Maut dan Modernitas
Dari “Aku” Chairil ke “Aku” Wiji Thukul

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Pada 1996, saya terantuk pada sebuah fakta: puisi pertama dan terakhir Chairil Anwar sama-sama bicara tentang kematian atau maut. Pada 1942, Chairil Anwar turut mengantar jenazah neneknya ke kuburan. Chairil berusia 20 saat itu. Kematian dan pemakaman neneknya begitu berkesan, sehingga Chairil menulis puisi Nisan, terbit pada Oktober 1942:be

Nisan

untuk nenekanda

 

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

Puisi ini menandai sebuah minat yang menetap pada Chairil, yang tampak dari karya-karyanya, maupun riwayat hidupnya: minat kepada kematian. Tinuk Yampolsky menulis bahwa kebanyakan puisi Chairil hingga akhir kekaryaannya berbicara, setidaknya secara implisit, tentang tema kematian atau maut.[1]

Puisi terakhirnya, Derai Derai Cemara, dituliskan di ranjang rumah sakit, dan terbit pertama kali di majalah Mutiara pada 15 Mei 1949. Jadi, beberapa minggu setelah kematiannya, yakni pada 28 April 1949. Pada puisi ini, Chairil tidak menyebutkan satu kata yang merujuk langsung pada “maut” atau “kematian”. Di sini, ia bicara tentang “hidup”. Namun, keseluruhan puisi menampakkan permenungan tentang kematian.

Derai Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan ditingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

 

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada satu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

 

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Puisi yang oleh beberapa kritikus/penelaah dianggap sebagai karya puncak Chairil, dan salah satu tonggak penting dalam sejarah puisi modern Indonesia[2], menampakkan sebuah pisau bermata dua: permenungan menghadapi kematian dengan cara membicarakan kehidupan.

Pisau bermata dua ini adalah hal yang lazim dalam sebuah dunia yang sedang membangun kemodernan. Kefanaan, batas usia, maut, adalah permasalahan filosofis yang dalam dunia tradisional membawa pada permenungan semacam sangkan paraning dumadi –permenungan tentang muasal manusia dan tujuan hidupnya, yang biasanya disimpulkan sebagai “kembali kepada Sang Pencipta, yang menciptakan alam.” Seorang manusia modern, walau belum tentu lepas dari aspek religiusitas tradisional, condong pada pemerian makna akan hidup yang telah dilalui.

Sebelum “melompat” ke dalam sikap berserah-diri pada Tuhan, jika memang seorang manusia modern ingin mengimani yang gaib setelah hidup usai, hidup manusia itu sendiri perlu diabstraksikan, disusun kembali sebagai sebuah pemahaman pribadi dalam serangkaian tindakan pemaknaan.

Itulah yang terasa dalam ketakjuban Chairil muda saat memandang kematian neneknya. Bukan kematian benar menusuk kalbu, kata Chairil. Kematian itu sendiri, betapa pun, adalah sebuah fakta. Ia lebih terpana oleh Keridlaanmu menerima segala tiba –sebuah keheranan akan sikap neneknya, yang menerima akhir dari segala, akhir dari sebuah hidup, akhir hidup seseorang, batas akhir hidup individu. Tersirat di situ, pertanyaan: bagaimana mungkin ada penerimaan sedemikian penuh atas sesuatu yang begitu menggetarkan karena merupakan akhir dari segala, yakni maut?

Pertanyaan demikian sesungguhnya adalah sebuah pertanyaan pada hidup itu sendiri. Hidup macam apakah yang bisa membuat maut bisa diterima? Sepanjang karya-karya Chairil, ia tak pernah benar-benar meletakkan jawaban bagi pertanyaan ini pada kenyamanan ajaran agama (tepatnya, ajaran organized religion atau agama terorganisasi seperti mewujud dalam gereja atau ormas berbasis teologi seperti NU atau Muhammadiyah).

Ketika ia berhadapan dengan imaji Isa di dalam persaliban, Chairil terpaku pada citraan konkret sebuah kematian:

Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah

 

rubuh

patah

(Isa, 12 November 1943)

Kematian dalam imaji ini adalah sebuah peristiwa ketubuhan yang traumatik. Peristiwa penyaliban dalam puisi ini bukanlah sebuah konsep abstrak, yang secara a priori bersifat transenden. Chairil menulis sebuah Aku-lirik yang terpana pada ketubuhan dari sebuah proses kematian: kulihat Tubuh mengucur darah / aku berkaca dalam darah. Chairil menulis “Tubuh” dengan “T” kapital, sementara “aku” tak menggunakan huruf kapital. Kemungkinan besar ini dimaksud sekadar sebagai penanda bahwa tubuh itu bukan sembarang “tubuh”, tapi tubuh Yesus, yang dalam kepercayaan Kristen lazimnya dianggap sebagai (perwujudan) Tuhan. Jadi, huruf kapital “T” itu dipakai sebagaimana kelaziman menuliskan “Kau” dengan “K” kapital sebagai kesepakatan umum menandai kata ganti untuk Tuhan. Namun, penulisan demikian turut menambah bobot pada konsep “tubuh” itu sendiri. Dengan kapital “T”, kata “Tubuh” jadi segera tampak menonjol dalam baris-baris sajak ini.

Chairil juga menyematkan penanda lain dalam puisi itu, sebuah persembahan “kepada Nasrani sejati”. Pembubuhan kata “sejati” memosisikan pembaca pada pertanyaan, apakah ada “Nasrani yang tidak sejati”? Apa beda “Nasrani sejati” dan “Nasrani yang tidak sejati”? Tanpa kita masuki perbincangan lebih jauh tentang teologi dan sistem gereja, kita bisa membaca pembedaan Chairil akan “Nasrani sejati” dan yang bukan adalah pada pemahaman Chairil akan adanya bentuk keberagamaan yang substansial, yang ia seru dalam puisi ini, dan ada yang tidak-substansial. Lewat puisi ini, Chairil rupanya menganggap bentuk keberagamaan yang substansial dalam Nasrani adalah yang mau berhadapan dan memasuki trauma ketubuhan Yesus dalam kisah penyaliban. Dalam berhadapan dengan peristiwa kebutuhan yang traumatik itu, Aku-lirik berkaca, bercermin. Dengan kata lain: melakukan refleksi.

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

Refleksi dalam darah adalah sebuah pernyataan yang kuat tentang penciptaan makna dalam kekerasan yang terkandung dalam peristiwa ketubuhan di kisah penyaliban ini.

Walau, tentu saja, peristiwa ketubuhan ini bersifat metaforik, sebuah imaji/citraan, tetapi pemaknaannya adalah sesuatu yang konkret: sebuah relasi tanpa perantaraan teologi antara Aku-lirik dan imaji tubuh yang “ngucur darah” sebagai representasi Tuhan.

Chairil juga menerbitkan sebuah puisi tentang refleksi atas keberagamaan yang lebih umum, lewat puisi Doa yang ia bubuhkan tanggalnya tepat sehari setelah tanggal puisi Isa. Dalam Doa (14 November 1943), Chairil juga menyematkan tanda persembahan “kepada pemeluk teguh”. Di dalamnya, ada sebuah bait demikian

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Bait ini terasa sebagai sebuah alusi pada sebuah bait puisi terkenal dari Amir Hamzah, Padamu Jua (dalam kumpulan Nyanyi Sunyi, 1937):

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Bait dari Amir Hamzah itu sebuah ungkapan jarak dengan Tuhan yang disikapi dengan semacam optimisme yang tenang. Api Tuhan berada dalam “malam gelap”, tampak kecil, tetapi adalah sebuah “pelita”, merayu (“melambai”). Pada Chairil, ungkapan api Tuhan yang tampak kecil dalam malam gelap perjalanan hidup manusia adalah sebuah relasi yang tak tenang, menyimpan konflik. Tuhanku // aku hilang bentuk / remuk. Jarak antara Aku-lirik dengan Tuhan ditempuh sang Aku-lirik dalam “remuk”. Malam dan gelap adalah sebuah keadaan kembara yang tak tenang, kegamangan, bukan rindu yang syahdu dalam gelap atau remang. Tuhanku aku mengembara di negeri asing, tulis Chairil. Ia mengakhiri puisi ini dengan sebuah dakuan akan kemustahilan menampik Tuhan.

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Namun, dakuan ini tak meniadakan konflik batin Chairil: ia tetaplah tidak hendak sepenuhnya menyerahkan kebermaknaan hidupnya dalam sebuah teologi yang nyaman. Pada 1947, empat tahun setelah pengakuan dalam Doa, Chairil menulis puisi yang persembahkan untuk Basuki Resobowo, Sorga:

Seperti ibu + nenekku juga

tambah tujuh keturunan yang lalu

aku minta pula supaya sampai di sorga

yang kata Masyumi + Muhammadiyah

bersungai susu

dan bertabur bidari beribu

Gambaran yang terasa karikatural itu segera digoyahkan dalam bait selanjutnya: Tapi ada suara menimbang dalam diriku, / nekat mencemooh:… yang dilanjutkan sebuah kontras antara gambaran yang ditawarkan agama dengan gambaran yang sangat konkret di hadapan janji “bidari beribu”: apa jaminan bahwa memang benar ada “bidari” yang “suaranya berat menelan seperti Nina” dan “punya kerlingnya Jati?” Dengan pertanyaan itu, Chairil membenturkan janji Sorga dengan pengalaman konkret dalam hidupnya dengan perempuan-perempuan yang ia suka.

Dalam puisi ini, jelas tampak bahwa kerisauan yang kuat bagi Chairil dalam berdepan-depan dengan kematian adalah pencarian makna hidup sebelum kematian dan bukan di alam sesudah kematian seperti yang dijanjikan agama-agama.

Sesuatu yang telah terbaca ketika pada 29 Mei 1943, ia menulis puisi Di Mesjid, dan menggambarkan ruang suci sebagai tempat berperang antara Aku-lirik dan Tuhan

Ini ruang

Gelanggang kami berperang

 

Binasa membinasa

Satu menista lain gila

Gelanggang itu rupanya tak pernah berubah jadi jendela ber-kandil kemerlap yang merayu rindu seperti dalam sajak Amir Hamzah. Lebih tegas lagi, sebetulnya, ketika pada 8 Juni 1943, ia menulis, “Kujauhi ahli agama serta lembing katanya” (Aku, 1943). Ungkapan ini lebih konsisten dengan sikap Chairil pada puisi-puisinya sesudah Doa. Chairil pada akhirnya menampik kebermaknaan yang ditawarkan oleh dunia tradisional yang merentang “tujuh keturunan yang lalu”. Ia memilih menjadi modern.

 

Ciri-ciri kemodernan bukan melulu pada penolakan terhadap tradisi atau paham tradisional atas dunia. Pada Chairil, beberapa bait puisinya menegaskan pilihan untuk membangun kebermaknaan dalam lakon hidup sebelum kematian.

Sekali berarti

Sudah itu mati

(Diponegoro, 1943)

Dalam puisi sadurannya, Krawang-Bekasi[3], Chairil menggemakan pemikiran bahwa penciptaan keberartian adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh mereka yang hidup.

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Tersirat dari bait ini, bahwa sekumpulan mayat adalah sesuatu yang telah selesai. Mereka hanya onggokan tubuh tanpa hidup. Maut memberi ruang bagi manusia yang hidup untuk mencipta makna –pada yang telah mati mendahului, maupun pada hidup itu sendiri.

Tindakan yang dengan sadar dan rasional memberi makna pada hidup melalui serangkaian konstruksi tentang kehidupan individu dan kehidupan sosial sebagai sebuah penyangkalan atau pemalingan diri dari kehadiran maut adalah sebuah tindakan modern, sebuah kemodernan. Clive Seale, dalam Constructing Death: The Sociology of Dying and Bereavement (Cambridge University Press, 1998) menuliskan: Life, in a sense, can be understood as a deliberate, continual turning away from death. (Hal. 11). Kalimat ini menggambarkan dengan baik konteks beberapa ungkapan pikiran dan perasaan dalam puisi-puisi Chairil Anwar tentang kematian (dan hidup). Kajian Seale juga dapat diterapkan untuk memahami posisi kemodernan Chairil Anwar dalam puisi-puisinya.

Buku Seale adalah sebuah kajian tentang bagaimana masyarakat modern tahap lanjut (late modern) mengkonstruksikan makna hidup di hadapan persoalan kematian. Kalimat-kalimat awal bukunya bisa diterapkan untuk menjelaskan ketakjuban Chairil muda yang mendorongnya menulis puisi pertamanya, Nisan.

The study of human experience of death allows us to understand some fundamental features of social life. Embodiment dictates basic parameters for the construction of culture, the key problem for which is contained in the fact that body eventually die. On the one hand this threatens to make life meaningless, but on the other it is a basic motivation for social and cultural activity. (Seale, 1998, hal. 1)

Ketika mengantar jenazah neneknya, Chairil mengenali ancaman maut untuk menjadikan hidup sebagai tak bermakna, seperti tergambar dalam kutipan dari Seale, karena finalitas kefanaan yang ada pada maut. Apa pun yang kita lakukan, kita akan mati juga. Namun, seluruh kepenyairan Chairil sesudah Nisan adalah upaya melakukan kegiatan sosial dan kultural bagi dirinya di hadapan ancaman ketakbermaknaan itu. Chairil bercinta dan patah hati dengan banyak perempuan, berjalan bersama kawan hingga ke jauh larut malam, menulis, ngajak ribut teman-temannya, terlibat dalam perjuangan Revolusi Kemerdekaan di Jakarta, dan sebagainya, boleh dibilang adalah sebuah upaya keras Chairil memalingkan diri dari maut.

Dalam Kepada Kawan (30 November 1946), setelah Chairil membuka puisinya dengan kalimat, “Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat”, ia lantas menulis demikian:

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Seale menulis juga,

At psychological level, however, the construction of a meaningful approach to social life is rooted in a ‘denial’, or at least a turning away from the problem of death. (Seale, 1998, hal. 3)

Tampak betapa Chairil menyangkal maut, atau, meminjam istilah Seale, memalingkan muka dari maut, dengan menyambut lakon hidup sepenuh-penuhnya. Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, tulis Chairil. Dengan memalingkan diri dari maut, Chairil membenam hidup yang begitu dinamis. Setidaknya, terbaca dalam kalimat-kalimat puisi Kepada Kawan yang dikutip di atas, hidup atau kesan-kesan tentang hidup yang terasa berlari, bersicepat, bersemangat. Untuk mencapai efek ini, Chairil menggunakan teknik kontras yang berbenturan:

isi gelas vs. kosongkan

tembus jelajah dunia ini vs. balikkan

peluk kucup perempuan vs. tinggalkan

Susunan kalimat serba membenturkan itu seolah menggambarkan keadaan serba ekstrem yang dijalani dalam hidup Chairil, minimal dalam semangat yang diartikulasikan lewat bahasa tulisan ini: hidup yang melompat dari ekstrem satu ke ekstrem lain dalam satu baris puisi. Semangat demikian kemudian dilanjutkan dalam bait puisi itu lewat citraan pengembara padang ilalang, atau jangan-jangan di alam koboi? Pilih kuda yang paling liar, pacu laju. Pilihan citraan “kuda” tentu saja sebuah alusi pada gerak dan tenaga. Apalagi lantas diimbuhkan juga kalimat “liar”, lagi-lagi sebuah citraan dinamis. Tambah “berlari” ketika bait itu juga menggunakan kata “pacu” dan “ laju”.

Dalam baris-baris yang menggunakan perlambang kuda ini, tak ada pembenturan kontras dua hal bertentangan seperti yang telah dilakukan di baris-baris sebelumnya di bait yang sama. Baris-baris itu menjadi terasa dinamis, karena setelah citraan kuda yang di-“pacu”, dan “laju”, Chairil menutup dengan kalimat instruktif untuk jangan berhenti, Jangan tambatkan pada siang dan malam. Sebuah baris yang menyaran agar siapa pun pengendara kuda itu, yang me-“macu” dan “laju”, terus bergerak.

Semangat dan sikap dinamis terhadap hidup dalam puisi-puisi Chairil Anwar itulah yang dianggap memenuhi pengertian sebuah istilah yang pernah populer di kalangan elite politik dan kebudayaan kita: élan vital.

Istilah ini pertama kali diciptakan oleh filsuf Prancis, Henri Bergson pada 1907 dalam bukunya tentang evolusi, Creative Evolution. Dalam pemahaman Bergson, élan vital (sering diterjemahkan sebagai “daya hidup”) adalah sebuah penjelasan hipotetis Bergson tentang daya penggerak evolusi dan pertumbuhan organisme –dua hal yang dikaitkan dengan kesadaran (conciousness) sebagai persepsi intuitif dari sebuah pengalaman dan arus waktu batin sebuah organisme.[4] Daya hidup dalam pengertian yang mengandung unsur-unsur evolusi/pertumbuhan, kesadaran, persepsi intuitif, pengalaman, dan waktu batin ini tampak pada bait-bait puisi Chairil berikut:

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

(Prajurit Jaga Malam, 1948)

 

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Aku/Semangat, Maret 1943)

Evolusi atau pertumbuhan kejiwaan Chairil tampak pada perkembangan permenungannya tentang maut dan hidup pada puisi-puisinya dalam rentang pendek 1942-1949. Pertumbuhan yang juga bisa dibaca sebagai pertumbuhan kesadaran yang hadir dalam rangkaian ekspresi persepsi pribadinya atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Pertumbuhan yang menghadirkan sebuah Aku-lirik yang kuat sekali, salah satu yang terkuat dalam sejarah puisi Indonesia modern.

Aku yang punya daya, keberanian, untuk menginginkan “hidup seribu tahun lagi”, di saat dunia keseharian sang penyair sedang dirundung kolonialisme Jepang yang keras, kelangkaan sumberdaya, ancaman perang dunia, serta prospek kemerdekaan yang belum nyata.

Di sini, sekaligus tampak sebuah kesadaran waktu batin yang mengatasi waktu tubuh fisik rata-rata manusia yang, tentu saja, sejauh ini, tak akan sampai seribu tahun.

 

Mengenai kehadiran Aku-lirik yang kuat itu, ungkapan Seale lagi-lagi bisa membantu kita memahami hal tersebut dalam konteks relasi antara tema Maut dan Kemodernan.

So, on the one hand we orient ourselves, through our bodies, towards pleasure, emotions, libido, projects to create personal meaning and, increasingly in the ‘West’, an individually fashioned sense of self-identity. On the other hand, these things are guided, limited and ultimately undermined by the material life of the body, which moves inevitably towards eventual decay and a return to inanimate existence. (Seale, 1998, hal. 11)

Beberapa puisi Chairil dengan jelas membenamkan perhatian mereka pada ketubuhan manusia, dan memenuhi gambaran Seale tentang manusia modern yang di satu sisi mengorientasikan (mengarahkan) tubuhnya pada “kesenangan indrawi/jasmaniah, emosi-emosi, libido, dan berbagai proyek individual untuk mencipta sebuah makna pribadi”. Bersamaan dengan itu, Seale mencatat bahwa “semakin meningkat gejala di ‘Barat’ tentang terbentuknya rasa “identitas-pribadi” (self-identity)”.

Kata “Barat” di sini, saya tafsir, sebagai sebuah keadaan modern tahap lanjut yang ditelaah Seale.[5] Tafsir ini tentu perlu catatan: saya tidak menganut paham bahwa “modernisasi” identik dengan “westernization”, tetapi saya juga tidak menampik historisitas modernisasi yang berpacak pada sejarah Barat dan ekspansi kolonialnya, yang mencakup Eropa Barat dan Amerika Serikat terutama sejak abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Dalam konteks historisitas itulah kehadiran Aku-lirik yang kuat sekali dalam puisi-puisi Chairil Anwar selaras dengan modernisasi yang terjadi di Indonesia. Bahkan, saya hendak mengatakan bahwa percobaan-percobaan bentuk pada puisi-puisi Chairil yang membuat puisi-puisinya dianggap sebagai pemberi fondasi terkuat puisi modern Indonesia[6] adalah bagian dari “proyek-proyek” yang disebut Seale di atas, yakni “proyek-proyek untuk menciptakan makna pribadi dan …identitas-pribadi.”

Dengan kata lain, relasi antara posisi Chairil Anwar sebagai seorang pembaharu puisi modern Indonesia, modernisasi Indonesia, dan obsesi Chairil terhadap tema-tema kematian, bukanlah sebuah relasi kebetulan. Relasi ketiganya adalah sebuah relasi organik.

Pembaharuan-pembaharuan bentuk pada puisi Chairil adalah sebuah upaya mencari wahana pengucapan modern yang paling pas bagi dirinya, untuk mengekspresikan perhatian, pikiran, dan perasaannya akan maut dan hidup yang ia jalani. “Proyek” ini secara organik pula membuka ruang bagi penghadiran sebuah Aku-lirik yang, dalam perjalanan waktu, menjadi ikonik bagi modernisasi bahasa dan sastra Indonesia.

 

Tema kematian dan kehadiran Aku-lirik modern yang kuat tampak menetap dalam sejarah puisi Indonesia modern dan membutuhkan suatu kajian tersendiri.

Namun, dalam lesatan waktu dari Aku-lirik dalam puisi Chairil ke era Orde Baru dan sesudahnya, saya terantuk lagi pada sebuah Aku-Lirik di hadapan Maut. Aku-lirik yang hadir dalam puisi-puisi Wiji Thukul.

Pada 27 Juli 1996, terjadi kerusuhan di Jakarta yang bermula penyerbuan pagi hari di Jalan Diponegoro, gedung kantor PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Soeharto, sebagai presiden yang telah 30 tahun berkuasa, menyebut “setan gundul” sebagai pelaku dan provokator kerusuhan. Sebutan keras bagi ukuran komunikasi politik Soeharto saat itu ditujukan pada para aktivis yang tergabung dalam PRD (Partai Rakyat Demokratik). Sebagian mereka lantas diculik dan disiksa oleh sebuah sayap militer rezim; para aktivis yang belum tertangkap kocar-kacir. Wiji Thukul pun salah satu yang hidup dalam pelarian, hingga di suatu masa pada 1998, kawan-kawannya menyadari bahwa Wiji Thukul telah hilang. Hingga kini.

Dalam pelarian itu, Wiji masih menulis puisi.[7] Salah satunya, Aku Diburu Pemerintahku Sendiri:

malam sangat jernih

sejernih pikiranku

walau penguasa hendak

mengeruhkan

tapi siapa mampu mengusik

ketenangan bintang-bintang?

Puisi ini terasa kalem, Aku-lirik dihadirkan dalam citraan yang jernih (lucid) seorang pelarian yang menumpang di bak truk pada malam hari. Walau tak diucapkan, Maut hadir menggantung di udara. Suasana pelarian seperti yang dialami oleh Wiji adalah teks implisit tentang kematian.

Berbeda dengan kematian yang jadi obsesi Chairil, sebuah abstraksi kematian yang sifatnya umum dan relatif alamiah, kematian di balik puisi Wiji ini adalah ancaman yang konkret dari Negara terhadap para penentangnya waktu itu. Ini menandai sebuah karakter Aku-lirik dalam puisi-puisi Wiji: Aku-lirik yang diupayakan hadir dalam situasi-situasi konkret, dengan meminimalisasi proses abstraksi dalam penghadiran Aku-lirik melalui medium bahasa sang penyair.

Publik umum, yang tak bersentuhan dengan gerakan sipil melawan rezim Soeharto sejak awal 1980-an hingga 1998 secara klandestin, kemungkinan besar mengenal Wiji Thukul lewat buku kumpulan puisinya, Aku Ingin Jadi Peluru, terbitan Indonesia Tera, Juni 2000 (cetakan pertama). Judul kumpulan puisi ini sungguh memukul kesadaran saya saat pertama kali membacanya: alangkah kuat, sama kuat dengan Aku-lirik “Aku ini binatang jalang” yang telah ikonik itu. Hal menarik yang kemudian saya sadari: judul itu bukanlah judul satu pun puisi Wiji dalam buku itu. Bahkan, tak ada satu pun kalimat demikian dalam buku itu. Hanya ada sebuah baris yang mirip, dalam buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, Gramedia, 2014, dalam bait puisi Balada Peluru:

aku pengin meledak sekaligus jadi peluru

mencari jidatmu mengarah mampusmu

akan kulihat nyawamu yang terbang

dan kukejar-kejar dengan nyawaku sendiri

Tak pelak, judul buku kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru adalah sebuah tafsir dari penerbit. Namun, tafsir penerbit tersebut membuat saya menaruh perhatian pada sifat kuat dari Aku-lirik dalam puisi-puisi Wiji Thukul.

Berlainan dengan Aku-lirik pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lebih sering memalingkan diri dari kematian, Aku-lirik Wiji kadang mengambil sikap justru mengidentifikasi diri dengan Maut. Dalam tautan idiom peluru yang digunakan oleh Chairil Anwar dan Wiji Thukul, tampak perbedaan sikap itu. Chairil menulis bait puisi yang masyhur itu:

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Sedangkan Wiji malah ingin jadi peluru. Di hadapan peluru, maut, Aku-lirik puisi Chairil adalah seorang korban yang melawan (dan di ujung hidupnya, pasrah dan memaknai hidup sebagai hanya “menunda kekalahan”). Pada puisi Wiji, Aku-lirik membayangkan diri sebagai pembawa kematian bagi yang lain.

Di hadapan Maut, Aku-lirik puisi Chairil undur diri memasuki jiwa pribadi, menjadi individu yang sunyi. Di hadapan Maut yang bukan hanya dibawa rezim, tetapi juga oleh kebuntuan-kebuntuan kemiskinan rakyat jelata yang digerus pembangunan, Aku-lirik dalam puisi-puisi Wiji meluaskan diri –identitas-pribadi hanyalah sebuah titik berangkat, untuk menjadi sebuah identitas-kelompok, “rakyat”, yang meradang.

Dalam puisi Ketika Datang Malam (Tempo, 2013), Wiji menantang Maut yang dibawa Negara, dengan meluaskan diri jadi malam, jadi pagi, jadi sesuatu yang tak tunggal sendirian:

ketika datang malam

aku menjadi gelap

ketika pagi datang

aku menjadi terang

Aku-lirik pada puisi-puisi Wiji, hemat saya, menjadi kuat karena kesediaannya membuka diri pada dunia keseharian yang konkret, pada korban-korban modernisasi tahap lanjut di bawah Soeharto. Istilah “tahap lanjut” di sini bukan sepenuhnya mengacu pada pengertian yang dibawa Seale dalam penelitiannya tentang sosiologi kematian, tetapi mengacu pada kata kunci “akselarasi modernisasi” yang dikenalkan Ali Moertopo pada 1973 di CSIS. Kata kunci ini, selama masa Orde Baru pasca-boom minyak bumi 1974, kurang lebih diartikan sebagai “stabilitas pembangunan” (= tidak ada oposisi) dan ekonomi trickle down effect atau “cucuran ke bawah” (= yang miskin harap menunggu, dan bersabar jika tersingkir).

Pada akhir 1980-an hingga akhir 1990-an, masa aktif Wiji Thukul menulis puisi, rezim Soeharto berada dalam puncak kekuasaan. Justru pada saat itulah, mulai terbentuk gerakan-gerakan perlawanan bawah tanah dalam formasi-formasi baru, aktivisme politik warga yang tak puas pada keadaan stabil tetapi menekan, menindas. Wiji bergabung di dalamnya.

Dalam posisi sebagai kelompok tersingkir oleh akselarasi modernisasi, Wiji Thukul menempatkan Aku-lirik dalam kebuntuan sehari-hari yang keras.

Catatan Hari Ini

aku nganggur lagi

semalam ibu tidur di kursi

jam dua lebih aku menulis puisi

aku duduk menghadap meja

ibu kelap-kelip matanya ngitung utang

jam enam sore:

bapak pulang kerja

lalu mandi tanpa sabun

tadi siang ibu tanya padaku:

kapan ada uang?

jam setengah tujuh malam

aku berangkat latihan teater

apakah seni bisa memperbaiki hidup?

Dalam Sajak Setumbu Nasi Sepanci Sayur, Aku-lirik membenam pada pertanyaan tentang kota, “gedung-gedung beranak pinak”, dari sudut dapur dengan “kompor kering”:

siapa pengatur jalan kaki

siapa pemerintah kaki lima

begitu patuh mereka diusir pergi

begitu berani mereka datang kembali

gemuruh kota menggaru benakku

Kita dapat membaca sebuah pertumbuhan kesadaran di dalam puisi ini, yang memiliki arah yang lain dari kesadaran akan kemodernan Chairil. Tentu saja, Chairil hidup dalam sebuah dunia yang masih percaya pada ideal-ideal kemodernan. Chairil hidup dalam sebuah kota, membuka diri pada hidup sepenuhnya, mengunjungi kemiskinan kota dan nyaris selalu bokek, tetapi secara mendasar ia percaya bahwa ia selalu bisa kembali pada dirinya sendiri, sebuah identitas-pribadi yang walau kalah, tetaplah kokoh sebagai individu dalam naungan kemodernan.

Wiji Thukul menuliskan Aku-lirik yang tak pernah mencemaskan ke-Aku-annya sekalipun ia menempatkan Aku-lirik dalam sebuah dunia yang kalah. Aku-lirik dalam puisi Wiji Thukul bukanlah pribadi yang kalah dan menyerah, tetapi pribadi yang melampaui dunianya yang memang serba kalah sejak lahir. Dalam pelampauan itu, ia meluaskan Aku-liriknya dalam gerakan sosial, perlawanan terhadap kekuasaan.

Perluasan Aku-lirik dalam puisi-puisi Wiji Thukul butuh kajian lanjutan. Sampai di sini, saya terpaku pada satu pertautan lagi antara Chairil dan Wiji: Chairil mati muda, Wiji hilang di usia muda, tak ada yang tahu apakah benar maut telah menjemput Wiji. Dalam hilangnya, Wiji menjelma sebuah puisi perlawanan yang tak berkesudahan. Kepenyairannya memadat menjadi “hanya ada satu kata: lawan”.

Kematian Chairil menjadikannya seorang penyair modern kita yang ikonik. Hilangnya Wiji membuatnya menjadi metafora sebuah kemodernan yang penuh kekerasan: bahkan maut jadi kabur, ketika Negara mencemaskan kematiannya sendiri.

[1] Tinuk Yampolsky, Chairil Anwar: Poet of a Generation, seasite.niu.edu, 15 April 2002.

[2] Misalnya, Sapardi Djoko Damono mengungkap tentang sajak ini: “Sajak ini adalah hasil tertinggi yang dicapai Chairil Anwar dalam kehidupan kepenyairannya karena ia telah berhasil menguasai kovensi dan memberinya jiwa dengan menciptakan citraan, majas, dan tema yang baru.” Hal ini dituliskan dalam Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra: Permainan Makna, Pustaka Firdaus, Jakarta, Mei 1999, halaman 54.

[3] Puisi ini saduran dari puisi Archibald MacLeish, The Young Dead Soldiers.

[4] The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained, DK, 2011.

[5] Di sini, secara tersirat, saya juga mengajukan sebuah pertanyaan kritis pada pengertian “modernisme tahap lanjut” yang digunakan oleh Sealey. Dengan menelaah puisi-puisi Chairil, saya beranggapan bahwa keadaan-keadaan yang digambarkan Sealey itu juga bisa diterapkan pada periode kekaryaan Chairil yang bisa diduga bukanlah keadaan modern tahap lanjut yang dimaksudkan oleh Sealey, melainkan sebuah keadaan modern tahap permulaan.

[6] Setidaknya, ada dua ahli, di luar HB Jassin, yang menegaskan pendapat ini, dalam dua buku mereka: Drs. Umar Yunus, Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, PT. Bhratara Karya Aksara, Cetakan pertama edisi Bahasa Indonesia, 1981; dan Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra: Permainan Makna, Pustaka Firdaus, Cetakan 1, 1999.

[7] Puisi-puisi masa pelarian dan karya-karyanya yang tersebar belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku, banyak yang masih berbentuk manuskrip tulisan tangan, dikumpulkan dan diterbitkan dalam Tempo, Edisi Khusus Tragedi Mei 1998-2013, “Teka-Teki Wiji Thukul”, 13-19 Mei 2013.

Blog22 Juli 2022

Hikmat Darmawan


Hikmat Darmawan menerima grant program Asian Public Intellectual Nippon Foundation untuk meneliti globalisasi subkultur manga di Jepang, Thailand, dan Indonesia selama setahun pada 2010. Pada 2018, Hikmat menjadi salah satu penerima program residensi Komite Buku Nasional untuk meneliti komik dan subkultur Punk di London. Ia menulis kritik film dan sastra sejak 1990-an di berbagai media nasional, termasuk Tempo, Kompas, Gatra, dan Republika. Pada 2015, Hikmat menjadi salah satu pendiri Pabrikultur, yang bersama Mizan Group menginisiasi Festival Film Internasional Madani. Hikmat juga aktif sebagai kurator komik a.l. di Frankfurt Book Fair 2015, Europalia Indonesia-Belgia 2017, London Book Fair 2019. Sejak 2015 hingga masa kerja 2023, anggota Komite Film DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).