Bualan Warto Kemplung, Cerita Bersambung Mustofa Abdul Wahab
Sebuah Pembacaan atas Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Cerita tragis tentang Mat Dawuk dimulai Mahfud Ikhwan dari gunjingan di sebuah warung kopi sederhana di desa imajiner bernama Rumbuk Randu yang menjadi latar tempat pengisahan. Kita tahu, di warung kopi milik Ibu Siti inilah, kedua naratornya—yang seyogianya sama-sama merupakan “narator-tokoh” (character-narrator)—kemudian bersua dalam cerita. Ya, novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu memang memiliki dua narator. Perbedaan keduanya adalah apabila narator pertama adalah seorang penutur kurang tahu (first person limited), sang narator kedua adalah sosok yang serba-tahu (first person omniscient), bahkan boleh dikatakan nyaris mahatahu, seandainya saja ia (si “aku”) tidak keburu pingsan akibat semacam ilmu sirep pada halaman terakhir bab “Bulan Tua di Separoh Akhir Sa’ban” sebagaimana penuturannya sendiri kepada para pendengarnya di warung kopi:
Aku sekali lagi menggoyangkan kepalaku kuat-kuat, mencoba menegakkan tengkukku yang memaksa menekuk. Tapi, tidak. Ini tak bisa dilawan. Begitu kepalaku kembali tersentak oleh kantuk yang sangat kuat, dan tubuhku tiba-tiba diliputi rasa penat yang sangat hebat, lalu limbung, aku tahu kekuatan ini hanya dimiliki oleh seseorang yang sangat digdaya. Aku tak sanggup. Dan kurasa tak seorang pun yang akan sanggup melawannya. Tapi, sebelum benar-benar jatuh, aku bisa merasakan terpaan angin yang sangat keras. Lalu, sekelebat sosok atau seberkas bayangan, atau semacam itu, memutari rumah kandung itu, memutari para pengepung itu, kemudian menerobos masuk. Kemudian. . . .
Kemudian. . .begitulah. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. (Ikhwan, 2017, 167)
Kendati demikian, dalam kejadian ini pembaca yang cukup teliti mengikuti seluruh kisah novel sampai akhir tentunya bakal bertanya, “Apakah sang narator kedua ini benar-benar jatuh tertidur/pingsan dan karena itu tidak tahu apa-apa, atau jangan-jangan ia memang sengaja menyembunyikan sesuatu dari kita (maupun orang-orang di warung kopi dalam jagat (baca: narasi) pengisahan)?”
Hal ini bakal saya bahas kemudian. Sebelumnya mari kita periksa terlebih dahulu naratologi novel ini secara bertahap untuk melihat seperti apakah sebetulnya strategi naratif yang dimainkan oleh Mahfud Ikhwan.
Dawuk sebagai Cerita Gunjing
Benar, saya mengatakan bahwa Dawuk sesungguhnya adalah sebuah cerita yang bertolak dari gunjingan. Atau lebih tepatnya, ia bisa disebut sebagai novel yang struktur narasinya dibangun dengan “gaya bergunjing”, yakni sebuah kebiasaan yang lazim dalam keseharian masyarakat Indonesia dan dengan mudahnya bisa kita temukan di mana saja: pasar, teras rumah, warung sembako, perkantoran, sekolah, dan tentunya tempat-tempat nongkrong seperti warung kopi yang menjadi pusaran cerita novel ini sendiri. Sebab itu, memanfaatkan kabar gunjingan sebagai sumber inspirasi atau bahan mentah sebuah karya prosa (novel, cerpen, drama) tentunya pula bukan suatu yang baru lagi.
Sebagian cerpen karya Raudal Tanjung Banua, misalnya, adalah contoh untuk hal ini, ketika sang pengarang mencoba menggali kebiasaan bergunjing pada masyarakat Pesisir Selatan di Sumatra Barat sebagai atmosfer kisah yang berpusar di perkampungan. Simak saja bagian cerpen “Parang Tak Berulu” yang saya kutip berikut:
Belakangan Gombak tahu (dari bisik ke bisik juga), waktu itu ibunya habis menangis, dan pulang lebih awal dari rumah tetangga yang mengadakan helat perkawinan itu. Ibunya tak tahan akan celoteh perempuan-perempuan di dapur yang bermulut pasar, di antara asap yang mengepul, di antara pedas bumbu dan lidah api yang gemertak membakar: kata-kata mereka bersileweran merajam. (Banua, 2005, 67)
Namun, jika pada cerpen Raudal di atas, tradisi pergunjingan tampaknya hanyalah menjadi semacam potret (atas persoalan) kampung halamannya, dalam Dawuk Mahfud Ikhwan telah melangkah lebih jauh dengan mendayagunakan kekhasan gaya bergunjing di warung kopi sebagai teknik penyampaian maupun kerangka novel. Bahkan boleh dikatakan “cara bergunjing” tersebut merupakan urat nadi cerita Dawuk dari bab ke bab.
Sepanjang novel ini kita pun menemukan bagaimana cerita disampaikan dengan sesuka hati layaknya orang sedang bergunjing. Dengan alur yang maju-mundur-maju dan melompat ke sana kemari: dari kejadian satu ke lain peristiwa, dari hari ini ke masa silam dan sebaliknya, serta bisa dimulai dari mana saja dan berhenti di mana pun. Akibatnya, “cara bergunjing” yang khas itu pun memungkinkan narasi novel bergerak dengan leluasa menyerap gaya ucap lisan.
Dengan demikian dalam hal ini ia bisa dikatakan merayakan tegangan antara yang lisan dan yang tulisan.
Kalian sudah tidak lagi bocah, toh? Jadi tenang saja, aku akan ceritakan kepada kalian tentangnya. Juga tentang pembunuhan itu.
Rokoknya boleh satu lagi? Aha. . .sip!
Sekarang kita lanjut. . . . (Ikhwan, 2017, 15)
Karena itulah, menurut saya, novel Dawuk nota bene adalah sebuah novel yang ditulis dengan kesadaran menggali kembali budaya bergunjing dalam masyarakat Jawa, yang pada giliran berikutnya barangkali dapat kita baca sebagai sebuah ikhtiar meneruskan bahasa lisan ke dalam tulisan.[1] Hal ini adalah satu hal yang jarang dicoba oleh novelis lainnya dalam kesusastraan (berbahasa) Indonesia dan novel ini juga mengingatkan saya pada novel Jorge Amado, Dona Flor and Her Two Husbands.[2]
Seperti halnya Dawuk, Dona Flor and Her Two Husbands memang bisa dibilang novel yang berupaya meramu gosip[3] dengan segala bumbunya sebagai struktur (pembangun) narasi. Karena itu membaca novel realisme magis tersebut, kita sebagai pembaca selayaknya diajak memasuki situasi pergosipan yang tidak bersudahan, yang terus berputar-putar di antero kota Bahia, Brasil, yang menjadi latar cerita.
Ya, dunia Dona Flor adalah dunia gosip. Lantaran sebagai tokoh utama novel, karakter janda muda cantik jelita ini adalah sosok selebritas bagi warga Bahia, yang mengundang decak kagum lelaki sekaligus membuat iri banyak perempuan. Wajar apabila kemudian ia menjadi sasaran gosip seluruh warga kota. Apa pun yang ia kerjakan—ketika ia keluar jalan-jalan atau berkunjung ke suatu tempat, ketika ia tampak di ambang jendela, ketika ia memutuskan untuk menikah lagi, sampai pakaian apa yang ia kenakan—senantiasa menjadi desas-desus dan topik pembincangan dari satu kesempatan ke kesempatan lain, dari mulut tokoh yang satu ke mulut tokoh lain.
Kendati tidak sekompleks Dona Flor and Her Two Husbans, baik dari segi penokohan, permainan plot, penjelajahan latar, maupun ketajaman konflik, sebagai novel homodiegetic,[4] Dawuk memiliki keunggulan yang lain di wilayah medan keperajinan (craftsmanship).
Ketimbang pencerita orang ketiga (third person narrator) yang digunakan oleh Jorge Amado misalnya, kehadiran narator sebagai tokoh cerita dalam Dawuk bukan saja membuat pembaca merasa lebih dekat dengan beragam peristiwa yang terjadi (dikisahkan), tetapi juga membuat kita lebih intim dengan para tokoh. Hal ini belum lagi ditambah dengan usaha penerusan tradisi lisan ke dalam tulisan yang telah saya utarakan sebelumnya.
Karena itu, membaca Dawuk, kita tidak hanya menemukan gaya bercerita yang luwes dengan bahasa yang lancar, tetapi juga merasa seperti disapa langsung oleh narator-tokoh. Bahkan pendekatan ini membuat kita selaku “kalian pembaca” tak ubahnya seperti sedang bercakap-cakap dengan sang narator sebagaimana halnya para pendengar di warung kopi Bu Siti.
Perhatikan cara narator memperkenalkan karakter Inayatun:
Ina, demikian bapak dan ibunya memanggilnya, sejak kecil adalah gadis pujaan. Kalau pinjam judul lagu Rhoma Irama, ia adalah Primadona Desa. Ia bunga yang indah merekah, semua orang ingin memetiknya, untuk ditanamkan dalam jambangan hati, di taman sanubari… (Siapa hapal terusannya?) (Ikhwan, 2017, 16)
Atau, kutipan berikut:
Baik. Jadi kalian masih ingin tahu apa yang terjadi dengan Mat Dawuk, ‘kan?
…..
Mati.
Ya, mati. Itu yang kalian kira, bukan?
Kalian tahu, itu pula yang diinginkan orang Rumbuk Randu. Dan itu yang mereka pikir yang seharusnya terjadi. Mat Dawuk Mati!
Di depan Puskesmas Galeng Gede, semua bentuk senjata tajam, diasah maupun karatan, sudah diunjamkan; semua jenis dan segala ukuran batu sudah mereka hantamkan; pokok bambu, pikulan, gagang pacul, penyangga dokar, kaki meja, remukan kursi, patahan pagar, senderan dipan rumah sakit, sudah mereka gebukkan. (Ikhwan, 2017, 101)
Di sini, saya kira penggunaan “cara bergunjing” sebagai struktur narasi sekaligus unsur cerita menjadi sebuah metode yang cukup efektif dalam medan keperajinan Mahfud. Meskipun kehadiran narator yang seolah-olah berbicara langsung kepada pembaca semacam ini lagi-lagi juga bukan hal yang baru dalam sastra Indonesia. Contohnya, dalam novel Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,[5] strategi naratif semacam ini juga dipraktikkan Kedung Darma Romansha meski dengan gaya ungkap berlainan. Dalam novel yang sedikit-banyak juga mengakomodasi kebutuhan bergunjing antar-tokoh-tokohnya itu, narator utama Kedung (yang diperkenalkannya sebagai “pencerita”) sebetulnya adalah “pengarang-pencerita” (author-narrator) atau “pengarang tersirat” (implied author) yang hanya sesekali memasukkan dirinya sendiri ke dalam cerita untuk berdialog bersama para tokoh cerita sembari mengisahkan beragam peristiwa dari sudut pandang orang ketiga.
Untuk mewadahi cara bergunjing yang menjadi struktur narasi novel atau demi membangun cerita yang berfondasikan pergunjingan inilah kiranya, Mahfud menghadirkan sosok narator-tokoh sejenis Warto Kemplung yang tampak serba-tahu sekaligus tak bisa dipercaya. Dunia gunjing, kita tahu, adalah dunia perkisahan yang bersitegang antara fakta dan fiksi, yang mana kebenaran ceritanya lebih kerap diragukan ketimbang dipercaya.
Karenanya, seorang narator dengan kualitas karakteristik demikian seyogianya memang tepat dan sesuai kebutuhan dengan pengarang.
Panggilan “Plung” itu tentunya pemendekan dari kemplung alias si pembual. Ini dia orangnya. Warto Kemplung, Warto si Pembual, yang bisa juga dengan gampang diartikan secara keseluruhan sebagai “berita bohong”. Julukan itu konon didapatnya setelah ia bercerita kepada semua orang bahwa, pada suatu masa, dalam perantauannya ke Malaysia, ia mengaku berteman dengan seorang pejabat tinggi Malaysia yang belakangan dikenal orang Indonesia sebagai Anwar Ibrahim. (Ikhwan, 2017, 6)
/a/ Warto Kemplung si Pembual
Dalam Dawuk, Warto Kemplung dapat disebut narator serba-tahu (omniscient narrator). Sebuah posisi dan peran kenaratoran yang boleh dibilang hampir mustahil, unik, dan sulit kita temukan pada novel lain, yang pada giliran selanjutnya tentu saja semakin menegaskan kesadaran fiksi yang dimiliki novel ini.
Betapa tidak, sebagai narator-tokoh yang terlibat dalam cerita dan berbicara dengan sudut pandang orang pertama tunggal, ia seharusnya hanya dapat melihat apa yang bisa ia saksikan, apa yang pernah ia alami, atau apa yang pernah ia dengar. Tetapi Warto, kita tahu, melampaui hal ini lantaran kemampuannya mengetahui dan menceritakan kembali apa yang semestinya hanya bisa diketahui oleh narator orang ketiga (third person narrator) yang berada di luar narasi, yaitu dalam hal ini pikiran-pikiran tokoh utama maupun tokoh-tokoh lainnya. Bahkan ia juga tampak sanggup menjangkau berbagai peristiwa hingga hal terkecil yang merupakan pengalaman para tokoh lain tanpa berada di lokasi kejadian.[6]
Bagaimana mungkin hal ini dilakukan oleh seorang narator-tokoh yang seyogianya hidup berbagi satu ruang narasi yang sama dengan tokoh-tokoh lain?
Justru di sinilah julukan kemplung atau pembohong yang disandang oleh Warto kemudian kian bermakna penting. Sekali lagi, bukankah dalam kebiasaan bergunjing kerapkali orang tak lagi peduli sejauh mana kebenaran sebuah cerita lantaran lebih mementingkan keseruannya? Karena itu, bumbu-bumbu penyedap dalam sebuah pergunjingan adalah keniscayaan: semakin banyak bumbu tentu semakin seru pula desas-desus yang disampaikan.
Namun begitu, dalam novel ini, toh para pendengarnya di warung kopi Bu Siti, kita tahu kemudian mempertanyakan keabsahan cerita yang dituturkan Warto; atau—dalam konteks kritik sastra—mempertanyakan posisi narator serba-tahu. Lewat suara narator pertama, mereka pun “mengajukan gugatan-gugatan dan keraguan soal apakah cerita yang dikisahkannya memang benar adanya”:
Apakah ia benar-benar tahu cerita itu; jika pun ia tahu cerita itu, apakah ia menceritakan dengan sebenar-benarnya, dan jika pun ia benar-benar tahu dan menceritakannya dengan sebenar-benarnya, kenapa di beberapa bagian cerita itu rasanya tak masuk akal? Bagaimana ia tahu obrolan-obrolan Mat dan Inayatun di rumah kandangnya? Memang siapa dia? Bagaimana ia tahu perasaan Mat Dawuk saat istrinya meninggal? Apakah ia Mat Dawuk sendiri? (Ikhwan, 2017, 87)
Menurut saya, pada kasus ini, Mahfud memang menjalankan strategi literer yang cerdas. Sembari mengolok-olok budaya bergunjing, ia juga mengajak kita memasuki wacana fiksi sebagai sebuah penulisan ulang atas realitas dan sejarah, yang mana kita mafhum pada banyak kasus nota bene merupakan usaha untuk melucuti dan melencengkan realitas dan sejarah yang resmi.
Maka tak heran jika Warto Kemplung si narator serba-tahu itu hanya tersenyum meremehkan gugatan-gugatan para pendengarnya yang kesal. Dengan santainya, ia pun menjawab gugatan para penyimak itu dengan contoh dongeng anak-anak. Simak petikan saya di bawah:
“Jadi, misalnya saja, ketika Pak Guru Tarmidi bercerita kepada murid-muridnya bahwa kancil tampak begitu takut, dadanya berdebar-debar, dan karena itu melangkah pelan-pelan, berjingkat-jingkat, agar harimau yang sedang tertidur mendengkur tidak terbangun oleh langkahnya, apakah beliau harus bertanya dulu kepada kancil bagaimana perasaaannya jika ketemu harimau? Atau, untuk bisa bercerita betapa lelap tidur harimau, betapa indah mimpi yang sedang dialaminya, betapa ia akan marah jika ada yang sampai menganggu tidurnya, apakah Pak Guru Tarmidi mesti jadi harimau dulu?” tanyanya mengejek dan memojokkan. (Ikhwan, 2017, 87)
Selain hendak memaparkan watak fisik sebagai khayalan, apa yang disampaikan Mafhud lewat naratornya ini juga bisa kita baca sebagai sebentuk pledoi atas posisi pengarang yang dalam arti tertentu tidak ubahnya Warto Kemplung, seorang pembual.
Bahkan lebih jauh, lewat kesinisan Warto, ia juga mengejek para penyimak cerita sebagai “jiwa-jiwa kering yang patut dikasihani; yang tak mengenal betapa indah cerita dan kisah, betapa menggetarkannya dongeng dan legenda.”
Tidak cukup di situ, selanjutnya secara politis ia pun menggugat kecemasan sebagian masyarakat kita—terutama mereka yang memahami agama secara ketat—atas karya fiksi. Itulah mereka yang menurut Warto, “. . .mendengarkan sandiwara radio dengan rasa curiga, menduga-duga bahwa di luar sana ada orang-orang kafir yang menyamar jadi raja atau pendekar hanya untuk merusak akidah dan akhlak anak-anaknya!” (Ikhwan, 2017, 88)[7]
Dalam hal ini, kita harus mengakui apabila kehadiran seorang narator lain yang bertugas untuk mengonfirmasi (memperkenalkan dan menegaskan) watak dan kebiasaan “Warto yang terkenal di warung kopi” sebagai narator-tokoh memang dibutuhkan. Tetapi, akibat karakteristiknya sebagai narator pembual ini, selain tampak sebagai narator serba-tahu, Warto juga dapat dikategorikan sebagai “narator yang tidak bisa dipercaya” (unreliable narrator).[8] Sebuah tipe narator yang kerap kita temukan dalam cerita-cerita detektif, misalnya dalam novel-novel Agatha Christie. Dimana narator jenis ini umumnya digunakan untuk menyesatkan pembaca atau sengaja mengarahkan pembaca kepada dugaan yang salah.
/b/ Mustofa Abdul Wahab sang Penulis
Ya, walaupun sebagai narator-tokoh Warto Kemplung tampak begitu dominan sepanjang novel, ia sebenarnya hanyalah narator kedua, yang karakteristik dan kisahnya perlu dituturkan oleh narator lain. Memang, bisa dikatakan bahwa dari mulutnya kita memperoleh segenap pengetahuan tentang kehidupan Mat Dawuk, tetapi tanpa kehadiran narator lain itu kita (pembaca) bisa dikatakan tidak mungkin membaca cerita ini. Perhatikan kutipan ini:
Gaya berceritanya yang terlalu oral juga sedikit menyulitkan untuk disalin ke kalimat-kalimat tertulis. Tak ada pilihan, aku terpaksa mengutak-atiknya: mengeluarkan kalimat yang digambarkan sebagai langsung dari tanda petiknya, karena lebih enak jika dinarasikan; atau sebaliknya, memberi tanda petik untuk narasi yang seharusnya lebih cocok menjadi kalimat langsung. Aku juga mesti “mengatur” celometan mulutnya yang nyinyir itu, yang kadang menyela alur ceritanya sendiri, meskipun di banyak bagian itu tetap kupertahankan agar orang yang nanti membaca tahu bahwa seseorang menceritakan kisah ini kepadaku. Ah, tentu aku belum sebut hal yang paling melelahkan: mengalihkan cerita yang keseluruhannya berbahasa Jawa—kecuali kata-kata berbau Malaysia dan lirik-lirik lagu-lagu Indianya itu–ke dalam bahasa Indonesia (Ikhwan, 2017, 169-170).
Dari penjelasan yang disampaikan oleh narator lain ini pula kita akhirnya bisa memahami bagaimana seorang yang tidak pernah bersekolah seperti Warto Kemplung dapat menyusun kalimat begitu baik. Karena itulah pula, kendati Warto pada dasarnya adalah juru cerita dalam novel ini, kedudukannya sebagai narator boleh dibilang masih setingkat di bawah narator lain yang sejak awal menjadi penutur pembuka novel. Sehingga narator yang baru pada bab terakhir di halaman 179 kita ketahui bernama Mustofa Abdul Wahab, seorang wartawan, itulah narator utama dalam novel Dawuk.
Alhasil, keberadaan dua narator ini, yang tampak bertemu dalam alur cerita, dimana seorang narator mengisahkan tentang narator lain berikut kisah yang disampaikan “yang lain” itu pun membuat novel ini menjadi novel yang berlapis atau berbingkai; dengan cerita dalam cerita yang mengingatkan kita pada struktur narasi Kisah Seribu Satu Malam—sebuah karya sastra adiluhung yang banyak mempengaruhi para penulis dunia.[9]
Mahfud Ikhwan sendiri lewat narator Mustofa Abdul Wahab kemudian memang menyinggung Kisah Seribu Satu Malam ini sebagai sebuah strategi naratif, yang mana dalam cerita novel ia menjadi bagian dari kepiawaian seorang Warto Kemplung berkisah semata-mata untuk mendapatkan beberapa cangkir kopi beserta rokok dari para pendengarnya. Karena itu, seperti kata Mustofa sang narator:
Jelas sudah, untuk itulah ia memotong ceritanya di bagian yang paling tidak diinginkan pendengarnya. Dengan licik ia menyimpan kejadian kunci. Pasti ia sengaja menundanya, atau malah mungkin tak akan benar-benar mengeluarkannya. Orang ini mengerti, atau setidaknya tampak mengerti, soal suspence. Ia seperti Shahrazad di Kisah Seribu Satu Malam. Jika si putri pesakitan itu ingin hidup lebih panjang, si pembual ini menginginkan kopi dan rokok lebih banyak. (Ikhwan, 2017, 89)
Dengan demikian, baik Mahfud Ikhwan maupun Warto Kemplung dalam hal ini boleh dibilang sebagai pencerita yang sadar akan teknik. Apabila Warto tampak sengaja menunda dan menghentikan kisahnya di saat yang paling mengetarkan para pendengarnya, misalnya pada halaman 88, tentu begitu pula halnya Mahfud memperlakukan para pembaca lewat kedua naratornya sembari meminjam strategi pengisahan seorang Syahrazad.[10]
Narator tentu saja bukan pengarang. Menyamakan pengarang dengan narator adalah kekeliruan, bahkan sekalipun karya fiksi itu berangkat dari autobiografi seorang pengarang. Sebab seorang pengarang hidup di luar narasi yang ia tulis, sementara kehidupan narator sangat terbatas dalam lingkup narasi yang dikisahkan.
Lagi pula, kendati dalam Dawuk Mustofa Abdul Wahab adalah penutur novel, ia sama sekali bukanlah pencerita yang berjenis pengarang-narator atau pengarang-tersirat (implied author) ketika pengarang (seolah-olah) berperan sebagai seorang pencerita. Dan perlu juga diingat, pada bab pertama Mahfud sempat mencoba memperdaya persepsi pembaca dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga (ia) ketika memperkenalkan Warto Kemplung sebagai narator-tokoh lewat suara Mustofa. Sehingga sesaat kita pun menduga bahwa narator yang digunakan adalah “orang ketiga terbatas” (third person limited) berjenis pengamat yang terpisah dari kisah (the detached observer).[11] Bahkan berkat teknik Mahfud dalam memunculkan para naratornya, Mustofa pun seakan-akan terlihat seperti seorang “narator pengamat” (observer narrator)[12] sekaligus “narator rahasia” (the secret narrator).[13]
Namun begitu, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, baik ia maupun Warto Kemplung merupakan narator-tokoh yang terlibat penuh dalam narasi, yang hadir di dalam cerita untuk menuturkan kisahnya sendiri maupun kisah tokoh-tokoh lainnya dari sudut pandang orang pertama. Yang mana keduanya juga merupakan “orang pertama protagonis tingkat dua” (first person the secondary character) yang melalui penuturan mereka, kisah sang protagonis Mat Dawuk diceritakan berlapis, dengan realitas dan ruang-waktu yang juga berlapis.[14]
Ikhtiar Melawan Lupa
Watak pembual yang melekat pada Warto Kemplung sebagai narator-tokoh tersebut seyogianya mengisyaratkan kepada kita bahwa cerita fiksi seperti novel (sebagaimana pergunjingan) juga mengandung kebenaran alternatif. Atau, dengan kata lain, ia berpotensi melakukan subversi terhadap kebenaran sejarah versi resmi, yang diakui oleh penguasa, baik itu kekuasaan kolonial, pemerintah yang sah, maupun otoritas tafsir, atau dalam kasus novel ini penduduk Rumbuk Randu yang membenci Mat Dawuk.
Dalam novel ini, kita pun menemukan dua versi cerita tentang lelaki berwajah buruk yang ditakuti itu. Ini membuat kita pembaca seolah-olah ditantang untuk menjawab versi mana yang benar dan mana yang bualan. Apakah versi masyarakat Rumbuk Randu yang menaruh dendam kesumat pada Mat ataukah versi yang diceritakan oleh Warto Kemplung secara bertele-tele di warung kopi?
“Jadi kalian mau cerita yang jelas?”
. . .“Ya sudah. Kalau begitu telan saja cerita yang sudah kalian dengar dari bualan orang-orang Rumbuk Randu itu. Mat Dawuk membunuh istrinya dan Mandor Har, dan kemudian Blandong Hasan. Setelah hampir limabelas tahun ia kembali. Orang-orang Rumbuk Randu kemudian menuntut balas. Ia dikeroyok, lalu dibakar hidup-hidup. Selesai!” (Ikhwan, 2017, 88)
Berdasarkan narasi yang diceritakan oleh Mustofa, cerita Warto Kemplung jelas diragukan oleh para penyimaknya di warung kopi Bu Siti, bahkan Mustofa sebagai narator-tokoh yang kemudian menulis ulang seluruh cerita Warto sendiri pun menyangsikan cerita yang ia dengar. Namun jika para penyimak itu meragukan cerita Warto lantaran merasa benar-benar sedang dikadali langsung[15] sebagai seorang wartawan Mustofa tampaknya memiliki pertimbangan yang lebih matang apa sebabnya ia meragukan kisah Warto:
Orang-orang menyebutnya Warto Kemplung, Warto si pembual, tak mungkin tanpa alasan. Jadi, mempertimbangkan itu, juga mencermati beberapa bagian ceritanya, tentu saja aku tak bisa menelan mentah-mentah semua omongannya sebagai kebenaran. Tapi siapa pun yang nanti membaca salinan itu akan setuju bahwa ia sangat pandai bercerita.
Harus kukatakan, dari caranya melebih-lebihkan, membesar-besarkan, julukan kemplung atau pembual itu memang beralasan. Ia juga kadangkala agak terlalu jauh masuk ke dalam tokoh-tokoh yang diceritakannya, seakan-akan itu dirinya sendiri. (Walau, perlu ditekankan di sini, perumpamaannya soal pendongeng dan hubungannya dengan kancil dan harimau itu benar juga: kau tidak perlu tanya perasaan kancil terhadap harimau untuk bisa bercerita apa yang akan dilakukan atau dipikirkan kancil jika bertemu harimau; pendongeng yang baik mesti bisa mengarangnya.) Dan, bagaimana bisa ia tampak ada di setiap kejadian, sementara ia menegaskan diri, setidaknya di beberapa bagian cerita, bahwa ia ada di situ, di dalam kisah itu. Memangnya ia Mbah Dulawi? (Ikhwan, 2017, 169)
Toh demikian, naluri seorang jurnalis lantas mendorong sang narator untuk menyusuri kebenaran cerita ini lebih jauh ketika suatu hari Warto Kemplung menghilang tanpa jejak. Tetapi selain “Bu Siti yang mulai mengangguku dengan pertanyaan dan keluhan kekhawatirannya”, ternyata tak seorang pun yang mengetahui keberadaan si tukang cerita itu. “Orang-orang di warung kopi yang biasa dibuat jengkel olehnya, termasuk di beberapa warung kopi lainnya, tak ada yang tahu. Mungkin, tak ada yang peduli,” demikian kata Mustofa.
Semakin jauh ia menelusuri, kian banyak pula hal aneh yang membuat ia semakin penasaran. Sebab orang-orang yang ia temui bukan saja tidak tahu apa-apa tentang Warto Kemplung, tetapi mereka juga tahu serba-sedikit soal menghilangnya tokoh-tokoh lain. Bahkan tidak seorang pun dari orang Rumbuk Randu yang tampak mengenal sosok Mat Dawuk, sang protagonis novel yang seturut cerita Warto menjadi pusat peristiwa besar di desa mereka.
Satu-satunya keterangan yang bisa diperoleh oleh sang narator tentang “kisah berdarah” itu hanyalah berita pendek diberi judul “Rumbuk Randu” yang ditulis oleh wartawan magang di koran tempatnya bekerja. Sebuah berita pendek yang menurutnya begitu buruk dan sama sekali tidak memberikan informasi apa-apa:
Masuk di rubrik kecil bernama “Kisar” (kependekan yang dipaksakan dari “Kabar dari Sekitar”), di pojok halaman daerah yang lebih banyak diisi iklan baris dan berita remeh-temeh dari kegiatan pejabat dan instansi-instansi pemerintah tingkat kecamatan, dan berita-berita kurang penting lainnya, atau sama sekali tidak penting, agar koran kecil kami bisa tetap terkoneksi dengan warga di level paling bawah (demikian setidaknya yang pernah disampaikan redakturku), aku yakin berita itu tak ada yang baca. Aku yang mengeditnya saja bahkan tak mengingatnya, seandainya Warto Kemplung tak bercerita soal Mat Dawuk keesokannya harinya. Dan berita itu tampak menjadi jauh lebih buruk lagi jika kubandingkan dengan salinan cerita Warto Kemplung yang selama tiga hari ini aku kerjakan—tentu dengan tanpa izinnya. (Ikhwan, 2017, 168-169)
Rasa penasaran Mustofa Abdul Wahab dan kecurigaannya bahwa warga Rumbuk Randu mencoba menyembunyikan peristiwa tersebut dari dirinya seiring kegagalannya mengecek ulang fakta atau nama-nama yang ia ragukan kepada sumber-sumber langsung itulah yang pada akhirnya membuat sang narator memutuskan untuk mengubahsuaikan salinan cerita Warto menjadi fiksi karena tidak mungkin menjadikannya sebagai berita.[16]
Di sini, sang narator (juga Mahfud Ikhwan) seakan-akan mengamalkan apa yang pernah diungkapkan Seno Gumira Ajidarma, yakni “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”[17] sekaligus menjadikan novel ini sebagai karya metafiksi lewat penuturan panjang-lebar mengenai proses kreatifnya menulis salinan cerita Warto menjadi Cerita Bersambung berjudul “Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu” yang muncul teratur setiap minggu di koran tempatnya bekerja.
Dawuk juga mengingatkan kita pada ujaran masyhur bahwa sejarah ditulis oleh kaum pemenang, yang pada konteks ini adalah sejarah milik masyarakat Rumbuk Randu atau setidaknya sejarah yang mereka inginkan. Dengan begitu, kehadiran Warto Kemplung dengan cerita “bualan”-nya pun bisa dibaca sebagai sebuah upaya untuk menyingkap kebenaran yang selama bertahun-tahun diselewengkan demi kepentingan tertentu. Sejarah milik pemenang itu mesti ditulis ulang demi menghindarkan kita dari wabah amnesia, sebagai karya sastra yang seyogianya adalah sebentuk ikhtiar melawan lupa sekaligus menolak bungkam.
Persis sebagaimana diungkapkan oleh Mustofa: “Baiklah. Seluruh dunia tampaknya sedang bersekongkol untuk memunggungiku, membiarkan pertanyaan-pertanyaanku jadi kebingungan, bahkan mungkin bertepuk tangan karena dugaan-dugaanku saling bertabrakan. Tapi sudah kuteguhkan, apa yang diceritakan Warto Kemplung tak boleh aku simpan sendiri. Ini harus dibagi.” (Ikhwan, 2017, 176)
Fiksi dengan demikian tidak ubahnya figur Aureliano Buendia dalam novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez yang mencoba menempelkan nama-nama pada setiap benda demi menyelamatkan kenangan warganya saat wabah menakutkan yang diawali gejala insomnia itu melanda Macondo. Tetapi toh sastra bukanlah amanat agung. Ia barangkali hanyalah suara lamat-lamat yang berupaya melawan kerapuhan ingatan manusia di tengah realitas yang semakin kehilangan arti, lantaran sebuah pembantaian keji atas 3.000 jiwa di lapangan stasiun Macondo contohnya, bukan saja tak pernah diakui tetapi terus-menerus dibantah, baik oleh pihak yang berkuasa maupun masyarakat yang terintimidasi.
Kecurigaan sang narator bahwa orang-orang Rumbuk Randu (tampak) menyembunyikan sesuatu darinya ini memang serta-merta membuat saya terkenang pada penduduk Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian yang akhirnya memilih jadi penderita amnesia setelah “versi resmi” pembantaian di lapangan stasiun Macondo diulang ribuan kali dan disebarluaskan ke seluruh negeri oleh alat-alat komunikasi yang dikuasai pemerintah. Ketika semua orang lebih memilih cari aman dengan menerima fakta yang ditegaskan oleh pihak militer: “Kau tentulah sedang bermimpi. . .Tak ada yang terjadi di Macondo, tak ada yang pernah terjadi dan tak akan ada yang terjadi. Ini kota yang tenteram.” (Márquez, 2003, 409)
Bukankah jawaban-jawaban warga yang ditemui oleh Mustofa di lapangan tatkala ia mencoba melakukan investigasi sebetulnya memang hampir senada dengan jawaban seorang wanita yang ditemui José Arcadio Segundo selepas ia lolos dari kereta api pengangkut mayat para korban penembakan brutal oleh tentara pemerintah? “Tak ada satu pun orang yang mati di sini. Sejak zaman pamanmu, kolonel itu, tak ada yang terjadi di Macondo,” kata wanita yang ditemui José Arcadio Seguno. (Márquez, 2003, 406-407)
Karena itu, sosok Warto Kemplung yang “membualkan” tragedi berdarah Mat Dawuk di sini pun ibarat José Arcadio Segundo cucu sang pendiri Macondo yang merupakan satu-satunya saksi hidup yang “menolak lupa” dengan risiko ia harus disembunyikan di dalam kamar. (Márquez, 2003, 405)
“Hanya setembakan mitraliur dari sini, penyerbuan paling gawat sejak pengepungan tentara Nippon ke Pesantren Kawak baru beberapa jam lalu terjadi, dan warung ini begitu senyap? Tak seorang pun membicarakannya? Bah!” begitulah tukas Warto pada kemunculannya yang pertama di pembukaan novel. (Ikhwan, 2017, 1)
Dawuk sebagai Karya Metafiksi
Bagi saya, Dawuk sesungguhnya adalah sebuah novel yang dengan sadar mengisahkan dirinya sendiri sebagai karya fiksi. Sekalipun sebagai pengarang, Mahfud Ikhwan tidak memasukkan dirinya ke dalam narasi seperti kebiasaan karya-karya metafiksi lain, kehadiran Mustofa Abdul Wahab sebagai narator-tokoh yang mengisahkan narator lain dan menulis ulang cerita si narator lain tersebut jelas menunjukkan pada kita definisi perihal novel metafiksi seperti yang dikatakan Patricia Waugh: “. . .a term given to fictional writing which self-consciously and systematically draws attention to its status as an artefact in order to pose questions about the relationship between fiction and reality.” (Waugh, 1984, 2)
Karena itu ciri-ciri yang menjadi landasan sebuah karya metafiksi pun seyogianya dapat kita temukan dengan gampang dalam novel ini. Sebut saja perayaan atas daya imajinasi serta ketidakpastian mengenai validitas representasi yang ditunjukkan oleh narator karakter Warto Kemplung sebagai pengunjing yang diragukan kebenaran kisahnya justru karena ia memiliki kecerdasan berkisah, termasuk di sini kelicikannya memotong cerita dan menahan tegangan seperti yang telah kita bahas di atas.
Sementara itu, proses kreatif Mustofa sejak ia menyalin cerita Warto, menggali informasi tambahan, sampai menuliskan ulang salinan kisah tersebut sebagai Cerita Bersambung tentunya dapat dikategorikan pula sebagai bagian dari kesadaran ekstrem terhadap bahasa, bentuk kesusastraan dan penulisan fiksi. Begitu pula ciri lainnya seperti ketidakmantapan hubungan antara fiksi dan realitas (Waugh, 1984, 5) yang terlihat jelas dengan hadirnya dua dunia, yakni dunia dalam “bualan” Warto Kemplung yang disangsikan kebenarannya dan dunia dimana Warto Kemplung hidup dan dicatat kisahnya oleh Mustofa.
Cerita Silat Modern
Cerita Mat Dawuk yang dikisahkan Mahfud lewat mulut Warto Kemplung dan ditulis ulang oleh Mustofa Abdul Wahab sebagai cerbung adalah cerita tragedi tentang seorang pembunuh berdarah dingin bersenjata ruyung kecil. Berlatar waktu 1990-an dan mengambil latar tempat desa Rumbuk Randu dan Malaysia, ia tak hanya menyajikan drama percintaan ala Bollywood yang berakhir duka, tetapi juga adegan-adegan pertarungan yang kerap kita temukan dalam novel dan komik silat populer bahkan film-film laga era 1980-an ketika kedigdayaan Mat Dawuk ditonjolkan sedemikian rupa sebagai pendekar tanpa tanding.
Kkarena itu novel pemenang Kusala Sastra Khatuliswa 2017 ini juga bisa kita kategorikan sebagai sebuah cerita silat modern atau setidaknya novel yang sangat kuat dipengaruhi oleh buku-buku cerita silat populer (baik dalam bentuk novel stensilan maupun cergam) yang sempat mengalami masa kejayaannya pada 1960-an hingga 1990-an di Indonesia melalui “kios bacaan”.
Tidak diceritakan dari mana Mat Dawuk memperoleh kepandaian pencak dan kesaktiannya selain sejumlah dugaan,[18] seperti pula tidak diberitahukan kepada pembaca dari mana lelaki buruk rupa itu mendapatkan senjatanya yang berupa ruyung mungil “tak lebih besar dari ibu jari dan tak lebih panjang dari jari tengah orang dewasa, yang dirangkai oleh seutas rantai besi yang tak lebih panjang dari satu jengkal” itu. Namun yang jelas, berbekal senjata yang terasa seperti dua timbal timbang lima kiloan itulah, setelah menghilang lama dari Rumbuk Randu, Mat Dawuk kemudian muncul di banyak kota di Malaysia (Kuala Lumpur, Malaka, Kedah dan Penang) sebagai pembunuh bayaran.
Paling tidak, menurut Warto sang narator, begitulah desas-desus yang beredar di antara orang-orang Rambuk Randu di Malaysia.[19] Kutipan berikut:
Dan semakin banyak orang yang bercerita pernah melihatnya, cerita baru pun muncul menggantikan cerita lama. Orang-orang sering melihatnya berdiri sendirian di salah satu sudut stesen tren atau di tempat perhentian bas. Mukanya tak pernah lebih baik dari yang terakhir diingat orang. Bahkan, seiring ia tumbuh dewasa, dengan rambut yang dibiarkan keriting panjang dan merah kumal (karena nyaris tanpa perawatan), kadang terikat longgar, kadang dibiarkan tergerai-gerai ditiup angin, wajahnya berubah dari jelek menjadi menakutkan. Yang nyaris selalu sama dikenali padanya adalah kaos dalam hitam dan celana Camel kumal berwarna krem kecokelatan dengan saku-saku besar yang selalu dipakainya, lengkap dengan hem kotak-kotak yang disampirkan di pundak. Tentang celana Camel bersaku besar-besar yang dipakainnya, banyak kasak-kusuk yang beredar mengatakan bahwa di baliknya terselip pisau atau pedang pendek. Ah, dasar orang-orang ngawur. Baru belakangan mereka tahu bahwa yang biasa ada di saku celana Camelnya tersebut adalah sebuah ruyung kecil—atau sesuatu yang setidaknya mendekati benda macam itu. (Ikhwan, 2017, 23)
Tentu saja, tampang dan penampilan menyeramkan beserta senjata mematikan di saku celananya itu pun membuat orang-orang semakin takut kepada Mat Dawuk. Apalagi kemudian banyak orang yakin ia terlibat dengan kematian yang menimpa beberapa TKI di Malaysia, juga dua orang Bangladesh dan seorang yang entah Vietnam atau Taiwan.
Ketakutan orang-orang itu beralasan. Lantaran dari cerita Warto selanjutnya, kita tahu betapa kesaktian kanuragan yang dimiliki Mat Dawuk memang bukan main-main. Pada bab “Pasangan Ganjil” misalnya, diceritakan bagaimana dengan mudah ia melibas dengan ruyungnya para pembunuh bayaran lain yang diutus oleh mantan suami Inayatun. Simaklah adegan pertarungan yang digambarkan Warto secara sinematik melalui mata Ina ini:
Tak jelas benar apa yang terjadi di luar sana. Ia tak bisa pastikan apa yang tengah dilihatnya. Matanya hanya mampu menangkap kelebatan-kelebatan, yang melenting ke sana ke mari, berloncatan, berpindah dengan cepat, dari satu titik ke titik lain, dari satu batang sawit ke batang sawit yang lain, dari tanah ke pucuk pelepah, dari pucuk pelapah ke tanah, dari jeritan ke erangan, dan suara mendengung yang bergulung-gulung, timbul tenggelam. Kemudian jeritan dan erangan lagi. Lalu senyap sebelum disusul jeritan dan erangan lagi. (Ikhwan 2017, 40)
Di titik terjauh pandangnya, seseorang berdiri dengan napas terengah, tapi sama sekali tidak terlihat goyah. Kedua kakinya berdiri tidak dengan gagah. Tapi karena tetap tegak di antara empat tubuh yang tergeletak, jelas tubuh itu sedikit terlihat pongah. Tangan kanannya masih menggantung di udara, dengan sebuah senjata aneh di genggamannya (belakangan ia ketahui itulah yang disebut ruyung—dua potong kayu yang dirangkai dengan sebuah rantai). Tangan kirinya, sementara itu, tetap menyisakan sikap siaga dan jelas masih menyimpan tenaga. Wajahnya tersamar, terlindungi oleh gelap bayangan pelapah sawit yang diterpa sinar rembulan dan sebagian rambut keriting panjangnya. Dan justru itu yang membuatnya tampak mengerikan. Sangat mengerikan (Jika malaikat maut punya wujud, mungkin ia tak akan jauh dari sosok itu.) Dia, orang yang masih berdiri itu, adalah Mat Dawuk. (Ikhwan, 2017, 40-41)
Demikian pula pada peristiwa sebelumnya di bab “Seorang Perempuan Jawa Menangis, Dua Mat Indon Berkelahi” ketika Mat Dawuk pertama kali bertemu dengan Inayatun di sebuah stasiun kereta api kecil dan sepi di sekitaran Kuala Lumpur yang berakhir dengan perkelahian dengan si mantan kekasih Ina. (Ikhwan, 2017, 27-28) Masih banyak adegan lainnya dalam novel ini yang membenarkan (sekaligus mendeskripsikan) kesaktian Mat Dawuk yang lazim kita temukan dalam cerita silat maupun film-film laga.
Bukan hanya kisah seputar sepak terjang sang protagonis ini saja yang menjadi alasan saya menyebut novel ini sebagai cerita silat modern. Pembaca juga bisa dengan mudah menemukan sebagian novel ini memang dipenuhi oleh narasi yang merujuk atau menyerupainarasi cerita silat. Penggambaran sosok Mbah Dulawi kakek Mat Dawuk dan gurunya yang sakti mandraguna, yakni Mat Modar, berikut riwayat keduanya yang dikisahkan cukup detail oleh Warto sepanjang bab “Dendam Tiga Turunan” adalah deskripsi yang umum kita dapatkan pada karakteristik para pendekar dan logika pengisahan dalam novel, cergam dan film silat.
Petikan berikut ini:
Dengan caluknya, ia menetek batang jati itu sendirian. Sebelum fajar batang itu sudah jadi sepotong gelondongan besar yang siap diangkat. Karena sebelumnya tidak diteres, dan sama sekali tidak dibersihkan kulitnya, gelondongan besar itu sangatlah berat. Setidaknya butuh empat blandong yang kuat-kuat untuk membuat gelondongan itu bisa terangkat. Tapi dengan enteng saja Dulawi memikulnya sendiri. Gelondongan itu tidak dibawa pulang ke rumahnya, tapi dibawa langsung ke rumah Sinder Harjo di Rumbuk Randu. (Ikhwan, 2017, 128)
Dalam Dawuk, ketiga karakter ini menjadi gambaran orang-orang yang ditakuti karena ilmu kanuragan mereka. Apabila Mat Dawuk ditakuti sekaligus dibenci lebih lantaran keburukan rupa dan profesinya sebagai pembunuh bayaran selama merantau di Malaysia, Dulawi sang kakek dan Mat Modar adalah jawara sekaligus para pahlawan pejuang Kemerdekaan yang dihormati, baik lantaran jasa perjuangan mereka maupun kedigdayaan mereka. Bahkan cerita tentang kependekaran dan sepak terjang Mat Modar sudah seperti legenda atau cerita rakyat bagi warga Rumbuk Randu dan sekitarnya bahkan seluruh Pantai Utara Jawa bagian timur.[20] Hanya saja seperti yang dikatakan Warto, sosok Dulawi teramat dibenci oleh para anak-cucu Sinder Harjo sang penguasa hutan karena membuat si Sinder cacat seumur hidup.
Hanya begitu saja? Tidak. Karena disamping menghadirkan tokoh-tokoh jawara sebagai karakter, Mahfud Ikhwan juga banyak mengadopsi gaya ungkap waktu yang biasa kita baca dalam cerita silat populer, misalnya: “Sekira sehisapan dua batang rokok” (69) atau “Pada pagi ketujuh sejak sore berdarah itu” (104).[21] Bahkan gaya bertutur ala cersil tidak sulit pula kita temukan sebagai kalimat yang lebih lengkap atau paragraf utuh.
Tapi, seterampil apa pun induk burung terbang, ia tak akan berdaya mencegah telur yang jatuh dari sarangnya di ketinggian. Demikian juga dengan Mat. Secepat apa pun ia berlari, bahkan terbang, untuk sampai di rumah, ia tak bisa mencegah sebuah suratan terjadi. Sesakti Brama Kumbara sekalipun, ia jelas tak punya kekuatan untuk membengkokkan garis takdir yang tengah melawannya. Inilah takdir yang menjungkir-balikkan kehidupan bahagianya dengan Inayatun. Seluruh kehidupannya, lebih tepat. “Ia tiba di rumah kandangnya tepat waktu—tak bisa lebih tepat lagi dari itu. Tepat saat melapetaka itu telah terjadi.” (Ikhwan, 2017, 76)
Atau kutipan adegan perkelahian di stasiun kereta api berikut:
Tangan kiri yang mengirim tinju itu dengan enteng tertangkap oleh tangan kanan Mat Dawuk. Dan seperti jemuran basah, tangan yang penuh amarah itu dengan gampang terpuntir. Sejenak, untuk pertama kalinya, si pemburu dan si penyelamat berhadap-hadapan, dan dengan gampang bisa ditebak siapa yang gemetar melihat siapa. Tapi itu tak lama, karena salah satu tubuh itu, yang tentu saja bukan tubuh Mat Dawuk, terangkat ke udara, terayun, berputar, untuk kemudian menghempas lantai stasiun dengan keras. Bayangkan sebuah kipas tertutup yang sekelebat dikembangkan untuk kemudian ditutup lagi, begitulah kira-kira yang terlihat. Tentu dengan ukuran yang sedikit lebih besar. (Ikhwan, 2017, 33)
Bandingkan dengan narasi yang saya petik dari novel cersil Wiro Sableng: Lentera Iblis di bawah ini:
Tinju Supat tenggelam ke dalam telepak tangan kiri yang dipakai menangkis oleh Setan Ngompol. Lima jari tangan si kakek mencengkeram lalu berputar.
“Terbang!” Setan Ngompol berteriak keras. Kencing terpancar.
Supat merasa tangan dan tubuhnya disentak keras. Saat itu juga tubuh tinggi besar prajurit Keraton ini benar-benar terbang melesat ke udara sampai setinggi dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yang cukup baik namun seumur hidup baru sekali itu Supat mengalami dilempar lawan ke udara. Akibatnya dia jadi kelagapan tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat. Supat terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah! (Tito, 43)
Dari isi cerita maupun penggunaaan gaya ungkap, pengaruh cerita silat ini tampaknya memang cukup kental dalam Dawuk. Demikian juga halnya pengaruh film-film laga Indonesia maupun film India. Selain itu, sebagai pengarang novel yang menyadari kefiksiannya, Mahfud juga tampak tidak segan-segan menyebutkan sejumlah judul buku, judul film, maupun nama para pendekar dan aktor-aktris sinema yang menjadi rujukan referensialnya, dan semua itu melebur menjadi anasir cerita dengan wajar lewat penuturan Warto Kemplung. Sebut saja Wiro Sableng yang menjadi buku koleksi Mat Dawuk, pertarungan Barry Prima dan Advent Bangun dalam film silat tahun 1980-an yang terbayang oleh Warto saat menceritakan ketegangan warga Rumbuk Randu yang sedang mengepung Mat, adegan paling mengerikan film Petarungan Iblis Merah yang barangkali terlintas oleh anak-anak dan para perempuan ketika Mat melesat lewat dengan tubuh istrinya bersimbah darah di pondongan, pembandingan “ketegaran” Mat Dawuk dengan Rhoma Irama yang menangis tersedu-sedu saat dijebloskan ke penjara dalam film Begadang, hingga poster-poster film Sunny Deol di dinding kamar Mat.
Lebih jauh lagi, ia bahkan tanpa segan-segan memakai salah satu judul serial Wiro Sableng yakni Jagal Iblis Makam Setan sebagai judul bab seraya mencoba memperbandingkan sosok Mat Dawuk yang “bangkit dari kematian” dan berjalan ke kuburan istrinya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit yang keluar dari kubur untuk membalas dendam (kepada Wiro Sableng dan Tua Gila).[22]
Namun, Dawuk, kita tahu, bukan cuma “mencuri” gaya ucap dari narasi cerita silat populer, melainkan juga plot novel-novel detektif. Kebingungan sang narator Mustofa menghadapi sejumlah teka-teki seperti hilangnya juru cerita Warto Kemplung dan sejumlah karakter lain, keabsahan cerita Warto yang bermuka-muka dengan ketidaktahuan warga Rumbuk Randu atas kasus terbakarnya rumah kandang Mat dan lain-lain yang ia bagikan bersama pembaca—nota bene adalah sebuah permainan alur yang kerap kita temukan dalam cerita detektif. Hanya saja dalam Dawuk, semua teka-teki itu tetap dibiarkan terbuka sebagai misteri tidak terjawab sampai novel selesai.
Tentu saja penyaduran berbagai bentuk pengucapan sekaligus pencurian kreatif dari novel pop, cergam, film dan musik ini (sekali lagi) juga bukan sesuatu yang baru di dunia sastra, tetapi sudah kerap dilakukan oleh para penulis, terutama para penulis pascakolonial dari Dunia Ketiga. Salah satunya adalah Salman Rushdie, terutama dalam novelnya Midnight’s Children dan The Satanic Verses yang kontroversial itu. Di sini kita bukan saja melihat bagaimana ia tanpa canggung menoleh kepada dongeng dan berbagai khazanah sastra lisan India, tetapi sembari mencuri bahasa dari jalanan (slang) dan menyelundupkannya ke dalam “sastra tinggi” Inggris, ia juga dengan nakal menyisipkan teknik-teknik naratif sinema ke dalam novel seperti halnya Dawuk:
Gibreel: sang pemimpi, yang sudut pandangnya terkadang sebagai kamera dan di saat lain, penonton. Ketika dia sebuah kamera pi oh vi yang selalu bergerak, ia membenci sorotan-sorotan statis, jadi dia mengambang terapung di ketinggian memandang ke bawah pada sosok-sosok perspektif para aktor, atau dia menukik ke bawah untuk berdiri tak terlihat di antara mereka, berputar perlahan-lahan pada tumitnya untuk mencapai sudut tiga ratus enam puluh derajat, atau mungkin dia akan mencoba suatu mobil kamera, menguntit di sisi Baal dan Abu Simbel sepanjang langkah mereka, atau menggunakan bantuan kamera rahasia dia akan menyelidiki rahasia kamar tidur Penguasa itu. Tapi kebanyakan dia duduk di Gunung Cone seperti seorang penonton berkarcis pada bangku terdepan bioskop, dan Jahilia adalah layar peraknya.[23]
Karena itu sebagaimana Rushdie,[24] dalam sebuah wawancara dengan Whiteboard Journal, Mahfud yang telah menulis dua jilid buku mengenai perfilman India[25] pun tidak memungkiri luasnya pengaruh film, lagu atau novel-novel populer dalam karyanya. Ia berkata,
“Dawuk memang dibentuk oleh pengaruh-pengaruh itu: lucah, murahan, pemuas nafsu. Ini termasuk film-film yang bukan hanya bagus tetapi juga sangat buruk—film nggak bermutu yang ceritanya melompat-lompat. Saya menyebut Machette-nya Robert Rodriquez sebagai pengaruh. Sementara beberapa pembaca melihat Dawuk kubuka dengan adegan yang sangat mirip dengan El Mariachi, meskipun saya tak menyadarinya. Acuan-acuannya ke film-film action India, film silat Indonesia, Rhoma Irama, lagu dangdut, atau cerita ludruk. Jika kamu tanya buku apa yang kubaca ketika menggarap Dawuk, maka saya akan lebih menyodorkan kepingan film, kaset, dan buku-buku stensilan. Saya juga membaca karya-karya Mary Shelley dan Stevenson, tapi hanya untuk tahu caranya bikin cerita yang gloomy dan punya feel thriller. Namun, kurasa itu lebih bisa kudapat dari film. Beberapa adegan penting di Dawuk adalah adegan film. Dialognya juga lebih diambil dari dialog film. Saya punya bayangan yang agak terang bagaimana tokoh-tokohku secara visual. Saya membayangkan komposisi ketika Mandor Har dan Blandong Hasan masuk ke rumah Inayatun dan kemudian punya maksud buruk. Saya bisa bayangkan rumahnya seperti apa dan komposisi duduk mereka, bagaimana kejadian tragis itu terjadi, lalu Dawuk datang ke rumahnya dengan terlambat.” [26]
Dawuk sebagai Novel Pascakolonial
Upaya bermain-main tapi serius Mahfud Ikhwan dalam merengkuh berbagai bacaan populer (hingga yang paling picisan dan lucah), beragam genre film (berkualitas maupun yang murahan), lagu dan musik, seni tradisi dan cerita rakyat, kiasan dan permainan kata ini ke dalam sastra modern selain dapat dibaca sebuah kesadaran intertekstualitas[27] yang kian menguat dalam khazanah sastra (berbahasa) Indonesia, seyogianya juga merupakan ajakan kepada kita untuk membaca ulang kondisi pascakolonial kita. Ia, sebab itu, sebagaimana sejumlah novel Eka Kurniawan, menghadirkan untuk kita sebuah potret yang khas kita sendiri—dengan persoalan besar-kecil, penting-remeh dalam kehidupan kita sebagai bekas bangsa terjajah yang terus-menerus bergulat dengan ruang-ruang kolonial[28] yang ditinggalkan oleh bekas penjajah.
Dawuk dalam sejumlah aspek memang mengingatkan kita pada novel Eka Kurniawan seperti Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kendati tidak mengadopsi gaya penulisan Gabriel García Márquez yang dicuri secara kreatif oleh Eka, disamping sama-sama mengacu pada budaya populer semisal cerita silat dan horor, novel ini juga memiliki kemiripan karakter dengan karakter-karakter ciptaan Eka.
Berkisah dari masa kini—sekitar dua puluh tahun sejak terbunuhnya Inayatun dan Mandor Har yang menjadi pusat peristiwa—Dawuk seperti juga Cantik Itu Luka, memaparkan kepada kita fakta sosio-historis yang nyaris serupa, yang terentang dari era Jawa sebelum Kemerdekaan hingga Indonesia hari ini. Yang di dalam ruang narasinya, kita bersua dengan beragam perkara pelik maupun sederhana yang tampak “begitu Indonesia” akibat relasi kekuasaan yang tidak seimbang: kemiskinan dan penghisapan, radikalisme agama dan klenik, kejawaraan dan feodalisme, kemalasan dan kepongahan, keuletan dan kebodohan, kepicikan dan moralitas, omong kosong dan pembisuan.
Pascakolonialisme adalah sebuah usaha untuk memahami realitas masa kini, baik di negara pascakolonial maupun di negara (bekas) penjajah, dengan berfokus pada relasi kekuasaan global dan sejarahnya. Ia bukanlah sekadar deskripsi keadaan, tapi juga sebentuk perlawanan. Dimana dengan menyoroti realitas kehidupan dari perspektif terjajah, wacana (neo)-kolonial kemudian ditandingi dan digugat dan ketidakadilan relasi kekuasaan global dibongkar dan dikritik. [29]
Namun demikian, kompleksitas pascakolonial tak hanya persoalan munculnya neokolonialisme—sebuah hegomoni kekuasaan secara ekonomis dan budaya secara global—ataupun perkara hibriditas budaya yang terlanjur terjadi, tetapi juga perkara mentalitas inferior-superior pada masyarakat bekas jajahan yang pada konteks ini adalah bagaimana suatu lokalitas memandang penampilan fisik dan lahiriah, materi, perempuan, dan kekuasaan.
Seperti juga Cantik Itu Luka, Dawuk bisa dibilang sebuah novel dengan kesadaran pascakolonialitas. Sebab itu sebagai desa imajiner, Rumbuk Randu pun mengingatkan kita pada Halimunda sebagai “pascaruang” (post-scape),[30] yakni sebuah ruang ambivalen tempat sejarah Indonesia ditulis ulang berdasarkan perspektif bekas jajahan yang kerap bercampur baur antara versi buku sejarah, versi lokal dan versi pengalaman personal.
Dalam sejarah seperti ini, berkat kutipan-kutipan atas bacaan populer, film dan lagu, kita pun berjumpa dengan keseharian kita sendiri—dengan tokoh-tokoh yang tidak asing: jagoan lokal, pemuda pengangguran, penguasa korup dan semena-mena, kaum borjuis pribumi yang pongah, gadis genit perayu, pembual, buruh migran dengan kebiasaan bergunjing, pamer harta, dan kelaziman memandang hal-hal supranatural sebagai suatu realitas alamiah.
Apabila Cantik Itu Luka adalah cerita tentang dendam arwah penasaran yang dirampas kekasihnya oleh kekuasaan kolonial, Dawuk adalah kisah dendam kesumat tiga turunan (yang disebut Warto sebagai balas dendam yang berusia nyaris sama tuanya dengan usia Indonesia merdeka (hlm. 123)) sebuah keluarga penguasa hutan sejak zaman kolonial. Keduanya juga sama-sama menengahi cerita tentang bagaimana kekuasaan antagonis (lewat karakter seperti Shodanco, Mandor Har dan Blandong Hasan) membungkam suara-suara tertindas yang mencoba berteriak.
Selain kehadiran karakter para pendekar modern seperti Mat Dawuk dan Maman Gendeng dengan kemahiran ilmu silat dan kanuragan, kemiripan kedua novel ini juga tampak cukup kentara dengan tokoh utamanya yang (seakan) tidak bisa ditaklukkan oleh kematian. Jika dalam Cantik Itu Luka, Dewi Ayu bangkit dari kematiannya setelah 21 tahun dan berjalan pulang dari kuburan untuk menyelamatkan keturunannya; Mat Dawuk yang dianggap sudah mati oleh warga Rumbuk Randu diibaratkan Mahfud seperti “Jagal Iblis Makam Setan Menjebol Kuburnya dan Berjalan Sungsang” untuk menyambangi kuburan istrinya Inayatun.
Bahkan, perwatakan Ina sendiri juga mengingatkan kita pada sosok Rengganis si Cantik. Keduanya digambarkan memiliki kecantikan sempurna sehingga kaum lelaki blingsatan dan membikin pusing keluarganya. Hanya saja jika Rengganis si Cantik tampak lugu seperti Remedios si Cantik dalam Seratus Tahun Kesunyian, Ina si Indomelek digambarkan sebagai gadis binal pembangkang orang tua yang kepandaiannya mengaji sepandai ia merayu laki-laki (Ikhwan, 2017, 16-18). Dan tentu saja keburukan wajah Mat Dawuk boleh pula kita bandingkan dengan keburukan wajah si Cantik, putri bungsu Dewi Ayu dalam Cantik Itu Luka.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan Halimunda yang masih tampak makmur meski dieksploitasi oleh kekuasaan korup, kondisi Rumbuk Randu dalam Dawuk terhampar lebih menggiriskan sebagai sebuah desa tertinggal akibat ketimpangan pembangunan. Walau hanya sebuah desa imajiner seperti halnya Halimunda dan Macondo, keberadaan desa yang dideskripsikan sang narator sebagai “tempat setiap masalah coba diselesaikan di atas kasur dan yang tidak selesai ditaruh diam-diam di bawah bantal” ini toh memiliki acuan yang citraan geografisnya mengingatkan kita pada daerah pegunungan kapur Lamongan Selatan—tanah kelahiran si penulis.
Sebagaimana dikutipkan: Jika dihitung jaraknya dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir persis di tengah-tengah. Sudah begitu, tak ada hal yang istimewa di tempat itu. Tak ditemukan sumber air besar yang biasa jadi alasan orang untuk singgah dan menetap. Hanya ada telaga-telaga yang cuma akan jadi kubangan jika kemarau datang. Tanah di situ, sebagaimana tanah-tanah di hutan Jawa bagian utara, adalah tanah yang keras, yang habis kesuburannya setelah dipakai selama lima musim tanam, dan ujungnya menjadi cobaan tak habis-habis bagi kesabaran manusia yang menggarapnya. Tak mungkin jadi nelayan karena terlalu jauh dari pantai, mereka juga nanggung kalau disebut petani, tak seperti tetangga-tetangga mereka di selatan hutan, yang setiap tahun mendapat kiriman lumpur subur dari luapan air bengawan. (Ikhwan, 2017, 92-93)
Ya, sembari menghidupkan kembali dongeng tua yang menjadi “cerita asal-usul orang Rambuk Randu yang enggan diakui bahkan sering dengan keras ditolak”, yakni kisah “sepasang orang buangan, yang terusir, dengan memanggul kutukan”; Mahfud lewat Warto Kemplung dan Mustofa lalu mengajak pembacanya membongkar wacana neokolonialisme—ketidakadilan relasi kekuasaan global—yang mengemuka di dalam novel ini dalam wujud ketidakberdayaan masyarakat lokal. Yakni, tidak adanya kesadaran pascakolonialitas pada warga Rumbuk Randu akibat “colonial image” yang menempatkan mereka sebagai sang inferior pun membuat mereka (baik tenaga maupun sumber daya alamnya) begitu rentan menjadi lahan eksploitasi terus-menerus oleh kekuasaan yang silih berganti.
Karenanya: “. . .secara turun-temurun mereka hanya jadi pesanggem, penggarap ladang hutan. “Orang kontrakan,” begitu mereka menyebut diri sendiri. Tak mengherankan, mereka jadi kacung Sultan Agung ketika penguasa Jawa itu masih berjaya. Lalu jadi gedibal ndoro tuwan di zaman Kompeni. Lalu ganti jadi suruhan orang-orang berseragam hijau itu bahkan setelah negara ini merdeka, sebelum kemudian jadi tukang batunya orang Malaysia” (Ikhwan, 2017, 92-93).
Kendati Rumbuk Randu dikatakan memiliki tanaman jati Jawa yang terbaik di dunia, penduduknya bukan saja tidak pernah mendapatkan berkah dari hutan jati yang mereka miliki ini, tetapi “sebaliknya, ratusan tahun mereka justru menderita karenanya.” Betapa tidak, seperti yang disampaikan narator:
Tak lama setelah Murjangkung menginjakkan kakinya di Jawa, Kompeni segera tahu apa hal terbaik yang mesti mereka rampas dari tanah ini, dan itu tak lain adalah kayu jati. Ketika Ndoro Tuwan Guntur datang, membuka jalan Anyer-Panarukan, mereka tebang jati lagi untuk ini-itu. Pabrik-pabrik berdiri, jati diterbang lagi untuk api. Begitu pula ketika Gupermen menyabuki Jawa dengan jalan sepurnya. Relnya memang besi, tapi tentu saja bantalannya jati. Dan sepanjang itu, selama ratusan tahu, turun-temurun, dari buyut sampai cicit-canggahnya, orang Jawa, lebih khusus lagi orang Rumbuk Randu, cuma jadi buruh tebangnya saja. Itu pun dibayar dengan upah setengah lebih rendah dibanding kerbau-kerbau yang mereka tuntun untuk menyereti gelondongan-gelondongan jati dari tengah rimba ke tepian Jalan Raya atau bahkan sampai ke galangan-galangan perahu di utara sana, dari Gresik, Sedayu, hingga Jepara. Dan, senasib dengan kerbau yang mereka tuntun, tentus aja mereka dicambuki. (Ikhwan, 2017, 93-94)
Bahkan lebih jauh, dalam kasus masyarakat Rumbuk Randu ini, kita juga menemukan apa yang dikatakan Jean-Paul Sartre dalam kata pengantarnya untuk buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (1963) tentang para kinglet, yaitu “para pangeran dan borjuis (pribumi) yang selalu menampilkan kebohongan sejak awal sampai akhirnya, yang berfungsi sebagai perantara”[31] dalam karakter Sinder Harjo dan anak-cucunya yang secara politis tidak lain adalah perpanjangan tangan negara.
Walaupun “kenyataan bahwa seorang cucu sinder hanya jadi seorang mandor cukup untuk membuat Mandor Har bisa dientengkan siapa pun”, tetapi kita tahu bahwa sebagai seorang petugas Perhutani, sosok Hariyanto ini nota bene juga memegang otoritas yang diberikan oleh negara seperti halnya sang kakek yang menjadi penguasa hutan di loji-loji besar bekas Karesidenan Rembang pada masa Gupernemen. Karena bukankah hanya atas izin mandor seperti dirinya, para pesanggem seperti Mat Dawuk dapat menggarap hutan, mendapat jatah bibit jati atau sengon untuk ditanah, gancu untuk mengolah tanah, bahkan sedikit jatah pupuk meskipun dengan takaran yang jelas sudah tidak utuh? (Ikhwan, 2017, 70)
Akses dari kolonial kemudian negara Indonesia merdeka inilah yang membuat para kinglet seperti Sinter Harjo dan keturunannya bisa mempertahankan status sosial mereka sebagai masyarakat kelas atas sekaligus wewenang yang kerap digunakan oleh mereka secara semena-mena. Seperti kata Sartre, “Di koloni-koloni, kebenaran tampil telanjang, namun penduduk asal lebih suka membungkus kebenaran itu: penduduk pribumi harus mencintai mereka, seperti ibu dicintai oleh anaknya.”[32]
Tersebab ini pula, dalam Dawuk kita tidak sekadar melihat bagaimana Mat Dawuk menjawab Mandor Har dengan bahasa Jawa halus dan memanggilnya “Pak”, tetapi juga kemampuan para borjuis ini dalam menggerakkan masyarakat bawah, misalnya dalam peristiwa pengeroyokan terhadap Mat. Apa yang diangkat oleh Mahfud di sini, meski dalam konteks sedikit berbeda, tetapi tampaknya tepat sebagaimana kata Fanon mengenai kondisi pascakolonial:
Para tuan tanah akan bersikeras bahwa negara harus memberi mereka fasilitas dan privilese seratus kali lebih banyak ketimbang yang dinikmati para pemukim asing di masa lalu. Eksploitasi terhadap para pekerja pertanian ditingkatkan dan dilegitimasikan. Dengan menggunakan dua atau tiga slogan, penjajah-penjajah baru ini akan menuntut pekerjaan yang sangat besar dari para buruh pertanian, tentu saja atas nama usaha nasional. Tidak akan ada modernisasi pertanian, tidak ada perencanaan pembangunan, dan tidak ada prakarsa; karena prakarsa hanya akan mendatangkan kepanikan bagi orang-orang ini karena hal itu menyiratkan risiko minimal, dan sangat mengusik kaum borjuis pemilik tanah yang peragu, yang perlahan-lahan makin banyak mengikuti kebijakan yang digariskan oleh kolonialisme.[33]
Tidaklah aneh jika kemudian dengan gamblang kita bisa menemukan perselingkuhan antara kekuasaan yang korup dan kerakusan kapitalisme, misalnya dalam wujud perkawanan antara keluarga Sinder Harjo dan keluarga Blandong Hasim (orang pertama di Rumbuk Randu yang punya gergaji mesin) yang telah berlangsung turun-temurun.[34]
Selanjutnya, “tak berapa lama sehabis Pemilu Lapan Tujuh setelah kemenangan Golkar yang pertama di desa itu dan harga minyak tanah malah naik” (Ikhwan, 2019, 99) eksploitasi yang dilakukan oleh negara di bawah rezim ekonomi neolib Orde Baru bahkan membuat penduduk Rumbuk Randu terpaksa “. . .meninggalkan ladang kering mereka, melanggar tabu punden-punden mereka yang tak suka meninggalkan tanah kelahiran” untuk “berduyun-duyun menyeberang ke Malaysia” sebagai buruh migran seperti warga desa-desa sekitarnya.
Hal ini lantaran turunnya harga minyak akibat permainan kapitalisme global kala itu mendorong pemerintah Orde Baru menggalakkan industri perkebunan dan mengambil-alih hutan-hutan di pedalaman Jawa lalu mengisinya dengan tanaman komoditas seperti jati, cokelat atau sengon. Pengambil-alihan hutan ini—“sementara kayu api justru semakin tak dibutuhkan oleh pengolahan pindang milik para jurangan ikan di kota-kota pesisir, dan pada saat yang sama para penunggu hutan berseragam hijau-hijau itu semakin ganas menggasak para blandong (kecuali yang mau berkongsi dengan mereka)”—mengakibatkan masyarakat tidak punya pilihan selain pergi mencari penghidupan lain. Salah satunya adalah menjadi buruh migran. “Ini lucu juga: keluar dari hutan di negeri sendiri, mereka ternyata harus masuk hutan di negeri orang,“ demikian ujar Warto.
Kasus ini tentu saja mengingatkan kita pada Ulid Tak Ingin Ke Malaysia[35]—novel Mahfud sebelumnya yang juga mengetengahkan persoalan TKI—yakni ketika lenyapnya masa keemasan pembuatan gamping dan penanaman bengkuang dari desa Larok, akibat hadirnya semen dan munculnya bengkuang dengan kualitas lebih bagus dari tempat lain, akhirnya mendorong warganya berbondong-bondong berangkat ke Malaysia.[36]
Namun, kita juga tahu peristiwa migrasi ini memberi peluang lain terjadinya perubahan sosial masyarakat desa. Berkat ringgit Malaysia, “mentalitas Indon” warga Rumbuk Randu pun tampak semakin membanggakan status kulinya seiring dengan meningkatnya taraf kehidupan mereka.
Seperti dikatakan narator: “Seperti semua desa di kawasan pantai utara Jawa bagian timur yang disentuh uang Malaysia, saat malam, desa pinggir hutan yang paling akhir kemasukan listrik itu kini jauh lebih bercahaya. Jika dilihat dari angkasa, ia seperti bola lampu besar di tengah gerumbul pada sebuah taman raksasa yang rimbun.” Kemajuan itu, dengan modal yang berasal dari luar batas geografis imajiner bernama negara, bahkan digunakan oleh kaum lelaki Rumbuk Randu untuk membantah dongeng asal-usul mereka yang konon menjatuhkan kutuk kepada mereka berupa ketidakmampuan untuk menghidup anak-istri.
Realisme Magis dalam Dawuk
Apakah cerita silat dan cerita horor juga dapat dimasukkan sebagai genre realisme magis, sehingga dengan demikian, anasir cerita silat dalam Dawuk berikut penyadurannya yang kentara atas logika dan gaya ucap cerita silat pun membuat novel ini bisa disebut sebuah novel realisme magis?
Apabila kita menggunakan teori naratif Wendy B. Faris, Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative (2004), novel dan film populer dengan unsur silat atau horor bisa saja dikategorikan sebagai karya realisme magis sejauh ia dapat memenuhi lima karakteristik utama realisme magis yang dipetakan oleh Faris, yaitu Irreducible Element (Unsur yang Tak Tereduksi), The Phenomenal World (Dunia Fenomenal), Unsettling Doubts (Keraguan yang Menggoyahkan), Merging Realms (Dunia yang Bercampur-aduk), dan Disruptions of Time, Space, and Identity (Gangguan atas Waktu, Ruang dan Identitas).
Hanya saja persoalannya tidak sesederhana itu. Sebagai karya yang secara langsung menempatkan yang “nyata” dan yang “tak masuk akal” (dari kacamata empiris Barat) dalam arus pemikiran sejajar, karya realisme magis umumnya kerap dikenali melalui elemen-elemen kritik pascakolonial. Pada satu sisi ia adalah alat perjuangan menolak dan melawan dominasi budaya Barat, pada sisi lainnya sebagai kekuatan yang mengangkat dan mengandalkan akar-akar budaya sendiri (indigenous).
Sebab itu, menurut Salman Rushdie: “El realismo magical, realisme magis. . .adalah perluasan surealisme yang mengungkapkan kesadaran Dunia Ketiga yang sebenar-benarnya.”[37] Atau, seperti yang diungkapkan Elleke Boehmer:
Halnya Amerika Latin, mereka ini [para penulis pascakolonial dalam bahasa Inggris] mengombinasikan supranatural dengan legenda lokal dan tamsil yang berasal dari kultur kolonial untuk menunjukkan kebudayaan yang berulang kali terombang-ambing ke sana-kemari oleh invasi, pendudukan, dan korupsi politik. Efek-efek magis, oleh karena itu, digunakan untuk menggugat kebobrokan kaum penjajah dan akibat yang ditimbulkannya.[38]
Dengan begitu, sebagai sebuah novel dengan kesadaran pascakolonial, Dawuk dapat digolongkan sebagai sebuah karya realisme magis lantaran ia bisa memenuhi semua syarat yang diajukan Faris.
Cerita tentang kemampuan Mat Modar sendirian memikul gelondongan jati yang seharusnya hanya bisa diangkat oleh empat blandong kuat-kuat ke rumah Sinder Harjo, atau tidak mati-matinya Mat Dawuk dikeroyok begitu rupa oleh orang-orang juga kekuatannya membengkokkan jeruji sel, atau bagaimana ruyung mungilnya yang tidak lebih besar dari ibu jari bisa jadi senjata begitu mematikan adalah irreducible element. Yakni, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam sebagaimana dirumuskan oleh wacana berbasis empiris Barat; yang ditentukan berdasarkan logika, pengetahuan umum atau kepercayaan yang ada.[39]
Hal-hal yang telah saya sebut di atas tersebut apabila coba kita pahami melalui logika empiris tentu bakal menjadi unsur irreducible, sehingga mau tidak mau mereka harus diterima sebagai keniscayaan; sesuatu yang sama riilnya dengan fenonema riil lain.
Sementara dunia fenomenal—ketika kehadiran menyakinkan dari suatu dunia fenomenal dideskripsikan secara terperinci—dengan gampang dapat kita lihat pada riwayat kependekaran Dulawi dan Mat Modar maupun berita sepak terjang Mat Dawuk sendiri sebagai pembunuh bayaran. Kesaktian Mat Modar memanggul golondongan jati yang telah disebutkan misalnya, jelas adalah bagian dari dunia fenomenal lantaran dihadirkan dengan detail yang ekstensif oleh narator sebagai kejadian alami.
Dunia fenomenal bukanlah fantasi atau alegori, ia adalah realisme dalam realisme magis. Karena itu ia memiliki referensi yang kerap dipetik dari sejarah resmi, dimana sejarah itu ditulis ulang sebagai sebuah sejarah alternatif yang memuat elemen magis dan kearifan lokal. [40]
Kisah Mat Modar (maupun muridnya Dulawi) yang diriwayatkan oleh narator sebagai para gerilyawan yang melawan Belanda dan Jepang dengan segala kedigdayaan ilmu silat-kanuragannya (termasuk kekebalan)[41] dapat dikatakan sebagai unsur-unsur historis yang bercampur aduk dengan dongeng—yang pada akhirnya menciptakan sebuah dunia fiksi yang menyerupai dunia yang kita huni lantaran ia memiliki pijakan fakta yang jelas dalam sejarah Indonesia.
Selanjutnya karakteristik ketiga dari realisme magis adalah unsettling doubts atau sebuah kondisi ketika pembaca merasa ragu-ragu di antara dua pemahaman kontradiktif atas suatu peristiwa sebelum mengategorikannya sebagai irreducible element, yakni apakah ia adalah elemen dunia magis atau elemen dunia riil. Unsettling doubts ini biasanya berasal dari keterangan narator, pikiran tokoh maupun dari dialog.
Kemunculan Dulawi di pengadilan sebagai saksi cucunya setelah menghilang lebih dari dua puluh tahun dengan penampilan yang tetap serupa dengan saat terakhir ia dilihat, serta kesaksiannya yang begitu “lengkap, tak ada yang terlewatkan, meyakinkan dan sangat masuk akal” adalah contoh dari “keraguan yang menggoyahkan” ini, lantaran kehadiran tiba-tibanya yang begitu nyata tersebut menimbulkan pertanyaaan dari narator maupun warga Rumbuk Randu: “Apakah sosok itu betul-betul manusia nyata atau sebetulnya cuma ruh”?
Bagi mereka yang tak mungkin mengelak bahwa mereka menyaksikannya begitu nyata di kursi saksi, sebelum kemudian menghilang, bersikukuh bahwa itu pasti ruhnya, dan bukan dirinya yang sesungguhnya. (Ikhwan, 2017, 122-123)
Bahkan menghadapi kejadian ini, sebagai narator serba-tahu yang seyogianya memahami esensi fiksi, Warto si Pembual pun tampaknya lebih memilih sikap aman sebagai narator terbatas.
Kalian bertanya apa yang dilakukan Mbah Dulawi setelah kemunculannya yang tiba-tiba?. . .Aku tidak tahu, sebagaimana orang-orang lain juga tidak tahu. Semua orang yang ada di gedung pengadilan negeri saat itu, termasuk aku sendiri, tiba-tiba sudah tidak lagi melihatnya begitu ia mundur dari kursi saksi. Ia menghilang begitu saja dengan cara yang sama anehnya dengan kemunculannya. Lap, muncul! Lap, hilang! Jadi, ya, wallahu alam. . .Itulah kenapa, sebagian orang yakin bahwa peristiwa kesaksiannya di pengadilan itu, termasuk kesaksian meringankan yang diberikannya, tak benar-benar nyata, bahkan mungkin saja tak pernah terjadi. (Ikhwan, 2017, 122)
Visi realisme magis berada pada persimpangan dua dunia, pada sebuah titik imajiner dalam cermin dua sisi yang berefleksi ke dua arah. Ia, seperti yang dikatakan H.P. Duerr dalam Dreamtime, “Penglihatan terjadi apabila anda dapat menyelundupkan diri anda sendiri di antara (dua) dunia, dunia orang biasa dan dunia para penyihir.”[42]
Faris menyebut hal ini sebagai persimpangan antara dunia-dunia.[43] Yaitu ruang antara tak menentu yang tercipta sebagai konsekuensi persentuhan kedua dunia tersebut. Karenanya, merging realms dapat dikatakan sebagai dunia yang lahir dari penetrasi salah satu dunia menuju ke dunia lainnya. Perpotongan inilah yang menghamparkan sebuah tempat dengan keniscayaan interaksi antaranasir dari kedua dunia.
Dalam Dawuk tempat ini adalah rumah kandang Mat Dawuk saat ia diikat dan dibakar hidup-hidup oleh warga Rumbuk Randu yang mengepungnya di bawah pimpinan Pak Imam, mertuanya sendiri. Pada peristiwa yang berlangsung di pinggir hutan ini, persinggungan antara dua dunia terlihat dengan datangnya “seseorang yang sangat digdaya” yang memiliki ilmu sirep dan gerakan sangat cepat seperti “seberkas bayangan” dengan “terpaan angin yang sangat keras” (Ikhwan, 2017, 167) untuk menyelamatkan Mat. Ilmu sirep dan ilmu lari cepat dalam hal ini adalah bagian dari dunia irasional—yang hanya bisa dipahami lewat logika “dunia persilatan”—yang bocor memasuki dunia riil yang empiris. Akibatnya peristiwa dalam kesaksian Warto itu pun terlihat magis sekaligus nyata.
Lantas bagaimana dengan disruptions of time, space, and identity yang merupakan kriteria terakhir dari teori naratif Wendy B. Faris?
Gangguan ruang dan waktu sebagaimana umumnya yang terjadi dalam karya realisme magis juga berlangsung dalam cerita Dawuk. Dalam realisme magis, ruang dan waktu yang berlaku adalah ruang dan waktu yang hadir dalam keserentakan. Ia menolak waktu linear-progresif dari perspektif modern sekaligus juga waktu siklis dari tradisi-kepercayaan Timur. Karena itu, ruang dan waktu realisme magis pun senantiasa tampak cair dan chaotic. Kendati demikian, gangguan terhadap ruang dan waktu ini tak berarti realisme magis memiliki konsep waktunya sendiri, melainkan bahwa logika umum mengenai waktu yang ada dalam fiksi menjadi labil akibat hadirnya elemen-elemen magis dalam dunia nyata.
Ada banyak peristiwa dalam Dawuk yang mengindentifikasi terjadinya gangguan terhadap ruang dan waktu. Yang paling kentara adalah kesaksian Mbah Dulawi di pengadilan. Itu sebabnya, seperti pertanyaan yang diajukan Warto sang narator:
Bagaimana seseorang tahu pertemuan antara Mandor Har, Blandong Hasan, dan Mat Dawuk di Pilang Pang Papat, mengetahui apa saja yang dilakukan Mat Dawuk di ladangnya, dan pada saat yang sama mengikuti perjalanan sepeda motor yang dikendarai Mandor Har sampai ia membelok ke rumah Inayatun? Dan coba pikir, kalau tak berada di rumah kandang itu, bagaimana bisa ia menggambarkan kejadian demi kejadian dari menjelang sampai terjadinya peristwia berdarah itu, dengan cara selengkap dan sejelas itu? (Ikhwan, 2017, 120)
Sekalipun kita menganggap sosok Dulawi itu hanyalah ruh, apakah ruhnya itu memiliki kemampuan memecah diri sehingga ia mampu hadir dalam banyak ruang dan waktu yang sama sekaligus? Demikian pula halnya dengan durasi hidup Mat Modar sang guru yang terang menunjukkan adanya disrupsi terhadap ruang-waktu. Setidaknya begitulah dalam cerita rakyat yang dituturkan ulang oleh Warto Kemplung. Berikut kutipan cerita Warto tentang Mat Modar alias Ahmad Mudzar yang sulit mati:
Ia begitu dikenal tapi sekaligus juga penuh rahasia. Riwayatnya membentang dari masa Tanam Paksa sampai masa Indonesia Merdeka. (Kalau kalian mau percaya, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai sisa-sisa pasukan Sentot Prawiradirja yang buyar bertebaran setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro usai Perang Jawa.) Selama masa-masa itu, tak ada orang di selingkaran hutan di Pantai Utara Jawa bagian timur ini yang tak tahu namanya dan tak dengar sepak terjangnya. Bahkan, orang-orang juga tahu siapa musuh-musuhnya—biasanya agar dianggap teman olehnya. Tapi, pada saat yang sama, tak seorang pun yang dengan yakin bisa menyebut berapa umurnya, lahir kapan dan di mana.
Yang paling masuk akal ia mungkin sedikit lebih tua dibanding para pendiri negara macam Bung Karno atau Bung Hatta. Tapi anehnya, orang-orang punya banyak cerita bahwa ia terlibat pemberontakan para pendekar dan kyai terhadap Gupernemen pada masa orang Jawa dipaksa menanami tanahnya hanya dengan tebu dan tembakau, entah kapan itu—Masnya ini pasti tahu. . .Pada saat yang sama, cerita-cerita yang menghubungkannya dengan perjuangan rakyat melawan Nippon juga segudang banyaknya. (Ikhwan, 2017, 123-124)
Akibatnya di sini, “ruang antara” (a space of the in-between) atau “ruang ketidakpastian” (a space of uncertainly) yang mengaburkan batas antara yang profan dan yang sakral pun tercipta.
Apabila orientasi ulang ruang dan waktu dalam fiksi realisme magis menghasilkan sejarah yang terpecah-pecah, gangguan terhadap identitas pada genre ini kerap mengarah kepada multiplisitas personal akibat sifat multivokal narasi dan hibriditas kultural yang menjadi cirinya.[44]
Karena itu dalam Midnight’s Children karya Salman Rushdie contohnya, kita menemukan karakter utama Saleem Sinai menjadi representasi bangsa India yang pluralistik sekaligus menunjukkan kompleksitas identitas manusia sebagai jaringan ruwet. Sedangkan dalam Dawuk, disrupsi identitas ini bisa kita dapatkan pada sosok Mat Dawuk sebagai tokoh utama maupun Warto Kemplung sebagai narator.
Pada Mat Dawuk, selain berita tentang dirinya yang tidak terlacak (antara ada dan tiada) oleh Mustofa Abdul Wahab di luar cerita Warto, kehadiran seorang pria naik motor GL Pro dengan celana Levi’s warna gelap yang kelihatan mahal, sepatu Mizuno berpipa tinggi warna putih, kaos Polo biru donker, serta jaket kulit cokelat pekat yang kerekannya separuh terbuka di akhir novel ini tentu saja mengaburkan karakteristik sang protagonis yang sejak awal telah dibangun oleh Warto dan diterima pembaca.
Betapa tidak, sosok yang datang mengancam Mustofa sang narator agar berhenti memuat “Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu” di koran dan mengaku sebagai Mat itu potongannya sama sekali tidak sesuai dengan semua gambaran tentang Mat Dawuk yang dikisahkan Warto. Alhasil kita pun membaca gerutuan sang narator yang mirip sesal, bahwa “. . .sebagai wartawan, aku seharusnya masih mempertahankan rasa curiga soal apakah orang bernama Mat Dawuk itu memang benar-benar ada atau hanya karangan belaka.”
Sementara pada Warto Kemplung, dari cerita yang disampaikan oleh Bu Siti si pemilik Warung kopi kepada Mustofa, akhirnya kita mengetahui identitas lain sang juru cerita ini selain pembual dan pengangguran sebagaimana yang dikenal oleh warga: Siapa sangka sosok yang “nyaris tak pernah pegang uang” dan suka membual untuk mendapatkan rokok dan kopi itu ternyata adalah salah satu murid Mbah Dulawi yang bukan saja pandai mengaji, tetapi juga menguasai pencak dan ilmu kanuragan sang guru?
Namun, cinta segitiga, kita tahu selanjutnya, menghancurkan Anwar Tohari (nama asli Warto Kemplung), karena perempuan yang ia cintai dinikahkan oleh gurunya dengan Mahfud, ayah Mat Dawuk, dengan alasan: “Kau berhak mendapat yang lebih baik. Lagi pula, ini untuk kebaikan semua orang”. Simaklah kata Bu Siti:
Anwar yang patah hati meninggalkan langgar Mbah Dulawi, mengelana entah ke mana, sampai beberapa tahun kemudian—konon—dikenal dengan nama Warto, seorang korak alias preman yang disegani di terminal-terminal antara Semarang hingga Jogja, dari Wleri sampai Wonogiri. (Ikhwan, 2017, 172)
Rahasia Warto Kemplung sebagai seorang jawara inilah yang kemudian mendatangkan pertanyaan di benak kita sebagai pembaca terkait peristiwa menghilangnya dirinya selepas pengepungan rumah kandang Mat tempat ia mengaku hadir di sana sebagai penyaksi sebelum jatuh pingsan. Seperti yang telah saya pertanyakan pada awal tulisan ini: “Benarkah ia ikut jatuh pingsan oleh ilmu sirep seseorang yang datang menyelamatkan Mat, atau ia sengaja menyembunyikan sesuatu dari kita? Bagaimana kalau dialah sebetulnya penyelamat cucu gurunya itu? Meskipun tentunya kita juga boleh menduga bahwa Mbah Dulawi lah sekelebat bayangan yang datang untuk menolong sang cucu itu.”
Mat Dawuk sebagai Antihero
Mat Dawuk juga boleh dipandang sebagai figur antihero.
Kendati pada kasus tertentu, kadangkala karakter antihero ini dipahami sebagai sejenis antagonis, tetapi antihero tentu saja sama sekali bukan antagonis. Ia adalah protagonis yang karakteristiknya serba-berkebalikan secara mencolok dari umumnya gambaran pahlawan tradisional-konvensional, baik dari segi moral, perilaku, maupun fisik.[45]
Karena itu, apabila sosok hero konvensional lazim digambarkan sebagai sosok yang sempurna atau nyaris sempurna, antihero justru karakter yang sarat dengan cacat-cela: urakan, konyol, pemalas, ceroboh, pongah, gila atau setengah gila, buruk rupa, kasar, sadis, cabul, apatis atau bodoh.[46]
Namun, lebih dari itu, konsep antihero sesungguhnya hadir dalam fiksi (novel, film, komik, drama dan sebagainya) untuk membuat sosok tokoh utama menjadi lebih realistis. Sebagai contoh, karakter Jay Gatsby dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald dapat dikategorikan sebagai antihero lantaran ia menampilkan karakteristik tokoh yang tidak jujur dan serakah, tetapi mampu memikat pembaca lewat mimpi-mimpi besarnya dan hasratnya akan cinta. Contoh lainnya adalah Ignatius Reilly dalam karya John Kennedy Toole, A Confederacy of Dunces. Dalam novel ini, Reilly menunjukkan kualitas seperti keegoisan dan kemalasan yang selaras dengan antihero. Tetapi, terlepas dari kualitas negatifnya itu, ia masih mengimbau kita melalui nilai-nilai yang dianutnya dalam pendidikan dan moralitas.[47]
Dalam hal ini, sebagai karakter yang “. . .more accurately depict true human nature because of the flaws given to them”,[48] antihero dengan tegas menolak figur pahlawan sebagai wujud dari kebaikan manusia yang sempurna sembari melucuti sifat-sifat “yang tampak adikodrati” itu dengan mempertanyakannya ulang bahkan mengolok-oloknya. Ia, boleh dibilang sebagai karakter yang senantiasa berdiri di wilayah abu-abu antara pahlawan dan penjahat, yang karena itu pula memiliki nilai dan motivasi yang berbeda dari keduanya.
Maka dalam konsep antihero, kita pun menemukan esensi karya sastra sebagai cermin kehidupan yang memantulkan wajah kita sebagaimana adanya: cantik jelita maupun buruk rupa.[49] Konsep ini mengajari kita bahwa hidup lebih dari sekadar hitam dan putih. Tidak ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat, seperti halnya pula tak ada solusi yang sempurna atas persoalan dalam kehidupan.
Alhasil, tugas antihero jauh lebih berat daripada pahlawan dan penjahat dalam cerita lantaran ia mesti membawa pembacanya melihat segala hal dari perspektif berbeda, ketika sisi gelap para pahlawan dibongkar dan nilai rasional kaum antagonis diungkapkan.
Lalu seperti apakah sesungguhnya keantiheroan Mat Dawuk?
Sejak awal Mahfud Ikhwan sudah memperlihatkan secara kentara karakteristik antihero tokoh utamanya ini melalui penuturan Warto Kemplung. Terutama menyangkut keburukan rupa Mat dan profesinya di Malaysia sebagai pembunuh bayaran yang syahdan sangat kejam dalam desas-desus (gunjing) orang-orang Rumbuk Randu. Karena itu—dalam perspektif warga desanya—ia adalah sosok yang jelas harus dijauhi sekaligus dilaknat.
Simak saja bagaimana karakter ini mula-mula diperkenalkan dalam narasi pada bab kedua, “Lelaki dengan Bibir Cuil”:
Sebelumnya toh sudah pernah dialaminya: ia datang, tersaruk-saruk dengan badan dan muka remuk, dan orang-orang hanya termangu saja jika tidak buru-buru menutup jendela dan pintu, pada sore ketujuh setelah kejadian berdarah itu. (Ikhwan, 2017, 10)
Tentu, seperti halnya pahlawan dan penjahat mana pun, tokoh antihero juga memiliki konteks yang melatarbelakangi keantiheroannya tersebut, yang menjadi landasan karakteristik, tujuan, alasan dan kecenderungan aksi-aksinya. Untuk kasus Mat Dawuk, saya kira Mahfud melalui Warto Kemplung telah memberikan kita latar yang cukup terperinci, yaitu sikap penduduk Rumbuk Randu terhadap dirinya sejak kecil dan perlakuan yang diterimanya dari sang ayah yang bukan saja tidak memperlakukannya seperti seorang anak bahkan menyalahkannya atas kematian ibunya.
Lebih buruk dari wajahnya adalah nasibnya. Bila kebanyakan orang tak ingin disangkutpautkan dengannya, bapaknya sendiri bahkan membencinya. Sudah buruk rupa, si anak juga dianggap oleh si bapak sebagai biang keladi kematian ibunya, yang meninggal saat melahirkannya. Ya, orang itu—jangan kalian tanya namanya—memang bapak yang bangsat, yang tak memiliki rasa kasih sayang kecuali dengan ayam-ayam aduannya dan pelacur-pelacur murah yang jadi langganannya. Mat Dawuk diusir kalau hendak mendekat, apalagi jika ia sedang asyik dengan ayam-ayamnya. Ia dibentak jika mencoba memanggilnya, dan ditempeleng kalau merengek minta uang jajan. (Ikhwan, 2017, 19-20)
Latar belakang demikianlah yang membuat Mat tumbuh besar sebagai seorang bocah liar penyendiri dan tumbuh dewasa sebagai lelaki pemalu yang hampir-hampir membenci kehadiran orang lain. Kemalangannya ini kemudian jadi semakin lengkap setelah satu-satunya orang yang mencintainya yaitu kakeknya Mbah Dulawi menghilang tatkala ia baru berumur lima tahun.
Jika biasanya antihero lain baru menjadi “momok” yang ditakuti setelah aksi-aksi yang mereka lakukan, Mat Dawuk bahkan sudah ditakuti dan dibenci sejak ia masih kanak-kanak akibat keburukan wajah dan nasib tragisnya—jauh sebelum ia berkeliaran sebagai pembunuh bayangan di Malaysia dengan ruyungnya dan dianggap “bangkit dari kematian”.
Betapa tidak—sebagaimana dikisahkan narator—sedari ia masih belia, keangkerannya sudah kerap digunakan oleh para orang tua di Rumbuk Randu untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak nakal dengan ancaman-ancaman seperti: “Nggak mau mandi, mau seperti Mat Dawuk, ya?” atau “Kalau masih nakal, nanti digentong Mat Dawuk lho!”(Ikhwan, 2017, 10)
Namun, benarkah cuma sekadar “kekumulan, kediaman, dan wajah buruk” itu yang menjadi alasan kuat bagi warga Rumbuk Randu untuk membenci Mat? Ternyata tidak. Sebab kita jelas menemukan alasan lain yakni remukya tulang punggung Sinder Harjo oleh perbuatan Dulawi sehingga ia lumpuh seumur hidup dan menjadi beban keluarga sampai ke anak-cucunya. Karena itu, wajar apabila keluarga sang Sinder selalu berusaha membalaskan dendam kesumat mereka, termasuk dalam hal ini menghasut warga untuk membenci Mat Dawuk menggunakan kekuasaan, wibawa dan kemapanan ekonomi yang mereka miliki. (Ikhwan, 2017, 134) Sebuah provokasi kebencian yang kian menemukan dalih selepas Mat menikahi Inayatun,[50] terlebih usai terbunuhnya Mandor Har oleh kapak Blandong Hasan yang salah sasaran saat ia hendak membokong Mat di rumah kandang dalam usaha mereka memperkosa Ina.
Kebencian buta terhadap Mat akibat pandangan secara lahiriah ini juga boleh jadi adalah potret kepicikan masyarakat pedesaan yang di Indonesia umumnya dicitrakan sebagai masyarakat yang lugu-jujur, sederhana, santun dan bersahaja. Tetapi, dalam banyak kasus yang terjadi dan bisa dengan mudah kita akses dari berita-berita di media, kekerasan komunal dan amuk atas nama warga, agama atau tradisi telah lama menjadi bagian dari kompleksitas masyarakat perdesaan. Pengerebekan “pasangan mesum”, tuduhan dukun santet yang sering berakhir dengan pembunuhan dan pengusiran, atau perkelahian antar-kampung adalah contoh dari “keluguan” masyarakat desa yang kerap lebih gampang diprovokasi ketimbang masyarakat perkotaan.
Namun begitu, kendati menyajikan novel dengan kesadaran pascakolonialitas dan teknik yang kuat, tampaknya kita berharap terlalu tinggi pada seorang Mahfud Ikhwan. Karena di samping menempatkan antagonis pada sisi kekuasaan secara gamblang, novel ini juga tampakmenyampaikan pesan moral dengan kelewat terang. Bahkan karakter-karakter yang dihadirkannya pun cenderung hitam-putih. Sejak awal posisi moral tokoh-tokohnya sudah ditentukan dengan jelas: siapa yang baik dan siapa yang jahat. Meskipun dinyatakan sebagai seorang pembunuh bayaran yang bisa dibayar murah, saya kira tidaklah sulit bagi pembaca untuk melihat nilai, sikap, dan kode moral sang tokoh utama.
Contohnya, sikap Mat Dawuk yang begitu pemaaf kepada warga Rumbuk Randu yang telah mengeroyoknya sampai babak belur. Bahkan terhadap Blandong Hasan yang bersama Mandor Har telah mencelakai istrinya, betapa pun ia ingin mengejar orang itu dan membelah kepalanya dengan kapak, janjinya kepada Inayatun untuk tidak lagi membunuh terus menganggunya dan menahannya. (Ikhwan, 2017, 137) Ya, janji kepada mendiang istrinya ini pula yang membuatnya rela menyerahkan diri tanpa perlawanan termasuk menyerahkan kalung azimatnya kepada Pak Imam ketika dikepung untuk kedua kali oleh warga Rumbuk Randu di rumah kandangnya.
Bahkan kepada Warto, berkali-kali ia menyatakan penyesalan dan merasa menjadi penyebab kematian Inayatun. Kematian sang istri tercinta dianggapnya sebagai karma akibat perbuatannya di masa lalu sebagai pembunuh bayaran walaupun ia tahu sebagian besar korbannya adalah para bajingan: lelaki berengsek yang merusak perempuan, tekong busuk yang menjual orang dengan harga murah; mandor culas yang ngemplang gaji anak buah.
Ia jelaskan, dendam dan sakit hati kepada orang Rumbuk Randulah yang menjadikannya remaja berdarah panas, dan kemudian membentuknya jadi pembunuh berdarah dingin. Dan, tak diragukan, ia menderita karenanya. Puncaknya, ia membuat menderita orang-orang yang dicintainya. (Ikhwan, 2017, 137)
Tidak hanya itu, Mat juga digambarkan sebagai seorang lelaki yang sebetulnya “beriman”. Ia memasangi dinding kamarnya di Malaysia dengan poster Ayat Kursi. Kendati diceritakan jarang salat, ia selalu menyimpan Alquran. Bahkan ketika akhirnya ia berhubungan intim dengan Ina, Mat Dawuk dikatakan “mencopot poster Ayat Kursi-nya dan memasukkannya ke dalam kardus bersama dengan al-Quran tua dan kitab-kitab Arabnya” lantaran merasa tidak enak dengan apa yang mereka lakukan. Ia baru memasang kembali poster itu ketika ia menyetujui ajakan Inayatun untuk menikah di bulan keempat mereka tinggal bersama. (Ikhwan, 2017, 45)
Lalu bagaimana dengan para karakter antagonis? Saya kira, seperti halnya arah kompas dan keberpihakan (pilihan) moral Mat Dawuk yang telah ditentukan dengan jelas sejak awal. Yakni, sifat mereka yang cenderung munafik, picik, seakan sudah busuk dari sananya serta tidak mengenal penyesalan atau kata taubat juga tergambarkan secara terperinci bahkan dalam kegusaran suara narator.
Blandong Hasan, misalnya. Tokoh ini selain digambarkan sebagai anak orang kaya yang congkak, juga digambarkan sebagai pengecut dan tukang fitnah yang licik. Ia bukan saja hadir sebagai provokator ulung yang menghasut orang-orang mengeroyok Mat Dawuk di halaman puskesmas, melainkan juga diceritakan menghilang tatkala dirinya dibutuhkan sebagai saksi kunci dalam pengadilan Mat Dawuk. Konon, hal itu lantaran begitu takutnya ia bersitatap dengan Mat, juga khawatir jika pengadilan justru bakal berbalik melawannya. Padahal sebelumnya dengan gagah berani, “mulut bau tuaknya” itu bersesumbar akan menjual penggergajiannya beserta seluruh peralatan dan ratusan kubik balok-papan untuk membayar siapa pun yang bisa menghabisi Mat. “Berapa sih berharganya harta-benda dibanding persahabatan? Kalau perlu, nyawaku ini pun akan aku berikan!” katanya, tegas, sambil memberi tanda memotong lehernya. (Ikhwan, 2017, 111-112)
Demikian juga halnya dengan sosok Pak Imam (Imamudin), ayah Inayatun dan mertua Mat. Lelaki terhormat yang disebut-sebut sebagai “seorang pawong desa kawakan dengan pengetahuan agama yang mendalam” itu ternyata bukan saja seorang ayah yang lebih mementingkan kehormatan diri sendiri ketimbang kasih sayang kepada anak gadisnya, tetapi juga seorang culas sangat pendendam yang tidak segan-segan menggunakan jasa dukun (duk-deng) untuk mencelakai orang lain. Malahan, dengan “mata telanjang” pun kita bisa menyaksikan kemunafikan dan kekejian nyaris tanpa celah itu dari barisan pengepung rumah kandang Mat: orang yang kaya karena menjual orang ke Malaysia, orang yang jadi kades karena membayar pemilih dan menyewa dukun, penjaja teluh yang memakai peci haji.
Alhasil, penentuan posisi moral yang begitu hitam-putih dalam novel ini pun mengakibatkan absennya kompleksitas manusia yang antara lain juga tampak dari perubahan sifat Inayatun yang mula-mula digambarkan sebagai gadis genit suka gonta-ganti pasangan menjadi seorang istri yang sangat setia tanpa alasan terang.
Lebih lanjut, kepastian posisi moral setiap karakter tersebut berikut keberpihakan moral Mat bahkan bisa dibilang mencederai keantiheroan sang tokoh utama yang telah dikarakterisasikan begitu rupa, sehingga membuatnya jadi (seakan) kontradiktif, di samping cenderung membuat karya dengan kesadaran naratologi yang kuat ini tergelincir menjadi tidak ubahnya karya-karya populer yang ia adopsi-adaptasi. Sekalipun padanya kebaikan tidak dirayakan dengan kemenangan mengharu-biru dan berakhir bahagia.
Kepustakaan
Ajidarma, Seno Gumira. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.
Amado, Jorge. Dona Flor dan Kedua Suaminya. Terjemahan Fahmy Yamani. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Bandel, Katrin. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta: Pustaha Hariara, 2013.
Banua, Raudal Tanjung. Parang Tak Berulu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Boehmer, Elleke. Colonial and Postcolonial Literature. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Borges, Jorge Luis. Collected Fictions. Terjemahan Andrew Hurley. New York: Penguin Books, 1998.
Fanon, Frantz. Bumi Berantakan. Terjemahan Ahmad Asnawi. Jakarta: Teplok Press, 2000.
Faris, Wendy B. Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press, 2004.
Genette, Gerard. Narrative Discourse: An Essay in Method. Terjemahan Jane E. Lewin. New York: Cornell University Press, 1980.
Hobsbawm, Eric J. Bandit: Genealogi dan Struktur Sosial. Terjemahan Anonim. Yogyakarta: Antitesis, 2018.
Ikhwan, Mahfud. Ulid Tak Ingin Ke Malaysia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2009.
Ikhwan, Mahfud. Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Serpong: Marjin Kiri, 2017.
Kurniawan, Eka. Cantik Itu Luka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Márquez, Gabriel García. Seratus Tahun Kesunyian. Terjemahan Max Arifin. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
Piliang, Yasraf Amir. “Tamasya di Antara Keping-keping Masa Lalu: Seni pada Titik Balik Modernitas”, Kalam edisi 2, 1994.
Romansha, Kedung Darma. Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta Yang Keparat. Yogyakarta: IBC, 2017.
Rushdie, Salman. The Satanic Verses. London: Viking Penguin, 1988.
———————–. Imaginary Homelands: Essay and Criticism 1981-1991. London: Granta Books, 1991.
———————–. Midnight’s Children (Anak-anak Tengah Malam). Terjemahan Yuliani Liputo. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009.
———————–. Harun dan Samudra Dongeng. Terjemahan Anton Kurnia dan Atta Verin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2011.
Sepulveda, Luis. Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta. Terjemahan Ronny Agustinus. Serpong: Marjin Kiri, 2017.
Tito, Bastian. Wiro Sableng: Jagal Iblis Makam Setan. Jakarta: Lokajaya, Tanpa Tahun.
Tito, Bastian. Wiro Sableng: Lentera Iblis. Jakarta: Lokajaya, Tanpa Tahun.
Upston, Sara. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Farnham Surrey: Ashgate Publishing Company, 2009.
Waugh, Patricia. Metafiction: The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction. London & New York: Routledge, 1984.
Situs Web
https://kbbi.web.id/gosip (Diakses pada 1 September 2019).
https://kbbi.web.id/gunjing. (Diakses pada 1 September 2019).
https://writing explained.org/grammar-dictionary/antihero (Diakses pada 14 Agustus 2019).
https://writerswrite.co.za/heroes-and-anti-heroes-whats-the-difference/ (Diakses pada 1 September 2019).
https://en.wikipedia.org/wiki/Antihero (Diakses pada 11 Agustus 2019).
https://en.m.wikipedia.org//wiki/Unreliable-narrator (Diakses pada 18 Agustus 2019).
https;// www.nownovel.com/blog/major-narrator-types/ (Diakses pada 18 Agustus 2019).
https://www.nownovel.com/blog/unreliable-narrator/ (Diakses pada 21 Agustus 2019).
http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/AntiHero (Diakses pada 19 Agustus 2017).
https://www.whiteboardjournal.com/interview/ideas/wacana-kehidupan-bersama-mahfud-ikhwan/ (Diakses pada 22 Agustus 2019).
Esai ini sebelumnya juga diterbitkan dalam buku Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu (Penerbit Gambang Buku Budaya, 2020).
[1] Meskipun pemanfaatan teknik bergunjing sebagai struktur narasi, apa yang dilakukan oleh Mahfud Ikhwan adalah satu hal yang baru dalam sastra (berbahasa) Indonesia. Ikhtiar meneruskan tradisi lisan ke dalam tulisan seyogianya telah dilakukan oleh Raudal Tanjung Banua tatkala memanfaatkan gaya ungkap bakaba dalam tradisi Minangkabau dalam sejumlah cerpennya.
[2] Novel ini sudah diterjemahkan ke bahasa Bahasa Indonesia oleh Fahmy Yamani dengan judul Dona Flor dan Kedua Suaminya (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014).
[3] Di sini saya sengaja membedakan gosip dengan gunjing meskipun kedua istilah ini sesungguhnya memiliki makna yang sama. (Lihat https://kbbi.web.id/gosip dan https://kbbi.web.id/gunjing). Dalam hal ini gosip saya gunakan untuk menyebut “pergunjingan yang dilakukan di lingkungan perkotaan oleh orang-orang kota”, sementara gunjing saya maksudkan sebagai “pergosipan yang terjadi di desa dan dilakukan oleh orang-orang desa”.
[4] Penceritaan dengan narator yang muncul atau terlihat seperti tokoh cerita. Tidak seperti heterodiegetic yang ketidakhadiran naratornya bersifat mutlak, narator dalam homodiegetic memiliki derajat kehadiran yang dibedakan dua jenis: (1) Narator sebagai tokoh sentral, (2) Narator sebagai tokoh sekunder yang hanya berfungsi sebagai pengamat atau saksi. Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, Trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980), 244-245.
[5] Kedung Darma Romansha, Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat (Yogyakarta: IBC, 2017)
[6] An omniscient atau all knowing narrator umumnya berkisah dari sudut pandang orang ketiga, sehingga penempatan posisi Warto Kemplung sebagai narator yang berada dalam cerita ini tentunya menjadi problematik. Sebab seorang character-narrator semestinya tidaklah mungkin mengisahkan apa yang luput dari indra dan pengalamannya.
[7] Mahfud Ikhwan, Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (Serpong: Marjin Kiri, 2017), hlm. 88. Hal ini mengingatkan saya pada novel Haroun and the Sea of the Stories karya Salman Rushdie yang mengisahkan perjuangan para penghuni dan pecinta Samudra Mata Air Dongeng mengusir Khattam Shud untuk membebaskan pancaran mata air kisah dari cengkeramannya. Novel ini merupakan sebuah alegori perlawanan Rushdie terhadap setiap kekuasaan yang menekan, membatasi dan mengeruhkan kejernihan samudra fiksional. Khattam Shud tak lain merupakan tamsil si tangan besi yang dengan dalih agama, moralitas dan tradisi, atau moral mencoba menghadang kemeriahan karnaval imaji dan meracuni arus-arus kisah para pendongeng. Baca Salman Rushdie, Harun dan Samudra Dongeng, terjemahan Anton Kurnia dan Atta Verin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2011).
[8] Unreliable narrator adalah pembawa cerita yang menemani pembaca dalam membaca, tetapi karena tidak dapat dipercaya, maka sering kita terjabak dengan opini sang narrator tersebut sehingga terbawa jauh dari alur yang sebenarnya. Unreliable narrator ini bisa berupa orang gila, penderita delusif-skizofrenik atau orang yang sedang bermimpi, sedang berbohong, sedang bercerita kepada polisi atau bersaksi di pengadilan. Bisa pula seorang anak kecil atau remaja tanggung. Umumnya “narator yang tidak bisa dipercaya” adalah narator orang pertama sehingga sudut pandang dan pendapatnya pun sesuai dengan pikiran dan apa yang dianggapnya benar. Dalam beberapa kasus, “narator yang tidak bisa dipercaya” ini tidak pernah sepenuhnya terungkap, tetapi hanya mengisyaratkan, membuat pembaca bertanya-tanya seberapa jauh ia dapat dipercaya dan bagaimana ceritanya harus ditafsirkan. Lihat https://en.m.wikipedia.org//wiki/Unreliable-narrator dan https://www.nownovel.com/blog/unreliable-narrator/, diakses pada 21 Agustus 2019.
[9] Cerita berbingkai ini juga mengingat kita pada karya-karya prosa Jorge Luis Borges seperti “The Circular Ruins”, “Tlon, Uqbar, Orbis Tertius”, “The Garden of Forking Paths”, dan “The Translators of the 1001 Nights” yang strategi naratifnya kita tahu sangat dipengaruhi oleh Kisah Seribu Satu Malam. Lihat Jorge Luis Borges, Collected Fictions, terjemahan Andrew Hurley (New York: Penguin Books, 1998).
[10] Syahrazad menceritakan kepada Sultan kisah-kisah yang demikian memukau sehingga rasa penasaran yang menghantui Sultan akan kisah selanjutnya membuat Syahrazad masih diperkenankan hidup untuk sehari lebih lama. Dengan cara inilah—menahan suspence, menangguhkan, merangkai dan mengembangbiakkan cerita—ia memperpanjang kisahnya (sekaligus hidupnya) sampai seribu satu malam, dan berakhir dengan pengampunannya dan ketercengangan Sultan atas kisah-kisah ajaibnya yang seakan tak ada akhir itu.
[11] Narator sebagai pengamat yang tidak masuk ke dalam cerita. Tipe narator ini hampir sama dengan “orang ketiga serba-tahu” (third person omniscient). Bedanya, ia tidak memasukkan pikiran/pendapatnya.
[12] This type of narrator tells the the events of the story in either the first or third person, but does not feature as one of the major characters in course of events. Another terms for this narrator could be the ‘the witness’. The narrators is similiar to the omniscient narrator in this respect, but only has the limited knowledge and perspective of an individual. Lihat www.nownovel.com/blog/major-narrator-types/, diakses pada 18 Agustus 2019.
[13] Narator yang tidak jelas kedudukannya. Kadang-kadang posisinya diungkap oleh tokoh di dalam cerita, kadang baru terungkap di akhir cerita. Penulis terkadang memakainya untuk memasukkan dirinya di novel tanpa menyebutnya secara jelas.
[14] Meskipun sebagai juru gunjing Warto Kemplung menempati posisi sentral yang amat signifikan karena hal apa pun yang terjadi di desa Rumbuk Randu nyaris hanya bisa kita ketahui dari “bualan”-nya, cerita novel ini tentu saja berpusat pada sosok Mat Dawuk. Sehingga sebagai karakter dalam novel, kedudukannya adalah kurang-lebih seperti seorang Dr. Watson yang bercerita tentang Sherlock Holmes dalam karya Sir Arthur Conan Doyle. Kedudukan Warto ini kemudian dipertegas oleh hubungan langsung antara dirinya dengan sang tokoh utama dalam narasi, yang dalam hal ini baik berupa percakapannya dengan Mat Dawuk maupun kehadirannya pada sejumlah peristiwa dalam kehidupan tokoh utama. Selain pada peristiwa pengepungan rumah kandang pada halaman 149-167, ia juga mengaku mendengar langsung dari Mat Dawuk sendiri soal pelarian pesakitan itu dari sel tahanan polisi pada halaman 109. Alhasil, kendati diragukan kebenaran cerita-ceritanya, tetapi posisi sang narator yang mengenal Mat Dawuk secara dekat ini bagaimana pun sangat dibutuhkan untuk memberikan kualitas pada kisah.
[15] “Kau koar-koar mau ceritakan kisah berdarah. Mana? Kisah berdarah taek! Sampai kau habis kopi bercangkir-cangkir, merampok semua rokok kami, ceritamu cuma mutar-mutar saja, malah nyanyi-nyanyi India, nggak jelas juntrungannya!” (Ikhwan, 2017, 88)
[16] Ibid, hlm. 176-179.
[17] Dikatakan Seno: Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara sengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisinis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Lihat Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), 1.
[18] Dikatakan Warto: Yang tak diragukan lagi, orang-orang berkeyakinan, Mat Dawuk kini telah jadi duk-deng, orang sakti, malah boleh jadi kebal. Yang tidak benar-benar mereka mengerti, dari mana Mat Dawuk, bocah jelek dan telantar itu, mendapatkan kemampuannya? Apakah itu tiban, langsung turun dari langit begitu saja? Atau, ia mewarisinya dari kakeknya, Mbah Dulawi, yang bekas gerilyawan itu? Kalau ya, bagaimana caranya? Wong kakeknya telah menghilang saat ia berusia lima tahun. Atau, seperti kebanyakan para jago yang berkeliaran di Malaysia, ia membeli isen-isen, maksudnya kesaktian dan kekebalan itu, dari dukun-dukun yang bertebaran dari Banten hingga Banyuwangi? Atau, jangan-jangan, cuma sekadar modal berani saja, seperti yang diduga mereka yang cenderung meremehkannya? Tak ada yang benar-benar yakin. Bahkan, aku sendiri tidak benar-benar tahu. (Ikhwan,2017, 24)
[19] Ibid., 23. Kendati awalnya disebut desas-desus, Warto Kemplung kemudian menegaskan kabar burung ini dengan kalimat imbauan yang diberi tanda kurung oleh Mustofa Abdul Wahab: (Meskipun untuk banyak hal kalian harus meragukan apa pun yang dibilang orang Rumbuk Randu, tapi kali ini sebaiknya kalian percaya). Bahkan tak cukup sampai di sini, Warto mengorfirmasikan lagi hal ini lebih lanjut sebagai berikut: Ya, Mat Dawuk memang bisa diupah untuk membunuh.
[20] Gambaran karakter Mat Modar boleh dikatakan merupakan gambaran seorang “bandit sosial” yang bisa kita temukan dalam sejarah dan legenda dari berbagai belahan dunia, sebut saja Robin Hood, Kelly Gang, Diego Corrientes, Billy the Kid, Zelim Khan, Luis Pardo, para pendekar dari Gunung Liang Shan, sampai Liu Ngie di Bangka. Sebagaimana dikisahkan Warto Kemplung: Kalau di zaman sekarang, akan dengan mudah menyebutnya sebagai pendekar, atau bahkan pahlawan. Tapi, di masa hidupnya, tak segampang itu. Ia jelas penjahat bagi pejabat-pejabat Gupermen dan opas-opas Belanda. Ia tukang bikin onar bagi tuan-tuan tanah serakah, perusuh bagi mandor-mandor pribumi yang kejam, dan pencoleng, korak, kecu bagi para haji kaya yang pelit. . .Di sisi berbeda, ia adalah teman bagi kalangan terabaikan. Ia bisa tiba-tiba saja mampir ke rumah seorang janda tua dengan membawa beras dan ikan entah dibawanya dari mana. Ia kadang muncul begitu saja di antara para blandong yang kelelahan dengan membawa air segar atau segumbeng tuak. Blandong-blandong miskin yang diperkarakan polisi hutan ditolong semampunya. Ia akan dengan sukarela jadi pokrol bambu sekaligus tukang pukul untuk orang-orang miskin yang terjerat utang lintah darat. Lihat Ibid., 124-125. Sedangkan perihal ciri khas dan sejarah bandit sosial, silakan baca Eric J. Hobsbawm, Bandit Sosial, terj. Anonim (Yogyakarta: Antitesis, 2018).
[21] Dalam cerita silat populer, kerap kita temukan ungkapan seperti “Sekitar sepenanakan nasi” atau “Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu”. Sebagai contoh: Sekitar sepenanakan nasi akhirnya Pangeran Matahari berhasil menemukan goa yang pernah menjadi kediaman gurun dan dirinya sendiri. Lihat Bastian Tito, Wiro Sableng: Lentera Iblis, Jakarta: Lokajaya: tanpa tahun, 20.
[22] Meskipun keangkeran fisik Mat Dawuk dapat dibandingkan dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit alias si Jagal Iblis Makam Setan setelah ia terbebas dari kubur batu, Mahfud Ikhwan jelas keliru jika menyatakan bahwa Jagal Iblis Makam Setan menjebol kuburnya (sendiri). Karena tokoh golongan hitam dari pulau Andalas itu sesungguhnya diselamatkan oleh Sabai Nan Rancak yang menginginkan kedua senjata milik si datuk, yakni mantel sakti dan mutiara setan. Silakan baca Bastian Tito, Wiro Sableng: Jagal Iblis Makam Setan (Jakarta: Lokajaya, tanpa tahun), 78-89.
[23] Salman Rushdie, The Satanic Verses (London: Viking Penguin, 1988), 108. Terjemahan oleh saya.
[24] Rushdie pernah mengakui pengaruh teknik sinematik ini dalam novel-novelnya: “The whole experience of montage technique, split screens, dissolves, and so on, has become a film language which translates quite easily into fiction and gives you an extra vocabulary that traditionally has not been part of the vocabulary of literature. And I think I used that quite a bit.” Lihat Nicholas D. Rombes, Jr, “The Satanic Verses as a Cinematic Narrative” dalam Harold Bloom (ed.), Bloom’s Modern Critical Views: Salman Rushdie (Philadelphia: Chelsea House Publishers, 2003), 52.
[25] Buku mengenai perfilman India karya Mahfud Ikhwan yang telah terbit adalah Aku dan Fim India Melawan Dunia (Yogyakarta: EA Books, 2017, 2 jilid).
[26] Febriana Anindita, “Wacana Kehidupan Bersama Mahfud Ikhwan” (Soni Triantoro (S) Berbincang Bersama Mahfud Ikhwan (M)) dalam https://www.whiteboardjournal.com/interview/ideas/wacana-kehidupan-bersama-mahfud-ikhwan/, diakses pada 22 Agustus 2019.
[27] Julia Kristeva menjelaskan intertekstualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lain, yakni suatu pelintasan yang hanya dimungkinkan jika sebuah teks berada di dalam ruang pasca-sejarah versi Baudrillard, jika perjalanan sebuah teks (karya) bukan lagi perjalanan kemajuan ke dalam “kebaruan abadi” versi Habermas, akan tetapi tamasya di antara kepingan-kepingan tanda yang sudah diwariskan. Untuk itu, Kristeva memakai istilah “transposisi” untuk menjelaskan pelintasan di dalam ruang pasca-sejarah ini, yang di dalamnya satu (atau beberapa) sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu (atau beberapa) sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi ini dapat berupa sekadar peminjaman atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme atau sekadar lelucon (parody), pengelabuan identitas dan penopengan (camp) serta reproduksi ikonis (kitsch). Yasraf Amir Piliang dalam “Tamasya di Antara Keping-keping Masa Lalu: Seni pada Titik Balik Modernitas”, Jurnal Kalam edisi 2, 1994, 109.
[28] Berakhirnya kolonialisme secara fisik dan formal tidaklah serta merta berarti berakhir pula pengaruhnya atas bekas tanah jajahan. Tetapi ia—sebagaimana diungkapkan Sara Upston—masih menyisakan ruang-ruang kolonial yang tercipta oleh pengalaman penjajahan terkait dengan konsep penguasaan teritori dimana kaum kolonial berupaya mengawetkan kekuasaannya lewat beragam strategi kontrol. Lihat pengantar Sara Upston dalam Sara Upston, Spatial Politics in the Postcolonial Novel (Farnham Surrey: Ashgate Publishing Company, 2009).
[29] Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas (Yogyakarta: Pustaha Hariara, 2013), 140.
[30] Sara Upston, Spatial Politics in the Postcolonial Novel, 15. Upston menjelaskan “pascaruang” (post-space) sebagai konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun di luar batas-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-batas tersebut muncul. Keadaan ini juga bisa dikatakan sebagai ruang hibrid, cair dan bergerak, sehingga tidak lagi memiliki batas-batas. Melalui konsep ini, teks-teks pascakolonial kemudian mempertanyakan beragam kemungkinan lain atas tatanan yang ditanamkan oleh kolonialisme, yang dapat dibaca sebagai sebuah upaya negosiasi atas definisi identitas, budaya, hingga kemungkinan resistensi.
[31] Lihat pengantar Jean-Paul Sartre dalam Frantz Fanon, Bumi Berantakan, terjemahan Ahmad Asnawi (Jakarta: Teplok Press, 2000), hlm. v. Selanjutnya ditulis Bumi Berantakan.
[32] Bumi Berantakan, v.
[33] Bumi Berantakan, 150.
[34] Dikatakan Warto Kemplung: Menemukan seorang mandor bersama dengan pemilik penggergajian liar di tengah hutan seharusnya sama ganjilnya dengan melihat polisi bersama maling di gedung pengadilan. (Ikhwan, 2017, 71-72)
[35] Mahfud Ikhwan, Ulid Tak Ingin Ke Malaysia (Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2009), 400 hlm.
[36] Sebuah situasi yang malah dimanfaatkan pemerintah dengan membangun perekonomian berbasis tenaga kerja murah dan mengeksplotasi tenaga kerja sebagai komoditas. Kesadaran pemerintah akan nilai komoditas ini kemudian ditandatangani dalam Medan Agreement pada 984 untuk mengatur dan mengawasi arus migrasi ke Malaysia.
[37] Salman Rushdie, Imaginary Homelands: Essay and Criticism 1981-1991 (London: Granta Books, 1991), 301.
[38] Elleke Boehmer, Colonial and Postcolonial Literature (Oxford: Oxford University Press, 1995), 235.
[39] Wendy B. Faris, Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative (Nashville: Vanderbilt University Press. 2004), 7. Wendy B. Faris menyatakan bahwa suatu unsur magis dapat disebut irreducible jika baik narator maupun tokoh-tokoh cerita menerima sepenuhnya hal magis itu sebagai “memang magis”. Dalam hal ini, tidak boleh ada kooptasi dari cara berpikir realis terhadap unsur magis tersebut oleh tokoh maupun sang narator berupa komentar-komentar yang dapat menimbulkan keraguan antara memang magis dan bukan-magis akibat penerimaan yang berbeda-beda. Yang termasuk ke dalam irreducible element ini adalah semua unsur magis, baik berupa objek magis, benda magis, tempat magis maupun tokoh dan peristiwa magis yang ditampilkan secara nyata dalam cerita.
[40] Wendy B. Faris, Ordinary Enchantments, 16. Kehadiran sejumlah aspek yang juga muncul dalam fakta sejarah tersebut adalah “patokan sejarah” (historical anchoring). Penggunaan kejadian atau kondisi faktual yang mungkin bisa dirunut dari fakta atau catatan historis ini bahkan disebut-sebut sebagai cara yang paling jamak digunakan dalam menciptakan dunia fenomenal. Selanjutnya ditulis Ordinary Enchantments.
[41] Riwayat Mat Modar dan muridnya Dulawi berperang melawan Belanda dan Jepang dapat dibaca pada bab “Dendam Tiga Turunan”. (Ikhwan, 2017, 122-134)
[42] Ordinary Enchantments., 21.
[43] Ordinary Enchantments, 21-22: “The magical realist vision thus exists at the intersection of two worlds, at an imaginary point inside a double-sided mirror that reflects in both directions. Ghosts and texts, or people and words that seem ghostly, inhabit these two-sided mirrors, many times situated between the two worlds of life and death; they enlarge that space of intersection where a number of magically real fictions exist.”
[44] Ordinary Enchantments, 26.
[45] Dikatakan: “The Anti-hero is ‘a central character in a story, film, or drama who lacks conventional heroic attributers’. These missing attributes include idealism, courage, and morality. Anti-heroes can sometimes do the right thing, but it is usually because it serves theirs interests to do so.” Anthony Ehlers, “Heroes and Anti-Heroes—What’s The Difference?” dalam https://writerswrite.co.za/heroes-and-anti-heroes-whats-the-difference/, diakses pada 1 September 2019. diakses pada 1 September 2019. Lihat juga https://en.wikipedia.org/wiki/Antihero (diakses pada 11 Agustus 2019): “Although antiheroes may sometimes perform actions that are morally correct, it is not always for the right reasons, often acting primarily out of self-interest or in ways that defy conventional ethical codes.”
[46] Dalam dunia komik superhero: “. . .the appeal of an antihero is that he or she is often very literally a hero: Namely; he or she does heroic deeds. But whereas Superman, Wonder Woman, Hercules, and many other conventional heroes have both the physical and moral capabilities to do it, an antihero almost never has both.” Lihat http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/AntiHero, diakses 19/08/2017.
[47] Lihat “What is an Antihero? Definition, Examples of Antiheroes in Literature” dalam https://writing explained.org/grammar-dictionary/antihero, diakses pada 14 Agustus 2019.
[48] Ibid.
[49] “Sastra,” kata novelis Cile, Luis Sepulveda, dalam wawancara dengan Bernard Magnier di UNESCO Courier (Januari 1998),”tidak bisa mengubah realitas, tapi sastra bisa mencerminkan—dan memberi cerminan—pada aspek yang sangat penting darinya.” Lihat wawancara berjudul “Novelis Perantauan” tersebut dalam Luis Sepulveda, Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta, terjemahan Ronny Agustinus (Serpong: Marjin Kiri, 2017), 131.
[50] Syahdan—menurut Warto—kebencian warga Rumbuk Randu terhadap Mat Dawuk semakin menumpuk karena pernikahan Mat dan Inayatun (sebuah pengadopsian atas kisah Beauty and the Beast) mengingatkan mereka pada dongeng asal-usul mereka yang mereka tolak dengan keras, yakni cerita tentang pasangan putri kyai cantik jelita dan pemuda Kalang buruk rupa yang terusir ke Rumbuk Randu dan menjadi nenek moyang mereka. Kisah tentang sepasang orang buangan yang dikutuk ini diceritakan dalam bab “Rumbuk Randu”. (Ikhwan, 2017, 92-100).
Sunlie Thomas Alexander
Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Bangka, 7 Juni 1977. Menyelesaikan pendidikan Teologi dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia telah menerbitkan sejumlah buku cerpen, puisi, dan esai seperti Malam Buta Yin (cerpen, 2009), Istri Muda Dewa Dapur (cerpen, 2012), Sisik Ular Tangga (puisi, 2014), Makam Seekor Kuda (cerpen, 2018), Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu (kritik sastra, 2020), dan Seperti Karya Sastra, Hidup Bukanlah Racauan (esai, 2021). Karya-karyanya yang terbit dalam terjemahan, antara lain Youling Chuan (cerpen dan puisi, dalam bahasa Mandarin, 2016) dan My Birthplace and Other Stories (cerpen, dalam bahasa Inggris, 2019).