Identitas dan Pengkhianatan: Membaca Poskolonial di Mata Kolonial

Foto oleh Aan Mansyur

Hella Haasse menutup novel pertamanya, Oeroeg (1948), dengan sebuah ironi: Oeroeg menodongkan sebuah pistol ke arah sang narator. Pergi, pergi dari sini, katanya. Ia siap menarik pelatuk kapan saja dan meninggalkan lubang menganga di kepala orang di hadapannya. Tak jauh dari Telaga Hideung yang puluhan tahun silam jadi bagian dari mimpi mereka berdua, ajal sang narator jaraknya hanya satu tarikan napas Oeroeg.

Akhir cerita ini begitu ironis, mengingat Oeroeg dibuka oleh bagaimana sang narator menjelaskan betapa ia dan Oeroeg tak pernah terpisahkan sejak lahir. Bahkan, ketika keduanya masih di dalam kandungan, ibu sang narator—seorang Belanda istri administrateur, selalu menghabiskan waktu bersama Sidris, istri sang mandor yang bekerja untuk keluarganya, yang saat itu juga sedang mengandung.

***

Oeroeg ditulis sebagai sebuah kilas balik sang narator akan masa kecilnya di pedalaman Priangan, Sukabumi, Jawa Barat, tepatnya di sebuah daerah bernama Kebon Djati. Ia adalah seorang anak seorang administrateur Belanda dan hidup bersama ayah dan ibunya di sebuah rumah dinas. Sebagai keluarga Belanda yang memiliki posisi tinggi di daerah tersebut, keluarga narator memiliki banyak pekerja pribumi yang mengurusi pekerjaan sehari-hari. Narator membuka cerita dengan bagaimana sejauh yang ia ingat, Oeroeg selalu berada di sampingnya—seakan kedekatan keduanya sudah digariskan oleh takdir.

Oeroeg adalah anak Deppoh, salah satu mandor yang bekerja untuk keluarga narator. Lingkungan yang penuh dengan kesibukan orang dewasa, juga kedua orang tua yang kurang harmonis dan kurang perhatian, membuat narator lebih merasa nyaman berada di dekat Oeroeg dan keluarganya, yang selalu ia anggap sebagai keluarga sendiri yang hangat. Sebagai anak-anak, narator dan Oeroeg membangun mimpi dan imajinasi bersama-sama, termasuk bagaimana mereka membayangkan Telaga Hideung yang dikenal angker menjadi sebuah misteri yang suatu saat ingin mereka pecahkan.

Hubungan antara narator dan kedua orang tuanya bisa dikatakan renggang, hingga narator menyadari bahwa banyak nilai-nilai orang tuanya yang ia tidak bisa ikuti, lebih-lebih percaya. Misalnya, setiap kali orang tuanya mengingatkan untuk tidak terlalu sering bermain bersama Oeroeg sebab ia berbeda dengan kita, ketika orangtuanya mengingatkan bahwa ia harus bersekolah sementara Oeroeg tidak, atau ketika ia merasa kecewa karena kedua orang tuanya merusak imajinasinya tentang Telaga Hideung saat mereka bersama kawan-kawan Belandanya hanya melihat telaga itu tak lebih dari sebuah objek wisata pada suatu malam setelah pesta makan malam. Di malam yang sama pula, Deppoh harus kehilangan nyawa ketika menyelamatkan narator yang tenggelam setelah rakit yang ditumpangi dengan ugal-ugalan oleh orang tua dan kawan-kawan kulit putih mereka patah. 

Kematian Deppoh menyisakan rasa utang budi yang cukup besar bagi orang tua narator, hingga mereka memutuskan untuk menyekolahkan Oeroeg bersama dengan narator. Pintu yang terbuka bagi Oeroeg, yang sebelumnya tak terbayangkan pernah ada, menjadi titik berangkat perkembangan karakter Oeroeg. Narator kerap menyebutkan bahwa selain pintar, Oeroeg juga beruntung. Ayah narator yang awalnya hanya berencana menyekolahkan Oeroeg sampai lulus pendidikan dasar, dengan hati yang agak berat melanjutkan sponsornya hingga Oeroeg ke sekolah menengah atas desakan dari pihak sekolah.

Oeroeg tumbuh menjadi remaja yang cemerlang, tetapi perkembangan Oeroeg ini rupanya justru menjadi sebuah kesedihan bagi narator. Menurutnya, Oeroeg sudah berubah: Oeroeg begitu dingin terhadap keluarganya sendiri, melupakan kepercayaan-kepercayaan mistik masyarakat desanya, berambisi terlalu tinggi, dan berbuat seenaknya terhadap orang-orang di sekitarnya termasuk orang-orang yang lebih tua. Tidak hanya itu, narator berpikir bahwa Oeroeg selalu memiliki akal untuk memikat orang-orang agar senantiasa mendukung ambisinya, termasuk Lida, induk semang Oeroeg yang juga orang Belanda.

Kekecewaan demi kekecewaan terhadap Oeroeg kian bertambah. Kerenggangan antara narator dan Oeroeg banyak berakar pada masalah rasial dan kelas, yang menarik Oeroeg semakin menjauhi narator—hal yang menjadi kesedihan narator sebab ia tumbuh tanpa melihat Oeroeg dengan kacamata politisnya. Tahun berlalu dan narator kembali ke Belanda untuk bergabung dengan tentara militan, tentara yang mengawasi pergerakan radikal pribumi. Sekembalinya narator ke Kebon Djati untuk bertugas, ia mengalami pertemuan tak terduga dengan Oeroeg dengan pistol di tangannya.

Novel Oeroeg pertama kali diterbitkan pada tahun 1948 di Amsterdam dalam Bahasa Belanda. Andrew Goss (2000) menyebutkan bahwa Oeroeg adalah salah satu karya pertama di Belanda pada saat itu yang membicarakan kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Novel klasik ini kemudian diadaptasi menjadi film, Oeroeg (1993), yang disutradarai oleh Hans Hylkema dan didistribusikan oleh Nederlandse Omroep Stichting (NOS) atau Yayasan Penyiaran Belanda.

Pada tahun 2009, novel ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Indira Ismail dengan judul yang sama. Sebelumnya, novel ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Margaret M. Alibasah pada tahun 1996 dengan judul Forever a Stranger and Other Stories. Pada tahun 2012, versi Bahasa Inggris lainnya menyusul, diterjemahkan oleh Ina Rilke dan terbit sebagai The Black Lake, merujuk ke Telaga Hideung yang selalu digambarkan oleh narator sebagai tempat mistis penuh keajaiban masa kanak. Selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, Oeroeg juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Italia oleh Fulvio Ferrari pada tahun 1992 dengan judul Il Lago Degli Spiriti (The Lake of The Spirits) dan L’amico Perduto (The Lost Friend) pada tahun 2017.

Bahasa selalu bersifat politis. Penerjemahan Oeroeg ke dalam berbagai bahasa tentu saja memungkinkan adanya perbedaan representasi yang berakar dari hal-hal politis tersebut. Pada tahun 2019, Cristina Peligra dalam disertasinya yang berjudul Representing Culture, Identity, Hybridity and Colonial Relations: A Paratextual and Textual Comparison of the Italian and English Translations of Hella S. Haasse’s East Indian Novels “Oeroeg” and “Heren van de thee” melihat bagaimana hubungan antara kolonial dan terjajah, hibriditas, budaya, dan identitas digambarkan dalam dua versi terjemahan Oeroeg, versi Bahasa Inggris dan Bahasa Italia.

Penerjemahan Oeroeg ke dalam Bahasa Indonesia sendiri nyatanya begitu dirayakan. Pada acara peluncurannya di Erasmus Huis Jakarta, 5 Oktober 2009, Duta Besar Belanda di Indonesia pada masa itu, Dr. Nikolaos van Dam, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penerjemahan Oeroeg ke dalam Bahasa Indonesia—enam puluh satu tahun setelah novel ini pertama kali diterbitkan, sebuah waktu yang sangat panjang—memberi kesempatan bagi pembaca Indonesia untuk melihat bagaimana Hindia Belanda digambarkan, sekaligus menguatkan hubungan antara Indonesia dan Belanda, serta mengingatkan untuk tidak terkungkung dalam penjara masa lalu.[1]

Berdasarkan informasi-informasi tersebut, setidaknya Oeroeg telah diterbitkan ke dalam empat bahasa: Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Italia, dan Bahasa Indonesia. Dari keempat bahasa tersebut, versi Bahasa Inggris barangkali memiliki readership atau pembacaan yang paling luas dibandingkan tiga bahasa lainnya. Keluasan pembacaan versi Bahasa Inggris ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana narasi dalam novel ini digambarkan dan dibentuk melalui medium Bahasa Inggris; narasi yang memiliki potensi pembacaan paling besar. Apabila van Dam mendorong pembaca Indonesia untuk menilik keadaan masa Hindia Belanda melalui terjemahan Bahasa Indonesia, saya tertarik untuk menilik bagaimana cerita ini disuarkan dalam Bahasa Inggris, sebelum versi Bahasa Indonesianya sendiri muncul. Dengan alasan ini, tulisan ini menggunakan versi Bahasa Inggris terjemahan Ina Rilke, The Black Lake (2012), sebagai subjek—dalam tulisan ini juga, cerita Oeroeg akan dirujuk sebagai The Black Lake

Sebelumnya, penelitian terhadap novel The Black Lake atawa Oeroeg ini telah banyak dilakukan, tentunya selain disertasi Cristina Peligra yang telah disebut di atas. Salah satu penelitian yang paling komprehensif adalah penelitian Henk M. J. Maier, “Escape from the Green and Gloss of Java: Hella S. Haasse and Indies Literature” (2004). Dalam penelitian ini, Maier memberi kritik terhadap bagaimana Haasse membayangkan Hindia Belanda, termasuk bagaimana ia mengabaikan relasi-relasi kuasa yang bekerja dan mereduksinya sebagai kepolosan dunia anak-anak yang digerus isu politik. Memang, pada masa itu banyak sekali orang Belanda yang lahir, tumbuh, dan menghabiskan seluruh hidupnya di Hindia Belanda sehingga terdapat kebingungan-kebingungan identitas dalam diri mereka. Namun, Haasse yang banyak melakukan perjalanan bolak balik antara Hindia Belanda dan Belanda sebelum kemerdekaan seharusnya memiliki pandangan yang lebih utuh terhadap dinamika politik dan kuasa yang terjadi. 

Persoalan identitas yang ambigu ini juga dijelaskan oleh Stefanie van Gemert dalam penelitiannya, “A Sort Of Wishful Dream’: Challenging Colonial Time And ‘indische’ Identities” (2016). Dalam tulisannya, van Gemert juga melakukan kritik terhadap ambiguitas identitas Haasse, yang disebutnya sebagai ‘belatedness’—seperti yang disebutkan oleh Homi Bhabha; di mana terdapat political blindness atau kebutaan politis terhadap ketimpangan dan kekerasan yang terjadi pada saat penjajahan berlangsung. Van Gemert, lebih lanjut, mendukung argumennya melalui studi perbandingan antara novel pertama Hella Haasse ini dengan novel terakhirnya, Sleuteloog (2002). Dari penelitian ini, van Gemert menyimpulkan bahwa kebutaan politis telah membuat Haasse terperangkap dalam imajinasi bahwa Hindia Belanda adalah sebuah tempat yang magis, sebuah kerajaan penuh dengan keajaiban. Maka, dalam Oeroeg banyak kita temukan imaji-imaji yang indah dan nostalgik tentang Hindia Belanda.

Diskusi mengenai kebutaan politis tidak dapat dilepaskan dari diskusi mengenai ingatan kolonial. Andrew Goss dalam “From Tong-Tong to Tempo Doeloe: Eurasian Memory Work and the Bracketing of Dutch Colonial History, 1957-1961” (2000) menyebutkan bahwa terdapat periode di mana ingatan dan sejarah mengenai kolonialisme Belanda di Hindia Belanda tak muncul untuk dibahas. Kondisi pasca Perang Dunia II yang tidak mengenakkan untuk Belanda menjadi salah satu faktor mengapa hal ini tidak dibicarakan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Oeroeg disebut sebagai salah satu dari beberapa media pertama yang membicarakan kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.

Argumen Goss tersebut kemudian didukung oleh Pamela Pattynama dalam “Cultural Memory And Indo-Dutch Identity Formations” yang terhimpun dalam buku Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands (2012) suntingan Ulbe Bosma. Dalam penelitiannya, Pattynama menyebut istilah colonial amnesia dan bagaimana memori mengenai kolonialisme muncul di Belanda. 

Penelitian-penelitian di atas secara komprehensif membahas pembentukan identitas orang Belanda di Hindia Belanda dengan pendekatan poskolonialisme, begitu pula dengan bagaimana sejarah kolonialisme ini dibangun dan diingat oleh orang-orang Belanda secara resmi di negerinya. Tulisan ini kurang lebih membicarakan hal yang mirip; soal identitas ambigu orang Belanda yang terbentuk Hindia Belanda. Akan tetapi, hal menarik yang ingin saya sorot sebagai orang yang berakar di Indonesia—Hindia Belanda—yang saya harap bisa melengkapi sudut pandang penelitian-penelitian di atas, adalah bagaimana dengan identitas ambigu tersebut orang Belanda di Hindia Belanda, yang diwakili dengan baik oleh tokoh narator dalam The Black Lake, memandang kesadaran poskolonial orang pribumi di sekelilingnya. 

Kentalnya narasi mengenai Hindia Belanda dalam novel ini juga melahirkan sebuah pertanyaan lanjutan yang cukup klasik: apakah Oeroeg merupakan bagian dari kesusastraan Indonesia, mengingat novel ini diterbitkan setelah Sumpah Pemuda dan revolusi Indonesia, dan berbicara mengenai tanah yang sama? Dalam kasus ini, di mana batasan-batasan sebuah karya untuk masuk ke dalam historiografi sastra Indonesia?

Tulisan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah pengantar yang berisi sinopsis, metadata, konteks sosial, dan penelitian-penelitian terdahulu mengenai karya ini. Bagian kedua membahas identitas ambivalen yang muncul melalui tokoh narator dan tokoh-tokoh Belanda lainnya, yang berkaitan dengan bagaimana identitas ambivalen ini mengandung bias-bias orientalis yang dijelaskan pada bagian ketiga. Pada bagian keempat dibahas hubungan antara identitas ambivalen ini dengan kesadaran poskolonial yang terbit di masa-masa akhir penjajahan Belanda, yang diakhiri oleh diskusi mengenai posisi Oeroeg dalam sejarah panjang kesusastraan Indonesia.

 

Sebermula Identitas yang Ambigu

Bahasan mengenai identitas ambigu dalam konteks kolonialisme telah sangat rinci dijelaskan oleh Homi K. Bhabha. Dalam konteks ini, ada baiknya kita menengok kembali beberapa pemikiran Bhabha yang dapat membantu kita membaca subjek penelitian ini, di antaranya adalah third space atau ruang ketiga dan ambivalensi. 

Dalam Location of Culture (1994), Bhabha tidak melihat hubungan antara si penjajah (colonizer) dan si terjajah (colonized) sebagai sesuatu yang biner. Hubungan ini disebutnya sebagai ruang ketiga, di mana terdapat sesuatu yang jauh lebih kompleks, dan tidak dapat dikendalikan oleh dua belah pihak. Ruang ketiga ini tercipta dari interaksi antara bermacam budaya dan identitas, yang kemudian menjadi situs negosiasi dan kontestasi. Di dalam ruang ketiga ini muncul berbagai kemungkinan akan adanya identitas dan pemaknaan baru yang sering kali berbeda dengan apa yang telah dikategorisasikan.

Salah satu yang mungkin muncul di dalam ruang ketiga ini adalah ambivalensi. Ambivalensi mencakup perasaan-perasaan, ide, dan sikap kontradiktif yang terjadi secara terus-menerus. Dalam argumennya, Bhabha berpendapat bahwa ambivalensi menjadi karakteristik hubungan antara si penjajah dan terjajah, yang kemudian membentuk identitas. Sebab itulah, identitas yang terbentuk dari ambivalensi ini juga kerap menantang identitas “semestinya”, dan membuka ruang alternatif untuk narasi dan subjektivitas. 

Membaca The Black Lake, hal yang paling menarik perhatian sejak awal adalah bagaimana narator membangun identitasnya. Ia adalah seorang anak Belanda, namun merasa lebih dekat dengan nilai-nilai lokal ketimbang nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Ambivalensi identitas ini terbangun kurang lebih demikian: ia lahir di tanah Hindia Belanda dan tumbuh dalam lingkungan yang berdekatan dengan para pribumi. Meskipun ia tinggal di rumah yang dibangun dengan batu dan semen dengan perabot-perabot peradaban Barat, serta dibesarkan dengan tata cara Barat dalam kehidupan sehari-harinya, tak bisa diabaikan bahwa dunia di luar rumahnya adalah dunia dengan kebudayaan dan peradaban lokal. 

Sejak awal penceritaan, narator berupaya untuk menggambarkan bahwa dirinya tidak berbeda dengan Oeroeg, yang secara bersamaan juga menafikan kejadian-kejadian yang berulang kali mengingatkan dirinya bahwa terdapat perbedaan antara dirinya dan Oeroeg. Terutama ketika narator menceritakan masa kecilnya; bagaimana ia begitu percaya dengan kisah Nenek Kombel penjaga Telaga Hideung yang diceritakan oleh Satih, sepupu Oeroeg, dan bagaimana yang selalu ia ingat dari masa kecilnya adalah ketika ia dan Oeroeg duduk di beranda rumah menikmati sore dengan segelas sirup vanila.

Never did I feel myself an outsider among these people, quite the opposite in fact. In that shabby little abode with its muddy yard I felt more at home than in the dark, echoing rooms of my house. After each visit, as Oeroeg and I went back down the stony path to the plantation, I felt as though I had just said goodbye to my own family. (33)

Narator tidak hanya merasa lebih nyaman berada bersama Oeroeg dan keluarganya yang ia anggap keluarganya sendiri (33)—perasaan yang ia tidak dapatkan dari kedua orang tua di rumahnya—, namun juga mempercayai betul kepercayaan-kepercayaan lokal seperti Nenek Kombel. Kepercayaan ini sepintas terasa seperti rasa penasaran yang umum bagi seorang anak kecil dan akan berlalu begitu saja. Nyatanya, setelah narator beranjak dewasa dan mendapati bahwa Oeroeg meragukan kepercayaan-kepercayaan lokal dan berniat untuk meneruskan sekolah kedokteran, ia merasa ada semacam pengkhianatan yang terjadi atas apa yang begitu diyakininya dengan welas asih ( 82). 

Identitas yang terbangun sebagai “orang Hindia Belanda” ini bukan terbentuk tanpa interupsi kedua orang tuanya. Dalam berbagai kesempatan, orang tuanya berusaha menjauhkan narator dari Oeroeg sebab kekhawatiran mereka akan pengaruh buruk. Memasuki usia sekolah, narator mulai mengikuti pelajaran bersama guru privatnya, Tuan Bollinger, di mana Oeroeg tidak boleh ikut dan hanya bisa mengintip dari jendela.

Identitas sebagai “orang Hindia Belanda” ini tidak hanya didapati pada tokoh narator yang ditunjukkan sejak kecil, namun juga pada tokoh Gerard Stokman, seorang Belanda yang menggantikan tugas Tuan Bollinger. Sama seperti narator, Gerard juga merasa dirinya adalah bagian dari Hindia Belanda dan menolak untuk kembali ke Belanda. Baginya, alam Hindia Belanda begitu indah dan menjadi tempat ternyaman baginya yang suka berburu ke hutan (39-40). 

Identitas ambivalen pada tokoh narator dan Gerard Stokman digambarkan hampir seperti sebuah sikap penghargaan terhadap tanah Hindia Belanda; bahwa tokoh-tokoh Belanda ini memiliki kecintaan yang begitu besar terhadap tanah jajahan yang kerap dibaca secara positif. Sepintas, ini mengingatkan pada tokoh Controleur Walter dalam Student Hidjo (1919) karya Mas Marco Kartodikromo. Pada sebuah perhelatan di hari ulang tahun Regent Jarak, Controleur Walter berganti pakaian adat Jawa dan ikut menari, yang disambut dengan sangat hangat dan meriah oleh orang-orang pribumi di acara itu sebab “menunjukkan bahwa Controleur berhati Jawa” (79).

“Pertukaran budaya” ini tentu tidak bisa dibaca secara tunggal, sebab terdapat banyak lapisan pada ambivalensi identitas tokoh-tokoh Belanda ini. Terdapat dinamika kekuasaan yang tidak seimbang: respons positif yang didapat oleh tokoh-tokoh Belanda ketika mengadaptasi budaya lokal tidak sebanding dengan respons ketika tokoh pribumi mengadaptasi budaya Barat. Hal ini dapat dilihat melalui respons narator ketika secara perlahan tapi pasti melihat perubahan Oeroeg dari seorang anak desa yang tidak pernah bermimpi mendapatkan pendidikan, sampai ketika ia akhirnya memiliki kesadaran atas agensinya yang akan dijelaskan di bagian ketiga tulisan ini.

 

Pandangan Orientalis yang Tak Bisa Bohong

Dalam bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana narator menggambarkan identitas dirinya yang ambivalen: bahwa dirinya adalah bagian dari Hindia Belanda, dan bagaimana ia mampu mengenali tanah kelahirannya dengan sangat detail seperti ia mengenali telapak tangannya sendiri. Akan tetapi, dalam identitas yang dibangun tersebut terdapat bias-bias yang tak dapat dipungkiri yang hanya akan muncul apabila dilihat menggunakan kacamata Barat. 

Bagaimana kacamata Barat memproduksi pengetahuan mengenai subjek kolonialnya dijelaskan dengan pepat oleh Edward Said dalam Orientalism (1978). Pandangan orientalis sering mengasumsikan Timur—dalam konteks ini adalah Hindia Belanda—sebagai dunia yang misterius, memikat, dan menantang untuk ditaklukkan. Pandangan tersebut melahirkan bias-bias dan stereotipe rasial yang sering kali tidak disadari. 

Narator sering mengungkapkan kekagumannya terhadap Oeroeg, terutama ketika mereka masih kanak di Kebon Djati. Menurutnya, meskipun mereka seumuran, Oeroeg tidak hanya terlihat lebih dewasa, namun juga memiliki badan yang lebih kekar dari dirinya, seperti dalam kutipan berikut:

We were about six years old at the time. I was the tallest, but Oeroeg, being thin and muscular, looked the older. In the line running from his shoulder-blades down to his narrow, straight hips you could already see the supple, confident strength of the half-grown boys and young men in the fields and at the factory. He could crouch down with his strong toes flexed to keep his balance on rocks and branches, more secure in his stance than I ever was, and quicker to react when instability threatened. (5-6)

Kekaguman-kekaguman narator terhadap Oeroeg sering kali ditunjukkan melalui hal-hal yang tidak ia temui pada dirinya, namun ia temui pada Oeroeg. Narator menyampaikan kekaguman tersebut sebagai bentuk apresiasi terhadap Oeroeg; terhadap orang pribumi yang selalu dipandang sebagai manusia yang lebih rendah. Namun, narator selalu bisa menemukan hal menarik dari Oeroeg seperti yang digambarkan pada kutipan di atas, atau ketika narator mendeskripsikan mata Oeroeg yang senantiasa menyala dan waspada terhadap semua hal yang bahkan tak bisa didengarnya (6).

Pada lapisan teratas, ekspresi kekaguman narator terhadap Oeroeg ini dapat dibaca sebagai sebuah penghargaan atas pribumi, sebuah upaya etis yang berusaha meletakkan pribumi dan orang Belanda pada level yang sama. Akan tetapi, pada lapisan di bawahnya, kekaguman-kekaguman ini sering kali berasal dari hal-hal yang tidak bisa ia pahami sebagai orang Belanda. Misalnya, bagaimana anak seusia Oeroeg memiliki otot yang kuat, ketangkasan, dan kewaspadaan lahir dari pengalaman sebagai si terjajah di mana ia harus bekerja membantu orang tuanya sambil terus menempatkan dirinya sebagai pribumi di antara orang-orang Belanda, alih-alih menuntut ilmu di sekolah.

Di kesempatan lainnya, narator menyebutkan bahwa Oeroeg adalah anak yang pemberani, seperti ketika mereka berhadapan dengan binatang liar, sebagaimana tergambar pada kutipan berikut:

He had a way with animals, catching them and carrying them around without ever getting hurt. I preferred to keep them in boxes and tins covered by a sheet of glass, and my mother, despite her abhorrence of ‘beasties’, had given me permission to store my collection in one of the outbuildings. But Oeroeg took little pleasure in the regular care and maintenance of such a menagerie. His attention flagged where mine began. He liked to tease a crab with a straw until the creature braced itself for attack. Most of all he liked to set up fights between animals of differing species, bringing toads to pit their strength against river and land crabs, goading tarantulas to fight with salamanders, wasps with dragonflies. It would be going too far to speak of cruelty here. Oeroeg was not cruel, it was simply that he did not know the feeling Europeans often have of wanting to spare an animal and treat it with respect, out of a half-conscious sense of affinity. Whenever I cried out, overcome partly by excitement and partly by guilt and horror at these gladiatorial sports, Oeroeg would throw me a sideways look of surprise, saying, as though to soothe me: ‘What does it matter? They’re only animals.’ (7)

Seperti pada kutipan sebelumnya, dalam kutipan di atas narator memuji keberanian Oeroeg untuk berinteraksi dengan binatang-binatang liar yang menurutnya di luar dari kebiasaannya. Ia membandingkan dirinya dengan Oeroeg; bagaimana ia sebagai orang Eropa memperlakukan binatang dengan penghormatan, sementara Oeroeg berpikir bahwa “mereka hanyalah binatang” (7). Keberanian Oeroeg ini dilihatnya sebagai antitesis dari penghormatan yang ia miliki, tetapi ia juga menolak untuk menyebutkan sebagai sebuah keberingasan. Namun, bagaimana narator menyebutkan nilai-nilai Eropa yang ada pada dirinya secara tidak langsung menempatkan Oeroeg ke dalam kelompok yang berjarak, yang berada dalam satu realitas bersama binatang-binatang liar yang dipermainkannya.

Stereotipe rasial Barat terhadap kebudayaan Timur memang tidak bisa jauh-jauh dilepaskan dari bayangan akan hutan rindang dengan segala keajaibannya. Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa Gerard Stokman merasa dirinya adalah bagian dari Hindia Belanda sebab berburu adalah panggilan jiwanya. Akan tetapi, di saat yang bersamaan Gerard memandang Hindia Belanda sebagai sebuah objek yang menantang untuk ditaklukkan. Pada salah satu dari banyak kesempatan, Gerard berkata pada narator dan Oeroeg bahwa beberapa hari lagi ia akan “mengambil kesempatan lagi untuk pergi ke gunung dan menangkap babi hutan” (40). Jelas, Gerard memiliki motif yang berbeda dengan warga sekitar yang pergi ke hutan dengan tujuan mengambil sumber daya untuk hidup sehari-hari, sebab Gerard melihat kegiatan tersebut sebagai hiburan yang menantang.

Di titik ini, tokoh Gerard digunakan sebagai representasi orang dewasa yang mendukung segala pandangan narator yang pada saat itu masih kanak. Namun demikian, dalam potongan-potongan adegan yang berusaha dibangun untuk menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari Hindia Belanda, narator tidak bisa mengelak bahwa terdapat kegagalan memahami dinamika politik di balik hal-hal sehari-hari yang ia romantisasi. Sikap tersebut justru menunjukkan bahwa ia memandang kehidupan di sekelilingnya menggunakan pandangan orientalis.

Di sisi lain, meskipun kacamata Barat tak bisa ia tanggalkan begitu saja, sepanjang cerita narator begitu bersikukuh bahwa dirinya berbeda dengan orang Belanda lainnya, seakan ia tahu bagaimana citra kolonial terbentuk pada orang-orang sebangsanya. Narator sering kali meromantisasi kelokalan yang ia “miliki” yang kemudian ia bandingan dengan aksi-aksi orang Belanda di sekelilingnya. Misalnya ketika ia sekeluarga beserta kawan-kawan orang tuanya mengunjungi Telaga Hideung sehabis makan malam. Narator selalu memercayai bahwa Telaga Hideung adalah tempat keramat yang penuh dengan roh dan hantu, dan betapa sebaiknya kita harus berhati-hati hanya sekadar untuk mendatanginya. Namun, di malam itu orang tuanya dan kawan-kawan mereka mendatangi Telaga Hideung menggunakan baju renang dan memperlakukan telaga itu seperti kolam renang biasa (17). Ada ketidaknyamanan yang ia tunjukkan di sini, yang berasal dari perbedaan pandangan antara dirinya dan orang tuanya terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal ini.

Ketika narator mulai tumbuh sebagai remaja, ia semakin memahami keadaan politik dan perbedaan rasial yang terjadi di sekelilingnya. Ia mulai tahu bahwa Oeroeg adalah seorang pribumi, tetapi ia juga tahu bahwa Oeroeg bukanlah pribumi yang sama dengan anak regent (52). Narator tidak mengelak perbedaan ini, sebab kepolosan kanak-kanak tidak lagi dapat digunakannya untuk menutup mata atas relasi kuasa yang terjadi. Namun, pemahaman ini digunakannya untuk meyakinkan bahwa dengan sadar ia memilih untuk mengacuhkan perbedaan antara dirinya dan Oeroeg. 

Pada kesempatan lainnya ketika ia mengunjungi rumah Sidris saat ia sudah dewasa, ia merasa sedih ketika Sidris ragu-ragu untuk memanggilnya dengan nama depannya dan memilih menggunakan bahasa Sunda halus untuk berbicara dengannya (91-92). Lagi-lagi narator menunjukkan ketidaknyamanannya atas dinamika politis yang terjadi di sekelilingnya, sebuah pernyataan bahwa stereotipe kolonial tidaklah melekat pada dirinya. 

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa narator mengabaikan tegangan-tegangan politis ini. Sebaliknya, ia memosisikan diri sebagai orang yang memahami apa yang terjadi di sekelilingnya dan memilih untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan tersebut. Namun, dalam upayanya untuk menekankan persamaan antara dirinya dan orang-orang pribumi di sekelilingnya, ia justru mempertegas kegagapannya dalam melihat Hindia Belanda beserta dinamika yang terjadi di dalamnya.

 

Poskolonialitas dan Pengkhianatan

Mari mundur sejenak ke waktu ketika Oeroeg akhirnya disekolahkan oleh orang tua narator sebagai bentuk utang budinya pada Deppoh. Kesempatan mendapat pendidikan yang terbuka untuk Oeroeg bermula dari “kemurahan hati” orang Belanda. Kemudian, secara berentetan terjadi kemurahan-kemurahan lainnya dari orang-orang Belanda lainnya yang pada akhirnya membawa Oeroeg menjadi individu berpendidikan dan memiliki kesadaran atas agensinya sebagai seorang dari bangsa terjajah.

Dalam perjalanan tersebut, Oeroeg mengalami perubahan-perubahan kecil yang pelan tetapi pasti. Ironisnya, perubahan-perubahan ini dilihat oleh narator sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan yang pada akhirnya menjauhkan Oeroeg dari dirinya. Awalnya, ini hanyalah soal representasi Oeroeg sebagai orang pribumi yang sedikit-sedikit mengalami perubahan; soal pakaian dan kebiasaan-kebiasaan, seperti pada kutipan berikut:

Oeroeg and I sat on our heels with Sidris and the children, feeling slightly out of place there for the first time in our lives. The year of order and regularity in Lida’s spotless home had awakened in us a consciousness of the squalor and poverty of village life. Beside his unkempt brothers and sisters Oeroeg looked princely. We all ate together: rice and a sort of crisp made from dried, ground prawns. Oeroeg said goodbye to his family, and we set off back. (68)

Dalam kutipan  di atas, narator menekankan kontras antara Oeroeg dan keadaan rumahnya sendiri, setelah beberapa waktu mereka tinggal bersama Lida, si induk semang, di Sukabumi. Narator menempatkan dirinya sendiri seperti subjek yang tidak terlihat, padahal kehadirannya di rumah Oeroeg sendiri sedari awal merupakan sebuah kontras. Sementara, perubahan Oeroeg yang semakin jauh dari stereotipe pribumi menjadi fokus utamanya. Perhatikan bagaimana narator membandingkan penampilan adik-adik Oeroeg yang tak terawat dengan Oeroeg yang rapi seperti pangeran, juga bagaimana untuk pertama kalinya ia menghubungkan keadaan rumah itu dengan kemiskinan (68). 

Hal lain yang berkaitan dengan perubahan Oeroeg adalah bagaimana narator merasa terkejut ketika Oeroeg berhenti menggunakan peci (Muslim hat). Saat itu, Oeroeg menjawab bahwa ia bukanlah seorang Muslim ketika narator menanyakan peci yang biasa dipakainya, padahal narator ingat Oeroeg pernah pergi ke masjid bersama salah satu pekerja di rumahnya (74-75). Peristiwa ini menunjukkan adanya pengotakan identitas homogen: bahwa semua pribumi adalah Muslim. Asumsi ini menunjukkan kegagapan narator membaca kompleksitas politik budaya yang berlaku pada masa itu, khususnya yang terjadi pada masyarakat pribumi.

Kekhawatiran narator terhadap perubahan-perubahan Oeroeg yang semakin jauh dari stereotipe pribumi ini membawanya ke titik yang lebih jauh: ia merasa bahwa Oeroeg semakin dekat identitasnya dengan orang Belanda. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa peristiwa, di antaranya adalah ketika menyebutkan bagaimana Oeroeg kini hanya berbicara dengan Bahasa Belanda dan mengenakan pakaian gaya Eropa, serta tidak akrab dengan pekerja-pekerja pribumi di rumah Lida (78); ketika ia mendapati Oeroeg dan Lida sedang mengobrol tentang kemungkinan Oeroeg mengambil nama belakang Lida (79); dan ketika ia menyebutkan bahwa Oeroeg meragukan masyarakat desa yang lebih percaya dukun ketimbang pergi ke dokter (82). 

Kejadian-kejadian tersebut mengerucut pada kesimpulan narator bahwa Oeroeg ingin sekali menjadi orang Belanda. Yang menarik adalah, selama ini narator begitu bersikukuh menafikan perbedaan-perbedaan antara dirinya dan Oeroeg yang berakar pada politik rasial. Namun, perkembangan Oeroeg yang beriringan pula dengan cita-cita dan ambisinya memecahkan kekukuhannya tersebut.

‘Maybe,’ he said guardedly. After a short pause he added: ‘I’ll be going away, though, for sure.’ 
I sat up. ‘Where to? To Holland?’ I asked. 
Oeroeg made the two-toned throaty sound which, in the Indies, counts as an affirmative. 
‘I’d rather go to America, though,’ he said abruptly. 
He had made a little pile of pebbles and shells, and began to aim them one after another at a tree stump nearby. 
To his mind America was the land of promise, a land where, so we both imagined, everything was bigger, better and smarter than anywhere else in the world. Influenced by films and books we also thought of it as a place of extremes, where skyscrapers and technical miracles existed alongside the vast plains of the Wild West. 
But Oeroeg’s desire was not only for adventure. I realised later that he believed — mistakenly, of course — that race and parentage would be of no account for him or anyone else in the New World. (83)

Dalam kutipan di atas, narator terkejut mendengar cita-cita Oeroeg yang begitu tinggi untuk bersekolah di Amerika Serikat. Narator merasa tingginya cita-cita itu menunjukkan bahwa Oeroeg tidak menyadari “ras dan keturunan begitu penting di dunia baru [yang semaju Amerika Serikat]” (83). Kalimat penutup ini begitu bertentangan dengan apa yang selama ini dipertahankan oleh narator mengenai hak Oeroeg untuk bersekolah dan bagaimana cita-cita setinggi ini tentu sudah melenceng terlalu jauh dari stereotipe orang pribumi yang ada di kepalanya: yang tidak memiliki kesempatan untuk bermimpi dan menentukan jalan hidupnya.

Pada akhirnya, di kesempatan lain narator mengatakan bahwa “pakaian dan perilaku kebarat-baratan tak akan mampu membuat Oeroeg menjadi bagian dari kami” ( 88-89). Perkataan ini menunjukkan ketidaknyamanan narator untuk disamakan dengan Oeroeg maupun pribumi lainnya sekaligus menegaskan adanya politik rasial di antara mereka. Barangkali kita bisa kembali sebentar ke bagian sebelumnya, ke pembahasan mengenai orang-orang Belanda yang merasa dirinya bagian dari Hindia Belanda. Resepsi berbeda muncul ketika hal ini terjadi dengan sebaliknya: orang Belanda yang mengadaptasi kebudayaan lokal mendapatkan apresiasi dan respons positif, sementara ketika orang pribumi mengadaptasi kebudayaan Barat, terlebih jika pribumi ini berasal dari kelas bawah seperti Oeroeg, respons yang didapat negatif. Ini menunjukkan selalu ada ketimpangan relasi kuasa dalam ruang ketiga, meskipun dalam ruang ini negosiasi dan kontestasi terus terjadi.

Puncaknya, ketika Oeroeg semakin dewasa dan memiliki kesadaran poskolonial, narator menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan atas budi baik orang-orang Belanda yang selama ini membantu Oeroeg mencapai cita-citanya, terutama ayahnya sendiri dan Lida.

To them, at that stage, I was the symbol, the personification, of something they had turned against with all their being. I struggled to hold on to a sense of reality, which was fast threatening to escape me on this quiet back veranda.
‘Well, what does that mean then?’ I asked Oeroeg.
‘That I don’t fancy taking handouts from the government,’ he replied evenly. ‘I don’t need your help.’
‘Our help?’ I said, the blood rushing to my head as the meaning of his words sank in. ‘Oh, so you don’t mind accepting Lida’s help?’
‘Lida thinks the same way as we do,’ Oeroeg said proudly. (101-102)

Kesadaran poskolonial Oeroeg yang ditunjukkan melalui sikap-sikap politis termasuk di dalamnya tidak ingin meminta dana pendidikan dari pemerintah Belanda, dilihat narator sebagai sebuah pengkhianatan. Bagaimana ia menyebutkan bahwa ia kini menjadi personifikasi atas sesuatu yang dilawan oleh Oeroeg dan kawan-kawan nasionalisnya meletakkan dirinya di posisi korban sekaligus mengabaikan dinamika politik dan relasi kuasa yang terjadi. Pada kesempatan yang sama, narator menyebutkan bahwa ia “tidak tahu-menahu tentang sentimen nasionalis dan sekolah-sekolah tidak resmi yang muncul”  (102), menyiratkan bahwa kesadaran nasionalis dan poskolonial merupakan hal yang terlarang, menempatkan Oeroeg sebagai individu tanpa agensi yang semata-mata ‘terbawa arus buruk’.

Bias-bias juga terlihat dari bagaimana narator menggambarkan kesadaran poskolonial Oeroeg yang senantiasa ia pertentangkan dengan budaya lokal, seperti dalam kutipan di bawah:

‘The desa folk, the common people, have been kept dumb for a purpose,’ he said vehemently, looking straight at me as he leaned forward across the table. ‘It was in your interest to prevent them from developing. But those days are over. We’ll see to that. They don’t need wayang puppets or gamelans, and none of those superstitions or doekoens either— we’re not living in the empire of Mataram any more, nor is there any reason why Java should look like a postcard for tourists. All that stuff is just ballast. The temple at Boroboedoer is nothing but a heap of old stones. Let them give us factories, and warships and modern clinics and schools, and a say in our own affairs”. . .’ (103)

Perhatikan bahwa narator menceritakan bagaimana Oeroeg menggambarkan kesadaran poskolonial sebagai modernisasi yang serta-merta mengabaikan budaya-budaya lokalnya, seperti seseorang yang lupa pada bangsanya sendiri. Oeroeg digambarkan mengidentikkan wayang, gamelan, kepercayaan, dan dukun sebagai kemunduran yang dipertentangkan dengan teknologi dan pendidikan. Penolakan Oeroeg terhadap kolonialisme, alih-alih bertumpu pada hak untuk merdeka, berfokus pada keinginan untuk maju seperti negara-negara Barat dengan adanya “pabrik, kapal perang, fasilitas kesehatan, dan pendidikan” (103), menyiratkan adanya kompetisi antara kemajuan Barat dan Timur. Penggambaran poskolonialisme yang salah inilah yang kemudian digunakan seakan-akan kemajuan pendidikan Oeroeg juga merupakan sebuah pengkhianatan atas bangsanya sendiri.

Penggambaran poskolonialisme yang hitam putih dan pengabaian terhadap kompleksitas politik di zaman tersebut terus dilakukan oleh narator, termasuk juga bagaimana ia menggambarkan orang-orang Belanda di sekitar Oeroeg. Dari sekian banyak orang-orang Belanda di sekitar mereka, Gerard Stokman adalah tokoh Belanda pertama yang menunjukkan ketulusannya pada orang-orang pribumi. Narator menceritakan bagaimana ia dan Gerard selalu menggunakan Bahasa Sunda untuk menghormati Oeroeg dan Ali—seorang pribumi yang bekerja untuk Gerard, juga bagaimana Gerard adalah seorang pencerita ulung namun selalu memberi kesempatan Ali untuk bercerita sebab Ali jauh lebih mengerti keadaan hutan-hutan yang ia jelajahi daripada dirinya sendiri (44). 

Memang, ada orang-orang Belanda seperti orang tua narator yang digambarkan begitu rasis terhadap orang pribumi. Namun, secara aktif narator berupaya untuk menunjukkan perbedaan ini secara kontras: orang tuanya adalah contoh buruk yang terus-menerus ia tentang, sementara orang-orang seperti Gerard dan Lida adalah cerminan baik yang ia teladani.

Sekarang, mari kita menengok Lida, induk semang yang mengambil peran sebagai ibu peri yang selalu mendukung Oeroeg. Lida digambarkan sebagai seorang wanita yang cermat dan penuh kasih, terutama kepada Oeroeg. Ia rela melakukan apa pun untuk anak asuhnya itu, seperti memberikan kamar yang lebih bagus daripada kamarnya sendiri (75), bahkan Lida rela bekerja lebih keras demi mengirim Oeroeg ke Batavia untuk sekolah. Dalam satu kesempatan, narator menceritakan bagaimana Lida begitu bangga melihat foto Oeroeg bersama teman-teman sekelasnya, sementara Lida sendiri digambarkan “kurus hingga tulang pipinya mencuat, dengan rambut yang mulai memutih” (94-95), menyiratkan adanya kasih tanpa pamrih, yang dimanfaatkan oleh Oeroeg.

Lida tidak digambarkan oleh narator sebagai orang yang abai terhadap dinamika politik. Di beberapa kesempatan, narator menyebutkan bahwa perkembangan Oeroeg juga membuat Lida khawatir. Salah satunya ketika Lida dan narator membaca surat dari Oeroeg yang penuh dengan kritik terhadap pemerintah Belanda, Lida menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dari Oeroeg (95-96). “Sesuatu yang salah” merujuk pada bagaimana Oeroeg melihat pemerintah Belanda—dan orang-orang Belanda pada umumnya sebagai oposisi. Namun, meskipun Lida menyadari terdapat pemahaman Oeroeg yang salah, ia tetap menunjukkan dukungannya, memperkuat karakter Lida sebagai induk semang yang besar hati.

Hubungan yang janggal antara Oeroeg dan Lida ini kemudian digambarkan sebagai manipulasi anak desa terhadap orang Belanda yang selama ini mendukungnya. Pada pertemuan terakhir narator, Oeroeg, dan Lida sebelum narator kembali ke negeri nenek moyangnya, Oeroeg digambarkan telah menjadi orang yang begitu asing dan otoritatif. Pada kesempatan itu, Lida selalu mengiakan kata-kata Oeroeg dan tidak berani memandang narator. Narator yang mengetahui bahwa Lida sendiri sebenarnya tidak setuju dengan apa yang dikatakan Oeroeg menyimpulkan bahwa “ideal yang baru ini merupakan jalan terakhir Lida dalam menghadapi rasa kesepiannya” (104).

Salah satu adegan puncak ini menggambarkan situasi yang telah berbalik: Oeroeg telah berubah menjadi sosok yang memiliki otoritas atas orang Belanda. Secara tidak langsung, bagaimana narator menggambarkan ini sebagai sesuatu yang ironis menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah sesuatu yang ideal. Di saat yang bersamaan, narator secara terus-menerus menginfantilisasi Lida dan melihatnya sebagai sosok tak berdaya, mengabaikan dinamika serta relasi kuasa antara pribumi dan orang Belanda pada masa itu.

 

Penutup

Dalam “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis”, Henk Schulte Nordholt berargumen bahwa Politik Etis yang digagas oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1901-1942 adalah sebuah misi untuk memodernisasi Hindia Belanda, salah satunya melalui pembangunan sekolah-sekolah. Belanda meyakini bahwa satu-satunya jalan untuk memajukan negara jajahannya adalah dengan meletakkan mereka di bawah kontrol politik yang keras, termasuk di dalamnya adalah pelibatan teknokrat-teknokrat Belanda.

Akan tetapi, pemerintah Belanda melewatkan satu hal penting yang berkaitan dengan pribumi kelas menengah. Mereka mengabaikan bahwa pribumi kelas menengah yang mereka libatkan untuk turut mengatur sistem mampu menjadi situs berkembangnya pergerakan nasionalis. Para pribumi kelas menengah ini unggul dalam pemahaman terhadap keadaan sosial budaya di sekelilingnya, terlebih mereka berbasis di kota-kota besar sehingga mereka tahu betul bagaimana seharusnya gerakan nasionalis ini bekerja.

Oeroeg bukanlah orang yang masuk ke dalam kelompok pribumi kelas menengah, namun ia memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu menggunakan fasilitas-fasilitas Belanda yang jadi bagian dari Politik Etis yang disebutkan oleh Nordholt. Untuk mendaki tangga dari desa miskin tempatnya berasal ke sekolah-sekolah itu, Oeroeg harus dibantu oleh orang-orang dengan kuasa. Kesadaran poskolonial yang didapat Oeroeg dari pergaulannya selama bersekolah bukanlah sebuah pengkhianatan, sebab kehadiran sekolah itu sendiri berawal dari Politik Etis yang pada dasarnya adalah secuil aksi reparasi kolonialisme, meski tidak dapat serta-merta disederhanakan sebagai sebuah pembebasan.

Bagaimana narator melihat kesadaran poskolonial Oeroeg sebagai sebuah pengkhianatan tidak lain bersumber pada masalah rasisme dan kelas dalam konteks kolonialisme yang khas. Seperti halnya Politik Etis yang berpikir bahwa akses terhadap pendidikan akan menjadi bentuk formal kontrol masyarakat, narator berpikir bahwa akses yang diberikan oleh ayahnya untuk Oeroeg akan melahirkan perasaan mawas diri. 

Kekecewaan-kekecewaan narator terhadap Oeroeg, termasuk tuduhan berkhianat atas sahabat dan bangsanya sendiri ini tidak bisa ditarik ke satu faktor tunggal. Akan tetapi, dari banyaknya lapisan yang mampu menjelaskan keadaan ini, salah satu faktor yang penting untuk dicermati adalah bagaimana kacamata orientalis melihat dunia non-Barat sebagai sebuah objek tanpa agensi. Kesadaran poskolonial dianggap sebagai sebuah aksi pengkhianatan, perlawanan-perlawanan kecil Oeroeg direduksi menjadi kenakalan remaja. Alih-alih memahami kompleksitas hubungan politik antara si penjajah dan si terjajah, kacamata orientalis melihatnya sebagai sesuatu yang romantis dan mengabaikan ketimpangan kuasa yang terjadi di tanah jajahan yang magis dan indah.

Dinamika hubungan antara narator dan Oeroeg secara detail menggambarkan relasi antara penjajah dan terjajah pada masa kolonial Hindia Belanda, memungkinkan pembaca mengintip apa yang terjadi di tanah ini sebelum menjadi Indonesia. Lantas, bagaimana posisi The Black Lake dalam sejarah kesusastraan Indonesia? Batasan mengenai apa itu sastra Indonesia sendiri sudah menjadi sebuah diskusi panjang yang hampir tak berkesudahan sejak Indonesia merdeka. Umar Junus dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960) berpendapat bahwa sastra Indonesia lahir ketika Bahasa Indonesia lahir, yang mengacu pada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.[2]

Sedikit berbeda dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985) berpendapat bahwa kesadaran kebangsaan seharusnya menjadi tonggak kelahiran sastra Indonesia. Dengan demikian, menurut Rosidi, kesusastraan Indonesia lahir pada saat kumpulan puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin terbit di tahun 1922. Sejalan dengan Ajip Rosidi, A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia 1 (1978) berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia ditandai dengan lahirnya semangat menghasilkan ide-ide baru yang belum ada sebelumnya, yang mulai terasa pada tahun 1920-an ketika muncul bentuk-bentuk baru dan emosi-emosi baru yang lahir dari para penulis. 

Namun demikian, saya berargumen bahwa kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dilihat melalui kacamata biner antara belum lahir dan sudah lahir yang ditandai dengan tonggak-tonggak tertentu, terlebih batasan-batasan material seperti geografi dan bahasa, sebab kesusastraan adalah sebuah perkembangan tanpa ujung pangkal. Hella Haasse menggambarkan Hindia Belanda yang juga merupakan tanah kelahirannya dalam The Black Lake, menyumbang diskusi yang penting untuk diolah lagi menjadi karya-karya yang baru mengenai tanah yang sama. 

Apa yang disampaikan oleh Hella Haasse mampu memantik perkembangan diskusi mengenai kolonialisme dan poskolonialisme yang bisa kita temui di karya-karya setelahnya, seperti misalnya Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer,  cerita pendek “Kutukan Dapur” dalam Cinta Tak Ada Mati (2005) karya Eka Kurniawan, kumpulan cerita pendek Semua untuk Hindia (2014) karya Iksaka Banu, dan banyak karya lainnya. Karya-karya yang disebutkan di atas, beserta karya-karya lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, ada di dalam garis yang sama dengan The Black Lake karya Hella Hassee, menjadi bagian dari perkembangan atas apa yang detik ini kita sebut dengan sastra Indonesia, yang pasti akan terus berkembang lagi menjadi sesuatu yang masih belum kita ketahui sebutannya.

 

Rujukan

Bhabha, Homi K. The Location of Culture. Routledge, 1994.

—————. “Of Mimicry And Man: The Ambivalence Of Colonial Discourse.” October, vol. 28, 1984, pp. 125–133, https://doi.org/10.2307/778467.

Erowati, Rosida, dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Goss, Andrew. “From Tong-Tong To Tempo Doeloe: Eurasian Memory Work And The Bracketing Of Dutch Colonial History, 1957-1961.” Indonesia, vol. 70, Oct. 2000, hlm. 9–36, https://doi.org/10.2307/3351493.

Kartodikromo, Mas Marco. Student Hidjo. Books and Groove, 2019.

Maier, Henk M. J. “Escape From The Green And Gloss Of Java: Hella S. Haasse And Indies Literature.” Indonesia, vol. 77, Apr. 2004, hlm. 79–107.

Nordholt, Henk Schulte. “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis.” Journal of Southeast Asian Studies, vol. 42, no. 3, 2011, hlm. 435–457. JSTOR, www.jstor.org/stable/23020338. 

Pattynama, Pamela. “Cultural Memory And Indo-Dutch Identity Formations.” Edited by Ulbe Bosma. Post-Colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands, 2012, hlm. 175–192, https://doi.org/10.1017/9789048517312.009.

Peligra, Cristina. Representing Culture, Identity, Hybridity and Colonial Relations: A Paratextual and Textual Comparison of the Italian and English Translations of Hella S. Haasse’s East Indian Novels “Oeroeg” and “Heren van de Thee. Newcastle University, 2019.

Rosidi, Ajip. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?. Gunung Agung, 1985. 

Said, Edward W. Orientalism. Pantheon, 1978.

Teeuw, Andries. Sastra Baru Indonesia 1. Nusa Indah, 1978. 

Van Gemert, Stefanie. “‘a Sort Of Wishful Dream’: Challenging Colonial Time And ‘Indische’ Identities” Edited by Jane Fenoulhet et al. Discord and Consensus in the Low Countries, 1700-2000, Jan. 2016, hlm. 118–132, https://doi.org/10.2307/j.ctt1g69z77.11.

 

[1] Pidato Nikolaos van Dam untuk pembukaan peluncuran terjemahan Bahasa Indonesia Oeroeg karya Hella Haasse di Erasmus Huis Jakarta, 5 Oktober 2009. Naskah didapat dari laman Nikolaos van Dam di academia.edu.

[2] Dalam Sejarah Sastra Indonesia (2011) karya Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar.

Esai26 November 2025

Areispine Dymussaga Miraviori


Areispine Dymussaga Miraviori adalah peneliti independen dalam bidang kesusastraan Indonesia modern dan studi kebudayaan. Selain penelitian, Dymussaga berkutat dalam penciptaan karya seni, termasuk seni visual dan musik. Karya dan penelitiannya banyak membahas isu-isu perlawanan terhadap tekanan politik Indonesia di bidang sastra, teater, dan film. Saat ini Dymussaga tercatat sebagai Kandidat Doktor di Department of Comparative Literature, University of California Riverside dengan disertasinya tentang negara, sastra, dan produksi pengetahuan.