Syahrazad bagi Hikayat dari Negeri Asing

Foto oleh Aan Mansyur

Malaikat dan harum mukjizat dapat mengudar di negeri yang menampik eksistensi Ilahi. Setidaknya itulah yang akan kita jumpai dalam cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo. 

Keajaiban, dalam karya-karya penulis Semarang itu, kerap tidak dihadapi sebagai kenyataan garib yang menjerumuskan tokoh-tokohnya pada situasi jantungan karena melihat tokoh lain berkepala ular atau celeng. Bagi tokoh-tokoh itu, misalnya, vending machine yang menyedot manusia atau bandar udara dipandang selazim telan-muntah duit di mesin ATM.

Itulah mengapa, kita bisa menganggap cerpen-cerpen Triyanto sebagai fiksi realisme magis. Dalam karya-karya Triyanto, seseorang dengan raga nonmanusiawi tidak disikapi dengan ngeri sebagaimana pada fiksi horor. Fiksi-fiksi Triyanto juga tidak meletakkan peristiwa-peristiwa fantastis di negeri antah-berantah seperti yang kerap kita temui dalam cerita-cerita fantasi. 

Selaras dengan definisi realisme magis sejumlah ahli, cerpen-cerpen Triyanto memajankan model penceritaan yang mengintegrasikan realitas keseharian dengan anasir supernatural secara wajar dan alami sebagai bagian dari dunia cerita. Dalam cerpen-cerpen Triyanto, kita akan menyaksikan entitas ganjil hadir di latar realistis, stasiun atau nama jalan yang memang faktual. Realisme magis Triyanto terkadang mengakulturasikan realitas adikodrati Jawa dan Barat sebagai konsekuensi unsur-unsur naratif, seperti persinggungan warga Indonesia dengan warga asing, sinkretisme Kejawen-Katolik, serta peristiwa-peristiwa politik yang berlangsung di luar negeri. Maka, dalam cerpen-cerpen Triyanto, bisa saja kita akan menjumpai monster Lewiatan, Nyai Rara Kidul, dan penampakan Bunda Maria secara bersamaan di Pantai Santa Monica. 

Di samping penampakan Bunda Maria, cerpen-cerpen Triyanto juga terobsesi pada sosok Yesus Kristus. Ketika membaca cerpen-cerpennya, terutama dalam Ular di Mangkuk Nabi,  sedikit-sedikit kita akan menemui kalimat macam “Bagaikan Yesus yang blablaba …”, sedikit-sedikit kita akan menjumpai kalimat “Seperti tubuh Kristus yang blablabla ….”. Putra Nazareth, dalam cerpen-cerpen Triyanto, memberi situasi antinomis yang menghadirkan keindahan sekaligus penderitaan. Ia menjadi citra tentang yang hidup dan yang maut dalam satu jisim. Hal ini masuk akal mengingat cerpen-cerpen Triyanto sering menampilkan rasa sakit—setidaknya melalui tuturan—tokoh-tokohnya dengan cara yang indah. Di sini, kita melihat gejala masokhisme. 

Watak indah dan liris, baik dalam tutur narator maupun dialog tokoh-tokohnya kian meneguhkan kesadaran fiksionalitas dan nonrealisme cerpen-cerpen Triyanto. Sebagai sebuah tuturan yang khas, kita mungkin akan mafhum bila si narator berkata dengan liris, “Kereta yang sesaat berhenti di Stasiun Friedenau itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahanmu dengan Ellen Adele, Arok.” 

Namun, dalam dialog, tak ada orang yang bercakap dengan gaya bermajas seperti:

“Seingatku ia bercakap tentang Ratu Kelelawar yang senantiasa bercinta dengan sepuluh perempuan pedesaan di sepuluh peti. Ratu Kelelawar itu, kau tahu, senantiasa mengajak perempuan-perempuan ranum itu menari-nari di kebun tomat sebelum pada malam paling busuk membunuh korban-korban bermata sial itu.”
“Tidakkah ia bercerita tentang Hitler yang menghanguskan ribuan manusia yang dianggap konyol hanya karena ia tidak pernah bisa menatap sepasang pria erotis berciuman di sudut taman? Tidakkah ia bercerita tentang serdadu-serdadu Gestapo bengis yang mencincang para perempuan ranum hanya karena iri memandang sepasang gadis saling meremas tangan di kegelapan kebun apel?”

Melanglang ke berbagai negara mengilhami Triyanto mengangkat luar negeri sebagai latar karya-karyanya. Pembaca akan tahu bahwa cerpen-cerpen tersebut digarap di luar negeri ketika kolofon menunjukkan kota seperti Paris, Sidney, Berlin, Benhill, Melbourne, Los Angeles, Las Vegas, Kuala Lumpur, Selangor, Sussex, dan Madinah. Berbeda dengan karya-karya imigran seperti Chitra Banerjee Divakaruni atau Leila Aboulela yang senantiasa menyertakan tokoh-tokoh dari negeri asalnya—India dan Sudan—cerpen-cerpen Triyanto sering kali tidak bergantung pada kehadiran karakter Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti cerpen-cerpen Triyanto sama sekali tidak dimainkan tokoh-tokoh Indonesia. Beberapa cerpennya yang berlatar luar negeri sesekali mengundang karakter Tanah Air untuk menggerakkan peristiwa. Hanya saja, dalam cerpen-cerpen tersebut, kadangkala eksistensi ke-Indonesia-an mereka tampak longgar sehingga bisa digantikan oleh tokoh negeri lain. Katakanlah pada cerpen “Dalam Hujan Hijau Friedenau”, bukan kebetulan jika sepasang kekasih beda negara dipersatukan takdir—meski akhirnya juga berpisah—lantaran memiliki problem politik di negerinya masing-masing. Yang satu “disingkirkan oleh para serdadu Alas yang tak suka pada komposisi ‘Genjer-genjer’,” sedangkan yang lain “harus menyingkir dari ancaman mata bengis tentara yang menganggap para perempuan Yahudi sepertiku hanya sebagai anjing kudisan.” 

Kupikir cerita tersebut akan tetap berjalan meski sepasang kekasih itu adalah perempuan Kurdi yang mengalami diskriminasi di Turki dan pria Rohingnya yang mengungsi karena kerusuhan etnis di Myanmar. Kecuali, jika ke-Kurdi-an dan ke-Rohingnya-an tersebut memiliki efek naratif cukup besar dalam cerita. Ternyata identitas ke-Kurdi-an dan ke-Rohingnya-an, misalnya, menjadi motif kuat yang memicu konflik cerita.  

Tapi, kita membaca “Dalam Hujan Hijau Friedenau” sebagai cerpen yang menyertakan banyak elemen musik klasik. Dan itu paralel dengan profesi seniman gamelan yang disandangkan pada karakter Arok. Komposisi-komposisi yang kerap disinggung si aku turut membangun suasana pada situasi psikis tokoh-tokohnya. Menyisipkan Mozart, Chopin, Bach, dan Debussy, cuma bakal menjadi omong-kosong bila Arok bukan seorang musikus. Di sisi lain, Jerman perlu didudukkan sebagai latar agar cerpen tersebut punya alasan untuk menyatukan sejoli yang bernasib serupa: Arok yang tersaruk Gestapu dan kekasihnya yang kesandung Gestapo.

Secara umum, cerpen-cerpen berlatar luar negeri Triyanto layak didiskusikan mengingat masalah-masalah yang diusung merupakan persoalan-persoalan internasional yang melibatkan konflik antarnegara, politik rasialisme, atau fenomena yang hanya terjadi di sebuah negeri asing. Maka, dalam percakapan ini, aku akan membaca sejumlah cerpen Triyanto yang menghadirkan tokoh-tokoh asing di negeri asing. Cerpen-cerpen tersebut tersebar dalam buku Sayap Anjing, Malam Sepasang Lampion, Anak-Anak Mengasah Pisau, Ular di Mangkuk Nabi, Celeng Satu Celeng Semua, Sesat Pikir Para Binatang, dan Hari Libur Kebinasaan.

Mempercakapkan fiksi dengan tokoh-tokoh asing di negeri asing perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara konten, karya-karya tersebut menjadi penanda tentang pergaulan antarbudaya yang telah dijalani para sastrawan kita. Menganggit isu-isu luar negeri tidak lantas mengurangi ke-Indonesia-an karya bersangkutan. Manusia Indonesia tidak berperangai katak dalam tempurung. Tanpa menghayati amanah undang-undang pun, insan Indonesia telah paham bahwa terlibat dalam urusan-urusan internasional—termasuk merefleksikannya dalam karya seni—adalah wujud partisipasi sang seniman dalam gejolak kemanusiaan yang tak mengenal batas identitas dan geografis.

Sungguh, bila menengok ke belakang sejarah, mengharapkan sebuah identitas tulen merupakan perbuatan muhal dan sia-sia. “Manusia Indonesia” bukan satu spesies dan identitas istimewa yang lahir dari lempung ketiadaan. Manusia Indonesia adalah produk dari silang budaya serta percampuran genetik orang-orang dari berbagai-bagai ruang dan rupa. Begitupun tatkala kita berupaya mengidentifikasi apa itu “sastra Indonesia”.

Apa yang disebut sebagai “sastra Indonesia” tidak lain adalah karya sastra modern yang telah menyerap pengaruh, terutama corak, dari sastra Barat. Muhammad Yamin, misalnya, telah meminjam bentuk soneta untuk dikawinkan dengan pantun dan syair. Di genre prosa fiksi, kita tidak mungkin memiliki novel atau cerpen jika para penulis Indonesia berpendirian chauvinisme sastra. Bersikukuh pada “orisinalitas” sastra Indonesia cuma akan melempar kita pada kenyataan bahwa kesastraan kita tidak lain adalah tradisi kelisanan yang disastra-sastrakan, budaya oral yang ditranskripsikan, atau feodalisme kesusastraan di mana budaya huruf dan kepujanggaan zaman silam hanya wilayah otoritas kaum aristokrat. 

Baik mengadopsi struktur karya maupun isu internasional akan memperlihatkan bahwa sastra Indonesia senantiasa bergerak melampaui tapal artistik dan teritorinya. Sebagaimana watak organik kebudayaan, sastra Indonesia bukan barang jumud yang tak bisa berkembang. Perkembangan sastra Indonesia akan berbanding lurus dengan perkembangan manusianya. Bagiku, perkembangan sastra jangan semata-mata diukur dari metamorfosis struktur artistiknya. Kita boleh setuju bahwa bergesernya isu yang diangkat dalam karya juga bagian dari perkembangan sastra, seperti yang kita cermati pada berubahnya tema kawin paksa ke persoalan kebangsaan dalam roman Balai Pustaka. Tak terkecuali topik-topik internasional.

Bahkan, memasang latar luar negeri bisa menjadi siasat pengarang untuk membicarakan pengalaman kemanusiaan lebih luas yang tak mungkin bisa dilangsungkan di latar dalam negeri karena terbentur perkara moral. Itulah, misalnya, yang dikerjakan Triyanto terhadap satu soal yang tidak jadi pasal di sejumlah negara, tetapi merupakan perkara besar bagi masyarakat religius Indonesia pasca-Reformasi: identitas seksual queer

Dalam cerpen “Tak Ada Eve di Champs-Elysees”, tokoh Gabriel menyebut Nicole sebagai transvestite, satu istilah yang tak lazim untuk kata “banci”. Cerpen ini didasari premis sederhana ihwal sepasang kekasih nonheteroseksual, Gabriel (pria) dan Nicole (wadam), yang cekcok lantaran obsesi memiliki bayi. Konon, Nicole bakal bunuh diri jika Gabriel tidak mengadopsi bayi cowok bernama Edgard—entah ancaman serius atau gurauan belaka. 

“Apakah rancanganku masih indah, Gabriel?” tanya Nicole yang merupakan seorang perancang busana. Dijawab anggukan Gabriel, Nicole menambahkan, “Tapi akan lebih indah jika kau segera menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang ….” Keinginan Nicole akan bayi Edgard semacam dilandasi hasrat akan keutuhan. Sebagai manusia yang terlahir dengan organ reproduksi laki-laki, Nicole tak mungkin melahirkan bayi. Maka, untuk mengatasi “kekurangan” tersebut, Nicole menuntut Gabriel mengadopsi Edgard. 

Sigmund Freud akan menghubungkan keinginan memiliki anak sebagai gejala “iri-penis” perempuan untuk menggantikan penis yang hilang. Namun, hasrat Nicole akan bayi Edgard bukan perkara biologis-psikoseksual. Sebab, Nicole—yang notabene terlahir sebagai “laki-laki”—tentu tak punya kecemburuan organ vital yang sudah atau pernah dimilikinya. Hasrat Nicole atas bayi Edgard lebih bersumber pada fantasi keutuhan, ikhtiar subjek untuk menambal kekurangan eksistensial. Jacques Lacan menggeser ambisi biologis Freud ke aspirasi yang lebih filosofis dan struktural. Jika membaca cerpen “Tak Ada Eve di Champs-Elysees”, Lacan akan berkata bahwa bayi Edgard, sebagaimana semua objek hasrat, tidak akan pernah mampu menutupi kekurangan, setelah diri terpisah dari dunia ibu, setelah diri terlempar ke bawah telapak kaki bahasa. 

Berbeda dengan Nicole, Gabriel tidak menginginkan bayi Edgard. Baginya, tidak penting “Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak penting Nicole iblis atau malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku identitas apa pun yang dia kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada kekasih kencanaku itu. Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia lain di rumah kami.” Dengan kata lain, Gabriel yang tampak omniseksual itu melekatkan Nicole sebagai objek fantasi keutuhannya. Bahkan, ia cenderung memandang bayi Edgard sebagai “monster menjijikkan”, “hantu mungil”, “setan kecil jorok”, dan “setan busuk” yang akan mengubah wajah Nicole semirip babi merah dengan moncong berliur yang menjulur-julurkan lidah serta menetes-neteskan lendir kental.  

Kebencian Gabriel atas bayi Edgard mengingatkan kita pada kecemasan Firaun Ramses II, Herodes Agung, Raja Laios yang merasa terancam oleh ramalan tentang kelahiran orok laki-laki yang kelak akan menggoyahkan takhta. Teror itu, Triyanto gambarkan dalam halusinasi suram Gabriel: “Aku justru merasa mobilku kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok dari masa depan menembus kaca, memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam nada yang merusak pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru merasa menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan.”

Sebagaimana cerpen “Dalam Hujan Hijau Friedenau”, jika dibaca sepintas lalu, “Tak Ada Eve di Champs-Elysees” terkesan tegak di atas struktur naratif yang tak kokoh. Kendatipun tidak berlatar Paris, bukankah kisah sepasang kekasih tersebut akan tetap berjalan? Konflik mengadopsi bayi juga bisa terjadi pada pasangan Solihin dan banci salon bernama Jessica di Bekasi, bukan?

Masalahnya, urusan mengadopsi bayi yang terjadi pada Solihin dan Jessica juga akan membentur logika moral. Sebab, keduanya bakal berhadapan dengan SJW religius yang tak hanya mengecam rumah tangga noheteroseksual mereka, tapi juga mengutuk keputusan mereka untuk memiliki anak. Mengasuh anak dalam keluarga nonheteroseksual belum bisa diterima akal moral masyarakat Indonesia modern. Memaksakan kisah ini berlangsung di latar Indonesia akan menggiring cerita pada konflik bercabang. Konsekuensinya, cerpen menjadi gemuk.   

Seperti “Tak Ada Eve di Champs-Elysees”, peristiwa yang berlangsung dalam cerpen “Taktik Kiri Merah” juga sukar berlangsung di Indonesia. Triyanto perlu mengambil latar Thailand agar siasat tokoh untuk “menjadi bunglon” lebih masuk akal. Di negara yang mengakui delapan belas identitas gender, “tak sulit mengubah wajah dan nama,” ucap narator Saai Daeng yang malih rupa Ratu Sirikit muda. 

Bahkan, tangan dingin Pichet Rodchareon masih mampu membongkar pasang paras Saai Daeng sembilan kali lagi. Dokter bedah plastik itu dapat memermak rupa Saai Daeng menjadi secantik aktris Marilyn Monroe, segarang petinju Muhammad Ali, atau sehening Siddharta Gautama. Saai Daeng tak pernah menganggap tubuhnya “wihara suci yang tak bisa dirombak”.    

Fleksibilitas wajah Saai Daeng gayung bersambut dengan kecenderungan seksualnya yang elastis. Saai Daeng menampik Pichet yang menyangkanya gonta-ganti wajah demi seks. Bagi Saai Daeng, “meskipun berpenampilan perempuan, aku bukan pemuja laki-laki.” 

Sampai di sini, kita akan menduga Saai Daeng berorientasi heteroseksual. Namun, di kalimat selanjutnya ia berkata, “Sekali waktu aku memang berkencan dengan mereka, tetapi aku juga bercumbu dengan pria cantik dan perempuan.” Klasifikasi identitas gender Thailand akan menggolongkan Saai Daeng sebagai bisexual (laki-laki yang bisa tertarik pada laki-laki dan perempuan), gay quing (laki-laki feminin yang suka pada laki-laki feminin), kathoy (transgender perempuan), kathoy gay (transgender perempuan yang suka pada perempuan), atau kathoy bisexual (transgender perempuan yang suka pada laki-laki dan perempuan).   

Meski bercumbu dengan sesama pria, tidak berarti Saai Daeng adalah seorang gay atau biseks sehingga penggolongan tersebut bisa disanggah. Tapi, kita akan melihat keluwesan orientasi seksual pria yang mengaku feminin ini saat mengingkari kalimatnya sendiri—bahwa ia “bukan pemuja laki-laki”—di kala berinteraksi dengan jenderal berbadan L-Men: Seh Daeng. “Tubuh kekar, senyum tulus, dan tatapan mata sejuk adalah kombinasi yang membuatku ingin berada di dalam pelukannya,” daku Saai Daeng. Bagi Saai Daeng, sang pria terindah kerap memantik gairah seksualnya, tetapi ia harus “menahan hasrat untuk mencumbu lawan sekaligus pujaanku itu.”  

Dengan demikian, dalam tradisi klasifikasi gender Thailand, Saai Daeng bukan cuma bisexual, gay quing, kathoy, kathoy gay, atau kathoy bisexual. Ia juga gay queen (laki-laki feminin yang suka pada laki-laki maskulin) dan gay bi (gay yang suka pada laki-laki feminin dan masukulin). Bila diukur dengan Skala Kinsey, seksualitas Saai Daeng berkisar di tengah-tengah, 2 hingga 4, bukan di angka 0 (hetero murni) atau 6 (homo murni). Spektrum dan identitas seksual Saai Daeng menjadi ilustrasi sempurna performativitas gender ala Judith Butler yang menganggap gender bukan bawaan lahir, melainkan ditatah oleh pengulangan tindakan, gestur, bahasa, dan busana. Karena bersifat berulang, gender tak pernah final, bisa meleset, dapat bergeser, boleh digugat, sehingga ada ruang variasi dan perubahan.

Kegamangan gender juga dipertunjukkan tokoh Carter dalam cerpen “Badai Bunga”.  Berbeda dengan Michael yang ditampilkan dengan gelagat gay murni, Carter senantiasa menunjukkan identitas seksualnya secara cair. Carter pacaran dengan Michael sekaligus menjalin hubungan cinta dengan Julieta. Carter “menaklukkan Michael dan aku dalam satu pelukan,” ucap Julieta. Carter acap indehoi dengan Michael di satu waktu, lalu mengulum bibir Julieta di kali lain. 

Kelenturan orientasi seksual Carter disokong ekspresi gendernya yang juga plastis. “Julietaku, Sayang, tidakkah kaurasakan kadang-kadang aku bisa menjadi Rambo bagimu?” tukas Carter. “Tidakkah kaulihat aku juga bisa menjadi Madonna yang ingin bercinta semalam suntuk dengan perempuan ganas sepertimu? O, tidakkah kau telah membuktikan aku juga kerap menjelma she-male yang menerbangkanmu ke surga kencana sepanjang waktu.”

Fleksibilitas seksual Carter telah dikisahkan sejak pria bernama asli Seto tersebut masih tinggal di kampung halamannya, hutan Blora. Konon, saat kecil, ia pernah dicumbu polisi di dekat kuburan. Saat mengenang dusunnya, Carter berkata, “Kadang-kadang aku ingin jadi tayub yang menari menggoda setiap laki-laki buaya. Kadang-kadang aku ingin menjadi penabuh kendang yang senantiasa berceloteh cabul di antara egolan tayub dan teriakan-teriakan jorok para laki-laki jagoan.”

Keluwesan gender di masyarakat Jawa tradisional pada masa kecil Carter memantul ke Los Angeles. Kultur hiburan tayub yang pernah dialami Seto seolah-olah merupakan cermin alit budaya Hollywood yang aura LGBT-nya kuat banget, lebih masif, lebih beragam. Triyanto akan kesulitan melanjutkan kecenderungan queer Seto jika latarnya mengambil lokasi di Indonesia modern—yang kian menunjukkan politik religius nan tebal pasca-keruntuhan rezim Orde Baru.

Triyanto perlu melakukan malih latar dari kampung Jawa tradisional ke Amerika Serikat modern untuk mempertahankan wacana queerness “Badai Bunga” di dunia yang sama-sama memiliki ketertarikan pada hiburan. Hanya pada suasana “festival” tayub dan Hollywood, di mana aturan umum tak berlaku serta tabu diberi tempat, fleksibilitas seksual menjadi mungkin untuk diekspresikan. Maka, memproyeksikan dunia hiburan dusun Jawa tradisional ke Kota Para Malaikat adalah sebentuk strategi naratif yang jitu.

Di Los Angeles pula, Triyanto masih bermain-main dengan fiksi queer. Bukan di tempat ingar hiburan, melainkan di sebuah panti wreda. Seperti “Badai Bunga”, cerpen “Cahaya Sunyi Ibu” juga melibatkan tokoh Indonesia, seorang perempuan jompo bernama Tari. Jika “Badai Bunga” memperlihatkan watak queer tokoh-tokohnya secara gamblang, di “Cahaya Sunyi Ibu”, perilaku lesbian mereka dibikin samar. Kita hanya bisa meraba perilaku lesbian Tari dan Caroline melalui kabar burung. 

Kendatipun berumur 60 dan 80, hubungan asmara Tari dan Caroline tidak digambarkan seperti sepasang kekasih uzur yang menjalin cinta platonik hanya untuk melipur lara sembari menunggu maut menjejalkan jasad mereka ke liang lahat. Melalui gosip, Triyanto mengisahkan keduanya sebagai sepasang kekasih yang kerap mendemonstrasikan hubungan badan yang panas.

“Aku sering mengintip mereka. Carolin suka sekali mengulum bibir ibumu di kamar mandi. Oo, mereka sungguh-sungguh pasangan yang dahsyat. Jika tak ada pengawas, mereka suka tidur bersama dalam satu selimut. Hmm, kalau sudah seperti itu, aku sering membayangkan ada sepasang naga yang bergumul di langit tebal warna kelabu. Dengus dan desis mereka sungguh membuat kami yang telah kehilangan gairah hidup menjadi tak ingin mati esok pagi. O, Rafli yang tampan, apakah kau tetap akan membiarkan mereka bercinta sepanjang hari sepanjang malam?”

Tapi, cerpen ini tak semata-mata mementaskan percintaan banal sepasang kekasih lansia. Juga via desas-desus, “Cahaya Sunyi Ibu” meningkatkan status cinta Tari dan Caroline, dari eros, lalu philia, hingga agape. Dari cinta karnal, persahabatan, hingga gairah yang didorong daya pengabdian terhadap yang spiritual. Meski Tari seorang komunis Jawa dan Carolin adalah Yahudi, keduanya kerap menunaikan ritual dalam nuansa mistik Katolik. “Kau tahu, Rafli, aku justru sering melihat ibumu dan Caroline bersujud lama sekali di taman penuh anggrek dan belalang …” kisah Buisjen. “Mereka bilang di tempat itu Santa Maria menggendong bayi bercahaya diiringi tujuh malaikat dan sembilan naga selalu muncul setelah senja tiba. Mereka juga bilang burung-burung dari bulan selalu menyertai perjalanan Perempuan Suci itu.” 

Tidak sekali saja Triyanto mengisahkan sepasang kekasih lesbian nenek-nenek dalam cerpennya. Di cerpen “Sirkus Api Natasja Korolenko”, Triyanto juga merangkai asmara sepasang kekasih lesbian lanjut usia. Masih dengan jenis cinta eros yang meletupkan syahwat badaniah. Juga dengan cinta agape yang menawarkan dimensi mistik. Cuma, dalam “Sirkus Api Natasja Korolenko”, mistik itu tampil lebih gelap. 

Kesuraman eros cerpen ini akan mengingatkan kita pada fiksi-fiksi gotik berlatar kastil berdinding gelap dan dingin yang dihuni pangeran vampir. Natasja Korolenko dan Virginia Grey adalah sepasang kekasih yang dilukiskan acap melakukan persetubuhan ganjil di rumah yang diriuhkan bebunyian satwa. Suara-suara tersebut diduga berasal dari tato aneka binatang yang digurat di sekujur tubuh Virginia. “Kali pertama menyusup ke kamar Virginia, aku diselimuti ribuan kelelawar,” dengus Natasja. “Dan ketika bercumbu dengan perempuan asal Inggris itu leherku penuh cupang, berdarah, bagai ditancap taring Ratu Kelelawar.” Konon, segala gambar hewan di tubuh perempuan 61 tersebut bisa menjelma hantu untuk menakut-nakuti siapa pun yang ingin menguak rahasia setan di rumah itu. 

Lukisan Yesus Kristus yang mestinya memberi aura agape pada percintaan Natasja dan Virginia justru menambah kesan wingit rumah tersebut. Sebab, Virginia melukis aneka tubuh Yesus dengan raga yang dibalut kebusukan maut. Misal, pose Kristus tersalib dengan kepala terkulai penuh ulat dalam gaya Salvador Dali, atau sang putra Nazaret yang dihajar serdadu bertopeng dalam latar serbahijau.

Di situlah kita melihat betapa rumah Virginia dibangun di atas jukstaposisi yang kuat. Di satu sisi, cerpen ini menampilkan sepasang lesbian manula yang acap melancarkan persetubuhan ganas dalam energi liar hewan-hewan. Di sisi lain, ketika mengkhayalkan persenggamaan buas itu, pembaca juga akan dibayang-bayangi jasad uzur sang Firman, Putra Tuhan yang tak berkutik di hadapan iblis dan kematian. Cerpen “Sirkus Api Natasja Korolenko” meniupkan tenaga beringas pada penyatuan femininitas ganda (lesbianisme) sambil menguras kejantanan adimanusia Sang Pria-Ilahi (Kristus) dengan membuatnya ringkih dalam aneka lukisan.  

Kerapuhan tubuh maskulin Yesus juga menjadi sumber konflik yang menggerakkan kisah sepasang kekasih lesbian dalam cerpen “Sepasang Ular di Salib Ungu”. Kedaifan tubuh Yesus seakan-akan diejek cerpen ini. Jangankan dapat menyelamatkan ibunya, menyelamatkan diri pun ia tak sanggup. Sang Anak Tuhan—yang laki-laki—justru membutuhkan sepasang lesbian, April dan Margareth, ketika berhadapan dengan situasi di ujung tanduk. “Jangan pedulikan aku,” ucap Yesus yang tersalib dan terbelit ular di kedalaman lautan. “Inilah takdirku. Percayalah pada apa yang kaulihat dan segera bantulah Margareth menyelamatkan ibuku ….” 

April dan Margareth, sepasang lesbian itu, adalah penari erotis yang tinggal di Sidney, seperti Natasja dan Virginia yang hidup di Australia. Tak hanya sekali Triyanto mengambil karakter sepasang kekasih lesbian penari erotis dalam cerpen-cerpennya. Di cerpen “Ikan Asing dari Weipa-Nappranum” dan “Malam Sepasang Lampion”, milsanya, Triyanto juga menghadirkan sepasang kekasih lesbian penari erotis di Kota Sidney untuk mengaktifkan cerita. Tapi, mengapa harus penari erotis?

Bagi cerpen-cerpen Triyanto, seksualitas tubuh perempuan adalah senjata. Triyanto acap mengutus pasangan lesbian penari erotis sebagai agen spionase atau  pembunuh bayaran. Membaca cerpen-cerpen tersebut, kita jadi ingat tiga bidadari Charlie’s Angels yang lihai menyaru biarawati hingga pembalap MotoGP, dokter hewan hingga pegulat berangasan. Tapi, dalam cerpen-cerpen Triyanto, kita takkan pernah melihat Drew Barrymore menghajar bandar narkoba, Lucy Liu melepas rudal, atau Cameron Diaz menerbangkan helikopter. Cewek pembunuh bayaran pada cerpen-cerpen Triyanto juga tidak dirancang untuk bertarung sebagaimana Shu Qi yang berlaga di lift melawan Polwan Karen Mok dalam So Close. Tak berpretensi maskulin, wanita mata-mata dan pembunuh bayaran dalam cerpen-cerpen Triyanto justru memainkan daya feminin dengan menjadi penghibur atau seniman.

Dalam “Ikan Asing Weippa-Napranum”, kita akan menjumpai Fiona, seniman mata-mata yang suka nyamar jadi penari bugil di kawasan mesum Sidney. Pasangan lesbinya, Susan, juga penari bugil yang kepadanyalah misi Fiona diarahkan. Fiona, perempuan kulit putih itu, diutus untuk mengawasi tindak-tanduk Susan yang diduga turut serta dalam aktivisme Aborigin. Berakhir menggantung, pembaca tetap akan menebak bahwa Fiona membakar Susan dengan sejerigen bensin meskipun perempuan Aborigin itu berbaik sangka, pacarnya takkan sanggup membunuh. “Kau tak akan pernah berani membunuhku, Fiona,” ucap Susan. “Kau tak akan pernah mampu menghancurkan rasa cinta.” 

Kisah penari lesbian yang ditugaskan untuk membunuh perempuan yang dicintainya pun muncul dalam “Malam Sepasang Lampion”. Selain mahir menarikan nomor-nomor Shanghai Dance, Cit Li pandai menggurat tubuh manusia dengan tato. Yu Chao, mafia bengis Macao, membayar Cit Li untuk membunuh Xi Shi, penari kasino. Tapi, Cit Li gagal menghabisi nyawa klien tatonya. Sebab, Cit Li telanjur “terperosok dalam sihir cinta monster cantik itu.” Di bagian lain Cit Li berkata, “Xi Shi telah menebar candu cinta yang begitu dahsyat, sehingga aku memiliki keberanian melanggar segala pantangan.” Neneknya memang pernah mewanti-wanti Cit Li untuk tidak naksir serta berjimak dengan pelanggan karena akan membuat jari-jarinya patah dan matanya buta.  

Dalam “Ikan Asing dari Weippa-Napranum”, rasa cinta sepasang kekasih lesbian tidak hangus jadi abu meskipun raga Susan akan gosong dilalap api. “Bakar aku! Bakar aku dengan api cintamu!” kata Susan yang ditunjukkan kepada Fiona. “Malam Sepasang Lampion” sebaliknya. Cit Li urung membunuh Xi Shi, tapi gagal mendapatkan cinta bandit penari itu. “Apakah sepasang naga yang kautatokan di tubuhku telah hilang, Cit Li? … Apakah sepasang lampion itu juga telah sirna, Cit Li?” tanya Xi Shi. “Aku yang telah hilang karena segala cintaku kauabaikan,” tanggap Cit Li. Lalu, di akhir cerita, Cit Li bergumam, “Aku tahu … kau akan terus menari hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari.”

Di akhir cerpen “Sirkus Api Natasja Korolenko”, barangkali api tak menghabisi cinta Natasja dan Virginia, melainkan melambungkan aneka satwa yang bersumber dari tato. Ivanovna memang ragu, cinta sepasang kekasih lesbian tersebut turut terbakar. Sebab, penulis novel grafis itu hanya berkata bahwa “di antara asap dan api, aku seperti melihat tikus-tikus tanpa sayap, kelelawar, sepasang naga kembar, segala ular, dan puluhan laki-laki tersalib—yang semuanya pernah kutatap di lukisan dan patung Virginia Grey—melayang-layang dengan sepasang tangan yang membentang bersama-sama melesat menembus awan.” Ivanovna curiga, Natasja sengaja membakar rumah Virginia, lalu keduanya kabur ke Rusia. 

Konon, Natasja-Virginia adalah agen ganda yang bergotong-royong menghabisi musuh politik Presiden Vladimir Putin. Pasangan lesbian itu terlibat meracuni Alexander Litvinenko, mantan mata-mata Rusia yang menetap di Inggris. Di sini, Triyanto tak lagi menghadirkan sosok penari dalam profesi intelijen. Virginia adalah seorang perupa, sedangkan Natasja tidak jelas pekerjaannya apa. Yang jelas, keduanya merupakan lansia yang meskipun tidak sebening Iin Sulinda Pertiwi—oportunis sosial-politik yang kerap berhubungan dengan dunia spionase dan kekuasaan dalam novel Durga Umayi karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya—tetap memancarkan pesona. 

Dalam cerpen-cerpen Triyanto, ageisme tidak mendapat ruang. Baik sudah sepuh—kita perlu mengingat Tari dan Caroline dalam cerpen “Cahaya Sunyi Ibu”—maupun masih kinyis-kinyis, perempuan tetap didudukkan sebagai makhluk berdaya pikat ambivalen. Lembut, sensual, manipulatif, mengejutkan, dan berbahaya. Femme fatale. Kompleksitas inheren inilah yang membuat perempuan cocok berperan sebagai penyusup licin dalam tugas-tugas spionase. Dan karena itu jugalah Raja Opium Segitiga Emas dalam cerpen “Iblis Paris” mendapuk Zita sebagai boneka kencana kesayangan sekaligus orang kepercayaan untuk berjuang secara senyap melawan kebengisan junta militer Burma.   

Sebelum menjadi gerilyawan bangsa Shan, Zita tinggal bersama keluarga kecilnya di Dhaka, Bangladesh. Tapi, bisnis heroin ayahnya dengan Khun Sa, memaksa mereka pindah ke perbatasan Thailand-Myanmar. Hingga akhirnya, Zita menjadi pacar gelap Khun Sa. Di hutan-hutan persembunyian, Khun Sa mengundang guru privat dari Inggris dan Prancis untuk mengajari Zita dan para perempuan menakar jumlah bintang, membaca peta, menafsir kata-kata, bahkan mengenal senjata dari berbagai bangsa. 

“Dan yang tak terduga,” kisah Zita, “para istri pangeran pendiam itu, mengajari kami menari, mengenal bahasa tubuh, erang dahsyat percumbuan, serta keindahan melawan kekejaman para junta.” Pada usianya yang kedua puluh, kekasih tersembunyi Khun Sa tersebut “telah mahir membunuh apa pun yang berkelebat dengan pistol andalan.” Tapi, bagi Zita, bisnis heroin dan perjuangan kasar bukan satu-satunya modus untuk melawan penindasan junta militer. Ia sadar, potensi feminin yang melekat pada tubuhnya juga dapat menjadi jalan pergerakan. Itulah mengapa, “kerling mata, jari lentik, dan gairah yang meletup-letup saat aku menari, kurasa cukup menjadi senjata.” Barangkali seorang guru Prancis telah mengajari Zita gagasan Hélène Cixous bahwa seksualitas, gairah, bahkan tawa perempuan, bisa menjadi senjata untuk melawan dominasi simbolik laki-laki. Raga feminin, ia sadari, menyimpan tenaga subversif.

Jika agen rahasia atau pembunuh bayaran tersebut ternyata berjenis kelamin laki-laki, Triyanto akan membuat mereka jadi gemulai. Cowok gay yang melambai atau transgender yang mengoplas wajah menjadi perempuan, misalnya. Orang-orang queer tersebut perlu dihadirkan sebagai cangkang daya feminin. Gestur kenes dibutuhkan sebagai umpan untuk memikat korban. 

Pada cerpen “Taktik Kiri Merah”, misalnya, seorang transeksual diberdayakan untuk membunuh oposisi kerajaan Thailand, Jenderal Angkatan Darat Seh Daeng yang berideologi kiri. “Kau harus menjadi orang kepercayaan jenderal bodoh itu,” tukas pria berwajah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva kepada Saai Daeng. “Kau harus tak terlihat sebagai musuh. Kau harus bisa menyusup ke kamarnya dan menjadi pasangan Seh Daeng di ranjang.”

Begitu masuk ke dalam lingkaran Seh Daeng, Saai Daeng menunjukkan kebolehannya sebagai waria. “Aku harus lebih aktif menunjukkan pesona,” cerita Saai Daeng. “Saat berdekatan dengan Seh Daeng, misalnya, aku mencoba membuka dua kancing blus merahku.” Hingga akhirnya ia sukses menjadi pelayan tunggal terpercaya sang jenderal merah. Begitulah perempuan jadi-jadian itu mengoperasikan daya tarik kebetinaannya untuk mengelabui Seh Daeng yang pada akhirnya hendak dibunuhnya. 

Daya pikat seksual feminin juga dilancarkan Carter yang dikontrak Julieta untuk membunuh produser film porno, Michael. Ia memang tidak sampai mengubah wajah menjadi perempuan seperti Saai Daeng. Berbeda dengan Jenderal Seh Daeng yang heteroseksual, Michael adalah pejantan gay yang gandrung pada cowok melambai. Julieta menilai Carter yang cocok dengan selera seksual Michael dapat menjadi mesin efektif untuk membunuh Michael. “Aku toh masih punya pisau yang lebih tajam dari segala pisau yang bisa digunakan untuk membunuh Michael sialan,” ucap Julieta. “Aku toh punya racun yang lebih kuat dari segala racun yang bisa memabukkan bajingan serupa setan. Pisau itu kamu, Carter. Racun itu kamu. Kaulah yang akan dengan mudah membunuh raja babi itu dalam sekali tusuk dalam sekali reguk.”   

Di luar fungsinya sebagai agen rahasia dan pembunuh bayaran, Triyanto memberi status esoteris pada golongan queer. Dalam sejumlah cerpen Triyanto, individu queer menjalankan peran sebagai figur sakral yang menghubungkan dunia sekala dengan jagat niskala. Posisi “perantara” tersebut barangkali menemukan nalar simbolisnya ketika queer dipandang sebagai gender ambigu yang berdiri di tengah-tengah dikotomi laki-laki dan perempuan. Maka, dalam kosmologi Bugis kita mendapati bissu, sosok bergender taksa yang menjembatani dunia insani dengan aras dewata. Atau, dalam kosmogoni Jawa, kita melihat Semar, sosok manusia setengah dewa yang bukan laki-laki bukan perempuan. 

Tokoh suci, dalam cerpen-cerpen Triyanto, bahkan bukan sekadar orakel yang khusyuk bersemayam di menara gading panteon. Tokoh-tokoh suci Triyanto memanggul misi profetik yang bekerja untuk memperbaiki bumi manusia yang cedera karena kejahatan. Pada cerpen-cerpen tersebut, mereka berpartisipasi sebagai agen Ilahi untuk mengembalikan keseimbangan realitas sosial dan politik. 

Dalam “Sepasang Ular di Salib Ungu”, misalnya, penari murahan Margareth Wilson disebut-sebut menerima visi kenabian ihwal perahu kencana yang akan menghunjam dari langit ke laut. Di sana, ia akan menyelam ke bangkai perahu, mengusung arca Maria dan Yesus ke bukit untuk mengundang penampakan Perempuan Suci dari Negeri Suci yang pada akhirnya “menyembuhkan dunia dari kegilaan dan kiamat yang menyedihkan”. 

April, pasangan lesbinya, menolak percaya bahwa kekasihnya adalah nabiah “yang diberi kesempatan membuktikan keajaiban nubuat perahu kencana”. Sebab, Margareth bukan insan religius yang rajin ke gereja atau vihara. “Tuhan tak akan pernah lagi memberikan keajaiban kepada manusia-manusia busuk seperti kita,” tegas April kepada Margareth. 

Tentu, pemikir seperti René Girard akan menampik kata-kata April. Manusia-manusia yang dianggap busuk—yang acap jadi kambing hitam problem sosial—justru kerap diangkat sejarah sebagai juru selamat. Yesus dari kalangan rakyat jelata Nazareth, Muhammad dari klan miskin Arab, atau Samin Surosentiko dari golongan priayi kecil Jawa, merupakan figur mesianik yang mengalami perundungan. Justru karena berasal dari kalangan marginal, mereka paling potensial menjadi pelindung orang-orang lemah. Maka, status keliyanan Margareth menjadi alasan mengapa penari erotis queer yang tak mendapat kedudukan sosial bermartabat itu logis diangkat (atau mengangkat diri?) sebagai juru selamat. 

Tapi, di akhir cerita, kita meragukan misi kenabian Margareth. Sebab, peristiwa mukjizatiah yang berlangsung sebagai klimaks cerpen “Sepasang Ular di Salib Ungu” dibatalkan ucapan Margareth bahwa April telah mengalami somnambulisme. “Kau telah berjalan sambil tidur, Sayang. Kau telah berjalan mengelilingi bukit dan mengigau tentang Kristus dan penyelamatan. Hmm, jangan-jangan semua itu terjadi karena kau mengenakan kalung Kristus yang kubeli di Afrika Selatan?” 

Peristiwa waham kebesaran semacam itu juga menimpa aku-narator cerpen “Delirium Mangkuk Nabi”. Setelah otaknya dioperasi, aku-narator yang merupakan perancang busana pengantin dan mendaku tidak menyukai perempuan mana pun merasa ada iblis hijau yang menguntitnya. Iblis tersebut menjanjikan Rahasia Mangkuk Nabi jika si aku menyelamatkan bayi-bayi yang terbuang di lorong-lorong dan membebaskan para pejuang dari “polisi-polisi yang telah dikendalikan sebuah jaringan internasional” dalam politik genosida Aborigin. 

Dalam misi mesianik yang dianggap efek delirium tersebut, si aku menyelamatkan bayi-bayi yang diamankan sang iblis di Galeri Nasional Sidney dan mengeluarkan mereka yang disangka pemberontak dari penjara vending machine ajaib. Pada akhirnya, si aku yang “bukan siapa-siapa”, yang tidak memiliki reputasi aktivisme, terisap juga ke dalam mesin laknat itu yang hanya bisa dibebaskan oleh welas asih koin-koin. Lalu, ia sadar, seluruh ikhtiar berbahaya tersebut tidak didorong motif Rahasia Mangkuk Nabi. Ia berkata:

Sungguh, tujuan utamaku kini menyelamatkan para pejuang yang terperangkap di dalam mesin dan sama sekali tak peduli pada segala hal yang menyangkut Rahasia Mangkuk Nabi. Jika rahasia itu bisa mempertemukan aku dalam perkawanan yang intim dengan Kristus pun, tetap saja ia tak menjadi titik tolak usaha-usaha penyelamatan yang akan kulakukan. Jika rahasia itu bisa membuat aku menjadi mesias utama untuk menyelamatkan dunia yang sakit pun, tetap saja ia bukan menjadi energi dari seluruh upayaku menyelamatkan kehidupan.

Banyak sarjana sekuler meremehkan peristiwa pewahyuan sebagai kondisi psikopatologis. Namun, psikolog seperti Julian Jaynes akan meminta Triyanto menghapus kata “delirium” pada judul cerpen tersebut. Baginya, “suara transendental” yang dialami nabi-nabi purba—yang gejalanya mirip pengalaman aku-narator cerpen itu—bukan sakit jiwa murni, melainkan momen halusinasi auditoris yang lazim terjadi di zaman sebelum kesadaran modern terintegrasi, sebagaimana yang terjadi pada kesatria Iliad yang merasa menerima petunjuk langsung dari para dewa. Fenomena psiko-neurologis ini menjadi revolusioner ketika suara sang iblis hijau berdampak pada transformasi sosial yang digerakkan aku-narator “Delirium Mangkuk Nabi”. 

Momen pewahyuan jelas tidak terjadi pada tokoh Caroline dalam cerpen “Cahaya Sunyi Ibu”. Penampakan “Santa Maria yang menggendong bayi bercahaya diiringi tujuh malaikat dan sembilan naga” setelah senja tiba di taman anggrek, cuma akal-akalan perempuan Yahudi itu untuk menggalang pemberontakan melawan Nora, petugas panti jompo yang diam-diam melancarkan tipu daya. Triyanto menggunakan tokoh Caroline dalam posisi marginal berlapis-lapis (perempuan, tua, miskin, lesbian, Yahudi) untuk berperan sebagai mesiah sekuler. 

Meski memotori gerakan sekuler, status ke-Yahudi-an Caroline justru akan mengingatkan kita pada aktivisme zeloat Yesus. Putra tukang kayu itu jelas adalah orang Yahudi yang berjuang melawan kezaliman elite bait suci dan imperialisme Romawi. Menyembunyikan identitas ke-Yahudi-an dengan berpura-pura sebagai wanita Katolik saleh barangkali menjadi modus Carolin agar misi pemberontakannya berhasil. Sebab, di tempat tersebut, sentimen antisemit masih tercium meski samar. “Mengapa kautangisi sesuatu yang sudah seharusnya mampus pada saat Hitler membakar para cecunguk Yahudi?” tanggap Buisjen ketika ditanya Rafli mengapa ia tampak tidak berduka pada upacara pemakaman sahabatnya.

Andai mengambil latar Indonesia, Triyanto harus membawa tokoh-tokoh Papua sebagai korban sentimen rasial ke dalam karya-karyanya. Hingga kini kita masih kerap dihajar kabar tentang stigma miring dan perlakuan diskriminatif atas perantau Papua di Jawa, sementara tanah air mereka dijarah habis-habisan oleh negara Indonesia. Tapi, karena “harus” berlatar luar negeri, Triyanto menceritakan bangsa kulit hitam lainnya. Ia mengisahkannya dalam cerpen “Mata Sunyi Perempuan Takroni”.

“Takroni” adalah sebutan untuk imigran Afrika yang tak mungkin kembali ke negeri asal, tapi juga muskil menjadi warga Saudi Arabia. Tokoh utama cerpen ini menerima diskriminasi ganda: sebagai perempuan dan sebagai orang kulit hitam. “Mata Sunyi Perempuan Takroni” sebenarnya merupakan cerpen dengan premis sederhana: seorang bocil yang kepengin memberi makan merpati-merpati di Makam Al-Baqi, kuburan para sahabat dan istri Nabi. Namun, batas makam tak boleh dilanggar perempuan, apalagi perempuan tersebut berkulit hitam. Dari ide eksotis itu, segregasi rasial atas perempuan dan imigran Afrika di Madinah diungkap. 

Bagi bangsa Arab, orang-orang Afrika hanya dahak yang ditumpahkan langit hitam yang sedang batuk. “Kau hanyalah gema dari bunyi hoekkk dan plok dari kotoran tenggorokan yang membentur lantai marmer pelapis keindahan pelataran Makam Al-Baqi yang kini telah dikepung pasar emas dan puluhan hotel mewah,” tukas Zubaedah kepada putrinya, Zulaikha. “Ibarat benda yang senantiasa dinajiskan oleh orang lain, kita adalah tinja yang mengotori keindahan istana para raja,” tambah ayah Zubaedah, Musa bin Zakharia, menegaskan sentimen rasial tersebut. 

Cerpen ini mengajak pembaca merenung, bahkan di negeri yang dianggap si paling Islami, perbedaan warna kulit masih menjadi masalah. Akhirnya kita tahu, seksisme dan rasisme tidak memandang agama. Ajakan Tuhan untuk saling mengenal orang-orang dari jenis kelamin, suku, dan bangsa yang berbeda, digusur oleh bawaan manusia yang menilai neraka adalah orang lain. 

Tapi, Maryam, ibu Zubaedah, berapologia—yang akan menggemakan kembali tesis Thomas Hobbes bahwa tanpa peradaban, manusia berkubang dalam situasi jahat, brutal, tak adil. Sebagai anak kandung kebudayaan, agama menampik rasisme. Beginilah Maryam bersaksi perihal sifat welas Nabi—yang merupakan manifestasi hidup dari agama: “Engkau hanya tahu Hajar Aswad berwarna hitam. Tetapi kau tak tahu Nabi juga memuliakan bilal, nenek moyang kita yang rupawan. Engkau hanya tahu para peziarah mengenakan ihram putih, tetapi tak tahu betapa Kakbah diselimuti kain hitam bertabur benang emas.”    

Tanpa bermaksud gebyah-uyah, agaknya, semua agama, komunitas kultus yang dianggap berdiri di atas ilham entitas gaib itu, memiliki Kaidah Emas tentang mengasihi sesama. Bahkan, sekalipun inspirasi tersebut bersumber dari iblis—yang dalam tradisi iman Ibrahimi diyakini sebagai antagonis Ilahi. Iblis “kudus” ini muncul dalam cerpen “Delirium Mangkuk Nabi” yang memberi dorongan psikis kepada sang tokoh utama untuk masuk ke dalam pathos orang-orang Aborigin yang ditindas di tanah sendiri.

Ketimbang cerpen-cerpen berlatar asing lainnya, Triyanto menampilkan Australia sebagai lokasi intens untuk mengembangkan konflik rasisme dalam karya-karyanya. Dalam cerpen-cerpen tersebut, Triyanto tidak bersikap genit dengan membuat problem rasisme sebagai tempelan semata-mata. Rasisme, dalam cerpen-cerpen Triyanto, adalah sumber masalah itu sendiri. Maka, selain “Delirium Mangkuk Nabi” yang mengisahkan perjuangan para aktivis pembela etnis Aborigin, kita juga akan mendapati “Ikan Asing dari Neippa-Napranum” yang menceritakan sindikat pembasmi suku Aborigin. Jika “Delirium Mangkuk Nabi” bernuansa publik dengan menghadirkan tokoh utama yang berhadapan dengan massa anonim, “Ikan Asing dari Neippa-Napranum” lebih bernuansa personal tentang asmara yang terjalin di antara dua kekasih beda ras.

Bahkan, Australia, bagi cerpen-cerpen Triyanto bukan sekadar arena kontestasi antara bangsa Anglo-Saxon dengan pribumi Aborigin. Negeri Kanguru tersebut, dalam cerpen-cerpen Triyanto, menjadi wilayah kekuasaan orang-orang kulit putih yang akan menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan bangsa lain yang hendak menyambung hidup di tanah itu. Dalam cerpen “Matahari Musim Dingin”, genosida atas etnis kulit berwarna dioperasikan. 

Berlatar Melbourne, “Matahari Musim Dingin” berkisah tentang pembersihan orang-orang berdarah campuran demi mempertahankan ras murni kulit putih. Cerpen itu berkisar di antara enam bersahabat yang dirundung peristiwa pembunuhan misterius. Arendt, salah seorang anggota sirkel tersebut—yang ditengarai dekat dengan politikus rasis Pauline Hanson—dituduh membunuh Christ Soros, sahabat mereka. “Aku sangat tidak kaget jika hanya karena Arendt bersahabat dengan Pauline Hanson, politikus rasialis itu, mereka menganggap Arendt akan menyingkirkan siapa pun yang rasnya ternoda oleh kotoran-kotoran peradaban dari luar bangsa ini,” tukas arwah Eliezer Chang, sang narator “Matahari Musim Dingin”. 

Hingga akhir cerita, pembaca tidak diberitahu dengan saklek, siapa sebenarnya yang merencanakan kematian Soros. Sandra atau Arendt? tanya narator di akhir cerita. Sebab, Sandra adalah perempuan berdarah murni Australia-Australia yang pernah berkata, “Kita memang sudah disumpah untuk membunuh siapa pun yang menghalangi gerakan suci ini, Arendt. Tetapi tidak dengan cara terang-terangan seperti itu.”

Yang jelas, Soros mati diculik dan dibunuh lima orang berpenampilan mirip Ku Klux Klan. Pembantaian tersebut disaksikan Eliezer Chang yang akhirnya juga ditembak orang-orang berkerudung runcing itu. Setali tiga uang, selain karena telah menyaksikan aksi pembunuhan, Eliezer Chang cukup masuk akal untuk mereka lenyapkan. Sebab, dari kombinasi namanya, kita bisa menduga, lelaki itu memiliki kulit kuning dan bermata sipit. Etnis Cina, dalam hal ini, memang menjadi salah satu korban politik rasial Australia. Hal itu ditunjukkan dengan lebih eksplisit oleh cerpen “Malam Sepasang Lampion”. 

Di awal abad ke-20, Australia menerapkan White Australia Policy yang menolak imigran Asia, tak terkecuali Cina, hijrah ke Negeri Bumerang. Sialnya, orang-orang Cina yang telah bekerja dan tinggal di berbagai kota mengalami diskriminasi dan penghinaan. Melalui kenangan Cit Li terhadap cerita neneknya, kita tahu bagaimana modus operandi diskriminasi dan penghinaan tersebut berlangsung. “Dulu … dulu sekali … di Sussex hanya ada delapan perempuan Cina, Cucuku,” kisah nenek Cit Li. “Kau tahu, apa yang terjadi ketika delapan perempuan itu harus menghadapi pria-pria serigala?” Sang cucu segera “bisa membayangkan rasa sakit yang meletup-letup saat serigala-serigala itu mencabik-cabik daging indah para perempuan selembut keramik.”

Sejarah memberitahu kita bahwa orang-orang Cina mengadu nasib ke Australia karena kemiskinan dan perang yang menerpa negeri mereka. Juga karena emas. Di sinilah Seyla Benhabib menyoroti undang-undang pembedaan “imigran” dan “pengungsi” yang ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan hukum internasional. Sebab, orang-orang Cina memilih bekerja di negeri asing lantaran dilanda problem sistemik di negaranya sendiri. Dengan demikian, bagi Benhabib, keramahtamahan kosmopolit perlu diindahkan, baik untuk mereka yang berstatus pengungsi maupun yang berposisi imigran. 

Tapi, hukum internasional mungkin perlu memberi perhatian lebih kepada para pengungsi karena kaum tergusur tersebut rentan menjadi apa yang disebut Giorgio Agamben “zoē”, ketelanjangan biologis tanpa perlindungan hukum. Hidup telanjang inilah yang membuat Adonis dalam cerpen “Bunga Lili di Tenda Pengungsi” tanpa ragu ingin membakar kawasan pengungsi Suriah dan Afganistan.

Triyanto meminjam Jerman, negara Eropa yang paling banyak menampung pengungsi, sebagai latar cerpen tersebut. Adonis, pria keturunan Yunani itu, merasa mendapat wangsit untuk memanggang gedung dan tenda para pengungsi. Kita boleh menduga, rencana keji yang Adonis anggap sebagai “tindakan agung” atau “tugas besar” tersebut tumpah dari timbunan kemarahan yang dipendam di dalam kepalanya. Adonis meluapkan rasa gusar kepada Amira:

“… mengapa orang-orang keturunan Yunani di Jerman, seperti kita ini, diperlakukan semata-mata sebagai pekerja atau sebagai robot. Aku dan kau—jelas-jelas lahir di Jerman, menghirup udara, dan makan makanan Jerman—tetapi mengapa kita diperlakukan sebagai orang asing, sebagai gelandangan tengik? Hanya karena sekarang Yunani bangkrut, lantas mereka boleh menganggap kita sebagai budak?”

Watak lembut Adonis yang mendadak megalomaniak—dengan mendaku Herkules sekaligus Lucifer—dan bercampur gejala xenofobia, tak syak membuat Amara curiga bahwa kekasihnya dibayar negara lain untuk melunturkan iktikad positif Jerman untuk jadi juru selamat pengungsi. Apalagi, di kesempatan lain, Adonis pernah bilang bahwa dengan memusnahkan para pengungsi, ia bisa mempermalukan Jerman di mata dunia karena tak becus melindungi orang-orang malang tersebut.  

Menariknya, segenap sisi gelap Adonis, yang akan disebut Carl Gustav Jung sebagai shadow itu, Triyanto proyeksikan dengan citra olfaktori yang bisa diendus Amara. Shadow, bagi psikiater Swiss itu, adalah sisi diri yang didesak ke bangker gelap ketaksadaran. Menekan dan mengingkari aspek yang dianggap tak senonoh, seperti amarah, arogansi, serta keserakahan, ditujukan untuk menampakkan citra diri ideal agar seseorang diterima realitas sosial. 

Maka, selain menghadirkan shadow sebagai “arketipe musuh” yang tampak pada kecenderungan xenofobia Adonis, “Bunga Lili di Tenda Pengungsi” juga menjelmakan sang sisi gelap saat Amara menghidu anyir tiap kali pacarnya mengungkapkan rencana jahat. “Bau Adonis, kau tahu, mungkin gabungan antara pesing air kencing, tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat orang tak mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat,” ucap Amara.

Tapi, bisa jadi shadow tersebut adalah aspek tersembunyi Amara sendiri. Sebab, suara-entah-siapa di kepalanya berusaha membenarkan tindakan sang kekasih yang terjangkit semacam “sindrom Nabi Khidir”: weruh sadurunge winarah. “Jangan-jangan jika dibiarkan hidup, para pengungsi itu kelak akan menjadi orang-orang yang pada waktu bersamaan menembak secara sembarangan warga Jerman dan meledakkan bom bunuh diri di Berlin, Frankfurt, Hamburg, atau kota-kota lain.”

Rasisme acap terjadi di suatu lokasi di mana multikulturalisme diberi panggung. Ratu adil kerap diharapkan masyarakat urban yang kehilangan tatanan. Seorang pembunuh dibayar demi menuntaskan dendam dan meloloskan tujuan. Keragaman seksual cuma sanggup diekspresikan dalam masyarakat yang meninggikan kebebasan. Persoalan-persoalan tersebut hanya mungkin terpiuh di “pasar” besar bernama kosmopolitanisme di mana batas-batas teritori serta kebudayaan lebih berpori ketimbang wilayah rural-homogen-parokial. Dengan menggelar latar global dalam etos kosmopolitan, Triyanto dapat mengarahkan lampu sorot lebih terang kepada tokoh-tokohnya untuk bertengkar dan bertukar kepentingan.

Itulah mengapa, seperti yang acap kusinggung, menjadi dalang bagi karakter-karakter asing di panggung asing adalah muslihat pembebas seorang pengarang agar cerita-ceritanya bergulir lancar. Strategi naratif semacam ini lazim dikerjakan para seniman atau penulis. Dulu kita mendengar bahwa jurnalis berpaling kepada genre sastra ketika reportase dianggap terlalu subversif bagi rezim. Eksperimen alih latar akan dilakukan sejumlah sastrawan, termasuk Triyanto, apabila arena Indonesia tidak cukup masuk akal untuk mementaskan peran tokoh-tokohnya di atas isu yang tengah dimainkan.

Lalu kita bertanya, dengan latar bukan Indonesia, bisakah cerpen-cerpen Triyanto dianggap karya sastra Indonesia? Sebuah suara barangkali akan menjawab: “Bisa!” Sebab, kita menyaksikan tokoh-tokoh Indonesia bermain dalam cerpen “Badai Bunga”, “Dalam Hujan Hijau Friedenau”, “Ikan Asing dari Weippa-Napranum”, “Cahaya Sunyi Ibu”, dan “Sihir Suresh”. Orang Indonesia mewakili entitas bernama Indonesia, meskipun masalah-masalah yang berlangsung dalam cerpen sering tak bersangkut-paut dengan ke-Indonesia-an. 

Akan tetapi, bagaimana dengan cerpen-cerpen berlatar negeri asing tanpa kehadiran tokoh-tokoh Indonesia? Apakah cerpen-cerpen tersebut bisa dikatakan karya sastra Indonesia? Kedua pertanyaan tersebut menggiring kita pada satu pertanyaan sederhana, tetapi penting: Apa itu “sastra Indonesia”?

Rio Johan pernah masygul saat ada yang menuduh karya-karyanya “kurang Indonesia”—untuk tidak bilang “tidak Indonesia”—karena latar kisah-kisahnya bukan berlangsung di Indonesia. Di kali lain, di sebuah percakapan, Kiki Sulistyo bahkan bersikap agak jauh. Baginya, apa yang disebut “sastra Indonesia” bukan hanya karya-karya yang berbahasa Indonesia, melainkan karya-karya yang berbahasa daerah (di Indonesia). Sekali lagi: Apa itu “sastra Indonesia”?

Setidaknya, bagiku kata “Indonesia” merujuk pada tiga perkara. Pertama, Indonesia adalah sebuah “komunitas imajiner”—untuk meminjam istilah Benedict Anderson. Dengan demikian, Indonesia adalah bangsa, adalah sekumpulan orang-orang. Kedua, kata “Indonesia” merujuk pada organisasi administratif dan politik di suatu batas geografis tertentu. Kita menyebutnya “negara”. Ketiga, “Indonesia” juga jenama dari sebuah bahasa. Dari ketiga arti “Indonesia” tersebut, di manakah kata “Indonesia” dalam istilah “sastra Indonesia” bertaut?

“Sastra”, untuk sekadar saling mengingatkan, merupakan karya seni dengan wahana bahasa. Dasar medium inilah yang membedakan sastra dengan karya seni lainnya. Sāstra, kata yang ditarik dari bahasa Sanskerta itu, berarti “alat untuk mengajar”. Alat itu, kita sepakat bernama tulisan. Ketimbang bernuansa kelisanan, apa yang disebut sāstra lebih dekat dengan kultur literasi, budaya baca-tulis. Adapun dalam sejumlah bahasa Barat, termasuk bahasa Inggris, literature (sastra) berakar dari bahasa Latin: litteratura (ilmu abjad, tata bahasa, tulisan) yang turun dari kata littera (aksara, tulisan). Singkatnya, huruf atau tulisan diciptakan untuk menjadi representasi simbolik bahasa. Tulisan membekukan produk verbal yang memiliki watak fana. Verba volant, scripta manent, dalam ungkapan Latin, berarti: Yang diucap akan terbang, yang ditulis akan tinggal. 

Lalu kita paham, “Indonesia” dalam “sastra Indonesia” bertaut dengan Indonesia sebagai bahasa. Sebab, sebagaimana yang telah disinggung, yang membedakan sastra dengan genre seni lain adalah wahananya. Sementara itu, wahana sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia. Identitas bahasa inilah yang memisahkan sastra Indonesia dengan sastra Inggris, dengan sastra Arab. Bukan tentang apa yang diperkarakan, bukan pula tentang siapa yang menulisnya, melainkan dengan bahasa apa sebuah karya diungkapkan. Novel-novel Jane Austen akan disebut karya sastra Indonesia andai ditulis dalam bahasa Indonesia kendatipun penulisnya bukan orang Indonesia dan masalah-masalah di dalamnya tak bersangkut-paut dengan problem-problem ke-Indonesia-an. 

Maka, dengan opini yang bersahaja, harus kukatakan bahwa karya-karya Rio tak berkurang ke-Indonesia-annya hanya karena mengangkat masalah orang asing di negeri asing. Ia menganggit karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Artinya, orang yang berkata bahwa karya-karya Rio “kurang Indonesia” telah mempertautkan kata “Indonesia” dalam “sastra Indonesia” dengan masalah-masalah orang Indonesia yang terjadi di Indonesia. (Lagipula, karya-karya fiksi Rio kerap meminjam latar negeri antah-berantah. Terus, kita menyebutnya sastra antah-berantah?)

Aku pun tak cukup sepakat dengan Kiki yang berkata bahwa “sastra Indonesia” melingkupi tak hanya karya-karya yang berbahasa Indonesia, melainkan karya-karya yang berbahasa daerah. Bagiku, sastra yang berbahasa Sasak menjadi “sastra Sasak” dan sastra yang berbahasa Jawa menjadi “sastra Jawa”. Aku paham maksud Kiki meringkus karya berbahasa daerah sebagai sastra Indonesia. Baginya, Indonesia adalah sebuah entitas yang tegak di atas anasir kedaerahan—masyarakat dan wilayah-wilayahnya. Dengan demikian, sekalipun ditulis dalam bahasa Madura, sebuah karya bisa dianggap sebagai sastra Indonesia. Sebab, orang Madura adalah orang Indonesia juga. Sebelas-duabelas dengan kasus Rio, bagi Kiki, “Indonesia” dalam “sastra Indonesia” tidak bertaut dengan bahasa, tetapi bertaut dengan perkara di luar bahasa.

Akhirnya, dengan dalih dan kasus-kasus tersebut, karya-karya Triyanto bisa dibilang “sastra Indonesia” mengingat cerpen-cerpen tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia walaupun digerakkan tokoh-tokoh asing di negeri asing. Apalagi, dalam karya-karyanya, Triyanto serius memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Triyanto bukanlah pencerita yang lempang. Ia juru dongeng ulung yang memahami kekuatan bahasa Indonesia ketika dioperasikan dalam peranti-peranti sastra. Dengan kepengrajinan yang khas atas bahasa Indonesia itulah karya-karya Triyanto menjadi bernas. 

Aku sepakat dengan epilog Budi Darma dalam Ular di Mangkuk Nabi. Baginya, “Triyanto Triwikromo menyajikan bahasa yang benar-benar kuat, agar melalui bahasa, secara tersirat Triyanto Triwikromo dapat menyampaikan pandangan-pandangannya, meskipun actio, yaitu cara penyampaian pandangan pengarang kepada pembaca, lebih penting daripada pandangan-pandangannya itu sendiri. Penguatan bahasa sekali lagi, menjadi kunci sentral, dan karena itu, form menjadi lebih eksplisit daripada content.” Singkatnya, dalam cerpen-cerpen Triyanto, retorika adalah kunci. Kisah didesak oleh dominasi penggunaan bahasa. Katakanlah pada cerpen “Dalam Hujan Hijau Friedenau”, kita dapat menyaksikan betapa bahasa Indonesia bisa tampil dengan amat bergaya.

Kereta yang sesaat berhenti di Stasiun Friedenau itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahanmu dengan Ellen Adele, Arok. Dari Apartemen Carstennstr 25 B—tempat kita (sepasang iblis manis pemuja Mozart), menggambar percintaan ribuan kelelawar di kanvas bekas dan menciptakan komposisi kebrengsekan Berlin di gamelan sengau dan piano busuk—aku memang merayu para malaikat itu agar mau mengunjungi makamku di Waldfriedhof Zehlendorf. Tentu aku tak bisa lagi melihat tubuhku yang hingga Agustus yang biru masih disorot kamera dan asyik masyuk dalam pemotretan untuk reklame sabun bagi para perempuan uzur itu. Tentu di bawah langit Berlin yang senantiasa menyerupai bentangan kain tetoron abu-abu aku hanya mendapatkan guci abuku dililit akar dan digerogoti para cacing. Dan setelah kremasi yang indah pada Rabu tersaput salju di kuburku, aku memang tak bisa lagi merasakan teduh cemara zedar perkasa yang kini mungkin dilupakan oleh siapa pun yang berjalan tergesa-gesa mengejar kereta. Namun, sebelum menghadiri pesta pernikahanmu, aku memang perlu merasakan sihir cinta yang pernah kausepuhkan di pohon-pohon dan dedaunan penuh embun itu.

Yang pertama akan kita lihat dalam paragraf pembuka tersebut, yaitu bagaimana struktur realisme magis beroperasi. Bukan hanya karena kutipan itu menampilkan aku-narator arwah dan 99 malaikat, melainkan lantaran digamitnya latar-latar faktual dengan detail, seperti Stasiun Friedenau, Apartemen Carstennstr 25, makam Waldfriedhof Zehlendorf. Namun, yang menonjol dari paragraf tersebut bukan semata-mata informasi yang diterakan. Kutipan itu didesak oleh retorika; cara Triyanto menarasikan informasi dengan arus sintaksis yang amat bergelombang.  

Di situlah kita melihat kata atau frasa tidak didudukkan sebagai diksi belaka. Kata atau frasa mengerahkan segenap potensinya sebagai unsur bahasa yang memiliki daya simbolik, nuansa artistik, dan piawai merepresentasikan sesuatu yang gelap tanpa jatuh ke dalam tutur yang lugas. Triyanto lebih memilih menggunakan frasa “sepasang iblis manis pemuja Mozart” ketimbang “sepasang kekasih buronan politik yang mencintai karya seni” untuk disematkan kepada Arok dan kekasihnya. Identitas dan nasib suram itu bahkan muncul dalam satu fungsi kalimat dengan metafora berganda-ganda. 

Kalimat berlapis “Dari Apartemen Carstennstr 25 B—tempat kita (sepasang iblis manis pemuja Mozart), menggambar percintaan ribuan kelelawar di kanvas bekas dan menciptakan komposisi kebrengsekan Berlin di gamelan sengau dan piano busuk—aku memang merayu para malaikat itu agar mau mengunjungi makamku di Waldfriedhof Zehlendorf” memang akan rawan mengalihkan konsentrasi pembaca. Tapi, di kalimat itulah Triyanto menunjukkan kelihaiannya berakrobat dalam gim retorika. Ia memecah fungsi keterangan dengan metafora yang jamak, tapi bermakna kembar. “Sepasang iblis pemuja Mozart”, “percintaan ribuan kelelawar”, “komposisi kebrengsekan Berlin”, “gamelan sengau”, “piano busuk”, tak lain merupakan konotasi grotesk yang melambangkan identitas dan takdir remuk sepasang kekasih sebagai manusia terbuang, tertindas, uzur. Teknik serupa, sejumlah tamsil yang bertukar tangkap di satu tarikan napas itu, misalnya juga kita temukan pada kalimat: “Tentu di bawah langit Berlin yang senantiasa menyerupai bentangan kain tetoron abu-abu aku hanya mendapatkan guci abuku dililit akar dan digerogoti para cacing.”

Di awal percakapan, aku menyinggung situasi antinomis yang menyajikan citra tentang yang hidup dan yang maut dalam sekali rengkuh. Rasa sakit ditampilkan dengan cara yang indah. Triyanto menciptakan aura kontradiktif tersebut ketika narator-mendiang tak lagi bisa “merasakan teduh cemara zedar perkasa”, tapi ingin kembali “merasakan sihir cinta” yang pernah disepuhkan di pohon-pohon dan dedaunan penuh embun. Tenaga puitis bahasa Indonesia memungkinkan Triyanto menyuguhkan kegelapan maut dengan cara yang liris dan sensasional. Hanya dengan paragraf pertama saja, Triyanto telah memamerkan kepada pembaca bahwa yang urgen dalam sebuah cerpen bukan semata-mata formula naratifnya. Dalam sebuah karya fiksi, bahasa bisa menjadi episentrum pengalaman. 

“Kerahkan seluruh upaya untuk menyusun paragraf pembuka” barangkali adalah ajaran nyaris semua mentor penulis cerpen. Kita juga kerap diwanti-wanti untuk mengejutkan pembaca dengan peristiwa tak terduga di akhir cerpen. Rata-rata cerpen koran Indonesia bermain-main dengan akhir kejutan alur semacam itu. 

Tapi, akhiran cerpen-cerpen Triyanto mengejutkan kita dengan koreografi verbal, seperti yang terlihat pada “Malam Sepasang Lampion”: Aku tahu… kau terus menari hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari. Atau, pada cerpen “Matahari Musim Dingin”: Suara Sandra atau Arendt? Kau tetap saja tak peduli. Kau tetap saja membiarkan kota ini menggigil dililit oleh lidah hantu dan kabut teka-teki. 

Sementara itu, pada koda “Iblis Paris”, eskalasi ketegangan peristiwa puncak dimainkan dengan intonasi fluktuatif nuansa kata: Di Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman. Paris masa kini kerap dicitrakan sebagai kota tenang, damai, sentosa. Namun, kalimat itu tiba-tiba memberitahu kita bahwa kota “peradaban” tersebut “hanya” dihuni iblis, personifikasi yang acap dilekatkan pada sosok yang menjadi sumber dosa dan kekacauan. Paris, lalu iblis. Sebuah kosmos yang mendadak digeser oleh kaos. 

Anehnya, kaos yang sekonyong-konyong, “iblis yang tergesa-gesa” itu, tidak menggedor-gedor pintu sebagaimana yang dilakukan orang yang terburu-buru. Triyanto memilih diksi “mengetuk” untuk meredam emosi pembaca—meski sejenak. Habis itu: gaspol. Ternyata ketukan itu bukan anjangsana silaturahmi, melainkan siasat sang iblis agar rencana “menusukkan pistol di lambungku” meluncur mulus. 

Sampai di sini, kita mendapati tiga kata dengan gradasi gawat-tenang-gawat: tergesa-mengetuk-menusuk. Lalu, kalimat itu ditutup dalam nada merosot. Sebab, pistol itu menusuk “lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman”. Melonggarnya kontraksi kalimat dalam sikap pasrah itu barangkali cukup baik untuk menyusutkan tekanan psikologis pembaca dari ketegangan. Dengan mempertimbangkan ritme kalimat dan resepsi pembaca, Triyanto tidak hanya memperhitungkan kapasitas estetis, tapi juga tanggung jawab etis bahasa. 

Tak ada plot twist dalam cerpen ini. Bahkan, bagian akhir tersebut melanjutkan paragraf pertama: Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini. Bedanya, unsur-unsur kalimat di paragraf pembuka membawa kita pada gegar sensorik yang kuat: liar, panas, menusukkan, moncong pistol. Pada penutup cerpen, goncangan itu bergerak melandai di ujung kalimat. 

Meski berlatar asing dengan tokoh-tokoh asing, Triyanto tidak memaksakan diri untuk merangkai cerpen-cerpennya dengan gaya bahasa terjemahan. Triyanto cukup percaya diri menarasikan kisah-kisahnya dengan retorika bahasa Indonesia yang khas. Bahkan, terkadang, efek jenaka muncul ketika ia “tak kuasa” menyelipkan kosakata daerah ke dalam cerpen-cerpen berlatar luar negeri, seperti “sampean”, “keder”, atau “kendhit”. 

Tapi, bukan berarti Triyanto alergi kosakata asing. Sesekali ia juga menitipkan kosakata dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam cerpen-cerpennya. Kesadaran bahasa Indonesia, citarasa domestik, dan terbuka terhadap yang universal menunjukkan gestur artistik karya-karya Triyanto. Kosmopolitanisme cerpen-cerpen Triyanto tidak hanya bisa kita tangkap dari pilihan elemen-elemen intrinsik asing yang bercampur Indonesia, tapi juga keputusannya untuk menolak menjadi wahabi bahasa Indonesia. Dalam cerpen-cerpen Triyanto, konsekuensi globalisme tidak cuma muncul dalam formula naratifnya, tapi juga terlihat pada kemampuan adaptasinya yang lincah terhadap secuil kosakata asing. 

Mengupayakan sastra adalah sebentuk mengikhtiarkan tenaga bahasa. Seberapa jauh sebuah bahasa menerabas kemungkinan-kemungkinannya. Seberapa mungkin sebuah bahasa melanggamkan gagasan sang pengarang. Kesuksesan eksplorasi atas sebuah bahasa dalam mengartikulasikan keliaran khayali seorang sastrawan menuntut kualitas prima dari sebuah daya cipta. Dengan kekuatan imajinasi, perspektif yang eksentrik, lalu menyuarakannya dengan retorika yang lincah, Triyanto telah berhasil menjadi Syahrazad bahasa Indonesia kendatipun hikayat-hikayat yang dikisahkan berpijak di negeri-negeri asing. Jika dalam proses kepengarangan itu kita melihat Triyanto Triwikromo berkhidmat kepada bahasa Indonesia, bukankah amat layak bila karya karyanya kita takzimi sebagai “sastra Indonesia”?

Esai26 November 2025

Royyan Julian


Royyan Julian menerima Anugerah Sutasoma 2023 dari Balai Bahasa Jawa Timur untuk buku esainya, Sastra Indonesia Angkatan Inteligensia Artifisial. Esai-esainya juga menjuarai sayembara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, jurnal Kalam, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saat ini tinggal dan bergiat di Madura.