Toeboeh “Isa” (1943), Tubuh Indonesia 1943

Ilustrasi: Wulang Sunu

Tulisan ini adalah Juara I Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022.

Unduh versi tulisan sebelum disunting dalam format PDF lewat tautan ini.

Unduh juga Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 dalam buku program melalui tautan ini.

*

 

Saya membaca puisi “Isa” (1943) sebagai sebuah teks fiksi modern. Analisis teks akan menunjukkan Chairil Anwar (1922-1949) melakukan rekonstruksi ulang derita Isa dalam bentuk puisi modern, memasukkan karakter sang narator dalam sebuah cerita baru—subjek “akoe” hadir dalam peristiwa rekaan yang dialami oleh karakter “Toeboeh”. Sebagai sang narator, penyair mengambil peran sebagai sosok subjek yang berbicara, dengan memakai kata petunjuk (Itoe), untuk menunjuk pengalaman eksistensial Toeboeh yang menderita lalu menyembuhkan diri (mengoetjoer darah, roeboeh, patah, mengatoep loeka), hanya untuk menunjukkan transformasi eksistensial sang manusia modern yang menyalahkan diri lalu menyembuhkan diri (akoe salah?, koelihat Toeboeh mengoetjoer darah, akoe berkatja dalam darah, akoe bersoeka), dalam sebuah pertunjukan teks.

Fokus utama esai ini akan diarahkan untuk menjawab masalah yang menyeruak: Mengapa subjek lirik menutup pertunjukan teks dengan mengulang Toeboeh yang menderita persis seperti bait pembuka, dengan repetisi frasa mengoetjoer darah? Fokus khusus esai akan dibatasi untuk menjawab misteri yang menyerbak: Petunjuk apa yang sebenarnya hendak ditunjukkan oleh sang penunjuk dalam suatu pertunjukan teks modern?

Saya akan menunjukkan apa yang sebenarnya hendak dibuka oleh unit kata dan frasa dalam puisi “Isa” melalui telaah atas apa yang sebenarnya hendak ditutup oleh subjek lirik puisi ini. Saya akan membaca dengan sangat ketat-dekat; larik demi larik bahkan diksi demi diksi sebuah teks puisi “Isa”—masih ditulis dengan mematuhi konvensi ejaan Van Ophuijsen (berlaku 1901 hingga 1947)—akan ditelaah untuk memahami konteks sejarah periode pendudukan militer Jepang (1942-1945) yang mengganti periode pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, yang membentuk narasi transformasi eksistensial dalam teks “Isa” pada 1943. Esai ini khusus ditujukan untuk membaca ulang puisi “Isa” sebagai puisi modern yang membuka sekaligus menutup suatu subversi makna tubuh modern yang hendak disampaikan, demi menyiasati sensor ketat lembaga propaganda bentukan penguasa Jepang: “Toeboeh” dalam “Isa” (1943) adalah simbolisasi tubuh manusia modern Indonesia yang menghadapi represi pada 1943.

Saya akan membuktikan bahwa konteks sosial-politik Indonesia 1943 telah mendorong Chairil Anwar untuk melakukan modernisasi dalam bentuk teks fiksi “Isa” (1943), sebagai pengalaman eksistensial tubuh “Indonesia”: akoe merujuk kepada ekspresi eksistensial tubuh manusia modern yang tengah menghadapi represi tentara asing sejak Desember 1942. Hanya ada dua tujuan utama telaah tekstual yang akan disimpulkan oleh esai ini: (1) repetisi kata darah dalam puisi “Isa” (enam kali) digunakan oleh penyair sebagai testimoni kesaksian, atas derita tubuh modern pada masa pendudukan militer Jepang, (2) dua larik terakhir, yang memakai repetisi kata darah, menunjukkan sang tubuh modern, yang ingin menyembuhkan diri, yang masih belum mampu membebaskan diri dari represi. Mohon dibaca dengan runtut.

 

ISA[1]

Kepada Nasrani sedjati

 

Itoe Toeboeh

mengoetjoer darah

mengoetjoer darah

 

roeboeh

patah

 

mendampar tanja: akoe salah?

 

koelihat Toeboeh mengoetjoer darah

akoe berkatja dalam darah

 

terbajang terang dimata masa

bertoekar roepa ini segara

 

mengatoep loeka

 

akoe bersoeka

 

Itoe Toeboeh

mengoetjoer darah

mengoetjoer darah

 

12/11-1943

 

Itoe Toeboeh

Saya membaca larik pertama yang membuka sajak “Isa” (1943) itu sebagai cara Chairil Anwar membuka panggung pertunjukan teks. Anwar, yang tidak pernah mengalami apa yang dialami oleh Isa pada abad pertama Masehi, berperan sebagai narator, sang penunjuk, dalam suatu pertunjukan teks modern.

Kata Itoe ada di situ untuk menunjuk; fokus menuju ke satu titik. Toeboeh. Anwar hadir dalam syair modern; narator bekerja sebagai penunjuk yang menuntun pembaca untuk melihat langsung peristiwa yang dialami oleh Toeboeh tersebut. Fokus utama larik pembuka adalah nomina dasar Toeboeh; huruf kapital berhasil membuat nomina dasar itu tampak besar. Ia sengaja dibesarkan oleh Anwar. Selain nomina dasar, Toeboeh berfungsi sebagai nomina konkret yang menunjukkan wujud suatu benda konkret yang dapat disentuh, diraba, dan dirasakan secara inderawi: tubuh. Suatu nomina konkret tidak pernah menunjukkan wujud abstrak yang tidak bisa disentuh secara inderawi, tidak pernah; agama dan iman adalah nomina abstrak.

Maafkan saya yang harus menulis sebuah kalimat dengan satu tanda tanya: Mengapa Anwar menggunakan huruf kapital untuk kata penunjuk Itoe dan nomina dasar Toeboeh, dalam sebuah larik pendek, yang hanya memiliki dua buah kata? Bukankah huruf kapital telah membuat nomina konkret Toeboeh menjadi nomina nama diri? Saya menduga: ada dua alasan mengapa penyair yang lahir di Medan itu memakai hak istimewa licentia poetica—kebebasan mutlak dalam penulisan puisi—untuk mengubah nomina konkret menjadi nomina nama diri yang mewakili entitas tunggal tubuh tertentu. Pertama, Anwar hendak membesarkan titik fokus: nomina nama diri Toeboeh menjadi karakter utama—pusat pusaran dalam suatu pertunjukan teks—yang menandakan wujud entitas tunggal tubuh tertentu. Kedua, Anwar hendak mendekatkan dua kata: jarak nomina konkret Toeboeh tampak lebih dekat dengan kata penunjuk Itoe, yang berfungsi sebagai suara interior untuk mewakili eksistensi diri sang penunjuk, sehingga sang narator tampak berada dekat dengan wujud konkret tubuh.

Apakah teknik penempatan dua kata yang berdekatan dalam larik pembuka itu berhasil menempatkan nomina dasar Toeboeh sebagai karakter utama pada pertunjukan teks modern itu? Pertama, ya. Chairil Anwar berhasil menjadikan nomina dasar Toeboeh sebagai pusat pusaran pada permukaan teks—tanpa distorsi nomina konkret lain. Kedua, tidak. Kita tetap tidak tahu seberapa jauh letak sang penunjuk Itoe dari nomina konkret Toeboeh. Tidak ada kata petunjuk jarak dan waktu yang rinci—seberapa jauh sang penunjuk dari wujud konkret Toeboeh—yang sedang ditunjukkan kepada pembaca.

Saya menduga ada dua faktor sosiolinguistik yang membentuk karakter keaksaraan larik pertama. Pertama, Chairil Anwar mengandalkan bahasa ucap Melayu, yang tidak memiliki kosakata penunjuk layaknya bahasa Jepang—yang digunakan tentara pendudukan di Jawa pada masa sajak ditulis: kore, sore, are. Bahasa ucap Melayu tidak membedakan jarak dengan rinci. Bahasa Indonesia—dibangun di atas landasan bahasa Melayu—tidak memiliki satu set lengkap kata-kata  kosoado (こそあど言葉), yang digunakan serdadu Jepang demi menunjukkan dengan detail jarak benda, orang, dan tempat yang ditunjuknya: kore (ini), sore (itu yang tak terlalu jauh di sana, namun dekat dari lawan bicara), are (itu yang lebih jauh di sana, jauh dari pembicara dan lawan bicara), dore (yang sebelah mana). Anwar hanya mampu memilih ini atau itu; larik pembuka puisi “Isa” memakai Itoe untuk menunjukkan jarak yang jauh.

Kedua, Chairil Anwar memang secara sadar tidak merasa perlu memberi kata penunjuk keterangan waktu (tahun, bulan, hari) dan tempat (di, dalam) yang detail dan terperinci. Sejak awal, narator ingin menutupi perbedaan konteks geografis, historis, etnis, dan antropologis yang memisahkan Toeboeh dan dirinya. Ia ingin tampak dekat dengan Toeboeh. Akurasi dan presisi akan menciptakan jarak historis antara  Isa abad pertama dan Anwar abad modern. “Isa” adalah teks fiksi—bukan buku sejarah dan laporan jurnalistik—penyair modern ini ingin hadir dalam syair modern, bersama-sama dengan nomina konkret Toeboeh yang ditunjuknya dalam pertunjukan teks. Anwar tidak perlu memberi petunjuk terperinci apakah sang penunjuk adalah saksi mata kunci yang melihat dengan perspektif dekat. Tidak perlu.

Larik pembuka itu dibuka dengan sudut pandang tertentu—seolah sang penunjuk memiliki pengalaman pertama dalam melihat langsung—dari jarak pandang tertentu dan dalam cara pandang tertentu: Itoe Toeboeh. Pandangan sang narator dinyatakan dalam bahasa modern: Mengapa Chairil Anwar memakai bahasa Indonesia sejak larik pembuka itu? Mengapa sang narator masih bebas memakai bahasa Indonesia pada periode pendudukan militer Jepang? Pada 1943, tentara pendudukan Jepang tidak melarang penggunaan bahasa Indonesia; penyair leluasa menulis dalam bahasa persatuan, walau, tetap harus menyiasati sensor lembaga propaganda Jepang.[2] Anwar memakai bahasa Indonesia; fungsi utamanya tidak terlepas dari peristiwa Kongres Pemuda Kedua 1928 yang mencetuskan kesadaran nasional—berbangsa satu (Bangsa Indonesia), bertanah air satu (Tanah Air Indonesia), dan menjunjung tinggi bahasa persatuan (Bahasa Indonesia). Bahasa Indonesia—sebagai sebuah frasa modern yang dicapai melalui konsensus—sudah digunakan oleh para aktivis pergerakan untuk menggantikan frasa bahasa Melayu.

Dalam konteks sosiolinguistik ini, Chairil Anwar hanya menggunakan kata yang tersedia saja; diksi dengan ejaan lama Itoe—bentuk morfem kolonial {itoe} dalam sistem konvensi ejaan bahasa tulis Hindia Belanda merujuk bunyi fonem lokal /i·tu/ dalam sistem konversi ujaran bahasa ucap Melayu-Indonesia. Bunyi /tu/ terdengar memikat dari fonem /i·tu/ dan fonem /tu·buh/. Hegemoni kolonialisme Belanda masih membayangi puisi “Isa”—cermati pula cara Anwar mengeja dalam tribut yang mengikuti judul sajak: “Kepada Nasrani sedjati.” Anwar masih memakai ejaan kolonial sisa Hindia Belanda ‘dj’ untuk Nasrani ‘sedjati’ yang tengah hidup pada masa pendudukan Jepang. Karakter keaksaraan  khas itu adalah tanda petunjuk bahwa teks “Isa” bergerak dalam konteks sosiolinguistik pascakolonial Belanda 1943; puisi “Isa” tergerak pula oleh konteks sosial-politik penjajahan Jepang 1943.

Saya sangat ragu apa mungkin dunia yang membentuk puisi “Isa” pada 1943 dapat dijelaskan, dengan terperinci. Saya seorang Protestan yang menulis esai ini pada tahun 2022 di Jepang; relasi Indonesia-Jepang telah mengalami rekonsiliasi selama puluhan tahun setelah Perang Dunia Kedua. Anwar, bukan Nasrani, tengah hidup dalam dunia yang ditaklukkan kekuatan fasis Jepang pada periode 1940-an. Kita tidak punya pilihan selain memasuki kunci konteks sosial-politik periode 1943, untuk membuka pintu gerbang dunia yang membentuk teks puisi “Isa”. Pada masa puisi ini ditulis oleh Anwar, tentara Jepang telah merebut pulau-pulau dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Februari 1942. Fasisme Jepang merusak, dan dalam derajat tertentu, membangun nasionalisme Indonesia.

Pada 12 November 1943, pada masa Chairil Anwar selesai menulis puisi “Isa” ini, tentara pendudukan Jepang belum merebut bahasa dari tanah yang didudukinya. Puisi ini masih ditulis dengan mematuhi konvensi ejaan Van Ophuijsen. Itulah sebabnya mengapa kata Itoe dan Toeboeh tampak masih memakai aksara oe untuk vokal /u/. Anwar—dididik dalam bahasa Belanda di institusi pendidikan kolonial Hollands Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO; tidak tamat) di Medan—belum memiliki pilihan lain untuk menolak Ejaan Van Ophuijsen yang dibangun di atas landasan ortografi aksara Latin Belanda: teknik linguistik modern untuk memudahkan penulisan diksi. Otoritas kolonial Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan standar Ejaan Van Ophuijsen—Charles van Ophuijsen adalah penulis Kitab Logat Melajoe—untuk menaklukkan tanah jajahan yang menggunakan bahasa Melayu.

Anwar masih menulis puisi “Isa” dengan ejaan kolonial, bukan dengan kanji, hiragana, dan katakana yang dalam derajat terbatas dibawa invasi militer Jepang ke tengah ruang publik. Kita tidak melihat tanda petunjuk adanya invasi bahasa Jepang dalam puisi “Isa”; sebuah penanda waktu Gregorian di bawah badan puisi—“12/11-1943—berbeda dari teks pidato Anwar pada tahun yang sama yang tampak sudah memakai penanda tahun kalender Jepang: “2603”. Teks “Isa” tidak memakai penanggalan kalender imperial yang digunakan otoritas Jepang untuk menandai tahun 2603. Pada masa Anwar menulis teks fiksi “Isa”, Hirohito sang Kaisar Showa telah naik takhta selama 18 tahun lamanya (Showa 18; 昭和 18 年). Sang kaisar Jepang naik tahta 25 Desember 1926, pada masa umat Nasrani merayakan hari kelahiran Yesus dari Nazareth. Pada masa Anwar menulis teks fiksi “Isa”, bangsa Jepang masih memandang kodrat kaisar sebagai wujud Tuhan dalam rupa manusia, akitsumikami (現御神), dan percaya bahwa ras Jepang bersifat superior.[3]

Nomina konkret Toeboeh hadir dalam dunia yang penuh represi. Chairil Anwar memakai nomina konkret Toeboeh ketika mobilisasi tubuh manusia modern sudah dan sedang berjalan besar-besaran. Pertama, tubuh modern dimobilisasi melalui badan yang dibentuk tentara pendudukan (PETA, Heiho, dan seterusnya). Kedua, perbudakan tubuh sudah dan sedang berjalan, melalui kampanye program Mobilisasi Total, dengan memakai istilah Perajurit Pekerja (romusha); sejak Juni 1943,[4] ribuan tubuh manusia sejumlah 4.947 orang sebelum Oktober, total 13.000 orang dikirim, hanya selama 1943.[5]

Konteks sejarah sosial-politik itu membentuk karakter sintaksis larik pembuka yang menutup asal-usul Toeboeh.[6] Mengapa Anwar memilih struktur Itoe Toeboeh dan tidak menulis dengan susunan redaksional terbalik Toeboeh itoe? Begini. Penyair itu menggunakan Itoe Toeboeh untuk menegaskan huruf kapital dalam nomina nama diri Toeboeh, yang berfungsi untuk membesarkan wujud konkret tubuh manusia. Namun, nomina konkret Toeboeh tidak terlalu terbuka sebagai alat amplifikasi pesan perlawanan menentang ideologi fasisme, yang memandang rendah tubuh manusia modern di tanah jajahan.

Nomina Toeboeh sengaja dirancang untuk tertutup dan menutup diri. Pertama, dalam konteks karakter sintaksis ini, Toeboeh adalah nomina predikatif, yang diubah oleh Chairil Anwar menjadi setara dengan fungsi pronomina dia dalam kalimat ini: itu dia. Sebagai nomina predikatif yang setara dengan pronomina predikatif (persis seperti dalam kalimat itu dia), Toeboeh dapat didefinisikan ulang oleh sang narator-penunjuk untuk menunjukkan wujud substansial tubuh yang agung dan besar dalam suatu pertunjukan teks. Dengan menggunakan karakter sosiolinguistik dan karakter sintaksis dalam baris awal puisi, dengan menggunakan konteks sosial-politik yang membentuk Indonesia pada 1943, Toeboeh dalam larik pembuka sajak “Isa” tidak hanya dapat dimaknai sebagai tubuh Isa, yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus dan tentara asing Romawi, tapi: tubuh besar bangsa Indonesia, tubuh seluruh manusia modern di negeri jajahan yang sedang diduduki oleh tentara asing. Namun, nomina Toeboeh tidak akan mengaku. Saya tidak mau memaksa nomina Toeboeh untuk berubah dari teknik isolasi diri yang digunakan penyairnya. Saya tidak mau; biarlah larik itu tertulis apa adanya.

 

mengoetjoer darah

Nomina dasar Toeboeh hanya ingin dipahami sebagai nomina konkret yang merujuk kepada entitas tunggal tubuh tertentu pada abad pertama Masehi. Pada satu sisi, tribut “Kepada Nasrani sedjati”, persis di bawah judul puisi “Isa”, telah memenangkan hati Nasrani seperti saya. Ia berhasil mengajak iman Nasrani membaca lebih ketat, dekat. Sangat dekat. Ia ditulis untuk memori keimanan yang memandang “Toeboeh” Isa sebagai personifikasi Yesus dari Nazaret pada abad pertama Masehi: sang pangeran damai sejati, lahir dari rahim perawan Maria, sang dara lemah, belum menjadi istri sah dari seorang tukang kayu, Yusuf. Dalam sistem patrilineal Yahudi yang meninggikan silsilah turun-temurun, Tubuh Yesus tidak memiliki tempat dalam bangsa Israel kuno. Ia hanya anak seorang perempuan yang lahir di luar nikah; tidak membawa darah pihak keluarga laki-laki pula. Tubuh bayi kecil itu nista karena dinistakan hukum adat-istiadat setempat yang meninggikan darah. Dalam konteks ini, iman Nasrani memandang Tubuh bayi itu suci: Putra Tuhan. Tuhan, Allah, menganggap Tubuh itu sebagai anak-Nya. Tuhan, Sang Bapa, tidak menolak Tubuh Kristus.

Tetapi kita tahu, Tubuh itu menderita di dunia. Pertama, ia disiksa oleh tentara kolonial yang mengabdi di bawah pemerintahan Kaisar Romawi. Kedua, Yesus dari Nazareth—yang hendak ditunjuk sebagai “Isa” dalam teks itu—menjadi terkucil dalam silsilah patriarkis yang diturunkan berdasarkan tanda badan etnosentris: darah.

Pada sisi lain, saya bertanya tanpa dasar: Apakah puisi “Isa” tertulis untuk menunjuk Toeboeh sebagai sebuah petunjuk menuju makna teologis darah dalam konteks keimanan Nasrani? Saya tidak yakin. Pertama, sebagai teks fiksi, “Isa” membuka imajinasi lain atas makna konkret yang dibawa oleh nomina dasar darah. Selain berperan sebagai nomina dasar, kata darah adalah sebuah nomina konkret yang merujuk wujud benda konkret dalam bentuk cairan, kombinasi sel dan plasma, dalam badan manusia. Kedua, Anwar tampak sangat cermat menggunakan verba aktif mengoetjoer, yang mendahului nomina konkret darah tersebut; bukan verba aktif menetes dan mengalir. Kata verba-turunan menetes (dari nomina dasar tetes) dapat bermakna simbolik: darah pilihan Abraham menetes dalam raganya, darah pilihan para nabi menetes dalam badannya. Kata verba-turunan mengalir (dari kata dasar alir) dapat bermakna simbolik: darah biru Raja Daud mengalir dalam sosoknya, darah biru Raja Salomo mengalir dalam dirinya, dan seterusnya. Apakah Anwar sedang menunjukkan makna teologis darah? Tidak. Anwar adalah narator cermat yang hemat dalam memanfaatkan kata; sang penunjuk tidak sedang menjelaskan status darah etnosentris yang menitis dalam badan Toeboeh. Sang penunjuk hanya melakukan deskripsi fisik yang dialami oleh entitas ragawi Toeboeh  tanpa detail  etnografis yang berlebihan: mengoetjoer darah.

Demi menekankan sisi pengalaman ragawi Toeboeh yang tengah menderita, sang narator-penunjuk memakai nomina konkret darah, yang berperan sebagai agen klausa yang sedang bergerak dalam teks fiksi ini. Kata mengoetjoer adalah sebuah verba aktif yang menjelaskan pergerakan darah—darah keluar dari dalam Toeboeh— dengan deras. Saya yakin kita tidak akan pernah diberi petunjuk terperinci oleh sang narator-penunjuk: Apa penyebab kucuran cairan yang mengandung plasma dan sel tersebut? Mengapa tidak ada pertunjukan penyaliban? Mengapa tidak ada tanda salib dalam teks fiksi ini? Teks fiksi “Isa” bergerak ke arah makna lain.

Kita hanya dapat mendekati makna mengoetjoer dalam teks puisi tersebut dengan menuruti relasi intim antara rasa dan kata, the (e)motional relation—suatu relasi yang menggerakkan rasa dalam hati—kata bergerak, kita tergerak. Kita bergerak membaca suatu larik pembuka, yang hanya memiliki dua buah kata: kata petunjuk (Itoe) dan nomina dasar/konkret (Toeboeh), lalu kita tergerak membaca larik kedua yang hanya memiliki dua buah kata pula, kata kerja turunan (mengoetjoer) dan nomina dasar/konkret (darah).

Pada satu sisi, nomina konkret darah juga dirancang untuk tertutup dan menutup diri. Frasa mengoetjoer darah tidak mungkin membuka diri secara eksplisit; betapa tingginya kasus berak darah (disentri) pada 1943. Sejak pendudukan militer Jepang, kasus demi kasus berak darah dilaporkan meningkat dua kali lipat hanya di Pulau Jawa saja; dari 1.257 kasus berak darah pada 1942 naik menjadi 2.332 kasus pada 1943 (tentu jumlah ini hanya angka yang dilaporkan dan dicatatkan).[7] Pada sisi lain, kita tidak ingin memaksa frasa mengoetjoer darah membuka diri terlalu vulgar; tentu terlalu kasar untuk memaksa bahwa frasa mengoetjoer darah harus terbuka terkait tingginya kasus berak darah, yang ditandai oleh radang selaput lendir usus besar, dengan gejala berupa berak-berak bercampur lendir itu. Namun, tanpa nomina salib dan nomina verba-turunan penyaliban, relasi derita Toeboeh dalam “Isa” (1943) menjadi agak ambigu dengan derita tubuh manusia modern di Indonesia 1943 yang mengalami berak darah tersebut.

Mengapa diksi darah tampak tidak memakai huruf kapital seperti Toeboeh? Anwar tampak memanfaatkan teknik penggunaan karakter keaksaraan distingtif; diksi darah tidak tampak menonjol sebagai karakter utama dalam pertunjukan teks. Sang narator-penunjuk memakai pembeda karakter aksara untuk memberi petunjuk tentang pertunjukan yang sedang terjadi: kita tidak perlu berfokus pada nomina konkret darah; tetaplah berfokus pada Toeboeh. Mengapa bait pembuka tampak cermat, hemat, irit, sedikit pelit, kata? Kita tidak pernah tahu kenapa: sesuatu yang terperinci kerap tidak datang dari deskripsi yang boros dengan kalimat-kalimat panjang. Sajak “Isa” hendak mengabarkan sebuah peristiwa dengan cara sederhana seperti haiku menggambarkan alam apa adanya: Itoe Toeboeh/ mengoetjoer darah.

Dengan demikian, dengan imaji polos tanpa polesan gaya bahasa yang boros, teks “Isa” hendak didekati dengan dekat, a close reading: kata mendekat, kita mendekat. Dalam puisi berjudul “1943”, Anwar menulis darah dengan cara lain: “Tenggelam darah dalam nanah.” Kita tahu; Anwar bukan hanya bermain bunyi fonem /da·rah/ dan fonem /na·nah/.

 

mengoetjoer darah

Dunia dalam puisi “1943” adalah dunia dalam pandangan Chairil Anwar; puisi “Isa” berada dalam dunia 1943 yang sama pula. Represi dan kontrol atas tubuh. Saya tampak setengah ragu-ragu untuk menulis sebuah kalimat dengan sebuah tanda tanya: Mengapa puisi yang membawa imaji derita tubuh manusia terjajah, melalui nomina konkret Toeboeh (dengan huruf kapital pula) dan repetisi nomina konkret darah, ditulis dalam situasi yang penuh risiko; dalam bayang-bayang sensor ketat otoritas propaganda kebudayaan Jepang, yang diawasi dengan ketat-dekat oleh tentara pendudukan Jepang, yang telah mendirikan Keimin Bunka Shidosho di Jakarta, 1 April 1943?

Pertama, puisi ini memakai judul “Isa” dan tribut eksplisit “Kepada Nasrani sedjati”; tidak ada asosiasi bahwa Isa, pada abad pertama Masehi, pernah memimpin langsung pemberontakan fisik berdarah-darah lalu menggunakan senjata fisik untuk menggulingkan imperialisme Kaisar Romawi. Sang narator-penunjuk tersebut terkesan hendak menutup asosiasi derita tubuh manusia yang dijajah oleh tentara pendudukan Jepang; asosiasi konteks historis “Isa” hanya merujuk ke ajaran kasih yang mengampuni tentara asing Romawi yang menduduki tanah Palestina, hanya pada karakter maha pemaaf-pengasih sang Isa pada abad pertama Masehi.

Kedua, puisi “Isa” tampak tidak ditulis untuk melemahkan agenda propaganda tentara Jepang. Namun, sebagai penyair, Chairil Anwar tampak memiliki siasat tertentu agar teks fiksi “Isa” lolos dari sorotan kantor propaganda (Sendenbu) milik pemerintahan militer Jepang (gunseikanbu), yang telah membentuk Keimin Bunka Shidosho di Jakarta, 1943, untuk menghapus unsur budaya Barat demi membangun kebudayaan Timur, dan mengorganisasi seniman demi kemenangan Asia Timur Raya.[8]

Repetisi kata darah dalam badan teks yang berjudul “Isa”, sosok yang membawa ajaran kasih dari Timur dan korban penjajahan penguasa Romawi dari Barat, tidak akan dianggap membawa paham materialisme Barat, selama tidak dipertentangkan dengan simbolisasi Kaisar Showa dan Matahari Terbit, yang dijunjung tinggi serdadu fasis Jepang.[9] Judul “Isa” dan tribut “Kepada Nasrani Sedjati” hendak menyelamatkan kata darah dalam isi puisi ini dari neraka sensor tentara fasis Jepang.

Citra darah yang digunakan Chairil Anwar dalam “Isa” berbeda dari imaji darah dalam puisi “Sia-Sia” yang bertarikh Februari 1943 (sebelum Keimin Bunka Shidosho mulai berdiri di Jakarta, April 1943). Saya menduga bahwa frasa darah dan soetji dalam sajak cinta “Sia-Sia” memuat frasa pesan propaganda nasionalisme: Mawar merah dan melati poetih. Sajak “Sia-sia” tersebut, yang memuat pesan nasionalisme dalam bungkus romansa percintaan, tidak memuat imaji darah yang dekat dengan derita tubuh manusia seperti yang ditampilkan dalam teks fiksi “Isa”. Melalui teknik repetisi yang disebut anaphora—pengulangan sebuah kata atau frasa di awal klausa atau kalimat—demi memberi efek emosional bagi pembaca dan pendengar, teks fiksi “Isa” tampak leluasa untuk  menunjuk sebuah situasi yang statis tapi dinamis; bahwa darah, masih mengucur. Susunan redaksional kata dalam larik ini tampak tidak berubah; hanya duplikasi larik sebelumnya. Kita dapat mendekati makna konstan mengoetjoer. Teks tengah bergerak, dengan relasi antara kata dan rasa yang tampak bertentangan, the paradox of (e)motion— sebuah tensi antara gerak dan rasa yang saling menegas(i)kan—kata enggan bergerak, kita tetap tergerak.

Anwar menjaga ketat koherensi dan konsistensi teks fiksi “Isa” dengan menolak seni eksplorasi kata yang berlebihan; repetisi nomina konkret darah menunjukkan Chairil Anwar tidak pernah tergoda untuk mengubah kata dasar darah menjadi kata dasar arah, tidak terdorong untuk mengubah bunyi fonem /da·rah/ menjadi bunyi fonem /ma·rah/ atau /me·rah/. Anwar tidak memakai korespondensi bunyi fonem /da·rah/ dan /na·nah/, seperti yang digunakan dalam puisi “1943”.

Saya tahu bahwa Anwar pasti tahu bahwa pembacanya pasti tahu bahwa repetisi frasa dapat jatuh menjadi momen yang monoton. Namun, dalam kasus khusus “Isa”, saya yakin bahwa Anwar pasti yakin bahwa pembacanya pasti yakin bahwa repetisi frasa dalam teks adalah teknik tekstual untuk membawa alur tetap kontekstual; imaji tidak boleh jauh dari sebuah peristiwa monumental, yang dituliskan dengan sederhana—dengan Ejaan Baru 1967, Ejaan yang Disempurnakan 1972, dan Ejaan Bahasa Indonesia 2015 akan tampak tetap sederhana—tidak ingin beranjak ke perspektif lain momentum peristiwa: Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah.

Dengan penggalan dua buah kata yang tampil berulang, yang tampak sangat dekat semacam itu, teks “Isa” berhasil untuk didekati sangat dekat, a close(r) reading: kata dan kita saling mendekati. Saya menduga bahwa ada dua alasan yang dapat menjelaskan mengapa teknik repetisi ini digunakan sejak bait pertama teks sajak “Isa”. Pertama, pengulangan frasa ini hanya dimaksudkan oleh Anwar untuk menghasilkan konsistensi bunyi diksi mengoetjoer dan diksi darah, dengan segera. Kedua, konsistensi bunyi ini tidak mengubah posisi Toeboeh sebagai nomina predikatif dan Itoe sebagai kata penunjuk yang mewakili kehadiran otoritas sang narator-penunjuk dalam larik pembuka. Apakah teknik repetisi frasa diperlukan dalam sebuah sajak? Pada satu sisi, tidak. Repetisi bisa ditinggalkan oleh Chairil Anwar. Repetisi dapat jatuh dalam ritme yang monoton. Pada sisi lain, ya. Perulangan frasa dapat dikendalikan sebagai usaha memusatkan fokus. Dalam kasus khusus teks “Isa”, repetisi frasa berhasil mempertahankan fokus, mempertahankan sebuah relasi intim antara antara kata dan kita: konsentrasi pembaca tidak menjauh dari panggung pertunjukan teks.

Dengan cara seperti itu, Chairil Anwar tidak ingin bertele-tele mengungkap makna teologis yang dibawa dari diksi darah. Sang narator-penunjuk tidak pernah tertarik untuk membawa pesan teologis semacam itu; teks fiksi “Isa” digodok untuk tidak terlalu kental dengan bumbu argumentasi teologis yang dapat diterima oleh selera sang narator, yang bukan Nasrani sejati, dan diterima oleh selera pembaca-sasaran, yang Nasrani sejati dan bukan Nasrani sejati sekaligus. Repetisi nomina konkret darah dalam teks “Isa” tidak bekerja untuk membawa masuk pembacanya dalam alam pemikiran masyarakat Yahudi kuno, yang memandang darah dalam paradigma paradoks; tidak pernah konstan dan selalu dinamis.

Pada satu sisi, kata Ibrani dam (damim jamak), darah, digunakan untuk merujuk nyawa, esensi hidup itu sendiri. Pada sisi lain, darah dipandang kotor. Perempuan yang mengalami menstruasi harus dijauhkan; hingga bersih kembali. Perempuan yang mengalami masalah pendarahan harus disingkirkan; kotor. Darah binatang dilarang untuk dimakan. Namun, pengorbanan dan penebusan memerlukan darah tersebut; kesucian memerlukan ritual yang melibatkan darah. Puisi “Isa” tidak tertarik untuk membawa pesan teologis yang rumit dengan makna paradoks semacam itu.

Pada satu sisi, Anwar lebih tertarik untuk menghadirkan makna konkret darah berwujud benda cairan, kombinasi sel dan plasma, yang dibawa oleh nomina konkret darah. Berbeda dari puisi “Sia-Sia”, tidak ada kata merah dalam isi teks “Isa”; diksi darah merah dapat dimaknai sebagai argumentasi teologis, yang akan dianggap sebagai distorsi makna teologis bagi mereka yang menganggap penting penggunaan frasa darah biru. Pada sisi lain, Anwar lebih tertantang untuk menghadirkan imaji makna simbolik darah yang dekat dengan citra derita yang dialami oleh Toeboeh sebagai cara untuk menutup derita tubuh Indonesia yang terjajah pada 1943.

 

roeboeh

Saya tidak yakin apakah esai ini mampu menangkap dengan rinci apa yang hendak dikatakan Chairil Anwar dengan sebuah verba aktif saja, roeboeh. Pertama, sebagai fonem, bunyi /ru·buh/ berhasil memanggil kembali bunyi /tu·buh/. Kita diajak melakukan asosiasi: bunyi Toeboeh yang tengah roeboeh. Nomina konkret Toeboeh tengah mengalami suatu perubahan fisik yang dekat dengan citra lemah dan tidak berdaya. Tidak kukuh. Ia bukan raksasa yang digdaya. Kedua, sebagai morfem, Anwar tidak menggunakan huruf kapital untuk diksi roeboeh. Kita diajak untuk tidak melakukan asosiasi: bentuk Toeboeh yang tidak sepenuhnya rapuh. Diksi roeboeh, yang tidak ditulis Anwar dengan huruf kapital itu, tidak ada di sana untuk melukiskan pertunjukan tubuh yang takluk secara hiperbolik dan superlatif. Huruf kapital pada Toeboeh berfungsi untuk menjelaskan bahwa nomina konkret itu tidak dapat ditumbangkan oleh diksi roeboeh yang hanya menggunakan huruf kecil. Tapi saya ragu apakah Anwar ingin kita membaca pertunjukan teks “Isa” dengan presisi paling terperinci. Anwar menggunakan roeboeh bersama dengan rontoeh, loeloeh, loempoeh, menggoeroeh, dalam puisi “1943”. Dalam puisi “Isa”, Anwar menahan diri.

Menurut pendapat saya, verba aktif roeboeh digunakan oleh sang narator-penunjuk untuk menunjukkan sifat dinamis karakter Toeboeh. Dengan menggunakan verba aktif intransitif roeboeh, nomina konkret Toeboeh tampak tidak berada dalam keadaan statis; ada sebuah pergerakan aktual yang mengubah nomina Toeboeh untuk bergerak pada permukaan teks, mengeluarkan cairan darah, lalu berubah bentuk fisik dari belum roboh menjadi sudah roboh. Pada satu sisi, frasa mengoetjoer darah hanya menghasilkan kesan darah yang pergi meninggalkan wujud konkret Toeboeh, dan tidak cukup untuk mengubah kesan statis nomina konkret Toeboeh yang tampak tidak bergerak jauh sejak awal. Pada sisi lain, Anwar tidak tertarik menggunakan afiks –kan yang dapat mengubah Toeboeh menjadi lebih dinamis sebagai karakter utama yang mengucurkan darah. Dengan munculnya diksi roeboeh, sang penunjuk berhasil menunjukkan sifat dinamis nomina konkret Toeboeh.

Sebagai nomina predikatif yang disetarakan dengan pronomina predikatif (persis seperti dalam kalimat itu dia) oleh Chairil Anwar, citra Toeboeh yang sedang mengeluarkan darah dan roeboeh digunakan oleh sang narator-penunjuk untuk menunjukkan wujud tubuh besar yang sedang mengalami penderitaan. Sebagai teks yang dibentuk dengan menggunakan infrastruktur sosiolinguistik (fungsi sosial bahasa persatuan) dan struktur sintaksis (fungsi nominal per satuan kata) secara bersamaan, dalam konteks sejarah kondisi sosial-politik yang membentuk Indonesia pada 1943, maka dapat disimpulkan bahwa Toeboeh yang tengah menderita ini tampak tidak hanya dapat dimaknai sebagai tubuh manusia yang menderita di bawah penaklukkan tentara asing Romawi, tapi: tubuh besar bangsa Indonesia yang tengah roeboeh, tubuh seluruh manusia jajahan yang mengalami penderitaan, diduduki oleh tentara asing Jepang pula.

Tapi nomina Toeboeh tidak akan mengaku. Nomina Toeboeh berada dalam situasi tahun 1943, fasisme sudah sadis; Pemerintah Pendudukan Dai Nippon memobilisasi tubuh anak gadis.

 

patah

Kata patah muncul untuk menjalankan fungsi serupa dengan kata roeboeh yang muncul sebelumnya: pembangunan dinamika nomina konkret Toeboeh pada permukaan teks; tubuh besar yang tengah mengalami penderitaan. Nomina konkret Toeboeh sekarang sudah tampak sangat dinamis, menderita setelah mengalami dua kali verba aktif intransitif yang diwakili bunyi fonem /ru·buh/ dan /pa·tah/. Chairil Anwar menggunakan korespondensi bunyi rima: /pa·tah/ dan /da·rah/ terdengar harmonis, sembari menekankan imaji derita yang dialami Toeboeh. Tetapi, Anwar diam-diam membiarkan sesuatu diam dalam bunyi yang harmonis: hening. Tanpa menggunakan huruf kapital, tanpa memanggil kembali kata Toeboeh, sebagai subjek yang tampak patah, Anwar menggunakan sebuah teknik bahasa teks yang penuh paradoks. Pertama, persajakan rima /pa·tah/ dan /da·rah/ tampak berhasil memanggil bunyi. Kedua, penggunaan sepatah kata saja, patah, tanpa subjek, berhasil pula mengusir imaji lain yang tidak diperlukan; tidak ada kata-kata yang sia-sia. Dunia teks tampak sunyi.

Sisi sunyi puisi “Isa” tampak kontras dengan puisi “1943” yang memainkan korespondensi bunyi /pa·tah/, /da·rah/, dan /na·nah/ dalam larik: “Tangankoe menadah patah.” Puisi “Isa” bergerak ke arah yang lain. Satu hal dapat disimpulkan dalam tanda tanya: kenapa penyair ini hanya memerlukan satu kata, tanpa memberi banyak agen yang dapat memperpanjang klausa dan membentuk kalimat yang lebih kompleks? Saya menduga tiga hal. Pertama, Chairil Anwar tidak membutuhkan bentuk lama syair, pantun, bahkan mantra, yang dapat menjauhkan pesan penderitaan Toeboeh yang ingin ditekankan.[10] Kedua, Anwar membutuhkan sebuah bentuk testimoni efektif; kesaksian modern yang tidak terlalu mendayu-dayu seperti bahasa ucap yang digunakan oleh penyair Pujangga Baru (tidak menjadi sajak gelap seperti karya-karya Amir Hamzah pula).[11] Ketiga, Anwar tidak ingin jatuh pula dalam reportase modern yang terlalu deskriptif seperti laporan jurnalistik. Bentuk testimoni atau suara saksi mata modern, seperti yang digunakan dalam “Isa”, tidak dinilai dari banyaknya jumlah kata (puisi ini hanya menggunakan 42 kata, sudah termasuk judul dan kata tribut).[12] Tetapi: akurasi. Dalam teks “Isa”, penyair Anwar tampil bak saksi mata yang hemat kata: imaji tubuh roboh, citra badan patah.

Imaji roeboeh dan patah seperti itu tampak kontras dengan imaji nasionalisme yang hendak membangunkan diri dalam lagu persatuan Indonesia Raja dengan frasa bangoenlah djiwanja, bangoenlah badannja yang pertama kali bergaung dalam Kongres Pemuda Kedua 1928. Mengapa tidak ada satu larik yang mewartakan kata Toeboeh yang bangun dari robohnya dan bangkit dari patahnya dalam teks “Isa”? Saya sungguh heran: Apa penyebabnya? Apakah diksi patah dalam puisi “Isa” adalah ekspresi patah harapan seorang penyair yang menangisi Soekarno dan Hatta yang pergi menemui Kaisar Hirohito dan Perdana Menteri Hideki Tojo di Jepang, 10 November 1943? Tidak ada petunjuk terperinci apakah diksi patah dalam puisi “Isa” lahir sebagai reaksi langsung atas misi perjalanan Soekarno dan Hatta selama 17 hari di Jepang. Diksi patah ini terlalu menutup asal-usul dirinya.

Puisi “Isa” tampak malas membuka diri; tidak ada ekspresi eksplisit menentang tentara pendudukan Jepang yang membangun tubuh manusia untuk alat perang. Anwar menulis diksi patah setelah badan-badan alat perang memobilisasi tubuh manusia di Pulau Jawa. Namun, puisi “Isa” tidak mungkin terlalu membuka diri pada masa Jepang dipimpin oleh Perdana Menteri Hideki Tojo, 1941-1944.

Mungkin puisi “Isa” hanya bersikap menerima dunia yang bergerak cepat. Pertama, 8 Desember 1941, dunia bergerak cepat setelah Perdana Menteri Tojo mengumumkan deklarasi perang melawan Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Kedua, Februari 1942, dunia bergerak cepat setelah tentara Jepang merebut pulau-pulau dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketiga, Maret 1943, dunia bergerak cepat setelah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) berdiri sebagai bentuk kolaborasi pemimpin nasional dan pemimpin militer pendudukan Dai Nippon. Keempat, dunia bergerak cepat setelah Soekarno dan Hatta menemui Kaisar Hirohito dan Perdana Menteri Hideki Tojo di Jepang, 10 November 1943. Kelima, dunia bergerak cepat setelah Mobilisasi Total mengirim Perajurit Pekerja (romusha). Dan seterusnya.

 

mendampar tanja: akoe salah?

Larik ini adalah satu-satunya baris yang mengalami indentasi—penggunaan spasi yang tampak mendorong posisinya masuk dalam badan teks.

Kenapa larik ini tampak istimewa dengan penggunaan spasi teks yang berbeda? Dengan setengah ragu-ragu saya menduga pula: Anwar hendak pembaca memberi fokus utama untuk nomina akoe yang muncul untuk pertama kalinya dalam teks fiksi “Isa”. Kenapa sang narator memutuskan bahwa nomina akoe harus muncul? Sang penunjuk, yang pada mulanya menunjuk nomina konkret Toeboeh—satu-satunya karakter utama dalam peristiwa teks sejauh ini—tiba-tiba menunjuk karakter baru dalam sosok “akoe” tidak bernama dalam lirik. Siapa sesungguhnya karakter “akoe” yang ditunjuk oleh sang penunjuk? Anwar tidak memberi petunjuk informatif yang dapat membantu pembaca untuk mengenali identitas karakter “akoe” tersebut. Kita hanya tahu bahwa “akoe” ini hadir mewakili otoritas sang narator-penunjuk, yang telah memakai kata penunjuk Itoe sejak larik pertama teks fiksi ini. Yang dapat disimpulkan sementara ini: “akoe” adalah sang narator/penunjuk.

Saya tidak ingin menganggap remeh munculnya nomina akoe ini. Tidak. Pertama, penggunaan spasi khusus tersebut telah menempatkan nomina akoe menyaingi posisi sentral nomina konkret Toeboeh (yang konsisten membawa huruf kapital dalam dirinya). Kedua, spasi khusus tersebut telah memberi karakter “akoe’”(yang tidak membawa huruf kapital dalam dirinya)—sebuah tempat khusus yang tengah disiapkan di atas panggung pertunjukan teks. Saya menduga bahwa Chairil Anwar menduga bahwa pembacanya menduga bahwa posisi nomina dasar akoe harus dibedakan dari nomina konkret lain yang sejauh ini telah muncul (Toeboeh, darah). Kata tanya—terdapat dalam larik sama dengan kata akoe—bukan termasuk dalam kategori nomina konkret yang merujuk sebuah wujud benda konkret (tidak pernah ada benda tanya dalam realitas dan Anwar tidak sedang menggunakan huruf kapital yang dapat diasosiasikan dengan orang bernama Tanya).

Masuknya kata akoe ini membuat sang narator masuk dalam konteks 1943 yang membentuk makna akoe dalam korpus teksnya sejauh ini—dihitung sejak puisi “Nisan” dipublikasikan pada 1942. Hadirnya karakter “akoe” membawa teks fiksi “Isa” berada dalam satu dimensi pembacaan kontekstual yang senasib-sepenanggungan dengan teks puisi “Akoe”—dibacakan oleh Chairil Anwar Juli, 1943, setelah Keimin Bunka Shidosho berdiri di Jakarta. Namun, saya agak sedikit kaget: Teks “Isa” ternyata tidak berada dalam satu ekspresi keakuan yang keras kepala, seperti yang ditampilkan oleh lirik terkenal “Akoe”: Akoe ini binatang djalang. Saya tidak berani bertanya: Mengapa puisi “Isa” menjauhi sifat dinamis tubuh yang pernah ada dalam puisi “Akoe”—menunjukkan ekspresi individualitas menonjol—menolak represi dan kontrol tubuh manusia yang hendak dimobilisasi sebagai badan pertahanan tentara pendudukan Jepang?[13] Saya tidak berani bertanya: Mengapa puisi “Isa” tampak menjauhi citra mobilitas tubuh dalam puisi “Akoe”—sempat berjudul “Semangat” dan dimuat media cetak Pemandangan (1933-1958)—memberi semangat perjuangan hidup dan membawa ekspresi individualitas penyair?[14] Saya tidak berani bertanya: Mengapa puisi “Isa” tampak membelakangi superioritas tubuh dalam puisi “Akoe”—yang tampak menolak dengan tegas (Tidak djoega kaoe)—menolak dunia luar diri dengan keras kepala?

Saya tidak memiliki jawaban yang dapat memuaskan mengapa larik dalam puisi “Isa” ini memakai tanda tanya—subjek lirik tampak lebih introspektif bertanya ke dalam: mendampar tanja, akoe salah? Subjek lirik tidak tertarik untuk menggugat dunia luar. Saya menduga dengan agak ragu pula: Apakah ekspresi introspektif yang dibawa oleh kata akoe hendak membuat puisi “Isa” ini lolos dari sensor lembaga propaganda tentara Jepang yang mengawasi dengan ketat segala pesan subversif? Pada 1943, tentara pendudukan Jepang mengawasi publikasi teks dengan ketat. Perubahan judul “Akoe” menjadi “Semangat” adalah bukti betapa sorotan kantor propaganda (Sendenbu)—di bawah kontrol pemerintahan militer Jepang (Gunseikanbu)—dapat mengubah karakter keaksaraan sebuah teks puisi pada 1943.[15] Apakah ekspresi introspektif yang terkesan menjauhi individualitas telah membuat puisi “Isa” menjadi aman dikonsumsi oleh publik yang sedang dijajah tentara pendudukan Jepang? Apakah penggunaan tanda tanya menghaluskan repetisi nomina konkret darah sehingga tidak terkesan menggugat persiapan perang? Entah.

Mengapa Chairil Anwar memakai adjektiva salah dan tanda tanya untuk membuat nomina dasar akoe berada pada posisi yang bertanya? Pertama, sang narator memberi sifat spesifik tertentu dengan kata salah: tidak benar, keliru, khilaf, cela, menyimpang, luput. Kedua, penggunaan adjektiva salah membawa makna tragis yang ada dalam kata hamartia, yang terkait dengan konsep dosa manusia. Kata Ibrani chata dan kata Yunani hamartia terkoneksi dalam kanon teks suci yang digunakan oleh kalangan Nasrani—untuk menyebut dosa sebagai “menyimpang, meleset, luput dari sasaran”; layaknya anak panah yang meleset dari sasaran. Dalam Poetika, Aristoteles, mengenali karakter yang berbuat kesalahan (hamartia)—berubah dari baik menjadi buruk—sebagai ciri penting dalam alur cerita kisah tragedi terbaik.[16] Karakter yang membuat kesalahan akan membuat jalan cerita tragis menjadi sempurna. Anwar telah membuat pembaca berdebar-debar dengan memakai frasa introspektif akoe salah? Anwar telah membuat pembaca berdegup tidak karuan apakah introduksi frasa akoe salah? akan mengubah jalan cerita puisi fiksi ini menjadi suatu tragedi.

 

koelihat Toeboeh mengoetjoer darah

Saya akan makin tampak ragu-ragu untuk menyodorkan klaim bahwa dikotomi antara karakter utama “akoe” dan karakter utama “Toeboeh” telah mengubah plot dalam teks fiksi modern ini. Kita tahu peran subjek lirik “akoe” yang modern sangat diandalkan oleh Chairil Anwar untuk menunjuk bagaimana “Toeboeh” harus dilihat dalam teks fiksi ini. Kata koelihat (dengan k kecil) tampil mencuri panggung pertunjukan teks melanjutkan akoe yang telah bertanya secara introspektif itu. Dibentuk dari morfem terikat {koe-} dan morfem bebas {lihat}, bunyi fonem /ku·li·hat/ memiliki dua fungsi. Pertama, bunyi /ku/ berhasil memanggil kembali bunyi yang pernah singgah dalam fonem /a·ku/. Kedua, bunyi /li·hat/ tidak memiliki korespondensi bunyi rima, kecuali vokal /i/ dan /a/ yang dibawa dalam judul “Isa”. Tetapi saya menduga bahwa sang penunjuk memiliki misi lain yang lebih besar dari penggunaan teknik korespondensi rima. Modernisasi. Menolak yang lama. Konflik. Kontestasi.

Pada sisi lain, dikotomi membawa konflik yang timbul dari kontestasi antara dua diksi—berebut tempat sebagai karakter utama dalam panggung pertunjukan teks modern. Fungsi larik koelihat Toeboeh mengoetjoer darah sangat penting untuk menegaskan bahwa seluruh definisi dan atribut modern yang mengikuti kata Toeboeh hanya dapat ditentukan melalui otoritas subjektif “akoe”, sang manusia modern. Tidak boleh ada subversi lain.

Kita hanya pasrah: Mengapa narator tidak memberi tahu kita adegan yang menyebabkan darah mengucur? Mengapa sang narator tidak pernah memberi petunjuk kapan (tanggal, bulan, tahun) dan di mana karakter nominatif “akoe” melihat “Toeboeh” tengah mengucurkan darah? Mengapa petunjuk waktu dan tempat disimpan oleh sang penunjuk, sehingga pertunjukan menjadi milik sang narator semata? Mengapa tiada petunjuk soal adegan penyaliban, salib, tentara Romawi, bukit tengkorak, latar belakang perayaan Paskah, dan seterusnya? Mengapa puisi “Isa” terlalu menutup diri? Apakah sang narator modern tidak ingin “Toeboeh” dalam puisi “Isa” menjadi subversi tubuh modern terduduki militer Jepang? Apakah sang narator mencegah imaji “Toeboeh” dalam puisi “Isa” menjadi simbol subversif derita tubuh manusia Indonesia, yang terjajah, yang berdarah, yang tersiksa represi tentara fasis 1943? Kita tahu. Kita tahu tentara Jepang tidak pernah menyalib orang-orang tanah jajahan, namun mereka menangkap dan menyiksa tubuh manusia jajahan.[17]

Beberapa bulan sebelum nomina konkret darah bergerak dalam teks fiksi “Isa”, Chairil Anwar membaca puisi “Akoe” di Pusat Kebudayaan Jakarta, Juli 1943, dengan frasa lantang menantang dunia luar: Akoe tetap meradang menerdjang. Tetapi, kita tidak pernah menemukan Anwar menggunakan nomina konkret darah dalam puisi “Akoe” atau “Semangat” yang lolos dari sensor pengawasan propaganda Jepang tersebut. Pada satu sisi, Anwar tampak tidak berminat memberi semangat bagi tentara fasis untuk menumpahkan darah manusia. Pada sisi lain, puisi “Akoe” tampak kurang kuat dalam membangun imaji solidaritas derita sesama manusia, bila dibandingkan dengan teks fiksi “Isa” yang menunjuk:  koelihat Toeboeh mengoetjoer darah.

Saya hanya mampu menahan diri sambil membaca pergerakan “akoe” yang hendak merebut tempat “Toeboeh” dalam panggung pertunjukan teks. “Toeboeh” telah muncul dua kali dalam teks. “Toeboeh” mengalah tanpa melawan subjek lirik “akoe”, sang manusia modern. Tetapi, kita segera tahu: ada suatu konflik kepentingan antara diksi Toeboeh dan kata akoe yang sengaja ditutupi dalam teks sajak “Isa”. Dan saya menduga: diksi akoe pasti akan dimunculkan oleh sang narator lagi.

 

akoe berkatja dalam darah

Benar. Diksi akoe dimunculkan oleh sang narator lagi. Bukan cuma dimunculkan, nomina dasar akoe tampil sejak awal larik sebagai subjek lirik, dengan a kecil, tampak penuh percaya diri sedang berkatja dalam darah, kali ini tanpa kehadiran Toeboeh pada permukaan teks. Posisi larik ini makin menjelaskan ambisi karakter “akoe” yang tampak hendak merebut tempat sebagai pusat peristiwa teks, ingin menyingkirkan diksi “Toeboeh” sebagai karakter utama. Chairil Anwar memanggil lagi frasa Akoe berkatja dalam puisi “Selamat Tinggal” yang bertarikh 12 Juli 1943. Saya tidak tahu harus berkata apa.

Saya tidak ingin tampak terlalu berani menyodorkan klaim: larik akoe berkatja dalam darah berfungsi untuk menyingkirkan sejenak karakter utama “Toeboeh” sebagai pusat peristiwa teks. Sang penunjuk sedang menunjuk eksistensi dirinya sebagai individu modern yang sedang melihat bayangan dirinya sendiri dalam darah. Tidak jelas apakah “darah” dapat memantulkan bayangan dirinya seperti permukaan air kolam dapat memantulkan bayangan wajah Narcissus—seorang pemburu rupawan dari Thespiae di Boeotia dalam mitologi Yunani—yang tenggelam dalam kolam karena terlalu terpesona oleh bayangan wajahnya yang elok.

Saya mencoba untuk membaca larik ini dengan ketat-dekat, walau tidak mungkin sebuah argumen terperinci akan dapat dijelaskan dengan baik: Kenapa subjek lirik harus berkaca dalam darah? Dalam puisi “Selamat Tinggal” yang bertarikh 12 Juli 1943 itu, subjek lirik tidak pernah menyatakan diri hendak berkaca dalam darah. Puisi “Selamat Tinggal” tidak memakai kata darah. Saya tidak tahu harus berkata apa untuk menjelaskan posisi subjek “akoe” dalam puisi “Isa”. Pada satu sisi, puisi “Isa” tampak konsisten dengan menggunakan huruf kecil untuk diksi “akoe” yang berfungsi sebagai subjek dalam  lirik. Konsistensi itu membawa karakter keaksaraan khas dalam kontinuitas teks “Isa”: hanya “Toeboeh” yang tampak besar, pusat peristiwa. Pada sisi lain, konsistensi itu belum ditunjukkan dengan meminggirkan subjek lirik aku dari peristiwa penting. Hanya “akoe” yang modern ini yang boleh hadir dalam teks; dia, kau, kita, kami, mereka, kalian, tidak dapat tempat.[18]

Apa fungsi “akoe” dalam sebuah puisi modern? Saya tidak tahu apakah modus munculnya subjek lirik dapat dijelaskan dengan detail. Tidak ada hal baru dari penggunaan kata akoe yang modern ini.[19] Hingga esai ini ditulis, saya masih tidak dapat menjelaskan kenapa kata akoe dimunculkan oleh sang narator untuk meminggirkan karakter utama nomina konkret “Toeboeh” dalam puisi “Isa” ini. Saya bingung. Apakah aku lirik perlu untuk dimunculkan oleh narator berulang kali dalam teks yang irit kata seperti puisi “Isa”? Kita tahu bahwa karakter teks “Isa” bukan sebuah puisi modern yang tengah berdoa; saya percaya bahwa Anwar tidak sedang meniru puisi baru Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) yang bertarikh 10 Agustus 1937, “Seindah Ini”.

Saya tidak ingin memberi klaim yang terlalu pasti, tanpa referensi memadai, kenapa Chairil Anwar memakai aku lirik untuk menyingkirkan karakter utama “Toeboeh” yang ditulisnya dengan huruf kapital. Pada satu sisi, saya percaya Anwar tidak memiliki niat untuk menulis puisi “Isa” sebagai episode ekspresi individualistik setelah puisi “Akoe” pada 1943. Pada sisi lain, puisi “Isa” tidak memakai bunyi morfem /a·ku/ secara berulang-ulang; teks Anwar ini tampak menolak teknik repetisi yang disebut sebagai anaphora untuk mengulang kata akoe—pengulangan sebuah kata atau frasa di awal klausa atau kalimat untuk memberi efek emosional bagi pembaca dan pendengar, seperti digunakan oleh Alisjahbana dalam puisi modern “Kepada Kaoem Mistik”, yang bertarikh 19 Oktober 1937. Puisi “Isa” tampak terjaga hanya memakai repetisi frasa mengoetjoer darah secara berulang-ulang.

Dalam larik ini, nomina konkret darah hadir tanpa didampingi oleh nomina turunan mengoetjoer. Saya menduga Anwar memberi dispensasi bagi darah untuk tidak bergerak hanya demi memberi ruang bagi akoe untuk berkatja. Sang narator mengubah sifat dinamis nomina konkret darah menjadi statis hanya demi dominasi nomina dasar akoe. Padahal, sebelumnya, sifat dinamis nomina konkret darah berfungsi untuk menjelaskan kondisi nomina konkret Toeboeh. Hadirnya akoe yang hendak berkatja telah membuat nomina konkret darah harus menyesuaikan dirinya dengan kemauan sang narator. Pada tahap ini, Chairil Anwar tampak sangat menikmati posisi dirinya sebagai narator modern yang menentukan dikotomi peran nominatif antara diksi Toeboeh dan diksi akoe ini.

Apakah fungsi lirik akoe berkatja dalam darah dalam puisi “Isa” ini? Pertama, sang narator membuat darah mampu memantulkan bayangan individu akoe sebagai refleksi ekspresi keakuan sang narator itu sendiri. Kedua, dengan cara teknik refleksi diri dalam teks, ia memakai refleksi citra diri modern untuk mengangkat eksistensi individu sang penunjuk dalam darah yang berasal dari karakter utama “Toeboeh”. Narator terlihat ingin memberi tempat utama bagi “akoe” dalam pertunjukan teks, sehingga muncul eksistensi individu modern dalam derita yang tengah dialami oleh “Toeboeh” dalam teks puisi “Isa”. Dengan bahasa sederhana: sang “akoe” hendak menjadi karakter modern yang memiliki posisi setara dengan sang “Toeboeh”.[20]

Apakah kita dapat mencegah Chairil Anwar supaya urung menggunakan teknik refleksi citra diri modern demikian pada 1943? Tidak. Saya tidak mungkin memberikan argumentasi yang meyakinkan hanya dengan membaca permukaan teks dari jarak telaah yang teramat dekat. Saya tidak mungkin memberikan argumentasi yang memadai kenapa Anwar—beberapa bulan sebelumnya pernah dengan lantang mengatakan “Akoe tetap meradang menerdjang” dengan huruf A kapital—sekarang tampak membangun citra diri baru dengan reflektif akoe salah? dan akoe berkatja dalam darah yang memakai huruf a kecil. Saya tidak mampu menjelaskan apa yang menyebabkan sang penunjuk ingin meyakinkan pembaca bahwa citra diri “akoe” dalam teks puisi “Isa” ini sudah berubah—permukaan teks tampak tidak pernah menggunakan tanda seru seperti yang terlihat dalam puisi “Akoe”. Saya tidak ingin terlalu yakin memaksa argumentasi bahwa eksistensi individu dan ekspresi keakuan menjadi motif utama dalam modus penempatan kata akoe dalam puisi modern “Isa” ini.[21] Saya tidak ingin terlalu yakin bahwa sang narator menempatkan nomina dasar akoe sebagai testimoni suara kepribadian diri yang melawan tekanan represi tentara pendudukan Jepang pada 1943. Saya tidak ingin terlalu terburu-buru; kita harus fokus memeriksa pertunjukan teks selanjutnya, dalam larik-larik setelahnya, sebelum mengambil poin untuk disimpulkan.

 

terbajang terang dimata masa

Tidak ada kata Toeboeh dan akoe dalam larik ini. Tetapi, sang narator dengan cerdik menggunakan nomina turunan dalam bentuk verba pasif terbajang untuk merefleksikan sebuah bayangan yang dimunculkan setelah proses refleksi: akoe berkatja dalam darah. Kita tahu bahwa sang penunjuk sedang menunjuk bayangan dalam darah tersebut. Narator sedang menunjuk apa yang dibayangkan oleh karakter nominatif “akoe”: terang. Ditulis pada masa kalender Showa, “damai yang terang bercahaya”, kata terang dalam sajak ini menjadi suatu subversi: apa makna sejati terang?

Pada masa Chairil Anwar menulis teks fiksi “Isa”, sang Kaisar Showa telah naik tahta selama 18 tahun. Kaisar Hirohito (1901-1989) memakai kanji 昭 (shou) yang berarti terang, cerah, bersinar, dan 和, (wa) yang berarti damai. Tetapi, harapan damai yang cerah itu tidak berlaku untuk tanah terjajah. Sajak “Isa” ditulis 18 tahun kemudian setelah tahta Showa resmi berkuasa; tentara fasis menduduki negeri asing seperti tentara pagan Romawi menduduki Betlehem, Palestina. Pada 1940, Pangeran Fumimaro Konoe (1891-1945) menjadi Perdana Menteri Jepang. Konoe menerapkan tonarigumi—sistem gotong-royong pertahanan masyarakat berdasarkan unit kecil kerukunan tetangga. Tubuh manusia modern menjadi tubuh publik: mobilisasi barisan gotong-royong untuk armada pertahanan bangsa. Fasisme Jepang memandang tubuh manusia modern sebagai alat perang. Apa makna sejati terang?[22]

 

bertoekar roepa ini segara

Sang penunjuk sedang memakai teknik asosiasi—nomina konkret segara dengan nomina konkret darah—yang digunakan untuk berkaca dalam larik aku berkatja dalam darah. Apakah Chairil Anwar merujuk pada kesamaan karakter permukaan air antara darah dan segara sebagai alusi tidak sengaja digunakannya untuk merujuk Narcissus? Tidak mungkin.

Saya terdorong untuk membahas cara sang penunjuk memakai kata penunjuk: ini.[23] Seperti yang dilakukannya dalam frasa Itoe Toeboeh, sang penunjuk telah membentuk makna nomina predikatif pada frasa ini segara menjadi pronomina predikatif (ini dia). Sang penunjuk menunjuk bahwa transformasi wujud bertoekar roepa tidak dimaksudkan untuk mengubah posisi otoritatif diksi akoe yang lebih superior untuk menunjukkan ini-itu pada permukaan teks modern. Sang penunjuk menunjuk dengan kuasa mutlak untuk tidak memakai huruf kapital pada kata ini. Sang penunjuk menunjuk dengan otoritas absolut untuk tidak mengubah susunan redaksional larik menjadi: Ini segara bertoekar roepa. Sang penunjuk menutup puisi “Isa” dari semua pintu masuk yang membuat dirinya lebih terbuka. Sorotan sensor lembaga propaganda Jepang tidak memiliki kunci untuk masuk.

 

mengatoep loeka

Penunjuk memberi tahu bahwa sebuah mukjizat terjadi. “Toeboeh” menyembuhkan diri. Larik ini berfungsi bahwa “akoe” adalah penunjuk yang menyaksikan langsung peristiwa pembebasan diri dari derita tersebut. Pembaca, sebagai pihak yang sedang ditunjukkan pertunjukan tersebut, tidak memiliki akses langsung untuk mengetahui presisi mengatoep loeka. Sang penunjuk tidak membuka ruang bagi “Isa” untuk bicara apa yang sebenarnya terjadi. “Toeboeh’”tidak memiliki hak suara.

Chairil Anwar tidak memberi panggung bagi “Toeboeh” untuk bicara mewakili dirinya sendiri. Anwar tidak pernah memberi skrip bagi “Isa” untuk bicara di atas panggung pertunjukan teks demi menjelaskan bagaimana sebuah mukjizat penyembuhan diri telah terjadi. Seluruh peristiwa teks dituturkan melalui perspektif sang penunjuk “akoe”. Seluruh metamorfosis bentuk yang telah mengubah derita “Toeboeh” tidak pernah disampaikan dalam kaidah kalimat tidak langsung dan norma kalimat langsung. Ejaan Van Ophuijsen telah mengenal kaidah kutipan langsung dan tidak langsung; Anwar memang tidak tertarik untuk memberi suara bagi karakter “Toeboeh” pada permukaan teks.[24] Anwar hanya memberi nama “Isa” dalam judul; tidak pernah suara “Isa” itu bicara dalam badan teks modern.

Seluruh peristiwa teks dibangun di atas landasan pengamatan sang penunjuk “akoe”. Seluruh kata-kata yang ada dalam badan teks tidak pernah mewakili “Toeboeh” itu sendiri. Tidak ada keterbukaan dan kebebasan bicara dalam ruang teks fiksi ini. Tidak ada dialog. Hanya ada monolog suara sang narator modern.  Tidak ada suara “Isa”.

 

akoe bersoeka

Pada situasi yang sangat menentukan, “akoe” muncul kembali menegaskan posisi diri sebagai sang penunjuk. Bunyi fonem yang tampak memiliki korespondensi rima, /lu·ka/ dan /ber·su·ka/, mengantarkan bunyi fonem /a·ku·/ pada permukaan teks. Kata akoe kembali muncul untuk membungkam “Toeboeh” yang telah mengalami fase penyembuhan luka. Yang sembuh “Toeboeh”, yang bersuka “akoe”.

Sang penunjuk tidak memberi tahu apakah “Toeboeh” itu ikut bersuka, tidak ada narasi modern yang menunjuk kondisi “Isa” ikut bersuka pula. Sang penunjuk hanya menunjukkan reaksi dirinya sendiri, “akoe”, tanpa menunjukkan reaksi karakter utama “Toeboeh” setelah luka mengatup. Apakah karakter utama kita “Toeboeh” bersuka pula? Tidak ada suara eksplisit yang menunjuk ekspresi “Isa” pula. Dengan cara mementingkan suara ekspresi individu modern “akoe” dalam badan teks; ekspresi karakter utama “Toeboeh” terpinggirkan, terbungkam, marjinal. “Isa” tidak bicara dalam badan teks modern yang membawa namanya sendiri dalam judul.

 

Itoe Toeboeh

Anwar dengan cerdik telah menutup suara karakter utama “Toeboeh”. Isa abad pertama adalah sebuah suara subversif yang membuka wajah bengis imperialisme Kekaisaran Romawi. Isa, atau Yesus dari Nazaret pada abad pertama, membuka wajah kejam ideologi pax romana ‘Damai Romawi’. “Isa” (1943) yang modern malah tidak berdaya dibungkam Chairil Anwar tanpa konteks imperialisme yang menyalibnya. Mengapa Chairil Anwar membungkam “Isa” dalam puisi fiksi modern ini? Pertama, larik pembuka hanya memberi peran karakter “Toeboeh” sebagai nomina konkret tanpa personifikasi spesifik. Kedua, larik pembuka memberi huruf kapital untuk kata Itoe untuk menunjuk eksistensi otoritas sang penunjuk, yang memberi definisi “Toeboeh” sebagai nomina predikatif (seperti: itu dia). Atribut predikatif menjadikan nomina “Toeboeh” menjadi rentan untuk disingkirkan, dipinggirkan, didefinisikan, dan disalahgunakan demi kepentingan sang penunjuk.

Chairil Anwar tahu bahwa fungsi huruf kapital itu penting. Anwar—dididik dalam sistem konvensi ejaan Ejaan Van Ophuijsen—telah mengenal tanda pembeda fungsi (huruf besar, huruf kecil, tanda baca, titik, koma, tanda tanya, tanda seru, spasi, dan seterusnya). Huruf besar ‘T’ hadir untuk menunjuk bentuk Toeboeh yang lebih modern.[25] Bunyi fonem /tu·buh/ dapat pula ditulis dengan morfem yang memakai huruf t kecil; tidak masalah. Perlakuan Anwar dalam badan teks “Isa” berbeda jauh dengan seluruh manuskrip kuno Perjanjian Baru—ditulis dengan aksara Yunani Koine (Yunani Umum)—yang tidak pernah memakai tanda pembeda fungsi (huruf besar, huruf kecil, tanda baca, titik, koma, tanda tanya, tanda seru, spasi, dan seterusnya).

Misalnya, manuskrip kuno Perjanjian Baru tidak memakai huruf kapital dalam semua diksi yang merujuk soma christou—Tubuh Kristus yang memiliki atribut suci, jauh dari dosa manusia—bait Allah, kuil suci. Fungsi pembeda huruf kapital-huruf kecil hanya muncul setelah salinan teks kanon sakral memakai apa yang dikenal sebagai huruf kecil (lower-case letters) berabad-abad kemudian—sehingga manuskrip tua tampak menggunakan huruf kapital padahal tidak. Nomina konkret tubuh dalam teks Perjanjian Baru—dalam versi manuskrip kuno—tidak pernah bergantung pada huruf besar dan kecil. Namun, Yesus dari Nazaret memiliki suara dalam kanon sakral tersebut; tidak dibungkam.[26]

Saya menduga Anwar memakai diksi modern Toeboeh untuk pembeda: (1) huruf kapital Toeboeh memiliki makna profetik sakral yang merujuk pada posisi sentral sang karakter utama dalam dunia modern; (2) huruf kapital Toeboeh tidak merujuk langsung posisi tubuh privat manusia modern yang dimobilisasi sebagai badan publik untuk alat pertahanan dalam perang pada periode 1940-an, agar terhindar dari sensor militer Jepang. Kontras makna simbolik semacam itu membuat teks “Isa” menjadi tertutup dari konteks sosial 1943 demi menghindar dari sorotan lembaga sensor propaganda Jepang di Jakarta.

 

mengoetjoer darah

Saya makin ragu-ragu untuk membaca teks “Isa” dalam jarak ketat-dekat: Kenapa Anwar tidak memberikan huruf kapital pada diksi darah yang telah muncul sebanyak lima kali dalam teks, hampir dua kali lebih banyak dari kemunculan kata Toeboeh dalam teks modern “Isa”?

Saya cenderung ragu pula untuk mengajukan pertanyaan ini: Kenapa Anwar tidak pernah menempatkan diksi darah dalam posisi subjek pada awal kalimat atau klausa dalam larik padahal bunyi fonem /da·rah/ muncul berulang-ulang sebanyak lima kali dalam teks sajak dan jauh lebih banyak dari bunyi kata lain? Saya tidak ingin terlalu terdengar mendesak dengan pertanyaan ini: Kenapa Anwar tidak memilih morfem {darah} sebagai karakter utama pada peristiwa teks modern, padahal bentuk morfem {darah} adalah nomina konkret yang tidak pernah tampak abstrak dalam teks, dan selalu hampir selalu hadir dalam makna bergerak, didampingi oleh verba aktif (mengoetjoer), yang telah membentuk seluruh peristiwa teks, menjadi bersifat dinamis?

Saya tidak berani untuk mengajukan klaim ini: Anwar tidak ingin morfem {darah} menyingkirkan posisi penting sang penunjuk, sebagai otoritas yang mendefinisikan “Toeboeh”. Anwar—sebagai otoritas yang berhak untuk memberi definisi makna modern yang absolut atas teks—memakai huruf kecil dalam diksi darah karena: hendak memberi atribut karakter sekunder untuk kata tersebut. Saya menduga ia hanya membutuhkan kata darah untuk dua hal saja. Pertama, ia dengan konsisten menggunakan bunyi fonem /da·rah/, yang kelak muncul berulang-ulang sebanyak enam kali dalam teks sajak, untuk menghasilkan rima dan irama yang artistik sehingga tampak memikat, dengan teknik korespondensi bunyi.

Kedua, Chairil Anwar melihat diksi darah adalah nomina konkret yang setia melayani nomina konkret Toeboeh. Huruf kapital untuk kata darah—yang telah muncul berkali-kali melebihi kata-kata lain dalam isi puisi “Isa”—akan menimbulkan distorsi bagi pembangunan citra nomina konkret “Toeboeh” sebagai karakter utama. Anwar juga tidak ingin kata darah berada pada posisi pembuka larik—sebagai subjek yang berpotensi menimbulkan distorsi—yang mengganggu otoritas sang penunjuk. Anwar mencegah kemungkinan subversi, yang merongrong plot pertunjukan teks “Isa”; puisi modern ini harus menutupi  celah sensor lembaga propaganda Jepang.

 

mengoetjoer darah

Apakah nomina konkret darah dalam teks membawa misi untuk menunjuk wujud konkret darah di luar teks modern? Saya agak ragu menjawab: Chairil Anwar menggunakan nomina konkret “darah” dengan suatu risiko pada periode pendudukan tentara fasis; serdadu Jepang terkenal tidak segan menumpahkan darah manusia. Pada 1943 tentara Pembela Tanah Air (PETA) telah dibentuk pemerintahan pendudukan Jepang; pada tahun yang sama perekrutan anggota Tentara Pembantu, Heiho (兵補), telah berjalan. Barisan pemuda digiring untuk membangun parit pertahanan. Anwar, berusia 21 tahun, memiliki kualifikasi untuk masuk dalam badan-badan semacam itu, yang menerima pemuda usia 18 hingga 25 tahun. Tapi Anwar tidak pernah berada dalam PETA atau Heiho.

Pada 1943—sebelum revolusi fisik melawan tentara Sekutu yang membonceng NICA (1945)—nomina konkret darah dalam puisi “Isa” tidak merujuk sikap penyair modern untuk menumpahkan darah musuh. Hingga esai ini ditulis, tidak ada dokumentasi tertulis yang mencatat atau testimoni pengakuan yang melihat Anwar pernah membunuh serdadu Jepang pada periode 1942-1943. Kata darah dalam puisi “Isa” berperan sebagai agen—yang sedang bergerak dalam klausa teks untuk menunjuk konteks yang membentuk hubungan kausalitas antara konteks dan teks—untuk menutupi pesan solidaritas atas derita tubuh manusia modern yang tertekan oleh represi tentara asing di Indonesia 1943.

Sejak bait pertama yang membuka sajak “Isa”, Chairil Anwar tidak tertarik menggunakan afiks -kan, yang memiliki potensi untuk mengubah nomina konkret Toeboeh menjadi lebih dinamis, sebagai karakter utama yang mengoetjoer-kan darah. Dalam bait terakhir yang menutup permukaan teks “Isa”, sang penunjuk tidak tertarik mengubah posisi nomina konkret Toeboeh menjadi lebih aktif, sebagai agen klausa yang mengoetjoer(kan) darah. Sang penunjuk menggunakan otoritasnya untuk membuang opsi penggunaan afiks -kan, nomina konkret akoe diberi prioritas sebagai agen klausa yang dinamis, sebagai pihak otoritas narator yang menunjuk.

Mengapa Chairil Anwar memakai diksi darah sebanyak enam kali pada permukaan teks?[27] Mengapa Anwar masih tidak pernah memberi huruf kapital dalam kata darah? Mengapa Anwar menyingkirkan posisi sentral nomina konkret darah, yang telah sangat aktif membentuk permukaan teks, menjadi lebih dinamis? Pemakaian huruf kapital pada darah tidak diperlukan; sorotan sensor lembaga propaganda akan menaruh curiga pada amplifikasi nomina konkret darah. Anwar tidak mau mengubah citra puisi “Isa” dari tertutup menjadi terbuka. Posisi diksi darah ini dapat diibaratkan layaknya buruh, yang telah bekerja sangat keras membangun konstruksi teks, namun tidak diberi status semestinya, dan tidak pernah diakui oleh otoritas sang penunjuk. Puisi “Isa” (1943) telah menunjuk Anwar berperan sebagai otoritas modern yang memiliki kekuasaan absolut, untuk membentuk makna narasi modern secara sewenang-wenang, tanpa memberi status yang lebih layak bagi nomina konkret darah.

Chairil Anwar tidak perlu memberi ruang bagi nomina konkret Toeboeh untuk bicara terbuka mendefinisikan makna modern dalam dirinya sendiri. Anwar tidak memberi ruang bagi nomina konkret darah untuk bicara terbuka mendefinisikan mengapa dirinya harus tampil modern. Anwar tidak memberi ruang bagi diksi Isa untuk bicara terbuka menjelaskan modernisasi macam apa yang sebenarnya telah terjadi. Anwar hanya memberi diksi Isa sebuah tempat dalam judul. Dia tidak memberi ruang bagi diksi Isa untuk bicara mewakili dirinya sendiri dalam badan teks modern. Puisi “Isa” (1943) telah membungkam suara modern Isa itu sendiri.

Namun, hal itu dilakukan oleh Chairil Anwar demi menutupi pesan terselubung dalam teks fiksi “Isa” itu sendiri: “Toeboeh” puisi “Isa” harus menutupi tubuh modern Indonesia yang telanjang. Apakah Anwar mengambil risiko menjadi narator dalam teks ini untuk menutup relasi derita “Toeboeh” dalam puisi “Isa” (1943) dan tubuh manusia modern Indonesia tahun 1943? Teks fiksi ini ditutup dengan repetisi derita “Toeboeh” untuk menutupi bahwa tubuh modern Indonesia belum mampu bebas menyembuhkan dirinya sendiri. Sejak awal, Anwar tidak tertarik untuk menulis teologi keimanan yang meyakini bahwa sosok “Isa” tidak lagi mengucurkan darah, bangkit pada hari ketiga, dan naik ke surga, seperti yang diyakini oleh “Nasrani sedjati”. Teks fiksi “Isa” ditulis sebagai subversi yang menutup diri dari derita tubuh manusia modern Indonesia yang ditekan represi pemerintah fasis Jepang; puisi “Isa” (1943) menutup diri dari derita sosial 1943 demi meloloskan diri dari sorotan sensor lembaga propaganda Jepang di Jakarta.

 

12/11-1943

Saya telah menunjukkan apa yang sebenarnya hendak dibuka oleh penyair Chairil Anwar melalui telaah atas apa yang sebenarnya hendak ditutup oleh penyairnya. Saya telah membaca dengan sangat ketat-dekat; teks puisi “Isa”—masih ditulis dengan mematuhi konvensi ejaan Van Ophuijsen—tidak mungkin dilepaskan dari konteks sejarah periode pendudukan militer Jepang (1942-1945) yang menggantikan periode pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, lalu membentuk narasi transformasi eksistensial dalam teks “Isa” pada 1943. Makna penderitaan “Toeboeh” dalam teks fiksi ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sebuah bangsa modern yang sedang menderita di bawah pemerintahan militer Jepang. Dengan sebuah sajak bertarikh 12 November 1943, Chairil Anwar memodernisasi narasi “Isa” untuk membuka sekaligus menutup suatu subversi yang hendak disampaikan, demi menyiasati sensor ketat lembaga propaganda bentukan penguasa Jepang: “Toeboeh” dalam “Isa” (1943) adalah simbolisasi tubuh modern Indonesia sebagai bangsa terjajah pada 1943.

Hanya ada dua hal yang dapat disimpulkan oleh teks fiksi “Isa” yang menggunakan strategi repetisi frasa mengoetjoer darah ini. Pertama, repetisi kata darah dalam puisi “Isa” (enam kali) digunakan oleh penyair sebagai testimoni kesaksian modern, atas penderitaan tubuh bangsanya pada masa pendudukan militer Jepang yang melakukan kontrol ketat atas tubuh manusia. Kedua, dua larik terakhir masih ditutup oleh repetisi kata darah untuk menunjukkan sang tubuh modern yang masih terjajah pada 1943, setahun lebih setelah tentara fasis Jepang menguasai tubuh Indonesia, sejak 1942. Anwar menggunakan nomina konkret “Toeboeh” yang tengah mengalami penderitaan sebagai simbolisasi tubuh Indonesia yang menderita, ingin membebaskan tubuh modernnya dari derita penjajahan militer asing, namun masih belum benar-benar mampu membebaskan tubuhnya dari represi dan kontrol itu.

Saya mengakui cara analisis seperti ini memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan. Pertama, puisi “Isa” diperlakukan sebagai teks fiksi modern, sehingga makna nama diri “Isa” menjadi lebih cair untuk ditafsirkan ulang; cara ini belum tentu tepat digunakan untuk membaca secara terperinci sebuah sajak bertema spiritualitas yang benar-benar ditulis untuk menunjukkan ekspresi keimanan penulisnya. Kedua, cara analisis yang saya gunakan hanya fokus membandingkan puisi “Isa” dengan korpus teks terpilih Chairil Anwar periode tahun 1942-1943 (“Selamat Tinggal”, “Akoe”, “Sia-Sia”, “1943”, dan lain-lain) dalam periode pendudukan militer Jepang (tidak menyentuh seluruh korpus teks 1942-1949); metode ini kurang dapat menangkap seluruh proses kreatif modernisme artistik Anwar secara ketat-dekat, yang terus bergerak mengambil pengaruh dari para penulis Barat, tidak kurang 96 karya (meliputi 70 buah puisi, terjemahan, saduran, prosa, teks pidato). Ketiga, metode ini memandang narasi dalam badan teks “Isa” sebagai plot atau alur yang bergerak lurus, sehingga memandang fokus repetisi frasa mengoetjoer darah dalam bait terakhir sebagai tanda plot modern yang berakhir stagnan; cara ini kurang tepat memandang bahwa penyair Anwar mungkin hanya memanfaatkan bunyi fonem /da·rah/ dan /pa·tah/ sebagai harmoni yang berbeda dari bunyi fonem /ru·buh/ dan /tu·buh/ semata. Keempat, metode ini menaruh terlalu penting keberadaan lembaga sensor kebudayaan pada masa pendudukan militer Jepang pada 1943, yang merongrong motif pemilihan nomina konkret, modus penempatan frasa, pengelolaan dikotomi diksi, serta penajaman konflik plot dalam badan teks puisi modern “Isa”; cara ini kurang tepat dalam menggambarkan secara ketat-dekat banyak faktor yang membentuk sebuah strategi puitika dalam konteks modernisme artistik (pencerahan intelektual, perkembangan spiritual, pembebasan nasional, penemuan kreatif, penjelajahan bentuk estetika, eksplorasi artistik, dan sebagainya). Kelima, cara telaah ini tampak kurang mengambil referensi dari studi relevan yang sudah pernah dilakukan untuk mendekati teks “Isa”; metode ini menjadi lemah karena terkesan sengaja menghindari pengaruh analisis lain yang sudah mendekati teks “Isa” sebagai puisi bertemakan spiritualitas, bukan sebagai simbolisasi kontekstual atas pengalaman “Indonesia” yang menderita di bawah penaklukkan militer Jepang. Saya mengakui beberapa kelemahan di atas, serta banyak kekurangan lain, yang tidak dapat dijelaskan secara eksplisit karena keterbatasan ruang.

 

[1] Dimuat dalam Pantja Raja No. 1 Th. II (15 November 1946)

[2] Berbeda dengan periode pendudukan militer di Indonesia yang lebih singkat (1942-1945), penjajahan Jepang di Korea, selama 35 tahun (1910-1945), telah melarang penggunaan bahasa Korea di sekolah, mendorong perubahan nama Korea menjadi nama Jepang, dalam sebuah skema besar mendorong penghancuran kebudayaan lokal, menggantinya dengan pendidikan kultur Jepang, yang dibawa oleh tentara pendudukan (lihat tesis menarik Young-Ju Lee, “Perlawanan dalam Puisi Chairil Anwar dan Yun Dong-Ju pada Masa Pendudukan Jepang”; dibimbing Sapardi Djoko Damono (1940-2020); FIB-UI, 2005).

[3] Penyangkalan atas konsepsi status divinitas kaisar dan superioritas ras baru muncul secara formal 1 Januari 1946, melalui pernyataan Deklarasi Humanitas, Ningen-sengen (人間宣言), yang dikeluarkan oleh Kaisar Showa, Hirohito, di Tokyo, atas desakan pemimpin tentara Sekutu (Supreme Commander of the Allied Powers) Jenderal Douglas MacArthur.

[4] Dalam War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation, 1942-1945 (New York: ME Sharpe; 1994, hlm. 160), Shigeru Sato mengutip laporan dari Angkatan Laut Jepang; sejak bulan Juli 1943, tingginya kasus pekerja (romusha) yang merosot daya tahan tubuhnya, disebabkan oleh kelangkaan makanan, rendahnya perawatan medis, dan kerja yang berat.

[5] Dalam buku yang sama, Sato (1994: 156) menulis dengan fokus utama kasus di Pulau Jawa; jumlah tersebut tentu belum menghitung jumlah romusha dari luar Pulau Jawa, dan negara-negara lain yang dijajah Jepang di Asia Tenggara.

[6] Terlalu spekulatif untuk secara langsung mengaitkan citra derita tubuh romusha dengan sikap politik Anwar, saya enggan terlalu memaksakan korelasi teks dengan menambahkan biografi politik penyair ini; (1) dengan memasukkan Anwar dalam lingkaran Sutan Sjahrir, yang memiliki akses terhadap perkembangan internasional dan nasional sebagai oposisi, (2) dengan mengasumsikan Anwar mendengar/membaca kampanye perekrutan Perajurit Pekerja (romusha) yang tidak dilakukan dengan diam-diam, tapi didukung oleh kolaborasi dengan pemimpin nasional dan regional; pengerahan ribuan orang hanya selama 1943 untuk Pulau Jawa saja. Semua ini bukan dilakukan secara rahasia, tetapi bagian dari Mobilitas Total yang merupakan program pemerintah pendudukan Dai Nippon. Masalah korelasi ke dalam teks puisi menjadi sulit karena korpus teks sajak Chairil Anwar hingga November 1943 tidak menyebut ia menentang atau mendukung secara eksplisit. Anwar tidak mungkin menentang; penutup teks pidato (disampaikan 7 Juli 1943) menunjukkan nama Kolonel Yamasaki dan frasa “Perwira-perwira dari Attu” secara sangat positif, yang menunjukkan pujiannya atas heroisme tentara kekaisaran Jepang yang dipimpin Kolonel Yasuo Yamasaki (1891-1943) melawan tentara Amerika Serikat di Pulau Attu (Mei 1943). Dengan sendirinya, penutup teks pidato itu menunjukkan posisi pembacaan Anwar atas isu publik memiliki tendensi politik berikut 1943: (1) mengikuti  perkembangan internasional yang mengabarkan pengorbanan tentara kekaisaran, (2) memihak dan memuji heroisme para pahlawan tentara kekaisaran Jepang di depan publik, entah secara sadar atau demi menyiasati ancaman langsung lembaga propaganda.

[7] Saya mengutip angka statistik tersebut tanpa menghitung kasus disentri yang naik menjadi 5.801 kasus pada tahun 1944, naik menjadi 6.859 kasus periode Januari hingga Juni pada tahun 1945, seperti diamati dengan cermat oleh Shigeru Sato, “Economic Soldiers” in Java: Indonesian Laborers Mobilized for Agricultural Projects (dalam Asian Labor in the Wartime Japanese Empire: Unknown Stories, ed. Paul H. Kratoska; Routledge, 2014).

[8] Hingga esai ini ditulis, tidak ada catatan sejarah apakah fisik teks fiksi “Isa” kemudian dipublikasikan (sebelum tahun 1946 di Panta Raja) dan mengancam langsung kepada atau terancam langsung oleh pemerintahan militer Jepang; namun pemerintah pendudukan militer telah membentuk organisasi propaganda secara masif pada 1943, mengutip Aiko Kurasawa, “Propaganda Media on Java under the Japanese 1942-1945” (Indonesia, vol. 044, October 1987, hlm. 60) : Domei News Agency, penyiaran Jawa Hoso Kanrikyoku (Oktober 1942), surat kabar Jawa Shinbunkai (Desember 1942), pengedar film Eiga Haikyusa (April 1943), produksi film Nippon Eiga Sha (April 1943), teater Djawa Engeki Kyokai, dan pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidosho (April 1943).

[9] Dalam konteks yang sama untuk menghindari sensor ketat pemerintahan militer Jepang, saya menduga tema spiritualitas Timur dalam puisi “Doa” yang bertarikh 13 November 1943 (hanya selang sehari setelah tarikh puisi “Isa”) ditulis oleh Chairil Anwar untuk memuliakan aspek spiritualitas kebudayaan Timur, dengan harapan agar ia dapat meloloskan diri dari konotasi materialisme budaya Barat yang tengah diperangi pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidosho di Jakarta.

[10] Anwar tampak membutuhkan bentuk bahasa ucap baru. Sejak sekolah dasar, Anwar sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru; ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra H.B. Jassin, seperti yang ditulis oleh H.B. Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1985: 12).

[11] Dalam konteks modernisme bahasa Indonesia yang artistik, saya tidak dapat memastikan sumber inspirasi penerapan gaya kalimat yang padat, pendek, dan tajam yang digunakan dalam puisi “Isa”. Mungkin ia berasal dari gaya baru bahasa Indonesia dalam sajak-sajak lepas Amir Hamzah yang diperhatikan oleh Anwar. Dalam prosa yang berjudul “HOPPLA!”, Anwar menulis bahwa “puncaknya dalam gerakan Pujangga Baru selama 9 tahun adalah Amir Hamzah dengan prosa-prosa liris, sajak-sajak lepas”. Lebih lanjut, Anwar mengaku bahwa “tetapi yang diperhatikan bagi saya ialah, bahwa Amir dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya menerakan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang padat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru” (H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 143). Puisi “Isa” tampak mewakili modernisme artistik yang hendak menerapkan gaya bahasa baru yang efektif tersebut: kalimat-kalimat yang padat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya, hanya pasangan dua kata muncul sejak larik pembuka dan larik kedua, bahkan hanya satu kata “patah” muncul dalam bentuk kata dasar, bukan dalam bentuk turunan dipatahkan.

[12] Versi teks dengan Ejaan Baru 1967, EYD 1972, dan EBI 2015: 43 kata (satu kata dimasa dipisahkan menjadi dua kata: di masa).

[13] Dalam “Akoe” tidak ada kata tubuh, namun sang “akoe” tampak mewakili suara tubuh manusia jajahan yang memiliki semangat kebinatangan (Akoe ini binatang djalang) yang bergerak walau menghadapi musuh yang menembak tubuh (Biar peloeroe menemboes koelitkoe); tubuh bersifat dinamis, menyingkirkan rasa takut menghadapi ancaman mortalitas (Loeka dan bisa koebawa berlari). Dalam puisi ini, rasa sakit tidak dapat menghambat pergerakan dinamis tubuh yang tengah berlari dalam lirik: Hingga hilang pedih dan peri. Dalam “Isa”, Toeboeh dengan huruf kapital itu tidak mewakili mobilitas tubuh; tidak dinamis: roeboeh dan patah.

[14] Dalam sajak “Doa”, yang ditulis dalam waktu berdekatan dan hanya selang sehari pada November 1943, subjek “akoe” dalam lirik justru ditempatkan tanpa membawa bentuk tubuh; sang “akoe” menyadari betapa seluruh kesadaran diri yang menggerakkan tubuh tengah hilang bentuk dan remuk: “akoe hilang bentoek/ remoek. Namun, kesadaran diri yang remuk itu tidak pernah diikuti dan didahului oleh rasa sakit ragawi; hanya tubuh mengembara di negara asing tiba pada satu tujuan: Toehankoe/ di pintoeMoe akoe mengetoek/ akoe tidak bisa berpaling. Sajak “Doa” dan “Isa” tampak menjauhi ekspresi superioritas tubuh yang ditampilkan dalam puisi “Akoe”.

[15] Sensor ketat juga berlaku untuk drama, hampir semua naskah yang ditulis pada periode pendudukan Jepang memuat pesan propaganda pemerintahan militer yang memuliakan Asia Timur Raya, kecuali hanya ada satu drama sinis yang ditulis Amal Hamzah (adik penyair Amir Hamzah), berjudul Tuan Amin, seperti dicatat M. Yoesoef dalam “Drama di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945): Sebuah Catatan Tentang Manusia Indonesia di Zaman Perang”, dimuat di Makara, Sosial Humaniora (Vol. 14, No. 1, Juli 2010, 11-16).

[16] Aristotle, Poetics, Section 2, Part XIII (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh S.H. Butcher), the Internet Classic Archive oleh Daniel C. Stevenson; 1994-2000 (http://classics.mit.edu/Aristotle/poetics.mb.txt, diakses oleh penulis pada 27 Juli 2022)

[17] Dimulai September 1942 hingga Januari-Februari 1943, terjadi penangkapan besar-besaran atas aktivis yang menentang pemerintahan militer Jepang. Januari 1943, para aktivis Gerakan Rakjat Antifasis (Geraf), termasuk sang pemimpin Amir Sjarifoeddin, ditangkap oleh tentara Jepang dan mengalami penyiksaan hingga tubuhnya kurus kering kerontang (lihat Slamet Muljana, “Kesadaran Nasional; Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 2”, Yogyakarta, Bantul: LKiS; 2008, hlm. 25-26).

[18] Hal ini menarik untuk didiskusikan: hingga November 1943, Chairil Anwar telah menulis beberapa puisi yang tidak menggunakan subjek aku-lirik. Sebagai contoh, beberapa puisi berikut tidak memakai morfem bebas {akoe}, atau morfem terikat {koe-} dan {-koe} dalam badan teks, sesuai tarikh yang tertulis sebelum puisi “Isa”: “Penghidupan” (Desember 1942), “Diponegoro” (Februari 1943), “Sendiri” (Februari 1943), “Adjakan” (20 April 1943), Tjerita (9 Juni 1943), “Bercerai” (7 Juni 1943), Hampa (April 1943). Hal ini menunjukkan pronomina persona-pertama tunggal aku tidak selalu hadir dalam sajak-sajaknya; ekspresionisme dan individualisme tidak selalu membutuhkan pronomina aku.

[19] Hingga November 1943, Chairil Anwar telah menulis beberapa puisi yang memakai morfem bebas {akoe}, atau mengandung morfem terikat {koe-} dan {-koe} yang tertulis sebelum puisi “Isa”: “Nisan” (Oktober 1942), “Tak Sepadan” (Februari 1943), “Sia-Sia (Februari 1943), “Akoe atau “Semangat” (Maret 1943), “Lagoe Biasa” (Maret 1943), “Koepoe Malam dan Binikoe” (Maret 1943), “Penerimaan (Maret” 1943), “Perhitoengan” (16 Mei 1943), “Roemahkoe” (27 Mei 1943), “Kawankoe dan Akoe” (5 Juni 1943). Hal ini menunjukkan pronomina persona-pertama tunggal aku kerap hadir dalam sajak-sajaknya; ekspresionisme dan individualisme kerap membutuhkan pronomina aku.

[20] Relasi aku dan tubuh dalam “Isa” ini tidak sama dengan dua puisi yang memakai pronomina persona-pertama tunggal “akoe” dalam judulnya—“Akoe”/”Semangat” (Maret 1943) dan “Akoe” (8 Juni 1943)—yang menunjukkan cara atraktif Anwar menggunakan verba aktif intransitif hidup; subjek aku menekankan eksistensi tubuhnya sendiri yang tengah bergerak tersebut. Motif mobilitas tubuh yang menentukan modus penempatan lirik dalam dua puisi tersebut dengan segera dapat ditemukan. Pertama, ”Akoe” (Maret 1943) menekankan fungsi aktif predikat hidup (Akoe maoe hidoep seriboe tahoen lagi sebagai modus desideratif) untuk menolak ancaman mortalitas yang hendak menghentikan mobilitas tubuh. Kedua, “Akoe” (8 Juni 1943) menekankan fungsi repetisi diksi hidup (Akoe hidoep/Dalam hidoep di mata tampak bergerak sebagai modus deklaratif) untuk menolak ancaman moralitas yang hendak menghentikan mobilitas tubuh.

[21] Esai ini hendak berhati-hati sebelum menyimpulkan, walau, nomina dasar aku dapat dengan segera diturunkan menjadi nomina-turunan keakuan dan pengakuan tanpa melanggar norma berbahasa. Tidak lazim menggunakan nomina turunan [kesayaan] dan [pesayaan], [kekauan] dan [pekauan], [kekitaan] dan [pengitaan], [kekamian] dan [pengamian], [kemerekaan] dan [pemerekaan] kecuali dipaksakan untuk menabrak konvensi. Nomina dasar aku dapat diturunkan menjadi verba aktif mengaku dengan segera. Tidak lazim memakai verba-turunan aktif [menyaya], [mengekau], [mengita], [mengami], [memereka] kecuali dipaksakan untuk menabrak konvensi. Nomina aku bahkan dapat diturunkan untuk tampil sebagai verba imperatif hanya dengan menambah satu huruf vokal saja: akui, kemudian diturunkan menjadi akuilah. Dalam konteks penulisan “akoe” pada 1943, implikasi keistimewaan dalam fungsi pronomina persona-pertama tunggal aku yang berperan sebagai nomina dasar tersebut sangat serius: ia mudah ditafsirkan menjadi semacam instrumen bagi ekspresi diri terjajah dalam narasi, walau, tidak harus mutlak ditafsirkan sebagai ekstensi dari diri-biografis.

[22] Penempatan kata sifat terang dalam “Isa” tampak berbeda jika dibandingkan dengan terang dalam “Siap-Sedia” (1944) yang pernah dimuat di Asia Raya dan Kebudayaan Timoer tahun 1944; terang tertulis dengan huruf kapital dalam ‘Dunia Terang’, dalam posisi yang tampak terancam dan mengancam oleh keberadaan pedang: Kawan, kawan/ Kita mengajoen pedang ke Doenia Terang! Dalam “Isa”, terang adalah sesuatu yang dibayangkan dalam darah korban kekerasan tentara imperialis yang bengis; dalam “Siap-Sedia”, terang adalah bagian dari Dunia Terang yang hendak dituju oleh tentara imperial yang bengis. Dalam “Siap-Sedia”, Anwar menjadi bagian dari propaganda tentara fasis sekaligus korban, yang membuatnya sajaknya tampak mengancam dan terancam aparatus imperial Kempeitai sekaligus. Perhatikan pula kehadiran frasa terbajang dengan terang-menyilaoe di matakoe dalam teks penutup pidato Anwar (Juli 1943) yang memuji heroisme Kolonel Yasuo Yamasaki dan perwira-perwira kekaisaran Jepang yang bertempur di Pulau Attu (Mei 1943); penggunaan kata terang dalam puisinya tidak mungkin dipisahkan dari kesadaran akan keberadaan sorotan lembaga propaganda Jepang.

[23] Saya sepenuhnya setuju dengan temuan yang ditunjukkan oleh Boen S. Oemarjati (1972: 121), dengan sangat teliti, dalam Chairil Anwar: The Poet and His Language (Brill; 1972) bahwa Chairil sering menggunakan kata penunjuk ini sebelum kata benda. Bahkan, Anwar menempatkan kata penunjuk ini mendahului kata sifat — sehingga adjektiva akan tampak seperti nomina—seperti ditunjukan oleh beberapa larik dalam sajak-sajaknya: Ini sepi terus ada atau Ini renggang terus terapat. Pembahasan stilistika Chairil Anwar, dengan implikasinya terkait konvensi  gramatikal Bahasa Indonesia, terdapat dalam bab ketiga buku yang ditulis oleh Oemarjati tersebut, “Chairil Anwar’s Language” (hlm. 111-138).

[24] Hal ini sangat menarik; sebelum puisi “Isa” tertulis, Chairil Anwar tercatat pernah menulis teks yang berhasil mengangkat suara karakter dengan memakai kaidah penulisan kalimat langsung, seperti tampak dalam puisi “Pelarian” (Februari 1943), satu karakter dalam badan teks tampak bicara menyatakan dirinya ada (“Akoe ada!”), dengan sangat hidup: Maoe apa? Rajoe dan peloepa,/Akoe ada! Pilih sadja!/Boedjoek dibeli?/Ataoe sungai soenji?/Mari! Mari!/Toeroet sadja!

[25] Esai ini tidak fokus menelaah konstruksi tubuh biologis seorang manusia; saya tidak bermaksud menunjuk bentuk dan isi tubuh biologis dalam komposisi detail dan pasti, misalnya berdasarkan rasio populasi mikrobioma dan jumlah sel (lihat Sender, R., Fuchs, S. & Milo, R.; “Revised estimates for the number of human and bacteria cells in the body”, preprint bioRxiv, 2015; Jurnal PLOS Biology, 19 Agustus, 2016): apakah komposisi jumlah mikrobioma—triliunan bakteri, virus, dan eukariota yang hidup dalam tubuh—jauh melebihi jumlah sel dalam tubuh dalam skala 10:1 seperti estimasi yang disebutkan oleh mikrobiologis Thomas Luckey pada tahun 1972, atau apakah skala perbandingan populasi mikrobioma dan sel adalah mendekati 1:1 seperti estimasi yang ditunjukkan oleh Ron Milo dan Ron Sender dari Weizmann Institute of Science, Rehovot (Israel) dan Shai Fuchs dari Hospital for Sick Children,Toronto (Canada) pada 2015-2016 (Akses terbuka atas riset ini dapat ditemukan di PLoS Biol 14(8): e1002533. https://doi.org/10.1371/journal.pbio.1002533).

[26] Dalam konteks ini, saya ingin membandingkan suara Isa yang mewakili dirinya dalam teks biblikal yang tertulis dalam bahasa Melayu. Dalam “Linguistic variety in later nineteenth-century Dutch-edited Malay publications”, linguis Waruno Mahdi dari Fritz Haber Institute of the Max Planck Society menunjukkan bahwa terjemahan Biblia 1731 dan 1733 yang dikerjakan oleh Melchior Leydekker memakai bahasa Melayu Tinggi yang menyerap kata-kata dari Arab, masih memakai kata Isa dalam Perjanjian Baru, seperti teks Injil Matius 4:17: “Dari pada tatkala itu maka baharu Isa memulai berkhotbah, dan bersabda: tobatlah kamu, karena kerajaan surga itu sudah damping” (Leydekker-Werndly Bible of 1731; transliterasi oleh Mahdi, Nusa 60, 2016: hlm 113-114). Kata ‘Jesus’, menggantikan ‘Isa’, muncul dalam terjemahan Perjanjian Baru versi ‘Surabaya’ 1835 yang meninggalkan bahasa Melayu Tinggi dan serapan kata-kata bahasa Arabnya, seperti tampak dalam Matius 4:17-18 berikut: “Maka deri pada tatkala itoe memoelailah Jesus mengadjar, sabdanja: tobatlah kamoe, karna keradjaän sorga soedah dekat.” (transliterasi oleh Mahdi Nusa 60, 2016: hlm 114-115). Terjemahan Perjanjian Baru yang dikerjakan H.C. Klinkert (Bazaar Malay of New Testament), dipublikasikan tahun 1861 dan 1863, memakai kata ‘Jesoes”.

[27] Repetisi nomina konkret darah (enam kali) tentu telah membuat imajinasi kita membayangkan wujud-konkret tubuh menjadi terkotori oleh wujud-konkret darah tersebut. Namun, saya tidak yakin Anwar sedang menekankan tensi antara uncleanliness dan cleanliness yang mendefinisikan tubuh kotor dan tubuh bersih/higienis. Saya sendiri menafsirkan bahwa Chairil fokus mengasosiasikan tubuh terjajah sebagai tubuh yang terkotori, bukan tubuh yang kotor. Terkait kebersihan tubuh dan budaya, saya teringat studi Jean Gelman Taylor, dalam “Bathing and hygiene Histories from KITLV Images Archives” (Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor, Cleanliness and Culture: Indonesian Histories; Brill; 2011, 41-60) yang menunjukkan fakta menarik bahwa orang-orang Belanda di Hindia Belanda justru mengadopsi kebiasaan mandi setiap hari, termasuk mandi pagi hari, dari orang lokal yang dijajahnya. Para penjajah di Hindia Belanda memiliki bak air dengan keramik, khusus untuk mandi, lebih dahulu dari orang-orang Belanda di Belanda. Taylor (2011: 56) menekankan bahwa orang-orang terjajah tidak meninggalkan kebiasaan mandi setiap hari dan tidak meniru penjajah Eropa yang hanya mengelap badan dan jarang mandi. Khusus untuk konteks budaya membersihkan tubuh setiap hari ini, orang Eropa mengadopsi kebiasaan orang Asia, tapi orang Asia tidak mengadopsi kebiasaan orang Eropa. Sayang sekali, saya tidak dapat memastikan dengan jelas dari lokasi geografis mana (apakah ketersediaan air dapat diakses dengan segera?) orang-orang terjajah higienis yang dimaksud oleh Taylor tersebut.

Esai31 Agustus 2022

Tomy D. Ginting


Tomy D. Ginting, lahir di Purwakarta, 16 Januari 1985, menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang ilmu teologi di Tokyo Christian University, 2020. Sejak 2003, sajak-sajaknya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dipublikasikan dalam antologi atau jurnal cetak, dan situs sastra daring. Buku pertamanya, Hikmat Keba(j)ikan: Sekumpulan Sajak Sederhana (Sleman: Indie Book Corner, 2015), sebuah prosa humor yang ditulis untuk menghina sajak-sajaknya sendiri, dicetak sebanyak sepuluh eksemplar.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.