang membuat sastra menjadi unik, karena itu adalah suatu pengetahuan yang dilontarkan dari tubuh.

 

KARLINA

Tubuh, perasaan, emosi, akal budi, lalu ada yang emerge—ada yang merecup dari situ—hal yang merecup dari situ, yang tidak bisa lagi dikembalikan ke tubuhnya. Sementara, pada mesin, seluruhnya adalah algoritma, dan algoritma dibuat oleh manusia. Mesin bisa belajar. Dan memang belajar bercakap-cakap, berkomunikasi mesin dengan mesin lain, tetapi tetap hanya dalam level abstrak itu. Saya percaya betul bahwa emosi yang melekat pada tubuh, sangat berperan, untuk karya sastra. Juga untuk sains. Saya tidak yakin bahwa mesin bisa menghasilkan teori relativitas, misalnya, atau menghasilkan teori gravitasi kuantum, atau menghasilkan karya seperti yang ditulis Borges dalam The Garden of Forking Paths.

Saya tidak yakin mesin bisa menghasilkan itu. Entah nanti. Tapi mesin pada tahap ini, dan sampai sepuluh tahun ke depan, menurut saya belum. Ada sesuatu yang khas, dari apa yang saya pelajari: unsur biologis. Bukan hanya tubuh, dalam arti tubuh yang bisa dibuat dari materi apa saja, silikon dan lain sebagainya. Tapi tubuh biologis. Itu kekhasan yang belum bisa dicapai. Sebelum ada mesin dengan tubuh biologis dan otak biologis, belum bisa, karena ada pengalaman kebertubuhan yang tadi disebut Martin, dan emosi, emosi seperti manusia. Tapi, sebagai antisipasi, tidak apa, para sastrawan dapat membuat karya yang mengantisipasi, atau mengimajinasikan apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Apa makna kemanusiaan kita? Dalam I:Robot, kemanusiaan kita dinilai oleh robot. Sekarang ini, ketika ada robot-robot ini, lalu robot menjadi cermin bagi diri kita melihat, apa yang bisa ditulis? Salah satu yang menarik dalam Hukum Robot, dalam cerita itu, bahwa dia harus menjadi pelayan manusia, dia tidak boleh menyakiti manusia. Lalu, robot menjadi budak manusia. Ketika robot ini punya kesadaran, statusnya tetap adalah budak manusia, tidak bisa diberi kebebasan. Karena begitu diberi kebebasan, dia akan bisa melukai manusia, dan ini berlawanan dengan Hukum Robot. Jadi, di sini, perdebatannya menjadi sangat menarik.

Ketika Robot memiliki status kesadaran, dan sebetulnya dia layak dibebaskan, tetapi ini berlawanan dengan Hukum Robot. Di sini, ada unsur yang dipertanyakan; dari perspektif robot, apakah manusia punya kemanusiaan? Karena robot-robot itu tetap menjadi budak manusia. Jadi perdebatan perbudakan-perbudakan yang dalam sejarah terjadi di Amerika Serikat atau Eropa, sekarang ada di tingkat robot. Nanti, AI itu, fungsinya apa? Maksud saya, kalau diimajinasikan sejauh-jauhnya, tetap menyangkut yang menggigit bagi manusia, itu kemungkinan yang saya rasa sastra juga mengarah ke sana. Ada kemungkinan yang tidak terbatas dalam sastra, itu yang mengagumkan bagi saya.

 

ZEN

Anda sudah menyatakan berkali-kali bahwa manusia tidak bisa dikalahkan oleh mesin, bahwa sastra harus menyentuh batin manusia dan seterusnya, terkait tegangan antara sains dan sastra ini, kira-kira apa ujungnya? Apakah kita akan kembali lagi kepada syarat-syarat kesastraan yang sifatnya genuine, bersifat pribadi, tidak sama dengan yang lain. Itu, kan, sebetulnya ciri-ciri kesastraan modernis pada awal abad ke-20. Apakah kita akan kembali ke sana lagi atau bagaimana?

 

KARLINA

Menurut saya, begini, terbuka kemungkinan kembali ke sana. Tetapi, yang menyentuh, saya tidak tahu apakah harus memakai syarat-syarat yang modernis, seperti yang digambarkan oleh Eliot—ataukah kita bisa pakai sastra posmodernis, misalnya?

 

MICHELLIA

Atau altermodernis?

 

KARLINA

Ya, atau altermodernis, yang kalau dilihat dari perspektif modernis, lha ini tidak menyentuh sama sekali. Tapi terkadang, manusia juga bisa tersentuh bahkan oleh bentuk mantra, lho. Sastra yang hanya bunyi, manusia juga bisa tersentuh oleh itu.

Jadi, ketika saya mengatakan bahwa sastra bisa menyentuh batin atau emosi, itu bukan berarti hanya dalam bentuk simbolik kata, tetapi dalam semiotika juga, yang belum tertuturkan. Dalam bentuk semiotik itu, kalau pakai istilahnya Kristeva, adalah sesuatu yang bisa menyentuh. Jadi, saya melihat kemungkinannya sangat luas. Tidak mengharuskan kembali ke modernis supaya bisa begitu, tidak, tetapi bisa terbuka begitu luas. Saya cenderung tidak membatasi, tetapi ya kesastraannya itu saja yang perlu dipegang. Bagi saya, sederhana, sebagai orang awam, naskah itu menyentuh saya dengan cara apa pun. Apakah ketika dibaca menghasilkan bunyi-bunyian yang mengagetkan, misalnya.

 

Sastra Menjawab Tantangan Zaman

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini, masih ada banyak isu dihadapkan pada para pelaku sastra: mulai dari perihal pemerataan akses terhadap karya sastra, perkembangan media audiovisual di ranah digital yang terkadang tidak berhadapan vis a vis dengan sastra, pengaruh teknologi digital pada moda membaca, hingga bagaimana kekuatan sastra dalam wujud teks mampu berdampingan dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat ini.

 

MICHELLIA

Dari obrolan sejauh ini, saya terpikir dua hal. Pertama, tentang ketimpangan. Kita sudah bicara sekian banyak tentang teknologi yang berkembang demikian pesat, dan kita tahu bahwa globalisasi keempat ini terjadi tahun 2000-an hingga sekarang, bahkan sejak 1990-an sudah didefinisikan sebagai globalisasi empat dengan perkembangan pascafordisme. Tetapi, tetap ada ketimpangan, persoalan bagaimana akses kita pada teknologi dan sains ini. Dalam artian itu, bagaimana peran sastra untuk membuat adanya pemerataan akses ini?

Ini membawa saya pada poin kedua. Ketika kita membicarakan tentang sastra, kita bicara tentang teks. Tapi kita tahu bahwa media audiovisual berkembang sangat cepat, Tiktok mengalahkan Instagram, bahkan Tiktok mengalahkan teve dan radio. Dengan fenomena yang kita lihat sekarang, ada peralihan ketertarikan atau fokus orang dalam mengakses teks, jika dibandingkan dengan audiovisual. Untuk itu, saya bertanya-tanya sebenarnya, sastrawan sendiri sekarang sudah cenderung mencoba alih wahana. Memang kita tidak membenturkan keduanya, bukan dikotomis, hubungannya sebaiknya saling mendukung. Tapi, dengan demikian, kita tahu posisi sastra itu sendiri kian terpinggirkan. Dalam hal ini, bagaimana peran sastra atau kritikus sastra terkait ini?

 

KARLINA

Saya akan sangat menyayangkan, dan sedih, melihat perkembangan, karena popularitasnya, karena memang lalu orang beramai-ramai ke sana, dan terjadi peralihan dengan segala macam bentuk yang sangat populer. Dan sastra, yang kita baca, menjadi terpinggir. Itu justru menciutkan daya imajinasi dan daya kreativitas yang sangat khas. Kemampuan dan kedalaman untuk mencerna, yang hanya bisa di—ya, mungkin saya masih angkatan lama, yang tradisional konservatif terhadap pengalaman membaca—ketika kita membaca teks, itu berbeda ketika dengan melihat secara visual. Membaca teks memaksa kita untuk fokus, mendalam, dan akal budinya bukan hanya satu sisi yang bekerja.

Proses membaca melibatkan banyak sekali unsur Indera. Entah membacanya pakai iPad atau moda apa pun, tetap berupa teks. Pembacaan sangat berbeda. Kemampuan audiovisual dan tekstual berbeda. Saya akan sangat menyayangkan jika kedalaman yang selama ini dicapai lewat teks, memikirkan arti satu kata itu apa, sih, sebetulnya; kata itu kalau dipindah misalnya ke sini, apa, sih, maknanya? Memang itu bisa terjadi dengan audiovisual, dengan suara-suara, dan lain sebagainya—tapi saya, kok, merasa bahwa sejauh ini, entah dalam proses evaluasi beberapa waktu ke depan—otak manusia mencapai kedalaman dengan proses membaca.

Jadi, menurut saya para sastrawan dan kritikus sastra tetap perlu memperjuangkan, entah dengan cara bagaimana. Ini kembali ke pendidikan. Bahwa saya cukup gelisah, karena di Indonesia ini begitu percaya pada peralihan ini. Pidato Iwan Pranoto tempo hari, dia termasuk yang gelisah, bahwa kita semua begitu percaya bahwa pendidikan dan segalanya akan beres dengan teknologi, dengan aplikasi. Nah, ini, padahal seperti yang saya alami sewaktu kecil. Saat di SD, sudah membaca karya sastra, membaca karya sastra yang tekstual sifatnya, dan ketika televisi ada, tetap saja kita membaca karya sastra yang tekstual. Jadi, bagaimana memperjuangkan itu kembali menjadi bagian dari pendidikan? Sekarang, kan, yang mau diutamakan adalah aplikasi atau teknologi ini, dan lalu sastra dianggap tidak perlu. Ini efeknya akan kelihatan nanti. Sepuluh tahun kemudian, ini akan berbeda.

 

MICHELLIA

Saya ingat pernah membaca buku Proust and the Squid karya Maryanne Wolf yang bercerita tentang reading brain, bagaimana manusia berkembang daya bacanya dari yang tadinya membaca dengan mengakses tablet ala sentuhan tangan, ada perubahan terjadi di otaknya. Dia tidak tahu sejauh apa perkembangan otak manusia ketika itu, tapi dia mencoba untuk merekonstruksi tentang bahwa ada perkembangan, evolusi otak yang terjadi akibat membaca, hingga manusia sampai tahap pada pembaca. Mungkin itu yang menjadi ketakutan para founder, seperti Bill Gates, saya dengar anak para perintis aplikasi ini, bahwa anak-anak mereka tidak dianjurkan untuk memegang gawai di masa kecilnya. Tadi Anda bilang mungkin sepuluh tahun mendatang bisa jadi ada perubahan di otak anak-anak generasi ini yang sejak kecil memegang gawai, tampaknya memang demikian, ya?

 

KARLINA

Orang-orang yang mengerti betul pengaruh teknologi digital terhadap cara berpikir, terhadap perkembangan kedalaman kemampuan menganalisis, akan melarang anak-anaknya. Saya ada pengalaman sendiri, di keluarga saya, karena anak saya yang perempuan menikah dengan ahli IT, dan dia betul-betul ahli IT. Mereka tidak memperbolehkan anak-anaknya menggunakan gawai saat masih kecil. Sekarang, karena sudah usia SD, diberi mengakses, tapi hanya satu jam. Apa yang ada di rumah mereka? Rak buku. Rak buku klasik. Kertas. Orang yang mengerti akan tahu soal ini. Yang tidak mengerti, terkagum-kagum, melupakan aspek itu.

Kenapa bahasa Yunani berkembang dengan sangat menarik? Karena, begini, ketika dia mulai mengenali sistem tulis—orang Yunani tidak punya sistem tulis, kebudayaannya hancur—ketika Homer menghasilkan mitologi Hesiod, tidak ada tradisi tulis, belum ada. Tradisi ini masuk dari Venesia, kalau saya tidak salah. Mereka mengambil tradisi tulis yang masuk ini, tetapi mereka masih punya tradisi lisan. Lalu, terjadi penggabungan. Jadi, bahasa Yunani adalah penggabungan antara tradisi lisan dan tradisi tulis, maka bahasanya berbeda sekali dengan bahasa Mesir dan bahasa Babilonia. Mereka menghasilkan karya sastra yang juga berbeda. Jadi, dari sini, kita lihat, kekayaan yang luar biasa ketika manusia menggabungkan berbagai macam daya, kapasitas—daya-daya yang ada di dalam dirinya. Dan tidak hanya berpusat pada, “ya, karena sekarang teknologinya seperti ini; digital, visual, audio, itulah yang kita kembangkan”. Padahal, seni pahat, seni lukis yang pakai tangan—itu melatih cara berpikir manusia.

Saya masih konservatif, masih tradisional, masih tetap percaya bahwa teks itu sangat penting. Jangan ditinggal. Dan dari kecil, anak-anak itu, para sastrawan ini perlu bisa masuk ke sekolah-sekolah, membujuk kepala sekolah, menteri pendidikan itu dibujuk, diberi tahu. Salah satu rekomendasi Akademi Jakarta itu: bahwa seni harus kembali menjadi bagian, termasuk sastra. Jangan biarkan habis.

 

MARTIN

Problemnya memang ke span of attention anak sekarang. Mereka enggak bisa tahan mendengar penjelasan lebih dari lima menit.

 

KARLINA

Oh, jangankan lima menit, daya konsentrasinya lebih pendek dari ikan mas koki. Hypertext, kan, juga begitu. Kenapa lalu cucu-cucu saya itu masih baca buku kertas, karena kalau dia baca pakai hiperteks, bacanya datar, bacanya horizontal.

Saya memang membaca pakai Kindle, misalnya, yang sangat terbatas hiperteksnya, bukan yang banyak hyperlink-nya, karena nanti kita cenderung membaca melompat. Saya kira itu berkaitan dengan daya atensinya. Saya kira, satu lagi kelebihan sastra: ketika dia bisa memikat, dia menarik atensi orang, orang bisa sampai duduk berjam-jam hanya untuk menghabiskan suatu karya. Itu kedalaman yang luar biasa. Itu tidak didapat dari dunia digital. Banyak unsur manusia yang paling tidak, menurut saya sangat berharga, bisa ciut. Ya, mungkin digantikan dengan kemampuan yang lain, tapi entahlah. Mudah-mudahan saya tidak usah mengalami jika kehilangan sastra tulis itu akan terjadi. Atau, mungkin kita akan kembali ke sastra lisan, karya sastra yang dibacakan.

 

MARTIN

Mungkin itu juga ada kaitannya dengan industri, ketika kita bicara transisi ke digital, transisi dari sastra, film, komik, ditangani bukan lagi sebagai seni dengan medium yang berbeda-beda, tetapi sebagai konten. Mediumnya sudah diabstraksikan. Yang dikelola kontennya, disebut sebagai IP licensing, lisensi terhadap konten. Gundala yang semula komik, terus diolah jadi film, jadi game misalnya. Yang dikelola oleh industri adalah kontennya. Mediumnya sendiri diabaikan, atau sering kali hanya mampir, termasuk sastra itu.

 

KARLINA

Jadi, pernyataan “medium adalah pesannya” dari Marshall McLuhan, sudah tidak berlaku sekarang. Bahwa, dulu medium itu penting. Banyak pekerjaan dan tantangan besar bagi para sastrawan menghadapi ini.

 

ZEN

Dari saya, sudah tidak ada pertanyaan lagi, kecuali bahwa ini obrolan yang santai, tapi banyak sekali singgungannya pada aspek-aspek yang semula tidak kami bayangkan saat menulis ToR.

 

KARLINA

Saya ada satu yang saya terlupa, tetapi dari kemarin saya ingat, dari sejak membaca ToR itu. Ini, kan, kita bicara bagaimana sains memanfaatkan sastra, sastra memanfaatkan sains, lalu fiksi sains yang dipengaruhi oleh sains. Ada satu periode, abad ke-19, yang memang zaman Romantik, ketika sains tidak banyak ilmuwannya, tetapi ada yang justru dipengaruhi oleh cara berpikir sastrawi, filsafat alam yang Romantik, dan menghasilkan temuan ilmiah. Jadi, dia mau melawan arus, seperti Galileo, yang mengatakan bahwa bahasa alam adalah matematika.

Dia mau mengatakan bahwa, tidak. simbol-simbol alam adalah justru simbol-simbol estetik dan naratif. Tidak ada yang mendengarkan dia, ini zaman paradigma Newton. Tapi, yang menarik adalah, dia membuktikan hal itu dengan eksperimen, tetapi menggunakan analogi dan metafora. Dia berhasil membuat penemuan yang mengguncang dunia mekanistik Newtonian, karena dia orang yang justru membuktikan bahwa listrik dan magnet saling mempengaruhi. Tadinya, listrik dan magnet terpisah—gejala Newtonian, terpisah.

Dengan memakai pemikiran sastrawi ini, dengan memakai analogi metafora, dia membuktikan bahwa ada interaksi antara keduanya. Hans Christian Ørsted. Abad ke-19. Dia betul-betul mau mengembalikan corak kosmos yang penuh pesona, yang menggerakkan emosi, yang bisa dipahami secara metaforis, dan berhasil. Ketahuan kenapa berhasil, karena ketika dicoba dibuktikan, dihitung dengan penemuan kuantitatifnya, hasilnya klop. Tapi, karena sulit mencari metafora untuk seperti yang ia lakukan, para peneliti yang lain lalu kembali lagi menjadi kuantitatif. Tapi, ini jelas menunjukkan orang yang sangat percaya pada kekuatan sastra, bisa menghasilkan suatu temuan ilmiah yang kita pakai sampai sekarang: listrik magnet.

 

MARTIN

Termasuk juga, ya, Goethe, penulis teori tentang warna, Theory of Colours.

 

KARLINA

Ya, tapi asumsinya keliru. Tapi, ya, dia melahirkan teori itu. Itu saja catatan tambahan yang sempat terlupa. Artinya, melihat hubungan sains dan sastra lebih erat daripada yang dikira orang.

 

MICHELLIA

Fantastis. Baik, kami rasa sudah cukup. Terima kasih, Ibu, untuk percakapan kita malam ini.

Percakapan31 Desember 2022

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.