Saat Redaksi meminta saya menulis tentang hubungan antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia, entah bagaimana ingatan saya terlempar pada suatu siang di tahun 2002 saat pelatih ekstrakurikuler di sekolah mengeluhkan tebalnya pengucapan /t/ di lidah saya. Bersama murid-murid lainnya, saya sedang membaca cerita pendek untuk dilombakan di sebuah SMA bergengsi di Denpasar dan sudah sekian lama latihan kami tidak mengalami banyak perkembangan hanya karena kuatnya kebiasaan saya untuk bertutur ala orang Bali itu. Katanya, intonasi saya terkesan kaku, logatnya kental sekali, dan artikulasi kedengaran cempreng, bukan vokal ‘bulat’, sembari jemarinya membentuk lingkaran serupa telur. Tidak hanya sekali, guru saya pun menjelaskan bahwa ini karangan berbahasa Indonesia sehingga pelafalannya haruslah menyesuaikan, tak hirau betapa kisah yang menjadi bahan adalah karya Putu Wijaya berjudul “Babi”.
Saat karya saya terpilih dalam antologi lomba menulis cerpen tingkat SMP yang diselenggarakan Balai Bahasa Denpasar, salah satu guru juga berkomentar soal cara menulis yang belum lepas dari kelisanan orang Bali. Susunan kalimatnya masih terpengaruh kebiasaan pola ucap bahasa lokal, membuat karangan berbahasa Indonesia itu agak janggal terbaca. Atau seringnya memakai dialog ketimbang kemahiran deskripsi yang amat menguji ketajaman menulis itu. Jadi, kalau mau disimpulkan secara dramatis, usaha memasuki dunia sastra Indonesia, baik dalam hal pemanggungan maupun penulisan, dalam pengalaman pribadi, diawali dengan cara ‘membabat ciri budaya’ saya, suatu kelisanan dari sebuah tradisi di mana saya dilahirkan dan ditumbuhkan.
Kisah hampir mirip ternyata dihadapi Darmanto Jatman, dikutip dari esainya “Kesusasteraan Indonesia Jawa, Sastra Peralihan atau Sastra Pilihan”, salah satu paparan Kongres Kebudayaan 1991. Ada semacam kecanggungan saat menulis dalam bahasa Indonesia dan menurutnya pengalaman malah terasa lebih mantap jika diungkapkan lewat bahasa Jawa. Ungkapnya, “Ambillah kata ‘ngaya’ atau ‘rekasa’ yang pernah sekali kata-kata itu saya pakai dalam sajak yang sepenuhnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Ia terasa menjadi anak itik buruk rupa dalam dongengnya Hans Christian Andersen.”
Usaha menulis itu menyadarkannya betapa sangat menantang untuk menemukan padanan kosakata di antara keduanya. Atau, sungguh sulitnya mencapai keluwesan karangan berbahasa Indonesia sebagaimana seorang natif Jawa yang berkreasi dengan perangkat linguistiknya sendiri. “Untuk waktu yang panjang, saya berurusan dengan bahasa Indonesia seperti seorang suami berurusan dengan istrinya. Terkadang formal dan zakelijk sekali, terkadang ramah dan akrab, terkadang lengket, telanjang di ranjang…Tapi, sungguh tak pernah muncul pikiran: Kenapa tak menulis dalam bahasa lain? Siapa yang mengharuskan saya menulis dalam bahasa Indonesia?” imbuhnya.
Ya, kenapa harus mengarang dalam bahasa Indonesia, kendati kita tahu ini adalah bahasa yang sampai sekarang terus berkembang, berlubang di sana-sini sehingga mesti diisi dengan istilah serba serapan, dan kurang beragam kosakatanya dibandingkan bahasa daerah yang ada? Mengapa masih menulis menggunakan bahasa ini, bahkan dalam beberapa situasi, bagi mereka yang tumbuh bersama bahasa lokal, sampai mengorbankan keakraban dengan bahasa ibunya?
***
Sebelum dikukuhkan menjadi bahasa nasional dengan sebutan bahasa Indonesia, bahasa Melayu sebagai cikal bakalnya merupakan suatu rumpun bahasa yang punya banyak varian. Ditarik jauh ke belakang, mengutip Robert Blust dalam esainya “Linguistik Historis Bahasa Melayu: Sebuah Laporan Kemajuan” (1991) bahasa Melayu Purba (dalam kajian lain disebut Melayu Tua) digunakan di sekitar pulau Bangka, Belitung, Anambas, Natuna, dan mungkin pulau-pulau kecil di Kepulauan Laut China Selatan. Ditambahkannya, sekitar tahun 1.000 M, diketahui para penutur bahasa Melayu dari Riau-Johor atau beberapa daerah di sekitar Sumatera atau Malaya tersebar di wilayah Jakarta, di kawasan Ambon di Maluku, dan disinyalir terdapat pula di beberapa bagian Indonesia Tengah dan Indonesia Timur.
Turunan bahasa Melayu Purba ini kemudian membentuk keberagaman karakteristik. Kosakatanya yang semula berorientasi pada kelautan, jadi sedikit berubah seturut penggunaannya di kawasan yang agak ke hulu, semisal terjadi pada bahasa Dayak rumpun Melayu di Kalimantan Barat Daya. Artinya, bahasa Melayu Purba yang ditengarai tersebar karena aspek niaga dan pelayaran, ternyata dapat melangkah kian jauh dari pesisir. Para peneliti juga membincangkan pemakaian bahasa Melayu Purba pada prasasti Gandasuli di Temanggung, Jawa Tengah, tinggalan Kerajaan Mataram Kuno berangka tahun 832 M. Bisa jadi, ini cerminan bentangan bahasa Melayu melampaui daerah-daerah tempat bahasa Melayu itu dituturkan sebagai bahasa pribumi—meski disanggah Blust bahwa prasasti ini mungkin hanya menggambarkan batas-batas bekas kerajaan berbahasa Melayu daripada penggunaannya sebagai bahasa perdagangan di antara kelompok-kelompok etnis yang secara politis tidak terikat.
Persebaran-persebaran itu memunculkan variasi dialek dan bahasa Melayu. Blust mencatat, pada abad ke-16 sebelum kedatangan Portugis, pada pulau-pulau di Asia Tenggara telah ditemukan dialek yang berbeda struktur, seperti Melayu Banjar, Melayu Serawak, Melayu Brunei, Melayu Kupang, Melayu Manado, dan Melayu Ambon. Sementara itu, faktor sosio-politis semisal serapan agama anutan juga turut mempengaruhi variasi, misalnya perbedaan-perbedaan antara dialek bahasa Iban khas petani ladang penganut animisme dengan orang Minangkabau-Kerinci dan orang Banjar, yang seperti sebagian besar suku Melayu, beragama Islam, dan bertani sawah.
Blust sempat mengutip pandangan beberapa sarjana yang mengusulkan harus ada pembedaan antara ‘bahasa Melayu yang diwariskan oleh orang Melayu’ dan ‘rumpun bahasa Melayu’. Dua entitas ini secara paralel tumbuh dengan karakteristik dan dimensi geografisnya sendiri-sendiri, karenanya sangat mungkin terjadi kekaburan genealogi dengan menggeneralisasi bahwa rumpun bahasa Melayu berasal dari bahasa Melayu itu sendiri. Untuk itu, istilah Melayu Purba atau Melayu Tua diketengahkan dengan linimasa yang relatif jelas sebagai nenek-moyang bahasa Melayu dan rumpun bahasa Melayu, walau aspek linguistiknya masih belum terkaji secara menyeluruh.
Mengapa bahasa Melayu yang merupakan bahasa ibu kira-kira 8 juta manusia itu bisa menjadi lingua franca, bukan bahasa Jawa yang punya kira-kira 50 juta manusia sebagai penuturnya? Atau, mengapa ketika membutuhkan bahasa penghubung antara Kolonial dengan pribumi, yang dipakai adalah variasi bahasa Melayu Riau? Husen Abas (1982) mengungkap setidaknya tiga alasan, yakni faktor karakteristik bawaan bahasa Melayu yang lebih egaliter, aspek geografis yang sangat strategis dari daerah Riau (khususnya terkait perniagaan sekitar pesisir timur Sumatera, utara pulau Jawa, hingga selatan pulau Kalimantan), dan faktor politik-religi.
Berbeda dengan persebaran agama Islam melalui kerajaan-kerajaan Perlak dan Pasai pada abad ke-15 yang menggunakan bahasa Arab, agama Kristen yang dikenalkan sejak abad ke-18 dan 19 memakai bahasa Melayu. Para sarjana belakangan mengungkapkan betapa strategi bahasa ini telah menjangkau lapisan-lapisan masyarakat tertentu, termasuk mencitrakan Kristen sebagai agama para pegawai pemerintah Hindia Belanda dan Islam sebagai agama rakyat. Bahasa Melayu pun sempat mengalami pembakuan, tecermin dari disusunnya kamus maupun buku-buku tata bahasa, atau terbitnya aturan-aturan penggunaannya secara resmi.
Khusus soal usaha pembakuan bahasa Melayu, kita perlu menengok risalah John Hoffman, “A Foreign Investment: Indisch Malay to 1901” (publikasi Kajian Asia Tenggara Cornell University 1979). Sekitar tahun 1660 pejabat VOC di Batavia mempromosikan penggunaan Melayu Tinggi, yang dilanjutkan lewat perintah resmi kepada jajarannya pada 1667/1668 untuk tidak memakai bahasa yang ‘rendah, jamak, dan mudah dipahami, kendati tidak sempurna’. Kemudian pada tahun 1731-1733 terbit pedoman penerjemahan Leydekker-Wendly yang mengatur penggunaan bahasa dalam Alkitab dan di sekolah. Setelah VOC bubar dan pemerintahan beralih ke Kolonial, bahasa Melayu masih tetap dipakai sebagai bahasa resmi pergaulan dan administrasi. Usaha mempertegas penggunaan bahasa Melayu dalam aksara latin juga dilakukan, tercatat oleh Pieter Roorda van Eysinga yang menerbitkan kamus Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu, melengkapi terjemahan Alkitab Leydekker-Wendly berikut tata bahasanya yang telah ada seabad sebelumnya tadi. Usahanya ini mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal berikutnya, yaitu Chrétien Baud maupun Rochussen.
Penyusunan kamus Belanda-Melayu terus dilakukan mengingat apa yang dilakukan van Eysinga tidak bisa dibilang sepenuhnya tuntas. Von Dewall hingga akhir hayatnya pada 1872 melanjutkan usaha ini, kemudian oleh Van der Tuuk sampai hasilnya terbit pada 1877. Namun, upaya pembakuan ini mendapat tentangan, terutama dari seorang misionaris Zending di Tanawangko, dekat Manado, bernama N. Graafland lewat makalahnya soal ‘Melayu murni’ pada 1868. Hoffman (1979) mengutip, menurut Graafland kriteria pembakuan bahasa Melayu oleh Van der Tuuk tidak sepenuhnya tepat. Jika acuannya adalah bahasa Melayu menurut Klinkert yang digunakan di Riau, itu tidaklah bisa dipahami oleh para penutur bahasa Melayu di daerah timur, di pesisir, yang bahkan telah menggunakannya sejak tiga abad sebelumnya. Bagi Graafland, bahasa Melayu itu sangat hidup, dinamis, mengikuti penggunanya, “de taal is het folk” (bahasa itu adalah penggunanya).
Di samping penyusunan naskah inisiasi pemerintah Belanda tadi, ada juga karya-karya Raja Ali Haji, yakni Bustanulkatibin (1857) sebuah buku tata ejaan bahasa Melayu serta Kitab Pengetahuan Bahasa (1859) kamus ekabahasa pertama mengenai bahasa Melayu di Johor, Pahang, Riau, dan Lingga—keduanya ditulis dalam aksara Jawi. Bagaimanapun segala polemiknya, tahun 1865 bahasa Melayu yang berangkat dari variasi Riau-Johor ini tetap dikukuhkan sebagai bahasa resmi kedua selain bahasa Belanda.
Pada kurun waktu yang kira-kira yang hampir sama, pers berbahasa Melayu bermunculan di Nusantara. Henri Chambert-Loir (2024) mengungkapkan, Soerat Kabar Bahasa Melajoe dan Bintang Timor, keduanya terbit di Surabaya, masing-masing menyatakan pada tahun 1856 dan 1963 bahwa orang Tionghoa adalah salah satu segmen pembaca bidikannya. Bersama dengan koran-koran yang muncul kemudian, sarana ini menjadi corong tumbuhnya opini publik di Hindia serta ruang bagi pengarang Tionghoa untuk menegaskan identitas budaya peranakannya. Selain karya jurnalistik, ada pula buku-buku terbitan selama kurun tiga dasawarsa terakhir abad ke-19, baik terjemahan maupun karangan, termasuk novel-novel sejarah. Bahasa yang dipakai, merujuk pernyataan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dalam sebuah tulisannya pada tahun 1910, ialah ragam Melayu yang umum di Jawa.Pers Tionghoa berkembang bersamaan dengan usaha Pemerintah Belanda membangun sistem pendidikan berbahasa Melayu sembari memilih ragam bahasa Melayu mana yang harus digunakan dalam pemerintahannya dan di sekolah. Penetapan bahasa Melayu resmi versi pemerintah ditandai dengan terbitnya Kitab Logat Melajoe pada 1901 karya Ch. A. van Ophuijsen—buku yang mengubah bahasa Melayu dari dulunya berhuruf Jawi (Arab) yang silabik ke sistem penulisan latin fonetik, serta kemudian menjadi pegangan ejaan baru yang segera diberlakukan di kantor-kantor pemerintah dan sekolah.
Keberadaan Balai Pustaka, awalnya sebagai Komisi Bacaan Rakyat, sejak tahun 1917 ikut memberi andil pada apa yang kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia itu. Dengan mula-mula menerbitkan bacaan lolos sensor pemerintah, ditulis dengan bahasa Melayu yang sudah ‘distandardisasi’ dan disebut Melayu Tinggi, lembaga ini kemudian menghadirkan buku-buku berbahasa daerah, semisal Jawa dan Sunda. Keberadaannya kian menguat dan mengesampingkan kehadiran bacaan yang dianggapnya tidak sejalan dengan ‘kaidah berbahasa’ maupun ‘kehendak pemerintah’.
Berlatar perenungan sikap kolonial yang bersikeras soal definisi dan pemekaran bahasa Melayu baku yang digunakan itu, pengarang Tionghoa mengambil pilihan politis untuk menyebut ragam bahasa yang dipakainya sebagai Melayu-Tionghoa. Padahal, selama tiga dasawarsa akhir abad ke-19, tidak seorang pun menganggap bahasa mereka suatu bahasa yang khas ‘Melayu-Tionghoa’. Bahkan para pengarang, penerbit, dan redaktur Tionghoa menyebutnya sebagai bahasa Melayu Rendah. Pada 1880, Lie Kim Hok menamakannya bahasa Melayu-Betawi melalui bukunya Melayu Betawi Kitab deri hal Perkataan-Perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar (1884). Pada awal tahun 1920-an, para pengarang Tionghoa seperti Phoa Tjoen Hoat, Phoa Tjoen Hoay, dan Kwee Kek Beng menggunakan istilah Melayu Tionghoa dan Chineesch-Maleisch, kemudian memunculkan perdebatan tentang mutu dan nilai bahasa tersebut yang diandaikan khas untuk pengarang Tionghoa (Chambert-Loir, 2024).
Selama dua dasawarsa awal abad ke-20, ketika benih pergerakan mulai bergejolak, sudah banyak kalangan yang memperkirakan akan digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bukan semata bahasa bersama. Kaum terpelajar semakin sadar betapa bahasa menjadi medium pertarungan dalam menentukan identitas nasionalnya, yang memunculkan resolusi Sumpah Pemuda 1928 untuk “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Tapi, bahasa Melayu versi manakah yang dikukuhkan menjadi bahasa Indonesia? Apakah bahasa Melayu versi Kolonial yang sudah distandarisasi sebagai bahasa resmi kedua tadi–yang sering disebut Melayu Tinggi? Ataukah penyusunan ulang dengan memperhatikan juga tata bahasa Melayu dari keragamannya yang lain? Memang tidak dijelaskan secara spesifik sebab agaknya yang lebih terdepankan dari peristiwa itu adalah semangat persatuannya.
Khusus menanggapi keberadaan bahasa Melayu-Tionghoa, pada 1934 Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sempat menulis di Poejangga Baroe sebagai tanggapan atas ulasan Parada Harahap. Saat itu terjadi kesangsian pada bagian mana bahasa Melayu-Tionghoa berdampak pada terbentuknya bahasa Persatuan. Sebagian kalangan juga enggan mengakui peran orang Tionghoa atas persebaran bahasa Melayu, terkhusus di Jawa, sehubungan usaha pers dan penerbitan buku mereka. Ada pula yang tidak terima betapa kelompok minoritas bukan penduduk asli mampu menyebarkan bahasa perhubungan yang berperan besar dalam pembentukan kebangsaan, sehingga menyindirnya sebagai bahasa capcay, atau bahkan bahasa gado-gado (Salmon, 1981).
STA memang tidak tersurat sejalan dengan pandangan itu, kendati mengakui keberadaan dan peran bahasa Melayu-Tionghoa. Catatannya lebih kepada siapa dan apakah sebenarnya bahasa ini, yang jika dikategorikan berdasar penuturnya, ternyata tidak dipakai oleh semua orang Tionghoa. Misalnya Tionghoa di Padang justru condong pada bahasa Melayu yang lazim di Sumatera. Demikian juga bahasa Melayu-Tionghoa di Betawi punya perbedaan dengan orang Tionghoa di Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Karenanya, STA menolak istilah Melayu-Tionghoa, memilih sebutan Melayu Rendah, dan mendorong pengarangnya mencapai kriteria keindahan agar bisa masuk dalam syair-syair di Poejangga Baroe.
Perdebatan yang panas terjadi berikutnya, sebagaimana yang dituturkan Claudine Salmon dalam kajiannya Literature in Malay by the Chinese of Indonesia (1981). Salah satu komentar datang dari Kwee Tek Hoay lewat artikel “Merosotnya Pembacaan Melayu-Tionghoa” dalam majalah Moestika Romans tahun 1934. Ia menulis sindiran tajam bahwa merosotnya pembacaan bukanlah lantaran inkoherensi dalam pengucapan, melainkan karena bahasa Melayu itu sendiri sudah ketinggalan jauh dibandingkan masa tempo dulu.
Soal inkoherensi ini, Claudine Salmon sempat mencatat adanya keterpengaruhan bahasa asing yang menunjukkan perubahan cara pandang pengarang Melayu-Tionghoa terhadap bahasanya sendiri, berangkat dari artikel Kwee Kek Beng serta Nio Joe Lan pada 1936 dan 1939. Pengaruh Barat dalam bahasa Melayu terlihat dari penggunaan kosakata dan sintaksis. Lebih-lebih dalam surat kabar Sin Po tahun 1939, seorang jurnalis menulis, “Lie Kim Hok adalah pengarang Tionghoa pertama yang menggunakan gaya Barat dan menciptakan revolusi dalam sastra Melayu-Tionghoa.” Tapi, pengaruh ini tidak selalu bermakna positif sebab di Bintang Timoer Kwee Kek Beng menyesalkan penuh sesaknya bahasa pers Melayu-Tionghoa oleh kata-kata Belanda. Kekecewaan ini telah terungkap sejak 1934 oleh Kwee Tek Hoay melalui artikelnya “Memperbaiki Bahasa Melayu”, menyinggung kian surutnya upaya para pengarang dan jurnalis dalam menerjemahkan kata-kata Belanda. Ia membandingkan dengan usaha Lie Kim Hok yang menemukan kata ‘peraturan’ sebagai padanan ‘statuten’, serta lain-lainnya, untuk naskah terjemahan keberadaan Tiong Hoa Hwe Koan di Batavia.
Pada 1938 di Solo, terselenggaralah Kongres Bahasa Indonesia I yang turut andil dalam pembentukan bahasa Indonesia, di mana STA mengusulkan adanya aturan bahasa secara lebih baik dengan menyusun tata bahasa Indonesia baru. Pembahasan-pembahasan dalam kongres ini menyajikan pandangan soal pengindonesiaan kata asing, penyusunan tata bahasa, pembaruan ejaan, pemakaian bahasa dalam pers, termasuk pemakaian bahasa dalam undang-undang. Ada juga saran-saran untuk membentuk Instituut Bahasa Indonesia dan perguruan tinggi kesusastraan. Surat kabar Kebangoenan yang dipimpin Sanoesi Pane dalam terbitan 22 Juni 1938 pun menyatakan penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia sebagai penanda kesadaran persatuan, bukan hanya dalam politik, tapi juga kebudayaan (Kridalaksana, 1991).
Perjalanan sejarah ini membuka percabangan bagi bahasa Melayu Riau-Johor. Di satu sisi, peran bahasa Melayu di Riau-Johor yang kemudian menjadi bahasa Melayu sebagai pengantar resmi kedua di masa Belanda—termasuk era pendudukan Jepang—telah berhenti seiring usainya penjajahan. Di sisi lain, keberadaannya sebagai bahasa Melayu setempat di Riau masih berlanjut dengan karakteristiknya tersendiri dan menjadi bagian kebudayaan lokal. Sementara itu, bahasa Melayu yang didasari semangat kebangsaan telah mewujud menjadi bahasa Indonesia dan perkembangannya berlangsung terus, ditunjang pembakuan serta penyempurnaan bahasa demi kepentingan komunikasi, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan.
Adapun bahasa Melayu-Tionghoa yang bersitegang dengan apa yang disebut bahasa Melayu Tinggi itu akhirnya kehilangan daya hidupnya. Mengutip Salmon (1981), pada 1955 Nio Joe Lan menulis artikel “Perkembangan dan Berakhirnya Bahasa Melayu-Tionghoa” menyimpulkan bahasa yang entah disebut Melayu Betawi, Melayu Pasar, atau Melayu-Tionghoa ini luntur seiring dikukuhkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Dengan nada penyesalan dia menambahkan, andaikan generasi tua yang kesulitan berbahasa Indonesia itu membiasakan kembali bicara bahasa Melayunya yang lama, tentulah generasi mudanya yang mempelajari bahasa Indonesia akan tanpa sadar masih mengadaptasi bahasa itu.
Jadi, sudah sejak mula bahasa Indonesia kita penuh silang sengkarut. Dari keberagaman, ia mengerucut menjadi satu pilihan, yang lantas dibakukan penggunaannya, betapa pun itu menuai pro dan kontra. Karena kehendak sejarah, bahasa Indonesia kita seakan telah menyisihkan bahasa-bahasa lainnya, entah sebaran variasi Melayu di berbagai daerah, Melayu Riau yang menjadi cikal bakalnya, maupun Melayu Tionghoa yang pernah menyainginya.
***
Nampaknya saya sudah melantur terlalu jauh. Jawaban dari pertanyaan awal tadi, jangan-jangan sangat sederhana. Bahwa karena kita menjadikan bahasa Indonesia sebagai medium dan ditujukan untuk pembaca yang menguasai bahasa ini, maka mau tidak mau kita berusaha untuk mendayagunakannya dengan segenap kemampuan yang kita punya. Bahwa karena tidak pernah ada alat, metode, atau bahkan formula yang betul-betul sempurna, maka kita beradaptasi untuk memilih dan memilah apa yang mungkin dipakai dari perangkat bahasa yang pada mulanya tidak kita akrabi itu, seberapapun terbatasnya ia.
Perjalanan mengenali bahasa Indonesia selama sekian abad telah membuka selubung makna sejarah, budaya, dan politis tentangnya. Bahwa bahasa ini tidak hanya bertumbuh karena penggunaannya secara organik sebagai lingua franca, tetapi juga lantaran diisi oleh roh-roh gagasan tentang terbentuknya sebuah bangsa yang baru bernama Indonesia. Ya, frasa ‘bangsa yang baru’ ini sungguh serupa sihir yang melenakan para cendekiawan dengan mimpi kemerdekaan dan kemajuan, turut mendorong renungan-renungan tentang arah kebudayaan, seperti yang kita kenali dalam Polemik Kebudayaan yang mengemuka pada 1930-an itu.
Pertemuan dengan kumpulan esai Ajip Rosidi, “Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan” (1995) memberikan renungan lain tentang keberadaan bahasa Indonesia. Sebagai seorang pemikir yang berusaha memuliakan bahasa daerah seiring perkembangan bahasa Indonesia, Ajip menyoroti dampak polemik ini terhadap cara kita menggunakan dua entitas itu, termasuk dalam sastra. Karena seakan keluar sebagai pemenang dalam debat wacana itu, perjalanan sastra Indonesia kita kemudian mengikuti pemikiran STA untuk berkiblat pada sastra Barat, dalam hal ini jendela sastra Belanda, terlihat dari pilihan bentuk yang digunakan, entah berupa roman (novel), sajak bebas, soneta, drama, cerita pendek, esai, dan lain-lain. Ciri lain kentara dari pengaruh para sastrawan Belanda setelah perang dunia pertama, contohnya H. Marsman, J. Slauerhoff, Menno ter Braak, Eduard du Perron, dan lain-lain. Estetika Barat terus dikembangkan dalam karya sastra Indonesia. Ada Rustam Effendi yang mula-mula menulis puisi modern dalam bahasa Indonesia lewat “Percikan Permenungan” (1925), yang menurut Ajip relatif berbeda dari puisi Melayu tradisional yang digubah oleh M. Yamin maupun Sanusi Pane. Dalam prosa, terbitlah karya yang kuat memperlihatkan estetika Barat, di antaranya cerpen “Barang Tiada Berharga” dan roman “Belenggu” dari Armijn Pane yang kian mendekati persyaratan fiksi modern Eropa dan kian meninggalkan cerita-cerita M. Kasim (Muda Teruna, Teman Duduk) atau Suman Hs. (Kawan Bergelut).
Pemikiran tentang ‘bangsa yang baru’ itu juga memunculkan kesadaran bahwa secara kultural ‘Indonesia’ tidak sama dengan ‘daerah’. Kebudayaan daerah adalah tradisional dan kebudayaan Indonesia adalah sesuatu yang baru, yang diciptakan oleh manusia Indonesia baru yang bukan lagi manusia daerah. Harus ditemukan bentuk pengucapan budaya atau seni yang tidak berbau daerah atau seni yang dapat diterima sebanyaknya khalayak sebagai sebuah kebudayaan nasional, meski kemudian disadari usaha menjangkau puncak-puncak kebudayaan daerah seperti yang diusulkan Ki Hajar Dewantara amatlah teoritis dan sulit diterapkan sebagai program kerja. Lebih mudah menerima bentuk kebudayaan Eropa yang rata-rata dikenal melalui lembaga pendidikan yang ada, sebagai bentuk pengucapan budaya dan seni yang baru (Ajip Rosidi, 1995: 94-95).
Maka puisi-puisi tradisi seperti syair dan pantun, dalam kacamata STA, dianggap sebagai “ucapan nenek-nenek tua yang terbuai antara kuap dan kantuk”. Sesuatu yang bersifat daerah bertentangan dengan keindonesiaan, bahkan dianggap menghambat perkembangan budaya nasional yang dicita-citakan. Ajip menambahkan, bahkan sampai tahun 1951, ketika memberikan komentar terhadap pidato pengukuhan Prof. Dr. Fokker sebagai guru besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang berbicara tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah, STA masih berpendapat bahwa bahasa daerah adalah kebudayaan lama, dan bahasa Indonesia adalah kebudayaan baru. Ungkapan ini sekaligus seperti menihilkan perjalanan sejarah kesusastraan beberapa kebudayaan daerah yang telah berlangsung sekian abad, seperti dalam kebudayaan Melayu, Jawa, Sunda, dan lain-lainnya.
Butuh waktu panjang untuk melepaskan diri dari ketegangan soal ‘bangsa yang baru’ ini, hingga sekitar sejak era 1950-an bermunculan seniman yang berani mengekspresikan kedaerahannya dan terinspirasi menemukan kebaruan darinya. Dalam seni tari, ada Bagong Kussudiardja dan Wisnu Wardhana yang menciptakan tarian baru dengan iringan gamelan Jawa. Ada pula lenong, ragam teater rakyat Betawi, yang unsurnya digunakan sutradara muda untuk mementaskan pertunjukan teaternya, seperti yang dilakukan Arifin C. Noer bersama Teater Kecil dalam pementasan lakon terjemahan Ionesco dan Wolf Mankowitz. Dari dunia sastra, kita mengenal usaha Sutardji Calzoum Bachri yang menulis puisi seperti mantra, di mana kata-kata hendak dibebaskan dari fungsinya sebagai pendukung pengertian, hampir serupa dengan upaya Wayan Sadra untuk membebaskan musik dari beban kulturnya dan mengeksplorasi gamelan dengan cara yang mengejutkan. Ada juga Darmanto Jatman yang diakui Ajip amat piawai memadupadankan bahasa daerah dalam puisi-puisinya yang berbahasa Indonesia.
Begitulah, sastra Indonesia terus diwarnai lokalitas, baik dalam tema maupun bahasa. Perspektif yang digunakan seringkali dikotomis, berupa oposisi Timur-Barat, nilai lama dan baru, ketegangan tradisi-modern, problem masyarakat setempat dan pendatang, maupun suara rakyat versus cengkraman otoritas terkait sebuah masalah di suatu wilayah. Ada beberapa yang mencoba menuliskan tegangan horizontal dalam sebuah komunitas lokal sebagai refleksi bahwa potensi konflik bukan hanya karena relasi kuasa dan kesenjangan, melainkan akibat perbedaan cara pandang dalam menghadapi persoalan—suatu kiat yang cukup baik untuk menghindar dari romantisme eksotika yang menempatkan sumber masalah selalu dari luar, bukan di dalam komunitas budaya itu sendiri.
Dari aspek kebahasaan, kini kita sering menemukan sisipan diksi bahasa daerah dalam deskripsi maupun dialognya. Memang, sisip-menyisip ini sangat mungkin dilakukan terkhusus bila tidak ditemukannya padanan kata yang tepat, lazimnya terjadi pada kosakata spesifik tentang istilah adat, kronik ritual, kata benda yang khas, maupun nama sapaan yang sehari-hari digunakan. Kadang-kadang, karena banyaknya kosakata ‘asing’ yang tidak dimiliki oleh bahasa tujuannya, karangan itu terkesan seperti ensiklopedia tentang sebuah kebudayaan.
Persoalan pinjam-meminjam kata ini bukanlah hal yang baru dalam aspek kebahasaan. Ulasan yang cukup detail pernah diungkap J. Gonda dalam esainya “Proses Peminjaman di Asia Tenggara” (1991) menyebut pinjaman bahasa yang terjadi selama berabad-abad bisa karena pengaruh entitas terdekatnya, misalnya negeri tetangga ataupun hubungan erat dengan pendatang, dan peminjaman kata ini terjadi secara wajar-wajar saja untuk mempermudah kesepahaman di antara kelompok-kelompok maupun di dalamnya. Berkaitan dengan bahasa Melayu, pada tahun 1650, seorang petugas agama Protestan yang terlibat dalam penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu, Justus Heurnius, menyatakan dalam kata pengantar edisi kedua kamus Melayu-Belanda karya Wiltens dan Danckaerts (1632) bahwa selain kata serapan dari dialek yang berdekatan, yaitu bahasa Jawa, bahasa Melayu sangat berhutang pada bahasa-bahasa di India, terutama bahasa Sanskerta atau bahasa suci para brahmana (Collins 28), menunjukkan seberapa erat pinjam-meminjam itu dilakukan.
Gonda menambahkan, khusus terjadi di Nusantara, para penyair keraton dan penyair-penyair lainnya turut membantu sebagian dari istilah-istilah asing itu memperoleh tempat dalam karya-karyanya. Tulisnya lagi, “Baik diingat bahwa tujuan utama para penyair Indonesia kuno adalah memuliakan nenek moyang dinasti-dinasti yang berkuasa secara bermartabat dan menghibur kalangan keraton yang terdidik atau bahkan beragama Hindu, bahwa bahasa yang ganjil yang diungkapkan itu dimaksudkan sebagai sarana berpikir dan berupaya secara beradab…sebagian besar teks lain bersifat agak teknis dan dihiasi istilah yang tidak ada padanannya dalam bahasa setempat.”
Contohnya, dalam teks-teks Jawa Kuna awal, dalam prosa maupun puisi, tersebutlah aṅgkus (tongkat pawang gajah) yang juga ada dalam bahasa Melayu. Ada juga bentuk panjangnya, aṅgkusa di mana kusa berperan sebagai kata dasar Melayu. Gonda menyebut, kata yang lebih pendek tadi adalah pinjaman awal dari bahasa Indo-Aria Baru, seperti terdapat pada Hindi ākus atau aṅkus. Sementara bentuk yang panjang mungkin diperkenalkan melalui saluran sastra dan berhasil bertahan.
Saat ini, pinjam-meminjam bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, terutama dalam teks sastra, lebih didominasi oleh karya eksplorasi antropologis yang hendak menyajikan ragam budaya tertentu. Kita tentu masih ingat novel dari Ani Sekarningsih, “Namaku Teweraut” (2000) yang penuh sebaran kosakata alam, kekerabatan, dan detail benda budaya setempat. Diksi seperti amuspaka (bola-bola sagu), em (gendang), ndiwi (panggilan ayah kandung), ndat yuwus (roh jiwa), salawaku (perisai), dan masih banyak lagi, dirincikan dalam kamus kecil yang menyertai buku. Semua kata ini jelas tidak selalu ada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga keberadaannya menjadi cukup signifikan dalam cerita. Menariknya, walau menyajikan kebudayaan yang spesifik, tidak sekalipun kita temukan kalimat dialog para tokoh yang dituturkan dalam bahasa lokalnya, dan ini cukup berkebalikan dengan fenomena kepengarangan terkini yang kerap menyertakan kalimat langsung berbahasa daerah kendati kita telah tahu asal identitas dan lokasi persis tokoh-tokoh itu berada–suatu pengulangan deskripsi budaya yang bagi saya tidaklah diperlukan. Saya juga masih terbayang cara Pramoedya Ananta Toer menuliskan keterangan selepas adegan dialog, yang hanya menambahkan “katanya dalam bahasa Perancis” untuk menerangkan bahasa apa yang digunakannya sekaligus identitas sang tokoh.
Saya tidak ingin menyimpulkan bahwa karangan sastra bernuansa daerah haruslah menyajikan sisipan istilah maupun dialog berbahasa daerah. Pertama, karena kita perlu mengingat bahwa kelokalan sebaiknya juga memiliki kesadaran globalitasnya. Kesadaran itu mula-mula ditunjukkan dengan ketajaman menggunakan bahasa tujuannya dan secara teliti mencari kemungkinan padanan yang paling tepat, seperti yang pernah dilakukan Lie Kim Hok dalam usahanya mempertemukan makna antara bahasa Melayu Rendah dengan bahasa Belanda, dan tentu para pengarang lain di masa lalu. Betapapun bahasa Indonesia yang menjadi tujuannya memang masih berkembang, saya kira masih ada cara yang lebih baik dari sekadar sisip-menyisip istilah kedaerahan yang berpotensi menunjukan kemalasan pengarangnya menggeluti kamus atau menyelami teknik deskriptif yang lebih dalam.
Kedua, meski sisip-menyisip istilah tentang anasir budaya lokal memang membuka wawasan, tetapi jarang bisa diserap untuk menambah lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—tidak seperti karya para pujangga masa lalu yang jejak sisipannya diambil-alih ke dalam bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia. Sebagian besar dari lema lokal dalam karangan terkini harus berhenti menjadi sekadar pengetahuan soal kronik budaya; saya kira seorang pengarang juga sangat mungkin memperkaya cara dan rasa berbahasa dengan menggunakan diksi-diksi padanan yang kelak dapat diadaptasi guna pengembangan bahasa Indonesia. Guna memperdalam soal ini, barangkali perlu digencarkan kembali kajian-kajian linguistik untuk menyelami teks-teks sastra, yang teliti mendedahkan kosakata dan makna kata, terkhusus yang berkaitan dengan istilah serba sisipan tadi. Sejauh mana signifikansi penggunaannya atau adakah kemungkinan ia diwacanakan untuk menambah jumlah kosakata bahasa Indonesia kita, yang sampai sekarang masih tertinggal jauh dibandingkan bahasa-bahasa internasional di luar sana. Kajian-kajian seperti ini akan terasa berharga karena menunjukkan sumbangsih karangan sastra terhadap pengembangan bahasa Indonesia itu sendiri.
Asrul Sani dalam makalah Kongres Kebudayaan 1991 pernah berkomentar bahwa kesusastraan adalah otobiografi sebuah bangsa. Nilai dari sebuah otobiografi tidak terletak pada pemaparan fakta-fakta dan kejadian-kejadian sejarah, tapi dalam usaha dan kemampuannya untuk mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, yang tidak dapat dijelaskan – sehimpun pengalaman subyektif – dan menyampaikannya pada orang banyak. Lukisan atas lingkungan dimana kejadian-kejadian yang dialami tokoh cerita menurutnya amat penting artinya. Para penulis, tambahnya, janganlah mengelak dari penghayatan subjektif atas berbagai peristiwa yang dialami dan rabun terhadap lingkungan fisiknya, jika tak ingin mengesankan adanya cacat dalam kehidupan rohaniah yang membuat orang Indonesia asing terhadap tubuhnya sendiri. Dengan mengutip ini, saya ingin menawarkan cara untuk membicarakan kedaerahan dalam sastra Indonesia, yang tidak semata ditunjukan dengan pemakaian kosakata serba sisipan—betapapun itu dibolehkan dengan berbagai contoh yang sudah diurai dalam esai ini—namun dengan sepenuhnya menghayati pikir dan laku sebuah masyarakat yang suaranya hendak kita tuliskan. Representasi lokalitas melalui penggunaan bahasa hanyalah sekeping dari usaha membangun sosok budaya daerah yang hendak kita tawarkan bagi para pembaca Indonesia, maupun di luar sana.
Makin berkurangnya ekspresi kesastraan dalam bahasa daerah memanglah hal yang memprihatinkan dan ini tidak terhindarkan akibat merosotnya kanal publikasi karya berbahasa daerah yang dapat dibaca publik, misalnya di surat kabar dan majalah. Andai pun ada, oplahnya juga sangat terbatas. Banyak yang mengakui, dibandingkan menulis dalam bahasa Indonesia, mengarang dengan bahasa daerah tidak pernah menjanjikan imbalan yang cukup. Dalam pengajaran di sekolah sendiri, bahasa daerah cenderung menjadi mata pelajaran sampingan, kadang-kadang tidak diwajibkan, sedangkan penggunaannya dalam keluarga kian jarang adanya. Minat kebahasaan daerah sangatlah bergantung dari aktivitas masyarakat yang memiliki dan menggunakan bahasa itu, sejauh mana dirasa perlu untuk memupuk, memelihara, dan mengembangkannya, begitu Ajip Rosidi berulang kali mengingatkan dalam banyak tulisannya. Jika ini dibiarkan saja, tidak tertutup kemungkinan makin punahlah bahasa-bahasa daerah, dan jangan serta-merta salahkan dominasi bahasa Indonesia hanya karena sikap kita terhadap bahasa daerah yang memprihatinkan.
Sebagai penutup dari esai ini, saya ingin membagikan kembali sintesa pemikiran dan pengalaman WS. Rendra dalam buku Mempertimbangkan Tradisi (1983). Tradisi biasanya berkiblat kepada alam dan karenanya cenderung dicitrakan statis sebagaimana laku dari alam itu sendiri, namun tidak begitu pandangan Rendra. Tradisi baginya menyajikan kekayaan, akan tetapi masyarakatnya sendiri yang tidak bisa bergaul baik-baik dengannya, hanya mengeksploitasi dan menjadikannya kasur tua untuk bermalas-malasan. “Saya mendapat banyak pertolongan yang bermanfaat dari tradisi kesenian yang sudah ada. Kumpulan sajak saya yang pertama, Balada Orang-orang Tercinta banyak dibimbing dari dipengaruhi tradisi permainan imajinasi dalam tembang dolanan anak-anak Jawa…Konsekuensi dari pergaulan yang penuh penghayatan ialah: saya memperkembangkan tradisi dan tradisi memperkembangkan saya,” tulisnya.
Demikian juga pernyataan sang Penyair Burung Merak perihal karya-karyanya yang lain, termasuk dalam bidang teater, yang selalu dibimbing oleh tradisi Jawa yang menghidupinya. Anasir kelokalan itu diolahnya dengan kesadaran seorang seniman yang menjadikan karyanya sebagai sarana mengembangkan kebudayaan sehingga lahirlah garapan yang menggugah. Misalnya, pementasan Kasidah Barzanji yang berhulu pada tradisi spiritual mitologi Dewa Ruci, gaya pertunjukan Macbeth yang diilhami gaya folklor masyarakat desa di Jawa Tengah, Oidipus Rex dari tradisi teater rakyat Bali, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan kebudayaan di Indonesia, ungkapnya, akan menemui kesulitan apabila masyarakatnya tidak bersikap kreatif terhadap tradisinya. Tradisi, pungkasnya, diciptakan oleh manusia untuk kepentingan hidup dan bekerja. Kesadaran ini, saya yakin, tidak akan muncul jika tak punya kehendak untuk menantang apa yang dulu diyakini sebagai ekspresi ‘bangsa yang baru’ tadi, yang seolah menganggap kebudayaan lama tidak mungkin melahirkan kemungkinan yang berbeda dan sarat makna. Generasi yang sekarang, lagi-lagi mengutip Ajip Rosidi, adalah generasi yang tak punya prasangka politik yang mencurigai kedaerahan seperti generasi sebelumnya.
Saya tidak yakin apakah esai ini cukup menjawab seluk-beluk hubungan bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, terutama dalam karya sastra. Meskipun dalam sejarahnya bahasa ini ‘bertarung’ panjang untuk sampai pada kondisinya sekarang, dari keberagaman kemudian menyempit pada formalisme satu varian, sempat ditantang oleh saudaranya sendiri, dan dituduh tertutup dari bahasa daerah, saya tidak ingin lagi melihat bahasa Indonesia dengan ketegangan masa silam saya. Dengan melihat perjalanannya, saya meyakini bahasa Indonesia bukan hanya alat untuk mengekspresikan sesuatu, melainkan juga sebuah gagasan itu sendiri, yang hidup dan dinamis. Betapapun pembakuan, standarisasi, dan mitos persatuan tersemat pada bahasa Indonesia, sebenarnya ia bermula dari suatu lingua franca yang organik di Nusantara, satu dari sekian roh kebudayaan negeri ini, di mana daerah memberikan sumbangsih terhadapnya dalam sekian masa kurun sejarah. Ya, saya masih ingin menulis dengan bahasa Indonesia, sebab saya punya kepercayaan bahwa kita bisa memakainya secara kreatif untuk menghidupkan, memperkaya, atau bahkan menantang keberadaannya.***
Daftar Pustaka
Rendra, WS., Mempertimbangkan Tradisi. Gramedia Pustaka Utama, 1983.
Collins, James T., Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan II. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, 1991.
Kridalaksana, Harimurti dan Anton M. Moeliono, penyunting. Pelangi Bahasa: Kumpulan Esai yang Dipersembahkan kepada Prof. Dr. J.W.M. Verhaar, S.J. Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1982.
Kridalaksana, Harimurti, penyunting. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, 1991.
Chambert-Loir, Henri., Bhinneka: Enam Belas Karangan tentang Agama, Sastra, dan Bahasa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia, 2024.
Salmon, Claudine. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography. Editions de la Maison des Sciences de L’Homme, 1981.
Hoffman, John. “A Foreign Investment: Indisch Malay to 1901”. No. 27. 1979, hlm. 65-92.
Rosidi, Ajip. Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Pustaka Jaya, 1995.

Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnama Sari menamatkan studi antropologi di Universitas Udayana dan Magister Manajemen Pembangunan Sosial di FISIP Universitas Indonesia. Bukunya yang telah terbit adalah kumpulan puisi Bali Borneo (Penerbit HalamanMoeka, 2014), kumpulan puisi Kawitan (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2016), novel Kalamata (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), dan novel Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2022). Karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Penghargaan yang telah diraihnya antara lain Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia dari Yayasan Sagang dan Indopos (2014), Pemenang Kedua Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2015), Lima Besar Anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa (2016), Nominasi Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2023), dan Penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali (2024). Kini mukim di Yogyakarta dan sehari-hari mengelola program di Bentara Budaya. Kadang-kadang melakukan pekerjaan sampingan penulisan dan penyelarasan buku maupun terlibat dalam kegiatan seni di berbagai kesempatan, baik sebagai narasumber, kurator, juri, moderator diskusi, atau sedikit mengisi pembacaan puisi.

