Arsip Digital sebagai Wahana Penciptaan
Catatan tentang Cumbu Sigil

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Arsip ada karena ingatan manusia tidak pernah sempurna. Orang-orang mencatat apa yang pernah mereka atau orang lain alami, merekam kesaksian para pelaku dan penyintas suatu peristiwa, untuk meneruskan ingatan ke anak-cucu atau meluruskan sejarah—apapun yang dimaksud dengan itu. Namun, arsip juga bisa ada karena keisengan belaka.

 

Seorang Pengarang Obskur

Pernahkah pembaca yang budiman mendengar seorang pengarang Indonesia bernama Cumbu Sigil?  Menurut situs catatanmuslihat yang mengarsipkan fragmen-fragmen karyanya dan agaknya dirawat dengan telaten, Cumbu Sigil adalah seorang pengarang kelahiran Jakarta, 1964, yang pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP, banting setir jadi supir taksi, berpindah-pindah jadi satpam di berbagai kantor dan pabrik, bergaul dengan para pemadat menjelang akhir hidupnya, dan mati bunuh diri ketika menginjak usia 40 tahun. Selama hidupnya, ia telah menghasilkan sebuah prosa berjudul “Alegori, Alegori” (1985), sebuah novel “Matahari Di Balik Bukit Partisan” (1987)—yang konon “sempat menjadi buah bibir dan menjadi semacam cult di kalangan intelektual dan aktivisme mahasiswa era Orde Baru”—dan puluhan cerpen, esai epistoler, puisi serta fragmen wawancara.

Dari berbagai tulisannya, kita dapat merekonstruksi suatu kepribadian sastrawi Cumbu Sigil. Ia, pertama-tama, adalah seorang pemarah. Hampir semua tulisannya ditulis dengan bersungut-sungut: tidak puas dengan keadaan sekitar yang dipandangnya medioker—kehidupan sastra Indonesia yang medioker, kehidupan borjuis kecil yang “dilettante” dan “filistin”, adat istiadat yang medioker—dan bahkan tidak puas juga dengan alasan-alasan orang bunuh diri selama ini, seperti ia beberkan dalam surat wasiatnya menjelang bunuh diri. Ia, singkatnya, adalah seorang yang punya uneg-uneg terhadap dunia.

Cumbu Sigil juga seorang yang punya keyakinan politik. Di hampir setiap tulisannya kita dapat temukan rujukan tentang para “seniman dan penulis kontra-revolusioner”, “anak-anak dari sistem kapitalisme yang sycophantic”, perjuangan negeri-negeri Selatan melawan Utara. Ia juga memilih golput sejak tahun 1987.

Membaca tulisan-tulisannya, orang akan segera tahu bahwa Cumbu Sigil adalah seorang aktivis Kiri (dengan sedikit aksen anarko).

Kerpibadian sastrawi ini dilengkapi juga oleh suatu kecenderungan untuk merujuk pada tradisi sastra avant-garde. Ia membahas sajak bebas Eliot dan Pound serta tradisi modernisme sastrawi di baliknya. Pandangan ini tercermin juga dalam Manifesto “Multatuli” (yang menurut keterangan sebuah media Australia merupakan sebuah kolektif sastra avant-garde yang didirikan oleh M. Kisariyah dan Khairil Tjipto di Jakarta, sekitar 1977) yang ditulis oleh Cumbu Sigil:

“[…] yang kami tuntut adalah sintesis seni dan politik, penyatuan antara konten dan bentuk, penyatuan antara konten politik yang revolusioner dan bentuk artistik tertinggi yang sesempurna mungkin! Karya seni yang kurang mempunyai kualitas artistik tidak mampu menggerakkan, seberapapun progresif karya seni tersebut secara politik.”

Jelas dari sini bahwa sang pengarang obskur bergerak dalam imajinasi sastra avant-garde yang ingin mendobrak pakem sastra, mencipta kebaruan bentuk, sekaligus menggulirkan suatu transformasi sosial-politik.

Satu hal yang menarik dari kiprah Cumbu Sigil adalah nyaris ketiadaan karya sastranya. Kita tidak akan menemukan karyanya di toko buku maupun toko loak.

Kita juga tidak banyak menemukan karya sastranya (novel, cerpen, atau puisi) dalam arsip digitalnya yang paling lengkap, yakni situs catatanmuslihat, yang lebih banyak diisi dengan pernyataan sikap, kritik dan esai epistoler Cumbu Sigil. Karya sastranya justru kita jumpai dalam bentuk fragmen kutipan yang berserakan di berbagai situs di internet.

Sebuah akun bernama Bankbenkz di ask.fm, misalnya, mengutip sebuah kalimat Cumbu Sigil: “Saya cuma nggak kepingin bahasa Indonesia jadi cemburu, gara-gara saya pakai bahasa lain.” Seorang bernama Andre menayangkan sebuah tulisan di blog hipster-notes dengan mengambil fragmen prosa Cumbu Sigil berjudul Nyanyian Kasius (2002) sebagai epigraf: “Ketika teman-teman lama berangsur menjadi suara yang nyaring, dan ingatanku akan mereka kian mengabur dan layu, maka aku akan mengalihkan pendengaranku ke bebunyian yang jauh lebih dekat, bunyi dengan desibel terendah, yang hampir tak terdengar oleh sesiapa.” Sebuah fragmen lain dari karya yang sama juga menjadi epigraf suatu tulisan di sebuah blog berjudul Do’a Penebusan yang Dilantunkan dengan Terbata: “Aku akan mengalihkan pendengaranku ke bebunyian yang jauh lebih dekat / Bunyi dengan desibel terendah yang hampir tak terdengar oleh sesiapa.” Bahkan di antara ratusan jawaban untuk sebuah pertanyaan di Kaskus bertajuk “Punya Quote (Kutipan) Favorit di Buku yang Kamu Baca? Share disini :-*” dijawab antara lain oleh akun bernama djraf dengan kutipan dari novel “Matahari di Balik Bukit Partisan” (hal. 47): “Satu-satunya penyakit yang kita syukuri karena tidak ada satupun obat yang dapat menangkalnya: nostalgia.”

 

Fiksi tentang Yang Obskur

Cumbu Sigil, tentu saja, adalah tokoh rekaan. Hal ini dapat dikenali bukan lantaran namanya tidak pernah muncul di berbagai terbitan pada masa hidupnya; tentu banyak juga pengarang lain yang tidak kebagian tempat dalam sejarah sastra Indonesia.

Ada empat petunjuk yang bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan mengapa Cumbu Sigil adalah sastrawan fiktif.

Pertama, kematiannya yang melodramatik. Cumbu Sigil dikisahkan mati bunuh diri setelah “menembak mati seorang pemulung naas menggunakan pistol ilegal yang ia dapatkan dari seorang pemadat“. Mengapa ini janggal? Karena dikisahkan bahwa pekerjaan terakhir Cumbu Sigil adalah satpam di kantor dan pabrik. Sejak kapan satpam berteman dengan pemadat? Dikisahkan juga pilihan metode bunuh dirinya, yakni menabrakkan diri ke kereta yang melesat, terinspirasi dari penyair Cina pasca-Revolusi Kebudayaan, Hai Zi, yang juga  mati menabrakkan diri ke kereta. Bayangkan ini: seorang satpam yang punya cukup waktu luang dan uang untuk mengakses sastra dunia, dan mempertimbangkan alasan bunuh dirinya setelah menulis suatu komparasi kritis dengan berbagai alasan orang bunuh diri, kemudian memutuskan untuk mengadopsi gaya bunuh diri seorang penyair Cina ibarat seorang pengarang mengadopsi gaya sastrawi pengarang lain. Hidupnya terlalu Bolanesque untuk sungguh nyata.

Kedua, inkoherensi dalam latar belakang hidupnya. Cumbu Sigil adalah seorang satpam yang membaca Roberto Bolaño pada tahun 2004. Ia menganggap karya-karya Bolaño “selalu mengenai tema ketiadaan”; artinya, ia sudah membaca beberapa karya. Padahal novel pertama Bolaño dalam bahasa Inggris baru terbit pada tahun 2003 (By Night in Chile). Jadi, harus diandaikan bahwa Cumbu Sigil bisa berbahasa Spanyol dan sudah membaca Bolaño bahkan sebelum publik dunia berbahasa Inggris mengenalnya. Atau, harus diandaikan bahwa ia adalah seorang satpam yang bisa melihat masa depan dan membaca novel-novel terjemahan Bolaño di masa depan. Cumbu Sigil agaknya terlalu gemar pamer bacaan terbaru dari lingkungan sastrawan dan pemikir dunia, bahkan jika itu seperti tidak selaras dengan profil sosial-ekonomi dirinya sendiri. Pencipta Cumbu Sigil barangkali perlu belajar untuk lebih sabar dan tidak mudah termakan godaan untuk menyampaikan pandangan pribadinya melalui tokoh rekaannya.

Ketiga, arsip foto yang dihadirkan sebagai bagian dari backstory Cumbu Sigil merupakan hasil comotan dari tempat lain: misalnya, foto kolektif sastra avant-garde “Multatuli” ternyata adalah foto pendiri Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI). Berkat Google Lens, pencarian imaji digital dengan mudah mengantarkan kita menemukan sumber aslinya sehingga pencipta semesta rekaan semestinya lebih berhati-hati.

Keempat, seluruh sumber informasi tentang Cumbu Sigil di internet hanya ada sejak 2013, setahun setelah tulisan bernama pena Cumbu Sigil pertama kali muncul di situs catatanmuslihat. Ditinjau dari pendekatan kritik sumber, tentu ini sebuah anomali yang menuntut penjelasan: mengapa rujukan tentang seorang pengarang yang salah satu novelnya disebutkan “sempat menjadi buah bibir dan menjadi semacam cult di kalangan intelektual dan aktivisme mahasiswa era Orde Baru” baru muncul di internet setelah tahun 2013, jauh setelah penulisan blog dipraktikkan di tanah air?

 

Arsip Digital sebagai Fiksi Kolektif

Namun, lepas dari semua itu, pencipta tokoh Cumbu Sigil dengan baik memanfaatkan kekhasan wahana internet untuk menjadikan Cumbu Sigil bagian dari ingatan bersama. Ada banyak sekali keterangan tentangnya di internet. Bahkan seorang desainer grafis dan musisi band indie asal Bandung menulis di blognya bahwa membaca Cumbu Sigil adalah salah satu hobinya dan sebuah akun alter di twitter menulis sebuah “ode sekaligus salam perpisahan” untuk Cumbu Sigil. Selain itu, sebuah akun alter yang lain di ask.fm menjawab sebuah pertanyaan, “5 novel Indonesi terbaik?”, dengan mendaftar lima novel yang agaknya ditulis oleh lima novelis fiktif, salah satunya adalah Cumbu Sigil. Konfirmasi semacam ini juga datang dari demografi yang berbeda. Kali ini dari seorang agronomis dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (yang namanya disebutkan juga dalam sebuah kasus sengketa waris yang diselesaikan oleh Putusan PN BOGOR Nomor 84/Pdt.G/2019/PN Bgr), yang menjawab sebuah pertanyaan di situs Quora, “Siapa saja penulis Indonesia yang karyanya hebat namun mereka tidak populer?”, dengan profil Cumbu Sigil. Apakah hubungan antara seorang musisi band indie, akun alter di twitter dan ask.fm, serta seorang agronomis yang terlibat kasus sengketa waris? Apakah keempatnya sama-sama anarko Bandung?

Walaupun besar kemungkinan semua pengutip itu sengaja berkolaborasi, apa yang penting di sini malah bukan itu; bukan itu sama sekali.

Apa yang penting di sini adalah bahwa kasus Cumbu Sigil memperlihatkan suatu kemungkinan lain dalam mengerjakan sastra dalam hubungannya dengan arsip. Jika sastrawan kita biasa mengolah arsip sebagai bahan penelitian dan inspirasi untuk mencipta sebuah semesta fiksi, para pengarang Cumbu Sigil justru menciptakan arsip sebagai karya sastra itu sendiri.

Hal ini dimungkinkan oleh kekhasan wahana arsip digital: sebuah wahana yang memungkinkan—atau lebih tepat, dimungkinkan oleh—partisipasi kolektif dalam penciptaannya. Urun-daya (crowdsourcing) adalah hakikat khas dari arsip digital, sesuatu yang membedakannya dari arsip fisik. Oleh karena itu, penciptaan suatu semesta rekaan secara kolektif menjadi sangat dimungkinkan dalam wahana yang cair dan demokratis ini.

Tentu saja, seorang penulis bisa menciptakan sebuah semesta rekaan dalam novelnya yang kemudian direspon oleh penulis lain dengan mengintegrasikan tokoh atau unsur semesta rekaan itu ke dalam semesta rekaannya sendiri. Perbedaan antara praktik semacam ini dan praktik penciptaan Cumbu Sigil, pada akhirnya, adalah perbedaan antara waralaba dan koperasi. Sementara waralaba masih mengakui kepemilikan individual atas usaha, koperasi hanya mengakui kepemilkan kolektif atas usaha. Demikian pula dalam konteks sastra: pengarang dapat berbagi semesta rekaan sebagai pengarang (author) atau sebagai kolektif yang mengesampingkan kewenangan cipta perseorangan. Yang kedua agaknya lebih menarik, sekurangnya dari sudut pandang kritikus, daripada yang pertama.

Dalam hal ini, kasus Cumbu Sigil dapat dilihat pula sebagai bentuk kekinian dari proses formasi cerita rakyat (folklore). Tidak ada seorang pun yang tahu siapa individu pencipta La Galigo, Mahabharata, atau Iliad. Tidak ada kesepakatan di antara ahli apakah Resi Wiyasa atau Homeros adalah seorang pengarang atau deretan pengarang anonim yang diabadikan dengan sebuah nama yang, entah bagaimana cara kerja sejarah, akhirnya dipilih. Barangkali inilah yang bisa kita jadikan pemikiran bersama: apakah transformasi modus pengarsipan ke dalam wahana digital telah menciptakan prakondisi bagi kesusastraan masa depan sebagai cerita rakyat?

Blog20 Januari 2022

Martin Suryajaya


Martin Suryajaya ​meraih juara pertama dalam Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013. Karya terbarunya adalah buku puisi ​Terdepan, Terluar, Tertinggal (Penerbit Anagram, 2020). Beberapa buku mutakhirnya antara lain: Sejarah Estetika​ (Gang Kabel, 2016) yang memenangkan penghargaan Best Art Publication dari Art Stage 2017, dan novel Kiat Sukses Hancur Lebur​ (Banana, 2016) yang memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2018 Kategori Novel.