Sastra Menjadi Peristiwa
Tentang Pengadilan Puisi 1974 dan Tawuran Sastra 2020

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Suatu petang di Rawamangun, beberapa hari setelah peristiwa “Tawuran Sastra”[1], saya mendengar komentar Safar Nurhan: “Ribut-ribut sastra itu perlu. Tandanya sastra tetap dibicarakan.” Saya tahu, ucapan itu provokatif dan terbilang lontaran spontan terhadap perdebatan sastra yang kerap muncul di media sosial. Seketika itu juga saya langsung teringat buku Pengadilan Puisi.[2] Saya pernah membacanya delapan tahun silam di rumah sastrawan Adri Darmadji Woko. Setelah membaca kembali Pengadilan Puisi barulah saya terpikir: sastra menantang cara pandang terhadapnya, begitu pula tatkala kita menyikapi sejarahnya. Sebagaimana saya percaya bahwa Pengadilan Puisi tidak hanya ribut-ribut, demikian pula ribut-ribut yang dimaksud Safar Nurhan. Boleh jadi terdapat keserupaan antara aneka polemik sastra yang muncul hari ini dan peristiwa Pengadilan Puisi.

 

Membaca Kembali Pengadilan Puisi

Pengadilan Puisi dihelat pada 8 September 1974 di Universitas Parahyangan, Bandung. Dalam pengadilan itu, sejumlah sastrawan hadir.[3] Inti acaranya: pembacaan tuntutan Slamet Sukirnanto bertajuk “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!” (lihat Eneste, 1986: 12-27). Sederhananya, Slamet melontarkan ketidakpuasannya terhadap puisi Indonesia. Ia membacakan dakwaannya yang galak itu lewat suatu pengadeganan teatrikal: di depan kursi kosong. Ya, kursi kosong yang dibayangkan sebagai Puisi Indonesia Mutakhir.[4]

Pada era 1970-an ada semacam tren bahwa sastra diperlakukan bukan sebatas teks, melainkan juga pertunjukan. Sastra diperistiwakan ke dalam bentuk performance.

Pada kasus puisi, salah satu penanda tren ini ialah deklamasi keliling Blues untuk Bonnie (1971) di berbagai kesempatan oleh W.S. Rendra sepulang dari Amerika Serikat yang disusul kemunculan istilah “pembacaan puisi” (poetry reading), kemudian Potret Pembangunan dalam Puisi (1979).[5] Ada panggung, ada yang tampil di atas panggung, ada yang menonton. Mudahnya, puisi dipentaskan.

Karena puisi tidak lagi dipandang sebagai teks belaka, kesadaran publik tentangnya bergeser: ia seumpama “konstruksi” yang bisa dibangun, bisa juga diruntuhkan.

Konsekuensinya, memperlakukan puisi kurang lengkap apabila tidak mempersoalkan hal-hal di luar puisi yang berkenaan dengannya, seperti penyair, media publikasi, kelompok, dan generasi.

Slamet mengajukan sebuah tuntutan tentang puisi. Sekaligus, tuntutannya itu sendiri merupakan peristiwa puitis. Karena itu, bagi saya, Pengadilan Puisi ialah juga pentas puisi, dengan modus gempuran yang merubuhkan pakem-pakem tertentu dalam sastra. Tindakan Slamet adalah satu langkah destruktif terhadap “pembacaan puisi” sehingga Pengadilan Puisi ibarat konstruksi baru yang merontokkan konvensi mengenai puisi itu sendiri.

Jika urgensi dari Pengadilan Puisi adalah ketidakpuasan terhadap puisi Indonesia, orang seperti Slamet punya kesadaran dan pengetahuan akan kemutakhiran dan pemutakhiran puisi. Pastinya, mutakhir menurut selera pribadinya, yakni mutakhir yang menolak kemapanan—kalau bukan kebuntuan. Dalam arti itu, Pengadilan Puisi bisa dianggap sebagai ekspresi bantahan estetik yang tidak lazim terhadap estetika perpuisian pada 1960-an.

Akan tetapi, saya suuzan, Pengadilan Puisi juga berutang inspirasi pada kejadian pengadilan H.B. Jassin atas Heboh Sastra 1968, yakni terbitnya cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin pada Agustus 1968 di majalah Sastra.[6]

Membela imajinasi, Jassin divonis pidana karena berwenang atas cerpen yang dituduh “menghina Tuhan” tersebut. Sebaliknya, Pengadilan Puisi mungkin awalnya forum badutan, tetapi Slamet kelewat serius.

Mengapa bicara sastra harus disertai keributan dan apakah sastra identik dengan ribut-ribut?

 

Dakwaan Slamet

Dakwaan Slamet diawali dengan penggambaran kehidupan sastra Indonesia pada 1970-an sebagai “karikatur”. Ia menggugat pemisahan sastra dari masyarakatnya. Setelah sastra pada era 1960-an berlepotan karena politik dan serang-menyerang, beranjak ke dekade 1970-an sastra seolah terkurung di dalam kampus dan pihak yang absah mendudukkannya secara teoretis adalah hanya akademisi sastra. Slamet menanggapi sejarah sastra kontemporer kala itu yang didominasi oleh akademisi cum kritikus sastra yang doyan berteori dengan kedok “metode struktural” atau “metode analitik”.[7] Ingat, tiga nama kontributor dalam Pengadilan Puisi adalah dosen sastra Universitas Indonesia, Rawamangun.

Slamet menggugat pengukuhan capaian estetika puisi mutakhir. Contohnya, ia menggugat pilihan Jassin bahwa Rendra adalah penyair terkemuka, serta pilihan M.S. Hutagalung atas Subagio Sastrowardoyo. Dalam bingkai rekayasa sejarah yang disepakati bernama Pengadilan Puisi, Slamet menepis “undian” kedua nama penyair tersebut. Menurutnya, Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman perlu diakui serta diberi sorotan karena lebih kontekstual dibanding penyair yang sudah mapan seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Abdul Hadi W.M.

Dengan nada nyinyir, Slamet menulis:

Terlebih-lebih kalau kritikus tersebut adalah seorang sarjana. Mereka jangan hanya menulis untuk mengaduk-aduk yang sudah ada, yang ‘kasat mata’, mereka juga diharapkan memberikan gambaran terakhir dari situasi keseluruhan, atau menemukan hal-hal yang baru.” (Eneste, 1986: 19)

Slamet menggugat: dalam sastra terjadi suatu ketidakacuhan atas “kenyataan baru”. Kenyataan baru tersebut bukan pada kemunculan karya sastra jenis baru, melainkan tokoh sastra generasi baru. Saya kira, ini soal estafet atau suatu regenerasi (angkatan) sastra. Slamet tampak menyadari betul penciptaan sejarah sastra baru harus terlebih dahulu mendestruksi sejarah sastra lama.

Bagi Slamet, “kemapanan” telanjur menjadi “sejarah” yang patut diabaikan. Tampak di sini cara pandang Slamet yang mendua: ia menyadari penciptaan sejarah ke-sekarang-an (ihwal kontemporer) berpijak pada sejarah yang ada, tetapi sekaligus mendakwa “sejarah” sebagai sesuatu yang out of contextyang tidak usah ditengok. Dalam suasana gusar menemukan kenyataan baru, Slamet mengutuk Interlude (1973) karya Goenawan Mohamad: “Karya-karya yang kini nampak sebagai buku itu adalah pendokumentasian dari karya-karya sebelumnya.”

Celakanya, dalam tulisan dakwaannya, tidak ada sama sekali perbandingan (tekstual) estetika antara puisi yang diajukan Slamet dan puisi yang ia singkirkan.

Jadi, “kenyataan baru” puisi hanya sebatas konsep di kepala Slamet. Kecuali pujian abstrak terhadap kumpulan puisi O (1973) Sutardji yang sekadar mempertebal pembenaran kredo penyairnya. Di satu sisi, Slamet menuduh Horison tidak ubahnya “majalah keluarga” untuk saling bertukar-pujian, tetapi di lain sisi, ia memuji Sutardji sedemikian gombal. Apa ini kalau bukan pemitosan baru atas kanonisasi sastra?

 

Dua Kanonisasi

Tiga belas hari setelah peristiwa Bandung dibuatlah pertemuan tanggapan yang tidak kalah serius bertajuk “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” di Universitas Indonesia. Penampilnya antara lain H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono: semuanya menulis makalah penyangkalan atas dakwaan Slamet. Fakta bahwa keempatnya tidak turut serta dalam peristiwa di Bandung menambah tegang suasana pertemuan di Rawamangun tersebut.[8]

Sekali lagi, sastra diperistiwakan. Ketegangan di pertemuan Rawamangun itu membuat Slamet meminta maaf selepas empat penampil memberikan pemaparan. Inilah anti-klimaks dari ribut-ribut Pengadilan Puisi. Tidak ada satu pun tulisan dalam Pengadilan Puisi yang secara detail mengatakan bagaimana Slamet meminta maaf, kecuali esai Taufiq Ismail.

Hal menarik yang dicatat Taufiq (Eneste, 1986: 11) adalah, “Sudah lama orang tidak ‘bermarah-marah’ dalam lalu-lintas sastra Indonesia, paling kurang sejak Gestapu usai.” Inilah kesaksian Taufiq yang datang ke Bandung dan Rawamangun. Suatu cara pandang yang menyiratkan bahwa sastra terasa nyata apabila dikemas dalam bentuk peristiwa.

Begitulah dekade 1970-an, suatu masa ketika ingatan tentang kerusuhan politik pun merangsang kerusuhan sastra. Kesadaran akan sejarah sastra berada di lintasan sejarah non-sastra. Namun, dari faktor non-sastra itulah bermunculan ide-ide gila yang tidak konvensional.[9] Pengadilan Puisi adalah pelarian dari kejenuhan estetika sastra yang muncul pada kehidupan sosial setelah 1965. Dengan kata lain, Slamet tidak menggugat puisi, alih-alih ia gusar terhadap situasi di luar puisi yang memberi dampak kejumudan sastra.

Jika Slamet dikatakan berhasil menciptakan pemitosan baru atas kanon sastra—bahwa Sutardji kemudian digaet sebagai redaktur tetap Horison—maka itu bukan lagi kanon karya sastra, melainkan kanon penyair. Bukan karya, melainkan pengarangnya yang penting. Dalam rangka kanon penyair inilah puisi Sutardji pun diakui dan mendapat legitimasi baru dalam sejarah sastra.

Dengan demikian, puisi adalah kambing hitam dalam Pengadilan Puisi. Yang sebenarnya ingin dibongkar adalah pemitosan tokoh (penyair). Untuk mengusut alasan di balik itu, saya rasa kita perlu mengenali Darmanto Jatman sebagai pencetus ide gila Pengadilan Puisi.

Ia orang pertama yang ingin mengadili almarhum Chairil Anwar lantaran pemitosan sastra atasnya. Sebuah cetusan pikiran yang agak sinting, tetapi lucu juga kalau dibayangkan.

Darmanto Jatman menulis esai “Tentang Pengadilan Puisi” pada 1972—dua tahun sebelum peristiwa Pengadilan Puisi dan tanggapan atasnya.[10] Dialah sosok yang jadi biang keladi dari ribut-ribut sastra tersebut. Melalui esainya, Darmanto menyampaikan cita-cita ideal tentang nasib penyair Indonesia yang sehat, yang secara administratif diatur berdasarkan prestasi capaian puisi di masyarakat. Sebuah utopia yang muluk-muluk. Namun, ide gila ini berpijak pada alasan yang masuk akal. Seperti inilah bunyi pembukaan esai tersebut:

Pada mulanya kita lihat, alangkah sulit penyair Indonesia keluar dari bayang-bayang Sang Penyair: Chairil Anwar. Keutuhan akan mitos praktis itu untuk mempertahankan eksistensi puisi Indonesia telah memaksa orang menjadikan Chairil Anwar sebagai berhala—apalagi pada masa-masa surut puisi Indonesia yang biasa disebut sebagai malaise itu. Chairil Anwar telah menjadi sistem penilaian terhadap puisi-puisi Indonesia lain. (Eneste, 1986: 62)

Esai Darmanto Jatman mengungkapkan kegelisahan penyair Indonesia, kegelisahan mengenai sistem penilaian di balik proses kanonisasi sastra. Chairil Anwar adalah patron penyair Indonesia, dan hal ini patut diadili melalui sebuah “peristiwa sastra” yang inovatif. Bagaimanapun, penyematan nilai yang tinggi pada Chairil Anwar (bukan puisinya) menunjukkan jangan-jangan puisi itu sekunder ketimbang cara pandang terhadap penyair. Oh, betapa terpencilnya (karya) sastra di kalangan sastrawan itu sendiri.

Menurut saya, Darmanto lebih berhasil dibanding Slamet. Berhasil karena menggugah rekan-rekannya untuk menggunakan cara pandang “keluar teks” terhadap sastra. Darmanto mafhum puisi tidak lepas dari penyairnya.

Namun, problemnya Chairil Anwar sudah mati. Maka, opsi yang tersedia adalah melakukan dobrakan kepada produsen mitos Chairil Anwar, yaitu H.B. Jassin dan Arief Budiman yang disebutnya “saksi-saksi ahli” dalam rancangan pengadilan sastra di esainya.

Di Pengadilan Puisi, Darmanto berperan sebagai Hakim Anggota dibawahi Sanento Yuliman yang adalah Hakim Ketua. Cara pandangnya terhadap puisi menjadi sebuah peristiwa. Pengadilan Puisi adalah realisasi gagasan yang mempercepat cara pandang kita mempersoalkan puisi hingga sekarang. Hal itu tampak pada kehebohan sastra 10 tahun terakhir seperti kasus terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2013) dan gelombang “puisi esai”. Sebagian dari kita memilih benci terhadap sosok Denny J.A. daripada puisinya, bukan?

 

Kesimpulan: Non-Sastra dan Non-Sejarah

Pengadilan Puisi adalah sejarah sastra. Sebagai performance, ia menggugah percakapan yang menarik mengenai hal-hal di sekitar karya sastra, bukan semata apa yang terkandung dalam karya sastra. Pada konstruksi puisi, hal tersebut bisa berupa tentang biografi penyair, bisa pula seputar hal-hal yang erat dengannya: pengakuan, kanonisasi, atau bahkan lelucon non-sastra. Tegangan pada konteks kesenian 1970-an memungkinkan Pengadilan Puisi menghadapkan dua pihak yang memiliki kredibilitas di gelanggang sastra: sastrawan dan akademisi sastra. Jika orang yang punya kapasitas itu digolongkan “kritikus”, maka kedua pihak tersebut saling bersitegang.

Namun, sekarang prestasi karya sastra tidak serta-merta tergantung pada kritikus. Ada elemen-elemen teknologi baru yang mengindikasi karya A lebih keren dari karya B seperti likes, subscriber, atau followers sebagaimana berlaku di media sosial. Belum lagi, marketplace sastra yang kian beragam dan menyesuaikan corak perkembangan teknologi digital. Artinya, banyak faktor non-sastra yang lebih tinggi probabilitasnya dalam memengaruhi kanonisasi daripada faktor sastra.

Faktor non-sastra itulah yang bisa jadi lepas dari persoalan sejarah sastra secara harfiah. Sebagai konten, bermacam ekspresi sastra baru muncul setiap detik. Santai dan bebas. Mau serius, boleh. Mau bercanda juga boleh. Justru saya curiga memang pada masa sekaranglah karya sastra tidak terpencil dari masyarakatnya. Ekosistem sastra yang lentur sudah terbentuk dan semakin luas. Di semesta digital, kita punya banyak kanal untuk mengakses mana yang kita suka dan menyapih mana yang kita kurang suka.

Sastra bisa diperistiwakan kapan pun: diperlakukan tidak sebatas teks. Kata-kata puisi dikutip-tempelkan pada caption Instagram, status Facebook, bio dan cuitan Twitter, kaos oblong, pantat belakang truk, tembok kosong, atau di koran yang membungkus gorengan. Jadi, kita punya banyak akses untuk menentukan sejarah sastra versi kita masing-masing. Toh, masih ada orang-orang yang baca puisi dengan gaya W.S. Rendra di suatu perlombaan deklamasi, ada juga orang-orang yang tidak menyukainya dan malah anteng menonton Afrizal Malna membaca puisi di YouTube. Sedongkol apa pun kita yang sibuk menjulidkan Denny J.A.—ia juga bagian dari sejarah (kerdil) sastra Indonesia.

Di setiap momen, sastra hari ini adalah peristiwa. Dari peristiwa ke peristiwa, sastra menyejarah—atau dilupakan menjadi non-sejarah. Tidak apa-apa. Tersebab Pengadilan Puisi, saya bersaksi Safar Nurhan, setelah peristiwa “Tawuran Sastra”, lebih punya naluri dalam bermasyarakat. Safar tidak kenal Slamet; ia juga cuek kepada dosen sastra yang jarang nongkrong. Meskipun begitu, rasa-rasanya ada sesuatu yang sepertinya relevan di komentar Safar sekaligus menggoda cara pandang kita—termasuk saya—terhadap sastra dan itu bukan omong kosong. Meskipun tidak mustahil ia asal ngomong. Ya, namanya juga netizen. Wallahualam.

 

[1] Nama lengkap acaranya adalah “Charles Bukowski dan Tawuran Sastra di Rawamangun”. Kegiatan diskusi yang dihelat pada Kamis, 5 November 2020 di Atelir Ceremai ini menghadirkan Martin Suryajaya (Petawur Sastra) dan Narudin Pituin (Kritikus Sastra). Keduanya membahas terjemahan atas puisi-puisi Charles Bukowski dan dimoderatori oleh Zulkifli Songyanan. Dokumentasi “Tawuran Sastra” di Rawamangun ini ternyata diliput Rini Febriani Hauri dan bisa ditonton di tautan berikut: tautan.

[2] Pengadilan Puisi diterbitkan oleh Gunung Agung (1986) dengan penyunting dan penyusun Pamusuk Eneste. Buku yang disebut Eneste sebagai “Dokumen 1974” itu baru terbit 12 tahun setelah peristiwa Pengadilan Puisi. Upaya penerbitannya dimaknai Eneste sebagai pengisian “salah satu tempat yang lowong dalam sejarah sastra Indonesia” (1986: 3).

[3] Sejumlah nama penulis yang datang ke Pengadilan Puisi 1974: Sanento Yuliman, Darmanto Jatman, Slamet Sukirnanto, Taufiq Ismail, Handrawan Nadesul, Saini K.M., Adri Darmadji Woko, Wing Kardjo, Abdul Hadi W.M., Yudhistira Ardi Noegraha, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto D.S., Pamusuk Eneste, Dami N. Toda, dan Yasser S.

[4] “Sebuah kursi kosong terletak di tengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia,” tulis Taufik Ismail (dalam Eneste, 1986: 8).

[5] Pada 1980, A. Teeuw menyebut periode 1974-1975 adalah awal penciptaan sajak-sajak pamflet Rendra. Masa yang sama dengan peristiwa Pengadilan Puisi. Selain itu, Teeuw juga mengingatkan bahwa kesan pembacaan sajak “Khotbah” di Poetry International, Rotterdam, Belanda, pada 1971 sangat melekat pada orang-orang yang mendengarkannya secara langsung (lihat “Catatan” A. Teeuw dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Burung Merak Press, 2008: 70-96).

[6] Pengadilan atas “Langit Makin Mendung” berlangsung sekitar 1969-1970. Inilah kali pertama karya sastra diperkarakan di meja hijau dan H.B. Jassin diadili selaku redaktur majalah Sastra. Selanjutnya bisa dibaca Heboh Sastra: Suatu Pertanggunganjawab (1970). Tentang persoalan “Langit Makin Mendung”, bisa juga ditengok dalam Pledoi Sastra: Kontroversi Langit Makin Mendung Kipanjikusmin (Melibas, 2004).

[7] Sebelum Slamet, riwayat tegangan antara akademisi sastra dan sastrawan tampak pada polemik “Aliran Rawamangun” dan “Metode Ganzeit” yang diwakili Arief Budiman dan Goenawan Mohamad di akhir 1960-an. Orang yang berada di posisi ‘tengah’ dari tegangan tersebut dan barangkali menjadi ‘penjembatan’ adalah H.B. Jassin, sebab ia menjadi dosen sastra di kampus UI sekaligus aktif di skena sastra.

[8] Empat makalah di pertemuan tanggapan ini dikumpulkan ke dalam Pengadilan Puisi (Eneste, 1986). Alih-alih mengurasi secara ketat tulisan seputar Pengadilan Puisi yang beritanya tersiar di media massa sekitar September dan Oktober 1974 dalam buku tersebut, Erneste hanya mengumpulkan ulang tulisan kunci dalam pertemuan “jawaban” di Rawamangun.

[9] Pengadilan Puisi berdekatan dengan rangkaian persidangan Hariman Siregar, salah satu aktivis yang menjadi tokoh utama dari Peristiwa Malari, 15 Januari 1974. Terkait persidangan itu, Goenawan Mohamad (Eneste, 1986: 52) menyinggung dalam makalahnya di pertemuan Rawamangun sebagai berikut: “Saya juga sebelumnya tak membaca berita di koran tentang acara tersebut [Pengadilan Puisi—HM]. Yang saya baca di koran hari-hari ini cuma laporan pengadilan Hariman Siregar—yang bagi saya lebih menyangkut masalah yang lebih besar daripada masalah penyair Indonesia dan puisi mereka.”  

[10] Esai Darmanto Jatman dimuat di Berita Yudha dan diterbitkan sebagai lampiran dalam Pengadilan Puisi (Eneste, 1986). Esai ini ditulis sangat bagus, menggelitik, dan tetap kontekstual dibaca pada masa sekarang karena punya daya “iseng” untuk menantang perspektif kita terhadap sejarah puisi Indonesia, beserta mitos-mitosnya.

Blog6 Maret 2022

Hamzah Muhammad


Hamzah Muhammad lahir di Rawamangun pada 22 September 1991. Bukunya Kuasa dan Narasi: Kebudayaan Jawa dalam Kritik (2019) meraih Nominasi Penghargaan Badan Bahasa 2020 (Kategori Esai/Kritik Sastra). Karya terbarunya adalah buku puisi Hompimpa Alaium Gambreng (Anagram, 2022)

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.