“Ja, ik, Multatuli ‘die veel gedragen heb’ neem de pen op.
Ik vraag geen verschoning voor de vorm van myn boek.
Die vorm kwam my geschikt voor ter bereiking van myn doel.”
(Multatuli, Max Havelaar)
Pendapat bahwa Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda[1] adalah sebuah novel antikolonial, saya kira, hanya akan dilontarkan oleh orang-orang yang tidak membaca novel itu secara teliti dan komprehensif. Atau, mereka yang justru dengan sadar melibatkan diri dalam mistifikasi terhadap novel tersebut dan sosok pengarangnya Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker.
Saya sepakat dengan kesimpulan Rob Nieuwenhuys, bahwa tidak ada satu pun cuplikan yang bisa diambil dari novel Max Havelaar yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa Douwes Dekker menolak kolonialisme seperti yang digembar-gemborkan oleh para pemujanya, kecuali barangkali beberapa kalimat yang sifatnya umum dan tidak tegas.[2]
Memang tidak terbantahkan kalau novel ini memiliki pengaruh yang besar. Bukan saja karena ia telah “mengguncang” masyarakat Belanda[3] tidak lama setelah diterbitkan oleh De Ruyter pada 1860 dan ikut berandil membuat pemerintah Belanda menimbang ulang kebijakan mereka di tanah jajahan, tetapi juga bernapas panjang. Setidaknya hingga kini, 162 tahun setelah penerbitannya, ia telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, masih terus diperbincangkan dan dikaji dengan berbagai pendekatan dan teori—termasuk dalam tulisan ini.
Selain dipandang sebagai buku yang membakar kesadaran politik dan menggugah moralitas khalayak Belanda, Max Havelaar juga disanjung-sanjung sebagai pencapaian baru sastra Belanda pada masanya, “yang ditulis dengan bahasa Belanda yang hidup” dalam gaya baru[4] yang belum pernah ditulis sebelumnya.
Seperti diakui oleh Nieuwenhuys, berkat isinya yang “menampilkan” perjuangan tokoh utama Max Havelaar membela kepentingan rakyat tanah jajahan yang tertindas, novel ini kemudian seakan-akan menjadi sebuah buku yang telah dinanti-nantikan oleh negeri Belanda dan berisi suatu pesan kepada rakyat Belanda. Lebih lanjut Niewenhuys menulis,
Setelah penerbitan buku Max Havelaar, maka pengarang Multatuli benar-benar dijunjung tinggi oleh mahasiswa-mahasiwa Akademi Pemerintahan di Negeri Belanda sebagai seorang pahlawan yang tak terkalahkan. Dan siapa yang berangkat ke Hindia Belanda pasti membawa buku Max Havelaar di dalam bagasinya atau menyimpannya di dalam ingatan.[5]
Pemujaan terhadap sosok Multatuli alias Douwes Dekker dan novelnya ini bahkan bukan hanya terjadi di Belanda, melainkan juga di Indonesia sampai hari ini. Apabila di Belanda sosok Multatuli sebagai “pejabat kolonial yang peduli kepada nasib rakyat koloni” seolah-olah telah jadi penyelamat muka kolonialisme Belanda, di Indonesia ia pun lazim dipandang sebagai orang Belanda pertama yang menentang penjajahan dan kerap diperlakukan bagaikan seorang pahlawan.[6]
Bahkan Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, tidak segan-segan melabeli novel Max Havelaar sebagai buku yang telah membunuh kolonialisme lewat esainya “Best Story; The Book That Killed Colonialism” di New York Times Magazine, 18 April 1999.[7]
Kuatnya propaganda dengan berbagai kepentingan politis maupun sekadar kepentingan pariwisata (di masa kini)—atau kesalahpahaman interpretasi atas teks Max Havelaar dan sosok Multatuli—yang terus-menerus direproduksi inilah kiranya yang menempatkan novel tersebut juga pengarangnya sebagai mitos par excellence dan ikon antikolonial sedemikian rupa, seakan-akan apa yang disampaikan novel itu seluruhnya benar-benar fakta historis yang teruji. Pengarangnya dianggap telah melakukan sebuah tindakan revolusioner yang hendak mematahkan sistem kolonial di era Tanam Paksa.
Atas alasan inilah, penelusuran terhadap riwayat hidup pengarang serta sejarah peristiwa yang diangkatnya ke dalam novel bagi saya menjadi sama pentingnya dengan analisis tekstual melalui pembacaan dekat atas novel itu sendiri, bahkan boleh dibilang sebagai hal yang tidak terelakkan.
Sebagai sebuah novel autobiografis, Max Havelaar memang sengaja ditulis sebagai “pledoi” sang pengarang untuk merehabilitasi nama dan kehormatannya karena merasa telah diperlakukan secara tidak adil oleh atasannya, selain tentu saja—sebagaimana diungkapkan author-narrator Multatuli pada penutup novel—untuk menunjukkan kepada khalayak Belanda (yang menjadi sasaran pembaca novelnya) bahwa orang Jawa telah ditindas.[8]
Tujuan atau maksud penulisan novel Max Havelaar yang tersebutkan di atas belum lagi ditambah dengan kepentingan politik praktis Dekker, yakni untuk memperoleh jabatan lebih tinggi dalam pemerintahan kolonial Belanda seperti yang dikemukakan oleh Darren C. Zooklewat “Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History and the Confusion of Empire”.
Kisah Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dalam bentuk novel metafiksi yang multifokalisasi, di mana antar naratornya kadang-kadang saling menyela dalam narasi. Bentuk ini adalah pilihan sadar Dekker, yang mana melalui suara Multatuli pada bab terakhir dikatakannya sebagai bentuk yang “[…] aku rasa baik untuk mencapai tujuanku.”[9]
Apa itu novel metafiksi? Secara sederhana, karya metafiksi dapat dipahami sebagai karya yang menyadari dirinya sebagai fiksi dan secara sistematis menaruh perhatian atas statusnya sebagai suatu artefak dalam rangka mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara fiksi dan realitas.[10] Adapun ciri-ciri umum karya metafiksi menurut Waugh, antara lain: (1) Perayaan atas daya imajinasi kreatif serta ketidakpastian tentang validitas representasinya, (2) Kesadaran ekstrem terhadap bahasa, bentuk kesusastraan dan penulisan fiksi, serta (3) Ketidakmantapan hubungan fiksi dan kenyataan.
Karena itu, novel metafiksi secara unik cenderung menciptakan sebuah fiksi seraya membuat pernyataan soal penciptaan fiksi.[11] Masuknya pengarang ke dalam narasi untuk melakukan campur tangan terhadap jalan cerita atau terlibat langsung dengan para karakter, misalnya, adalah satu hal yang kerap kita temukan pada novel jenis ini.
Kendati istilah “metafiksi” sendiri baru diperkenalkan secara luas oleh William H Gass pada 1970 lewat bukunya Fiction and the Figures of Life,[12] tetapi karakteristik novel metafiksi boleh dibilang tampak cukup kentara pada Max Havelaar sejak bab pertama yang dibuka oleh suara Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi di Amsterdam dengan keinginannya menulis sebuah roman.
Saya adalah makelar kopi, tinggal di Lauriergracht No.37. Bukanlah kebiasaan saya menulis roman atau semacam itu, dan karena itu lama juga saya berpikir sebelum saya putuskan untuk membeli beberapa rim kertas ekstra, dan memulai karya yang barusan anda pegang, pembaca yang budiman, karya yang harus anda baca, kalau anda makelar kopi, atau mempunyai pekerjaan lain. Bukan saja saya belum pernah menulis sesuatu yang serupa dengan roman, tapi malahan saya tidak suka membaca yang semacam itu karena saya adalah seorang pedagang. (Max Havelaar, 1)
Cara pembukaan novel yang dituturkan langsung oleh Droogstoppel ini menunjukkan kepada kita adanya kesadaran ekstrem akan proses penulisan fiksi, ketika ia seakan mengambil posisi sebagai seorang narator-pengarang yang selama beberapa waktu akan membuat para pembaca berpikir bahwa ialah penyampai utama cerita yang memiliki otoritas penuh atas jalannya kisah.
Pada bab penghabisan barulah kita mengetahui bahwa Droogstoppel cuma salah satu dari tiga narator. Posisinya ternyata hanyalah seorang narator tingkat kedua berjenis character-narrator, yang tidak punya kekuasaan apa-apa atas narasi selain sekadar dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan tujuan oleh narator-pengarang sesungguhnya, yakni Multatuli yang tidak lain adalah nama samaran sekaligus salah satu alter-ego dari Eduard Douwes Dekker.
Hal ini terlihat ketika seluruh peranan yang dimainkan oleh Droogstoppel sebagai narator sejak awal dalam narasi, termasuk memberi peran kepada narator lain yaitu Ernst Stern (yang di sini menjadi narator-karakter tingkat ketiga) untuk menulis novel, tiba-tiba dilucuti begitu saja oleh Multatuli sang narator utama. Karena itu, walaupun ia dibuat masih mencoba menyela narator-pengarang di penghujung novel, ia tidaklah lebih dari salah satu tokoh ciptaan dalam novel seperti Stern dan tokoh-tokoh lainnya.
Kemunculan mendadak Multatuli sebagai narator-pengarang untuk membebaskan Stern dan Droogstoppel dari tugas narator maupun untuk menyampaikan maksud dari penulisan novel Max Havelaar ini tentu saja semakin memperkuat metafiksionalitas novel tersebut. Lantaran kehadirannya yang singkat itu seperti hendak mempertegas “campur tangan pengarang dalam narasi” dan “pernyataan tentang penciptaan fiksi” yang menjadi ciri khas karya metafiksi.
Keberadaan tiga narator dengan fokalisasi masing-masing yang tampak saling bertolak belakang dan menghadirkan cerita berbingkai (atau cerita dalam cerita) tersebut barangkali bisa kita katakan sebuah strategi naratif yang cukup kompleks dari sisi bentuk, setidaknya untuk genre novel pada zamannya.[13] Akan tetapi, pertanyaannya kemudian, apakah bentuk yang dipilih Dekker sebagai “gayaku, itulah aku” ini hanyalah sebatas kesadaran akan teknik/gaya ungkap, atau ia memang relevan bagi Dekker dalam menyampaikan tujuan?
Bukankah Batavus Droogstoppel dan Ernst Stern sebetulnya hanya karakter-karakter yang diciptakan untuk mendukung penokohan Max Havelaar yang dipenuhi dengan penyanjungan?
Melalui pendapat dan pernyataannya tentang dirinya sendiri maupun para karakter lain dan beragam perkara, Droogstoppel ditampilkan Dekker sebagai sesosok lelaki dari masyarakat menengah ke atas Belanda yang hanya peduli kepada bisnis (penjualan kopi dan bursa)—juga (pseudo-) kesalehan ala agamanya.
Sebagaimana Droogstoppel sebagai narator-karakter mengungkapkannya, maksud dan tujuan makelar kopi ini menjadikan naskah yang dikirimkan oleh Sjaalman kepadanya sebagai sebuah novel tentu saja tidak ada hubungan dengan kepentingan sastra ataupun ketertarikan dan simpatinya atas perjuangan tokoh Max Havelaar “membela” rakyat inlander yang papa akibat penindasan. Semua itu semata-mata karena ia melihat adanya informasi berharga dari bungkusan naskah teman lamanya terkait dengan pekerjaaannya dalam bisnis pelelangan kopi. Kopi adalah hasil tanaman yang paling menguntungkan di bawah sistem Tanam Paksa sehingga paling akhir dihentikan, yakni pada 1917, empat puluh tujuh tahun setelah Undang-undang Agraria mencanangkan matinya sistem itu. Simaklah dua kutipan di bawah ini:
Hati saya melonjak, karena saya makelar kopi (Lauriergracht No.37) dan Menado adalah suatu merek yang baik.Jadi, Sjaalman yang menulis sajak-sajak cabul itu pernah bekerja dalam perusahaan kopi. Pandangan saya terhadap bungkusan itu jadi berobah. Saya menemukan karangan-karangan yang tidak saya mengerti seluruhnya, tapi yang sungguh memperlihatkan pengetahuan soal. Ada daftar-daftar,pemberitahuan-pemberitahuan, perhitungan-perhitungan dengan angka-angka yang sama sekali tidak memakai sanjak, dan semuanya itu dikerjakan dengan ketelitian dan kehati-hatian […] (Max Havelaar, 29)
Saya selalu merenungkan buku saya, tapi karena saya cinta kebenaran, terus terang saya katakan, bahwa saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Satu hal sudah pasti: bahan-bahan yang saya temukan dalam bungkusan Sjaalman, penting untuk makelar kopi. Soalnya hanya, bagaimana saya harus memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan baik; tiap makelar tahu betapa pentingnya menyusun partai-partai dengan baik.
Tapi, menulis, kecuali surat-menyurat dengan principal, bukanlah keahlian saya, namun demikian saya merasa bahwa saya harus menulis, mungkin karena masa depan vak saya tergantung daripadanya. Keterangan-keterangan yang saya temukan dalam berkas-berkas Sjaalman, tidak hanya berguna untuk Last & Co saja; kalau hanya berguna untuk Last & Co saja, tentu saya tidak bersusah payah untuk mencetak buku, yang juga akan dibaca oleh Busselinck & Waterman, sebab barang siapa yang menolong saingannya, adalah seorang gila; itu prinsip saya yang tegas. Tidak, saya menyadari bahaya yang mengancam seluruh pasaran kopi dengan kerusakan; —suatu bahaya yang hanya dapat dielakkan dengan mempersatukan tenaga semua makelar, malahan mungkin tenaga-tenaga itu tidak cukup kuat untuk itu, dan perlu diikutsertakan rafinadeur dan pedagang-pedagang nila […] (Max Havelaar, 41)
Intinya, berbagai informasi mengenai produksi kopi di Hindia Belanda dari naskah Sjaalman itu demikian penting di mata Droogstoppel dan dianggapnya bermanfaat luas bagi kemaslahatan negeri Belanda, mulai dari perusahaan pelayaran sampai pekerja kebun, dari pemilik kincir dan pendeta sampai Raja Belanda.
Itu sebabnya, meskipun berkali-kali dengan sinis dan penuh kebencian mencemooh karya sastra baik novel, puisi maupun drama yang dianggapnya tidak berguna dan penuh dengan kebohongan berbahaya,[14]ia tetap bertekad untuk menerbitkan bagian-bagian yang berguna dari naskah Sjaalman dengan menugaskan Ernst Stern, seorang pemuda Jerman putra langganannya yang sedang magang di kantornya untuk menulis ulang naskah tersebut dibantu oleh Frits putranya sendiri dan Marie putrinya yang bertugas menyalin.
Tidak hanya dideskripsikan (atau mendeskripsikan diri) sebagai pembenci karya sastra, dengan jelas Droogstoppel juga mengemukakan kebenciannya kepada orang miskin. Ia memahami kemiskinan sebagai akibat dari ketidaktaatan beragama dan sifat seseorang yang kurang baik. Karena itu, baginya orang-orang miskin tidak lain adalah kaum pemalas dan pendosa yang jauh dari karunia Tuhan. Logika berpikir Droogstoppel yang khas ini disamping bertolak dari caranya mengukur status seseorang yang selalu berdasarkan materi, tampaknya juga dipengaruhi (atau setidaknya dibungkus) oleh khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Pendeta Wawelaar di gereja.
Alasan inilah yang membuatnya tidak menyukai Sjaalman yang tampak melarat, bahkan sudah merasa tidak nyaman dan mencoba menghindari lelaki bersyal itu sejak pertemuan kembali mereka pertama kalinya di depan sebuah toko buku.
Saya ceritakan, bahkan kami tiga belas orang di kantor, dan bahwa kami sibuk. Lalu saya tanyakan dia, apa kabarnya; kemudian saya menyesal telah memajukan pertanyaan itu, sebab ia rupanya dalam keadaan tidak begitu baik, dan saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya kemiskinan itu karena salah sendiri; Tuhan tidak akan meninggalkan orang yang mengabdi kepadanya dengan setia. (Max Havelaar, 12-13)
Kegusaran Droogstoppel—yang tidak henti-hentinya mencitrakan diri sebagai orang baik yang saleh dan cinta kebenaran—kepada kaum miskin ini bisa kita temukan berkali-kali sepanjang novel ketika ia mengambil alih fokalisasi dari Ernst Stern. Bahkan keyakinannya bahwa Sjaalman adalah seorang bertabiat kurang baik semakin menguat selepas ia bertemu dan dijamu seorang mantan residen kaya-raya yang mengaku kenal Sjaalman dan menceritakan kepadanya kelakuan Sjaalman yang tidak beres di Hindia Belanda. Akibatnya Droogstoppel pun menyimpulkan bahwa orang baik dan rajin pasti akan berhasil di Hindia, sementara orang malas dan berkelakuan buruk bakal pulang sebagai orang yang menyedihkan.
Namun begitu ia juga beranggapan bahwa “orang miskin harus ada, itu perlu dalam masyarakat; asal dia jangan minta-minta dan tidak mengganggu siapa-siapa”.[15] Karena itu kaum miskin seperti rakyat jajahan di Jawa yang kafir,—menurut ia—harus diselamatkan dari neraka dengan disuruh kerja rodi, terutama dengan menanam kopi. Sebab bekerja keras akan memudahkan orang-orang kafir itu untuk menerima kebenaran Kristen.
Perhatikanlah kata-kata Droogstoppel berikut yang kiranya menunjukkan dukungannya terhadap pelaksanaan sistem Tanam Paksa:
Bukankah Injil barang yang paling mulia? Adakah yang lebih tinggi dari pada kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja,—saya sendiri dua puluh tahun mengunjungi bursa,—bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar dalam api neraka? Itulah ketamakan, ketamakan yang keji, jika kita tidak melakukan segala usaha supaya orang-orang malang yang sesat itu jangan mengalami masa depan yang dashyat, yang digambarkan oleh Pendeta Wawelaar dengan begitu fasih. Seorang perempuan jatuh pingsan, ketika ia bercerita tentang seorang anak kecil berkulit hitam; barangkali ia mempunyai anak yang kulitnya agak hitam; memang perempuan begitu. (Max Havelaar, 144)
Saya akan kemukakan di sini beberapa keping dari khotbahnya, yang sangat menarik, sebab dari pidato Wawelaarlah saya memetik pendapat bahwa penghentian peraturan penanaman kopi di Lebak tidak sah, hal ini akan saya bicarakan nanti, lagipula sebagai orang yang jujur saya tidak mau pembaca tidak akan menerima apa-apa untuk wang yang dikeluarkannya. (Max Havelaar, 139)
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, pandangan paternalistik dan orientalis khas bangsa kulit putih terhadap rakyat jajahan yang dikemukakan dengan penuh keyakinan oleh Droogstoppel ini tidak hanya merupakan pemikiran pribadinya sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh misi zending pada masa itu yang didengarnya dari Pendeta Wawelaar, yang menganggap bahwa para penduduk di tanah jajahan harus diselamatkan dengan dikenalkan kepada agama yang benar, yakni agama Kristen.
Selama berabad-abad, dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misi penyebaran agama Kristen ini telah menjadi salah satu pembenaran praktik kolonialisme. Bahkan dapat dibilang sebagai salah satu dari tiga semboyan pendorong penjelajahan samudra bangsa Eropa termashyur yang “memunculkan” praktik kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory, Gospel.
Itu sebabnya dalam khotbah-khotbah Pendeta Wawelaar, diyakini betul bahwa bangsa Belanda—yang beradab dan makmur karena kekristenannya—memikul tugas suci dari Tuhan untuk membawa peradaban, pengetahuan, dan agama kepada orang Jawa yang tersesat lewat praktik kolonialisme. Perhatikan kutipan dari khotbah sang pendeta yang memperlihatkan secara jelas sikap ini:
Tapi, para Kekasih, Pendeta Wawelaar meneruskan, Tuhan adalah Tuhan cinta kasih. Ia tidak mau orang berdosa jadi binasa, tapi supaya ia bahagia dengan anugerah, di dalam Kristus, oleh kepercayaan! Karena itulah negeri Belanda terpilih untuk menyelamatkan apa-apa yang dapat diselamatkan dari orang-orang yang celaka itu. Untuk itu Ia, dalam kebijaksanaanNya yang tidak dapat diduga, memberikan kekuasaan kepada sebuah negeri yang kecil, tapi besar dan kuat karena pengetahuannya akan Tuhan, untuk menguasai penduduk daerah-daerah itu, supaya mereka dapat diselamatkan dari azab neraka oleh Injil yang suci dan mulia. Kapal-kapal negeri Belanda melayari samudera luas, dan membawa peradaban, kekristenan, kepada orang Jawa yang tersesat.
Tidak, negeri Belanda yang bahagia, tidak menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri; kita juga ingin membaginya kepada orang-orang yang celaka di pantai-pantai yang jauh, orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, tahyul, dan kecabulan. (Max Havelaar, 141-142)
Sebagai fenomena politik, kolonialisme sesungguhnya dibangun di atas “imajinasi kolonial” (colonial imagination) tentang wilayah, orang dan budaya terjajah. Hal ini lantaran dalam eksploitasinya terhadap tanah jajahan dan para penghuninya, kolonialisme selalu menyertai diri dengan produksi pengetahuan kolonial yang lebih kerap bias dan manipulatif tentang masyarakat wilayah tersebut, yang ditulis semata-mata untuk melayani kepentingan sang penjajah. Dalam mendeskripsikan masyarakat jajahan, kaum kolonial seolah-olah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Mereka menamakan, mencirikan, mengaji masyarakat terjajah tersebut dalam kerangka kerja bahasa dan aturan-aturan kolonial.
Karena itu, kawasan Timur yang selalu dianggap oleh orang Eropa sebagai daerah jajahan mereka yang terbesar, terkaya dan tertua, tidak hanya sekadar menjadi wilayah secara geografis dan lawan Barat dalam budaya dan struktur bahasa; tetapi ia adalah sesuatu yang dibakukan oleh perspektif Barat (atau meminjam Edward W. Said, “Ditimurkan”).[16]
Untuk itu, digunakanlah dua cara yang saling menguatkan. Pertama, menciptakan wacana kolonial tentang dunia Timur sebagai identifikasi. Kedua, mengaduk struktur ciptaan mereka dengan tatanan masyarakat Timur dengan dalih pemberadaban yang direpresentasikan sebagai tanggung jawab kemanusiaan, bahkan tugas suci.
Penciptaan mitos “pribumi malas”, “orang Asia pembohong”, “otak orang kulit hitam kurang berkembang”, termasuk di sini citra tentang “orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, takhayul, dan kecabulan” dalam khotbah Pendeta Wawelaar di atas, adalah contoh dari wacana kolonial yang diikuti oleh serangkaian diskursus moral misi pemberadaban (civilising mission).[17]
Wacana kolonial (colonial discourse)adalah sebuah istilah diperkenalkan oleh Said lewat bukunya yang fenomenal, Orientalisme (1978). Istilah ini dikembangkannya dari pemikiran Michel Foucault tentang discourse dalam The Archeology of Knowledgedan Disciplin and Punish. Seperti yang dikatakan Said,
[…] gagasan tentang wacana yang dicetuskan Foucault ini sangat relevan untuk diterapkan guna mengindetifikasi kajian Orientalisme. Tanpa mengkaji Orientalisme sebagai sebuah diskursus, maka kita tidak mungkin bisa memahami disiplin keilmuan yang sangat sistematis ini yang dengannya kebudayaan Eropa mampu menangani—bahkan—menciptakan—dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan.[18]
Sebagai wacana tidak bebas nilai, orientalisme menempatkan sosiokultural masyarakat jajahan sebagai dunia yang asing, sebuah dunia baru yang benar-benar berbeda jauh dengan dunia si penjajah. Dalam kajian-kajian para orientalis, perbedaan Barat dan Timur ini ditegaskan sedemikian rupa secara ontologis dan epistemologis, dengan menempatkan Barat pada posisi superior atas Timur yang direpresentasikan sebagai subjek inferior yang terbelakang dan barbar, tidak rasional, penuh takhayul, dan tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri.
Timur (atau secara lebih luas dunia non-Eropa) tidak hadir secara langsung dalam teks-teks para orientalis. Timur adalah dunia yang dihadirkan oleh Barat—setelah mengalami distorsi dengan berbagai kepentingan. Karena itu, para orientalis Barat yang menghadirkan kembali Timur kepada para pembacanya senantiasa berada di luar dunia Timur, baik secara eksistensial maupun moral.
Singkatnya, orientalisme dapat diartikan sebagai cara Barat mendefinisikan dan memahami dunia Timur menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang Eropa. Ia dijadikan sebagai sistem pengetahuan yang bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur. Orientalisme—mengutip kata-kata Said—lebih kepada “[…] tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.”[19]
Salah satu peristiwa tekstual monumental yang menunjukkan hal ini, yakni orientalisme dalam praktiknya yang paling khas, antara lain bisa kita temukan dalam novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, terutama peristiwa pertemuan Crusoe dengan seorang penduduk pribumi di pulau terpencil di luar Eropa tempatnya terdampar.
[…] dia berlari ke arahku, bersujud dengan sikap rendah hati dan berterima kasih, melakukan banyak gerakan kuno untuk menunjukkan hal itu. Dari caranya bersujud di hadapan kakiku, dia memberikan isyarat bahwa dia akan patuh dan mengabdi kepadaku selama hidupnya. Aku mengerti apa yang dimaksudkannya dalam banyak hal, dan menunjukkan kepadanya bahwa aku sangat senang kepadanya. Tidak lama kemudian aku mulai berbicara dengannya. Pertama, aku memberitahunya bahwa aku akan memanggilnya dengan nama Friday, karena itulah hari ketika aku membebaskannya. Aku memanggilnya demikian untuk mengingat waktu. Aku pun mengajarinya untuk memanggilku Tuan. [….] Aku memberikannya susu di sebuah periuk tanah, dan memberikannya contoh bagaimana cara meminumnya maupun mencelup rotiku ke dalamnya.[20]
Selain dapat dikatakan sebagai awal pertemuan sang penjajah (colonizer) dengan si terjajah (the colonized), menurut Said, peristiwa ini juga menjadi repetisi genesis, asal mula pertemuan Tuhan dengan manusia pertama; dan karena itu Crusoe mendapatkan kekuasaan atas Friday dan otoritas untuk menyertakan peristiwa itu dalam keseluruhan kisah yang menjadi “miliknya”, termasuk kisah tentang hubungannya dengan Friday yang sejak itu juga menjadi miliknya.[21]
Dengan begitu, muncullah asumsi bahwa sebelum adanya kesaksian dari sosok Eropa yang diwakili oleh Tuan Crusoe, keberadaan Friday prapertemuan awal itu diabaikan. Bahkan lebih jauh lagi, karena ia dibahasakan dalam sistem wacana yang diberi otoritas (baca: Barat) maka apapun yang terjadi sebelum peristiwa itu dianggap tidak ada. Dalam pengertian ini, teks bukanlah berfungsi sekadar mencatat dan melaporkan kenyataan, melainkan benar-benar menciptakan kenyataan.[22] Di sinilah,—seperti yang dikatakan Said—sebagai bentuk budaya, novel (dan karya sastra lain) sesungguhnya memiliki peranan sangat penting dalam pembentukan sikap, acuan dan pengalaman imperial.[23]
Sikap dan pandangan yang ditunjukkan oleh Droogstoppel dalam kesimpulan-kesimpulannya maupun oleh Pendeta Wawelaar lewat khotbah dalam Max Havelaar terhadap orang Jawa tentunya mengingatkan kita kepada usaha-usaha Crusoe dalam mengajari Friday cara makan yang benar (sesuai dengan cara Eropa yang beradab), cara berbicara (menggunakan bahasa Inggris/bahasa Eropa), dan memperkenalkannya kepada Tuhan yang benar (Tuhan agama Kristen), sembari pada saat yang bersamaan mengklaim pulau “kosong” (tapi berpenghuni) tempatnya terdampar itu sebagai penemuannya dan miliknya.
Dalam kasus ini, keunggulan Crusoe (penjajah Barat) atas Friday (pribumi) yang ditunjukkan oleh Defoe dalam novelnya, seperti hendak menyatakan kepada kita bahwa struktur kekuasaan kolonial bukan saja dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik bagi tanah jajahan, tetapi juga disusun kembali menjadi hubungan guru dan murid (atau, kakak dan adik dalam kasus novel Max Havelaar). Penduduk pribumi membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari bangsa Eropa yang superior agar dapat hidup lebih baik, sehingga dengan begitu kolonialisme pun dimaknai sebagai “pembebasan” bagi kaum terjajah. Persis yang diungkapkan Pendeta Wawelaar lewat narasi Droogstoppel:
Demikianlah para Kekasihku, panggilan tugas kaum Israil yang mulia, (maksudnya membinasakan penduduk Kanaan), dan demikian pula panggilan tugas negeri Belanda! Tidak, orang tidak akan mengatakan bahwa terang yang menyinari kita, kita tutup dengan takaran gandum, bahwa kita pelit dalam membagikan rezeki kehidupan yang kekal. Pandanglah pulau-pulau di Samudera Hindia, yang didiami oleh berjuta-juta cucu dari putera nabi Nuh yang dibuang, dan memang sepantasnya dia dibuang—sedangkan nabi Nuh yang mulia itu berkenan kepada Tuhan. (Max Havelaar, 140)
Fokalisasi Droogstoppel dalam Max Havelaar jelas menempatkan dirinya sebagai tokoh antagonis yang tampak materialistik, tamak, picik, egois, munafik, dan berpikiran sempit, tetapi sok tahu terutama tentang Hindia Belanda yang belum pernah dikunjunginya. Ia—melalui narasinya sendiri—digambarkan sebagai sosok yang tidak mengerti (juga tidak peduli) tentang kolonialisme dan bagaimana kopi yang dijualnya itu diproduksi.
Maka tidaklah aneh jika pertemuannya dengan bekas residen di Hindia yang hidup mewah sekembali ke Belanda itu kemudian semakin menguatkan pandangannya terhadap tanah koloni sekaligus meneguhkan penilaian pribadinya bahwa orang baik bakal selalu dilimpahi kekayaan, sementara yang berkelakuan buruk seperti Sjaalman hanya akan berakhir seperti gembel.
Residen dan isterinya itu orang-orang yang ramah dan baik. Mereka banyak menceritakan kepada kami tentang cara hidupnya di negeri Hindia; mestinya enak sekali di negeri itu. Kata mereka tempat peristirahatan mereka di Driebergen itu tidak ada separoh dari apa yang mereka sebut “erf”, pekarangan di pedalaman pulau Jawa, dan yang memerlukan kira-kira seratus orang untuk memeliharanya. Tapi, dan ini suatu bukti betapa mereka itu disenangi, orang-orang itu tidak minta bayaran suatu apa, mereka bekerja hanya karena kasih sayang. Juga mereka menceritakan bahwa waktu mereka berangkat mereka menjual perabotannya dan penghasilannya ada sepuluh kali harganya, sebab kepala-kepala bumiputra itu semuanya ingin membeli tanda mata dari seorang residen (Max Havelaar, 316)
Tidak terpikirkan sedikit pun oleh Droogstoppel bahwa kekayaan yang diperoleh bekas residen itu selain berasal dari eksploitasi atas tanah jajahan dan para penduduknya, bisa jadi juga hasil penyalahgunaan kekuasaan jabatan di Hindia Belanda.
Dengan dasar logika seperti ini, wajar saja apabila semua data mengenai penindasan rakyat Jawa, baik yang berasal dari naskah Sjaalman maupun dari pendapat Stern dan Frits, bagi Droogstoppel hanyalah bohong belaka dan omongan gila, yang tidak bisa ia terima dan pahami.
Apakah arti seekor kerbau dibandingkan dengan keselamatan jiwa Frits? Apa perduli saya dengan urusan orang-orang yang jauh itu, jika saya diganggu ketakutan bahwa Frits karena tidak percayanya merusak perdagangan saya sendiri, dan bahwa ia tidak pernah bisa menjadi makelar yang jempol? Sebab Wawelaar sendiri mengatakan bahwa Tuhan mengatur segalanya begitu rupa sehingga barangsiapa yang saleh dia akan menjadi kaya. “Lihat saja, katanya, bukankah banyak kekayaan di negeri Belanda? Itu disebabkan karena kepercayaan agama. Bukankah di Perancis orang selalu berbunuh-bunuhan? Itu disebabkan karena mereka di sana beragama Katholik. Bukankah orang Jawa miskin? Mereka itu kafir. Lebih lama orang Belanda bergaul dengan orang Jawa, tambah kaya kita di sini dan tambah miskin di sana. (Max Havelaar, 269)
Apakah dengan begitu, Dekker memang bisa dikatakan mencoba menggugat kolonialisme yang diwakili oleh sosok Droogstoppel (dan tokoh-tokoh lainnya yang ia kecam lewat tokoh Havelaar maupun sebagai Multatuli sang pengarang)? Sekilas memang seolah terlihat seperti itu, namun sesungguhnya tidak sama sekali.
Penciptaan karakter Droogstoppel yang khas ini tentu amat berguna bagi Dekker dalam menyampaikan gugatan yang ia inginkan. Sosok makelar kopi itu ia maksudkan sebagai gambaran masyarakat menengah Belanda yang—meminjam Subagio Sastrowardoyo—“mengandung wawasan dunia yang ciut serta kecenderungan mencari keuntungan diri sendiri”.[24] Lapisan menengah yang acuh dan naif, yang diwakili Droogstoppel ini—setidaknya dari fokalisasi Multatuli—menjadi salah satu (tetapi bukan yang utama) biang kemelaratan dan kemiskinan di Hindia Belanda, tempat “lebih dari tigapuluh juta rakyat dianiaya dan ditindas” oleh para penguasa bumiputra atas nama raja Belanda. Bahkan dari namanya saja yang berarti si Kersang Hati, kita sudah bisa mendapatkan gambaran mengenai sifat buruk karakter Droogstoppel yang sengaja ditonjolkan begitu rupa oleh Dekker alias Multatuli ini.
“Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda, ….. anda membesar menjadi makhluk yang dashyat di bawah penaku, ….. aku jijik dengan bikinanku sendiri, ….. terbenamlah dalam kopi dan pergilah!”[25] demikian tulis Multatuli yang menyeruak masuk pada penghujung cerita sebagai narator-pengarang.
Perwatakan Droogstoppel ini jadi semakin penting apabila kita sandingkan dengan sikap dan watak Max Havelaar sang Asisten Residen Lebak yang menjadi tokoh utama novel, di mana sifat keduanya dengan sengaja digambarkan saling bertolak belakang. Jika Droogstoppel dibuat tampak picik dan berpandangan sempit di mata pembaca, sosok Max Havelaar yang dihadirkan lewat penuturan Stern adalah karakter ksatria berhati bersih yang jujur dan sederhana, berpandangan dan berwawasan luas, cinta keadilan dan tanpa pamrih, mudah tersentuh, murah hati, serta penuh belas kasih bahkan nyaris suci.
Alhasil keburukan watak Droogstoppel ini—termasuk pelecehannya terhadap tokoh Sjaalman yang tidak lain adalah gambaran diri Dekker sendiri yang telah jatuh miskin—pun membuat segala kemuliaan yang dilekatkan oleh pengarang kepada tokoh Havelaar lewat narator Stern “seakan” terlihat kian cemerlang. Ya, pada novel ini sang pengarang memang hadir wujud tiga karakter, yaitu Multatuli sang narator-pengarang, Sjaalman si penulis miskin, dan Max Havelaar si Asisten Residen Lebak yang adalah tokoh utama novel.
Meskipun Droogstoppel dan Havelaar boleh dibilang sama-sama memperoleh posisi kuat dalam novel, baik dari peranan yang dimainkan maupun dari perwatakan keduanya yang berkebalikan; kehadiran Droogstoppel yang diberikan ruang untuk bersuara sebagai narator sebetulnya hanyalah “boneka” (atau “alat” dalam ungkapan Multatuli) demi memuja perjuangan Max Havelaar serta pergorbanannya, ketidakadilan yang menimpanya, dan gugatan-gugatannya—yang tidak lain adalah pamflet politik sang pengarang belaka. Atau, dengan kata lain: Batavus Droogstoppel hanyalah karakter busuk yang sengaja diciptakan sebagai lawan/kebalikan dari sifat mulia seorang Max Havelaar alias Multatuli alias Eduard Douwes Dekker sendiri.
BERBEDA dari Droogstoppel yang dihadirkan untuk menceritakan dirinya sendiri, Max Havelaar dan semua cerita mengenai tokoh Asisten Residen Lebak ini semuanya diceritakan oleh Ernst Stern, narator-karakter yang—dalam cerita—diberi tugas oleh Droogstoppel untuk menulis ulang naskah dari Sjaalman menjadi sebuah novel. Dan demi tugasnya sebagai narator inilah, karakter Ernst Stern alias Stern Junior pun dideskripsikan—lewat penuturan Droogstoppel maupun suaranya sendiri—sebagai seorang pemuda Jerman yang idealis, romantis, dan menaruh simpati pada Max Havelaar.
Ia dikisahkan sebagai putra dari Ludwig Stern, seorang pemilik firma kopi di Hamburg, Jerman, yang menjadi pelanggan setia Droogstoppel dan sedang magang kerja di Last & Co. Adapun alasan Droogstoppel menyuruh Stern membantunya menulis, selain karena ia sendiri belum pernah menulis sesuatu yang serupa dengan roman, adalah lantaran pemuda itu dianggapnya pintar dan sedikit berbakat sastra.
Karena itu, kendati sesekali disela dan dicela oleh Droogstoppel yang tidak menyukai pandangan-pandangannya tentang Havelaar dan penderitaan rakyat Jawa, posisi Stern sebagai narator yang seyogianya berada di bawah Droogstoppel justru jauh lebih penting dan mendominasi seluruh teks novel.
[…] Tapi, pikir saya bagaimana kalau saya suruh Stern menulis buku saya, ….. kalau ada yang hendak saya tambahkan, sekali-sekali akan saya tulis sendiri sebuah bab. […]
Saya kemudian membicarakan rencana saya itu dengan Frits dan Stern, dan mereka setuju saja. Hanya nampaknya Stern, yang mempunyai sedikit bakat sastra, seperti semua orang Jerman, ingin mempunyai suara dalam cara pelaksanaan. Ini kurang menyenangkan bagi saya, tapi karena lelang musim semi sedang mendatang, dan saya belum mendapat pesanan dari Ludwig Stern, saya tidak mau terlalu membantahnya. Dia mengatakan, bahwa “bila jantungnya membara karena keindahan dan kebenaran, tiada kekuasaan di dunia yang dapat mencegahnya menyanyikan lagu yang seirama dengan perasaan itu; dan bahwa ia lebih baik diam dari membiarkan kata-katanya terbelenggu oleh rantai keji keseharian”.[…] (Max Havelaar, 43)
Di sinilah tampak oleh kita bagaimana karakter pemuda Stern (yang dalam bahasa Jerman berarti “Bintang”) dengan wataknya yang digambarkan idealis dan romantis itu juga cuma diciptakan untuk menguatkan karakter serba-positif Havelaar. Tugas pokoknya sebagai narator adalah menyampaikan cerita tentang Max Havelaar sebagai sosok karismatik yang berani mempertaruhkan karier dan segalanya demi memperjuangkan keadilan bagi rakyat jajahan.
Hanya lewat narasi Stern kita berjumpa dengan Havelaar, seperti halnya kita berjumpa dengan Sjaalman hanya melalui narasi Droogstoppel. Kendati keduanya jelas sama-sama merupakan alter-ego Dekker, penilaian maupun penggambaran atas mereka bagaikan langit dan bumi. Jika di mata Droogstoppel, Sjaalman adalah karakter menyedihkan yang tidak punya hal membanggakan sedikit pun; sebaliknya di mata Stern, Max Havelaar memperoleh pandangan yang sangat terhormat.
Lewat kebebasan bersuara yang dimiliki narator Stern ini—yang tidak berani terlalu dibantah oleh Droogstoppel dalam narasi lantaran alasan bisnis—Multatuli alias Dekker kemudian mencitrakan dirinya sendiri habis-habisan secara subjektif sebagai seorang pahlawan Belanda pembela kebenaran dan keadilan di tanah Hindia. Sebuah pencitraan yang membuat ketokohan Havelaar bahkan tampak nyaris bersifat mesianik.[26]
Simak saja bagaimana lewat narasi Stern pada Bab VIII, ia mengisahkan betapa berwibawa dan fasihnya Havelaar berpidato dalam bahasa Melayu di hadapan Bupati Lebak dan para kepala daerah Banten Kidul di pekarangan rumahnya di Rangkas Bitung pada awal kedatangannya untuk menjalankan tugas sebagai Asisten Residen Lebak. Di sini, bukan hanya diperlihatkan kepada kita betapa superiornya isi pidato tersebut, tetapi juga digambarkan dengan tanpa malu-malu figur dan pembawaan Havelaar yang diibaratkan dengan seorang nabi sedang bersabda.
Masing-masing mengira akan mendengarkan suatu pidato seperti yang diucapkan oleh residen sehari sebelumnya, dan mungkin juga Havelaar sendiri tidak bermaksud mengatakan sesuatu yang lain kepada kepala-kepala, tapi kita harus pernah mendengar dan melihatnya pada waktu-waktu demikian, untuk mengerti bagaiamana ia, pada pidato-pidato seperti ini, jadi bersemangat, dan oleh caranya bicara yang khas, memberikan warna baru kepada hal-hal yang paling biasa; bagaimana ia tegak, bagaimana matanya memancarkan api, bagaimana suaranya beralih dari lemah merayu menjadi tajam mengiris, bagaimana kiasan-kiasan mengalir dari bibirnya seolah-olah ia menaburkan barang-barang yang berharga ke sekitarnya, barang-barang yang tidak usah dibelinya, dan bagaimana, bila dia berhenti bicara, semuanya memandangnya dengan mulut terbuka, seolah-olah bertanya: “masya Allah, siapakah Anda?”
Memang benar, bahwa ia sendiri, yang pada waktu demikian berbicara seperti rasul, seperti nabi, kemudian tidak tahu lagi bagaimana ia bicara, dan kefasihannya lebih bersifat menimbulkan kekaguman dan menubruk sasaran, dari menyakinkan dengan jalan menguraikan secara ringkas. Sekiranya ia hidup di masa Yunani ketika diambil putusan untuk berperang melawan Philippus, ia dapat memberikan semangat berapi-api kepada orang Athena, tapi ia tidak akan begitu berhasil, sekiranya ia mendapat tugas untuk mempengaruhi mereka supaya berperang, dengan memberikan uraian. Pidatonya kepada kepala-kepala Lebak terus saja dalam bahasa Melayu, dan karena itu mempunyai satu keistimewaan lagi; bahasa-bahasa Timur amat sederhana, sebab itu banyak ungkapan-ungkapannya yang penuh tenaga; bahasa-bahasa Barat sudah kehilangan tenaga itu karena sifatnya yang dibuat-buat; sebaliknya nada yang mengalir manis dalam bahasa Melayu sukar dinyatakan dalam bahasa lain;—lagipula harus diingat, bahwa sebagian besar pendengarnya terdiri dari orang-orang sederhana, tapi sama sekali tidak bodoh, dan lagi mereka itu orang Timur, yang penerimaannya berbeda sekali dari penerimaan kita. (Max Havelaar, 110-111)
Mungkin ada orang berkata bahwa cara Havelaar bicara diragukan keasliannya, sebab bahasanya mengingatkan gaya para nabi dalam Wasiat Lama [Perjanjian Lama, pen.]; saya ingatkan bahwa pernah saya berkata, dalam saat-saat ia berada dalam ekstase, ia sungguh-sungguh seperti seorang resi, dan bahwa mungkin tidak akan lain caranya berbicara, sekalipun ia tidak pernah membaca syair-syair yang indah dalam Wasiat Lama, mengingat bahwa kehidupan di hutan-hutan dan di gunung-gunung banyak meninggalkan kesan dalam jiwanya dan karena suasana dunia timur yang bernafaskan puisi. (Max Havelaar, 117)
Dari deskripsi dalam kutipan-kutipan ini, kita sudah bisa melihat bagaimana kuatnya wacana kolonial yang menempatkan posisi penjajah di atas kaum terjajah dengan segala klaim keunggulan budayanya serta keyakinannya terhadap misi pemberadaban itu dijabarkan secara terang-benderang oleh Havelaar. Sehingga dalam konteks ini, wajar jika Havelaar bukan saja yakin dirinya telah diutus untuk menjadi penguasa yang adil dan rendah hati, tetapi juga untuk menjadi seorang “saudara yang lebih tua”. Dengan begitu, para pembesar dan penduduk bumiputra perlu mendapatkan bimbingan darinya agar dapat hidup lebih baik. Dengan bangga Max Havelaar berkata dalam pidatonya:
Tapi saya lihat bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan inilah yang menggembirakan hati nurani saya.
Sebab saya tahu bahwa Allah cinta orang yang miskin, dan bahwa Ia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak diujiNya,tetapi kepada orang miskin diutusNya orang yang menyampaikan firmanNya, supaya mereka bangkit dan kemelaratannya.
Bukankah Dia mencurahkan hujan di mana batang layu mengering dan meneteskan embun dalam kelopak bunga kehausan?
Bukankah tugas yang mulia dikirim untuk mencari orang-orang yang lelah yang ketinggalan sesudah selesai bekerja dan tersungkur di tepi jalan karena lututnya tak kuat lagi untuk berjalan ke tempat menerima upah? Tidakkah saya akan gembira mengulurkan tangan kepada orang yang jatuh ke dalam lubang, dan memberi tongkat kepada orang yang mendaki gunung? Tidakkah hati saya akan menggejolak karena terpilih antara yang banyak untuk merobah keluhan menjadi doa dan ratapan menjadi tasyakkur?
Ya, saya amat gembira terpanggil ke Banten Kidul. (Max Havelaar, 112-113)
Dalam pidato tersebut, Havelaar sama sekali tidak mengaitkan kemiskinan rakyat Banten Kidul dengan kolonialisme Belanda, tetapi sejak awal telah melihat kemiskinan itu sebagai akibat dari penyelewengan kekuasaan oleh para kepala bumiputra, yang telah melalaikan kewajiban, yang dikiaskannya dengan kata-kata “bagaimana pohon yang besar mendesak yang kecil dan membunuhnya”.[27] Karena itu, sebagai pejabat kolonial ia pun merasa bahagia telah ditempatkan di Lebak untuk membantu rakyat miskin dan menegakkan keadilan yang amat ia dambakan sebagai seorang pejabat pemerintah yang baik budi.
Sebab, kepala-kepala negeri Lebak, banyak yang harus dikerjakan di wilayah tuan.
Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kekeliruan di negeri tuan? Bukankah jumlah anak tuan sedikit?
Tidakkah ada rasa malu dalam jiwa tuan, apabila orang Bandung yang terletak di Timur sana, mengunjungi daerah tuan dan bertanya: “di manakah desa-desa, dan di mana petani-petani, dan mengapa tidak kudengar gamelan yang menyatakan kegirangannya dengan mulut tembaga, ataupun bunyi anak-anak gadis tuan menumbuk padi?
Tidakkah getir untuk berjalan dari sini ke pantai Selatan dan melihat gunung-gunung yang tidak mengandung air pada lereng-lerengnya, atau tanah-tanah datar di mana tidak pernah kerbau menarik bajak?
Ya, ya, ya, saya katakan itu kepada tuan, bahwa jiwa tuan dan jiwa saya sedih memikirkannya; dan justru itulah sebabnya kita bersyukur kepada Allah, bahwa Ia memberi kita kekuasaan untuk bekerja di sini.
[…]
Saya dikirim kemari untuk menjadi sahabat tuan-tuan, menjadi saudara yang lebih tua. Apakah tuan tidak memberitahu adik tuan, jika tuan melihat ada harimau di jalan yang akan dilaluinya?
Kepala-kepala negeri Lebak, kita sering melakukan kesalahan-kesalahan dan negeri kita miskin, karena kita melakukan banyak kesalahan-kesalahan.
Sebab di Cikandi dan Bolang dan di daerah Krawang dan di tanah-tanah sekitar Betawi, banyak tinggal orang-orang yang lahir di negeri kita, dan yang meninggalkan negeri kita.
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat mereka menguburkan orang tuanya? Mengapa mereka lari dari desa, di mana mereka disunat? Mengapa mereka lebih suka mencari keteduhan pohon yang tumbuh di sana, dari naungan hutan-hutan kita?
Malahan nun di barat laut di seberang laut, banyak orang yang sebenarnya anak kita, tapi meninggalkan Lebak untuk mengembara di daerah-daerah asing, membawa keris dan kelewang dan senapan. Dan mereka mati dengan menyedihkan, sebab di sana ada kekuasaan pemerintah, yang mengalahkan pemberontak.
Saya bertanya kepada tuan, kepala-kepala negeri Lebak, mengapa banyak yang pergi untuk tidak dikuburkan di tempat kelahirannya? Mengapa pohon bertanya: “di mana orang yang kulihat bermain sebagai anak kecil di kakiku dahulu?” (Max Havelaar, 113-115)
Kemiskinan akibat “kelalaian” para pembesar bumiputra dalam menjalankan kekuasaan inilah yang dilihat Havelaar sebagai penyebab banyak rakyat pergi dari wilayah Banten Kidul untuk mencari penghidupan di daerah lain, bahkan di antaranya menjadi “pemberontak” terhadap Belanda. Atas semua penderitaan rakyat Lebak yang disebutkannya itu, ia bukan saja tidak sedikit pun mempertanyakan keabsahan kekuasaan kolonial yang mana ia juga menjadi bagian di dalamnya, bahkan tidak pernah mempertanyakan apa hak mereka membawa bedil dan meriam untuk menjadi penguasa di pulau-pulau di Samudra Hindia yang bermil-mil jauhnya dari tanah kelahiran mereka yang kecil dan dingin.
Sebaliknya, justru dengan tegas ia menyatakan betapa adilnya para penguasa kolonial Belanda, dari sang raja yang kepadanya rakyat Hindia mengabdi sampai residen di Serang. Hanya saja—menurut ia—tuan-tuan penguasa kolonial yang adil itu tidak bisa sepenuhnya mengawasi penyelewengan-penyelewengan di lapisan bawah (para pembesar bumiputra) lantaran luasnya daerah kekuasaan. Akibatnya, kewajiban menegakkan keadilan itu pun jatuh ke tangan para asisten residen seperti dirinya, ketika atas nama Tuhan ia bersumpah akan “menjalankan keadilan tanpa ketakutan dan tanpa kebencian”.
“Tuan-tuan kepala negeri Lebak, kita semua mengabdi raja Belanda. Tapi raja yang adil itu, yang ingin supaya kita melakukan kewajiban kita, jauh dari sini. Tigapuluh kali seribu kali seribu jiwa, ya, lebih dari itu, harus mematuhi perintahnya, tapi dia tidak bisa dekat kepada semua orang, yang tergantung pada kehendaknya.
Tuan besar di Bogor adil, dan ingin supaya tiap orang melakukan kewajibannya, tapi dia pun, meski berkuasa, dan memerintah segala yang berkuasa di kota-kota, dan segala yang tertua di desa-desa, menguasai balatentara dan kapal-kapal di lautan, dia pun tidak dapat melihat di mana berlaku ketidakadilan, sebab ketidakadilan tetap jauh daripadanya.
Dan residen di Serang, yang adalah penguasa wilayah Banten di mana berdiam lima kali seratu ribu manusia, ingin supaya keadilan berlaku di daerahnya, dan supaya berlaku keadilan di swapraja-swapraja yang patuh kepadanya. Tapi di mana ada ketidakadilan, ia jauh daripadanya, dan orang yang melakukan kejahatan, bersembunyi dari pandangannya karena takut akan hukuman.
Dan tuan adipati yang adalah bupati Banten Selatan, ingin supaya hiduplah orang yang mencari kebaikan, dan janganlah hendaknya ada kenistaan di wilayah kekuasaannya.
Dan saya yang kemarin bersaksi kepada Tuhan Yang Mahakuasa, bahwa saya akan berlaku adil dan penuh kasih sayang, bahwa saya akan menjalankan keadilan tanpa ketakutan dan tanpa kebencian, bahwa saya akan menjadi “seorang asisten residen yang baik”.—saya pun hendak melakukan kewajiban saya.
Tuan-tuan kepala negeri Lebak, kita semua menginginkan itu.
Tapi jika ada orang di antara kita yang melalaikan kewajibannya untuk mencari keuntungan, yang menjual keadilan demi uang, atau yang merampas kerbau dari orang miskin, dan buah kepunyaan orang yang lapar …… siapa yang akan menghukumnya?
Jika salah seorang dari tuan-tuan mengetahuinya, tentu dia akan mencegahkan, dan bupati tidak akan membiarkan yang demikian terjadi dalam daerah kekuasaannya, dan saya pun juga akan mencegahnya di mana saya bisa, tapi apabila tuan tidak tahu, adipati tidak tahu, saya tidak tahu ……
Tuan-tuan kepala negeri Lebak, siapakah yang akan menjalankan keadilan di Banten Kidul?
Dengarkanlah saya, jika saya katakan kepada tuan, bagaimana akan dijalankan keadilan.
(Max Havelaar, 119-120 )
Isi “Pidato Lebak” ini dengan terang menunjukkan kepada kita bahwa Havelaar sebagai alter-ego Dekker sama sekali tidak menentang praktik kolonialisme yang dilakukan bangsanya di Hindia, malahan dengan bangga mendukung hal itu sebagai sebuah tugas suci yang ia pikul dengan sukacita sebagai seorang pejabat kolonial. Sebab itu Dekker tidak pernah sekali pun menyalahkan kekuasaan kolonial, tetapi dengan penuh emosi menimpakan semua kesalahan kepada para penguasa bumiputra alias pejabat lokal terutama Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara. Padahal tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (pemerasan terhadap penduduk) yang dilemparkannya kepada sang bupati, juga kepada Demang Parangkujang, Raden Wira Kusuma (yang tidak lain adalah menantu Raden Adipati Karta Natanagara) tersebut hanyalah semata-mata berdasarkan hasil pemeriksaannya atas nota-nota dan laporan yang ditinggalkan oleh Slotering, asisten residen sebelumnya.
Hanya dari dokumen-dokumen yang ia temukan inilah, disertai dengan kecurigaan-kecurigaan pribadinya sejak awal dan sejumlah aduan tidak jelas dari penduduk kepadanya (yang diceritakan lewat Stern), Havelaar kemudian membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak oleh Bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parangkujang. Kesewenang-wenangan itu, syahdan, disebabkan oleh pengeluaran mereka yang begitu besar untuk memelihara status dan wibawa mereka sebagai penguasa bumiputra sekaligus bangsawan, yang tidak sebanding dengan gaji mereka sebagai pejabat lokal. Simaklah percakapan Havelaar dengan Kontrolir Verbrugge berikut:
“Dan jika kasnya kosong, suatu hal yang sering terjadi, mereka ambil dari penduduk apa yang mereka suka,… betulkah itu?”
“Ya, betul.”
“Jadi, benar keterangan-keterangan yang saya dapat, tapi tentang itu kita bicara lagi nanti. Bupati yang bertambah tua itu, sejak beberapa tahun ingin berjasa dengan memberikan hadiah kepada orang-orang agama; dia banyak keluar uang untuk mengongkosi orang yang hendak pergi ke Mekah, dan mereka itu memberikan kepadanya kain-kain buruk pusaka, barang penangkal dan “jimat”. Bukankah begitu?”
“Ya, betul.”
“Nah, itulah yang menjadikannya begitu miskin. Demang Parangkujang, Raden Wira Kusama, adalah menantunya. Bupati sendiri malu mengambil apa-apa karena kedudukannya, tapi demang itulah,—dan bukan dia sendiri—yang berkuasa di rumah adipati dan meminta wang dan harga benda dari penduduk yang miskin, menarik mereka dari sawahnya sendiri untuk mengerjakan sawah bupati; dan bupati…… saya percaya bahwa ia ingin lain, tapi karena keadaan ia terpaksa mempergunakan cara-cara demikian. Tidak benarkah semua itu, Verbrugge?”
[…]
“Saya tahu. Itu artinya bahwa jauh lebih banyak pajak tanah yang dibayar, dari yang masuk kas negeri. Tapi sekarang saya akan tunjukkan apa yang kita ketahui berdua karena ditulis dengan huruf dan bukan dengan tanda-tanda. Ini:
-
Tentang penyalahgunaan penduduk oleh bupati-bupati dan kepala-kepala bawahan. (Tentang memiliki beberapa rumah atas kerugian penduduk), dan seterusnya”.
Jelas? Anda lihat, bahwa tuan Slotering adalah orang yang pandai mengambil inisatif; jadi, anda sebenarnya bisa bekerjasama dengan beliau. Dengar:
-
Bahwa banyak anggota keluarga, dan pesuruh-pesuruh kepala bumiputra yang tercatat dalam daftar pembayaran gaji, tapi sebenarnya tidak turut bekerja; sehingga mereka mendapat untung, atas kerugian orang-orang yang sungguh bekerja. Pun mereka dibiarkan memiliki secara tidak sah sawah-sawah, sedangkan yang boleh memilikinya hanyalah orang-orang yang turut menanaminya”.
Di sini ada satu nota lagi, ditulis dengan potlot. Lihatlah, di situ pun jelas sekali dikatakan:
Kemunduran rakyat Parangkujang hanya disebabkan karena penduduk disalahgunakan secara keterlaluan.”
Apa kata anda? Bukankah saya tidak begitu eksentrik, seperti kesan orang, jika saya mempermasalahkan keadilan, dan bukankah orang lain pun melakukan itu?”
(Max Havelaar, 128-129)
Puncak kegusaran Havelaar adalah saat Raden Adipati Karta Natanagara mengerahkan para penduduk (dengan jumlah yang melewati ketentuan) untuk membersihkan pekarangan demi menerima kunjungan Bupati Cianjur, keponakannya. Ini adalah kebiasaan para pembesar bumiputra dalam menerima kunjungan pembesar lain yang juga ia temukan dalam laporan Slotering.
Atas dasar inilah, dengan heroik lantaran merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Lebak, pada 24 Februari 1856 Havelaar kemudian melayangkan pengaduan atas Raden Adipati Karta Natanagara dan Raden Wira Kusama kepada Residen Banten, Slijmering. Ia meminta keduanya diperiksa dan ditahan serta diadakan penyelidikan. Tetapi karena Havelaar menolak (dan tidak mampu) menunjukkan bukti-bukti tuduhannya tersebut, pengaduannya ditolak oleh atasannya. Havelaar pun lantas meneruskan pengaduannya ke pejabat di atas Slijmering, yaitu sang Gubernur Jenderal. Hasilnya bukan saja pengaduannya itu kembali ditolak, tetapi juga menyebabkan ia dipindahtugaskan dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak.
Adapun alasan Havelaar tidak mau memberikan bukti kepada atasannya—sebagaimana yang disuarakan Stern—antara lain karena ia hendak melindungi sejumlah penduduk yang datang mengadu kepadanya. Apalagi para pengadu itu kerap menarik kembali aduan mereka karena takut kepada hukuman dari bupati dan para kepala lain, bahkan sebagian di antara mereka dikatakan telah melarikan diri dari Banten Kidul. Ketidakberanian para penduduk bersaksi inilah yang menurut Havelaar membuat asisten residen sebelumnya gagal memberantas keadaan buruk di Lebak meski telah mencobanya. Sementara, pemerintah Hindia Belanda baru akan bertindak apabila telah ada bukti-bukti nyata yang memaksa mereka untuk bertindak.
Pejabat sebelum Havelaar menginginkan kebaikan, tapi rupanya dia takut pula dapat amarah atasan, —dia banyak anak dan miskin pula,— karena itu dia hanya bicara saja dengan residen mengenai apa yang dia sendiri anggap kesalahan yang keterlaluan, dan tidak menyebutnya dalam laporan yang resmi. Dia tahu bahwa seorang residen tidak suka menerima laporan resmi tertulis yang tetap akan tinggal dalam arsipnya, dan kemudian akan dapat menjadi bukti bahwa orang telah tepat pada waktunya mengingatkannya kepada sesuatu kesalahan, sedangkan jika laporan itu disampaikan secara lisan, dia bisa saja tanpa risiko apa-apa melayani atau tidak melayani sesuatu pengaduan. Laporan lisan demikian biasanya disusul dengan panggilan terhadap bupati, yang tentu saja menyangkal segala tuduhan dan meminta bukti-bukti. Maka dipanggillah orang-orang yang begitu berani memasukkan pengaduan, dan sambil menyembah kaki adipati mereka minta ampun atas pengaduannya itu. “Tidak, kerbaunya tidak diambil begitu saja,mereka percaya bahwa akan dibayar harganya lipat ganda.” “Tidak, mereka bukannya dipanggil dari ladangnya, untuk bekerja tanpa bayaran di sawah-sawah kepunyaan bupati, mereka tahu betul bahwa adipati akan membayar mereka dengan royal kemudian.” “Mereka memasukkan pengaduan pada saat mereka kesal tanpa alasan, —mereka gila dan memohon supaya dihukum karena kekurangajarannya itu”…..
Mata tahulah residen alasan sesungguhnya dari penarikan kembali pengaduan itu, namun penarikan kembali itu memberinya kesempatan yang baik untuk mempertahankan bupati dalam jabatannya dan kehormatannya, dan dia sendiri tidak perlu “mempersulit” pemerintah dengan berita yang kurang baik, suatu tugas yang tidak enak. Pengadu-pengadu yang dakar itu dihukum dera dengan rotan, sang bupati tampil sebagai pemenang, dan sang residen kembali ke ibu kota, dengan perasaan senang bahwa ia telah “menyelesaikan” perkara itu dengan baik.
Tapi apa yang harus dilakukan asisten residen kalau keesokan harinya datang lagi pengadu-pengadu lain kepadanya? Atau, dan ini sering terjadi, kalau pengadu-pengadu itu juga menarik kembali pernyataan mereka? Apakah ia harus mencatat lagi perkara itu dalam laporannya, untuk membicarakan lagi dengan residen, untuk melihat lagi komedi yang sama dipentaskan, dengan akhirnya dianggap sebagai orang bodoh dan jahat yang selalu memajukan pengaduan dan selalu pula pengaduannya ditolak sebagai tidak beralasan? Dan apa jadinya dengan hubungan persahabatan yang begitu perlu antara kepala Bumiputera yang paling penting dengan pejabat Eropah yang pertama, jika pejabat itu selalu saja mendengarkan pengaduan-pengaduan palsu terhadap kepala Bumiputera itu? Dan terutama, apa jadinya dengan pengadu-pengadu malang itu, sesudah mereka kembali ke dusunnya, di bawah kekuasaan kepala distrik atau kepala kampung yang mereka adukan sebagai pelaksana kesewenang-wenangan sang bupati? (Max Havelaar, 235-236)
Poin penting dari kutipan di atas adalah Stern ingin mengatakan bahwa sesungguhnya Max Havelaar (berkat pengalaman dan wawasannya yang cukup luas) telah mengetahui semua risiko pengaduannya terhadap Bupati dan kemungkinan pengaduannya tersebut bakal ditolak oleh atasannya.[28] Bukankah sebagai pejabat pemerintah Hindia pada penugasan sebelumnya di Natal dan Ambon, ia telah berkali-kali dikecewakan?
Terlebih dalam kasus ini, kedudukan para pembesar pribumi seyogianya memang berada pada posisi yang cukup berarti di mata pemerintah kolonial. Seperti yang diingatkan oleh Dr. Gerard Termorshuizen dalam pengantarnya untuk Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin: “[…] di bawah sistem Tanam Paksa yang berlaku waktu itu, ada apa yang disebut sistem pemerintahan dualistis, artinya suatu sistem di mana alat pemerintahan Eropa menyesuaikan diri kepada dan terutama bertumpu pada tradisi-tradisi pemerintahan bumiputera.
Pada prinsipnya penduduk tidak diperintah langsung, tapi dengan perantaraan kepala-kepalanya sendiri. Dalam tiap residensi, di samping residen ada bupati-bupati yang di dalam susunan feodal masyarakat Jawa memainkan peranan yang penting sekali. Haruslah ada alasan-alasan yang kuat sekali sebelum dilakukan tindakan terhadap raja bumiputera demikian. Tindakan semacam itu hanya dijalankan dalam keadaan yang terpaksa sekali dan tidak bisa dielakkan lagi.”[29]
Pertanyaannya: Jika Havelaar memang telah memahami risiko atas pengaduan tanpa buktinya terhadap Bupati Lebak—yang tidak berani diambil oleh asisten residen sebelumnya—mengapa ia begitu tergesa-gesa melayangkan aduan? Apakah sejak awal ia memang berniat mempertaruhkan kariernya demi rasa keadilannya yang terusik? Betulkah pengaduannya tersebut hanya didorong oleh rasa tanggung jawab tugasnya dan beban moral semata, atau ada motif lain yang tersembunyi? Benarkah ia (dengan istrinya Tine sebagai saksi) kerap didatangi secara mengendap-endap oleh para penduduk setempat untuk mengadukan nasib? Atau, itu hanyalah bagian dari khayalan pengarang saat menuliskan gugatannya dalam bentuk sebuah karya fiksi—sebagaimana sejumlah peristiwa lain dalam novel itu yang ternyata tidak sesuai dengan fakta sejarah?
Max Havelaar—sekali lagi perlu diingat—adalah sebuah novel yang ditulis dengan tujuan membersihkan nama dan kehormatan penulisnya sendiri. Karena itu, tidak heran jika ia dipenuhi dengan sanjungan puja-puji dan pembelaan terhadap Max Havelaar sang tokoh utama yang bukan lain adalah pembayangan diri Multatuli si pengarang, di mana sebagian pengalaman fiksional tokoh utama diangkat dari pengalaman nyata pengarangnya saat bertugas di Hindia Belanda.
Sebab itu, untuk menelaah novel Max Havelaar, seperti yang telah saya kemukakan, tidak bisa tidak kita harus merujuk ke biografi Eduard Douwes Dekker alias Multatuli selaku pengarang (terutama pada masa tugasnya sebagai asisten residen di Lebak) beserta sejarah besar yang melingkupinya. Ini hal yang tidak bisa dielakkan lantaran latar belakang penulisan novel Max Havelaar (yang diselesaikan hanya dalam waktu kurang-lebih tiga minggu itu) jelas tidak bisa dilepaskan dari faktor kekecewaan Dekker yang merasa telah diperlakukan secara tidak pantas oleh para atasannya.
Termasuk sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.J. Duymaer van Twist, yang bukan saja turut menolak laporan pengaduannya sebagaimana Residen Banten, tetapi juga enggan menerima kunjungannya selepas ia meminta berhenti dari jabatan sebagai Asisten Residen Lebak.
Akankah kita dapat membaca Max Havelaar jika pengaduan Dekker terhadap Bupati Lebak diterima dengan baik oleh Residen Banten dan Gubernur Jenderal sesuai dengan keinginannya? Tampaknya tidak. Sebab novel itu mungkin takkan pernah ia tulis sebagai upaya untuk memulihkan kehormatan diri; yang kemudian dikoar-koarkan oleh dirinya sendiri, para politisi, dan para pemujanya sebagai usaha untuk menyampaikan kebenaran, yakni telah terjadi penindasan oleh para pembesar bumiputra di pulau Jawa yang diabaikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Padahal, sebagian dari cerita yang ia sampaikan melalui narator Stern tentang sepak terjang tokoh Havelaar hanyalah imajinasinya sebagai orang yang dikecewakan, yang memang sengaja dimasukkan untuk menopang pembelaan dan pencitraan dirinya, tetapi gagal ditopang oleh bukti-bukti sejarah.
Kefasihan Max Havelaar berpidato dalam bahasa Melayu contohnya, ternyata sekadar angan-angan pengarang. Sebab kenyataannya, pengetahuan Dekker dalam bahasa ini sangat terbatas (atau tidak cukup ia kuasai), sehingga mustahil dapat dipergunakannya dalam “Pidato Lebak” seperti yang kita temukan dalam narasi. Begitu pula dengan pernyataaan Havelaar bahwa Asisten Residen Lebak pendahulunya mati diracun, ternyata juga semata-mata prasangka Dekker.[30] Perkara ini bukan cuma ditegaskan dalam adegan-adegan kecurigaan dan ketakutan janda Slotering (seorang perempuan Indo-Belanda) terhadap para penduduk yang memasuki pekarangan rumah dinasnya (Nyonya Slotering masih tinggal dalam pekarangan itu, tetapi di sebuah rumah kecil terpisah), tetapi kemudian juga dikonfirmasi lewat percakapan langsung antara Havelaar dan Nyonya Slotering.
Hari sudah petang. Havelaar ke luar dari kamarnya dan mendapati Tine di Serambi muka menunggunya minum teh. Nyonya Slotering ke luar dari rumahnya dan rupanya hendak berkunjung ke rumah keluarga Havelaar, tapi tiba-tiba ia pergi ke pagar, dan mengusir seorang laki-laki yang baru saja masuk dengan gerak tangan yang tegas. Ia tetap berdiri sampai ia melihat laki-laki itu ke luar lagi, lalu ia berbalik, berjalan di tepi padang rumput, ke rumah Havelaar.
“Aku ingin tahu juga mengapa ia melakukan itu,” kata Havelaar, dan sesudah basa-basi tegur menegur, ia bertanya sambil berkelakar, supaya janda itu jangan salah paham bahwa ia tidak rela perempuan itu hendak berkuasa di pekarangan yang dahulu pekarangannya.
“Bagaimana, nyonya, coba katakan mengapa anda selalu mengusir orang-orang yang masuk ke pekarangan. Bagiaman kalau orang tadi itu penjual ayam, atau barang lain keperluan dapur?”
Di wajah nyonya Slotering nampak gerak kepedihan, yang tidak luput dari pandangan mata Havelaar.
“Ah, katanya, banyak orang jahat.”
“Memang, di mana-mana begitu, tapi kalau kita membikin susah orang lain, yang baik-baik pun tak mau datang lagi; …… cobalah, nyonya, ceritakan kepada saya mengapa anda begitu keras menjaga pekarangan.”
Havelaar memandang kepadanya, dan sia-sia mencoba membaca jawaban dalam matanya yang basah. Dia mendesak lagi meminta keterangan; …… janda itu menangis terisak-isak, katanya suaminya kena racun di Parangkujang, di rumah kepala distrik. (Max Havelaar, 303-304)
Bahkan lewat pengakuan janda Slotering bahwa suaminya kena racun di rumah kepala distrik Parangkujang ini, Dekker tanpa sungkan melemparkan tuduhan pembunuhan kepada Raden Wira Kusuma. Adapun alasan kenapa Slotering diracun tidak lain karena si mantan asisten residen mengetahui pemerasan terhadap penduduk yang dilakukan oleh Demang Parangkujang untuk kepentingan bupati dan mengancam akan melaporkannya kepada Gubernur Jenderal. Simaklah narasi Stern dalam dua kutipan di bawah ini:
“Dia mau adil, tuan Havelaar, kata perempuan malang itu melanjutkan, dia hendak mengakhiri penindasan terhadap penduduk yang menderita. Ia memperingati dan mengancam kepala-kepala, di rapat-rapat dan dengan surat, …… anda tentu telah menemukan surat-suratnya dalam arsip…..”
Memang betul. Havelaar telah membaca surat-surat itu, salinannya ada di depan saya.
“Ia selalu berbicara dengan residen, janda itu melanjutkan, tapi selalu sia-sia; umum mengetahui bahwa pemerasan terjadi untuk kepentingan bupati dan dilindungi oleh bupati, sedang residen tidak mau mengaduhkan bupati itu kepada pemerintah, maka hasil pembicaraan-pembicaraan itu hanyalah penganiayaan terhadap orang yang mengadu. Karena itu suami saya yang malang mengatakan bahwa jika tidak ada perbaikan sebelum akhir tahun, ia akan berhubungan langsung dengan gubernur jenderal. Itu terjadi bulan Nopember. Tidak lama sesudah itu ia melakukan perjalanan inspeksi, ia makan siang di rumah demang Parangkujang, dan tidak lama sesudah itu dibawa ke rumah dalam keadaan yang menyedihkan. Ia berteriak, sambil menunjuk perutnya, “api, api”, dan beberapa jam kemudian ia tidak ada lagi, orang yang semasa hidupnya selalu sehat walafiat.” (Max Havelaar, 304)
Dokter yang memeriksa Slotering itu bisa saja seorang dokter yang pandai, tapi dia bisa juga keliru dalam menilai gejala-gejala penyakit, di mana ia tidak menyangka sama sekali adanya kejahatan.
Betapapun juga, saya tidak dapat membuktikan bahwa pejabat yang mendahului Havelaar mati diracuni, karena Havelaar tidak diberi kesempatan untuk menjernihkan persoalan itu. Tapi saya dapat membuktikan bahwa orang sekelilingnya menganggap ia diracuni, dan bahwa persangkaan itu dihubungkan orang dengan keinginannya untuk memerangi ketidakadilan. (Max Havelaar, 305)
Betul, sebagai novel, Max Havelaar adalah sebuah karya fiksi. Sebagai karya fiksi, ia memiliki realitasnya sendiri (dalam teks) yang terpisah dari realitas milik pembaca di luar teks. Karena itu, sah-sah saja bagi seorang pengarang untuk menuliskan realitas fiksi dalam karangannya sesuai dengan daya imajinasinya, seganjil apa pun realitas fiksi tersebut. Betul pula kata Subagio Sastrowardoyo, bahwa dalam menelaah teks Max Havelaar kita memang tidak bisa memperlakukannya seperti dokumen sejarah sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah peneliti, lantaran hal itu cenderung bakal membuat kehadiran Max Havelaar sebagai karya sastra tergeser ke samping.
Namun, saya tidak setuju dengan pendapat Subagio bahwa Max Havelaar bisa saja hanya ditelaah sebagai karya sastra semata, terlepas dari maksud dan fungsinya sebagai pamflet politik, di mana penilaian kita nantinya hanya didasarkan pada ukuran betapa karya sastra itu menyakinkan serta memperdalam kesadaran batin kita, lepas dari persoalan apakah yang disajikan tepat benar atau tidak dengan kenyataan.[31]
Sebab masalahnya adalah kendati Max Havelaar ditulis dalam bentuk novel, Dekker sendiri tidak menginginkan karyanya cuma dibaca sebagai fiksi belaka melainkan lebih sebagai sebuah gugatan. Dengan kata lain, Max Havelaar di sini bagi pengarangnya adalah sebuah pamflet politik yang ditulis dalam bentuk novel, dan bentuk itu hanyalah medium.
Karena itu, keduanya tidaklah bisa dipisahkan begitu saja. Bukankah pernyataan “Het is geen roman, ‘t is een nanklacht” (Ini bukan novel, ini adalah gugatan) sendiri masih terus-menerus diulang dalam setiap perayaan ulang tahun buku Max Havelaar di negeri Belanda untuk menekankan betapa pentingnya aspek politik (protes) yang dilancarkan oleh Multatuli terhadap kebijakan pemerintah Belanda, di mana dirinya merasa telah dikorbankan?
Menimbang hal inilah, saya kira, meskipun Max Havelaar ditulis dalam bentuk novel yang menyebabkan ia dibaca sebagai karya fiksi, tetaplah tidak patut bagi Dekker untuk memasukkan berbagai khayalan yang ia jadikan sebagai bagian dari gugatan politik. Terlebih khayalan itu berbentuk tuduhan kriminalitas yang tampaknya dimaksudkan untuk menguatkan pengaduannya terhadap para pembesar bumiputra yang nama asli mereka sengaja ia pertahankan dalam novel.
Sekalipun penambahan bumbu-bumbu dalam karya sastra yang bertolak dari kisah nyata atau cerita sejarah memang merupakan kelaziman yang berguna untuk memperkaya isi cerita atau mendramatisasi peristiwa tetapi apa yang dilakukan Dekker terkait tuduhan tanpa bukti terhadap Demang Parangkujang (yang masih hidup pada masa itu) sebagai dalang kematian Slotering di atas, tidak bisa tidak, akan cenderung menjadi sebuah fitnah.
Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (yang lahir dari keluarga Protestan [Calvinis] di Amsterdam, 1820) diangkat sebagai asisten residen Lebak, Banten Selatan, pada 4 Januari 1856 oleh A.J. Duymaer van Twist—selepas ia dan keluarganya berkesempatan bertemu secara pribadi dengan sang gubernur jenderal. Satu hal yang oleh Rob Nieuwenhuys dinilai sebagai kesalahan kebijakan Gubernur Jenderal van Twist adalah pengangkatan itu tidak melalui pembahasan dengan Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) sebab Dekker bukan berasal dari kalangan pamong praja.
Pengangkatan Dekker lebih dikarenakan oleh faktor kedekatan personal (saling kenal)[32] ketimbang oleh pertimbangan matang dari van Twist. Meskipun sang gubernur jenderal memiliki alasan tersendiri yang dikemukakannya bertahun-tahun kemudian, yakni Dekker dianggapnya sebagai sosok yang bersimpati kepada kaum bumiputra.[33] Padahal Dekker bukanlah figur yang punya rekam jejak cukup bagus sebagai pegawai pemerintah. Tercatat dua kali ia dibebastugaskan dari jabatannya akibat kesalahan yang sama, yakni kesembronoannya yang keterlaluan dalam administrasi keuangan. Hal ini terjadi pada saat ia menjabat sebagai kontrolir di Natal, Sumatra Utara (1842-1843) dan ketika ia diperbantukan kepada residen Padang Hulu (1844).
Kita memang tidak tahu pasti apa yang diperbincangkan oleh Dekker dan van Twist dalam santapan-santapan malam mereka. Namun—seperti yang ditelaah Nieuwenhuys—dari pembincangan-pembincangan mereka ini, Dekker agaknya mendapatkan kesan bahwa van Twist adalah gubernur jenderal yang sesuai dengan pandangan dan idamannya.[34] Karena itu, Dekker sepertinya tidak menduga van Twist bakal menolak pengaduannya dan memutuskan untuk memindahkannya ke Ngawi. Perlu diingat, Dekker—sebagaimana yang diceritakannya dalam Max Havelaar—tidaklah dipecat dari jabatan, tetapi hanya dipindahtugaskan ke daerah lain. Namun, karena merasa kecewa pengaduannya ditolak, ia pun ngambek berat dan meminta berhenti.
Penelitian J. Saks yang dikemukakannya lewat Eduard Douwes Dekker, zijn jeugd en Indische jaren (Eduard Douwes Dekker, Masa Muda dan Masa Tinggalnya di Hindia Belanda) misalnya, menyatakan bahwa Multatuli telah menunjukkan gejala-gejala penyakit urat saraf sejak kecilnya. Ia “lekas merasa tersinggung dan berubah-ubah perangainya . . . menjadi permainan lonjakan perasaan dengan gelombang naik turun yang luar biasa kuatnya, dari bersemangat yang tinggi surut ke dalam kelesuan, dari murung tiba-tiba menjadi girang.” J. Saks juga menambahkan bahwa segi watak Dekker yang paling nampak adalah ambisinya, keinginan hendak menonjol selalu.[35] Temuan J. Saks ini jauh hari sebelumnya bahkan telah dipertegas oleh keponakan Dekker sendiri, yaitu Swath Abrahamsz dalam Multatuli als Indo-europeaan, Taal en letteren 1897, VIII, 53.[36]
Itu sebabnya jika kita betul-betul menganalisis “Perkara Lebak” secara komprehensif, tentunya kita bakal menemukan bagaimana penggambaran Multatuli tentang dirinya sendiri sebagai sosok yang lemah lembut serta penyabar dalam Max Havelaar justru tampak berkebalikan.
Bayangkan saja, dari sejak kedatangannya ke Lebak untuk berdinas sebagai asisten residen sampai pengunduran dirinya, Dekker hanya menghabiskan waktu tiga bulan saja di Rangkas Bitung. Dalam waktu sesingkat itu, dengan begitu percaya diri ia telah menuduh seorang bupati melakukan penyelewengan kekuasaan dan kelalain kewajiban yang cuma ia sandarkan pada arsip-arsip peninggalan Carolus serta keterangan-keterangan yang diperolehnya lewat obrolan dengan Letnan Collard dan Kontrolir van Hermet.
Bahkan ia tidak pernah mengadakan perjalanan dinas (turne) dan penelitian sendiri. Yang ia perbuat hanyalah tinggal di rumah untuk memeriksa laporan, nota, dan surat-surat yang ia temukan dalam arsipnya lalu menarik kesimpulan berdasarkan apa yang ia baca. Sehingga kata Nieuwenhuys: “[…] timbullah sebuah gambaran di mata penduduk seorang asisten residen yang duduk di bawah cahaya lampu seraya kepalanya dibungkus kain-kain basah untuk melawan sakit kepala yang terus-menerus itu.”[37]
Padahal, turne (inspeksi) itu—menurut Nieuwenhuys lebih lanjut—penting bagi pemerintahan dalam negeri. Karena lewat perjalanan berhari-hari di atas kuda dan menginap di pesanggrahan-pesanggrahan atau di rumah para kepala juga dengan pembicaraan dengan demang, lurah, jaro, jaksa, dan bila dikehendaki juga dengan orang-orang desa, seorang pejabat Belanda bisa mengenal lebih baik para penduduk dan kepala-kepala pribumi itu.
Dalam turne itulah seseorang dapat mengenal kehidupan di pedalaman dan belajar memahami serta merasakan banyak hal. Hanya dengan jalan demikian seseorang dapat mengetahui kenyataan yang tersembunyi di balik laporan-laporan. Namun, mengadakan turne itu saja tidaklah cukup; ada sifat-sifat dan kemampuan-kemampuan tertentu yang dibutuhkan, yaitu kesabaran dan kebijaksanaan, pengetahuan tentang bahasa serta kemampuan untuk bergaul dengan kepala-kepala itu secara akrab.[38]
Apakah Dekker memiliki kesabaran dan kebijaksanaan, pengetahuan tentang bahasa serta kemampuan untuk bergaul dengan para pembesar bumiputra? Ternyata tidak.
Di samping ketidakcakapan Dekker dalam bahasa Melayu (apalagi dalam bahasa Sunda), ceritanya mengenai dirinya sendiri dalam Max Havelaar sudah dengan cukup gamblang memperlihatkan kepada kita bagaimana sifatnya yang terlalu impulsif, terlalu lekas terdorong oleh perasaan, serta ceroboh dalam urusan keuangan. Sebuah ciri-ciri pribadi yang—menurut Subagio—tidak selayaknya terdapat pada penata usaha pemerintah yang baik. Wajar saja jika ia dianggap menggelapkan uang saat bertugas di Natal.
Yang paling kentara dari wataknya yang tidak sabaran dan ceroboh ini tentu saja adalah Perkara Lebak. Meskipun keterburu-buruan Dekker dalam kasus ini ternyata sedikit bisa dimengerti apabila kita kaitkan dengan bakal berakhirnya tugas van Twist sebagai gubernur jenderal. Hal ini lantaran ia memandang van Twist sebagai sekutu yang padanya ia letakkan segala harapan, termasuk harapan akan kenaikan pangkat.
Soal dirinya yang tidak pernah mengadakan turne selama masa dinas yang amat singkat itu, sebagai pengarang Multatuli kemudian berusaha menutupinya dengan cerita-cerita fiktif mengenai perjalanan Havelaar menunggu kuda di malam hari yang tidak diketahui kontrolir dan bupati untuk memeriksa perkara-perkara yang diadukan penduduk kepadanya.
Havelaar mencatat apa yang mereka katakan, kemudian ia menyuruh mereka itu pulang ke kampungnya. Ia berjanji bahwa hukum akan dijalankan, asal mereka tidak melawan dan tidak meninggalkan kampungnya, sebagaimana terniat oleh kebanyakannya. Seringkali ia, tidak lama sesudah itu berada di tempat di mana terjadi ketidakadilan, ya, acapkali ia sudah ke sana dan biasanya malam hari telah memeriksa perkara itu, sebelum si pengadu sendiri kembali di tempat tinggalnya. Demikianlah ia mengunjungi di daerah yang luas itu, desa-desa, yang duapuluh jam jauhnya dari Rangkas Betung, tanpa diketahui oleh bupati, bahkan oleh kontelir Verbrugge, bahwa ia meninggalkan ibukota. Maksudnya ia menghindarkan bahaya balas dendam terhadap pengadu, dan sekaligus supaya bupati jangan kehilangan muka dalam suatu pemeriksaan terbuka, yang apabila dilakukan oleh Havelaar, tidak akan berakhir dengan penarikan kembali pengaduan itu. (Max Havelaar, 254)
Tentu saja “tak diketahui kontrolir dan bupati” di sini amat penting bagi Dekker supaya pembaca tidak lagi memperdebatkan “kesahihan fakta” yang telah ia dekonstruksi tersebut—termasuk dengan menciptakan alibi “menghindarkan bahaya balas dendam terhadap pengadu, dan sekaligus supaya bupati jangan kehilangan muka dalam suatu pemeriksaan terbuka” yang sepintas terkesan masuk akal. Dalam hal ini Multatuli sebagai pengarang boleh dibilang berupaya melakukan koreksi terhadap dirinya sebagai Dekker demi membenarkan tindakan Dekker dalam “Perkara Lebak”. Tetapi, seperti yang dipertanyakan oleh Niewenhuys:
“Barangsiapa yang dapat menggambarkan kehidupan di kota kecil di pedalaman pada malam hari (Rangkasbitung semasa itu sebahagian masih terdiri dari hutan) dengan penjaga malamnya, peronda, rumah gardu, dan kentongannya, akan mengetahui bahwa praktis tidak mungkin bagi seorang asisten residen untuk mengadakan perjalanan dengan kuda dengan jarak beberapa puluh kilo di malam hari tanpa diketahui oleh orang. […]”
Sekalipun andai kata kita beranggapan bahwa benar-benar ia bisa keluar Rangkasbitung tanpa diketahui seorang pun, karena keteledoran para penjaga malam, tetapi toh kita akan bertanya pada diri sendiri, bahasa apa yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk gunung suku Sunda itu? Dan dengan cara apa ia—yang sangat kurang daya orientasinya—dapat menemukan jalannya ke wilayah di mana terdapat “penyelewengan yang sangat hebat”? yaitu tempat yang terletak jauh dari jalan besar di dalam kegelapan dan musim hujan (hujan turun hampir tiap malam dalam musim ini). Apalagi jika dalam hal ini kita pikirkan bahwa wilayah sebelah Selatan Rangkasbitung itu masih sangat liar dan tanah pergunungan, suatu wilayah “yang liar dan sunyi”. Dengan demikian, bentuk romantis yang dibuat-buat oleh Dekker ini menunjukkan kekurangan pengetahuannya mengenai keadaan setempat.[39]
Apa yang menyebabkan Dekker enggan mengadakan turne? Apakah karena ia sadar bahwa kemampuannya berkomunikasi dalam bahasa setempat yang buruk? Atau, lantaran ia takut diracun? Atau, ia memang berpendapat bahwa pemeriksaan arsip saja sudah cukup baginya untuk mengetahui kebenaran? Barangkali semuanya betul. Namun, menjadikan peristiwa fiktif sebagai bagian dari pembenaran diri dalam sebuah novel autobiografis yang dimaksudkan untuk kepentingan politis tetap saja merupakan satu ketidakpantasan. Itu sebabnya, wajar apabila para pengecamnya seperti De Kock dan Maria Berdenis van Berlekon menganggap novel Max Havelaar penuh kebohongan, fitnahan, dan pemutarbalikan kenyataan serta hanya berisi pameran diri penulis yang serba sombong.[40]
Eduard Douwes Dekker datang ke Rangkasbitung dengan kecongkakan seorang pejabat kolonial yang menempatkan dirinya di posisi superior, bahkan merasa dirinya bak Juru Selamat yang mengemban tugas mulia menyelamatkan rakyat Lebak dari pengisapan oleh kepala-kepala negeri mereka sendiri. Karena itu, ia tidak mau tahu tentang keningratan Raden Adipati Karta Natanagara ataupun memposisikan sang bupati sebagaimana mestinya, yakni sebagai seorang kepala yang sesungguhnya dari struktur masyarakat yang berbeda. Satu hal yang telah diinsyafi oleh pemerintah kolonial Belanda lewat Peraturan Kebijaksanaan di Hindia 1854, khususnya Bab IV Artikel 67 yang berbunyi “[…] penduduk pribumi dibiarkan berada di bawah pimpinan langsung kepala-kepalanya sendiri yang diangkat atau diakui oleh pemerintah.”
Sikap Dekker kepada Bupati Lebak ini bisa dikatakan dingin, formal, dan selalu menjaga jarak seperti sikap seorang atasan kepada bawahan. Ia tidak pernah mengunjungi sang bupati meskipun jarak kediaman mereka hanya beberapa ratus meter, malah seperti sengaja menghindari pertemuan yang bersifat lebih cair lantaran prasangka buruknya terhadap sang bupati sejak awal. Sebaliknya bupati telah beberapa kali mengunjunginya di kantornya untuk urusan kedinasan. Bahkan setelah dua bulan ia menjabat, ia belum juga memberi petunjuk-petunjuk tentang pekerjaan dan penguasaan di daerahnya.
Berkali-kali lewat karakter Max Havelaar, ia juga menyatakan bahwa dirinya hendak mencari cara untuk menyadarkan Karta Natanagara dari kekhilafan secara lemah-lembut seperti seorang kakak mengingatkan adiknya yang telah salah jalan, karena ia merasa kasihan kepada sang bupati. Simak saja betapa angkuh pandangannya terhadap sang bupati lewat narasi Stern di bawah ini, yang penuh dengan kata-kata merendahkan Karta Natanagara seraya pada saat yang sama meninggikan dirinya sendiri:
Ia mulai dengan lemah lembut. Ia berbicara dengan adipati sebagai “saudara tua”. Janganlah anda kira bahwa saya, karena senang dengan pahlawan cerita saya, membagus-baguskan caranya berbicara, tapi dengarlah bagaimana sekali waktu sesudah percakapan demikian, sang bupati mengirim patihnya kepadanya untuk mengucapkan terima kasih ataus keikhlasan kata-katanya, dan bagaimana lama sesudah itu, sang patih dalam pembicaraanya dengan kontelir Verbrugge, sesudah Havelaar tidak lagi jadi asisten residen Lebak, jadi, sesudah orang tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari padanya atau tidak perlu takut lagi kepadanya. —bagaimana sang patih itu merasa terharu teringat kata-kata itu, dan berseru: “Belum pernah ada tuan besar yang berbicara seperti dia!”
Ya, dia hendak menolong, menyelamatkan, bukan mencelakakan. Ia kasihan kepada bupati. Ia tahu bagaimana tertekannya orang yang tidak punya uang, lebih-lebih jika ia terancam kehinaan dan keaiban, maka ia mencari-cari alasan untuk membenarkan sang bupati. Bupati itu sudah tua, dia adalah kepala suatu kaum yang hidup mewah di propinsi-propinsi yang berdekatan, di mana banyak dihasilkan kopi dan banyak hasil tambahan. Bukankah ia merasa hina jika tingkat hidupnya jauh di bawah keluarganya yang lebih muda? Lagipula ia fanatik dan mengira bertambahnya usianya, ia dapat membeli keselamatan jiwanya dengan membayarkan orang lain naik haji, dan memberi sedekah kepada penganggur-penganggur yang mendoa untuknya. Pejabat-pejabat sebelum Havelaar di Lebak, tidak selalu memberikan contoh yang baik, dan akhirnya keluarga bupati di Lebak itu, yang hidup atas biayanya, jadi begitu besar, sehingga sukar baginya untuk kembali ke jalan yang benar.
Demikianlah Havelaar mencari-cari alasan supaya jangan bertindak keras, dan sekali lagi, dan sekali lagi mencoba apa yang dapat dilakukan dengan cara yang lemah lembut.
Dan ia lebih jauh lagi menempuh jalan yang lebih dari lemah lembut. Dan dengan kemuliaan hati yang mengingatkan kesalahan-kesalahan yang membikin ia begitu miskin, ia selalu meminjami bupati itu uang atas tanggungjawabnya sendiri, sehingga bupati itu tidak terpaksa harus melakukan kejahatan mencuri, dan ia seperti biasa sampai lupa diri dan menghemat keperluannya sendiri dan keluarganya sehemat-hematnya, supaya dapat menolong sang bupati dengan uang sedikit yang masih dapat disisihkannya dari penghasilannya. (Max Havelaar, 238)
Apa yang diutarakan di atas tidak lain lagi-lagi cuma pencitraan diri belaka. Sebab jika Dekker memang sungguh-sungguh berniat menjaga muka sang bupati dan bersikap lemah lembut seperti yang dikatakannya, ia takkan dengan semena-mena mengusir para pemotong rumput bupati, sebab tindakan kasar itu jelas-jelas telah mempermalukan sang bupati di hadapan penduduk dan bawahannya—satu hal yang tergolong kurang ajar menurut norma di tanah Jawa-Pasundan.
Atas beragam tindakan gegabahnya, terutama tuduhannya terhadap bupati, Dekker kemudian dianggap keliru menilai relasi sosial antara bupati dan rakyatnya sekaligus bagaimana pola relasi ini bekerja. Prof. Dr. Sartono Kartodirjo dalam disertasinya Pemberontakan Petani Banten 1888 (1967)—seperti yang dikutip Nieuwenhuys—contohnya, menilai bahwa Multatuli tidak memahami latar belakang struktur patrimonial Jawa yang birokratis.[41] Termasuk apa yang disebut sebagai pundutan, yakni sumbangan dari penduduk untuk sesuatu upacaya yang selalu bersifat komunal dan suci yang diberikan dalam bentuk natura misalnya ayam, telur, juga kerbau.
Dalam Perkara Lebak,mengingat tingginya kedudukan sang bupati, sumbangan itu tergolong suatu “pundutan raja”, yaitu suatu pundutan berjumlah besar yang ia perlukan untuk upacara-upacara dalam rangka kunjungan keponakannya yang juga berkedudukan tinggi sebagai bupati Cianjur.
Dekker sendiri tahu bahwa bupati kesulitan uang, artinya ia dalam keadaan terpaksa harus menggunakan hak terhadap pundutan tersebut, sebab itu ia kurang gembira dengan kunjungan keponakannya, demikian ia memberitahu residen. Meski begitu, ia tetap berkewajiban untuk menyambut keponakannya sesuai dengan kehormatan yang ditetapkan adat. Apabila ia tidak melakukan hal itu, maka bukan hanya ia, melainkan juga penduduk akan merasa malu.
Namun, persoalannya, apakah Dekker betul-betul tidak memahami budaya dan masyarakat Banten, atau ia tidak mau tahu sama sekali akan hal ini? Bukankah sebagai Multatuli dalam Max Havelaar ia sendiri telah menulis bahwa:
Jika alun-alun di depan kediaman bupati dalam keadaan kacau balau, maka penduduk sekitar situ akan malu, dan tidak sedikit wibawa yang akan diperlukan untuk mencegahnya membersihkan tanah lapang itu dari rumput-rumput, dan menyesuaikannya dengan keadaan yang pantas bagi martabat bupati. Jika mereka hendak dibayar, hal itu umumnya akan dianggap sebagai penghinaan. (Max Havelaar, 66) [42]
Lantas mengapa ia tidak bertindak sesuai dengan pengetahuannya tersebut dan tetap berlaku kasar pada sang bupati, bahkan tetap bersitegang dalam sikapnya kendati bupati telah mengiriminya surat yang amat sopan untuk memohon diperkenankan memanggil kembali para pemotong rumput itu?
Saya kira, hal ini selain pemahamannya tentang budaya Banten yang sebenarnya minim, yang hanya sebatas kulit luar saja, sikapnya tersebut dengan mudah diterangkan melalui perasaan superior Barat yang berlaku pada masa itu (dan sampai jauh di kemudian hari), terutama di kalangan para pejabat muda dengan cita-cita modern mereka tentang hukum Barat dan keadilan secara Barat. Oleh Dekker, norma dan nilai Eropa inilah yang dijadikannya sebagai standar dalam memandang segala sesuatu. Seperti yang dinyatakan oleh seorang bupati Tuban yang dapat berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda:
Apa yang disebut ‘penindasan’ dan ‘pemerasan’ (….) seringkali tidak merupakan tindakan yang jahat, malahan hampir-hampir merupakan suatu kebiasaan dalam pandangan orang-orang Pribumi. Akan tetapi, pejabat-pejabat Eropa dengan pengertian Barat itu, telah belajar untuk memandang hal itu sebagai suatu pelanggaran yang berat. Bilamana mereka itu dalam hal demikian ini mau meminta nasihat kepala-kepala desa atau pejabat-pejabat Pribumi, maka mungkin mereka akan dapat membeda-bedakan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh seorang kepala desa dan apa yang bertentangan dengan adat desa. [43]
Masalahnya dalam kasus ini adalah Dekker bukan saja enggan berdiskusi dengan para kepala bumiputra, tetapi ia juga tidak mau menoleransi bahwa masyarakat Hindia Belanda mengenal suatu hukum lain selain hukum tertulis Eropa yang dipaksakan dari atas dan tidak berakar dalam rasa keadilan kepala-kepala maupun rakyat. Padahal bagi mereka, ketimbang hukum Belanda, adat yang tidak tertulis itulah kenyataan. Apa yang di mata orang Barat disebut sebagai “sewenang-wenang”, “penyalahgunaan kekuasaan”, dan “pemerasan”, di mata penduduk Jawa itu hanyalah suatu kebiasaan komunal, misalnya dalam hal ini kerja bakti dan persembahan upeti kepada bupati. Apalagi hal ini bertalian erat dengan kedudukan bupati sebagai suatu lambang dalam kehidupan masyarakat. Begitu pun sebaliknya, apa yang menurut pengertian Barat termasuk hukum atau peraturan, bisa jadi adalah suatu ketidakadilan bagi penduduk bumiputra.
Dekker sepertinya hendak menutup mata untuk melihat bahwa benih penyelewengan para kepala bumiputra yang ia persoalkan itu tidaklah semata-mata disebabkan oleh soal dikukuhkannya sistem kepala-kepala adat itu sendiri, melainkan juga karena pengakuan atas sistem kepala-kepala adat itu diadakan dalam bentuk penguasaan Barat yang dijalankan oleh pemerintah sehingga telah menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Pertumbuhan benih-benih tersebut kemudian dirangsang oleh penggajian yang buruk dan pada umumnya juga oleh kepicikan gubernemen.
Dalam hal ini kita pun dapat melihat betapa arogannya sikap paternalistis dan orientalis yang ditunjukkan oleh seorang Dekker dalam memandang permasalahan yang ia temui pada masyarakat jajahan di Hindia, ketika ia bukan saja mencoba memaksakan peraturan dan hukum kolonial (yang menurut pendapatnya adalah “baik”) tetapi juga sebentuk moralitas humanisme Barat dan Kristen (Calvinis?). Padahal ia juga menulis sebagai berikut:
Tapi menurut pendapat saya kesalahan penguasa demikian, dalam beberapa hal tidak boleh dinilai terlalu keras, dan terutama tidak menurut pengertian-pengertian Eropah. Penduduk sendiri akan merasa aneh, barangkali karena tidak biasa, jika ia selalu dan dalam segala hal berpegang erat pada ketentuan-ketentuan mengenai angka untuk orang wajib rodi yang harus bekerja di pekarangannya, sebab selalu ada saja kemungkinan bahwa keadaan tidak tercakup dalam ketentuan. (Max Havelaar, 218)
Begitu besarnya ego Dekker ini, sehingga ketika Kern (seorang ahli linguistik) dan Quack (seorang ekonom) menghimbau agar setelah Max Havelaar terbit, orang Belanda mestinya lebih memperhatikan nasib orang Jawa, Multatuli pun naik pitam. Kern dan Quack dianggapnya musuh karena titik berat mereka jatuh pada “nasib orang Jawa” dan bukan pada “pembela orang Jawa”, yaitu Douwes Dekker (Multatuli) sendiri (Idee 1034/5).[44]
Ego yang besar inilah—menurut David Albert Peransi—yang menjadi titik pangkal Dekker menuliskan novel dengan memakai pola hitam-putih: Tokoh Max Havelaar menjadi raksasa, orang suci dan bersih, sedangkan Raden Adipati digambarkan hitam pekat, dan rakyat Banten hanya menjadi pelengkap penderita saja.
Dengan begitu, apa bedanya tokoh Havelaar dengan Droogstoppel yang diciptakannya untuk mengolok-olok para pengecamnya itu? Meskipun karakteristik dan pandangan keduanya tentang rakyat Jawa dibuat seakan-akan saling memunggungi, bukankah mereka sama-sama mencitrakan diri sebagai orang baik yang penuh hasrat memuji diri sendiri dan cenderung merasa pandangannya paling benar? Hanya saja Droogstoppel menyampaikan kenarsisan dan pandangan orientalis-rasisnya itu lewat narasinya sendiri, sementara pamer diri Havelaar disuarakan lewat simpati Stern terhadap kisah kepahlawanannya di Lebak. Narator-karakter pemuda Jerman yang fasih berbahasa Belanda ini memang sengaja ia ciptakan untuk mengisahkan moralitas “kepahlawanan” dan “kemartiran” Havelaar dengan penuh puja-puji.
Sebagaimana yang dilihat oleh Darren C. Zook, terlepas dari kerangka struktur naratif Max Havelaar yang saling terkait bahwa karakter Max Havelaar pada dasarnya adalah foil sastra Multatuli, struktur sastra novel itu sama tidak konsistennya dengan etika politik sang pengarang. Multatuli sesungguhnya lebih dekat dengan Droogstoppel yang tidak menarik dan malang daripada dengan Max Havelaar yang “pahlawan”.[45] Karena itu Zook kemudian menarik contoh dari bagian awal novel di mana Droogstoppel mengecam ketidakbergunaan dan kebohongan panggung pertunjukan dan drama secara umum:
If we, in the spirit of Clifford Geertz, keep in mind here the elaborate array of ritualized gestures and deferential locutions that constituted Javanese political culture, it becomes clear that the address to the chiefs of Lebak, and the “real life” version of the affair which spelled the end of Multatuli’s hopes to move into the colonial elite, are little more than mirror images of Droogstoppel’s critique of theater. Droogstoppel confuses his critique of theater with his misunderstanding of its methods and intent, and Multatuli, like Max Havelaar, cannot distinguish between his critique of native injustice and his misunderstanding of the intricacies of native society.[46]
Lalu, dari hal apa para pemuja Multatuli dapat menjadikan Douwer Dekker atau Max Havelaar atau Multatuli (ketiganya sama saja) sebagai simbol antikolonialisme? Bagian manakah dari novel Max Havelaar yang bisa dinilai menentang kolonialisme, apalagi mematahkannya?
Apakah Multatuli alias Dekker lewat “Tindakan Lebak”-nya pernah mempersoalkan kolonialisme sebagai sebuah sistem? Tidak sama sekali. Yang ia lakukan hanyalah mencoba melakukan aksi kepahlawanan yang dianggapnya sebagai tindakan mulia berdasarkan perspektif eropasentrisnya, dalam hal ini ia bukan saja merasa dirinya memikul kewajiban moral untuk berkorban demi rakyat Lebak, tetapi juga menganggap penderitaannya mewakili penderitaan rakyat Lebak yang menggantungkan nasib kepadanya. Akibatnya, dengan narsis ia pun menempatkan dirinya menjadi pelindung sekaligus juru bicara bagi orang Jawa yang tidak mampu bersuara. Salah satu contoh gamblang atas hal ini antara lain dapat kita petik dari teks peristiwa ketika Havelaar didatangi oleh para penduduk yang hendak mengadu dan mencari pelindungan kepadanya:
Kebanyakannya datang dari distrik Parangkujang di mana menantu bupati menjadi kepala; dan sekalipun kepala distrik itu juga mengambil bagian dari apa yang diperas itu, bukanlah rahasia bahwa ia seringkali merampok atas nama dan untuk bupati. Mengharukan betapa orang-orang malang itu percaya kepada kesatriaan Havelaar, bahwa ia tidak akan memanggil mereka untuk mengulangi keesokan harinya dimuka umum apa yang mereka katakan dalam kamarnya. Ini akan berarti penganiayaan bagi semuanya, dan bagi kebanyakan berarti kematian. (Max Havelaar, 254)
Walaupun tampak mengolok-olok khotbah Pendeta Wawelaar (Wawelaar artinya Tukang Celoteh atau “bicara bodoh dan menjemukan”[47]) dan misi Kristenisasi zending lewat narasi Droogstoppel sembari memihak pada pandangan “pluralisme” Frits yang menganggap orang Jawa bukan orang kafir, tetapi di sisi lain Dekker jelas tanpa segan-segan membandingkan dirinya dengan Kristus ketika ia berpidato sebagai Max Havelaar di depan para pembesar bumiputra.[48] Lebih jauh lagi lewat narator Stern, Multatuli juga menyajikan kisah cinta tragis Saijah dan Adinda yang mana—sebagaimana diakui oleh Stern—hanyalah bagian dari “perumpamaan” yang mencoba meniru gaya berkhotbah Yesus dalam Injil serta berfungsi sebagai semacam ilustrasi atas penderitaan rakyat Lebak dengan Saijah sebagai personifikasinya.[49] Stern berkata:
Tapi mengenai pokok utamanya….. O, semoga saya dituduh memfitnah! O, semoga saya dipanggil untuk membuktikan apa yang saya tulis! O, semoga orang berkata: “Saijah itu hanya khayalan anda, dia tidak menyanyikan lagu itu, tidak ada orang bernama Adinda tinggal di Badur!” Tapi hendaknya itu dikatakan dengan kekuatan kemauan untuk menegakkan keadilan, sesudah saya buktikan bahwa saya tidak memfitnah!
Apakah dusta perumpamaan orang Samaritan yang belas kasihan, sebab barangkali tidak pernah seorang musafir yang disamun dirawat di rumah keluarga Samaritan? Apakah dusta perumpamaan orang yang menyemai, sebab kita tahu bahwa tidak ada petani yang menebar benih di atas batu? (Max Havelaar, 300)
Karena itu, dalam hal ini—sebagaimana diungkapkan Zook—Multatuli pun merasa bahwa penderitaan yang ia dapatkan akibat membela nasib rakyat Lebak sederajat dengan penderitaan yang dialami oleh Yesus, yang mencari dan mengetahui kebenaran tetapi dianiaya lantaran hal tersebut.[50]
Tetapi, sekali pun hanyalah sebagai kisah perumpamaan (dengan akhir sedih Saijah tewas mengenaskan di ujung bayonet serdadu Belanda), tetap saja dalam cerita khayalannya ini Multatuli cuma menyalahkan para kepala bumiputra atas segala kemalangan nasib yang menimpa tokoh-tokohnya. Bahkan, dengan terang-terangan disebutkannya bahwa kerbau milik ayah Saijah dirampas oleh Kepala Distrik Parangkujang.
Hal lain yang menunjukkan Dekker dengan “Tindakan Lebak”-nya bukan ingin mematahkan sistem kolonial, tetapi justru membelanya adalah ia tidak pernah keberatan menjadi pejabat dalam sistem itu. Tidak pula di kemudian hari setelah Max Havelaar terbit. Ini terbukti dari kesediaannya dicalonkan menduduki jabatan seperti menjadi Residen Pasuruhan, keanggotaan Dewan Hindia, dan jabatan Menteri Jajahan (ditawarkan oleh seorang menteri berhaluan konservatif).[51]
Usulnya menjatuhkan pemberhentian sementara kepada bupati bukanlah suatu tindakan yang ditujukan kepada sistem. Malahan hal itu sangat cocok dengan sistem. Pada zaman itu hanya kaum sosialis, yang justru ditolak oleh Multatuli, yang menganalisis sistem kolonial secara mendasar dan tegas atas dasar filsafat Marxisme, lalu menyimpulkan bahwa kemiskinan dan penyelewengan yang terjadi di Jawa menjadi tanggungjawab sistem kolonial. Sebagaimana ditanyakan oleh Nieuwenhuys:
Apakah pemecatan beberapa bupati dan kepala yang menyeleweng dapat mengubah sifat sistem itu sendiri? Tidak sama sekali. Pertanyaan ini dapat juga dirumuskan sebagai berikut: apakah yang dapat dicapai oleh Dekker andaikata keinginannya terlaksana, yakti pemecahan atau pemberhentian sementara bupati Lebak, kecuali barangkali suatu perbaikan sementara?
Bagaimanakah ia akan berhasil menemukan cara yang mujarab dalam usaha memberantas penyelewengan. Semua hal ini berasal dari sistem kolonial. Semua hal ini, menurut istilah modernnya, bersifat struktural. Sedangkan kita dapat pula berkata bahwa Dekker justru membantu menegakkan sistem yang pada hakikatnya tidak adil dengan jalan memberinya pembungkus yang menyesatkan, seakan-akan tercapai keadilan yang lebih besar.[52]
Masih terdapat banyak bukti bahwa Multatuli alias Dekker sangat mendukung kolonialisme di bumi Hindia yang dapat kita temukan dalam novel Max Havelaar, buku yang oleh para pembelanya (termasuk Pramoedya) disejajarkan dengan novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe[53] (Satu hal yang seyogianya memang diinginkan oleh Multatuli sendiri dengan menyebut judul buku tersebut dalam narasi Stern).[54]
Contohnya, Multatuli menunjukkan sikapnya yang cukup tegas dalam menghadapi pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan Belanda seperti yang bisa kita baca dari pembelaan dirinya (lewat percakapannya dengan Kontrolir Verbrugge dan Letnan Ducklari) atas kasus tuduhan penggelapan kas terhadapnya di Natal, juga pengalamannya berdinas di Ambon. Selain menyatakan kegusarannya pada pemerintah Hindia Belanda lantaran sedikitnya bantuan yang diberikan kepadanya dalam aksi heroiknya memadamkan pemberontakan rakyat Ambon[55], ia berulangkali pula mencemooh Jenderal Van Damme (Gubernur Sumatra Barat, Andreas Victor Michiels)—yang telah memberhentikannya untuk sementara dari tugas di Sumatra—termasuk dalam hal tidak ditaklukkannya wilayah Sumatra Utara oleh sang jenderal.
“Anda tahu, Havelaar mulai, bagaimana tanah-tanah milik Belanda di Pantai Barat Sumatera berbatasan dengan kerajaan-kerajaan merdeka di sudut Utara, antaranya Aceh adalah yang paling penting. Kata orang ada satu pasal rahasia dalam perjanjian 1824, dalam mana kita berjanji kepada orang Inggeris tidak akan melewati sungai Singkel. Jadi jenderal van Damme yang dengan “faux air Napoleon” ingin meluaskan pemerintahan seluas-luasnya, tertumbuk pada rintangan yang tidak dapat diatasi dalam jurusan itu. Saya cenderung percaya akan adanya pasal rahasia itu, sebab saya heran juga mengapa raja-raja Trumon dan Analabu, yang daerah-daerahnya penting untuk perdagangan lada yang ramai di sana, tidak ditaklukkan sudah lama ke bawah kedaulatan Belanda. Anda tahu betapa mudah mencari dalih untuk memerangi kerajaan-kerajaan kecil seperti itu, dan menaklukkannya. Mencuri suatu wilayah selalu lebih mudah dari mencuri kincir. Tentang jenderal van Damme saya rasa kincirpun dia mau merampasnya, kalau dia suka, maka saya tidak mengerti mengapa ia tidak menaklukkan daerah-daerah di Utara itu, sekiranya untuk itu tidak ada alasan-alasan yang lebih kuat dari hukum dan keadilan. (Max Havelaar, 203)
Bahkan tanpa malu-malu ia mengkonstruksi citra kepahlawanan Herman Willem Daendels—Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1811 yang telah mengeksploitasi rakyat Jawa habis-habisan melalui kerja paksa untuk membangun infrastruktur atas kepentingan kolonial Belanda—dengan penuh kekaguman:
Orang akan keliru sekali, jika mempunyai gambaran tentang seluruh jalan besar di pulau Jawa, menurut ukuran jalan di daerah Lebak itu. Jalan raya yang sebenarnya, dengan cabang-cabangnya yang banyak, yang disuruh Marsekal Daendels buat dengan pengorbanan yang besar dari rakyat, sesungguhnya merupakan suatu pekerjaan yang hebat, dan kita takjub dengan semangat orang itu, yang dengan menempuh segala kesukaran yang dilintangkan orang-orang yang iri hati dan kawan-kawannya di tanah air, berani menghadapi rakyat yang enggan dan kepala-kepala yang tidak senang, untuk mengerjakan sesuatu, yang sampai sekarang masih menimbulkan kekaguman tiap pengunjung dan sepantasnya dikagumi. (Max Havelaar, 51)
Hal ini belum lagi ditambah dengan cara Multatuli memperlakukan nama para tokoh novelnya yang didasarkan pada tokoh-tokoh nyata. Semua tokoh Belanda dalam Max Havelaar diberinya nama samaran, termasuk dirinya sendiri (sebagai Max Havelaar dan Sjaalman) dan sang istri Everdine van Wijnbergen (menjadi Tine). Sebut saja Slijmering (berarti Lidah Bergetah) yang tidak lain adalah Residen Brest van Kempen, Kontrolir Verbrugge (Kontrolir Langevelt van Hermett), Letnan Ducklari (Letnan P.A.A. Collard) yang menjadi komandan garnisun pada masa itu, Asisten Residen Slotering (C.E.P. Carolus), dan Jenderal van Damme (Jenderal Andreas Victor Michiels). Tetapi untuk tokoh-tokoh pribumi seperti Raden Adipati Karta Natanagara dan Demang Parangkujang, tetaplah dipergunakan olehnya nama asli mereka secara lengkap dalam cerita.
Seperti yang dipertanyakan oleh Subagio Sastrawardoyo: “Adakah ini suatu tanda, bahwa Douwes Dekker dilepeti kesombongan dan purbasangka kolonial juga, dengan merasa tidak perlu menyembunyikan nama yang sebenarnya, karena berbeda dengan menghadapi orang-orang Belanda, tidak mengapalah menghina orang bumiputra di muka khalayak ramai pembaca?”
Meskipun dari segi bentuknya (metafiksi dan gagasan pengadopsian gaya cerita berbingkai ala hikayat Seribu Satu Malam) Max Havelaar memang tampak cukup cemerlang di tengah arus perkembangan sastra Belanda pada abad ke-19 yang kering lantaran kebanyakan pengarangnya adalah para pejabat gereja dan ahli hukum yang cuma bisa menulis karangan-karangan bersifat didaktis;[56] gaya penceritaan dan isi novel ini secara umum terasa cukup membosankan, terutama dari sisi betapa subjektifnya Multatuli memberikan penghargaan berupa sanjungan-sanjungan narsis dan norak terhadap tokoh Max Havelaar yang adalah pembayangan dirinya sendiri sebagai karakter serba positif dan pusat segala peristiwa.
Karena itu, meskipun Multatuli seolah-olah tidak peduli pada buruknya kualitas novel ini selain pada tujuannya menulis,[57] pembongkaran terhadap riwayat hidup sang pengarang justru memberikan kita sejumlah fakta bahwa Max Havelaar tidak lain hanyalah siasat Dekker untuk membenarkan sejak terjang dan perilakunya lewat sejumlah kebohongan dalam karya fiksi. Seperti yang dikatakan oleh Nieuwenhuys: Guna mengaburkan hal yang sesungguhnya terjadi, Dekker merajut imajinasi dan realitas. Ia bersembunyi dalam selimut ketidakjelasan.[58]
Sekali lagi, baik dalam”Perkara Lebak” di dunia nyata maupun dalam cerita novel Max Havelaar, Douwes Dekker alias Multatuli alias Max Havelaar sama sekali tidak pernah menggugat ketidakabsahan dan ketidakpatutan kekuasaan kolonial Belanda di bumi Nusantara, yang ia gugat hanyalah bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda di tanah Hindia yang dijalankan oleh para pembesar bumiputra telah menyengsarakan rakyat jajahan. Dan semua itu diabaikan oleh para pejabat kolonial.
Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka itu menjadikan dirinya pemilik tanah itu. Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropah. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh kepada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka ….., dan, — mereka berhasil.
Kalau kita perhatikan betapa banyaknya hasil-hasil pulau Jawa, yang dilelang di negeri Belanda, menjadi yakinlah kita betapa suksesnya politik itu, meskipun tidak mulia. Sebab, kalau ada orang bertanya apakah si petani sendiri mendapat upah sebanding dengan hasilnya, maka saya harus mengatakan tidak. Pemerintah mewajibkan menanam di tanahnya sendiri apa yang dikehendaki oleh pemerintah; pemerintah menghukumnya, jika ia menjual hasil yang diperoleh dengan cara itu kepada siapapun juga, kecuali pemerintah, dan pemerintah sendiri yang menetapkan harga, yang akan dibayarnya untuk itu. Ongkos-ongkos pengangkutan ke Eropah dengan perantaraan badan perdagangan yang diberi hak istimewa, tinggi; wang penggairah yang diberikan kepada kepala-kepala, memberatkan pula harga beli, — dan karena seluruh perdagangan harus memberikan untung, keuntungan itu tidak bisa didapat dengan cara lain dari membayar si orang Jawa sekedar supaya ia jangan mati kelapangan, hal mana akan mengurangi tenaga hasil bangsa itu.
Pun kepada pejabat-pejabat Eropah dibayarkan upah sebanding dengan penghasilan….
[…]
Bahaya kelaparan? ….. Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca; beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, …. ibu-ibu menjual anaknya untuk makan, …. ibu-ibu memakan anaknya sendiri….
Tapi kemudian negeri Belanda turun tangan. Di ruang-ruang sidang perwakilan rakyat orang merasa tidak senang dengan hal itu, dan gubernur jenderal tatkala itu memerintahkan jangan lagi menambah apa yang disebut Hasil-hasil Pasar Eropah sampai orang kelaparan ….. Saya jadi merasa geram. Siapakah yang dapat menuliskan hal-hal demikian tanpa merasa geram?
Akhirnya saya akan membicarakan jenis penghasilan yang terakhir dan terutama dari kepala-kepala Bumiputera, yakni penggunaan sewenang-wenang tenaga orang dan milik rakyat. (Max Havelaar, 63-64)
Perlawanan Dekker maupun gugatan yang kemudian dilakukannya lewat novel Max Havelaar terhadap kebijakan para pejabat pemerintah Belanda tidak bisa ditafsirkan begitu saja sebagai sebentuk penolakan terhadap kolonialisme. Karena itu, novel itu juga tidak bisa serta-merta dianggap telah membantu gerakan liberal mempermalukan pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis, yang agenda utamanya adalah mempromosikan irigasi, migrasi antar-pulau, dan pendidikan di Hindia Belanda—seperti yang dikatakan oleh Pramoedya.
Jika kita mau memeriksa teks Max Havelaar sedikit lebih cermat, bukankah Multatuli sendiri menulis bahwa penderitaan dan kelaparan rakyat di pulau Jawa telah menjadi perhatian dalam ruang-ruang sidang perwakilan rakyat? Artinya dalam hal ini, sebelum Max Havelaar terbit dan menggemparkan negeri Belanda pun, Partai Liberal Belanda telah mengkritik keras kebijakan Tanam Paksa dan menginginkan suatu politik balas budi.
Lagipula, niat Partai Liberal Belanda memperjuangkan perhapusan sistem Tanam Paksa tidak lain adalah demi membuka peluang bagi penanaman modal swasta di Hindia Belanda sehingga dapat mengembangkan pasar bebas yang sesuai dengan prinsip-prinsip kapitalisme. Di kemudian hari sistem ekonomi pasar bebas ini terbukti bukannya memperbaiki kondisi kehidupan rakyat di Hindia, justru kian menyengsarakan rakyat dengan meluasnya perkebunan-perkebunan swasta yang melakukan perbudakan para kuli kontrak.
Lebih jauh lagi, sistem ini juga melahirkan perdagangan manusia dalam kasus penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung. Banyak kuli Cina bukan cuma didatangkan dari Cina Daratan maupun pasar kuli di Singapura dan Semenanjung Malaya lewat bujuk-tipu, tetapi juga dieksploitasi habis-habisan setiba mereka di tempat kerja tanpa bisa melepaskan diri seumur hidup. Perbudakan kuli tambang Cina inilah yang antara lain menimbulkan Pemberontakan Liu Ngie di Bangka (1899-1900) yang membuat pemerintah kolonial Belanda harus mengirim pasukan militer dari Batavia untuk memadamkannya. [59]
Insiden Koba menyoroti kondisi pertambangan yang mengerikan. Sembilan pertambangan di sana hampir tidak menguntungkan, tetapi kepala parit mengambil keuntungan yang sangat berlebihan dari kuli dengan menetapkan harga yang sangat tinggi di toko-toko mereka dan menerapkan sanksi berat dalam bentuk uang atau tambahan kerja atas pelanggaran kecil yang dilakukan kuli. Dengan membiarkan kuli terlilit hutang, membuat tidak mungkin untuk kuli-kuli meninggalkan pertambangan, apalagi kembali ke Tiongkok. Di tahun 1898, seorang kepala parit di Koba membunuh seorang kuli yang lari, tapi ia kembali ke pertambangan. Korban ditendang, dianiaya dan dibiarkan di dalam sebuah tong arak hingga mati. [60]
Baik kelompok Liberal maupun Konservatif boleh dikatakan sama-sama memanfaatkan Max Havelaar untuk tujuan mereka. Jika para politisi dari golongan Liberal hanya memanfaatkan Max Havelaar untuk menunjukkan kebobrokan tata kelola kolonial, yang tidak lain dari retorika kolonialis demi kepentingan mereka memperoleh keuntungan yang lebih besar yakni penerbitan Undang-undang Agraria 1870 yang memungkinkan dikuasainya kegiatan ekonomi oleh pihak swasta. Sebaliknya, kelompok Konservatif juga menggunakan Max Havelaar sebagai serangan terhadap kaum Liberal, terutama dalam hal bengisnya para pengusaha swasta mengeksploitasi petani selepas berakhirnya sistem Tanam Paksa.
Kedua golongan itu—seperti halnya seorang Dekker—sama-sama berbicara mengatasnamakan rakyat Jawa yang menderita. Rakyat Jawa dalam hal ini adalah kelompok subaltern dalam definisi Gayatri Chakravorty Spivak (yang dikembangkannya dari pemikiran Antonio Gramci).[61] Yakni kelompok masyarakat yang dianggap tidak memiliki kemampuan dan kebebasan untuk bersuara, sehingga selalu terwakilkan oleh dominasi wacana kekuasaan. Akibatnya, lebih sering mereka hanya diletakkan sebagai objek untuk kepentingan yang mewakilinya, termasuk di sini kaum intelektual dan penulis yang berbicara atas nama mereka dan persoalan mereka tetapi bukan benar-benar demi kepentingan mereka.
Dalam novel Max Havelaar, fragmen Saijah dan Adinda berikut seluruh kisah tokoh Havelaar bukan saja secara gamblang memperlihatkan usaha representasi atas sang liyan (the other) yang dilakukan Multatuli, tetapi juga menunjukkan dengan kentara bagaimana representasi itu tidak terlepas dari hasrat kepentingan politik pribadi Dekker untuk merehabilitasi nama baiknya dan berusaha memperoleh jabatan yang lebih tinggi.[62] Dengan demikian, bukankah cukup jelas bahwa Multatuli juga mencari keuntungannya sendiri seperti halnya karakter Droogstoppel yang digambarkannya sebagai sosok tamak dan picik?
Tentu, berbicara untuk (maupun tentang) “sang liyan” bukanlah sesuatu tidak memungkinkan dan tidak boleh. Terdapat banyak contoh dari karya fiksi dunia atas hal ini yang bisa kita rujuk dan pertanyaan yang bisa kita ajukan terkait dengannya. Tetapi—seperti yang dikemukakan Linda Martín Alcoff dalam “The Problem of Speaking for Others” yang berangkat dari kajian subaltern Spivak—hal itu tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks yang mendasarinya juga siapa yang berbicara, siapa yang dibicarakan, dan kepada siapa, lantaran adanya persoalan relasi kekuasaan dan hak istimewa yang tidak sama dan tidak sebanding.
Rituals of speaking are politically constituted by power relations of domination, exploitation, and subordination. Who is speaking, who is spoken of, and who listens is a result, as well as an act, of political struggle. Simply put, the discursive context is a political arena. To the extent that this context bears on meaning, and meaning is in some sense the object of truth, we cannot make an epistemic evaluation of the claim without simultaneously assessing the politics of the situation.
Although we cannot maintain a neutral voice, according to the first premise we may at least all claim the right and legitimacy to speak. But the second premise suggests that some voices may be dis-authorized on grounds which are simultaneously political and epistemic. Any statement will invoke the structures of power allied with the social location of the speaker, aside from the speaker’s intentions or attempts to avoid such invocations.[63]
Untuk itu, Alcoff menyarankan, seorang “pembicara”(speaker) hendaknya menginterogasi posisi dan konteksnya pada apa yang ia ungkapkan, dan ini harus menjadi bagian eksplisit dari setiap praktik diskursif serius yang kita lakukan. Salah satu caranya—sebagai prosedur yang bakal paling berhasil untuk menghindari distorsi representatif—adalah keterlibatan secara kolektif sang pembicara bersama kelompok sosial yang dibicarakannya (speaking about others maupun speaking for others). Atau, setidaknya sang pembicara pernah/sedang bergumul dengan pengalaman maupun persoalan yang serupa.
Tetapi dalam kasus Max Havelaar, persoalannya adalah kendati Dekker (maupun tokoh Havelaar) memang berdinas di Lebak, sebagai Havelaar dan Multatuli ia sesungguhnya berbicara tentang dan atas nama penduduk Banten Selatan hanya berdasarkan pertimbangan moral dan perspektif humanisme Eropa belaka, bahkan dalam status elite sebagai seorang pejabat kolonial yang amat berjarak (baca: penjajah merepresentasikan rakyat jajahan). Informasi-informasi yang diperolehnya, baik yang dipergunakannya untuk menuduh bupati maupun yang kemudian dipakainya untuk menulis Max Havelaar, boleh dibilang hampir sepenuhnya berasal dari bacaan atas arsip kolonial dan buku-buku karya penulis Belanda, atau pembicaraan dengan sesama orang Belanda.
Karena itu, seruan kerasnya tentang penderitaan rakyat Lebak pun rentan dibaca sebagai sekadar kedok bagi pencitraan politiknya sebagai pahlawan kolonial dan mesias, yang kemudian pada giliran berikutnya sebagai seorang martir yang dikorbankan (Ingat, nama Multatuli dalam bahasa Latin berarti “ik heb veel geleden” atau “aku yang banyak menderita”) oleh kekuasaan di atasnya.
Sebagai teks, novel Max Havelaar tidaklah berfungsi untuk mencatat dan melaporkan kenyataan, melainkan hendak menciptakan kenyataan ala Multatuli. Ia hanyalah sebentuk pembelaan diri Eduard Douwes Dekker yang ingin melihat tindakan kepahlawanan yang ia konstruksi itu dapat dibenarkan. Dengan kata lain, Max Havelaar hanyalah sebuah retorika kolonial.
Kepustakaan
Adipurwawidjana, Ari J. “Pola Narasi Kolonial dan Pascakolonial”. Jurnal Kalam, 14, 1999.
Alatas, Syed Hussein. 1989.Mitos Pribumi Malas. TerjemahanAhmad Rofie dan Zainab Kassim.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Alcoff, Linda Martín.“The Problem of Speaking for Others”. Cultural Critique, Winter 1991-1992, pp. 5-32, dalam http://alcoff.com/content/speaothers.html, diakses 20/06/2022.
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths and Helen Tiffin. 2001. Post-Colonial Studies: The Key Concepts. London: Routledge.
Chabibah, Uswatul. “Sisi Lain Eduard Douwes Dekker: Pejabat yang Tak Pernah “Blusukan”” dalam https://tirto.id/sisi-lain-eduard-douwes-dekker-pejabat-yang-tak-pernah-blusukan-gan6, diakses 15/09/2021.
Defoe, Daniel. 2007. Robinson Crusoe. New York: Oxford University Press Inc.
Defoe, Daniel. 2010. Robinson Crusoe. Terjemahan Peusy Sharmaya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
De Gier, dr. J. “Rilling door het land”, dalam https://www.digibron.nl/viewer/collectie/Digibron/id/tag: RD.nl,20100514:newsml_2c6b375cc8894fb9fb99e9dedf2c13a4, diakses 12/02/2022.
Dewi, Christiana. Max Havelaar dan Citra Antikolonial: Sebuah Tinjauan Poskolonial. Atavisme. Vol.11, No.1 2008, hlm. 23-37.
Erlang, Niduparas (ed.). 2018. Simposium: Pascakolonial dan Isu-isu Mutakhir Lintas Disiplin. Lebak:Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak.
Erlang, Niduparas (ed.). 2019. Membaca Ulang Max Havelaar. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Faruk, Dr. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Klinkowitz, Jerome. “Metafiction” (26 July 2017) dalam https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190201098.013.546, diakses 15/02/2022.
Morton, Stephen Morton. 2008. Gayatri Spivak; Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran Poskolonial. Terj. Wiwin Indiarti, SS, M.Hum. Yogyakarta: Penerbit Pararaton.
Multatuli. 2000 (Cet.8). Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Terj. H.B. Jassin. Jakarta: Djambatan.
Nieuwenhuys, Rob. 2019. Mitos dari Lebak. Terj. Sitor Situmorang. Depok: Komunitas Bambu.
Peransi, David Albert. “Max Havelaar, Mitos Belanda yang Membuat Kita Terkecoh”. jurnalfootage.net dalam https://sites.google.com/site/nimusinstitut/max-havelaar, diakses 15/09/2021.
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme. Terjemahan Zuly Qodir dan Uzair Fauzan. Yogyakarta: LKiS.
Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Said, Edward W. 2003. Orientalism. London: Penguin Books.
Said, Edward W. 2010.Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek. Terjemahan Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saparudin, Endin (ed.). 2021. Manis Tapi Tragis. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Sastrowardoyo, Subagio. 1990. Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. “Best Story; The Book That Killed Colonialism”. The New York Times Magazine, 18 April 1999, Section 6, hal. 112, dalam https://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-bookthat-killed-colonialism.html, diakses 15/09/2021.
Waugh, Patricia.1984. Metafiction: The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction. London & New York: Routledge.
Wikipedia. “Metafiction” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Metafiction, diakses 15/02/2022.
Wikipedia. “Uncle Tom’s Cabin” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Uncle_Tom’s_Cabin, diakses 03/07/2022.
Zook, Darren C. “Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History and the Confusion of Empire”.MLN 121 (2006), hlm. 1169-1189.
Catatan Kaki
[1] Novel ini diterbitkan pertama kali dengan judul Max Havelaar of de Koffij-veilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij (Amsterdam: De Ruyter, 1860). Edisi Indonesia novel ini terbit berdasarkan terjemahan H,B. Jassin dengan judul Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (1972). Selanjutnya ditulis Max Havelaar.
[2] Rob Nieuwenhuys, Mitos dari Lebak, terjemahan Sitor Situmorang (Depok: Komunitas Bambu, 2019), 111. Buku ini sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul Hikayat Lebak oleh Pustaka Jaya pada 1977. Sebelum diindonesiakan oleh Sitor, buku ini merupakan seri esai Nieuwenhuys yang terbit secara bersambung di De Haagse Post pada awal 1975 dengan judul “De Mythe van Lebak”. Selanjutnya ditulis Mitos dari Lebak.
[3] Menurut Volgens Van Hoëvell, anggota Parlemen Belanda dari Partai Liberal pada 1860, novel Max Havelaar telah menyebabkan kecemasan besar dan kemarahan dalam banyak pikiran di negeri Belanda (“grote ongerustheid, ja ik durf zeggen verontwaardiging, in veler gemoed in dit land […] ontstaan”). Ia membuat seluruh Belanda merinding (“een rilling door het land”). Lihat dr. J. De Gier, “Rilling door het land”, dalam https://www.digibron.nl/viewer /collectie/Digibron/id/tag: RD.nl,20100514:newsml_2c6b375cc8894fb9fb99e9dedf2c13a4, diakses 12/02/2022.
[4] Seperti diungkapkan oleh Dr. Gerard Termorshuizen dalam “Pendahuluan” untuk cetakan kedelapan Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin (2000), sebelum novel ini terbit, Douwes Dekker telah melatih diri menulis dengan gaya bahasa yang disebutnya (tampaknya kepada Arie Cornelis Kruseman, teman masa kecilnya yang menjadi penerbit di Harlem) sebagai “gayaku, itulah aku” ini melalui surat-surat kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen (atau karakter Tine dalam Max Havelaar) pada masa pertunangan mereka. Lihat Max Havelaar, xviii. Sementara itu, Rob Nieuwenhuys dalam Oost-Indische Spiegel (1972), 142-143—sebagaimana dicatat Darren C. Zook—menyatakan bahwa lewat inovasi stilistikanya dalam Max Havelaar, Multatuli (Dekker) telah membuat terobosan definitif atas gaya formalistik sastra tradisional Belanda dan membebaskan dirinya, juga (kemudian) para penulis lain dari batasan tradisi yang akhirnya memungkinkan pengembangan sastra Belanda modern. Lihat Darren C. Zook,“Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History and the Confusion of Empire”. MLN 121 (2006), 1176-1177.
[5]Mitos dari Lebak, 3.
[6] Di Belanda, propaganda Max Havelaar sebagai novel yang menggugat kolonialisme pun terus direproduksi sampai sekarang, seperti lewat keberadaan Museum Multatuli di Amsterdam, beragam peringatan ulang tahun novel Max Havelaar, penobatannya sebagai karya berbahasa Belanda terpenting sepanjang masa pada 2002, atau pengadaptasian novel itu dalam berbagai format baru. Sementara di Indonesia, khususnya di Lebak, Banten, yang menjadi latarcerita Max Havelaar sekaligus tempat “Peristiwa Lebak” Douwes Dekker, selain didirikannya museum dengan nama yang sama sebagai museum antikolonial pertama di Indonesia, kita menemukan pula penggunaan nama “Saijah-Adinda” untuk dua perpustakaan umum dan nama yayasan yang didirikan oleh tokoh Lebak Uwes Qowy serta gelar untuk duta putra-putri pariwisata Kabupaten Lebak. Ada pula Festival Seni Multatuli, sebuah program seni tahunan yang diadakan oleh Pemda Kabupaten Lebak. Sebuah organisasi gerakan jurnalisme publik juga menamakan diri mereka dengan nama “Project Multatuli”.
[7]Lihat Pramoedya Ananta Toer, “Best Story; The Book That Killed Colonialism” dalam The New York Times Magazine. 18 April 1999, Section 6, 112. Lihat https://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-bookthat-killed-colonialism.html, diakses 15/09/2021.
[8]Max Havelaar, 347.
[9]Ibid., 346-347.
[10] Patricia Waugh. Metafiction:The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction(London & New York: Routledge: 1984), 2. Selanjutnya ditulis Metafiction. Waugh menulis, “Metafictionis a term given to fictional writing which self-consciously and systematically draws attention to its status as an artefact in order to pose questions about the relationship between fiction and reality. In providing a critique of their own methods of construction, such writings not only examine the fundamental structures of narrative fiction, they also explore the possible fictionality of the world outside the literary fictional text.”
[11]Metafiction, 6.
[12]Metafiction, 2-3. Bandingkan dengan “Metafiction” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Metafiction dan Jerome Klinkowitz, “Metafiction” (26 July 2017) dalam https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190201098.013.546, diakses 15/02/2022.
[13] Cerita berfokal internal adalah fokalisasi dengan pemandang berada di dalam cerita atau pemandang adalah salah satu tokoh. Fokalisasi jenis ini dibedakan lagi menjadi tiga jenis, yaitu fixed atau tetap (seluruh cerita dipandang melalui sudut pandang salah satu tokoh saja), variable atau berubah (di dalam cerita ada pergantian pemandang dari satu tokoh ke tokoh lain), dan multiple atau jamak (sebuah peristiwa dipandang melalui sudut pandang beberapa tokoh).
[14] Droogstoppel bahkan dengan tegas dan penuh cemooh menyalahkan para orangtua yang mengenalkan sajak kepada anak-anak, ia juga begitu mencemaskan Frits ketika anak lelakinya itu membacakan sajak romantis yang ditemukan dalam bungkusan naskah tulisan Sjaalman kepada anak-anak gadis keluarga pedagang gula Rosemeijer. Lihat Max Havelaar, Bab I dan Bab III.
[15]Max Havelaar, 19.
[16] Eduard W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, terjemahan Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 7-8. Selanjutnya ditulis Orientalisme.Said berkata: Timur mengalami “orientalisasi” (Timur ditimurkan) tidak hanya karena sifatnya yang—bagi orang Eropa abad XIX—cenderung aneh dan eksotik, tetapi juga karena Timur dapat dijadikan atau lebih tepatnya dipaksa untuk menjadi “Timur”-nya orang Eropa (“boneka” Timur bagi orang Eropa). Untuk ini Said mencontohkan bagaimana perjumpaan Gustave Flaubert dengan Kuchuk Hanem, seorang pelacur Mesir, telah menciptakan model wanita Timur yang menimbulkan pengaruh luas di daratan Eropa dan mungkin juga di dunia. Padahal, si pelacur tersebut tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya ataupun riwayat hidupnya kepada Flaubert. Flaubert-lah yang justru berbicara atas nama dan mewakili sang pelacur. Flaubert adalah orang asing, laki-laki, dan secara komparatif lebih kaya, dibandingkan dengan Kuchuk Hanem yang adalah orang Timur, perempuan, dan memang lebih miskin. Semua ini adalah fakta historis dominasi yang tidak hanya memungkinkan Flaubert menguasai Kuchuk Hanem secara fisik, tetapi juga memungkinkan Flaubert untuk berbicara atas nama Kuchuk Hanem dan menerangkan kepada para pembacanya mengapa ia (Kuchuk Hanem) menjadi perlambang “khas” bagi Timur.
[17]Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, terjemahan Zuly Qodir dan Uzair Fauzan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 48.
[18]Orientalisme, 4.
[19]Orientalisme, 8.
[20]Daniel Defoe, Robinson Crusoe, terjemahan Peusy Sharmaya (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010), 335.
[21]Edward W. Said, Beginnings: Intention and Method (New York: Basic Book, 1975), 16, sebagaimana dikutip oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam “Pola Narasi Kolonial dan Pascakolonial” (Jurnal Kalam, 14, 1999), 81. Selanjutnya ditulis “Pola Narasi Kolonial dan Pascakolonial”.
[22]“Pola Narasi Kolonial dan Pascakolonial”, 83.
[23]Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995), 12.
[24] Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 51. Selanjutnya ditulis Sastra Hindia Belanda dan Kita.
[25]Max Havelaar, 346.
[26] Seperti yang juga dilihat oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa“Kesubyektifan Multatuli terutama sangat menonjol dalam penghargaannya yang terlalu tinggi kepada dirinya sendiri. Hal ini ternyata pada pembayangan dirinya pada tokoh Havelaar, yang ditampakkan terlalu positif, berperangai putih-bersih, tanpa salah atau kelemahan, berlapang dada, serta luas wawasan dunianya, cemerlang gagasannya, terpelajar, dan berperikemanusiaan yang tinggi. Inilah secara selintas ciri-ciri pribadi Max Havelaar yang hendak dikemukakan Multatuli. Pementingan diri Multatuli itu pun tercermin pada penempatan tokoh Havelaar sebagai pusat satu-satunya di tengah segala kejadian. Di seputar dialah tokoh-tokoh lain tampil sebentar dan kemudian pada waktunya menghilang lagi.” Sastra Hindia Belanda dan Kita, 50.
[27]Max Havelaar, 112.
[28] Lebih jauh lagi, dikatakan oleh Stern: “Dan Havelaar tahu semua itu! Dapatkah pembaca merasakan apa yang bergolak dalam hatinya, bila ia mengingat bahwa ia wajib menegakkan hukum, dan untuk itu bertanggungjawab kepada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan suatu pemerintahan, yang mewajibkan hukum dan undang-undangnya, tapi tidak selalu suka menjalankannya? Dapatkah pembaca merasakan betapa itu terombang ambing oleh keragu-raguannya, —bukan keragu-raguaan tentang apa yang harus dilakukannya, tapi tentang cara melakukannya?”. Max Havelaar, 237.
[29] Lihat “Pendahuluan” Dr. Gerard Termorshuizen, Ibid, xi.
[30]Sastra Hindia Belanda dan Kita, 50.
[31]Sastra Hindia Belanda dan Kita47
[32] Dekker kenal secara pribadi dengan van Twist melalui sepupu perempuan istrinya yang menikah dengan E. De Waal, pejabat sekretaris umum yang sangat dipercaya oleh sang gubernur jenderal. De Waal inilah—yang kemudian dikenal sebagai pencipta hukum agraria pada 1870—yang memperkenalkan Dekker dan istrinya ke Istana Buitenzorg (Bogor). Mitos dari Lebak, 25.
[33] Bertahun-tahun setelah terbitnya novel Max Havelaar, Gubernur Jenderal van Twist mengemukakan alasannya menempatkan Dekker sebagai asisten residen di Lebak ini dalam sepucuk surat kepada temannya Dr. Kronenberg: “Saya belajar kenal dengannya di Bogor, di mana ia tinggal setelah kembali dari cutinya sambil ia menunggu penempatan baru. Selama santapan malam, atau lebih tepat setelah santapan-santapan malam (…) saya telah beberapa kali berbicara dengannya dan ia telah mendapat simpati saya karena ia dapat merasakan nasib orang-orang Pribumi. Ketika ada lowongan di Lebak dan saya mengetahui bahwa di sana terdapat banyak hal yang kurang memuaskan, saya berpendapat bahwa ia merupakan seorang yang tepat untuk tempat ini. Walaupun Raad van Indie tidak mengusulkannya, saya telah mengangkatnya menjadi asisten residen.” Ibid., 25-26. Bandingkan dengan kutipan yang diberikan dalam “Pendahuluan” untuk Max Havelaar, x-xi.
[34]Max Havelaar., 28.
[35] J. Saks, Eduard Douwes Dekker, zijn jeugd en Indische jaren (Rotterdam: W.L. & J.Brusse, 1937), 9—seperti yang dikutip Subagio Sastrowardoyo dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita, 41.
[36]Swath Abrahamsz kemenakannya sendiri yang seorang dokter, menulis bahwa Douwes Dekker, pamannya itu mengidap “neuruasthenie”, yang pada zaman itu diartikan sebagai gangguan kejiwaan. Ditandai oleh perasaan keakuan yang kuat dan ketidakmampuan mengendalikan emosi. Nah, di suatu daerah di mana seorang seperti Raden Adipati Kartanagara dianggap raja oleh penduduk, keakuan Douwes Dekker (Multatuli) yang begitu besar tidak dapat menerimanya. Karena di Lebak mestinya hanya ada satu “aku”, yaitu Eduard Douwes Dekker (Swarth Abrahamsz,Multatuli als Indo-europeaan, Taal en letteren 1897, VIII, 53)—sebagaimana dikutip oleh David Albert Peransi dalam esainya, “Max Havelaar, Mitos Belanda yang Membuat Kita Terkecoh”, jurnalfootage.net dalam https://sites.google.com/site/nimusinstitut/max-havelaar, diakses 08/08/2020.
[37]Mitos dari Lebak, 50. Bandingkan juga dengan halaman 56: Seorang insinyur dinas pekerjaan umum [R.A. Van Sandick] dahulu menceritakan di dalam bukunya Leed en Lief in Bantam (Sukaduka di Banten) pada 1892, bahwa Kontrolir Bergsma (seorang pengagum buku Max Havelaar yang ditempatkan di Lebak pada 1862 atas permintaannya sendiri) telah mengumpulkan semua kepala Pribumi dan menanyakan kepada mereka siapa yang masih dapat mengingat Asisten Residen Douwer Dekker. Ternyata hanya ada satu orang. Ya, ia masih ingat Dekker sebagai “Tuan Asisten yang belum keliling,” katanya. Inilah yang paling menonjol baginya mengenai Dekker. Pemberitahuan dari Kontrolir Bergsma ini dilengkapi oleh apa yang terdengar sendiri oleh Van Sandick, yaitu “Seorang pemuka Pribumi yang setiap hari saya jumpai selama setahun di Sayira, daerah Lebak, dan yang pada 1856 bekerja sebagai juru tulis pada kantor asisten residen menyatakan bahwa Tuan Dekker tidak pernah pergi turne. Selama jangka waktu yang pendek selama berada di Lebak itu, ia selalu menguncikan dirinya di kantor.”
[38]Mitos dari Lebak, 55.
[39]Mitos dari Lebak, 56-57.
[40]Sastra Hindia Belanda dan Kita, 41-42.
[41]Mitos dari Lebak, 77-78.
[42] Terjemahan yang lebih baik atas ini saya peroleh dari kutipan dalam buku Mitos dari Lebak: “Apabila alun-alun di depan rumah bupati keadaannya seperti belukar, maka penduduk di sekitarnya mesti akan malu, sehingga akan diperlukan kekuasaan yang besar untuk mencegah mereka membersihkan lapangan itu dari rumput-rumputan dan membuat lapangan itu lebih sesuai dengan kedudukan bupati. Memberi pembayaran guna pekerjaan itu umumnya akan dipandang sebagai suatu penghinaan.” Mitos dari Lebak., 61.
[43]Mitos dari Lebak., 63. Nieuwenhuys juga mengutip Prof. Van Vollenhaven, penyusun buku hukum adat di Hindia Belanda, yang menyatakan bahwa apabila suatu perkara secara begitu saja dipandang sebagai suatu “pemerasan”, maka itu adalah suatu “pandangan Barat yang picik” (65).
[44]David Albert Peransi, “Max Havelaar, Mitos Belanda yang Membuat Kita Terkecoh”. jurnalfootage.net dalam https://sites.google.com/site/nimusinstitut/max-havelaar, diakses 15/09/2021.
[45] Darren C. Zook,“Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History and the Confusion of Empire”, 1175. Selanjutnya ditulis “Searching for Max Havelaar”.
[46]“Searching for Max Havelaar”, 1175-1176.
[47] Lihat catatan kaki pada Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin halaman 137 dan “Pendahuluan” oleh Dr. Gerard Termorshuizen halaman xviii.
[48] Lihat “Pidato Lebak” dalam Max Havelaar, 116.
[49]Max Havelaar., 299.-302. Untuk menguatkan penggunaan perumpamaan sebagai ilustrasinya atas penderitaan rakyat Lebak, Multatuli menegaskan lewat Stern, bahwa: “Saya tahu, dan saya dapat membuktikan bahwa banyak orang seperti Adinda dan banyak orang seperti Saijah, dan bahwa apa yang berupa khayalan pada khususnya, menjadi kebenaran pada umumnya. Sudah saya katakan bahwa saya dapat menyebutkan nama-nama orang yang seperti orang tua Saijah dan Adinda terusir dari kampung halamannya karena ditindas.”
[50] Darren C. Zook, 1180-1181. Dengan mengacu kepada Philip Vermoortel dalam “De parabel bij Multatuli: hoe moet ik u aanspreken om verstaan te worden?” (Gent: Koninklijke Academie voor Nederlandse Taal- en Letterkunde, 1994) yang mengembangkan retorika “imitation of Christ” Multatuli dan menunjukkan bagaimana Multatuli menggunakan perumpamaan bukan untuk memperumit kebenaran tetapi untuk menekankan kebenarannya dengan memberikan landasan pseudo-religius, Zook berpendapat, bahwa: While it is certainly true that the parable can be a relatively complex vehicle for relating ideas, prone as it is to multiple and simultaneous interpretations, Multatuli’s use of the parable derives not from an attempt to problematize his message by offering potential parallel meanings (which would render the text open and complex) but from the self-cultivated association, through his own perceived suffering, with another historical figure who also sought and knew the truth but was persecuted for it: Jesus. Multatuli felt his suffering and his persecution were “Christ-like,” adding a religious certainty to his truth which, when coupled with his classical borrowings, makes it increasingly difficult to interpret this text as single-handedly opening the door for Dutch literature into modernity or postmodernity.
[51]Mitos dari Lebak, 111.
[52]Mitos dari Lebak., 113-114.
[53]Uncle Tom’s Cabin; atau Life Among the Lowly karya Harriet Beecher Stowe (terbit pertama kali dalam dua volume pada 1852) sampai kini masih sering dianggap sebagai sebuah novel anti-perbudakan yang memiliki pengaruh besar pada sikap terhadap kaum Afrika-Amerika dan perbudakan di Amerika Serikat dan disebut-sebut telah membantu meletakkan dasar bagi Perang Saudara Amerika (1861-1865). Namun, novel ini mendapatkan sejumlah kritik keras. Beberapa kritikus menyoroti kurangnya pengalaman hidup Stowe yang berkaitan dengan kehidupan di Selatan karena ia belum pernah ke perkebunan Selatan, sehingga hal ini pun membuat deskripsinya tentang wilayah tersebut jadi kurang akurat. Namun, Stowe selalu mengatakan bahwa ia mendasarkan novelnya itu pada cerita yang ia dengar dari para budak yang melarikan diri ke Cincinnati. Dilaporkan juga bahwa Stowe mengamati secara langsung beberapa insiden yang mendorongnya untuk menulis novel tersebut, antara lain ia melihat sendiri pasangan suami-istri yang dijual terpisah di Sungai Ohio. Berbagai berita surat kabar dan majalah serta hasil wawancara juga memberikan kontribusi materi ke plot novelnya. Pada abad ke-20, sejumlah penulis menyerang Uncle Tom’s Cabin terutama bagaimana novel itu dianggap menciptakan dan mempopulerkan stereotipe rasial, yang sampai batas tertentu bahkan mengaburkan dampak historis buku tersebut sebagai “alat anti-perbudakan yang vital”. Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Uncle_Tom’s_Cabin, diakses 03/07/2022.
[54] Dalam esainya, Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa: Penerbitan “Max Havelaar” pada 1859 [sic] sangat menggemparkan. Sama seperti “Uncle Tom’s Cabin” memberikan amunisi bagi gerakan abolisionis budak di Amerika, “Max Havelaar” menjadi senjata bagi gerakan liberal yang sedang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk menciptakan reformasi di Indonesia. Dengan bantuan “Max Havelaar”, gerakan liberal tersebut berhasil memalukan Pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis, yang tujuan utamanya adalah mempromosikan irigasi, migrasi antar-pulau dan pendidikan di Hindia Belanda. Lihat Pramoedya Ananta Toer, “Best Story; The Book That Killed Colonialism”. Sementara Multatuli menggunakan Uncle Tom’s Cabin sebagai pembanding atas cerita Saijah dan Adinda lewat narator Stern: “[…] Apakah dusta perumpamaan orang yang menyamai, sebab kita tahu bahwa tidak ada petani yang menebar benih di atas batu? Atau, supaya lebih dekat kepada kesamaan dengan buku saya, bolehkah kita menyangkal kebenaran yang menjadi pokok utama dan Pondok Negro Paman Tom (Kasar betul judul terjemahan H.B. Jassin ini! Entahlah hal apa yang mendasarinya untuk menambahkan kata “negro” yang rasis pada judul terjemahannya itu) karena tidak pernah ada orang yang bernama Evangeline? Apakah orang akan mengatakan kepada pengarang pembelaan yang kekal itu,—kekal, bukan karena kesenian dan bakatnya, tapi karena maksud dan pengaruhnya,—apakah orang akan mengatakan kepadanya: “anda bohong, budak-budak itu tidak dianiaya, sebab buku anda dusta, buku itu adalah roman!” […]. Lihat Max Havelaar, 300.
[55]Stern berkata,“Sebelum keberangkatan mereka ke Eropah, Havelaar jadi asisten residen di Ambon; di sana ia menghadapi banyak kesukaran, karena penduduk pulau itu sedang bergolak dan dalam suasana memberontak, disebabkan banyaknya aturan-aturan yang salah yang diadakan masa belakangan ini; semangat pemberontakan itu dapat dipadamkannya, dengan banyak enersi, tapi ia sedih karena sedikitnya bantuan yang diberikan kepadanya dari pihak atasan dan kesal oleh buruknya pemerintahan yang telah berabad-abad membinasakan penduduk dan merusak daerah-daerah Maluku yang indah itu; […].”Max Havelaar, 101.
[56]Sastra Hindia Belanda dan Kita, 46.
[57]Max Havelaar, 346-348. Di sini Multatuli antara lain menulis: Ya, aku bakal dibaca! Jikalau tujuan itu tercapai, maka puaslah aku. Sebab aku bukan hendak menulis baik, …… aku hendak menulis begitu rupa, sehingga didengar, dan seperti orang yang berteriak: “tangkap maling itu!” tidak perduli gaya ia menyampaikan ucapkannya yang spontan kepada publik itu, maka akupun tidak perduli bagaimana orang menaggapi cara aku meneriakkan: “tangkap maling itu”.
[58] Saya mengutip ini langsung dari Pengantar Emma Keizer dan Tico Onderwater dalam Rob Nieuwenhuys, Mitos dari Lebak, xxxviii.
[59] Kasus perdagangan manusia dan perbudakan kuli tambang ini dapat dibaca antara lain dalam Mary F. Somers Heidhues, Timah Bangka dan Lada Mentok, terjemahan Asep Salmin dan Suma Miharja (Jakarta: Yayasan Nabil, 2008) dan Sutedjo Sujitno, Sejarah Timah Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1996). Selanjutnya ditulis Timah Bangka dan Lada Mentok.
[60]Timah Bangka dan Lada Mentok, 144-145.
[61] Lihat Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London & New York: Routledge, 1998), 215-219; 77-80.
[62] Dalam Mirror of the Indies (1999, 86-87), Rob Niewenhuys menyebutkan bahwa sebelum novel Max Havelaar terbit, telah beredar desas-desus bahwa Douwes Dekker akan menerbitkan sebuah buku yang menguggat pemerintah Belanda. Menteri Urusan Tanah Jajahan Belanda Jan Jacob Rochussen kemudian mengirim surat kepada Van Lennep, penerbit yang bakal menerbitkan Max Havelaar dengan tawaran ia akan mengembalikan jabatan Dekker di Hindia Belanda jika penerbitan novel itu dibatalkan oleh Dekker. Tetapi Dekker lantas meminta sejumlah syarat, antara lain: Uang muka dalam jumlah besar, bintang kehormatan Order of the Netherlands Lion, dan kedudukan di Dewan Hindia. Rochussen dengan tegas menolak mentah-mentah syarat ini. Sebagaimana dikutip oleh Uswatul Chabibah, “Sisi Lain Eduard Douwes Dekker: Pejabat yang Tak Pernah “Blusukan”” dalam https://tirto.id/sisi-lain-eduard-douwes-dekker-pejabat-yang-tak-pernah-blusukan-gan6, diakses 15/09/2021.
[63] Linda Martin Alcoff, Cultural Critique, Winter 1991-1992, pp. 5-32, dalam http://alcoff.com/content/speaothers.html, diakses 20/06/2022.
Sunlie Thomas Alexander
Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Bangka, 7 Juni 1977. Menyelesaikan pendidikan Teologi dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia telah menerbitkan sejumlah buku cerpen, puisi, dan esai seperti Malam Buta Yin (cerpen, 2009), Istri Muda Dewa Dapur (cerpen, 2012), Sisik Ular Tangga (puisi, 2014), Makam Seekor Kuda (cerpen, 2018), Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu (kritik sastra, 2020), dan Seperti Karya Sastra, Hidup Bukanlah Racauan (esai, 2021). Karya-karyanya yang terbit dalam terjemahan, antara lain Youling Chuan (cerpen dan puisi, dalam bahasa Mandarin, 2016) dan My Birthplace and Other Stories (cerpen, dalam bahasa Inggris, 2019).