Elisabeth Inandiak
Menulis Sejarah Tanpa Garis Batas

Ilustrasi: Jiwenk

Kehidupan yang seakan-akan tidak ada batasannya dalam Serat Centhini menginspirasi Elisabeth D. Inandiak—yang menggubah Serat Centhini versinya dan menerbitkannya sebagai Centhini Kekasih yang Tersembunyi (2008)—dalam laku hidup serupa. Sebagaimana halnya ia mengagumi betapa para tokoh dalam Serat Centhini hidup bebas tanpa batas, ia pun mengakui kerja-kerja sastra dan kebudayaan yang ia lakukan tidak ditentukan oleh satu garis batas tertentu. Dengan laku yang tampak santai belaka, bagaimanapun Eli—sapaan akrab Elisabeth—berhasil menggubah mahakarya literatur Jawa agar dapat dinikmati pembaca lebih luas. Elisabeth bahkan diganjar Prix littéraire de l’Asie (Penghargaan sastra Asia) pada 2003 atas karyanya yang semula berjudul Les Chants de l’île à dormir debout – Le Livre de Centhini ini.

Serat Centhini yang digubah olehnya semula ditulis oleh Putra Mahkota Kasunanan Surakarta, Adipati Anom Amungkanagara III (Sunan Paku Buwana V), pada periode 1814-1823. Namun, baru pada 1850 serat ini selesai ditulis. Setelah ia menduduki tahta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yakni Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa. Serat ini membuka gerbang bagi Elisabeth, kala itu sebagai wartawan untuk sebuah media Prancis, mengulik dan mendalami budaya Jawa.

Misinya “menulis ulang” Serat Centhini ini pun melewati proses panjang. Bermula dari liputan mengenai laku Islam versus kebatinan di tanah Jawa, ia menemukan sebuah teks ringkasan mengenai Serat Centhini dalam bahasa Prancis pada 1991 saat mendalami buku Le Carrefour Javanais oleh Denys Lombard. Momen eurekanya menemukan ringkasan serat tersebut menggiringnya pada percakapan dengan Abdurrahman Wahid selaku ketua Nahdlatul Ulama saat itu, hingga napak tilas Makam Sunan Giri di Gresik serta berbagai laku spiritual dan tasawuf di Jawa. Segera setelahnya, Eli kembali ke Paris untuk mengulik naskah pionir berbahasa Prancis mengenai Serat Centhini, sebuah disertasi yang ditulis oleh Menteri Agama M. Rasyidi mengenai Serat Centhini kala studi di Universitas Sorbonne.

“Cerita Serat Centhini pada dasarnya adalah tentang pengembaraan orang yang kehilangan arah. Sebuah karya yang luar biasa,” Elisabeth menjelaskan alasan dari kegigihannya melakoni semua hal tesebut. Ia terinspirasi akan kisah pengembaraan Amongraga, pangeran muda yang kabur meninggalkan Kasunanan Giri pada abad ke-17 demi pencariannya atas Tuhan.

Didampingi oleh seorang ahli bahasa Jawa dari Keraton Solo, Ibu Sutanto, Elisabeth melanjutkan “napak tilas” dua belas jilid setebal 4.200 halaman Serat Centhini dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Sepanjang 1991-1996, fragmen demi fragmen Serat Centhini “versi Inandiak” pun tersusun. Serat sepanjang 4.200 halaman pun digubah menjadi novel 430 halaman. “Karya aslinya sudah memiliki cerita yang luar biasa. Saya hanya menulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami,” ungkapnya dalam suatu wawancara. Setelah karya monumentalnya itu, Elisabeth masih melanjutkan menulis sejumlah karya. Karya-karya tersebut di antaranya Lahirnya Kembali Beringin Putih (1998), Babad Ngalor-Ngidul (2016), dan Mimpi-mimpi dari Pulau Emas (2018). Dalam semua karya tersebut, terdapat “jejak rasa penasaran” atas Indonesia sebagai suatu negeri dengan kekayaan sejarah dan budaya. Berikut ini adalah obrolan berdurasi dua jam antara redaksi tengara.id dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dengan Elisabeth D. Inandiak.

 

“Dua Kehidupan” Beringin Putih

Tertuang dalam dongeng Elisabeth, terungkap pula dalam tuturan kuncen Merapi Mbah Maridjan, “kehidupan” yang dialami warga dalam dongeng Elisabeth juga merupakan “kehidupan” yang dialami oleh warga penghuni Lereng Merapi. Kelindan dua kisah ini mengantarkan Elisabeth untuk percaya bahwa tanah Jawa telah memilihnya untuk menuliskan berbagai cerita negeri ini.

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Sedikit yang tahu bahwa Anda telah menulis dongeng mengenai Beringin Putih (1991) bahkan sebelum Anda dikenal lewat karya fenomenal Anda dalam menulis kembali Serat Centhini. Kisah Beringin Putih adalah dongeng tentang warga sekitar gunung yang menolak pohon tua dihancurkan. Pada pertemuan Anda dengan Mbah Marijan, kuncen Merapi, Anda lantas mendengar cerita tentang pohon beringin tua yang berdiri kukuh meski terkena amukan Merapi dan menemukan kesamaan dengan cerita Anda tersebut. Dalam kisah nyata yang dituturkan Mbah Marijan, sama seperti yang tertulis dalam dongeng Anda, warga pun menolak pemerintah yang ingin menebang beringin tersebut.

Sebagaimana Anda ungkapkan dalam sebuah wawancara, pengalaman itu membuat Anda merasa bahwa, “Saya merasa dipilih langsung oleh tanah Jawa,” dan lantas memilih hidup di Jawa. Anda bahkan lantas menuliskan ulang karya tersebut menjadi Lahirnya Kembali Beringin Putih (1998).

Bagaimana sebenarnya pendapat Anda saat mulai berkenalan dengan mitos dan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta ini? Dari mana Anda memperoleh akses terhadap Indonesia dan berbagai pernak-pernik budaya negeri ini? Boleh ceritakan peristiwa yang menjadi keterpaparan awal Anda terhadap sikap hidup mitis di tanah Jawa ini? Mungkin kita bisa kembali ke puluhan tahun lalu untuk mengungkit kenangan ini.

 

ELISABETH INANDIAK

Banyak pertanyaan, ya, dalam satu pertanyaan, banyak jawaban yang mungkin. Saya akan memulai dari… Bagaimana saya mengenal budaya Jawa atau Indonesia?

Sebelum saya datang ke Indonesia, saya sama sekali tidak tahu tentang negeri ini. Imajinasi saya tentang Asia lebih dekat ke budaya Jepang. Sewaktu kecil, pada hari khusus saat anak-anak mengenakan pakaian khusus di Prancis, menjelang Paskah, saya selalu memilih mengenakan kimono yang sangat sederhana. Berpenampilan seperti seorang perempuan Jepang. Saya sebagai seorang remaja pun menonton banyak film Jepang. Di Prancis, apalagi di Paris, ada banyak kesempatan bagi kami untuk menonton film-film dari seluruh dunia dan saya juga mulai belajar sedikit bahasa Jepang. Sementara itu, untuk soal Indonesia, bahkan tidak ada dalam imajinasi saya. Saya baru sadar bahwa ada negara bernama Indonesia saat saya ditugaskan sebagai wartawan untuk pergi ke negara tersebut, terutama untuk meliput di wilayah Jawa. Saat itu saya diberi penugasan menulis tentang hubungan antara Islam dengan Kejawen. Mungkin tema ini terkesan aneh, tapi saya saat itu bekerja untuk majalah yang pandangannya memang cukup terbuka—semacan Rolling Stone di Prancis, namanya Actuel—pada akhir 1989 saya menjalani pekerjaan ini.

Saat itu saya langsung ketemu dengan Muhammad Rasyidi dan juga Gus Dur. Saya lalu ke Yogyakarta. Dari situ saya mulanya mengenal Indonesia dan Jawa. Dan saya sangat terkesan ketika itu. Dan saya merasa kebudayaan itu jauh dari saya. Karena Jepang terasa minimalis, saya merasa lebih dekat. Sementara Jawa, mulanya saya merasa kebudayaan Jawa rumit. Ya, kebudayaan Jepang memang juga rumit, tapi terasa lebih teratur karena saya sudah familiar. Atau mungkin, kalau soal budaya Jawa… saat itu saya tidak punya referensi. Seiring waktu, mungkin karena “keajaiban dari Jawa”, saya tidak tahu mengapa kemudian saya merasa adanya—timbulnya—kedekatan itu. Saya juga kaget, makanya saya selalu bilang, bukan saya yang pilih Indonesia dan Jawa, tetapi tanah Jawa yang memilih saya.

 

MICHELLIA

Sebagai wartawan, keterlibatan awal Anda dengan dunia kebatinan di Indonesia dimulai saat Anda mendapat tugas liputan pada Desember 1989 dan Anda semula datang ke Indonesia untuk menulis soal Islam versus kebatinan. Anda pun berjumpa dengan Mohammad Rasjidi, yang banyak melakukan penelitian soal kebatinan. Lantas, bertemu Serat Centhini—“Kamasutra-nya Jawa”—pada kunjungan ke Yogyakarta tahun 1991. Dalam makalah Anda di Salihara, Dari Erotika ke Sir Centhini, Anda banyak menyebutkan tembang-tembang dan nukilan-nukilan dari Serat Centhini. Apa yang menarik Anda melibatkan diri dalam kisah pengembaraan Amongraga tersebut? Selain aspek cinta dan erotika, kita tahu dalam kisah Amongraga dan Tambangraras, terdapat juga banyak materi spiritual, hal spiritual apa saja yang menarik dalam serat tersebut? Bagaimana Anda melakukan perbandingan dengan karya-karya kesusastraan terkait erotisme di Prancis, misalnya? Atau, apakah Anda membandingkan pula erotisme dalam Serat Centhini, misalnya, dengan Kama Sutra versi India?

 

ELISABETH

Saya juga kebetulan berjumpa dengan Serat Centhini sewaktu saya baca buku Denys Lombard, Le Carrefour Javanais, dia sebutkan Serat Centhini dalam dua halaman ringkasan. Saya langsung merasa ada keakraban antara saya dengan Serat Centhini.

Kenapa saya tertarik? Karena itu tembang. Meski saya tidak langsung mendengar tembang Serat Centhini atau serat-serat lain di Jawa. Saya rasa sedari saya kecil di Prancis saya selalu merindukan fakta bahwa sastra lisan atau sastra bunyi dalam sastra Prancis sudah hilang, padahal kami punya tradisi panjang juga selama abad pertengahan. Ada yang namanya troubadour, orang yang menyanyikan sastra-sastra epik, atau dalam karya sastra Yunani Kuno, Odýsseia, dulu ditembangkan juga. Kata-katanya masih dipahami saat ini, tetapi aspek tembangnya hilang. Hal ini berkebalikan dengan Centhini. Kata-katanya mungkin sudah tidak dimengerti oleh kebanyakan orang Indonesia saat ini, tapi tembangnya masih dipertahankan.

Saya selalu merasa sastra harus berbunyi dulu, boleh ditulis, tetapi kata harus bunyi, harus ada getaran, harus ada vibrasi yang mengisi ruang. Kalau tidak, karya itu adalah benda mati. Dan ketika ditembangkan, karya sastra menjelma semacam komunikasi bagi kita bersama. Kalau hanya tertulis, sangat individual, kita membacanya sendiri-sendiri. Dan karakter ini yang saya rasakan hilang dari karya sastra Prancis, kami tidak lagi membagi karya bersama-sama. Kita menikmatinya sendiri-sendiri. Ini berlanjut pada zaman sekarang, orang berbagi karya dengan HP, ada media sosial, dan mereka tertutup dalam ruang di HP-nya.

Saya juga tertarik terkait erotika dan spiritualitas yang bisa berjalan beriringan. Sementara dalam tradisi Eropa, setahu saya jarang sekali ada sastra erotika atau spiritual yang digabungkan. Hal ini tidak cuma dalam sastra, tapi dalam pendidikan, seksualitas tidak dilihat memiliki hubungan dengan spiritualitas. Apalagi dalam agama Katolik, ini dipisahkan ya, seksualitas cuma untuk reproduksi, tetapi tidak untuk mencari Tuhan. Karena itu, saya merasa hal ini adalah sesuatu yang sangat baru bagi saya. Meski pun saya sudah dengar dan baca sedikit tentang tantrisme. Tapi, saat itu, saya tiba-tiba menemukan karya sastra, yang memang memunculkan unsur erotika dan sekaligus perjalanan spiritual, ada macam-macam seksualitas, tetapi yang terutama pada kisah pertemuan antara Amongraga dan Tembangraras, jelas bahwa ada unsur kerohanian, empat puluh malam itu, saat semua rasa dilibatkan untuk akhirnya dihaluskan, hingga semua energi bisa dijadikan satu, dan akhirnya bisa menemukan Yang Ilahi. Itu adalah sesuatu yang sangat baru bagi saya, tidak ada di dalam pendidikan saya di Prancis atau di dunia Barat.

 

Tradisi Tutur dan Performativitas Sastra

Unsur tembang dalam Serat Centhini memantik keterpukauan demi keterpukauan Elisabeth saat menggeluti naskah tersebut. Ia merefleksikan pula pertemuannya dengan berbagai tradisi sastra lisan dalam khazanah negeri ini yang lantas menginspirasinya dalam berkarya. Dia bahkan mengakui bahwa tradisi menuturkan cerita untuk dapat dinikmati bersama sebagaimana yang masih ditemukannya dalam berbagai laku sastra di Asia Tenggara hari ini—termasuk juga aspek performativitas sastra—adalah hal yang dirindukannya untuk kembali dilestarikan dalam khazanah sastra Prancis.

 

ZEN HAE

Saya tertarik dengan pernyataan Anda tadi soal sastra lisan yang dilisankan di Eropa Abad Pertengahan hadir dengan troubadour. Sementara di Nusantara atau di Indonesia ini, kan, variasinya mungkin akan lebih banyak, ada tukang kaba di Sumatera Barat, tukang kentrung di Jawa Barat, atau mocopat.

Sastra sebagai semacam peristiwa sosial, orang berkumpul mendengarkan pembacaan. Hal ini berbeda dari sastra modern yang cenderung antisosial, individualistis, orang membaca buku di dalam kamar untuk menikmati suatu cerita, tidak bersama-sama, tidak menonton pembacaan. Apakah pesona ini yang katakanlah tidak didapatkan di sastra Prancis atau sastra Barat pada umumnya, yang kemudian Anda kemudian menemukan kembali semacam komunalisme, atau sastra yang dipanggungkan dan ada unsur godaan aural, ya, bunyi-bunyian yang jauh lebih menggoda ketimbang kesenyapan membaca sendiri—yang menjadikan sastra lisan lebih menarik bagi Anda ketimbang sastra modern?

 

ELISABETH

Apakah lebih menarik? Itu suatu fungsi yang lain, ya. Waktu saya kecil dan remaja saya banyak membaca, meski saya dari keluarga dengan lima anak, saya suka duduk di kamar dan membaca banyak buku. Memang luar biasa, dan saya tidak bisa bilang bahwa yang saya baca secara individual tersebut tidak bermakna. Pengalaman itu memperkaya dunia saya.

Tetapi, dan mungkin ada tulisan-tulisan yang susah dibagi dalam komunitas, meski ajaran filsafat juga bisa dibagikan, ya. Justru kalau di gereja, masjid, kuil, selalu ada cerita yang dibagi bersama. Itulah mengapa filsafat bisa dibaca bersama-sama, tidak harus dibaca sendiri di kamar. Jadi, mungkin betul bahwa semua bentuk sastra bisa dinikmati bersama. Di lain sisi, kita juga bisa menikmatinya sendiri. Seperti meditasi, tidak harus bersama komunitas.

Yang jelas, dalam kesusastraan Prancis, bentuk penceritaan yang dilakukan bersama ini tidak lagi berkembang. Dan justru penceritaan itulah yang saya temukan kembali di Indonesia. Saya merasa itu adalah hal yang saya rindukan. Saya tidak bayangkan ada satu negara di mana sastra bisa dihidupkan semacam itu.

Saya ingat sekali teman saya seorang antropolog Prancis, Nicole Revel, dengan penelitiannya di Filipina Selatan, di Pulau Palawan. Ia menceritakan kepada saya bahwa ada juga semacam dukun atau pendongeng yang semalaman bercerita. Epik, yang sang dukun atau pendongeng itu pelajari, dia tuturkan dengan pergi dari satu pulau ke pulau lain. Ia hafalkan semua epik itu, ia gabungkan, lalu ia ceritakan kembali, dan ia menceritakannya dalam keadaan terlentang tiduran, tidak duduk. Dan semalaman ia bercerita. Kadang-kadang sampai beberapa malam. Dan semua penduduk di desa itu duduk di sekitarnya. Mereka bisa beraktivitas, bisa makan, atau bicara ke satu sama lain. Itu adalah proses healing, suatu fungsi yang saya temukan ada di Asia Tenggara. Ada fungsi itu dalam suatu penceritaan bersama, yaitu fungsi healing.

Saya merasa hal itu sangat indah. Saya dulu juga tidak membayangkan bahwa karya sastra bisa menjadi semacam healing bersama. Meski kalau kita membaca satu novel, bisa saja berfungsi healing, membantu menyelesaikan masalah kita. Namun, cara lisan ini menurut saya sangat indah.

Juga, sewaktu saya datang ke Indonesia, saya langsung menyaksikan wayang. Saya melihat sosok dalang adalah sosok sastrawan yang luar biasa. Saya merasa sebagai penulis laku tindakan saya masih sempit sekali. Saya hanya bisa menulis. Sementara si dalang sebagai pencerita bisa memainkan beberapa peran. Suaranya bisa berubah menjadi perempuan, laki-laki, kasar, halus. Dia bisa duduk selama semalaman, dia bisa improvisasi. Dia bisa juga memimpin karawitan, gamelan di belakangnya. Dan dia harus berinteraksi dengan penonton di hadapannya yang tidak langsung dilihatnya.

Menyaksikan itu, pemahaman saya akan sastra menjadi lebih luas, dibandingkan yang sebelumnya saya bayangkan. Dan pengalaman itu sangat hidup. Meski saat ini wayang tidak begitu semarak lagi. Dulu, saat saya kali pertama datang ke Indonesia, wayang sangat dinikmati.

Sewaktu saya kali pertama menontong wayang, di tengah malam ada perempuan yang melahirkan, dan bayinya langsung dibawa ke dalam, ke belakang layar, dan sang dalang yang memberi nama pada bayi itu, yang masih dibungkus dengan kain batik, masih ada sedikit darah dan kotoran dari saat persalinan. Bayi itu diangkat masuk ke dalam wayang, ke dalam pentas itu, dia menjadi satu wayang sendiri. Saya dengar dalang langsung mengangkat anak itu, bahwa si dalang punya beberapa anak angkat, karena setiap kali ada anak yang lahir di satu desa saat ada pementasan, ia menjadi anak sang dalang. Saya merasa hal semacam ini seumpama sastra yang luar biasa, luas, dan betul-betul merangkul kehidupan sehari-hari, sampai merangkul pula kelahiran seorang bayi.

 

ZEN

Paparan Anda menjelaskan betapa pentingnya aspek performativitas sastra lisan, karena dipentaskan dan melibatkan banyak orang atau penonton, juga penabuh gamelan—dalam konteks wayang, misalnya.

Tentu saja seorang peneliti seperti Anda tidak berhenti pada aspek-aspek luaran ini, karena itu Anda kemudian mencari sesuatu yang lain, dan ketemulah korelasi atau kesinambungan antara seksualitas dan spiritualitas dalam Centhini yang kemudian menjadi acuan atau fokus penulisan Anda dalam buku Serat Centhini versi abad ke-21, ya, kita bisa sebut seperti itu. Terkait aspek “dalaman” ini, untuk seorang peneliti seperti Anda, apakah hal ini jauh lebih penting, ya? Atau menurut Anda aspek dalaman itu sama saja dengan tampilan luarnya, dalam konteks pementasan mocopat atau pembacaan Serat Centhini di depan publik?

 

ELISABETH

Apakah yang erotika atau spiritualitas lebih penting daripada performativitasnya?

Saya pikir keduanya, ya, karena saya rasa keduanya adalah bukti bahwa sastra lebih luas daripada yang saya bayangkan dulu saat saya hidup di Barat. Meskipun saya sendiri bukan seorang yang nyaman untuk pentas.

Saya bergabung dengan Didik Nini Thowok atau Slamet Gundono, tetapi sebagai penulis, saya tidak keluar dari peran saya, saya tidak bisa, dan saya tidak tertarik juga ya, saya tidak begitu merasa nyaman di panggung, kecuali saya betul-betul dibimbing oleh orang yang betul-betul di bidang itu, seperti Slamat Gundono yang memberi saya semangat yang luar biasa dan keterampilan untuk tampil.

Semua hal itu termasuk hal-hal baru yang saya temukan di Indonesia. Lewat wayang, lewat Serat Centhini. Juga bahwa, seperti Beringin Putih, tidak ada garis batas antara dunia nyata dan dunia mitos, dongeng, mimpi. Kesemua itu memang di sastra Prancis banyak dituangkan para penyair, Baudelaire, Rimbaud, atau Victor Hugo. Mereka memang, saya yakin secara dalam mereka tidak memberi garis. Tetapi sudah jadi satu bentuk, satu syair.

Di Indonesia, yang saya temukan, seperti Beringin Putih, bagaimana saya mulai menulis satu dongeng, saya kira saya tulis itu dari imajinasi saya, tapi ternyata beringin itu, dan batu gajah itu ada di Lereng Merapi. Saya juga kaget. Tidak pernah terjadi pada saya di Prancis. Saya yakin di Barat juga ada hal-hal seperti itu, tapi sepertinya sudah tertutup oleh materialitas kami di Barat. Terlalu banyak zat—unsur materialitas—atau kebendaan. Itu yang ditulis Victor Hugo, bahwa Yang Ilahi sudah tertutup oleh benda-benda, dan harus dibersihkan dulu.

Sementara di Indonesia, hal-hal ini seperti masih transparan. Lapisannya belum terlalu tebal, sehingga masih bisa dimunculkan. Itu sesuatu yang luar biasa bagi saya, bagaimana dunia nyata, dunia mitos, dunia kerohanian, dongeng, semua itu sebenarnya jadi satu, dan itu terjadi kepada saya sendiri, bukan karena saya orang yang punya kemampuan untuk membaca, tidak. Karena mungkin saya sangat naif, saya terbuka. Karena saya terbuka, saya dapat melihat semua hal itu. Dan juga karena di Indonesia hal-hal ini masih sangat transparan. Entah apakah dalam waktu dekat hal-hal ini akan tertutup, karena masyarakat berkembang dalam arus materialisme. Namun, sejauh ini saya rasa hal ini masih kuat, tidak ada perubahan signifikan.

 

ZEN

Sebetulnya dalam sastra Prancis abad ke-20, tadi Anda menyebut Baudelaire atau Rimbaud, atau bahkan penyair-penyair surealisme Prancis abad ke-20 awal juga membocorkan atau meniadakan batas antara, katakanlah, dunia keseharian dengan alam mimpi sebagai basis kejutan puisi misalnya.

Itu yang Anda temukan juga dalam mitos Beringin Putih atau sastra lisan secara umum di Nusantara atau Asia Tenggara. Menurut Anda, apakah korelasi ini punya nilai—kurang lebih—mana yang lebih bagus atau kurang?

Maksud saya, apakah ini juga yang mendorong Anda memberi perhatian lebih luas lagi kepada tidak atau belum ada batasnya antara dunia keseharian atau realitas dengan alam mimpi, atau yang bukan realitas, dalam sastra Nusantara? Karena Anda punya acuan yang kurang lebih sama dengan, katakanlah, sastra modern atau simbolisme Prancis, misalnya.

 

ELISABETH

Dalam pendidikan saya di Prancis, karena saya banyak baca sastra dan terutama syair, saya memang sudah dididik untuk dapat kemampuan membaca mimpi. Tetapi yang mereka tulis, memang dalam imajinasi mereka, tidak digabungkan dengan dunia nyata yang betul-betul ada di luar tulisan mereka.

Mungkin Victor Hugo sedikit lebih, karena dia betul-betul orang yang terlibat dalam politik. Tapi saya dulu merasa memang tidak ada garis batas, tetapi cuma dalam pikiran atau imajinasi penyair. Tidak betul-betul terjadi di dunia nyata. Dan saya yakin memang sewaktu saya kecil saya rasa tidak ada batas. Belum pernah terbukti. Dan tiba-tiba di Indonesia, ini terbukti.

Saya ingat juga pengalaman saya sewaktu kecil, kami lima bersaudara yang selalu diajak berlibur ke pantai oleh nenek saya karena orang tua saya bekerja dan mereka tidak punya waktu berlibur. Nenek saya selalu membaca atau menceritakan dongeng-dongeng H.C. Anderson. Saya sangat terkesan oleh dongeng-dongeng itu.

Sewaktu saya datang ke Indonesia, saya merasa dongeng yang diceritakan nenek saya betul-betul hidup. Ada di kehidupan sehari-hari di Indonesia. Itu bedanya.

Mungkin Anderson mengalami juga hal-hal sama, entah dia menulis dan memperoleh pengalaman dari dunia nyata sehingga dia mendapatkan dongeng yang begitu kuat itu. Itu yang saya tidak tahu. Tapi selama saya hidup di Prancis, saya tidak pernah memperoleh bukti adanya garis batas antara dunia mimpi dan dunia nyata, atau alam mimpi dan alam nyata, keduanya hampir tidak ada garisnya. Ini suatu temuan yang luar biasa bagi saya, suatu anugerah.

Dari situ saya mulai memahami kenapa ada sastra-sastra semacam Centhini atau seperti pementasan wayang di Indonesia.

 

Serat Centhini Abad Ke-21 & Proses Kreatif yang Panjang

Enam tahun napak tilas berbagai setting yang tertuang dalam Serat Centhini, Elisabeth bertemu dengan banyak pihak yang rupanya terhubung atau memiliki kedekatan dengan serat tersebut. Ini mengantarkannya untuk menekuni juga ajaran tasawuf di tanah Jawa, hingga berjibaku mencuplik fragmen-fragmen dari serat setebal 4.200 halaman tersebut. Menjadikan Serat Centhini versinya lebih dekat dengan kesehariannya selama di Jawa, Elisabeth juga menuangkan berbagai pengalaman pribadinya untuk ia kelindankan dengan kisah Centhini yang ia tuliskan kembali.

 

MICHELLIA

Tadi Anda menyebut Victor Hugo dan kehidupan nyata yang surealis, saya jadi ingat cerita anaknya Victor Hugo ya, Adele Hugo yang terus mengejar-ngejar kekasihnya. Itu surealis banget buat saya.

Kembali lagi, tadi Anda sudah mulai mengetahui Serat Centhini sejak 1991. Sementara Anda mengaku baru mulai mengerjakannya tahun 1996. Selain mengunjungi Makam Sunan Giri di Gresik atau mengunjungi Gus Dur, boleh ceritakan proses kreatif sepanjang tahun tersebut?

Apakah Anda mendalami ajaran tasawuf, ataukah mempelajari upacara tantrik dan mendalami perkara hasrat dan nafsu sehingga baru memulai proses penulisan tahun 1996?

 

ELISABETH

Memang saya bukan seorang antropolog atau akademisi. Saya hampir tidak pernah kuliah soal itu. Saya memperoleh pengalaman langsung dari lapangan dan belajar dari pengalaman nyata. Dengan Serat Centhini, saya merasa sangat beruntung, karena sebelum saya mulai menerjemahkan, saya diberi kesempatan oleh Radio Nasional Prancis, France Culture, untuk keliling Pulau Jawa dan bertemu banyak tokoh serta mengunjungi situs yang ada di dalam Serat Centhini dan semua itu direkam. Jadi sebenarnya saya secara tidak sadar bertindak sediki mirip seperti tiga pujangga yang dikirim untuk bikin penelitian menulis soal Serat Centhini pada awal abad ke-19. Di sana saya bertemu Gus Dur dan juru kunci Makam Giri, dan saya merekam semuanya. Pengalaman ini menjadi satu seri untuk Radio Nasional Prancis. Saya belum pernah dengar rekaman itu kembali. Mungkin suatu saat saya harus dengar kembali, ada sekitar 6 jam rekaman atau bahkan lebih.

Dari sana saya banyak belajar, tapi sebelumnya saya lama tinggal di Indonesia. Pengalaman utama saya, saya melahirkan di Jawa. Sebagai seorang ibu, ini pengalaman luar biasa, di mana ari-ari anak saya lantas dikuburkan di tanah ini. Itu satu hal luar biasa bagi saya. Biasanya di negeri Barat, ari-ari dibuang atau diambil oleh rumah sakit untuk dijual, masuk ke usaha kosmetik. Sementara di sini, ari-ari adalah suatu hal yang sakral.

Makanya waktu saya terjun dalam Serat Centhini, saya sudah siap untuk memahami apa yang ada dalam serat tersebut. Yang sulit memang bahasanya, karena saya sama sekali tidak bisa bahasa Jawa. Dan meski pun saya bisa, saya harus betul-betul punya keahlian untuk mengerti serat tersebut. Karena itu, saya bekerja sama dengan seorang teman, Ibu Sutanto. Dia orang dari Keraton Solo, ahli bahasa Jawa, dan dia bisa menerjemahkan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.

Soal tasawuf, saya juga mulai bertemu orang yang mendalami tasawuf dari pesantren. Tapi tidak khusus untuk soal Centhini. Meski ada beberapa orang yang saya temui khusus untuk mengetahui soal Serat Centhini. Namun, pendalaman ini telah menjadi bagian dari hidup saya sehari-hari. Ada hal-hal di versi Centhini yang saya tulis adalah pengalaman saya sendiri di Jawa, tetapi tersembunyi di balik kisah Amongraga atau tokoh-tokoh Centhini lain. Misalnya ketika Amongraga bertemu dengan istrinya di satu pondok, itu adalah pengalaman saya mengikuti sebuah tarekat di satu kampung di Jogja dan ada dzikir yang kami lakukan setiap Kamis malam. Dari situ saya bisa tahu bagaimana berdzikir dan suasananya.

Dalam Serat Centhini yang asli ada banyak hal-hal yang indah, tetapi adegannya tidak langsung digambarkan, kecuali adegan seks. Sementara adegan yang lain tidak begitu jelas atau tidak begitu nyata.

Atau saat Amongraga tenggelam di air, itu adalah pengalaman saya. Sebenarnya saya hampir tenggelam di Samudera Hindia, padahal saya cukup jago berenang, dulu saya ikut banyak kompetisi renang.

Jadi, kalau kita baca catatan Serat Centhini di akhir buku, bisa dilihat penuh dengan pengalaman saya di Jawa yang nyata. Bukan penelitian. Meski saya juga membuat banyak penelitian secara informal, membaca banyak teks-teks tasawuf. Misalnya, saya mencari referensi, saya lihat teks tasawuf di Serat Centhini, dalam bahasa Jawa, yang banyak susah ditemukan kembali. Ada banyak nama-nama, dan saya merasa beruntung teks-teks tasawuf itu ada dalam bahasa Prancis atau Inggris. Jadi saya bisa baca dan menelitinya, melihat sejauh mana referensi atau cuplikan dalam Serat Centhini itu terkait dengan hal-hal itu.

Serat Centhini ditulis bukan oleh orang akademik, melainkan oleh pujangga, para penyair. Jadi mereka bebas juga, tidak merasa terikat pada referensi akademik. Jadi saya merasa saya harus bertindak juga sebagai penyair. Dan saya tidak terikat, saya bisa bebas juga selama spirit Serat Centhini tetap hidup. Saya tidak membawa ego saya dalam interpretasi Serat Centhini.

 

MICHELLIA

Tadi Anda juga menyebut bahwa ada tendensi akademis dalam pembacaan Serat Centhini.

Anda juga cerita bahwa Muhammad Rasyidi menulis disertasi tentang Serat Centhini di Universitas Sorbonne. Anda membaca disertasi tersebut. Sementara Anda menempatkan diri sebagai penyair saat menulis Serat Centhini abad ke-21, bagaimana pendapat Anda mengenai disertasi yang ditulis oleh Rasyidi? Apakah ada yang Anda petik dari disertasi beliau, dan apakah ada karya-karya akademis lain yang memberi pengaruh meski Anda menempatkan diri sebagai penyair?

 

ELISABETH

Disertasi Rasyidi memang membantu saya untuk menemukan kebebasan dalam interpretasi yang cukup rumit dalam tasawuf, dalam Serat Centhini. Apalagi bahasa Arab bebas juga ya, bercampur dengan bahasa Jawa. Itu yang saya temukan dalam disertasi Muhammad Rasyidi. Apalagi kebetulan dia menulis disertasinya dalam bahasa Prancis di Sorbonne. Dapat saya katakan, pionir Serat Centhini untuk Prancis adalah Muhammad Rasyidi. Jadi, bukan kebetulan saya sebagai seorang Prancis terlibat dalam Serat Centhini, karena pada kenyataannya sudah ada orang Indonesia yang menulisnya dalam bahasa Prancis untuk Sorbonne. Dan Rasyidi, saat saya bertemu dia tahun 1989, dia cukup tua dan saya beruntung masih bisa bertemu, karena beberapa tahun sesudahnya dia wafat. Dalam perjumpaan itu, dia juga memberi tulisannya tentang Gatholoco.

Saya kaget sekali, karena saya diberitahu oleh teman bahwa dia adalah seorang Islam yang cukup ortodoks dan tertutup, dan pada perjumpaan itu saya merasa kenapa ya dia bisa menulis tentang hal-hal yang sangat terbuka dan cukup liar seperti Gatholoco?

Dia memang seorang yang lahir di dunia Kejawen. Rupanya pembawaannya ini bukan karena dia orang Ortodoks atau tertutup.

Sangat jelas dalam disertasinya, dia menjelaskan ada bagian-bagian dalam Serat Centhini yang sesuai dengan Islam, dan ada bagian yang tidak sesuai. Memang Centhini berupa syair, karena itu karakternya bebas. Sebagai Menteri Agama, dia tidak menndakwa bahwa Serat Centhini haram atau apa. Dia hanya mau menjelaskan bahwa ada interpretasi yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam, meski pun Islam tasawuf, dan karakternya liar dan bebas. Bisa dikatakan sama dengan tantra. Namun, dalam arti yang lebih spesifik. Orang-orang bicara tantra yang disamakan dengan seksualitas, padahal sifat Tantra sangat lebih rumit dan lebih mendalam. Karena itulah, karakter Tantra ini salah dipahami, saya kira ini yang terjadi di Tibet pada abad ke-9 dan ke-10 dan saya kira inilah yang juga terjadi di Jawa sebelum Islam masuk.

Saya pikir hal inilah yang dianalisis oleh Rasyidi, supaya ada garis mana bagian yang masuk kategori Islam, dan yang mana menunjukkan kebebasan penyair. Tapi dia tidak menyebut hal itu salah atau keliru. Bagi saya, ini sangat membantu untuk tahu sampai mana kalau saya menulis kembali Serat Centhini, saya bisa ambil kebebasan, pada bagian mana saya bisa ambil teks yang asli dari tasawuf yang disebut di Serat Centhini. Disertasi Rasyidi menjadi pengantar bagi saya untuk membandingkan teks dan mengetahui apa yang perlu saya lakukan, terutama bagian yang dikatakan spiritual. Saya menemukan disertasinya beberapa tahun sesudahnya. Sewaktu saya bertemu dengannya tahun 1989, saya tidak tahu mengenai disertasi ini. Saya merasa disertasi ini perlu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena sangat penting untuk referensi sejarah sastra Jawa.

 

Menggubah Tembang ke dalam Sastra Kontemporer

Menulis ulang format Serat Centhini ke dalam novel kontemporer, Elisabeth mendasarkan pertimbangan penulisan tersebut dengan menderetkan bagian-bagian terpenting untuk dituliskan kembali, menyusunnya dalam daftar, dan memasuki fase trance, menulis kembali Serat Centhini dengan penjiwaan, betul-betul tenggelam dalam proses penggubahan versi kontemporer serat tersebut.

 

AVIANTI ARMAND

Mungkin ini pertanyaan yang personal. Tadi Anda cerita dan mengungkapkan keterpukauan Anda terhadap Serat Centhini yang adalah tembang, bunyi dan lagu, atau doa dan mantra. Bagi Anda, sastra adalah bunyi dan pada saat yang sama apa yang dikisahkan dengan bunyi-bunyian itu mengisahkan antara batas mimpi dan kenyataan.

Saya ingin tahu bagaimana Anda menuliskannya dalam bentuk sastra modern yang kemudian kita pegang sebagai Serat Centhini karya Elisabeth Inandiak? Formatnya kemudian jauh berbeda dengan apa yang ada dalam Serat Centhini asli. Bagaimana Anda menuliskan banyak keajaiban itu; bunyi, ruang, dan suasana—lantas menjadikannya suatu novel modern?

 

ELISABETH

Awalnya saya juga tidak membayangkan apa yang mau saya tulis dari Serat Centhini.

Tugas pertama saya dengan Ibu Sutanto adalah menerjemahkan Serat Centhini. Kami tidak menerjemahkan semuanya karena khawatir akan jadi terlalu luas. Sementara itu, ada ringkasan yang diterbitkan Balai Pustaka, tahun 1920-an atau 1930-an, dan ringkasan itu dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sangat bagus dan bisa membantu, karena sangat persis dan sangat tepat di semua bagiannya.

Jadi, kami bisa memilih yang mana yang bersifat terlalu ensiklopedik dengan daftar. Tidak mungkin saya memasukkan keseluruhannya. Dari sekitar 4.000 halaman, kami memilih setidaknya separuh atau sepertiga. Pasti memang ada bagian yang menarik dan terlewat. Ini kadang menyebabkan saya berpikir kalau terjun lagi menggarap Serat Centhini, mungkin saya bisa menulis versi baru. Tapi ya sudah. Saya pikir orang lain dapat melakukan hal itu. Saya tidak akan terjun lagi.

Jadi berbulan-bulan saya duduk bersama Bu Sutanto, coba mengerti bagian-bagian dalam Serat Centhini. Sesudah itu saya menerjemahkan dari versi Indonesia ke dalam bahasa Prancis. Tetapi saya melihat, kadang apa yang saya tulis tampak indah, kadang terulang karena bahasa tembang. Saya belum punya ide apa yang harus saya tulis. Tapi saya tetap terjun. Dan saya pikir itu adalah proses, yang kami tidak sadari bahwa bentuknya kian terungkap.

Saya kira saya kemudian betul-betul tenggelam dalam Serat Centhini. Tidak tahu harus ke mana. Tapi semua pikiran saya, tubuh saya, rasa saya, tenggelam dalam zat Serat Centhini. Dan suatu saat semuanya terasa jelas. Saya duduk dan mulai menemukan harus bikin versi baru, tidak mungkin diterjemahkan begitu saja. Apalagi versi aslinya ditembangkan. Jadi kalau tembang hilang, lain sekali harus menciptakan versi yang baru. Tapi untuk tiap tembang, saya baca banyak buku sebelumnya dan sesudah itu mungkin saya baca selama beberapa hari, dari 10 halaman asli Centhini dijadikan 1 halaman. Saya lupakan semua referensi, dan bisa saya bilang ini semacam trance. Saya mulai menulis, lupakan semua, terserap dalam tubuh saya dan pikiran saya dan rasa saya.

Terus terang saya tidak tahu bagaimana prosesnya. Sampai sekarang saya juga heran bagaimana saya menulis kembali Serat Centhini. Memang banyak yang kami kerjakan, tetapi dalam proses trance itu, segalanya bergerak di luar kemauan saya. Yang saya mau memang penelitian, baca buku, membuat catatan. Tapi dalam proses untuk betul-betul harus menjadikannya tulisan, saya juga tidak tahu bagaimana datangnya.

 

Ragam Genre dan Daya Kebebasan dalam Serat Centhini

Elisabeth memandang kekayaan genre dalam Serat Centhini merujuk pada kepiawaian sang pujangga untuk menggabungkan berbagai jenis sastra dalam satu karya. Perbauran cerita dari Timur Tengah, Cina, India, dan berbagai tradisi dunia tampak dalam serat tersebut. Selain itu, ia juga terpukau akan daya kebebasan yang ditawarkan oleh Serat Centhini, para tokohnya dapat mengembara dan menjadi apa saja. “Seperti melting pot yang sangat jenius,” ungkapnya.

 

MARTIN SURYAJAYA

Saya tertarik dengan Centhini terutama berkaitan dengan genrenya.

Menurut saya, cukup unik, karena genre Centhini, sebetulnya suatu teks yang ada presedennya, ada pendahulunya, kita bisa melacaknya. Walaupun Centhini yang kita kenal berasal dari abad ke-19. Tapi bisa dilacak paling tidak sampai abad ke-17, awal 1600-an dalam bentuk Serat Jatiswara. Pernah diteliti kalau tidak salah oleh Timothy Behrend. Yang menarik, bahwa Serat Jatiswara adalah buah dari suatu tradisi kesusastraan pesisir di utara, di Cirebon. Yang kemudian dalam Centhini, setting-nya berpindah menjadi Mataram. Tapi kalau kita melihat strukturnya, persis sama. Artinya, hubungan antara Amongraga dengan adiknya direpresentasikan juga di dalam Jatiswara, dalam hubungan antara Jatiswara dan Sajati, adiknya yang hilang dan membuatnya melakukan pengembaraan. Dia juga berkeliling di kawasan pantai utara di Cirebon, bertemu berbagai macam manusia dan keajaiban untuk mencari adiknya. Sajati ini mungkin juga adalah alegori, simbol dari pengertian atau hakikat dunia, esensi dunia seperti dalam tradisi tasawuf.

Akan tetapi, yang menarik seperti ada percampuran berbagai genre sekaligus. Artinya, di satu sisi ada Bildungsroman. Dalam pengertian, kita melihat ada transformasi dari Jayengresmi menjadi Syekh Amongraga. Tetapi di sisi lain juga ada kecenderungan roman kekesatriaan. Artinya kita bisa menghubungkannya dengan roman-roman kesatria di Eropa yang berupaya mencapai cinta sejatinya, berjuang melawan berbagai macam hal. Ada moral code di sana yang mengatur perilaku dari tokoh-tokohnya dan membawa mereka ke beragam seluk-beluk kebudayaan Jawa.

Yang menarik, di satu sisi ada unsur Bildungsroman, di sisi lain ada petualangan chivalric yang sifatnya episodik dan terus berulang-ulang. Dan dalam Jatiswara, hal itu tercermin dalam permulaan setiap tembang yang diawali dengan pernyataan “Jatiswara telah banyak mengembara”, kemudian masuk ke cerita. Tembang berikutnya demikian puia. Jadi ada semacam bentuk yang episodik, yang mengingatkan kita mungkin pada bentuk-bentuk yang sejenis misalnya dalam tradisi Spanyol ada Don Quixote, ada genre picaresque, petualangan episodik seperti itu. Artinya, dari segi genre, ada percampuran berbagai tradisi pengisahan yang sepertinya sulit dipetakan.

Sebetulnya, Serat Centhini ini buku apa? Apakah dia Bildungsroman, ataukah cerita episodik, dan justru ada yang bilang bahwa dia ensiklopedia? Misalnya, peneliti dari Institut Pertanian Bogor, Kurniasih Sukenti, pernah meneliti tentang struktur pengetahuan etnobotani di dalam Centhini. Dan dia berargumen bahwa Centhini adalah ensiklopedia pengetahuan vernakular Jawa. Jadi, bagaimana Anda melihat sifat genre dari Serat Centhini?

 

ELISABETH

Memang saya sedikit malu karena saya tidak pernah membaca Serat Jatiswara, tapi saya sadar bahwa itu adalah babon yang jauh lebih tua dari Centhini, begitu juga Serat Cebolek, ada banyak kesamaannya.

Tapi untuk Serat Jatiswara, saya hanya baca cuplikan, tapi tidak menelitinya. Memang juga ada kesamaan dengan roman kekesatriaan di Eropa. Tapi saya merasa yang luar biasa dan unik dengan Serat Centhini karena bisa merangkul semua jenis sastra. Dan itu yang membuatnya susah diterjemahkan, karena ada macam-macam gaya tulis. Dan yang menyatukan Serat Centhini adalah tembang. Jadi kalau tembang hilang, seperti ada rasa macam-macam, pengembaraan, ajaran, sifat Romanesque, sifat nyata, atau ada yang seperti baru saja Anda ceritakan. Jadi, menurut saya cukup unik, ya. Apakah mungkin bisa lebih disamakan dengan Mahabharata? Meski saya belum pernah membaca Mahabharata dalam versi yang asli.

Untuk sifat ensiklopedia, saya hanya menggambarkan dalam wujud ringkasan. Terkadang ada daftar, saya beri judul. Karena, buat saya, saya tidak begitu tertarik dengan sifat ensiklopedisnya. Meski memang sangat berharga untuk kebudayaan dan sejarah Jawa.

Jadi, ya, semuanya memang ada, dan itulah yang luar biasa, bagaimana seorang pujangga bisa menggabungkan semua jenis sastra dalam satu karya. Semua jenis sastra ada di sana, ada dialog, tembang, mantra, adegan yang sangat kasar, bagian mitos—dan banyak mitos yang masuk—ada juga banyak cerita dari Timur Tengah, tasawuf, Cina, India, semua tradisi dunia ada, dari Babad Jawa juga. Awal Centhini sangat terasa seperti Babad Tanah Jawi, hampir sama, karena tidak ada dosa plagiat, ya, di masa lampau. Jadi boleh saja ambil apa yang disukai, dimasukkan ke dalam Serat Centhini. Seperti melting pot, gado-gado, tapi sangat jenius.

Yang saya sangat terkesan, alur cerita sempurna. Bentuk cerita—meski ada banyak jenis sastra dari Timur Tengah, sampai Cina, sampai Jawa, sampai semua abad, sampai ke zaman ditulisnya—dari alur cerita itulah saya terpantik.

Saya fokus pada alur cerita, narasi, karakter dan arketipe dari tokoh-tokoh yang menurut saya universal. Karena itu, mengapa saya tertarik pada Serat Centhini meski saya bukan orang Jawa?

Berarti ada arti yang tersembunyi, yang bisa bicara kepada semua orang di dunia, karena meski pun khas Jawa, semua tokoh memiliki sifat universal. Apalagi yang paling utama Cebolang, dia seorang remaja, dan jarang sekali dalam sastra dunia, yang halus seperti Serat Centhini, ada tokoh remaja seperti itu. Dan remaja saat ini sangat mirip karakternya dengan Cebolang. Persis seperti anak-anak zaman sekarang, kita sebagai orang tua khawatir melihat anak kita yang bertingkah liar. Rasanya karakter itu relevan untuk masa sekarang.

 

MARTIN

Memang Serat Centhini seperti meleburkan berbagai genre yang berbeda, itu sangat menarik, karena sebetulnya dalam tradisi Jawa, kalau kita mau mencari padanan dari epik, itu kan ada di dalam babad. Kalau kita mencari yang lirik, lawan dari epik, adalah pada serat-serat, pada kidung dan seterusnya.

Akan tetapi, di Serat Centhini, karakternya lirik sekaligus epik. Menuturkan kisah personal, tetapi secara bersamaan menuturkan sesuatu yang sifatnya sosial dan historis, meliputi keseluruhan kebudayaan Jawa, seperti suatu karya seni yang gigantis, yang mau menjadi semuanya, di satu sisi dia lirik, tetapi juga epik.

Yang menarik, kalau kita membandingkannya dengan karya yang muncul sesudahnya. Misalnya dengan Ranggawarsita, selisihnya hanya 1-2 generasi dari Centhini, kalau tidak salah, kita sudah langsung melihat perbedaan yang kontras sekali. Artinya, kalau kita bandingkan dengan serat pertama yang ditulis oleh Ranggawarsita, Serat Jayengbaya, membicarakan bagaimana orang mencoba berbagai pekerjaan dan semuanya gagal.

Itu berbeda sekali dengan karakter di Serat Centhini. Di Centhini, orang Jawa bisa menjadi apa saja. Dia tiba-tiba menjadi pesulap, garong di tengah jalan, atau seniman, atau penari. Orang bisa menjadi apa saja. Cebolang ahli sekali, dia menjadi penari, ronggeng, dan seterusnya, dan kemudian berubah menjadi pencuri, dan tiba-tiba menjadi ahli filsafat. Kemungkinan terbuka lebar sekali dalam Centhini. Tapi selisih dua generasi selanjutnya, di dalam Ranggawarsita, seperti ada penyempitan dunia Jawa. Orang tidak bisa beralih profesi, bahkan tidak punya pilihan, yang selalu pada akhirnya gagal, seperti tergambar dalam Serat Jayengbaya. Apakah Anda melihat peran Centhini ini dalam konteks perubahan kolonial yang terjadi di Jawa? Apakah bisa dibaca sebagai suatu karya yang menandai peralihan penting dalam kolonisasi, dalam sejarah kebudayaan Jawa?

 

ELISABETH

Jadi, apakah Ranggawarsita sudah dipengaruhi oleh bentuk sastra kolonial atau Barat, saya tidak tahu ya, meski syairnya luar biasa dan lucu. Dia menulis syair yang bagus sekali. Saya kira tidak hanya Barat. Odysseia oleh Homer juga lebih bebas. Saya pikir kita semua di dunia modern lebih terbatas. Kalau kita menulis buku, ke penerbit, penerbit menanyakan apakah karya kita termasuk roman, syair, epik? Karya harus masuk dalam satu kotak, satu genre.

Dan karakter bebas ini yang saya sukai dari Serat Centhini. Siapa saja bisa menjadi apa saja, bisa berubah. Dari orang kasar menjadi suci, dari suci bisa menampilkan gaya sastra macam-macam dari seluruh dunia. Wayang pun ada di dalamnya. Itu untuk kita sebagai penulis, bagaimana sebaiknya kita menggali lagi kebebasan itu?

Kita harus berani lagi menjadi bebas. Serat Centhini adalah guru besar kita semua untuk membebaskan diri. Tidak terbatas 4.000 halaman. Sekarang siapa yang bisa menerbitkan 4.000 halaman? Dari tulisan sepanjang itu, kita bisa mengambil bagian apa saja yang kita suka.

Sampai sekarang, saya tidak dapat mencapai betapa raksasanya Serat Centhini, karena memang karya ini merangkul banyak hal. Dalam arti ia sebentuk ensiklopedi hidup, semua kemungkinan bisa diungkap dalam Serat Centhini, tanpa tabu, tanpa menilai apakah benar-salah.

Serat Centhini memberi kebebasan keapda pembaca. Kita sebagai pembaca yang menilai sendiri, apakah benar atau tidak, apakah sesuai dengan etikamu atau tidak. Makanya saya kira itu sebabnya banyak orang takut dengan Serat Centhini, karena memberi kebebasan yang luar biasa. Tetapi tetap ada panduan, yang sangat kuat di dalamnya. Tapi, terserah, mau dibaca atau tidak. Itu terserah kita sebagai pembaca, mendengar panduan yang ada, kebijaksanaan dalam karya itu, atau hanya mau pilih yang memberi izin menjadi liar. Tafsir terserah pembaca. Begitu pula kehidupan, dalam hidup kita diberikan hidup dan terserah kita untuk menjalaninya.

Serat Centhini mencerminkan kehidupan yang benar-benar ada, yang penuh, tidak ada batas dalam satu kehidupan. Jadi, saya kira orang Indonesia harus bangga dengan Serat Centhini. Sementara saya hanya menulis satu esai tentang serat ini, ada ruang yang luar biasa untuk dieksplorasi lagi. Kalau mungkin saya lahir kembali di Jawa, saya akan menempuhnya. Tapi dalam kehidupan ini, saya kira cukup. Saya berharap akan ada penyair lainnya yang mengeksplorasi tidak ada hentinya dari Serat Centhini.

 

Sikap Pengarang dalam Penggubahan Karya

Memahami betul betapa agungnya Serat Centhini sebagai suatu mahakarya dari kesusastraan Jawa, Elisabeth tidak membiarkan dirinya berjarak dengan karya yang hendak diolahnya tersebut. Dia menarik karya itu lebih dekat untuk kemudian menuangkan juga pengalamannya dalam penggubahan Serat Centhini.

 

ZEN

Saya mau melanjutkan apa yang dibilang Martin tadi. Bahwa sebetulnya kita berhadapan dengan sebuah fiksi, bisa kita sebut sebagai fiksi pascamodern dalam khazanah Jawa baru. Menurut saya memang sikap pengarang seperti Anda harus mengambil posisi dari keluasan khazanah yang dihadapi dari sumber ciptaan. Dari karya 4.000 halaman, tiba-tiba, kalau boleh disebut “diringkas” dalam Centhini versi abad ke-21 ini menjadi beberapa ratus halaman.

Pertanyaan saya, dalam perkara meringkas, sikap seorang pengarang harus terlihat, posisinya harus tampak. Mana yang tidak diambil dari khazanah sumber, mana yang ditambahkan dari yang tidak ada di khazanah sumber, dan mana yang dipertahankan, sehingga posisi karya itu dapat disebut sebagai reaksi, atau tafsiran, atau sesuatu yang baru dari karya lama yang menjadi sumbernya. Bagaimana sikap Anda sebagai pengarang dalam menghadapi persoalan ini, sebagai pengarang fiksi Serat Centhini abad ke-21?

 

ELISABETH

Sebenarnya ini bukan ringkasan. Karena kalau kita sebut ringkasan, tidak ada ruang untuk keindahan. Bayangkan kalau kita compress ukuran file besar dalam ukuran besar dengan zipped, itu meringkas. Bagaimana mungkin intinya sama, volumenya lebih kecil, itu meringkas. Namun, seperti yang saya katakan sebelumnya, halaman berupa daftar ensiklopedia memang saya hilangkan, tetapi ada juga yang tetap saya pertahankan, misalnya tentang burung, saya ambil beberapa kata supaya ada suasana. Itu bisa disebut ringkasan.

Tetapi ada banyak yang saya tambah, misalnya pegalaman saya, seperti telah saya ceritakan tadi. Pengalaman saya tenggelam, atau pengalaman dalam sebuah tarekat di kampung di Jogja, atau banyak hal lain yang adalah pengalaman atau misalnya waktu Cebolang minggat dari rumah orang tuanya dan peristiwa itu jatuh pada hari kurban, dan kebetulan bagian itu saya tulis saat ada hari kurban di desa saya di selatan Jogja. Saya tinggal di sana bersama anak saya yang masih berusia 8 tahun. Saya belikan domba untuk desa, meski saya tidak makan daging. Saya tetap beli domba itu. Dan akhirnya, karena saya yang beli, saat hari kurban, mereka melakukan kurban itu di kebun saya sebagai penghormatan kepada saya. Aduh, saya pikir, bagaimana ya?

Tapi peristiwa itu indah sekali bagi saya. Ada anak-anak, orang yang mau melakukan kurban itu seperti penari, indah sekali, mereka memberi daun pisang di bawah daging supaya darah jatuh. Mereka doakan dengan indah sekali, sehingga domba itu tidak menderita, tidak menjerit. Saya sangat terkesan. Sesudah itu, mereka masak domba itu di dapur saya, sampai baunya tertinggal selama beberapa hari. Cerita itu saya masukkan ke dalam Serat Centhini versi saya.

Jadi, banyak yang saya tambah. Itu bisa menjadi suatu keajaiban. Saya menambah pengalaman saya di Jawa. Saya juga menambahkan perihal ajaran tasawuf yang lebih asli, atau syair dari Victor Hugo, syair dari Baudelaire. Jadi, saya juga tidak sendiri memahami bagaimana bisa cuma 400 halaman, padahal ada yang banyak saya tambah, banyak juga adegan yang tidak saya masukkan. Saya yakin ada adegan yang bagus sekali, waktu Cebolang di Borobudur misalnya. Saya terlewatkan menulis itu. Ada banyak adegan yang bagus, tetapi misalnya adegan seks saya bikin lebih pendek, dari 100 halaman di buku kesembilan, saat adik-adiknya Amongraga main seks dengan tiga perempuan yang kelihatannya buruk rupa ya, dalam buku asli ditulis sebanyak 100 halaman, penuh dengan adegan seks yang kasar sekali, tapi saya pampatkan jadi 3 halaman. Bagi saya, itu cukup untuk mendapatkan suasana cerita.

Jadi, saya pilih adegan menurut kriteria apa? Saya tidak menggunakan kriteria akademik. Saya hanya berpikir bagian-bagian itu indah, bagus, dan menarik, bisa masuk ke dalam alur cerita. Saya betul-betul lupa bagaimana saya memilihnya. Tampaknya lebih mengikuti intuisi. Meski, ada hal-hal yang saya hampir lewatkan.

Misalnya, akhir cerita waktu Sultan Agung kirim ulama-ulama untuk menghukum Amongraga, dan saat mereka pulang ke Keraton, harus cari kalimat yang tepat, tapi Sultan Agung bilang, “Kamu buta, kamu tidak melihat saya untuk melihat keindahan. Kamu tidak melihatnya.” Bagian itu bagi saya luar biasa, karena kalau kita tidak memperhatikan kalimat itu, kita bisa salah menafsirkan karakter Sultan Agung, mengira dia orang yang fanatik, menghukum orang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, jalur yang benar, padahal dalam Serat Centhini, Sultan Agung digambarkan sebagai pemimpin yang memberi kebebasan kepada ulama-ulamanya untuk melihat sendiri. Tapi akhirnya dia menghukum, tidak bikin intervensi, tapi akhirnya dia tidak setuju, itu adalah ujian untuk para ulama. Mereka diuji dan gagal dalam ujian itu, karena mereka menghukum Amongraga, padahal Amongraga adalah orang yang sangat spiritual, seharusnya tidak dihukum. Untung Amongraga bisa hidup kembali dalam tubuh yang lain. Jadi, ya, bisa saja saya tidak melihat kalimat itu. Kalimat yang asli dari Serat Centhini dan sangat penting.

 

Karakter Antikolonial dalam Serat Centhini

Dengan tokoh-tokoh yang melakukan pengembaraan di tanah Jawa, dan di waktu yang sama sebetulnya pihak kolonial Belanda telah mengisi ruang-ruang tersebut, Serat Centhini justru menjadi karya yang memisahkan sama sekali para tokohnya dari keadaan politik sezamannya tersebut. Bagi Elisabeth, kenyataan ini justru menunjukkan pancaran sifat antikolonial yang kuat dari Serat Centhini. “Kita tidak mau menyebutkan musuh atau penjajah kita sama sekali. Tidak ada sama sekali. Itu luar biasa, menurut saya,” sebutnya, “Penjajahan sama sekali tidak ada. Sama sekali diabaikan,” pungkasnya.

 

ZEN

Saya harus meralat bahwa Serat Centhini versi Anda bukanlah ringkasan dari Serat Centhini dalam bahasa Jawa. Pertanyaan saya berikutnya: dalam novel atau fiksi posmodern seperti ini, kan, aspek-aspek bentuk menjadi sangat beragam. Tadi disebut ada roman chivalric, bildungsroman, ensiklopedia tanaman dan obat-obatan, kemudian juga cerita seks atau erotisme dalam masyarakat di kampung. Ada juga spiritualisme antara Amongraga dan Tembangraras. Semua bentuk itu bergabung, berkelindan, menghasilkan apa yang kita kenal sebagai Serat Centhini.

Mungkin kalau bisa disebut kekurangan—saya tidak tahu—tapi maksud saya begini, mengapa Serat Centhini seperti mengosongkan diri dari aspek politik sezaman?

Katakanlah, masa kolonial Belanda, abad ke-19 awal, atau masa Interregnum Inggris di Jawa, sepertinya itu tidak terlihat dalam cerita ini? Bahwa karya ini mengambil setting yang jauh ke belakang, ke masa Sultan Agung, itu aspek yang lain lagi. Tapi, seperti membersihkan diri dari dunia Jawa yang sebetulnya menderita dalam kuasa kolonial Belanda. Itu pertama. Yang kedua, apakah dengan menampilkan satu bab, yang bab 9 atau buku kesembilan, tentang erotisme luar biasa, bisa dibaca bahwa Serat Centhini adalah sebuah reaksi keras Jawa atau budaya Jawa terhadap formalisme Islam misalnya. Karena, bahkan kalau kita lihat dari buku Anda tulis, ada dua lapis, yang pertama, Amongraga dan Tembangraras berselaras dengan aspek-aspek yang sempurna, spiritual, metafisis, dan tidak mengalami satu petualangan kecuali asmara dan mistisisme. Sementara, lapis kedua, atau beberapa kisah yang lain, itu kan petualangan rakyat jelata, entahkah itu Cebolang, Ripin, Kulawirya, dan seterusnya… bagaimana mereka menampilkan atau ditampilkan sebagai semacam perlawanan “terhadap moralisme Islam” pada masa itu?

 

ELISABETH

Yang pertama, tergantung bagaimana kita menafsirkan Serat Centhini. Menurut saya, justru Serat Centhini adalah pernyataan yang sangat antikolonial. Sama sekali tidak ada orang Belanda di dalam ceritanya. Padahal tokoh-tokoh mengembara. Sementara, pasti di awal abad ke-16 atau abad ke-17 orang Belanda sudah ada di mana-mana. Dan justru Serat Centhini mengabaikan mereka.

Itu adalah perjuangan antikolonial yang paling kuat. Kita tidak mau menyebutkan musuh atau penjajah kita sama sekali. Tidak ada sama sekali. Itu luar biasa, menurut saya. Suatu pernyataan antikolonial yang paling kuat. Mereka tidak mempengaruhi kebudayaan kita. Dan ternyata benar, karena Serat Centhini kuat sekali secara kebudayaan, dan mereka bisa lepas dari pengaruh kolonial, sebagai bentuk sastra. Kalau mereka memasukkan cerita tentang Belanda, itu seperti mereka mengakui sudah dijajah.

Saya bertanya-tanya, apakah ini disengaja oleh para pujangga? Hal ini sesuatu yang luar biasa kuat bagi saya. Jadi, Serat Centhini adalah suatu karya sastra yang sangat antikolonial. Penjajahan sama sekali tidak ada. Sama sekali diabaikan.

 

ZEN

Tidak mengambil tempat dalam kehidupan masyarakat Jawa, ya….

 

ELISABETH

Tidak ada. Mereka seakan-akan bilang, “Terserah, mereka mau menjajah kita. Tapi kita tidak peduli. Kita tetap sama.” Dan itu luar biasa cerdas, kalau memang disengaja. Dan saya merasa di Keraton Solo semestinya mereka merasakan penjajahan, jadi sebenarnya tidak mungkin tidak disengaja. Kenapa tidak dibahas? Karena bisa saja ditulis dalam satu adegan Amongraga bertemu dengan seorang Belanda. Tapi kenapa sama sekali tidak ditulis? Itu satu resistensi terhadap penjajahan yang luar biasa.

 

ZEN

Saya mau tambahkan. Saya teringat, situasi antikolonial ini kalau dalam konteks Babad Tanah Jawi, misalnya, ada aspek dia mengakomodasi sejarah Jawa, dalam tokoh Murjangkung misalnya. Itu representasi dari Jan Pieterszoon Coen, maka dinamakan dalam bahasa Jawa sebagai Murjangkung. Dan kemudian digeser, ternyata ibunya bukan orang Belanda, melainkan orang Jawa. Jadi, situasi kolonial itu diolah kembali menjadi milik orang Jawa. Bukan sebagai seorang penjajah yang datang menaklukkan Jawa, tetapi itu bagian dari kesadaran masyarakat Jawa. Itu dalam konteks Babad Tanah Jawi. Sementara dalam Centhini, unsur-unsur penjajah ini dihabisi semua, ya, jejak kolonial dihapus. Seakan-akan ini adalah dunia prakolonial, atau prainvasi Eropa ke Nusantara. Padahal, karya ini dibikin pada awal abad ke-19, yang kita tahu ada konteks kolonialisme yang kuat sekali.

 

ELISABETH

Makanya, saya merasa Serat Centhini lebih pintar. Saya sangat mengagumi hal itu. Dan saat versi karya saya dari bahasa Prancis diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kami menghindari pakai istilah-istilah Barat atau Belanda, seperti musik harus menjadi karawitan. Sebisa mungkin, supaya menjaga keadaan pengaruh Barat atau Belanda tidak juga terungkap dalam kata-kata. Saya juga menjaga supaya tidak ada kata seks, tidak ada kata seksualitas. Semua peristilahan, saya usahakan mencari padanannya dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa. Saya ingat sekali saya betul-betul berjuang soal ini dengan penerjemah. Kami betul-betul mencari padanan peristilahan dari kata-kata Nusantara.

Lalu, tentang buku kesembilan dan seksualitas yang liar, menurut saya, saya tidak merasa Serat Centhini mencari atau mengembangkan rasa dendam terhadap Islam. Saya kira dalam Suluk Gatholoco soal itu memang ada dan jelas. Tetapi untuk Serat Centhini, saya sama sekali tidak merasakan hal serupa. Karya ini betul-betul tampakan Islam tasawuf yang menghadapi Islam lebih ortodoks. Dan perihal ini sampai sekarang masih relevan di Indonesia. Tetapi kita tidak anti-Islam. Sama sekali tidak. Dan kalau buku kesembilan mengenai seksualitas, ya karena Serat Centhini adalah ensiklopedia kehidupan. Mereka menggambarkan realitas. Dan seksualitas liar ada di mana-mana di dunia ini, menjadi bagian kehidupan sehari-hari kita, mungkin mengisi 10-20% kehidupan kita. Jadi proporsinya cukup adil. Dan itu memberi kebebasan kepada pembaca sendiri, mau pilih membaca yang mana, mau pilih cerita tentang seks seperti binatang atau mau ke arah sanggama yang membawa ke jalan Ilahi. Itu terserah pembaca, mau pilih apa. Terus terang, kalau kita baca 100 halaman asli Centhini, di mana ada bagian seks liar itu, mungkin membosankan, ya. Mungkin pembaca juga akan merasa, “Wah, itu tidak indah.”

Jadi, saya kira bisa juga dikatakan antikolonial, karena yang menghukum moralitas ini juga orang Belanda. Mereka menyuruh perempuan Bali menutup dada mereka. Jadi, ada moralitas Belanda yang mengatakan bahwa orang-orang Jawa halus supaya mereka tidak berjuang menghadapi penjajahan. Tapi, saya lebih melihat sederhana, bahwa Serat Centhini menggambarkan dunia nyata dan di sana seksualitas yang liar seperti itu memang ada, dan mereka digambarkan, kemudian ya terserah kita mau pilih yang mana. Cerita itu adalah cermin, seperti di awal Serat Centhini dengan Cebolang, ada perempuan ulama yang bercerita bagaimana Al-Qur’an adalah cermin kita, dan yang penuh kebencian mencari kebencian pasti bisa menemukan alasan untuk membenci di Al-Qur’an. Karena semua unsur dunia adalah cermin pikiran kita, jadi kita bisa menemukan apa saja. Sementara kalau kita mencari hal-hal yang suci dan baik hati, dalam Al-Qur’an pun ada. Saya pikir saya tidak hendak membandingkan Al-Qur’an atau Serat Centhini, tapi dalam sifat terkait kenyataan, tafsir ini bergantung pada pandangan kita atau nafsu kita dalam kehidupan. Kalau kita penuh kebencian, kita akan selalu ketemu orang yang penuh kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Kamu menemukan apa yang kamu bayangkan dan cerminanmu sendiri. Jadi, saya merasa Serat Centhini memberi kebebasan kepada pembaca dan itu yang menurut saya juga luar biasa.

 

MICHELLIA

Tadi Anda menyebut tentang pentingnya menerjemahkan naskah disertasi Rasyidi dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Bagaimana dengan pentingnya menerjemahkan Serat Centhini yang keseluruhannya setebal 4.000-an halaman ini ke dalam bahasa Prancis? Apakah setelah proyek Serat Centhini abad ke-21, Anda pernah terpikir untuk mengajak kolaborasi bersama mahasiswa setempat di Prancis untuk menerjemahkan Centhini secara utuh, atau karya-karya lain di Nusantara?

 

ELISABETH

Itu bagus, tapi saya merasa itu bukan tugas saya lagi. Bagi saya, itu perlu. Memang dalam bahasa Indonesia sudah ada yang diterbitkan oleh Penerbit Gadjah Mada. Sebagai referensi, memang perlu. Tapi saya pikir itu adalah kerja akademik. Bukan kerja saya sebagai seorang penyair. Saya tidak punya keahlian untuk bahasa Jawa, jadi tidak mungkin bagi saya melakukan hal itu.

 

Sastra yang Terlibat: Ribuan Catatan Babad Ngalor Ngidul

Berbagai peristiwa bencana yang terjadi di Yogyakarta dalam kurun masa tinggal Elisabeth di Yogyakarta menggerakkannya untuk terlibat membantu warga di berbagai desa wilayah bencana. Kepiawaiannya menulis mitos ia gunakan untuk menjaring bantuan dana dari teman-temannya di berbagai belahan dunia demi membantu korban bencana. Pengalaman panjangnya ini pun ia tuangkan dalam ribuan halaman catatan peristiwa, yang lantas ia peras ke dalam bentuk buku Babad Ngalor Ngidul (2016).

 

MICHELLIA

Kita beranjak dari Serat Centhini. Karya Anda berikutnya banyak yang berkisar tentang Yogyakarta.  Ada Tohu-Bohu, kisah yang bertolak dari dua peristiwa besar di tanah Jawa, yaitu gempa Jogja dan erupsi Merapi 2010. Novel yang sarat mitos seputar Merapi dan laut selatan ini terbit dalam judul Babad Ngalor Ngidul (2016), kisah tentang wilayah utara dan selatan Yogyakarta.

Posisi Anda dalam penulisan buku ini terbilang unik, karena novel ini bermula dari catatan bantuan bagi korban erupsi dan gempa Yogyakarta. Anda mendokumentasikan ulang peristiwa dalam laporan bantuan bagi korban menjadi bentuk novel. Kisah warga Kinahreja dan Bebekan pada masa genting tersebut pun menggambarkan kenyataan lapangan dan bentuk kritik sosial Anda sebagai penulis terhadap situasi prabencana maupun pascabencana yang menimpa wilayah tersebut.

Sejauh apa Anda sebagai penulis melibatkan diri dalam peristiwa ini? Bagaimana makna Merapi (kunci utara/ngalor) dan Pantai Selatan (kunci selatan/ngidul) dan keterkaitan “dua kunci” tersebut dengan Keraton Yogyakarta bagi orang Jawa di mata Anda saat Anda terlibat?

 

ELISABETH

Babad Ngalor Ngidul memang adalah kisah nyata. Saya sudah bikin versi baru dalam bahasa Prancis dan sedang diterjemahkan, karena saya merasa buku ini masih dalam proses, menceritakan peristiwa-peristiwa gempa bumi tahun 2006 di Bebekan, Bantul, Yogyakarta sebelah selatan. Buku ini mencatat juga letusan Merapi tahun 2010, dan di Desa Kinahreja, desa juru kunci Mbah Maridjan.

Saya mulai menulis kisah itu dalam bahasa Prancis berdasarkan ribuan halaman catatan terlibat dalam peristiwa itu. Selama bertahun-tahun saya tidak menulis, tahun 2006 itu saya terlibat di Desa Bebekan, saya diajak ke sana secara kebetulan oleh teman saya pada hari yang sama dengan hari gempa.

Saya mulai membantu orang di desa itu selama dua minggu. Rumah saya tidak terkena gempa karena saya tinggal di wilayah utara Yogya. Sementara itu, saya mulai kirim email kepada teman-teman, menceritakan apa yang terjadi dan dengan menyertakan banyak mitos juga. Mengapa saya menyertakan mitos? Karena misalnya sewaktu kami mulai membantu, kami mulai menggali tempat WC untuk masjid, kami menemukan karang putih, dan kami menemukan bahwa ternyata unsur laut itu sampai ke Bebekan. Makanya namanya Bebekan, karena ada banyak rawa.

Teman-teman saya dari berbagai belahan dunia secara spontan mengirimkan dana untuk membantu. Dengan adanya uang itu, saya merasa ada tanggung jawab untuk tetap menolong. Dan bantuan tidak berhenti, terus mengalir. Jadi saya tetap harus terlibat di desa itu, sampai saya sendiri dengan teman saya, Mas Asep dari Yogya juga, bagian dari SAR, dia terlibat juga. Itu satu cerita yang panjang, bagaimana kami membangun sanggar.

Sesudah peristiwa itu, ada letusan Merapi di Kinahreja. Selama beberapa tahun itu, kami menyaksikan sendiri bagaimana Mbah Maridjan mengasingkan diri. Ia menolak laku-laku yang tidak sesuai dengan Islam yang ortodoks, seperti membakar kemenyan atau mantra. Padahal semua itu adalah tradisi Keraton.

Sewaktu Kinahreja terkena letusan kali pertama, saya juga merasa harus terlibat. Jadi saya terlibat juga selama beberapa tahun. Tapi lain dengan Dusun Bebekan, di sana kami bekerja sama dengan komunitas Pesantren Al Qodir dan KH Masrur yang saya kenal sedari dulu.

Dalam Babad Ngalor Ngidul saya tidak menyebutkan diri saya sebagai narator. Saya betul-betul menulis sebagai mitos. Padahal semua itu seratus persen nyata dan dengan banyak hal yang harus dilakoni, ada konflik, ada banyak pilihan, semua masalah keseharian berkelindan. Tetapi tetap saya tulis pengalaman itu dalam bentuk serupa mitos. Mitos, dalam artian suatu kenyataan yang begitu hebat. Hebat dalam artian kita bisa merasa menderita. Saking hebatnya, melalui imajinasi kita, kita menuangkan itu sebagai mitos dan bukan sebagai sesuatu yang nyata. Untuk hidup kembali, mungkin kita memerlukan mitos itu, supaya bisa kembali ke kehidupan sehari-hari.

Kita mesti mencoba berpijak pada apa yang dialami orang saat bencana gempa itu. Dalam 60 detik saja, dunia mereka hancur total. Itu begitu aneh. Dan untuk letusan Merapi, lebih mitologis lagi, dengan adanya cerita Mbah Maridjan dan semua yang terjadi. Sepertinya tidak ada satu kata pun di dalam buku Babad Ngalor Ngidul yang fiktif. Tetapi saya tidak mau melibatkan diri saya sebagai karakter di dalamnya. Sementara, di versi baru, saya menjelaskan sedikit bagaimana saya terlibat. Jadi selama bertahun-tahun saya tidak menulis lagi. Saya hanya terlibat dalam bantuan desa-desa Bebekan di selatan dan desa Kinahreja di utara.

Dan memang konsep selatan dan utara tidak hanya karena konsep Keraton Yogya. Itu nyata. Jauh lebih tua dari Mataram. Kenapa misalnya saya kenal KH Masrur dari Pesantren Al Qodir di lereng Merapi di Cangkringan, itu karena ada kaitannya dengan pasir. Sewaktu kami membangun kembali Dusun Bebekan, kami membutuhkan banyak pasir, lalu memesan banyak pasir. Lalu teman dari pesantren tersebut bilang, “Ada masalah di atas. Sekarang ada perusahaan besar yang datang dengan alat berat. Dan sekarang menggusur tukang pasir dari desa. Mereka menghancurkan semua sumber air.” Dan karena itu kami harus melakukan sesuatu. Jadi saya ke sana, bertemu dengan Kyai Masrur, dan dia bilang ada perang pasir sekarang lantaran rekonstruksi rumah-rumah di selatan Yogya. Ini menunjukkan selatan dan utara terkait. Dia menunjukkan bahwa ada konsekuensi di selatan karena apa yang terjadi di utara. Karena itu, kami mencoba membantu supaya mereka bisa bikin organisasi dan mengajukan perkara ini ke pengadilan supaya perusahaan besar dengan alat berat bisa dihentikan. Supaya orang kecil di desa masih bisa menggali pasir sendiri.

Dari situ saya mulai sadar bahwa utara tidak bisa dipisahkan dari selatan. Dan bahwa “bahasa” antara Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah pasir. Itu terbukti di Pantai Selatan dilingkupi pasir hitam dari Gunung Merapi. Itu yang dikatakan antara Ratu Kidul dan sapu jagat. Secara geologis, itu nyata, bahasanya pasir. Jadi, Gunung Merapi berdialog dengan Laut Selatan melalui bahasa pasir. Itu yang saya sebut sebagai “Ngalor Ngidul”. Orang sekarang mungkin memahaminya sebagai “obrolan tidak masuk akal” atau “percakapan tidak masuk akal” karena sekarang orang tidak lagi memahami bahwa dari dulu gunung dan laut berbincang, berdialog, berdiskusi, hanya saja kita tidak lagi memahami bahasa itu. Sampai kalau ada gerakan dari gunung, laut, atau tanah, atau bumi, kita menyebutnya sebagai bencana alam. Padahal itu bukan bencana. Itu kita sebut bencana karena manusia tidak tahu bagaimana menghadapi “dialog” itu. Itu interaksi antara segala sudut alam. Saat manusia menjadi pusat di tengah-tengah, alam menjadi korban, dan terjadilah bencana. Sebenarnya, Gunung Merapi, Laut Selatan, dan Bumi tidak bermaksud membikin bencana. Mereka hanya berinteraksi.

 

MICHELLIA

Mengejutkan, karena tadi Anda bilang bahwa keterkaitan antara utara Yogya dan selatan Yogya sudah jauh sebelum Mataram. Sementara kalau kita melihat secara geografis, sebenarnya cukup jauh jarak antara Laut Selatan dan Gunung Merapi. Bagi Anda sendiri, bagaimana pandangan orang Yogya mengenai hal mitis ini bisa masuk akal?

 

ELISABETH

Bisa dikatakan, bahwa saya juga menemukan Merapi jauh lebih luas. Kalau kami bergeser ke arah Magelang, orang tidak bicara selatan atau utara. Persepsi mereka sangat lain. Dan mereka tidak terkait dengan Keraton. Mereka punya juru kunci sendiri, aturan sendiri, tidak piramidal seperti Keraton.

Setelah menulis Babad Ngalor Ngidul, saya menjadi lebih sadar mengenai posisi geografis ini. Bahwa apalagi kalau kita ke arah Semarang, posisi Merapi lain sekali. Bentuk sesungguhnya bulat. Hanya saja, perspektif orang Yogya hanya mengambil garis utara-selatan, dan mengaitkannya secara filsafat. Bisa dikatakan penggunaan perspektif ini ditujukan sebagai politik untuk berkuasa juga.

Tapi secara penafsiran hal ini tentunya lebih tua lagi, betul bahwa ada keterkaitan geografis-geologis ini. Bahwa memang ada dialog antara geografi sebelah utara dan selatan. Hanya saja persepsi ini lantas diambil secara spiritual oleh Keraton, menjadi suatu kebudayaan Jawa, itu bagus sekali, meski kemudian dijadikan kaku untuk kepentingan berkuasa juga. Itu sesuatu yang sangat biasa, ya. Mulanya dimulai dari perspektif yang indah dan penuh kerohanian, tetapi lantas menjadi alasan untuk berkuasa.

 

Napak Tilas Jejak Atisha di Sumatera: Silsilah Tibet-Indonesia

Warisan abu Atisha—seorang mahaguru Buddha yang pernah tinggal dan belajar di Candi Muarajambi—yang ia peroleh dari perjalanannya ke Gunung Himalaya mengantarkan Elisabeth pada perjalanan lebih panjang lagi ke Bangladesh, India, Tibet, hingga sampai ke Muara Jambi.

 

MICHELLIA

Selain keterlibatan Anda di Yogyakarta, Anda juga menulis tentang Suvarnabhumi, Kerajaan Sriwijaya, dan Candi Muara Jambi dalam Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas (2018).

Anda mendalami perjalanan Dipamkara Shri Jnana (Atisha) ke Swarnadwipa (Sumatera tempo dulu) menemui Guru Dharmakitri/Lama Serlingpa, guru Buddhis yang paling tersohor di sana, 13 abad setelah perjalanan biksu peziarah asal Tiongkok, I-Tsing. Mohon ceritakan pengalaman Anda berkenalan dengan kisah tersebut? Kami dengar Anda meluangkan cukup banyak waktu untuk berkunjung ke Percandian Muarojambi demi keperluan itu.

 

ELISABETH

Proses kreatif saya untuk Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas sangat lain sekali dibandingkan dengan pengalaman saya menulis Serat Centhini. Ini mulanya dari pengalaman saya menerima abu Atisha, yang dari India, pergi ke Pulau Sumatera, Swarnadwipa abad ke-11. Lalu ia kembali ke India, dibawa ke Tibet. Pergi ke Tibet, ia membuat reformasi agama Buddha besar di Tibet sampai sekarang diakui sebagai silsilah oleh Dalai Lama dan semua guru-guru Tibet besar. Dan abunya pernah dicuri oleh tentara Cina waktu masuk Tibet tahun 1959, dibawa ke Beijing, dikembalikan ke Bangladesh, tempat lahir Atisha.

Itu cerita panjang sekali. Saya melalui perjalanan di gunung, saya memperoleh suara, saya mengikuti semuanya, hingga saya menuju Bangladesh. Saya diberi sebagian abu tersebut, yang akhirnya saya kembalikan ke Dalai Lama. Jadi, ini cerita panjang. Dulu saya tidak kenal dengan nama Atisha. Saya menemukan hal-hal itu dalam perjalanan saya ke Gunung Himalaya tahun 1994. Dan saya mulai bikin penelitian. Tapi sama seperti saat berproses dengan Serat Centhini, saya mengerjakannya bukan sebagai penelitian akademik. Hanya suatu kebetulan. Saya jadi sadar bahwa Atisha, salah satu guru besar Buddha di India, pernah datang ke Indonesia untuk kuliah dengan Mahaguru Dharmakirti, guru spiritualnya dari kehidupan-kehidupan sebelumnya, seperti dikatakan dalam tradisi Buddha. Akhirnya, dia kembali ke India, dan pergi ke Tibet, lantas meninggal di Tibet.

Saya mulai melihat ada hubungan antara Tibet dan Indonesia. Mungkin karena itu ketika di Tibet saya merasakan keakraban juga. Lama-kelamaan saya mengumpulkan banyak bahan, tulisan, proses yang hingga bertahun-tahun lamanya. Jelas bahwa Atisha datang ke Sumatera, bukan ke Jawa, tapi di sebelah mana Sumatera? Saya sebelumnya merasa bahwa lokasinya di Palembang, karena hanya diceritakan tentang Sriwijaya dan pusat Sriwijaya adalah Palembang. Sementara Muara Jambi, saat itu saya tidak pernah dengar nama wilayah itu. Dan tiba-tiba pas sesudah letusan Merapi 2009, saya bertemu biksu yang adalah asisten Dalai Lama untuk acara tantra. Dia datang ke Indonesia, ke Borobudur, dia mau datang, melihat abu Atisha. Saya menyimpan sedikit abu tersebut, tidak memberi semuanya kepada Dalai Lama. Saya bertemu beliau selama satu jam di rumah saya. Dia bilang, saya harus mengecek ke Muara Jambi. Lalu, dia pulang ke India. Saya merasa keakraban dengan biksu itu, padahal saya tidak pernah bayangkan akan dekat dengan seorang biksu Tibet.

Saya coba mengecek di internet soal Muara Jambi. Saat itu belum ada banyak hal. Sesudah letusan Merapi 2010, saya diundang oleh Banthe Pannyavaro di Vihara Mendut dekat Borobudur. Saya kenal beliau sejak bertahun-tahun. Dia bilang, “Kamu akan diundang ke Muara Jambi, akan ada seminar dengan UNESCO. Muara Jambi bisa jadi calon warisan dunia untuk UNESCO. Tolong kamu bercerita tentang pengalaman kamu dengan Atisha.” Saya lalu pergi ke sana dengan undangan dari pemerintah provinsi. Di seminar, ada ahli sejarah, arkeolog, sementara saya satu-satunya orang sastra, penyair. Jadi, saya bilang, “Maaf, saya tidak bisa membuktikan apa-apa. Saya mau mendongeng. Mau diterima, silakan. Tidak diterima, tidak mengapa. Saya sebagai penyair, tidak perlu memberi bukti.”

Dan saya mulai bercerita. Saat itu belum banyak yang tahu ada orang India yang datang ke Swarnadwipa dan lalu ke Tibet, dan ada silsilah antara Tibet dengan Swarnadwipa. Silsilah yang sangat kuat, dan sampai sekarang masih dihidupkan oleh para guru besar Buddha di Tibet.

Di forum itu ada seorang masyarakat desa, mereka mendekati saya, dan bilang, “Tolong besok Ibu datang ke desa kami.” Mula-mula, saya diantar oleh rombongan ahli akademik ke candi, tapi tidak masuk ke desa di pinggir sungai.

Setelah pertemuan itu, saya masuk ke desa, saya menemukan masyarakat yang luar biasa. Mereka memang Islam, tetapi Islam dengan adat Melayu yang sangat kuat. Beberapa pemuda luar biasa, pintar menggali sejarah dan ilmu agama. Meski ilmu Buddha, dapat dikaitkan dengan ajaran Islam, dan dikaitkan dengan ajaran adat Melayu. Misalnya sloko atau sloka, itu adalah bentuk pantun. Sloka, dalam bahasa Sansekerta, adalah ajaran Buddha yang dipelajari Atisha dan gurunya. Jadi, rupanya masih sama. Jejaknya masih tertinggal. Padahal, ada rentang perbedaan selama seribu tahun. Mereka pun sebenarnya—orang Melayu yang kini menghuni Muara Jambi—adalah pendatang. Jadi, saya mulai datang lagi, lagi, dan lagi.

Lama-kelamaan, kami bekerja bersama untuk menggali sejarah, sampai ada ide, “Ayo, kita harus bikin buku supaya menjadi kartu identitas. Dari dasar buku itu, kita bisa membangun rumah kearifan lokal dan global.”

Jadi, sejak itu, sejak 10 tahun lebih, beberapa kali setiap tahun saya ke sana dan bekerja dengan masyarakat lokal. Buku ini ditulis bersama. Mereka yang membikin gambar. Saya yang menulis alur cerita dalam empat bahasa, Cina, Inggris, Indonesia, dan Prancis, dengan cuplikan Arab untuk teks Al-Qur’an, sutra Buddha, dan Sansekerta. Buku kami ini berdasarkan banyak penelitian, referensi sejarah. Banyak juga rekaman dari cerita lisan masyarakat sendiri. Dalam hal itu, prosesnya bisa sedikit mirip jika dibandingkan dengan proses saya menulis Serat Centhini. Skalanya memang lebih kecil.

Situs itu sendiri kini sejarahnya mendunia. Beberapa hari lalu, Jokowi mengunjungi kawasan itu dan dia mengakui bahwa tempat itu adalah pusat pendidikan yang mendunia dan harus dibangkitkan kembali. Kami mencoba melakukan itu dalam skala kecil dengan masyarakat.

Kami membangun Rumah Menapo—rumah kearifan lokal dan global—supaya orang yang mengunjungi situs juga bisa berinteraksi dengan masyarakat. Karena, lagi-lagi, yang saya pelajari—saya bersyukur mempelajari ini dari pengalaman saya di Indonesia—bahwa fungsi buku bukan sesuatu yang cuma untuk mengucapkan ide atau ego. Tapi harus ada fungsi. Dan fungsi buku Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas, pertama, masyarakat punya kartu identitas, mengetahui bagaimana sejarah mereka, kebudayaan mereka punya kaitan dengan masa lampau.

Buku itu juga memberi jembatan antara orang yang mengunjungi situs Muara Jambi dan masyarakat. Karena yang terjadi waktu pertama saya datang ke Desa Muara Jambi, gubernur Jambi justru bilang, “Jangan ke sana. Mereka perampok, dan hati-hati, ya. Itu masyarakat yang bahaya.” Kenapa? Karena mereka memperjuangkan stockpile batubara di sana, jadi mereka dianggap orang bahaya, dan perampok.

Sementara itu, yang saya lihat, para pengunjung beragama Buddha yang berziarah ke sana, mereka mengabaikan masyarakat lokal. Mereka tidak berinteraksi. Barangkali karena ada stigma semacam itu. Kalau ini terus berlanjut, bisa saja lama-kelamaan hal semacam ini menimbulkan konflik.

Yang saya pahami, masyarakat lokal sendiri, mereka Islam dan sangat terbuka terhadap agama Buddha. Tetapi kalau terus ada rombongan besar seperti itu, apalagi Tionghoa yang datang tanpa memperhatikan masyarakat lokal yang sekarang hidup di sepanjang sungai.

Mereka bagian dari situs. Perlu ada interaksi dengan mereka, kalau tidak, bisa bahaya. Ada orang yang bisa mengambil kesempatan untuk bercerita macam-macam. Ada yang bisa memanipulasi dan menjadikannya konflik. Itu sayang sekali, karena sebenarnya kedua pihak bisa saling membagi pengalaman.

Jadi, begitulah, buku itu ditujukan untuk memancing interaksi yang baik di antara pengunjung dan masyarakat lokal, karena itu buku ditulis dalam empat bahasa. Misalnya, orang Tionghoa yang berkunjung ke situs, dapat memahami tulisan berbahasa Mandarin. Begitu pula supaya masyarakat lokal dapat memahami pengunjung, masyarakat dapat memberikan buku tersebut kepada para pengunjung. Para pengunjung akan menemukan hal yang familiar dan dapat mengagumi bagaimana masyarakat lokal memahami wilayah mereka sendiri. Jadi, mulanya buku itu ditujukan sebagai dialog. Kalau nanti, mungkin dua bulan lagi, Rumah Menapo selesai dibangun, akan ada tempat untuk membagi pengalaman kedua pihak ini.

 

MICHELLIA

Jadi saat ini Rumah Menapo sedang dalam proses pembangunan yang ditujukan untuk para pengunjung Muara Jambi, para penulis atau periset residensi?

 

ELISABETH

Untuk semua. Masyarakat lokal punya banyak kearifan lokal, misalnya tentang tanaman pengobatan. Kami sedang bikin survei, ada 150 lebih tanaman lokal dan yang bagus di dusun itu masih ada orang punya pengetahuan tentang itu. Kami bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa di Jambi yang punya toko obat alami dan mereka punya ilmu. Juga dengan orang Tibet yang punya klinik khusus tanaman obat, karena ada banyak tanaman yang sama, yang dulu ada di India dan bisa tumbuh di Muara Jambi. Mungkin dibawa oleh orang India yang dulu datang ke negeri ini. Bisa juga berbagi tentang sastra sloko, supaya kembali dihidupkan. Juga musik tradisional. Budaya Muara Jambi sangat kaya dan penting kiranya agar orang yang datang bisa belajar dari hal ini, karena dulu pun tempat ini adalah pusat pendidikan. Orang dari India, dari Cina, mereka semua datang ke Muara Jambi untuk belajar. Mereka juga bisa membagi ajaran mereka, tentang arsitektur, musik, tanaman obat. Kami ingin interaksi, tidak ada guru, tidak ada murid, semua saling belajar.

 

MICHELLIA

Terima kasih atas cerita yang panjang kepada redaksi tengara.id, Bu Elisabeth. Kami juga mengundang Ibed Surgana Yuga, seorang rekan dari Kalanari Theatre Movement, untuk bergabung, mungkin bisa memberikan pertanyaan penutup.

 

Kesadaran Jagat: Meleburkan Garis Batas

Berbagai pengalaman Elisabeth dalam menggali sejarah Nusantara memungkinnya untuk meleburkan pengalaman itu, meniadakan garis batas, tidak mendefinisikan diri dalam satu posisi tunggal, dan lebih mengartikulasikan kemajemukan pernak-pernik sastra, sejarah, dan budaya yang dipelajarinya selama ini.

 

IBED SURGANA YUGA

Terima kasih, teman-teman redaksi tengara.id. Asyik sekali mendengar percakapan dari tadi. Mungkin pertanyaan saya sedikit saja dan cukup pribadi. Saya melihat Ibu Elisabeth memasuki apa yang Anda sebut sebagai sastra bukan sebagai dunia teks, tetapi sebagai laku atau pengalaman. Anda ikut tarekat, kemudian ke petilasan yang ada kaitannya dengan Centhini, dan sebagainya. Saya ingin tanya, bagaimana Anda memposisikan diri dan mendefinisikan diri? Walaupun tadi Anda menyebut Anda penyair, tapi saya kira ada makna yang lebih dari apa yang kita pahami sebagai penyair atau sebagai sastra di masa sekarang.

Sebenarnya juga saya mau tanya tentang abu Atisha yang sedari dulu saya ingin tanyakan dari cerita-cerita yang terbersit dalam pertemuan kita dengan Mbah Tarto dan kawan-kawan. Tapi tadi Anda sudah cerita cukup banyak tadi. Ada satu yang ingin saya tanyakan, di dalam pengalaman Anda, apa garisnya Anda memasuki dunia Jawa dan dunia Sumatera? Katakanlah, seperti apa garis jejaringnya, ataukah terpisah? Karena kemudian Anda ketemu banthe, dan kemudian ke Sumatera, lalu ke Tibet, dan ke Jawa, bagaimana garisnya?

 

ELISABETH

Sebenarnya jawaban saya bisa diringkas tentang bagaimana saya memosisikan diri dan garis antara Jawa-Sumatera, saya merasa saya belajar dalam kehidupan saya, dan berkat saya hidup lama di Indonesia, saya menyadari bahwa tidak ada garis batas, dan justru jangan sampai memberi garis batas pada bagaimana kita memosisikan diri.

Menyebut diri, “saya seorang Ibu, penulis, dan seterusnya…” Tidak. Jangan dikotak-kotakkan. Kita manusia, dan mungkin unsurnya lebih, karena ada unsur pohon, binatang, ada unsur bintang dalam DNA kita. Jadi, kalau kita menjadi sadar bahwa seluruh jagat melewati diri kita, kita bisa menjadi apa saja dan membuat apa saja.

Lalu, antara Jawa dan Sumatera, memang sangat berbeda. Yang saya belajar dari Jambi, apalagi kebudayaan adat Melayu, tidak ada hierarki, sangat egaliter. Itu yang saya rasakan. Sementara di Yogya, saya biasa menghadapi piramid, ada Sultan, ada Keraton. Tapi di Jambi, hal semacam ini tidak berlaku. Saya melihat Indonesia dari sudut yang lain sekali.

Dulu saya selalu berpusat pada Jawa dan Yogya, tetapi akhirnya, rupanya tidak ada garis batas. Dengan kebudayaan Prancis pun, saya tidak merasa konflik dengan apa yang saya pelajari saat ini, di Sumatera dan cerita Sriwijaya, Tibet, atau Jawa. Sebenarnya, kalau kita mulai sadar bahwa seluruh waktu, seluruh abad, seluruh jagat melewati raga atau tubuh kita sebagai kendaraan untuk hidup, maka tidak akan ada konflik identitas lagi.

Semua menyatu. Meski berbeda-beda, beragam. Memang benar bahwa saat saya menulis dalam bahasa Prancis, lain dengan saya menulis dalam bahasa Indonesia. Dan kalau saya di Sumatera, mungkin laku saya berbeda saat saya di Jawa atau di Prancis. Tetapi, akhirnya kita mengetahui bahwa jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, segalanya ini sama saja dan semua menyatu.

Dulu memang selama bertahun-tahun badan saya mengalami konflik. Saya pulang ke Prancis, jatuh sakit, saya kena flu. Tapi karena flu itu, saya lantas menyadari, bagaimana saya menggabungkan dua dunia, dua kehidupan yang begitu berbeda? Sekarang pelan-pelan saya mulai belajar bahwa hal-hal ini sebenarnya sama. Itu pengalaman saya sebagai penulis, sebagai manusia.

 

MICHELLIA

Jadi memang semuanya melebur, ya, Bu. Identitas melebur, apa yang dikaji juga melebur. Sebuah penutup yang menjelaskan betapa praktik Ibu Eli dalam meleburkan diri pada sejarah dan kebudayaan Indonesia telah mengantarkan pada warisan karya yang demikian kaya untuk kelak dapat kita kaji kembali. Dengan ini, kami dari redaksi tengara.id sangat berterima kasih atas wawancara hari ini.

 

AVIANTI

Saya sangat menikmati, banyak kejutan dari paparan Ibu Eli. Terima kasih banyak atas waktunya.

 

ELISABETH

Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam, terima kasih.

Percakapan30 April 2022

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.