Ganzheit vs Rawamangun
Bertandang Kembali ke Perdebatan Kritik Sastra Indonesia

Ilustrasi: Gelar Prakosa

Jakarta, 19 Januari 1964. Sutisna Adji menulis esai “Pengertian yang Salah terhadap Metode Analitik dalam Kritik Puisi”. Ia, tak lain, adalah Goenawan Mohamad, penyair dan esais berumur 23 tahun. Dari esai itu, yang dimuat di Indonesia, No. 1, Tahun XV, Juli 1965, masyarakat sastra Indonesia mendengar kata ganzheit, mungkin untuk pertama kalinya.

Dalam pengertian Goenawan, ganzheit adalah keseluruhan dari sebuah puisi, yaitu suasana yang menggenangi puisi. Goenawan menulis,

Adapun keseluruhan dari puisi itu kita hayati sebagai suasana. Suasana itu, atau Ganzheit itu, adalah pengantar langsung bagi seorang pembaca ke dalam sajak yang dibacanya. Ia tidak kita dapati dalam kata demi kata, pun ia tidak kita dapati dari sekedar kumpulan kata-kata yang dibariskan sebagai kalimat sajak. Kata-kata itu adalah elemen-elemen dari Ganzheit dan elemen-elemen dalam Ganzheit. Elemen-elemen itulah yang ditentukan oleh keseluruhannya, oleh suasananya, dan bukan elemen-elemen itu yang menentukan Ganzheitnya.

Goenawan menyodorkan konsep ganzheit untuk menolak apa yang disebutnya sebagai “metode analitik” dalam kritik sastra, khususnya kritik puisi. Menurutnya, metode analitik “lazimnya melangkah dari sajak keseluruhannya menuju ke kalimat demi kalimatnya, kemudian ke arah kata demi katanya dan tidak jarang ke suku-suku kata sajak tersebut.”  Goenawan menampik metode kritik yang menganalisis puisi dengan semata-mata berpijak pada pembacaan dekat terhadap anasir puisi seperti kata dan suku kata. Metode analitis dapat digunakan, tetapi hanya sebagai “metode pembantu” untuk “menggali hal-hal yang lebih subtil dari sekedar soal tema”, terutama gaya. Yang utama dalam puisi adalah keseluruhannya, bukan bagian-bagiannya. Itulah sebabnya, “metode analitik… tidak boleh melupakan Ganzheit, keseluruhan, dari puisi”.

Mengangkat gagasan ganzheit untuk menolak pengutamaan metode analitis dalam kritik sastra, esai Goenawan tersebut mudah dipandang sebagai awal perdebatan terkenal dalam sejarah sastra Indonesia antara dua gagasan kritik sastra: Ganzheit dan Rawamangun. Kritik sastra Rawamangun adalah ragam kritik sastra yang mulai muncul di Indonesia pada akhir dekade 1950-an, kebanyakan dari akademisi sastra, terutama yang berkiprah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur. Ragam yang umum dikenal sebagai kritik sastra akademis itu banyak menggunakan metode analitis dalam membahas karya sastra.

Namun, sesungguhnya esai Goenawan tidak secara eksplisit membidik kritik sastra yang dihasilkan para akademisi. Goenawan mengatakan, “pengertian yang salah terhadap metode analitik ini terutama tidak kita dapati dalam dunia kritik puisi Indonesia yang tidak luas itu, tetapi kita dapati dalam dunia penciptaan puisi Indonesia.” Sasarannya bukan akademisi, melainkan penyair. Bagi Goenawan, metode analitis yang diterapkan secara keliru dalam penciptaan puisi (dengan hanya berfokus pada utak-atik unsur puisi tanpa penghayatan suasana keseluruhan puisi) dapat menggiring penyair untuk berkutat pada persoalan teknik secara superfisial belaka sehingga menghasilkan puisi yang buruk. Misalnya, “puisi yang penuh dengan metafor gelap” era 1950-an yang dihantam Goenawan dalam esainya itu. Mencontohkan puisi “Doa” Chairil Anwar yang unsur bunyinya dipandang menawan, Goenawan mengatakan:

. . .unsur bunyi sebagai elemen ditentukan oleh suasana hati penyair sebagai Ganzheit, keseluruhan. Keseluruhan itu, yang kita hayati sebagai suasana sajak, tampil langsung kepada kita, dan barulah setelah itu kita secara analitik menemukan tetek-bengek seperti adanya plastisitas bunyinya, yang apabila memang kongruen dengan suasananya memberikan indikasi tentang adanya gaya yang murni. Jelas pulalah kiranya, bahwa bukan unsur bunyi itu sebagai elemen yang menentukan Ganzheitnya, sebab seorang penyair yang tak menghayati situasinya tetap tidak sanggup menampilkan suasana atau Ganzheit itu dalam sajaknya, walaupun ia bersusah payah menyusun kalimat demi kalimatnya dengan unsur bunyi yang kuat.

Sesungguhnya, gagasan ganzheit pernah digunakan Goenawan untuk menentang penggunaan metode analitis dalam kritik sastra yang bukan dikerjakan oleh akademisi, melainkan justru oleh rekannya sesama sastrawan. Dalam “Catatan Diskusi Horison: Dari Warna Ungu Cerita Pendek s.d. Sajak-Sajak Diafan” di Horison, No. 3, Tahun ke-2, Maret 1967, Goenawan sepakat dengan reaksi negatif Taufiq Ismail terhadap kritik Subagio Sastrowardojo yang dianggap melakukan “‘pembabatan’. . .terhadap puisi Arifin C. Noer secara tak tanggung-tanggung”:

Satu sangkalan lagi dikemukakan oleh Taufiq Ismail terhadap metode kritik puisi Subagio Sastrowardojo: metode ini adalah metode analitis, yang “menempatkan puisi Arifin sebagai kadaver di atas meja praktikum untuk dicincang-cincang secara anatomistis.”
Taufiq tepat sekali meninjau masalah metode ini: dengan analisa saja kritikus bisa kehilangan “Ganzheit” dari puisi, kehilangan suasana sajak, dan akhirnya kehilangan puisi sendiri! Hemat saya metode analitis perlu sepanjang ia tidak berpendirian bahwa bukan [sic!] unsurlah yang menentukan keseluruhan, melainkan sebaliknya: totalitaslah yang menentukan unsur.

Perumpamaan karya sastra sebagai mayat untuk praktikum anatomi, objek mati yang dibedah oleh kritikus pengguna metode analitis, sebenarnya sudah diungkapkan Goenawan sendiri setahun sebelumnya dalam esai “Tema Bukan Sebuah Utopia Kecil…” di Horison, No. 3, Tahun I, September 1966. Pengibaratan yang sama disuarakan lagi oleh Arief Budiman dalam esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” di Horison, No. 4, Tahun III, April 1968. Arief mengatakan bahwa dalam kritik sastra dengan “metode analitis” yang “mengutamakan analisa sebelum ada penghayatan totalitas”, karya sastra, “. . .tidak dibiarkan berbicara sebagai subyek merdeka yang hidup, melainkan disuruh diam, tidak bergerak, berhenti mengalir, kemudian dicungkili apa yang mau dicarinya. Di sini sang kritikus “aktif” sedangkan sang karya seni dipasifkan menjadi sebuah kadaver di atas meja bedah.”

Teks Arief Budiman tersebut dapat dikatakan merupakan semacam manifesto “kritik sastra Ganzheit” yang bereaksi terhadap “kritik sastra analitis”. Di sana Arief memaparkan metode kritik sastra (atau kritik seni) Ganzheit secara eksplisit dan cukup sistematis.

Dalam metode kritik sastra Ganzheit, kata kuncinya adalah “penghayatan”: penghayatan sang kritikus terhadap karya yang dikritiknya. Mengkritik dipandang sebagai tindak menghayati, bukan menganalisis, menelaah atau meneliti. Mengkritik sebuah karya sastra berarti menghayati karya itu sebagai satu keseluruhan utuh, yang tersusun dari paduan bentuk dan isi yang tidak terpisahkan, bukan menganalisis bagian-bagian karya belaka. Berpijak pada prinsip psikologi Gestalt bahwa “suatu keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemennya”, metode Ganzheit menuntut kritikus agar karya seni pertama-tama dan terutama dihayati sebagai satu keseluruhan/totalitas, baru kemudian dianalisis unsur-unsurnya jika perlu.

Penghayatan kritikus terhadap totalitas sebuah karya akan menghasilkan karya baru dengan totalitas baru. Penghayatan adalah proses “rekreasi”, yaitu “menciptakan kembali dari karya seni yang dihayati”. Sifatnya unik. Terhadap karya seni yang sama, penghayatan setiap orang berbeda-beda, dan menghasilkan totalitas baru yang berbeda-beda pula. Metode Ganzheit “mengikutsertakan faktor manusia yang menghayati sebagai elemen yang turut mengadakan interferensi dinamis dalam menyusun kualitas total yang baru”. Penghayatan adalah sebuah pertemuan, yaitu pertemuan atau “interferensi dinamis” antara manusia atau kritikus dengan karya seni. Penghayatan sebuah karya seni berarti penyatuan sang manusia-kritikus dengan karya tersebut untuk melahirkan “sebuah dunia yang unik”, yaitu totalitas baru yang berbeda dengan totalitas karya sebelum dilakukan penghayatan, dan juga totalitas baru yang berbeda-beda seturut penghayat yang berbeda-beda. Dengan demikian, kata Arief, “metode kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya”.

Langkah-langkah metode kritik Ganzheit dipaparkan Arief sebagai berikut,

Mula-mula, tanpa konsep apriori apapun juga, sang kritikus membiarkan karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara ke dua subjek yang hidup dan merdeka itu. Sebuah proses refleksi dan analisa terjadi kemudian. Di sini elemen-elemen menjadi “terang dan jelas” dalam hubungannya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi hidup penuh warna-warni. Pada saat sang kritikus menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka lahirlah sebuah kritik seni yang merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah persengketaan antara seorang manusia dan sebuah karya seni.

Metode kritik Ganzheit menempatkan subjektivitas kritikus, alih-alih objektivitas alat analisis, di posisi sentral. “Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengembalikan kritik seni kepada manusia konkrit dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip mekanistis yang universal,” tegas Arief. Karya seni dianggap sebagai “subjek yang hidup dan merdeka” sebagaimana kritikus, dan kritikus diminta “membiarkan karya itu berbicara sendiri”, tanpa bersikap apriori terhadap karya. Artinya, kritikus tidak boleh mengambil terlebih dahulu konsep, ukuran, kriteria atau teori apa pun untuk mendasari pembacaan karya. “Hanya dengan sikap seperti inilah,” menurut hemat Arief, “kita akan berhasil menangkap keunikan sebuah karya seni. . . . Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati”.

Pandangan tentang karya sebagai “subjek yang hidup dan merdeka” itu terasa ideal. Orang tentu dengan mudah dapat mempertanyakan mungkinkah karya seni bisa “berbicara sendiri” kepada kritikus atau bahkan pembaca pada umumnya. Lebih jauh lagi, dapat dipertanyakan mungkinkah orang bisa membaca, memahami atau bahkan sekadar menikmati karya tanpa sikap apriori sama sekali, tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman yang terakumulasi pada dirinya. Saya yakin, tidak mungkin.

Terutama untuk ragam karya seni yang sudah mencapai tahap perkembangan yang lanjut atau kompleks dan memiliki sejarah panjang seperti puisi modern, konteks pengetahuan dan pengalaman “apriori” pembaca justru vital untuk menentukan apakah sebuah karya berarti atau tidak, bernilai atau tidak, bagi si pembaca. Di hadapan seorang pembaca yang inosen, pembaca polos tanpa modal pengetahuan dan pengalaman membaca (jika pembaca seperti itu ada), karya seni justru tidak akan “berbicara” apa-apa. Pembaca inosen tidak akan bisa memaknai dan mengapreasiasi karya. Kritik yang berharga terhadap karya juga tidak mungkin datang dari kritikus yang inosen.

Secara ironis, kemustahilan pembacaan oleh pembaca inosen tecermin pada kritik yang dikerjakan Arief sendiri. Pada 1968, tahun ketika Arief menerbitkan esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni”, dia lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dengan skripsi “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” yang membahas puisi-puisi Chairil Anwar. Skripsi ini tampak dipandang oleh penulisnya sebagai contoh kritik sastra yang menerapkan metode Ganzheit. Pada 1973, dalam Pengantar untuk bukunya yang berasal dari skripsi tersebut, Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (1976, 2007),  Arief secara eksplisit menggaungkan kembali prinsip metode kritik Ganzheit:

Seseorang yang menghayati sebuah karya seni sebenarnya sedang melakukan pertemuan. Pertemuan antara si orang yang menghayati itu dan karya seni tersebut. Antara keduanya terjadi saling perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Gestalt atau lebih tepat lagi barangkali nilai Ganzheit, yang terjadi akibat pertemuan subjek dan objek.

Namun, kritik sastra Arief itu ternyata tidak begitu berbeda dengan model kritik berbasis metode analitis yang ditolak sang kritikus sendiri dalam esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni”, yaitu “penyorotan karya seni dengan memakai sebuah konsepsi a priori yang… dipakai sebagai alat pembedah”. Teks kritik Arief menganalisis puisi Chairil dari sudut psikologi dan filsafat, dan analisis itu berpijak pada “konsepsi a priori” berupa sejumlah pemikiran psikologi dan filsafat, khususnya eksistensialisme. Tanpa berbekal “konsepsi a priori” psikologi dan filsafat, Arief tidak mungkin melahirkan kritiknya dari pertemuan dengan puisi Chairil belaka. Puisi Chairil terdengar “berbicara” kepada Arief justru karena sang kritikus menemuinya dengan mengantongi “konsepsi a priori” tertentu.

Meskipun demikian, penolakan Arief setengah abad lebih yang lalu terhadap penggunaan “konsepsi a priori” untuk membedah karya tetap berharga sebagai pengingat agar kritikus tidak terjatuh pada penghambaan teori, seperti yang kerap terlihat dalam kritik sastra pada masa kini. Hari ini tidak sedikit kritik sastra, terutama yang berpretensi “ilmiah”, mendahulukan teori ketimbang karya yang dikaji. Teori tidak digunakan sebagai alat pembedah karya, melainkan justru sebaliknya: karya diperalat demi pelaksanaan teori. Tidak jarang, kritikus terkesan mencari dan memaksakan karya agar sesuai dengan teori yang dipakai, bukan mencari dan memakai teori yang sesuai dengan karya yang dibahas. Teori juga sering digunakan secara dangkal, tampak seperti tempelan belaka supaya kritik terkesan “ilmiah”. Misalnya, teori ekokritik yang lagi trendi diterapkan dengan hanya mendaftar anasir-anasir alam dalam puisi.

Sikap menjulangkan teori yang sering terlihat dalam kritik sastra kontemporer, bahwa seakan-akan kritik sastra tidak afdal bin keren jika tidak memamerkan teori, bermuara pada banjir teori dalam kritik sastra. Begitu banyak dan beragam teori berseliweran di dunia kritik sastra kita kini. Salah satu akibatnya, sekarang semakin sulit diketahui apakah kritikus memakai teori yang benar, atau menggunakan teori secara benar, untuk menganalisis karya. Sekadar contoh, dalam naskah salah satu pemenang sayembara kritik sastra bergengsi belum lama berselang, kritikus menggunakan “metode penerjemahan” Peter Newmark dalam A Textbook of Translation (1988) untuk menganalisis larik, bahkan kata, puisi hasil terjemahan Chairil Anwar. Padahal, Newmark di buku yang sama jelas-jelas mengatakan “metode penerjemahan” digunakan untuk penerjemahan “keseluruhan teks”. Sedangkan untuk penerjemahan unit yang lebih kecil, misalnya kalimat atau kata, digunakan “prosedur penerjemahan” yang berbeda dengan “metode penerjemahan”. Kasus ini menunjukkan sang kritikus memakai teori Newmark sebagai alat analisis secara kurang tepat, jika bukan secara keliru.

Sebelum esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” Arief Budiman muncul, gagasan kritik Ganzheit yang dilontarkan Goenawan Mohamad telah menuai reaksi dari pembela metode analitis, antara lain M. Saleh Saad dalam “Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan (Sebuah Catatan Kecil Lagi)” yang ditulis pada 1967. Esai itu mengisyaratkan bahwa metode Ganzheit mewakili kalangan sastrawan, sementara metode analitis mewakili kalangan sarjana sastra atau akademisi sastra. Saleh mencatat,  “. . .analisis. . .telah banyak menimbulkan kekecewaan, telah banyak menimbulkan sakit hati para sastrawan. Analisis dianggap malaikat maut yang mencabut nyawa cipta sastra. Sesudah analisis, cipta sastra itu menjadi bangkai, tergeletak begitu saja di kamar mati!”

Saleh sendiri adalah akademisi sastra, dan ia membela metode analitis dengan mengajukan pandangan sesama akademisi sastra, yaitu Lukman Ali dan M.S. Hutagalung. Merujuk pada pandangan M.S. Hutagalung tentang “pendekatan struktural” dalam telaah sastra, Saleh menegaskan metode analitis tidak berhenti pada analisis semata. Analisis unsur selalu kembali berpadu menjadi sintesis yang memperhitungkan keseluruhan atau ganzheit sebuah karya. Menurutnya, analisis adalah alat untuk mencapai objektivitas yang merupakan “syarat dan milik penelaahan ilmiah”. Keberatan terhadap metode analitis dipandangnya bersumber pada hakikat kritik sastra sebagai ilmu atau seni, yakni, “Persoalan apa yang disebut ‘pembabatan’, ‘pembedahan’, ‘pencabutan nyawa’ terhadap cipta sastra dapat agaknya dikembalikan kepada masalah pokok, yakni: apakah pembicaraan tentang kesusastraan itu ilmu atau seni?”

Esai Saleh menyingkapkan bahwa perdebatan metode Ganzheit versus metode analitis pada dasarnya merupakan perbedaan pendapat tentang kritik sastra antara kaum sastrawan dan kaum akademisi sastra, atau katakanlah antara kubu “seni” dan kubu “ilmu”. Adanya perselisihan ini tidak terlihat dalam teks-teks Goenawan Mohamad seputar kritik Ganzheit yang terbit pada 1965-1967, begitu juga esai kunci Arief Budiman pada 1968.

Setahun setelah esai Saleh, perdebatan metode Ganzheit versus metode analitis menjadi tampak eksplisit sebagai perbalahan antara kelompok sastrawan/seniman dan kelompok akademisi/ilmuwan sastra. Pada 31 Oktober 1968, sebuah diskusi tentang kritik sastra diselenggarakan di Balai Budaya Jakarta. Pembicaranya adalah Goenawan Mohamad dan Arief Budiman dari Dewan Kesenian Jakarta, S. Effendi dari Direktorat Bahasa dan Kesusastraan (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), dan J.U. Nasution dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dua pembicara pertama—sastrawan dan pegiat sastra—mewakili kubu metode Ganzheit. Dua pembicara lain—ilmuwan dan akademisi sastra—mewakili kubu metode analitis. Metode Ganzheit vs metode analitis menjadi tampak sebagai sastrawan vs ilmuwan.

Goenawan Mohamad dan Arief Budiman menyajikan makalah “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian”. Di sana mereka menjelaskan lebih lanjut gagasan tentang metode Ganzheit yang dirumuskan Arief Budiman dalam esai “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” beberapa bulan sebelumnya.

Makalah mereka dibuka, pada paragraf pertama, dengan kutipan pertanyaan dalam teks M. Saleh Saad di atas: “. . .apakah pembicaraan tentang kesusastraan itu (dalam pengertian ini tentunya termasuk kritik–pengutip) ilmu atau seni?” Mereka menunda jawaban atas pertanyaan itu hingga hampir di pengujung makalah. Jawaban mereka ternyata tidak definitif, melainkan relatif: tergantung pada apa yang dimaksud dengan “ilmu” dan “seni”.

Bagi mereka, kritik sastra adalah ilmu, jika ilmu ialah “pengertian yang benar tentang realitas”, dan realitas berarti “pertemuan yang merdeka antara pribadi sang kritikus dan karya sastra sebagai ekspresi pribadi seorang manusia lain.” Kritik sastra juga seni, jika seni dimaknai sebagai “kesanggupan kreatif untuk mengungkapkan satu pengalaman estetik, menemui realitas terlepas dari metode-metode yang sudah tersedia, kaku dan membelenggu.” Namun, kritik sastra bukan ilmu, jika ilmu ialah “pemakaian norma-norma yang distandardisir yang berlaku dan disetujui secara umum”. Dan kritik sastra bukan seni, jika seni dipahami sebagai “khayalan sepihak dari sang kritikus.”

Mereka menolak kritik berbasis metode analitis karena dianggap bekerja dengan kaidah umum: metode, norma, ukuran atau kriteria yang berlaku universal. Penggunaan kaidah umum memberikan objektivitas sehingga kritik sastra menjadi ilmiah, menjadi bagian dari “ilmu”. Namun, mereka justru berpandangan bahwa objektivitas tidak boleh diutamakan dalam kritik sastra. Penggunaan kaidah umum untuk mengukur karya sastra dipandang keliru dan merugikan perkembangan kesusastraan. Di satu sisi, kritikus yang terpatok pada kaidah umum akan menjadi kurang terbuka pada perkembangan baru kesusastraan. Di sisi lain, pengarang yang terpaku pada kaidah umum sastra akan sulit menggali keunikan dirinya dan tidak berani bereksperimen mencari kemungkinan baru.

Bagi mereka, tiap karya sastra itu unik. Maka kritikus harus “menghadapi tiap hasil sastra sebagai suatu kasus yang unik, tidak terlebih dulu mempergunakan patokan-patokan umum untuk menakarnya”. Dalam metode Ganzheit, kritikus diminta “menghadapi karya sastra itu dengan membiarkannya bebas, hidup, bergerak terus secara unik, seakan-akan sebagai suatu pribadi tersendiri, sebagai suatu subyek lain, dan bukan obyek.”

Namun, mereka tidak hanya mengibaratkan karya sastra “seakan-akan sebagai suatu pribadi tersendiri.” Lebih jauh daripada itu. Mereka menyamakan karya sastra dengan sosok pribadi, tepatnya sosok pribadi pengarangnya. “Pada hakikatnya,” kata mereka, “berdialog dengan satu karya sastra bukanlah ‘berdialog’ dengan satu hasil teknik, tetapi dengan pengarangnya sebagai pribadi, bukan dengan sederetan konsep-konsep—seperti bila membaca karya-karya ilmiah—tetapi dengan pengarangnya sebagai subyek yang lain.”

Kritik sastra, dalam pandangan mereka, adalah pertemuan atau dialog antara manusia (kritikus) dan karya sastra (yang dibayangkan bisa “berbicara sendiri”). Dan karya sastra dipandang identik dengan pengarangnya. Mengerjakan kritik sastra berarti berdialog dengan pengarang dari karya yang dikritik. Pandangan mereka terasa menggemakan pemikiran lawas J.E. Tatengkeng tentang kritik sastra. Dalam “Critiek” (1938), Tatengkeng mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertemuan kritikus dengan pengarang. Kritik bersifat subjektif, terikat kepada pribadi.

Pendapat Tatengkeng perihal sifat pribadi kritik sastra bergema pada H.B. Jassin. Dalam “Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia” (1975), Jassin mengatakan “penyelidikan kesusastraan haruslah pribadi sifatnya” dan ia, selaku kritikus, “selalu berusaha untuk dalam semua penyelidikan mengikutsertakan diri pribadi sebagai penghayat sumber-sumber pengalaman estetis yang diungkapkan dalam kesusastraan”. Sikap Jassin itu searah dengan Goenawan dan Arief:

Dalam memberikan kritik terhadap sebuah karya sastra, sang kritik tidak perlu menyembunyikan kepribadiannya dalam metode dan ukuran umum kritik. Yang perlu adakah ia mampu menghidupkan kembali, mengungkapkan kembali secara hidup dan secara utuh pengalamannya ketika ia berada dalam pertemuan dengan satu karya sastra. Dalam pengungkapan kembali itu dalam bentuk karya kritik, yang penting bukanlah kriteria obyektif. Yang penting bukanlah satu keputusan yang bisa disetujui bersama oleh semua orang, melainkan bagaimana ia mempertanggungjawabkan keputusannya itu, satu keputusan yang baginya—mungkin tidak bagi orang lain—satu kebenaran internal yang diyakini. Kritik bukanlah satu penelaahan, bukan penyiasatan, bukan penelitian, tetapi semata-mata kecakapan pengungkapan kembali suatu pengalaman estetik.

Meskipun menolak metode analitis, Goenawan dan Arief tidak sepenuhnya menolak analisis. Mereka menolak analisis terhadap karya (“analisa karya sastra secara dingin”), tetapi menganjurkan analisis terhadap pengalaman kritikus dalam membaca karya. Dalam metode Ganzheit, analisis dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengungkapkan pengalaman estetik kritikus ketika berjumpa dan berdialog dengan karya.

Kritik sastra yang dianjurkan Goenawan dan Arief mengutamakan subjektivitas alih-alih objektivitas. Subjektivitas dilaksanakan kritikus dengan menemui karya lewat “penghayatan langsung, tanpa terlebih dahulu melalui analisa dan pendekatan diskursif.” Dalam penghayatan langsung itu, penilaian terhadap karya sastra “timbul secara spontan, dalam pengalaman pertama yang intens antara manusia dan karya sastra”. Kritik sastra adalah penilaian subjektif. Dengan menomorduakan objektivitas, yang kata M. Saleh Saad merupakan “syarat dan milik penelaahan ilmiah,” Goenawan dan Arief menampik kritik sastra berorientasi ilmiah, kritik sastra sebagai karya ilmiah dalam arti yang umumnya dipahami di kalangan akademis.

Pengutamaan subjektivitas dan penampikan keilmiahan kritik sastra dalam gagasan Goenawan dan Arief itu lagi-lagi mengingatkan kepada Jassin. Bagi Jassin, sebagaimana dikatakannya dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1975), “menghargai kesusastraan adalah selalu subjektif”. Kendati ia seorang akademisi, sang kritikus sastra khawatir dirinya, mengutip “Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia” (1975), “akan menjadi ilmiah dalam arti hanya bekerja dengan otak, padahal kesusastraan adalah suara hati dan penyelidikan kesusastraan bukan hanya pekerjaan otak, tetapi terutama pekerjaan hati.” Sampai batas tertentu, metode Ganzheit dapat dikatakan meneorikan kritik sastra Jassin, tetapi tanpa mengikutkan unsur pedagogis atau didaktiknya.

Pada latar yang lebih luas, metode Ganzheit juga menggemakan “kritik impresionistik” yang dasarnya diletakkan oleh kritikus sastra, esais, dan jurnalis Inggris, William Hazlitt (1778-1830). Menurut Hazlitt, tugas kritik adalah mengomunikasikan perasaan kritikus. Kritikus bukan hakim atau teoretikus, melainkan partisan dan pembujuk. Mengingatkan kepada metode kritik Ganzheit, kritik Hazlitt adalah rekaman tanggapan pribadi terhadap karya yang dibacanya.

Sebagai tanggapan terhadap kubu Ganzheit, S. Effendi menyampaikan makalah “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian Lagi”. Seperti Goenawan dan Arief, Effendi menjawab pertanyaan: “Apakah pembicaraan tentang kesusastraan itu ilmu atau seni?”. Effendi memahami frasa “pembicaraan tentang kesusastraan” dalam dua arti. Pertama: telaah tentang karya sastra atau kajian sastra. Kedua: penilaian tentang karya sastra.

Bagi Effendi, kajian sastra adalah ilmu. Sebagai ilmu, kajian sastra “harus memiliki sejumlah kaidah atau teori dalam validitas tertentu yang dapat dikontrol kebenarannya.” Sementara itu, penilaian tentang karya sastra bukanlah ilmu dan bukan seni, melainkan memiliki dunia sendiri. Penilaian tentang karya sastra bukanlah ilmu karena mengandung unsur objektif maupun subjektif. Bukan pula seni, bukan “penciptaan kreatif intuitif, lepas dari segala kaidah yang tersedia”. Berada di antara ilmu dan seni, penilaian tentang karya sastra adalah apa yang dinamakan kritik sastra. Effendi menyimpulkan: “Kritik sastra bukanlah ilmu dan bukan pula seni. Kritik sastra adalah kritik yang punya dunia sendiri dan lebih cenderung termasuk nonciptasastra.”

Dengan demikian, Effendi memandang kritik sastra berbeda dengan kajian sastra. Kritik sastra berurusan dengan penilaian yang mengandung unsur subjektif maupun objektif, sedangkan kajian sastra berada di ranah ilmu sehingga tentu berorientasi objektif. Berbeda dari Effendi, Goenawan dan Arief tidak membedakan antara kritik sastra dan kajian sastra.

J.U. Nasution menanggapi kubu Ganzheit dengan menyajikan makalah “Pendirian atas Pendirian tentang Kritik Sastra”. Menurut Nasution, karya sastra memiliki sifat khusus atau pribadi (tiap karya sastra bersifat unik) dan juga sifat umum atau universal (bentuk karya sastra bersifat umum). Adanya sifat universal pada sastra menyebabkan “pembahasan kesusastraan secara ilmu haruslah didasarkan kepada teori sastra, yaitu dasar-dasar pengertian sastra, kategori, kriterium dan sebagainya”. Terhadap pertanyaan “apakah kritik sastra itu ilmu atau seni?”, Nasution menjawab tegas: kritik sastra adalah ilmu. Dia mengutip cukup panjang pendapat Rene Wellek dalam Concepts of Criticism (1964), antara lain: “Kritik sastra berkonsep pada ilmu pengetahuan atau bertujuan suatu jenis ilmu pengetahuan. Tujuan akhirnya haruslah didasarkan pada pengetahuan yang sistematis tentang kesusastraan dan bertopang pada teori sastra.”

Jadi, pandangan kubu sastrawan (Goenawan Mohamad dan Arief Budiman) terhadap status kritik sastra tidak jelas: kritik sastra adalah ilmu dan seni, juga bukan ilmu dan bukan seni. Pandangan kubu ilmuwan tidak kalah kontradiktif: kritik sastra adalah ilmu (Nasution) dan bukan ilmu (Effendi). Kedua kubu tampaknya sama-sama bingung menentukan identitas kritik sastra.

Bertentangan dengan metode kritik Ganzheit yang mengutamakan keseluruhan sebuah karya, Nasution memandang keseluruhan maupun bagian sebuah karya sama pentingnya. Arti dan nilai dari keseluruhan sebuah karya ditentukan oleh arti dan nilai bagian-bagian dari karya itu.

Nasution menolak pandangan kubu Ganzheit bahwa kritik sastra adalah pengungkapan kembali pengalaman estetik kritikus ketika berdialog dengan karya, dan bahwa penilaian sastra timbul secara spontan. Pandangan itu dikatakannya “berlaku untuk para peminat atau kritikus dalam tingkat awal”, dan dapat membuat kritik sastra menjadi sekadar cuitan kata hati yang dangkal, “lemparan-lemparan perasaan dan suara-suara raksasa yang terbata-bata”.

Pandangan kubu Ganzheit yang mengidentikkan karya sastra dengan pengarangnya juga ditepis oleh Nasution. Baginya, kritik sastra adalah dialog dengan karya, bukan dialog dengan pengarang. “Menikmati suatu hasil sastra bukan mencari-cari pengarangnya untuk dimasukkan pada suatu kasus,” kata Nasution. Posisi Nasution ini sayup-sayup menggemakan prinsip Kritik Baru (New Criticism) yang menguasai lanskap kritik sastra di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20. Kritik Baru menghendaki pemaknaan karya sastra didasarkan pada analisis teks semata. Makna sebuah karya sastra harus digali dalam teks sastra itu sendiri, tanpa memperhitungkan informasi di luar teks, seperti maksud pengarang atau latar belakang sejarah dan budaya.

Effendi dan Nasution pada dasarnya mempromosikan kritik objektif. Ragam kritik ini mendekati dan menilai karya sastra berdasarkan kaidah atau ukuran objektif-universal yang dapat diberlakukan pada semua karya sastra. Kritikus memperlakukan karya sastra dengan sikap seperti ilmuwan menghadapi objek penelitian.

Kritik objektif yang disodorkan Effendi dan Nasution adalah apa yang dikenal umum sebagai kritik sastra akademis. Jenis kritik sastra ini muncul di Indonesia pada sekitar 1950-an dari kalangan sarjana sastra dan bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Simposium Bahasa dan Kesusastraan di Jakarta pada Oktober 1966, dengan pemakalah dari kalangan akademis, merupakan tonggak penting yang memantapkan kehadiran kritik sastra akademis.

Di seberang mereka, dengan bendera Ganzheit, Goenawan dan Arief pada dasarnya mempromosikan kritik ekspresif. Ragam kritik ini mendekati dan menilai karya sastra dengan menganggapnya sebagai cerminan sosok pribadi pengarang. Kritikus memperlakukan karya dengan sikap simpatik kepada pengarang.

Perdebatan antara pendukung kritik Ganzheit dan pendukung kritik akademis dalam diskusi pada 1968 itu kemudian diramaikan oleh sejumlah penulis di berbagai media cetak. Sampai tahun 1970-an, perdebatan masih berlanjut. Pada 1972, misalnya, M.S. Hutagalung menulis artikel “Kritik Tanpa Ukuran?” di koran Sinar Harapan, menggugat “kritik Gestalt” Arief Budiman.

Pada 1973, kritik sastra akademis beroleh sebutan baru: Kritik sastra aliran Rawamangun. Sebutan ini diberikan oleh M. S. Hutagalung dalam artikelnya, “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”, di harian Kompas. Artikel dibuka dengan pernyataan terang-terangan Hutagalung bahwa perdebatan kritik sastra metode Ganzheit versus metode analitis (atau kritik sastra akademis) adalah perdebatan golongan pengarang versus golongan sarjana dan guru sastra.

“Kritik sastra aliran Rawamangun” tidak diklaim mewakili kritik sastra dari semua akademisi. Hutagalung dengan hati-hati mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “aliran Rawamangun” adalah prinsip kritik sastra yang pada dasarnya dianut oleh dirinya sendiri dan tiga rekannya sesama akademisi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yaitu M. Saleh Saad, Lukman Ali, dan S. Effendi. Meskipun demikian, kritik sastra aliran Rawamangun dapat kita pandang mewakili model umum kritik sastra akademis.

Menurut Hutagalung, kemunculan kritik sastra aliran Rawamangun berhubungan dengan upaya menegakkan identitas pengajaran sastra Indonesia modern di perguruan tinggi, khususnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebelumnya, pengajaran sastra didominasi pendekatan sosio-historis. Karya sastra dibicarakan, tetapi pembicaraan mengutamakan sejarah sastra yang selalu dikaitkan dengan sejarah sosial-politik. Akibatnya, ilmu sastra seakan-akan tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu sosial lain. Kritik sastra aliran Rawamangun merupakan ikhtiar untuk memberikan ciri khas pada ilmu sastra, sekaligus menepis kesangsian para sarjana di bidang lain mengenai keilmiahan ilmu sastra yang sering memasukkan penilaian dan subjektivitas.

Kritik sastra aliran Rawamangun juga ingin memperbaiki “kekacauan penilaian” dalam sastra Indonesia pada masa itu. Kekacauan itu, antara lain: pengajaran sastra didominasi sejarah sosial-politik dan riwayat tokoh tanpa disertai penelitian struktur karya, rumus beku dikembangkan dan diterapkan pada sastra begitu saja, kritik sastra dari kalangan sastrawan terlalu subjektif dan sering hanya membicarakan pribadi pengarang. Kekacauan mencapai puncaknya ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, organisasi kebudayaan yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia)  berkuasa dan ingin “menjungkirbalikkan penilaian dan sejarah sastra Indonesia” dengan menetapkan bahwa ideologi adalah satu-satunya kriteria penilaian. Hutagalung memandang bahwa prinsip aliran Rawamangun yang bereaksi terhadap “kekacauan penilaian” itu muncul dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan 1966, “bertepatan dengan hancurnya Lekra.”

Sama dengan yang disampaikan J.U. Nasution lima tahun sebelumnya, kritik sastra aliran Rawamangun berorientasi objektif, mengutamakan teks sastra sebagai objek penelitian. Kata Hutagalung, “Pusat perhatian peneliti sastra adalah karya sastra itu sendiri. Pengarang, latar belakang sosial, dan sebagainya juga penting untuk memahami sastra, tetapi janganlah sekali-kali menggeser tempat karya itu sendiri.”

Menurut aliran Rawamangun, kritik sastra terutama berurusan dengan penilaian. Bahkan ilmu sastra pun dimulai dengan penilaian, yaitu penentuan mana yang sastra dan mana yang bukan. Ukuran yang digunakan menilai sastra digali dari sastra itu sendiri.

Aliran Rawamangun membedakan penilaian dengan pemahaman atau penikmatan. Untuk memahami dan menikmati sastra, orang bisa mempergunakan informasi dari luar sastra dan kecenderungan pribadinya. Namun, untuk menilai sastra (yaitu melakukan kritik sastra), orang harus berusaha seobjektif mungkin, tidak boleh melibatkan perasaan suka atau tidak suka. Karena hakikat sastra maupun sistem nilai bisa berubah, penilaian sastra tidak mutlak. Meskipun demikian, penilaian sastra juga tidak relatif. “Penilaian kita haruslah menyeluruh melihat segala lapisan yang membangun sastra itu dan melihat kemungkinan-kemungkinan baru (terbuka),” tulis Hutagalung.

Kritik sastra aliran Rawamangun menggunakan analisis sebagai alat untuk memahami struktur karya sastra. Struktur didefinisikan sebagai “organisasi menyeluruh dari cipta sastra itu yang bahu-membahu membangun keseluruhan untuk membangun imaji yang dapat menimbulkan kesan pada penikmat sastra”. Singkatnya, struktur adalah susunan dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan padu sebuah karya.

Hutagalung mengaku, aliran Rawamangun sejak awal meyakini bahwa keseluruhan adalah yang paling penting dalam karya sastra. Keyakinan ini sejalan dengan prinsip metode Ganzheit! Namun, sebentar kemudian, Hutagalung menambahkan bahwa “keseluruhan itu dibangun oleh unsur-unsur yang saling membantu dengan eratnya” sehingga “pada dasarnya kita harus melihat unsur tersebut secara fungsionil dalam tugasnya membangun keseluruhan.” Ternyata, bagi aliran Rawamangun, unsur menentukan keseluruhan. Hal ini berkebalikan dengan pandangan aliran Ganzheit bahwa keseluruhan menentukan unsur. Sebagaimana diilustrasikan oleh Arief Budiman dalam “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni”, dua nada yang sama dalam dua lagu yang berbeda tidaklah sama, karena keseluruhan/totalitas masing-masing lagu memberikan warna yang berbeda pada dua nada itu. “Totalitaslah yang menentukan unsur,” tegas Goenawan Mohamad dalam “Catatan Diskusi Horison: Dari Warna Ungu Cerita Pendek s.d. Sajak-Sajak Diafan.”

Menepis tudingan pendukung aliran Ganzheit, Hutagalung mengatakan kritik sastra aliran Rawamangun “bukan bertujuan meneliti unsur-unsur terkecil secara terpisah-pisah, tetapi dalam fungsi unsur-unsur itu”. Aliran Rawamangun, tambahnya, “beranggapan bahwa sastra itu bukan hanya sekedar isi saja yang lepas dari unsur-unsur formilnya”. Pendapat terakhir ini kiranya bisa disetujui kubu Ganzheit! Dalam “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian”, Goenawan Mohamad dan Arief Budiman menentang kritik sastra yang membicarakan isi dan bentuk karya sastra secara terpisah. Pada karya sastra, kata mereka, “isi dan bentuk adalah satu, merupakan ekspresi utuh dari sesuatu yang menyebabkan apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya padu dan tunggal”. Meskipun bertentangan, kritik sastra Ganzheit dan Rawamangun berbagi titik persamaan tertentu.

Kritik sastra aliran Rawamangun berorientasi ilmiah. Orientasi ini biasanya terlihat pada penggunaan sistematika dan metode ilmiah serta argumentasi yang bersandar pada teori sastra atau pendapat pakar sastra. Secara umum, kritik sastra aliran Rawamangun diasosiasikan dengan karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal ilmiah, laporan penelitian ilmiah, dan makalah seminar akademis. Meskipun demikian, pendukung aliran ini juga menulis kritik sastra populer di surat kabar dan majalah. M.S. Hutagalung, misalnya, banyak menyiarkan kritik sastra di media massa, sebagian kemudian dibukukan.

Perdebatan kritik sastra Ganzheit vs Rawamangun mengingatkan pada masalah yang menyertai proses profesionalisasi kritikus sastra di Inggris mulai akhir abad ke-19. Dalam “The British ‘Man of Letters’ dan the Rise of the Professionals” (2000), Josephine M. Guy dan Ian Small membahas sejarah perpindahan pusat kekuasaan kritik sastra dari kalangan “kritikus amatir” (biasanya sastrawan) ke kalangan “kritikus profesional” akademis di universitas. Tuntutan spesialisasi di segala bidang, sebagai akibat dari perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, menimbulkan profesionalisasi. Kritikus sastra pun menjadi profesi yang dihasilkan universitas. Agar sesuai dengan paradigma ilmiah universitas, tugas utama kritik sastra akademis adalah mengeksplisitkan atau memformalkan pengetahuan yang mendasari penilaian sastra.

Kalangan kritikus di luar tembok akademi menentang profesionalisasi kritikus itu. Mereka menolak spesialisasi di bidang kritik sastra, khususnya asumsi profesional bahwa penilaian sastra melibatkan pengetahuan khusus, dan kritik sastra bertugas memformalkan dan menyediakan pengetahuan khusus itu. Sebagai tandingan, kritikus non-akademis mendasarkan penilaian sastra pada pengetahuan dan pengalaman “umum” (tidak terspesialisasi). Banyak kritik amatir mengedepankan segi moral penilaian sastra, karena pengetahuan moral bersifat umum.

Muncul ketika akademi sastra sedang mencari identitasnya, kritrik sastra aliran Rawamangun dapat dipandang sebagai tanda awal kehadiran arus profesionalisasi yang melembagakan kritik dan kritikus akademis di Indonesia. Seperti di Inggris seabad sebelumnya, profesionalisasi ini di Indonesia rupanya ditentang kalangan “kritikus amatir” di luar kampus, terutama mereka yang merangkap sebagai sastrawan atau yang dekat dengan sastrawan. Gagasan tentang metode kritik Ganzheit adalah gejala penentangan tersebut.

Perdebatan kritik sastra Ganzheit vs Rawamangun menyiratkan tegangan antara keumuman dan kekhususan norma atau kriteria sastra. Di satu kutub, diwakili aliran Ganzheit, ada kebutuhan untuk menjunjung keunikan sastra. Di kutub lain, diwakili aliran Rawamangun, ada keinginan akan fondasi stabil untuk menilai sastra.

Pada masa sekarang, hampir semua penulis kritik sastra di Indonesia adalah lulusan atau jebolan perguruan tinggi, tidak sedikit di antaranya sarjana sastra. Mereka tentu terlatih dan terbiasa menulis karya ilmiah akademis. Akibatnya, kebanyakan kritik sastra mutakhir cenderung ditulis dengan model kritik sastra aliran Rawamangun yang berorientasi objektif-ilmiah, meskipun tidak selalu berfokus pada struktur intrinsik karya seperti yang dianjurkan pendukung aliran itu. Dalam arti tertentu, kritik sastra aliran Rawamangun kini mendominasi panorama kritik sastra Indonesia, terutama jika kita memperhitungkan kritik sastra akademis dari lembaga ilmu (skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal ilmiah dan sebagainya) yang pasti jauh lebih banyak daripada kritik sastra populer di media massa dan bahkan media sosial. Namun, bukan berarti kritik sastra Ganzheit tidak relevan lagi pada era kontemporer.

Sayup-sayup, saya seperti mendengar gema metode Ganzheit dalam pemikiran kritik mutakhir: Pascakritik (Postcritique). Gagasan tentang Pascakritik dilontarkan oleh Bruno Latour, Rita Felski, Eve Sedgwick, Toril Moi dan lain-lain sejak 2000-an. Pada dasarnya, Pascakritik berusaha menemukan cara pembacaan teks yang menawarkan alternatif terhadap kerja standar kritik. Alih-alih menganalisis teks untuk mengungkapkan makna atau kebenaran yang dicurigai tersembunyi dalam teks (hermeneutika kecurigaan), Pascakritik berfokus pada bagaimana kritikus terlibat dengan teks. Mengingatkan kepada metode Ganzheit, pengalaman estetis pribadi kritikus ketika membaca teks berada di jantung Pascakritik.

Serupa pula dengan metode Ganzheit, Pascakritik menampik pretensi ilmiah dalam kritik sastra. Menurut Toril Moi dalam “Nothing is Hidden” (2017), kritik sastra adalah praktik pembacaan yang sesungguhnya tidak memiliki “metode” dalam pengertian sebagaimana metode dalam sains dan ilmu sosial, yaitu strategi eksplisit untuk menghasilkan pengetahuan baru. Oleh sebab itulah kritikus sastra sering kesulitan menjelaskan “metode”-nya kepada kalangan ilmiah di luar disiplin sastra.  Ketika menjelaskan kritik sastra aliran Rawamangun pada 1973, M.S. Hutagalung sebenarnya sudah mengakui problem itu: “dari sarjana bidang-bidang lain timbul kesangsian akan keilmiahan ilmu sastra.”

Perdebatan kritik sastra Ganzheit vs Rawamangun mungkin adalah polemik tentang kritik sastra yang berlangsung paling lama dan paling intens dalam sejarah sastra Indonesia modern. Anggaplah perdebatan berawal dari esai Goenawan Mohamad tentang Ganzheit pada 1965. M.S. Hutagalung, pada kalimat pertama esai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun” bertahun 1973, menginformasikan bahwa “perdebatan mengenai metode kritik sastra pada khususnya, metode pendekatan sastra pada umumnya masih hangat sampai kini”. Artinya, polemik kritik sastra itu telah bergulir sekurang-kurangnya delapan tahun! Luar biasa.

Setelah Ganzheit vs Rawamangun, dunia sastra Indonesia hampir tidak menyaksikan lagi perdebatan tentang kritik sastra yang sefenomenal itu. Bahkan praktis tidak ada lontaran gagasan tentang kritik sastra yang merebut banyak perhatian. Ketimbang mempersoalkan apa dan bagaimana kritik sastra, dunia sastra Indonesia tampak lebih mengharapkan kehadiran kritik sastra, apa pun dan bagaimana pun wujudnya. Harapan itu tersirat di balik isu yang berulang kali muncul tentang ketimpangan antara tingginya produksi karya sastra dan rendahnya produksi kritik sastra, kelangkaan kritik sastra, bahkan krisis kritik sastra.

Bukan berarti tidak ada tawaran gagasan tentang kritik sastra. Budi Darma, misalnya, menulis sejumlah esai tentang kritik sastra. Juga saya sendiri.

Dalam Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang pada 2010, saya melontarkan gagasan “kritik sastra sebagai seni”. Pada era pasca-Barthes, kritik sastra dapat bekerja dalam paradigma seni, yaitu penciptaan makna. Alih-alih mencari makna orisinal yang diandaikan terpendam dalam karya sastra, kritikus dapat memberikan makna baru pada karya. Ia dapat memperlakukan karya sebagai bahan mentah untuk menciptakan karya baru yang berasal dari, tetapi berdiri sejajar dengan, karya sastra yang ditelaah. Kritik sastra dapat memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif. Pada 2011, gagasan ini saya kemukakan lagi di koran Kompas, dan memicu reaksi dari sejumlah penulis.

Terbaru, gagasan tentang kritik sastra dilontarkan oleh Martin Suryajaya dalam Penyair sebagai Mesin (2023). Martin menampik definisi kritik sastra sebagaimana dirumuskan H.B. Jassin dalam “Kritik”: “Kritik kesusastraan ialah pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.” Ia justru mengusulkan agar kritikus, pada era Kecerdasan Buatan sekarang, tidak lagi berperan memilah karya yang baik dari karya yang buruk. “Peran kritikus adalah memperlihatkan bahwa setiap karya, betapa pun jeleknya pada pengamatan pertama, memiliki sebuah kriteria evaluasi yang membuatnya indah sekali dan, sebaliknya, memperlihatkan bahwa setiap karya, betapa pun indahnya pada pengamatan pertama, memiliki sebuah kriteria evaluasi yang membuatnya jelek sekali,” katanya. Dengan kata lain, penilaian sastra adalah relatif. Atau lebih jauh lagi: kritik sastra bukan lagi soal penilaian, melainkan perkara sudut pandang. Martin tampak mengusulkan semacam demokratisasi kritik sastra.

Hemat saya, pembicaraan tentang kritik sastra tidak kalah penting dengan kritik sastra itu sendiri. Problem yang diidap kritik sastra dapat terungkap dan syukur-syukur dihilangkan jika kritik sastra tidak hanya diharapkan, tetapi juga dipersoalkan. Problem dalam kritik sastra bermuatan ideologis, misalnya. Sebagai contoh, kritik Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca-1965 (2013) menunjukkan bahwa kritik ideologis terhadap karya sastra bisa tergelincir menjadi kritik moral terhadap pengarang. Wijaya menganalisis sejumlah cerpen bertema tragedi pembantaian massal 1965 dan menyimpulkan para pengarangnya terlibat dalam kejahatan kemanusiaan lantaran karya mereka dianggap membenarkan kekerasan terhadap tersangka komunis. Problem kerancuan antara kritik ideologis terhadap karya dan kritik moral terhadap pengarang seperti itu juga tampak membayangi sejumlah kritik sastra mutakhir kita yang menerapkan teori pascakolonial. Kritik tentang kritik dapat menjadi semacam terapi untuk “menyehatkan” kerja-kerja kritik sastra.

Pemikiran mengenai kritik sastra, termasuk gagasan tentang kritik maupun kritik tentang kritik, menyediakan umpan balik untuk merenungkan prinsip dan praktik kritik sastra yang ada atau pun meretas jalan kritik baru. Sebuah sarana untuk memajukan kritik sastra, dan pada gilirannya kemudian memajukan kreasi sastra.

Esai31 Desember 2023

Arif Bagus Prasetyo


Arif Bagus Prasetyo dikenal luas sebagai kritikus sastra dan seni rupa, penyair angkatan 2000-an, kurator lukisan, dan ahli penerjemahan yang meraih berbagai penghargaan. Kini ia menetap di Bali. Sebagai kritikus, Arif meraih berbagai penghargaan untuk karya kritiknya, antara lain Pemenang I Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007, Anugerah “Widya Pataka” 2009 dari Pemerintah Provinsi Bali, serta Anugerah Puisi CSH 2009. Dalam bidang penerjemahan, ia telah menerjemahkan lebih dari 20 buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di berbagai antologi puisi. Buku terbarunya, Saksi Kata: 18 Esai Sastra (2021).