Macam-macam argumen tentang kanon dan keperluannya sudah disampaikan oleh pemikir-pemikir yang lebih kompeten dan relevan. Masalahnya, haluan manapun yang diambil—entah apakah ia benar penting atau ia adalah setan—tidak ada keputusan yang akan pernah benar-benar memuaskan semua pihak. Salah satu dalih yang disampaikan adalah, bahkan jika kanon tidak ada pun, akan ada sistem lain yang kurang-lebih sama yang menggantikannya.[1] Ekspansi, sebagai alternatif, juga akan memantik reaksi yang tidak jauh dari status quo. Pada akhirnya, tidak akan pernah ada jawaban yang menyenangkan semua orang ketika pertanyaan yang diajukan melibatkan “baik” dan “buruk”.
Perlu saya akui duluan, persoalan kanon ada di luar ranah saya; bahkan, pemahaman tentangnya datang jauh setelah saya jadi penulis. Sebagai orang yang melalui era obsesi meriam—cannon—kali pertama mendengar kata ‘kanon’, saya pikir, oh, jadi sastra punya senjata. Tetapi, tampak jelas bahwa kanon tidak bisa ditembakkan—mengecewakan. Setelah pencarian kilat, basisnya, ternyata, adalah kata dari bahasa Yunani yang artinya kurang-lebih adalah ‘penggaris’—mengecewakan. Kata ini kemudian digunakan sebagai istilah yang mengindikasikan aturan-aturan gerejawi—hukum kanonik—sebelum akhirnya, dia dijadikan sebutan untuk daftar bacaan yang “bagus”. Di belahan dunia lain yang memiliki tradisi literatur yang lebih panjang, pemaknaan kanon dibatasi pada penggunaannya di lingkup pendidikan, tetapi pada dasarnya, kanon yang diharapkan oleh sastra menyiratkan kehendak untuk memiliki “standar”.
Kata ini sangat mudah memantik perdebatan: Standar apa? Ada yang bilang, standar yang perlu dipenuhi karya kanon bersandar pada kualitas estetika dan nilai-nilai yang tersirat. Ketimbang pemaknaan yang dibatasi dalam lingkup pendidikan, dalam lingkungan sastra Indonesia, kanon memiliki lebih banyak ide-ide estetik dan artistik ketimbang semata-mata bahan pembelajaran,[2] dan standar estetikanya meliputi penggunaan “bahasa sastra” ketimbang “bahasa lisan” yang dianggap kurang indah.[3] Dari situ saja, sudah bisa muncul pertanyaan panas yang lain lagi: citra estetika siapa yang kita penuhi?
Kuasa, sekali lagi, punya peran—bagaimanapun, kanon bisa menentukan hidup-matinya suatu karya. Masalahnya, tidak ada peraturan saklek yang mengatur klasifikasi karya sebagai kanon, jadi pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak benar-benar ada jawabannya.
*
Apa argumen terbesar yang menantang keberadaan kanon? Jawaban singkatnya: bias. Penciptaan kanon bergantung erat pada pemegang kuasa yang menjatuhkan palu, dan entah dari dalam diri mereka sendiri atau karena dorongan lingkungan atau karena mereka, dalam idealisme mereka sendiri, hendak mengukuhkan “nilai-nilai bangsa dan atau budaya”[4], prasangka dan bias tidak mungkin tidak bermain dalam pengambilan keputusan. Kanon sastra Anglo-Saxon banyak dikritik karena dibuat dan diisi hampir seluruhnya oleh lelaki kulit putih heteroseksual. Praktik sejenis ini—menjagokan lelaki heteroseksual dari ras atau etnisitas dominan—bertahan sampai sekarang; salah satunya, ironisnya, karena adanya kanon yang diciptakan oleh orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai ini. Sebagai akibatnya, dapat jadi khalayak menganggap bahwa suara yang perlu didengar hanyalah suara dari satu identitas tertentu; bahwa orang-orang dengan identitas ini lebih berbakat, lebih mampu, ketimbang berbagai sosok dari identitas-identitas lainnya. Pada akhirnya, terjadi pelanggengan dominasi suara, yang dapat berakibat pada opresi terhadap suara-suara lain. Representasi budaya dan sejarah yang monolitik ini adalah ekspresi ketidakadilan yang meresahkan, sehingga wajar ada banyak oposisi terhadap kanon.
Dari sini, tampak isu lain yang bahkan lebih meresahkan lagi: kanon memiliki kemampuan untuk “mengawetkan” sebuah pandangan—dan ini bisa jadi pedang bermata dua. Tentu, bertahannya pemikiran yang “bagus” adalah poin besar yang mengunggulkan kanon. Tetapi, selain bahwa pemikiran yang “buruk” juga mungkin saja jadi bertahan gara-gara kanon, kita juga perlu memikirkan betapa moralitas terus berubah—konsep baik dan buruk selalu berubah. Lagipula, bukankah pernah ada masa di mana kegiatan membaca dianggap sebagai “racun anak muda”, persis seperti penyakit “main HP terus” di masa kini? Bukankah banyak hal yang kini kita anggap sebagai “ide bagus”? Bahkan “hak asasi manusia” pernah dianggap sebagai “gagasan radikal”? Dan pembelanya bahkan ada yang menemui kematian demi gagasan-gagasan itu?[5] Ada begitu banyak pemikiran hebat yang pada masanya dianggap kebohongan besar, dan karya-karya yang menampungnya tidak akan pernah hadir dalam kanon. Dan agar suatu gagasan—suatu karya—dianggap “radikal”, dia bergantung pada gagasan yang sudah ada sebelumnya—dengan kata lain, satu karya dengan ide besar hanya bisa jadi karya dengan ide besar karena ada karya besar lain sebelumnya yang mereka tentang.[6] Maka, kanon melahirkan anti-kanon yang pada akhirnya adalah kanon yang akan melahirkan anti-kanon baru yang kelak akan jadi kanon juga—perang eksistensi kanon adalah ouroboros. Tetapi apakah berarti pembahasan tentang kanon adalah kegiatan sia-sia? Tidak juga—mungkin ia perlu didekati dengan sikap yang lebih tenang.
*
Kebutuhan akan kanon sastra, seperti banyak hal yang dianggap punya satu jawaban absolut, bergantung pada orang-orang yang menghadapinya—dan bukan konsensus, melainkan per individu. Apakah penulis membutuhkan kanon? Butuh, mungkin tidak—tapi ingin? Saya tidak bisa menjawab mewakili semua penulis, tetapi saya lebih tertarik ketika saya kira kanon sastra mengambil bentuk yang sejenis dengan lantaka. Meskipun begitu, tentu ada suara lain. Ada banyak penulis yang berkarya sambil mendambakan keabadian—“art is immortal”, katanya, dan ada banyak yang ingin “meninggalkan jejak di dunia”. Bagi mereka yang percaya pemikiran dan dirinya pantas menjangkau masa yang melampaui usia mereka sendiri, kanon bagai mata air keabadian yang dicari para kaisar di masa lampau. Bagaimanapun, kanon adalah ingatan. Dalam cakupan yang lebih dekat, ia adalah kemasyhuran—dengan penghasilan megap-megap, ketiadaan jaminan keselamatan dalam bentuk apapun, gersangnya antusiasme, sambutan adalah hal yang wajar diinginkan penulis—mereka bisa dapat apa lagi? Dan sebagai manusia, kanon mungkin bisa menjadi sandaran—validitas, bahkan—bahwa sesuatu yang kita pikirkan, barangkali, ada benarnya, dan atau bahkan perlu didengar. Bukankah penerimaan adalah hal yang didambakan banyak manusia?
Namun, untuk separuh lain yang punya ambisi lebih kecil, keributan akibat kanon adalah hal yang tidak perlu diselami melainkan hanya perlu dimaklumi. Bagaimanapun, ada alasan yang lebih konkret untuk menginginkan inklusi dalam kanon: kanon meletakkan nama seorang penulis di peta, membuatnya mudah ditemukan, dan kemungkinan akan bisa memberikan lebih banyak pembacaan, dan bahkan penjualan. Kebutuhan-kebutuhan realistis seorang penulis—yang seringkali disembunyikan demi citra “menderita demi karya”—juga adalah hal yang sering menginisiasi gerakan-gerakan politis di lingkungan sastra, dan secara pragmatis hal ini dapat diwajarkan.
Tapi—sekali lagi—butuh? Mungkin kata yang terlalu besar.
Bagaimana dengan pembaca? Sekali lagi, tergantung individu. Ada keuntungan dari memiliki kanon sebagai panduan—bagaimanapun, dengan banyaknya judul yang tersedia, tentu kita bisa bingung harus mulai dari mana. Mengambil rekomendasi dari daftar yang kabarnya berisi karya-karya terbaik bisa menjadi permulaan yang bagus. Menemukan karya yang tepat bisa menjadi titik mula kesenangan membaca.
Tetapi, sekali lagi, apakah karya yang tepat ada dalam kanon? Belum tentu. Sebagai pembaca, secara pribadi, adanya “standar” malah memberi tekanan, bukan bimbingan. “Kalau tidak suka ini, apakah berarti selera saya buruk? Apakah saya bodoh? Apakah saya tidak berbudi dan berakhlak dan beradab dan berbudaya dan berakal dan—” Ketidakcocokan seperti ini menjadi momok sepanjang masa remaja, dan bisa menjadi alasan seseorang tidak meneruskan membaca. Kalaupun alienasi yang tercipta dari perselisihan selera bisa diatasi, di tahap berikutnya sebagai pembaca veteran, kanon juga memfasilitasi elitisme yang tidak diperlukan dalam kegiatan membaca. “Bacaanku lebih baik dari bacaanmu” mudah—dan sudah—timbul dengan adanya daftar “bacaan terpelajar”, dan ini membuat hobi jadi menyebalkan.
Di sisi lain, argumen pro-kanon berpendapat bahwa gerakan anti-kanon mengindikasikan kemungkinan adanya sikap-sikap anti-intelektualisme. “Apakah seseorang tidak suka buku A karena buku A merepresentasikan hal yang buruk, atau karena buku A terlalu sulit?” Namun, mungkin perlu dicatat juga bahwa tidak semua kegiatan membaca adalah kegiatan yang bertujuan untuk mencerdaskan diri. Bagi banyak orang, membaca dimulai karena cinta. Haruskah kita mencintai sesuatu karena itu adalah opsi yang cerdas? Tidak bisakah kita mencintai karena kita mencintai? Ini, tentu saja, adalah simplifikasi. Bagaimanapun, ada keresahan nyata yang diperjuangkan mereka yang mempertanyakan kanon. Akan tetapi, bukan berarti kegelisahan sederhana ini salah.
Dan mungkin ini yang menyulitkan dalam kesusastraan: Semua orang begitu reaktif, dan satu pendapat—tidak perlu berbeda!—dengan begitu mudahnya bisa dilanggengkan sebagai mosi “us vs them”.
*
Sejauh ini, yang disajikan adalah serpih-serpih yang masih menyokong ide tentang kanon, di luar bentuk fisiknya, sebagai senjata. Tetapi, mengikuti tradisi yang lebih tua yang mengatur bahwa kanon dibutuhkan sebagai bahan ajar, ada pembelaan memadai untuk mendukung keberadaan kanon: karya dalam kanon lebih mungkin tersedia.[7] Dengan demikian, keterbatasan akses dan atau dana mungkin dapat dilintasi. Akan tetapi, pembelaan ini terbit dengan asumsi bahwa karya yang dikanonkan tersedia. Pada kenyataannya di Indonesia, banyak karya “klasik” yang justru lebih sulit dicari daripada karya-karya kontemporer.
Pembelaan lainnya adalah, dalam pendidikan, karya sastra diajarkan sebagai alat ajar yang umumnya tujuannya adalah penguasaan bahasa Indonesia formal.[8] Klasifikasi karya sastra yang memenuhi kriteria ini jelas dapat diwajarkan. Misi muluk-muluk pendidikan untuk menghaluskan perangai dan nilai-nilai moral juga perlu dijawab—di luar perdebatan soal nilai moral kelompok mana yang difasilitasi, sepertinya wajar kalau institusi pendidikan tidak bisa secara formal mengajarkan, misalnya, Marquis de Sade.
Selain itu, dengan menggunakan tuntunan kanon, hanya ada sejumlah judul yang relatif tetap yang perlu diajarkan di sekolah. Pengajar tidak perlu mempelajari karya baru untuk ditelaah setiap tahun; cukup karya-karya yang ditentukan kanon. Bisa kita asumsikan bahwa pengajar yang sudah familier dengan bahan ajarnya, akan lebih mudah menyalurkan pengetahuannya kepada anak didik. Jika optimis, kita bisa mengharapkan hal ini bukan hanya akan membantu anak didik memahami kurikulum, tapi membuat mereka tertarik dengan karya sumber itu sendiri. Mempertimbangkan kebutuhan dan batas-batas institusi pendidikan, keberadaan kanon bisa dikatakan merupakan bantuan besar yang sepertinya sah-sah saja diteruskan.
Tetapi, itu argumen untuk institusi pendidikan. Kebetulan, yang dimintakan oleh ToR redaksi adalah pengalaman saya—yang, terakhir kali diperiksa, ternyata sama sekali bukan institusi pendidikan. Perlu dicatat bahwa pandangan saya hanyalah merepresentasikan pengalaman dan pemikiran saya dan sama sekali bukan perwakilan jaringan pengalaman seluruh umat manusia, tapi sebagai mantan anak didik yang membaca, saya menganggap kanon sangat sangat menyebalkan.
Masalah 1: Selera saya tidak difasilitasi oleh kanon. Kerisauan yang disebutkan lebih awal di tulisan ini—mengenai alienasi yang dilahirkan oleh kanon—adalah pengalaman pribadi yang mengusik sampai hari ini. Masalah 2: Meskipun karya yang masuk dalam pelajaran Bahasa Indonesia “sepertinya” itu-itu saja, tidak ada pembacaan yang lebih mendalam, dan penjelasan yang ditawarkan tentang “teknik”, “makna”, “struktur”, dan seterusnya, yang sepertinya ada dalam pembahasan soal, sama sekali tidak mampu menjelaskan baik makna karya maupun kebutuhan kurikulum, dan pada akhirnya hanya menimbulkan kebingungan dan kekesalan. Masalah 3: Pengulangan karya di kurikulum membuat saya cemas: Hanya ada inikah? Apakah tidak ada karya lain—sebagai alternatif, dan atau sebagai indikasi bahwa ada karya sastra lain di luar sana? Apakah hanya ada Chairil Anwar di dunia ini? APAKAH HANYA ADA “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR DALAM REPERTOAR CHAIRIL ANWAR? TOLONG. Masalah 4, yang sudah disebutkan sebelumnya dan juga masih menggelayut sampai sekarang: Kalau saya tidak menyukai mereka, apakah berarti saya tolol?
Masalah-masalah 1, 3, dan 4, sebetulnya, ditautkan oleh benang merah berupa adanya keinginan membaca, adanya harapan akan alternatif, adanya kebutuhan akan validasi, dan alternatif yang tervalidasi. Selain saya, pasti ada juga oknum-oknum yang mengharapkan adanya daftar “bacaan bagus” alternatif yang memiliki reputasi sama baik. Berarti, bukan sekadar daftar alternatif yang diinginkan, tapi juga penerimaan, akomodasi, dan dukungan yang setidak-tidaknya hampir sama dengan konsumsi karya-karya dalam kanon.
Memenuhi keinginan-keinginan individual, jelas adalah tugas yang tidak mungkin bisa diakomodasi kanon maupun macam-macam alternatifnya. Tapi mungkin saya mengharapkan kanon kelak (atau, segera) bisa mengupayakan pertimbangan yang berorientasi pada varian selera dan atau genre dalam penyusunannya, alih-alih semata-mata kebahasaan yang sesuai atau indah, dan atau konsep “tak lekang waktu”.
Pada 2017, saya mendapat tugas menarik untuk membantu menyadur karya-karya klasik untuk “Sastra Budi Pekerti” bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan ini adalah kejadian yang menyenangkan sekaligus membuat agak sedih, karena kalau sekolah mencekoki kami lebih dini dengan “Ziarah”-nya Iwan Simatupang dan keanehan-keanehan menakutkan Danarto, mungkin saya tidak akan menunggu sampai kuliah hampir habis untuk mencoba mendekati sastra Indonesia.
Pada usia sekolah, saya pikir, kebutuhan atau keinginan untuk “menemukan mereka yang berpikiran sama (atau bahkan lebih parah lagi)” sangat kuat; saya pikir, tak ada salahnya membiarkan mereka membaca karya-karya yang, dalam hal konsep maupun bentuk, “ajaib”, di samping tulisan-tulisan dengan muatan adat, politik, dan atau sejarah (dan atau perkawinan… entahlah…). Toh, pengalaman manusia per manusia, bukannya sama sekali tidak bisa memaparkan kenyataan-kenyataan sosial dan merepresentasikan “nilai-nilai nasional”, apabila itu konten gagasan yang diharapkan oleh kanon.
Mungkin genre (dan bentuk?) yang terepresentasikan oleh kanon memang adalah masalah utama saya dengan dirinya; ketika masih di usia sekolah (bahkan mungkin, hingga saat ini), ada jenis bacaan yang sepertinya dianggap “kurang matang” atau “kurang dewasa” yang lebih saya sukai—fantasi, “bacaan anak kecil”, dan macam-macam lain yang dianggap tidak cukup serius. Ini, barangkali, terpapar saat saya menyebutkan masalah 4 yang, untungnya, saya anggap, telah kurang-lebih terselesaikan dengan penerimaan kenyataan bahwa kecerdasan bukanlah kekuatan saya, dan bahwa rasa suka orang lain tidak ada urusannya dengan rasa suka saya. Tapi, kalau personal breakthrough ini dikesampingkan, ketimpangan harapan dan ketersediaan sebetulnya juga membuat kanon jadi memberatkan. Mungkin saya terlalu fokus mencari buku-buku bernaga, berhantu, bermonster, berkelinciyangbisabicara, tapi kalaupun tidak bisa menemukan sosok-sosok fantastis, bahkan sampai sekarang pun, saya masih agak sulit mencari tulisan-tulisan yang bebas atau hampir bebas dari sisipan kisah asmara dan atau konten seksual. Tentu, ada karya-karya yang memuat konten asmara dan atau seksual dengan apik (“Kereta Semar Lembu”-nya Zaky Yamani adalah bacaan yang menyenangkan), tapi kedua hal ini sulit sekali dihindari, dan untuk pembaca yang kurang nyaman menghadapinya, kanon sama sekali tidak membantu. Memang, kalau dilihat sebagai bentuk preferensi pribadi, ini adalah cerminan orang banyak mau (tidak mau baca sejarah, politik, adat, sekarang tidak mau baca romansa dan seks pula), tapi akui saja: kanon jarang sekali memberikan opsi untuk tidak membaca konten-konten ini.
Lagipula, bagaimanapun, anak-anak biasanya memulai kebiasaan membaca dengan membaca karya yang ramah anak-anak—alias, yang bukan hanya punya karakter anak-anak, tapi karya-karya dengan konten (dan, mungkin, tutur) yang akrab dengan anak-anak usia sekolah. Karya-karya “ramah anak” yang mengucur ke dalam pendidikan maupun keseharian, seringnya adalah karya dari luar Indonesia. Wajar saja, kalau setelahnya, anak-anak jadi lebih familier dengan karya-karya luar. Padahal, kita pun ternyata punya “Pak Supi”-nya Siti Rukiah Kertapati, dan Arswendo Atmowiloto bukan hanya punya “Keluarga Cemara” tapi juga “Darah Nelayan”… Meskipun, perlu diakui, karya-karya sastra ramah anak agak sulit dibongkar, sepertinya—tapi setidaknya, sekarang kita punya Cyntha Hariadi, kan? Atau, kalau tidak mau meletakkan anak sebagai sentral, boleh-boleh saja “Lauk Daun”-nya Hartari disuguhkan sebagai karya komedik yang insisif; atau, Ratna Indraswari Ibrahim dan koleksi karyanya yang masif sebenarnya adalah opsi yang secara teknik menawan dan secara konten menggugah. Pokoknya—kalau kanon mempersilakan pengalaman membaca yang lebih variatif, sepertinya ia akan jadi teman sekolah yang lebih menyenangkan alih-alih guru yang galak.
Dan, sekali lagi, sepertinya inilah masalah terbesarnya kanon: redupnya rona keberagaman yang terepresentasikan di dalamnya. Saat penyusunan “Sastra Budi Pekerti”, misalnya, saya yang di ujung SMA baru sadar bahwa saya tidak pernah berpapasan dengan karya sastra perempuan Indonesia (sebagian besar karena saat itu belum mencari, tapi sebagian lain adalah karena hanya pernah menemukan R.A. Kartini di teks bahasa Indonesia), merasa agak gelisah karena untuk tiga jenjang sekolah dan tiga buku yang akan dihasilkan, dengan dasar sekitar 30-an karya dan atau penulis, kalau tidak salah, hanya Hanna Rambe dan N.H. Dini penulis perempuan yang hadir di sana. Ini hanya satu sampel identitas, dan tentang identitas yang terepresentasikan secara dominan, seperti juga persoalan “sastra anak/untuk anak”, adalah topik yang perlu dibahas di tempat lain, tapi ini rasanya cukup menggambarkan apa yang hilang atau bisa hilang, kalau bukan “dihilangkan”, karena/oleh kanon.
*
Upaya menjawab masalah 1 dan kebingungan yang berakar dari masalah 3 adalah salah satu alasan saya menulis: kalau jenis tulisan yang saya sukai tidak ada, atau belum saya temukan, ya, baiklah, saya buat sendiri saja—dengan demikian, kalau memang tidak ada, dia akan ada, dan mungkin kalau saya buat dengan cukup baik, akan ada lebih banyak karya sejenis yang menyusul dan dengan demikian saya akan dilimpahi bacaan-bacaan menyenangkan; dan kalau semata-mata belum saya temukan, mungkin orang-orang yang menyukai hal yang sama akan berkumpul dan menunjukkan jalan. Jadi, bisa dibilang, ya, kanon—atau tepatnya, kemarahan terhadap kanon—membuat saya menjadi penulis.
Serunya, kanon juga yang membuat menulis menyebalkan—setidaknya sampai beberapa tahun terakhir ini. Karena terekspos dengan kontennya yang, secara kasar, bisa dibilang monoton, saya pikir, itulah syarat-syarat suatu tulisan dianggap karya yang bagus (ini satu napas dengan kecemasan tentang kanon, suara dominan, dan “identitas yang dianggap lebih mampu” yang diutarakan di atas). Kanon jadi sejenis peer pressure—saya merasa harus menulis konten romansa dan atau seksual, padahal menulis orang berpegangan tangan saja sudah membuat saya mual. Topik yang boleh dipilih terbatas, atau, kalaupun tidak mengambil satu pun dari pilihan yang tersedia, lokasinya harus lokal (tolong kami, Budi Darma). Ketakutan-ketakutan yang diakibatkan kanon ini terus memojokkan sehingga rasanya saya harus kabur dari identitas sendiri—tentu saja, karena tidak tahan, ia akhirnya dihadapi dengan bus berbahanbakar ikan yang hilir-mudik menggotong lelembut. Tapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana kalau kanon juga menghantui mereka, dan bagaimana kalau hantunya tidak mau pergi?
Meskipun kurang menyenangi kanon, saya ingin bersikap optimis: Saat ini, sastra sedang sangat bercorak dan berwarna, baik dalam bentuk karya maupun dalam diskusi; tidak mungkin keriuhannya akan diindahkan terus-terusan. Kanon di masa mendatang juga pasti akan ada masalah-masalah—bahkan, mungkin, masalah yang sama—tapi setidaknya suara yang berisik sekarang, pasti ada yang terdengar.
*
Masalah 2 sedikit lebih sulit, tapi mungkin merupakan simpulan pemikiran saya tentang kanon:
Pengajaran karya sastra di sekolah hanya sedikit sekali gunanya kalau pembahasannya hanya dibatasi pada keperluan kurikulum—entah apa itu; mungkin menyoal majas, atau kalimat majemuk, atau sejenisnya. Menjadikan karya sastra sebagai “tempelan” dalam bahan ajar tidak menumbuhkan apresiasi sastra, bahkan tidak mengajarkan tata bahasa secara efektif. Anak-anak yang memang, atau pada akhirnya, berminat pada sastra, seringkali tidak diimbangi dengan tenaga pengajar yang sama antusiasnya atau memiliki pemahaman memadai, sehingga mereka seringkali harus mempertahankan minat mereka sendiri, tanpa dukungan, atau bahkan secara aktif diberantas (razia buku, I’m looking at you). Jadi mungkin sedikit sekali gunanya mempertahankan kanon kalau tidak dibarengi dengan upaya membentuk minat terhadap karya sastra pada staf pengajar. Perselisihan selera dengan kanon akan selalu ada, dan staf pengajar yang berwawasan akan membantu siswa menemukan alternatif.
Baik siswa maupun pengajar, tentu saja, sekarang bisa mencari alternatif secara mandiri lewat internet, meskipun, sekali lagi, mungkin upaya ini akan jadi ekstra rumit karena luasnya ketersediaan dan keberagaman judul di masa kini. Tapi ini justru merupakan kesempatan gemilang: di masa kini, kita punya bekal lebih untuk mempertanyakan kanon. Dan mendekati kanon dengan sikap kritis dan inkuisitif adalah langkah yang dibutuhkan dalam menanggapi keberadaan kanon yang tak terelakkan: bukan semata-mata menerima atau menyerang, melainkan menanggapi, mencari lebih jauh, membaca lebih dalam, dan memproses dengan lebih serius. Kanon sebagai bahan ajar berarti membuka diskusi, dan mau tidak mau, pengajar harus memfasilitasinya. Membimbing murid—pembaca—untuk memandang satu daftar “otoritatif” sebagai bahan telaah, bukan semata-mata komando absolut, dan meminta dan menelusuri pendapat mereka—ini akan jadi PR buat pendidik, tapi kalau mengharapkan kanon akan dapat membimbing pemahaman bahasa dan atau apresiasi sastra yang lebih baik, ini adalah jalur yang lebih efektif ketimbang menghapuskan kanon serta-merta atau semata-mata menggunakannya sebagai “hiasan” seperti yang kejadian selama ini.
Di luar ranah pendidikan, sikap ini juga perlu dipertahankan—terserah kuasa mana yang mencatat karya siapa, pembaca harus membangun kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan merasa. Tidak seharusnya data, peraturan, atau cemoohan dibiarkan mengontrol orientasi rasa individu—sebagai manusia, terutama manusia yang berpikir, marilah kita bahagia karena kita bahagia, bukan karena orang lain menyuruh kita bahagia.
Tidak ada yang tercipta tanpa guna. Kanon tentu—dan harus—terbuka untuk kritik, tapi bukan berarti keberadaannya sia-sia. Keyakinan-keyakinan absolutis tidak perlu selalu dipertahankan—kanon bisa berisi karya-karya yang tidak kita sukai dan tetap bermanfaat; kalau bukan untuk kita, mungkin untuk orang lain. Karya yang tidak masuk kanon, bukan berarti karya yang buruk—justru pembaca, dalam menghadapi karya kanonik, perlu menanggapinya dengan kritis; dengan kata lain, tanpa menumbuhkan keyakinan bahwa penulis karya kanonik selalu benar—bagaimanapun, nilai-nilai yang direpresentasikan masing-masing karya, seringkali berbeda-beda, bahkan bertentangan. Mungkin, yang lebih penting daripada apakah kanon masih perlu ada atau tidak, atau siapa yang ada di dalamnya dan yang tidak, adalah bagaimana menanggapi kanon yang sudah ada dan atau kanon-kanon yang akan ada. Toh, tanpa mengetahui cara memanfaatkan kanon yang sudah ada, kanon yang akan ada akan sama tersia-siakannya dan semata-mata hadir sebagai bahan pertengkaran. Maka, mungkin, ketimbang memprioritaskan reaksi impulsif yang eksplosif dengan harapan bisa keluar dari setiap debat sebagai jagoan intelek, membiasakan diri memproses dan memformulasikan pandangan pribadi dengan lebih tajam adalah pilihan yang lebih baik. Tentu ada kegelisahan-kegelisahan nyata—tentang penghapusan, stigma dan kebencian yang bahkan bisa menentukan hidup-mati, dan banyak lainnya—tetapi ada kemungkinan kita bisa berbagi eksistensi dengan kanon tanpa menjadikannya senjata.
Mungkin.
Daftar Pustaka
Alter, R. (2000). Canon and Creativity: Modern Writing and the Authority of Scripture, New Haven, USA: Yale University Press.
Fleming, M. (2007). The Literary Canon: Implications For the Teaching of Language as Subject, hlm. 1–10, https://rm.coe.int/09000016805a2aec
Fulton, K. (7 Feb 2020). The Literary Canon; Who Makes the Cut? WordPress. https://teacherfulton.wordpress.com/tag/criticisms-of-the-canon/
Landy, J. (12 Agust, 2019), Should We Abandon the Canon?, philosophytalk.org. https://www.philosophytalk.org/blog/should-we-abandon-canon
Smyth, D. (Ed.). (2000). The Canon in Southeast Asian Literature: Literatures of Burma, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Philippines, Thailand and Vietnam. Richmond, Inggris: Curzon Press.
[1] Kevin Fulton, (7 Feb 2020), The Literary Canon; Who Makes the Cut? WordPress. https://teacherfulton.wordpress.com/tag/criticisms-of-the-canon/
[2] E. Ulritch Kratz, (2000), The Canon of Indonesian Literature: An Analysis of Indonesian Literary Histories Available in Indonesia, The Canon in Southeast Asian Literature: Literatures of Burma, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Philippines, Thailand and Vietnam, David Smyth (Ed.), Richmond, Inggris: Curzon Press, hlm. 149.
[3] Kratz, The Canon of Indonesian Literature, hlm. 149
[4] Mike Fleming, (2007), The Literary Canon: Implications For the Teaching of Language as Subject, hlm. 3-4, https://rm.coe.int/09000016805a2aec
[5] Joshua Landy, (12 Agust, 2019), Should We Abandon the Canon?, philosophytalk.org.
https://www.philosophytalk.org/blog/should-we-abandon-canon
[6] Robert Alter, (2000), Canon and Creativity: Modern Writing and the Authority of Scripture, New Haven, USA: Yale University Press, hlm. 3.
[7] Mike Fleming, The Literary Canon, hlm. 3-4.
[8] Mike Fleming, The Literary Canon, hlm. 3-4.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie lahir dan tinggal di Bandar Lampung. Karya-karyanya termasuk Di Tanah Lada (2015), Semua Ikan di Langit (2017), Kita Pergi Hari Ini (2021), dan Tiga dalam Kayu (2022). Sejak 2009 hingga kini, tidak banyak melakukan apa-apa selain menulis.