Sastra Bandingan, Mobilitas Gagasan, dan Para Pelanggar Batas
Apa sebenarnya yang perlu kita diskusikan ketika sedang membincangkan sastra bandingan?
Kelihatannya persoalan tentang hakikat—“apa itu sastra bandingan?”—maupun metode kerjanya—“bagaimana seharusnya sastra bandingan dilakukan?”—sudah tidak lagi dipedulikan.[i] Buku-buku pengantar sastra bandingan terbitan mutakhir seperti Introducing Comparative Literature: New Trends and Applications (Routledge, 2015) oleh César Domínquez, Haun Saussy, dan Darío Villanueva ataupun Comparing the Literatures: Literary Studies in a Global Age (Princeton University Press, 2020) oleh David Damrosch memperlihatkan praktik sastra bandingan masa kini yang merangkul hangat semangat interdisiplin: perbandingan antara teks sastra dan nonsastra (seni rupa, film, platform internet) dengan turut memperhitungkan kondisi sosial, historis, maupun politik dari masing-masing kebudayaan tempat karya tersebut berasal. Sifat eurosentris sastra bandingan yang pernah dikritik oleh penggiat kajian pascakolonial juga sudah luntur karena ia meluaskan objek kajian pada teks-teks dari bahasa non-Eropa.[ii] Entah teks yang digunakan sebagai objek penelitian adalah dalam bahasa aslinya atau via terjemahan itu perkara lain. Paling tidak lingkup pengamatan sudah jauh bergeser.
Sastra bandingan juga tidak lagi dipandang sebagai cabang ilmu susastra yang membutuhkan metode analisis tersendiri tetapi sebagai salah satu pendekatan saja. Metode kerjanya tak lagi terbatas pada analisis teks tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Praktik sastra bandingan saat ini merefleksikan semangat “melampaui batasan” sebagaimana definisi yang pernah dilontarkan oleh Henry Remak pada 1961, yakni sebagai “kajian sastra di luar batas-batas satu negara tertentu” (beyond the confines of one particular country) serta “kajian tentang keterkaitan antara sastra di satu sisi dan bidang ilmu atau keyakinan lainnya” (the study of the relationships between literature on the one hand and other areas of knowledge and belief) mencakup seni, filsafat, sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan lain-lain (Newton P. Stallknecht & Horst Frenz (peny.), 1961, hlm. 3).
Hanya saja, andai pun pertanyaan tentang hakikat dan metode dianggap sudah tidak lagi relevan, saya rasa persoalan tentang signifikansi—“apa cita-cita besar yang ingin dicapai oleh sastra bandingan?”—layak untuk dibahas. Karena jika memperhatikan perkembangan sastra bandingan di Indonesia sejak 1980-an,[iii] kajian ini cenderung dikerjakan secara sporadis. Berdasarkan pengamatan saya yang, boleh jadi bersifat miopik, tidak banyak buku berisi kumpulan tulisan khusus tentang sastra bandingan. Kumpulan tulisan yang berhasil saya temukan seluruhnya dipublikasikan pada awal 2000-an: Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (2002), Antologi Bibliografi Kesusastraan Bandingan (2003) dan Antologi Esai Mastera: Jendela Terbuka (2005) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, serta Jurnal kebudayaan Kalam edisi 22 (2005).
Apabila kontributor Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern terbatas pada penulis Indonesia, Antologi Bibliografi Kesusastraan Bandingan dan Antologi Esai Mastera mencerminkan praktik sastra bandingan “baik di lingkungan negara anggota Mastera, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia, maupun negara lain yang berstatus di luar keanggotaan Mastera.” (2003, hlm.1). “Negara lain yang berstatus di luar keanggotaan Mastera” tentunya tetap mengacu ke negara-negara di Asia Tenggara.[iv] Terutama Antologi Bibliografi Kesusastraan Bandingan dapat dijadikan jalan pintas untuk mengetahui praktik sastra bandingan di Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Ia memuat daftar 95 tulisan—baik yang pernah diterbitkan dalam bentuk artikel, buku, skripsi, tesis, maupun disertasi—dengan tarikh paling awal adalah tahun 1980 dan paling akhir adalah 2000. Mencermati risalah tulisan dalam antologi tersebut, tampaklah bahwa tulisan-tulisan tentang sastra bandingan dalam rentang waktu 1980-an – 2000-an didominasi oleh praktik sastra bandingan yang menyigi dua karya atau lebih oleh pengarang dari negara yang sama maupun dari negara yang berbeda—terutama dari kawasan Asia Tenggara—dengan berfokus pada, antara lain, persamaan tema, gaya penulisan, atau genre serta kadar perbedaan eksekusi aspek-aspek tersebut di dalam karya.
Dalam esainya yang berfungsi sebagai pengantar dalam Antologi Esai Mastera, Budi Darma menyinggung soal kesamaan berdasarkan lokasi geografis, akar bahasa Melayu, sejarah penjajahan oleh Eropa yang dialami oleh ketiga negara anggota utama Mastera—Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam—sehingga perspektif regional dapat digunakan (2003, hlm. xviii). Tidak lupa ia menyebutkan bahwa objek yang tidak memiliki persamaan dan perbedaan tidak mungkin dibandingkan (ibid.). Berhubung Antologi Bibliografi Kesusastraan Bandingan dan Antologi Esai Mastera memang sengaja disusun sebagai satu bentuk proyek Mastera, semangat yang mendasari penyusunan bunga rampai ini tentunya tidak jauh-jauh dari menelusuri kemungkinan—atau malah menegaskan?—adanya identitas kesusastraan yang mirip-mirip dari negara-negara yang rumpun budayanya sama (dalam hal ini mengacu pada kebudayaan Melayu).
Adapun Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 22 (2005) juga mengeluarkan edisi khusus sastra bandingan yang terdiri atas 10 artikel. Selain artikel Manneke Budiman yang memberikan semacam pengantar atas kondisi praktik sastra bandingan pada masa itu, sisa tulisan lainnya semacam mencontohkan penerapan sastra bandingan. Nirwan Dewanto mencontohkan praktik bandingan di dunia seni rupa yang berpaling dari Barat dan membangun pusat-pusat baru semisal di China Daratan, Thailand, ataupun Afrika Selatan, serta tentang seni rupa Indonesia kontemporer yang membandingkan diri lalu menyerap khazanah seni rupa dari pusat-pusat baru tersebut. Mikihiro Moriyama mencontohkan sastra bandingan dari perkembangan teknologi keberaksaraan: budaya naskah ke budaya cetak dengan contoh kasus sastra Sunda pada paruh kedua abad ke-19.
Adapun sisa tujuh artikel pada dasarnya masih berkutat pada perbandingan antarteks, baik yang bersifat lintas bahasa maupun dalam bahasa yang sama (mencakup terjemahan). Alasan pemilihan objek kajian umumnya bertopang pada kemiripan, baik dari segi tema, motif, struktur naratif, ataupun konteks sosio-historis dan politik dari penciptaan ataupun penerimaan teks di negara masing-masing. Kesimpulannya juga bersifat memperlihatkan kadar perbedaan sebagai wujud kekhasan masing-masing pengarang dalam mengeksekusi atau menyiasati segala yang dianggap mirip oleh si kontributor artikel. Kalam sendiri tidak memberikan semacam catatan redaktur yang sekiranya menjelaskan tujuan penerbitan edisi khusus sastra bandingan itu atau setidaknya menyampaikan semacam harapan tentang cita-cita besar yang ingin dicapai oleh sastra bandingan. Tulisan Nirwan pun sekadar memperlihatkan peluang yang bisa digali untuk merancang “cita-cita besar” tersebut dengan mencontohkan praktik bandingan pada seni rupa. Pendeknya ia melemparkan isu kepada para komparatis sastra yang sekiranya berminat untuk mengagendakan cita-cita itu.
Saya belum menemukan bunga rampai tentang praktik sastra bandingan di Indonesia periode 2010-an. Bisa jadi pamornya sebagai cabang ilmu pada saat itu mulai meredup karena tergantikan oleh kajian budaya (cultural studies). Kendati demikian, bukan berarti sastra bandingan tidak dipraktikkan lagi pada dekade kedua 2000-an. Melalui penelusuran sederhana dengan mengetikkan kata kunci “sastra bandingan” pada situs jejaring sosial bagi peneliti dan ilmuwan Researchgate, akan muncul senarai ratusan artikel tentang sastra bandingan. Jika orang mengetikkan kata kunci “mata kuliah sastra bandingan” di situs Google pun akan kelihatan bahwa sejumlah fakultas sastra di Indonesia masih mengajarkan sastra bandingan. Ringkasnya, sampai saat ini sastra bandingan masih dipraktikkan.
Sayangnya, selama empat dekade sastra bandingan cenderung diterapkan secara begitu-begitu saja. Umumnya ia dipraktikkan dalam bentuk perbandingan antarteks, lintas wahana (misalnya antara teks dan film), serta antara teks dan tradisi lisan. Ruang lingkup pengerjaannya mencakup wilayah nasional (sesama sastra Indonesia, antara sastra Indonesia dan tradisi lisan atau sastra daerah) maupun lintas budaya (antara sastra Indonesia dan sastra asing atau sesama sastra asing dari negara yang berbeda). Tujuan pengerjaannya didominasi oleh keinginan untuk mencermati kadar perbedaan dari persamaan aspek intrinsik (genre, tema, alur, plot) atau aspek ekstrinsik (latar belakang budaya, sejarah, aliran kesusastraan, kondisi masyarakat, politik). Adapun hasil kajian umumnya berupa artikel ilmiah yang tersebar di prosiding konferensi dan jurnal akademis, ataupun dalam bentuk tugas akhir di perguruan tinggi seperti skripsi dan tesis.
Menurut saya, model kajian seperti ini sifatnya seperti proyek beli putus. Tidak ada cita-cita besar yang ingin dikejar selain menaruh objek kajian di bawah mikroskop guna mencermati persamaan dan perbedaan. Saya pikir alasannya pragmatis saja; soal waktu yang terbatas. Boleh jadi makalah atau artikel tersebut memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan publikasi pada medium tertentu—skripsi, prosiding konferensi, rubrik esai tentang sastra, jurnal ilmiah—dengan durasi pengerjaan hanya sekian bulan. Jika memang demikian, tidak mengherankan jika tulisan-tulisan ini belum mempertanyakan secara serius soal signifikansi sastra bandingan.
Bukan berarti soal signifikansi sastra bandingan tidak pernah dibahas secara serius. Terkait hal ini, pada dasarnya ada dua kubu: kelompok yang menghendaki agar sastra bandingan berujung pada definisi atau redefinisi identitas kultural dan kubu yang tak memusingkan lagi soal itu. Untuk kubu yang pertama suaranya sudah terdengar sejak 1990-an. Maman S. Mahayana (1994), misalnya, menekankan pentingnya sastra bandingan memanfaatkan model kajian interdisipliner (dalam hal ini turut mementingkan konteks, bukan semata-mata teks) karena “Dengan cara ini, niscaya studi bandingan akan memberi sumbangan berarti bagi usaha memahami kebudayaan suatu bangsa. Dengan cara itu pula, terbuktilah bahwa bahasa (:sastra) merupakan juga cerminan identitas bangsa” (hlm. 16). Semangat mendefinisikan identitas kultural ini sudah tercermin lewat antologi hasil proyek Mastera sebagaimana yang sudah saya papar sebelumnya.
Gema identitas kultural yang sekiranya bisa dijadikan sebagai cita-cita besar praktik sastra bandingan masih bisa didengar pada dekade kedua 2000-an. Langgeng Prima Anggradinata (2020), misalnya, menawarkan praktik sastra bandingan dari perspektif lintas budaya dan menjadikan Asia Tenggara sebagai studi kasus lalu menyatakan bahwa model kajian seperti ini akan “memperlihatkan keragaman budaya di Asia Tenggara. Keragaman budaya beserta keunikannya akan memperkaya Asia Tenggara” (hlm. 84).
Di sisi lain, kubu yang menanggapi tujuan sastra bandingan secara lebih enteng kelihatannya justru belum memperlihatkan signifikansi yang konkret selain merayakan peluang-peluang yang diberikan oleh semangat interdisiplin. Tulisan dalam kategori ini malah cenderung berfungsi sebagai pengantar belaka yang membeberkan perkembangan sejarah sastra bandingan hingga ke masa kontemporer. Contohnya adalah Sastra Bandingan (Editum, 2005) oleh Sapardi Djoko Damono, Materi Sastra Bandingan (Universitas Negeri Yogyakarta, 2010) dan artikel “Perkembangan Sejarah dan Isu-isu Terkini dalam Sastra Bandingan” (Diglosia, 2021) oleh Dipa Nugraha. Alhasil, tulisan-tulisan yang mewujudkan semangat interdisiplin ini tak ubahnya proyek beli putus yang saya katakan tadi: baru sampai pada penerapan, tetapi belum memikirkan visi dan misi.
Saya sendiri termasuk kubu yang tidak tertarik dengan persoalan identitas kultural. Suatu ujung pembahasan yang menurut saya tidak selaras dengan semangat sastra bandingan yang sejatinya selalu berupaya menerobos segala batasan.
Melampaui Wilayah—Sastra Berbahasa Jepang sebagai Contoh Kasus
Sebagaimana yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika, praktik sastra bandingan di Jepang dalam pengertian tradisional—yang sudah dilakukan sejak 1948—diguncang oleh gerakan Akademisme Baru (nyuu akademizumu) pada 1980-an. Gerakan ini memperkenalkan dan mengembangkan teori-teori kritis pada bidang sosial dan humaniora di perguruan tinggi Jepang.
Dalam makalahnya yang berjudul “Hikaku Bungaku no Genzai—Kyoukai no Mondai ni Tsuite” (Sastra Bandingan Kiwari—tentang Permasalahan Batasan, 2020) Ellis Toshiko menunjukkan bahwa perkembangan teori kritis, terutama pascakolonialisme menggoyang pagar-pagar pembatas yang mengelilingi praktik sastra bandingan tradisional.
Batasan pertama berkenaan dengan hubungan erat antara sastra Jepang dan bahasa Jepang. Secara terberi, gagasan akan “sastra Jepang” mengacu pada tiga konsep tritunggal: orang Jepang (nihonjin), bahasa Jepang (nihongo), dan negara Jepang (nihon). Dengan kata lain, karya sastra yang ditulis oleh orang berkebangsaan dan berkewarganegaraan Jepang dalam bahasa Jepang dan dipublikasikan di Jepang. Namun, pascakolonialisme membuka peluang bagi akademisi Jepang untuk menelusuri jejak-jejak penjajahan negaranya terutama terkait dengan dampak dari kebijakan Japanisasi (kouminka) pada bidang kebudayaan. Dalam kebijakan ini, nama orang Taiwan dan Korea diganti dengan nama Jepang dan mereka diwajibkan untuk belajar bahasa Jepang.
Batasan kedua berkaitan dengan gagasan soal bahasa Jepang sebagai bahasa ibu—dalam artian tingkat kefasihan orang Jepang asli—karena kini tidak sedikit orang non-Jepang yang memiliki kecakapan bahasa Jepang setara bahasa ibu. Adapun batasan yang terakhir berhubungan dengan leburnya sekat yang membedakan sastra dan nonsastra (hlm. 197). Menurut Ellis, pertanyaan yang hendaknya mendasari praktik sastra bandingan adalah “bagaimana cara menghadapi persoalan batasan yang sebenarnya sangat arbitrer” (hlm. 197). Hanya dengan demikian sastra bandingan dapat mengarah ke bidang-bidang kajian baru.
Arah baru itu terbentuk melalui kemunculan gagasan tentang “sastra berbahasa Jepang” (nihongo bungaku) sebagai bagian dari upaya besar untuk mendefinisikan ulang “sastra Jepang” (nihon bungaku) itu sendiri. Bersama dengan akademisi sastra dari Taiwan dan Korea Selatan—negara-negara yang notabene pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang—para akademisi pascakolonial Jepang mulai menggali dan meneliti karya sastra berbahasa Jepang yang dilahirkan oleh para penulis dari bekas jajahan Jepang di kawasan Asia Timur.
Mulanya karya yang menjadi objek penelitian adalah karya para penulis zainichi. Istilah zainichi secara harfiah berarti orang-orang asing yang tinggal di Jepang, tetapi secara khusus, penulis zainichi mengacu pada penulis imigran yang umumnya berasal dari Taiwan dan Korea Selatan. Perkembangan kajian sastra berbahasa Jepang mengingatkan kepada efek-efek awal teori pascakolonialisme dalam kesusastraan Eropa; perluasan bidang kajian yang melampaui sastra nasional dan menjadi sastra Anglofoni, Frankofoni, Lusofoni, Teutofoni, ataupun Hispanofoni.
Walaupun bidang kajian sastra berbahasa Jepang membuka peluang bagi praktik sastra bandingan yang melampaui sastra nasional, bukan berarti istilah ini berjalan begitu saja tanpa kritik. Penulis zainichi Korea Kim Sok-Pom menyebutkan bahwa istilah “sastra berbahasa Jepang” merupakan rancangan kajian pascakolonial sehingga penelitian tentangnya, semestinya, tidak mengabaikan fakta bahwa istilah tersebut dibangun oleh konteks historis jejak kekerasan bahasa Jepang pada masa pendudukan Jepang di Taiwan dan Korea (2015, hlm. 3).
Kritik Kim merupakan sentimen politis yang dapat dimaklumi mengingat ia merupakan bagian dari generasi zainichi yang mengalami sendiri dampak kebijakan Japanisasi. Ia lahir pada 1925 di Osaka dari orang tua berkebangsaan Korea yang berasal dari pulau Jeju. Ia memiliki nama Jepang—Kin Sekihan dalam lafal bahasa Jepang—dan diwajibkan mempelajari bahasa Jepang. Ia juga merupakan generasi orang Korea yang menyaksikan negaranya terbelah dua menjadi Korea Utara dan Korea Selatan sebagai akibat dari Perang Korea. Tak pelak, persoalan identitas kultural sebagai orang Korea senantiasa menjadi hal yang krusial baginya. Kim bahkan tidak memiliki kewarganegaraan Korea Selatan semenjak pemisahan Korea dan menyebut bahwa kewarganegaraannya adalah chousen—istilah dalam bahasa Jepang untuk menyebut “satu Korea”. Suatu sikap yang mencerminkan angan-angan agar kelak Korea dapat bersatu kembali.
Hanya saja, dari sudut pandang pengembangkan kajian, memakukan “sastra berbahasa Jepang” melulu pada konteks historis justru akan menyempitkan peluang penelitian yang sejak awal bersifat transnasional. Sebagaimana diindikasikan oleh Ellis, sempadan pada gagasan tentang bahasa Jepang sebagai bahasa milik bangsa Jepang sendiri sudah goyah (2020, hlm. 197).
Guncangan ini bukan hanya karena ada generasi orang-orang bekas jajahan Jepang yang terkena kebijakan Japanisasi. Pada masa kini, orang-orang non-Jepang mempelajari bahasa Jepang dimotivasi oleh keputusan yang dibuat sendiri, bukan karena paksaan pemerintah Jepang. Dengan demikian, peluang kajian “sastra berbahasa Jepang” tidak perlu dibatasi pada konteks historis penjajahan Jepang di Asia Timur tetapi terbuka pula untuk mengkaji karya dari penulis yang tidak berasal dari region tersebut, misalnya, Ian Hideo Levy[v] atau Gregory Khezrnejat[vi] yang berkebangsaan Amerika. Bagaimana pun, potensi kajian sastra berbahasa Jepang untuk bergerak lebih bebas dan melampaui batasan regional sangat besar. Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, pada 2021 ada sekitar 3,4 juta pembelajar bahasa Jepang di luar negeri.[vii] Andaikan ada sepersepuluh ribu dari mereka yang menempuh jalur seperti Ian Hideo Levy dan Gregory Khezrnejat, kajian sastra berbahasa Jepang bisa memanen objek penelitian sekitar 300-an penulis non-Jepang.
Mobilitas Gagasan dan Upaya Melanggar Batas
Sebagaimana dikatakan oleh Ellis, praktik sastra bandingan hendaknya menyadari akan adanya batasan lalu berusaha untuk menyeberangi (cross), melampaui (trans-), atau bahkan keluar (extra-) dari batasan tersebut (2020: 198). Saya sepakat dengan Ellis. Pendeknya, sastra bandingan perlu dilandasi oleh semangat melanggar batasan sehingga ia dapat senantiasa bergulir tanpa dihalangi sekat-sekat imajiner, entah itu wilayah (nasional, regional, benua) maupun medium (yang disebut sastra dan nonsastra). Namun lebih daripada itu, menurut saya, perlu juga para penggiat sastra bandingan untuk merencanakan cita-cita besar guna memperlihatkan signifikansi dari kajian sastra bandingan masa kini, agar jangan sampai, lagi-lagi, pengerjaannya kembali jatuh pada kerja-kerja pendek yang sekadar bertebaran di jurnal ilmiah, prosiding konferensi, ataupun kritik sastra platform digital.
Terkait harapan saya sendiri terhadap sastra bandingan, saya menawarkan perspektif mobilitas gagasan yang sekiranya dapat memberikan ide tentang agenda cita-cita besar sastra bandingan melalui penelitian yang senantiasa berpeluang untuk dikerjakan lebih lanjut. Saya tidak ingin menjadikan perspektif mobilitas gagasan berujung pada praktik sastra bandingan tradisional yang bercita-cita menemukan sumber asal dari pengaruh kesusastraan. Hal yang ingin saya tekankan melalui perspektif ini bukan semata-mata perjalanan gagasan itu sendiri melainkan upaya untuk terus-menerus mendefinisikan ulang “gagasan” tersebut setelah menelusuri perjalanannya yang berliku. Di situlah letak signifikansi sastra bandingan yang saya maksud.
Jika menengok riwayat penelitian sendiri, saya mengawali penelitian soal mobilitas gagasan akan “Jepang” sejak 2017. Bersama Himawan Pratama, kolega saya di Program Studi Sastra Jepang, FIB UI, kami mencermati tentang produksi citra Jepang dalam novel-novel remaja Indonesia yang terbit pada dekade pertama 2000-an. Rasa penasaran akan keberadaan sejumlah penulis yang tidak bisa berbahasa Jepang dan tidak pernah tinggal di Jepang untuk waktu yang lama (paling tidak sampai saat mereka merampungkan novel tersebut) tetapi secara aktif memproduksi “Jepang” di dalam novel-novelnya memotivasi kami untuk mengadakan penelitian itu. Bahkan di antara mereka bahkan ada yang menggunakan nama pena yang kejepang-jepangan untuk menarik perhatian pasar.
Kami menduga bahwa mereka tentu menciptakan “Jepang” dengan memanfaatkan hasil konsumsi akan novel ataupun budaya populer Jepang. Bagaimanapun mereka—saat itu berusia 20–30-an—merupakan bagian dari generasi milenial Indonesia yang lahir pada 1980-an dan tumbuh besar bersama dengan kebudayaan populer Jepang seperti manga (komik) dan serial anime, dorama[viii], tokusatsu[ix] yang menyebar secara legal di toko-toko buku dan televisi maupun secara ilegal di lapak-lapak buku terminal bus atau VHS/VCD/DVD bajakan dari Taiwan.
Metode yang kami lakukan adalah metode campuran; analisis teks dan wawancara mendalam terhadap para pengarang dan perwakilan penerbit. Melalui analisis teks, kami menemukan bahwa gambaran Jepang dalam novel-novel mereka terasa karikatural dengan penonjolan sejumlah hal yang khas Jepang seperti bunga sakura di musim semi, menunduk saat memberi salam, memohon bantuan, atau meminta maaf, tokoh lelaki remaja yang memberikan kancing nomor dua dari seragamnya kepada perempuan yang ia sukai, ataupun penggambaran cinta segitiga antara satu perempuan dan dua lelaki dengan salah satu tokoh lelaki digambarkan sebagai tipikal the boy next door. Singkatnya, ini adalah gambaran yang mudah ditemukan dalam komik-komik remaja perempuan (shoujo manga) atau serial dorama romantis. Pada saat itu, kesimpulan kami menyentuh persoalan definisi identitas budaya karena melalui temuan kami, “identitas budaya” rupanya tidak hanya diartikulasikan oleh si pemilik budaya melainkan juga dibayangkan dan dikonstruksi oleh mereka yang berada di luar budaya bersangkutan (Dewi Anggraeni & Himawan Pratama, 2017, hlm. 63).
Sudah lima tahun berlalu sejak penelitian itu dan saya menemukan penulis Indonesia generasi berikutnya yang menjadikan Jepang sebagai tema sentral. Salah satu di antaranya adalah Bagus Dwi Hananto. Berbeda dengan para penulis yang dibahas dalam penelitian saya waktu itu—yang tokoh-tokoh utama karyanya adalah orang Indonesia sedangkan tokoh-tokoh pendukung adalah orang Jepang—Bagus malah kelihatan lebih percaya diri karena semua tokohnya orang Jepang. Saya tertarik dengan alasan Bagus yang sejak 2018 menulis cerita pendek tentang Jepang sebagaimana tercantum pada sampul belakang kumpulan cerpen Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto (Indonesia Tera, 2023). Ia menyebutkan bahwa cerpen-cerpennya sebelum 2018 terasa “tak berbentuk lantaran kegagapan untuk menulis kisah dengan corak lokalitas”. Pertemuannya dengan kebudayaan Jepang membuatnya “menemukan ketertarikan untuk menulis cerita dengan menggunakan realitas lain: realitas yang bukan berasal dari lingkungan sekitar.”
Pernyataannya terasa menarik karena menggambarkan sudut pandang yang ia ambil dalam memandang kondisi sastra Indonesia kontemporer. Sekelebatan, karya-karya yang mengusung kedaerahan memang mencolok. Hal ini bukan perkara baru mengingat pada 1990-an pernah muncul gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman ataupun Gerakan Sastra Kepulauan sebagai suatu upaya melawan estetika sastra yang, mereka anggap, dibakukan oleh Jakarta. Jika menjadikan patokan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selaku kompetisi sastra yang dianggap paling bergengsi—mungkin juga karena nominal hadiah pemenang utamanya paling besar?—, pemenang pertama dalam 15 tahun terakhir[x] mayoritas merupakan karya yang mengusung persoalan di daerah: Tanah Tabu (2008, latar Papua), Persiden (2010, latar adat dan budaya Minangkabau), Kambing dan Hujan (2014, latar Jawa Timur), Orang-orang Oetimu (2018, latar Nusa Tenggara Timur), Aib dan Nasib (2019, latar desa Tegalurung, Jawa Barat), dan Tersesat Setelah Terlahir Kembali (2023, latar adat dan budaya Minangkabau).
Sebenarnya tidak adil jika menyebut corak lokal merupakan wajah sastra Indonesia kontemporer. Sastra Indonesia kontemporer tentu lebih kompleks daripada itu. Karya-karya Dea Anugrah, Sabda Armandio, Martin Suryajaya, Triskaidekaman, Andina Dwifatma, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie untuk menyebut di antaranya, bukanlah karya-karya yang mengusung persoalan kedaerahan. Menurut saya, corak lokal merupakan gejala khas dari negara yang plural seperti Indonesia. Hanya saja, pernyataan Bagus bisa saja ditafsirkan bahwa, menurutnya, karya akan mencolok atau dianggap ‘nyastra beneran’ apabila memperlihatkan unsur kedaerahan. Ia merasa itu sebagai beban.
Saat saya membaca Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto, saya bisa mengatakan bahwa karya ini tak ubahnya evolusi dari karya-karya yang pernah saya teliti lima tahun yang lalu. Gambaran Jepang dalam kumpulan cerpen ini tidak terasa karikatural, bahkan seandainya nama penulisnya tidak dicantumkan saya bisa saja merasa bahwa itu karya terjemahan. Memang ada adegan menundukkan badan secara heboh saat meminta maaf dalam cerpen “Kucing-kucing Suginami”, tetapi saya menduga adegan ini bukanlah adegan yang muncul dari pikiran seorang penulis polos yang hanya menyukai Jepang tetapi kurang bahan riset, melainkan justru disengaja karena adegan ini mudah ditemukan pada tokoh yang serba kikuk di dalam manga atau anime.
Bagi saya yang merasa cukup punya pengetahuan tentang sastra Jepang, saya merasakan bagaimana Bagus mencoba berdialog dengan karya sastra dan budaya populer Jepang yang pernah ia konsumsi sebelumnya. Misalnya, cerpen “Seekor Kucing dalam Rashomon” yang mengingatkan kepada cerpen “Rashoumon” (Gerbang Rashoumon, 1915) oleh Akutagawa Ryuunosuke, cerpen “Malam-malam Dazai” kepada novel Shayou (Matahari Terbenam, 1947) oleh Osamu Dazai atau cerpen “Dongeng Sakura dan Ular” kepada cerpen “Sakura no Mori no Mankai no Shita” (Di Bawah Hutan Sakura yang Berbunga Lebat, 1947) oleh Sakaguchi Ango. Cerpen-cerpen Bagus tersebut bisa ditafsirkan sebagai pengembangan imajinasi akan satu adegan atau tokoh dari cerpen-cerpen yang ia rujuk. Bahkan mungkin banyaknya tokoh kucing dalam kumpulan cerpen tersebut mengingatkan pada Murakami Haruki yang juga senang menyelipkan kucing di dalam novel-novelnya.
Pembahasan tentang karya ini tentu tidak menarik kalau sekadar mencoba membahas dari segi intertekstualitas. Saya merenungkan sendiri kesimpulan saya akan karya-karya seperti ini lima tahun lalu, yang sayangnya saat itu berhenti pada persoalan definisi identitas kultural. Di tengah informasi yang meluber seiring perkembangan teknologi, persoalan identitas kebangsaan ataupun identitas budaya tidak lagi relevan karena ia sendiri sifatnya demikian arbitrer. Maka, hal yang penting untuk dibahas justru mobilitas gagasan dan definisi “gagasan” itu sendiri. Melalui pemaparan atas penelitian yang saya lakukan lima tahun lalu dan sekilas pembahasan tentang kumpulan cerpen Bagus, gagasan yang saya contohkan di sini adalah “Jepang”. Dalam karya-karya ini, “Jepang” bukanlah fakta objektif yang bersifat ensiklopedik melainkan suatu gagasan yang berada dalam lingkaran produksi, distribusi, dan konsumsi yang berputar terus-menerus dengan segala bentuk peniruan, pengembangan, penyusutan, penglebih-lebihan, pengurangan, bahkan pembengkokan.
Dalam tulisan ini saya memang belum menganalisis dan mendefinisikan “Jepang” dalam kumpulan cerpen Bagus. Jangankan menguji hipotesis, tugas pertama saya yaitu membaca keseluruhan karya Bagus termasuk yang berlatar di Indonesia pun belum sempat saya lakukan. Jika diseriusi, topik ini memerlukan metode campuran, yaitu metode analisis yang bersifat lintas medium dan metode penelitian kualitatif. Analisis lintas medium berarti tidak hanya menganalisis teks—membongkar aspek-aspek sastrawi seperti unsur intrinsik cerita maupun penggunaan majas—tetapi juga menganalisis medium visual dan audiovisual seperti komik, anime, film, ataupun video-video pendek para pemengaruh (influencer) di sosial media. Adapun metode kualitatif dapat dikenakan pada pengarang, kelompok pembaca, dan penerbit.
Terlepas dari kerja berat di depan mata jika saya akan menuntaskan penelitian tersebut, hal yang ingin saya tekankan melalui perspektif mobilitas gagasan adalah para penggiat sastra bandingan tidak perlu lagi memasang pagar-pagar pembatas imajiner pada unit pembanding seperti kemiripan budaya, kesamaan pengalaman sejarah penjajahan, ataupun keserupaan konteks sosial-politik. Para komparatis tidak perlu lagi menciptakan haluan-haluan seperti haluan Prancis, Amerika, China, atau Asia Tenggara karena di tengah era informasi yang melimpah ruah seperti sekarang kesalingpengaruhan sudah tak lagi berbatas dan demikian longgar. Saya yakin upaya mendefinisikan “gagasan” itu sendiri tidak akan pernah berujung pada satu kesimpulan karena ia bisa berubah wujud di tengah jalan. Justru dengan begitu penelitian bisa selalu dikembangkan.
Lagipula, bukankah memang semestinya penggiat sastra bandingan merupakan kawanan para pelanggar batas?
Kepustakaan
Anggradinata, Langgeng Prima. 2020. “Model Kajian Sastra Bandingan
Berperspektif Lintas Budaya (Studi Kasus Penelitian Sastra di Asia
Tenggara)”. Jurnal Salaka: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya
Indonesia. 2(2). hlm. 76–85.
Anggraeni, Dewi., dan Pratama, Himawan. 2017. “Japan with Indonesian
Flavors: The Production of Japanese Images within Indonesian
Teen Novels”. The Journal of Popular Culture 50(1), pp. 50–64.
Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.
Darma, Budi. 2005. “Esai adalah Sebuah Jendela Terbuka”. Antologi Esai
Mastera: Jendela Terbuka. Jakarta: Pusat Bahasa.
Hananto, Bagus Dwi. 2023. Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto.
Yogyakarta: Indonesia Tera.
Kim, Sok-pom. 2015. “ “Nihongo Bungaku” to Rekishisei”. Kokyou:
Nihongo Bungaku Kenkyuu 2(1). hlm. 4–6.
Mahayana, S. Maman. 1994. “Beberapa Masalah dalam Studi Sastra
Bandingan”. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Prijanto, Saksono., Mujiningsih, Erlis Nur., & Fanani Muhamad. 2003. Antologi Bibliografi Kesusastraan Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa
Toshiko, Ellis. 2020. “Hikaku Bungaku no Genzai—Kyoukai no Mondai ni
Tsuite”. Shouwa Bungaku Kenkyuu. vol 81. hlm. 195–199.
[i] Esai Rene Wellek yang berjudul The Crisis of Comparative Literature (1958) mencerminkan perdebatan soal “apakah” dan “bagaimanakah” sastra bandingan. Wellek mengkritik metode sastra bandingan yang saat itu berlangsung di Eropa—terutama Prancis yang berfokus pada pencarian bukti-bukti konkret kesalingpengaruhan di antara karya-karya sastra Eropa. Metode ini bertujuan untuk mencari asal-muasal sumber pengaruh dan secara tidak langsung memandang karya yang menjadi sumber asal pengaruh sebagai karya kanon. Menurut Wellek, metode positivistik ini dimotivasi oleh nasionalisme budaya sekaligus tidak mencerminkan satu metode khusus yang mampu membedakan antara kajian susastra dengan kajian, misalnya, sejarah pemikiran. Wellek menghendaki agar sastra bandingan tetap mencermati aspek-aspek sastrawi (literariness) dalam metode kerjanya. Kritik Wellek soal metode masih dapat didengar dalam pendapat Steven Tötösy de Zepetnek dalam bukunya yang berjudul Comparative Literature: Theory, Method, Application (Amsterdam dan Atlanta, 1998). Zepetnek beranggapan bahwa pengabaian pada hakikat sastra bandingan menjadikan studi sastra kehilangan relevansi dan menjelma jadi bagian dari kajian budaya yang lebih menekankan pada faktor di luar karya itu sendiri. Pada praktiknya, sastra bandingan tetap dilakukan tanpa pernah benar-benar menjawab persoalan hakikat dirinya dan bagaimana dirinya semestinya dilakukan.
[ii] Sifat eurosentris sastra bandingan tampak melalui perluasan objek kajian pada karya sastra di luar Eropa tetapi yang ditulis dalam payung bahasa Eropa. Hasilnya adalah kajian sastra Anglofoni (bahasa Inggris), Frankofoni (Prancis), Lusofoni (Portugis), Teutofoni (Jerman), dan Hispanofoni (Spanyol). Dengan kata lain, bahasa dari negara-negara Eropa yang punya pengalaman menguasai sebagian besar belahan bumi. Kemungkinan besar model kajian seperti ini dimotivasi oleh keinginan untuk mencermati perkembangan kesusastraan dari bekas negara jajahan masing-masing negara. Dalam bukunya yang berjudul Death of Discipline (Columbia University Press, 2003), Gayatri Chakravorti Spivak—selaku salah satu tokoh sentral penggiat kajian pascakolonial—mengkritik model kajian seperti ini dan menuntut agar sastra bandingan mau memalingkan muka dari perkara serba berlandaskan Eropa dan memperhitungkan teks-teks ataupun produk-produk budaya lainnya dari bahasa-bahasa non-Eropa. Pendeknya, Spivak menginginkan agar sastra bandingan mau kawin dengan kajian wilayah, kajian etnik, dan kajian budaya.
[iii] Setidaknya kalau menengok sejarah sastra bandingan di institusi tempat saya bernaung, mata kuliah “Sastra Bandingan” diajarkan di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya) UI oleh Sapardi Djoko Damono pada 1981.
[iv] Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) didirikan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1996. Anggota awalnya adalah negara-negara penggagas, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Singapura dan Thailand menyusul kemudian masing-masing pada 2012 dan 2014.
[v] Ian Hideo Levy (dalam bahasa Jepang namanya dilafalkan sebagai Riibii Hideo) merupakan akademisi sastra Jepang dan penulis berkebangsaan Amerika yang mempelajari kajian wilayah Asia Timur ketika berkuliah di Princeton University. Ia kemudian tinggal di Jepang dan menulis dalam novel dalam bahasa Jepang. Ia menjadi orang non-Jepang pertama yang memenangkan Kusala Noma Bungei pada 1992 dan Kusala Yomiuri pada 2017 serta dinominasikan pada Kusala Akutagawa pada 1996 selaku penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang.
[vi] Gregory Khezrnejat merupakan akademisi dan penulis keturunan Iran yang berkebangsaan Amerika. Ia menempuh pendidikan S2 dan S3 di Jepang dalam bidang sastra Jepang. Karyanya yang berjudul Kaikonchi (Lahan yang Ditanami) (2022) dinominasikan pada Kusala Akutagawa.
[vii] Gaimushou. 2021. “Nihongo Gakusha no Ooi Kuni to Chiiki” (Wilayah dan Negara yang Banyak Pembelajar Bahasa Jepang). https://www.mofa.go.jp/mofaj/kids/ranking/nihongo.html (diakses pada 8 Desember 2023)
[viii] Dorama sebenarnya merupakan lafal drama dalam bahasa Jepang tetapi kemudian menjadi genre serial televisi tersendiri. Dorama merujuk pada serial televisi tentang kehidupan sehari-hari yang akan habis dalam beberapa episode.
[ix] Secara sederhana, serial tokusatsu dapat dimaknai sebagai serial televisi bergenre fiksi ilmiah atau pahlawan yang memanfaatkan teknologi untuk menciptakan efek khusus. Seingat saya, pada Indonesia awal 1990-an, serial tokusastsu yang terkenal adalah Ksatria Baja Hitam dan Goggle V.
[x] Sayembara Novel DKJ adalah ajang yang sejatinya dilaksanakan dua tahun sekali. Jadi ketika saya mengatakan “15 tahun terakhir”, sayembara ini diadakan sembilan kali, yaitu pada 2008, 2010, 2012, 2014, 2016, 2018, 2019, 2021, dan 2023.
Dewi Anggraeni
Dewi Anggraeni adalah dosen di Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dengan peminatan susastra dan kajian poskolonial. Ia juga merupakan kandidat doktor di Graduate School of Japanese-Chinese Language and Literature, Hiroshima University, Jepang. Ia sedang merampungkan disertasi dengan tema penelitian “Representasi Indonesia oleh Pengarang-pengarang Selatan”. Ia pernah menjadi pemenang kedua Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2019 dan naskah kritiknya terpilih sebagai salah satu naskah yang dibukukan dalam Antologi kritik Sastra Badan Bahasa 2020. Ia aktif menulis tentang penelitian kesusastraan terutama untuk jurnal akademik serta menjadi penerjemah bahasa Jepang dan Inggris.