“Puisi yang unggul bukan hanya puisi yang minta dibaca ulang terus-menerus, namun juga yang mengubah cara kita membaca dan menulis.” Demikian Nirwan Dewanto membuka pengantarnya untuk buku puisi Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar (Gramedia Pustaka Utama, 2011). Penyair dan kritikus sastra ini dengan teguh berpegangan bahwa Chairil Anwar bukan hanya nama seorang penyair, melainkan juga nama untuk sebuah situasi—Chairil Anwar dan karya-karyanya menyediakan dasar bagi penulisan puisi sampai hari ini. Pernyataan-pernyataan tersebut mengundang kami untuk menjumpai Nirwan Dewanto demi mengelaborasi kembali, setelah lewat satu dasawarsa, arti penting Chairil Anwar bagi puisi modern Indonesia dan khazanah perpuisian hari ini.
Siapa pun mungkin akan sepakat—tanpa pandang kubu kesusastraan—bahwa tanpa Chairil, kita barangkali tidak akan membaca sajak-sajak seperti yang ditulis oleh banyak penyair Indonesia hari ini. Selama 1942 – 1949, korpus karya Chairil Anwar menunjukkan betapa sang penyair dengan sungguh-sungguh menggarap budaya tulisan, terlepas dari banyaknya corak kelisanan yang hadir dalam karyanya, atau penggunaan diksi yang cenderung destruktif, menantang petatah-petitih zamannya. Chairil Anwar melakukan studi intensif atas budaya tulisan yang tercermin dari ketekunan dan ketelitiannya mempelajari karya-karya para pendahulunya, termasuk menyerap khazanah sastra dunia dan mengambilnya ke dalam perbendaharaan artistiknya demi merumuskan konsep penciptaannya sendiri.
Dalam kata pengantarnya, Nirwan menyatakan bahwa puisi Chairil membangkitkan kekayaan bahasa Indonesia sampai ke tingkat yang mustahil dilakukan dengan cara lain. Ini menabalkan nama sang penyair sebagai penyair-induk dalam kesusastraan kita. Melalui petualangan artistiknya, Chairil Anwar menunjukkan bahwa puisi boleh “melanggar” tata bahasa. Namun, “pelanggaran” yang dilakukan Chairil menunjukkan segi-segi dirinya, yakni bahwa ia adalah penyair yang gandrung benar akan bahasa, seorang pemuda yang memiliki keresahan dengan, dan dalam, bahasa.
Dalam pidato-pidatonya, termasuk “Pidato Radio Chairil Anwar 1943”, kita tahu bahwa Chairil percaya bahwa “pikiran berpengaruh besar pada hasil seni yang tingkatnya tinggi”, bahwa berkarya “bukan dipengaruhi hukum wahyu”, dan kerja kesusastraan bukanlah “kerja setengah-setengah”. Dalam percakapan berdurasi 3,5 jam ini, Nirwan Dewanto menjelaskan bagaimana internasionalisme memengaruhi gejala modernisme artistik di berbagai negara, dan bagaimana Chairil Anwar hidup di kelindan zaman tersebut untuk kemudian menyerap pengaruh dari berbagai penjuru dunia, melawan konvensi para penyair sezamannya, hingga bagaimana ia mengatasi kecemasan pengaruh tersebut. Pada akhirnya, kita masuk ke dalam percakapan tentang bagaimana Chairil Anwar memberi pengaruh pada para penyair setelahnya, termasuk dampaknya bagi khazanah perpuisian Indonesia hari ini. Berikut adalah wawancara redaksi tengara.id dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dengan Nirwan Dewanto.
Modernisme Artistik Chairil, Sampai Jauh
Modernisme artistik Chairil Anwar adalah bagian dari gerakan modernisme artistik yang berlangsung di seluruh dunia yang telah mulai pada awal abad ke-20, tidak hanya dalam lapangan kesusastraan, tetapi juga khazanah seni lainnya.
DEWI KHARISMA MICHELLIA
Bung Nirwan Dewanto, dalam wawancara kali ini, kami ingin mendengar pendapat Anda selaku seorang kritikus dan penyair soal kiprah Chairil Anwar dalam memodernisasi bahasa Indonesia. Ini terkait tema utama tengara.id nomor ini yang adalah Modernisme Chairil Anwar. Sebagai pembuka, menurut Anda, apa nilai penting Chairil Anwar bagi sastra Indonesia hari ini? Apa saja segi keperajinan (craftsmanship) yang membuat dirinya tidak terhindarkan oleh para penulis Indonesia?
NIRWAN DEWANTO
Beberapa poin sehubungan dengan pertanyaan ini. Pertama, sudah jelas Chairil memperbarui bahasa Indonesia. Jika bahasa Indonesia kita letakkan dalam sebuah evolusi bahasa yang klasik, dalam hal ini bahasa Melayu, evolusi dari bahasa yang lama menjadi bahasa nasional, Chairil terbilang sangat penting. Peran Chairil yang pertama adalah turut serta meletakkan dasar dan mengembangkan kebudayaan nasional.
Kita tahu bahwa generasi Chairil adalah generasi pendiri dan tentu dia tidak sendiri. Memang betul bahwa benih-benihnya sudah dimulai pada Angkatan Pujangga Baru. Tetapi nanti saya akan bicara apa bedanya Chairil dengan Pujangga Baru. Angkatan pendiri ini memang umurnya tidak sama, sebagian dari mereka sudah membentuk dirinya pada 1930-an, dan sebagian lagi tumbuh pada dasawarsa 1940-an.
Chairil tidak sendiri. Sudjojono dan Affandi, misalnya, adalah pendiri seni lukis modern Indonesia. Di dalam nasionalisme politik, kita kenal banyak pendiri, misalnya Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka. Kemudian, Usmar Ismail, pendiri film Indonesia. Film sebagai alat ekspresi yang ada pengarangnya, ada auteur-nya, itu dimulai oleh Usmar. Tadi saya sebut Sudjojono dan Affandi—mungkin Sudjojono terlihat lebih kuat karena dia membuat kredo. Affandi juga sama—keduanya menjalankan prinsip jiwa ketok, jiwa tampak, meski yang mengatakan itu Sudjojono. Kemudian kita tahu, ada Poerwadarminta, pendiri leksikografi Indonesia. Ini sekadar contoh.
Chairil, apa? Dia mendirikan puisi modern Indonesia. Saya memberi tekanan pada puisi modern. Apakah dia secara sangat sengaja membuat dirinya sebagai penyair pembaharu, penyair yang mendirikan puisi Indonesia modern, apalagi menjadi Ur-poet bagi para penyair Indonesia? Tidak, menurut saya. Chairil itu menjadi simpul dari berbagai gejolak yang sudah terjadi sejak 1930-1940-an, kegelisahan dari bakal nasion yang baru, tetapi dengan kemerdekaan yang belum pasti kapan akan datang, dan itu kebetulan bertemu pada diri Chairil, orang yang tampaknya paling berbakat sastra pada masa itu.
Bakat itu apa? Jika kita menjelaskannya dengan neurosains, bakat itu bukan karunia; bakat adalah semacam kecelakaan biokimia dalam tubuh kita. Ada orang yang berbakat penyair, ada orang yang berbakat bermain sepak bola, atau berbakat bermain tenis. Di sini, Chairil muncul, dan kemudian bakat ini, bakat alam ini, kecelakaan biokimia ini, dibesarkan oleh suatu lingkungan sosial-budaya yang tepat. Apa itu? Perubahan Hindia Belanda dari negara jajahan ke negara Indonesia yang merdeka. Revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi, juga, Chairil dibesarkan dengan latar belakangnya—dia mendapatkan pendidikan yang baik, pendidikan Belanda, HIS dan MULO di Medan—meski MULO tidak selesai.
Kemudian kita tahu, bahwa orang-orang ini mendirikan dasar-dasar kesenian modern Indonesia, kebudayaan modern Indonesia, dan dari situ apa yang disebut nasionalisme kebudayaan itu muncul. Dalam lingkup yang lebih luas, misalnya, kita tahu Ki Hadjar Dewantara—ia mendirikan pendidikan modern Indonesia. Bukan hanya Taman Siswa, tetapi prinsip-prinsip Ki Hadjar itu, yang disebut pendidikan dan kebudayaan, dijalankan sampai sekarang, dengan tafsir yang berbeda-beda. Ki Hadjar adalah otak di balik pendirian Akademi Seni Rupa Indonesia, Akademi Musik Indonesia di Yogyakarta. Dia tidak sendiri, karena, waktu itu, hal semacam ini menjadi gerakan nasional.
Chairil mendirikan puisi modern. Pada waktu itu, ada orang yang berambisi untuk menegakkan sastra modern Indonesia, tetapi dari segi diskursif, yaitu H.B. Jassin. Itulah ambisi Jassin: membuat sejarah sastra Indonesia, membuat kanon sastra Indonesia. Itu suatu sapuan besar. Kebetulan, Chairil dan Jassin berpasangan. Ambisi Jassin untuk menegakkan suatu kanon sastra Indonesia berbarengan dengan munculnya Chairil. Jassin lebih tua empat-lima tahun. Jadi, pas.
Ketika Jassin jengah atau bosan dengan puisi-puisi Pujangga Baru, muncul Chairil. Segi pembaruan inilah yang ditangkap Jassin. Momen-momen pembaruan ini dia tangkap. Tetapi, sekali lagi, momen-momen pembaruan itu berada di dalam lanskap revolusi Kemerdekaan, bukan cuma dilakukan Chairil, seperti sudah saya katakan tadi. Kita sering lupa soal itu. Kita sering terpikat oleh gambaran binatang jalang Chairil itu, seakan-akan dia muncul sendiri. Padahal, ada lanskap besarnya.
Jika dalam nasionalisme politik ada banyak tokoh, ada banyak pendiri, dalam sastra juga sebenarnya demikian. Hanya saja, Chairil yang paling menonjol, sehingga boleh dikatakan dia menjadi pemimpin gerakan, tanpa dia sadari. Bakatnya yang paling besar di antara generasinya. Bahasa Indonesia di tangannya bisa menjadi alat yang sangat lentur. Di dalam puisi, terutama. Bakat seperti ini tidak kita temukan pada kawan-kawannya seperti Rivai Apin dan Asrul Sani. Apin, sekalipun terpengaruh Chairil, susah payah menulis puisi. Puisi belum menjadi mediumnya yang leluasa. Asrul juga; dia lebih berbakat sebagai intelektuil dan penulis prosa. Ini konteks besar di dalam nasionalisme revolusi Kemerdekaan.
Jika kita melihat perbandingan antara Chairil dalam bahasa Indonesia, dengan para penyair dalam bahasa-bahasa lain, maka hal yang serupa juga terjadi—bahasa-bahasa nasional yang lain juga dirombak. Dalam semua bahasa nasional itu selalu ada “lompatan paradigmatik”—ini istilah saya ambil Thomas Kuhn.
Kehadiran satu orang atau satu kompleks karya membuat bahasa berubah besar dari yang sebelumnya. Jika kita membicarakan sastra juga begitu. Misalnya, peran Rubén Dario di Amerika Selatan, itu seperti Chairil. Kemudian, Fernando Pessoa di dalam sastra Portugis. Dalam sastra Portugis yang sifatnya nasional, misalnya di Brazil, ada tokoh seperti itu, namanya Manuel Bandeira. Masanya berbeda, tetapi itu masa awal abad ke-20 sampai pertengahan. Di Jepang, ada Kōtarō Takamura. Di Cina, ada Gerakan 4 Mei 1919, ada penyair-penyair avant-garde juga, termasuk Lu Xun. Jadi, memang selalu muncul kejadian semacam itu di dalam berbagai bahasa nasional. Konteksnya apa? Konteksnya adalah modernisasi. Modernisasi sosial membuat bahasa bergejolak, membuatnya memerlukan alat-alat pengucapan yang baru. Datangnya dari para sastrawan; suatu lompatan paradigmatik.
Secara lebih khusus lagi, apa sumbangan Chairil? Itulah puisi modern. Lantas, bagaimana puisi modern itu? Lihatlah itu puisi yang ditulis para penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat, Hr. Bandaharo, Rivai Apin, Agam Wispi, Sobron Aidit, Amarzan Ismail Hamid; kemudian puisi Subagio Sastrowardoyo; kemudian lagi Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Itu sekadar contoh. Apakah puisi mereka bisa ditulis tanpa adanya puisi Chairil? Menurut saya, tidak bisa.
Puisi modern sebagai alat pengucapan betul-betul dimulai oleh Chairil. Sebelum itu, apa yang terjadi? Jika kita memeriksa kasus Pujangga Baru, maka kita tahu bahwa generasi ini dihantui oleh modernisasi sosial. Apa itu modernisasi sosial? Seperti yang dikatakan Takdir atau Sanoesi Pane. Kurang lebih, masyarakat harus menjadi modern, maju. Takdir mengatakan harus ada individualisme, intelektualisme, rasionalisme, dan seterusnya. Tetapi yang dia maksud adalah modernisasi sosial. Masyarakat terbelakang, masyarakat kita, harus menjadi masyarakat maju yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Maka, sastra harus mengabdi pada modernisasi sosial. Sastra adalah alat untuk mencapai modernisasi sosial; muncullah itu novel-novel Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
Apakah semua penulis Pujangga Baru seperti itu? Hampir rata, kecuali satu orang, namanya Amir Hamzah. Amir sudah mulai melihat adanya problem. Di mana tempat individu di dalam modernisasi sosial? Apakah masih ada tempat untuk meditasi, penyimpangan, disonansi, subversi? Ada. Amir Hamzah mengatakan itu di dalam puisinya.
Jika Amir mengatakan sesuatu mengenai pengalaman keagamaan, maka itu bukan pengalaman keagamaan yang lazim. Misalnya, dia melihat Tuhan: “Mangsa aku dalam cakar-Mu”. Jadi, dia melihat Tuhan sebagai hal bermasalah. Dia mempersoalkan bahwa di dalam agama-agama Semitik, Tuhan itu kok pemarah begitu? Dia persoalkan itu. Tetapi, alatnya masih puisi Melayu. Meskipun, alat-alat Amir Hamzah itu sudah mulai menampakkan tanda-tanda modernisme artistik.
Modernisme artistik adalah ihwal untuk menjadi berbeda dari modernisasi sosial. Amir Hamzah sudah begitu. Siapa yang melihat kekuatan Amir Hamzah dari segi puitik? Chairil Anwar. Chairil mengatakan bahwa bahasa Amir Hamzah destruktif, “destruktif terhadap bahasa lama, dan sinar cemerlang untuk bahasa baru.” Kemudian, dia juga mengatakan bahwa puisi Amir Hamzah itu “padat dalam seruannya dan tajam dalam kependekannya.”
Dalam puisi Amir Hamzah sudah muncul itu frasa-frasa, tetapi masih terikat pada kalimat. Salah satu ciri puisi lama adalah bahwa unit-unit terkecilnya adalah kalimat. Satu baris adalah satu kalimat sempurna; yang jika tidak cukup, maka bersambung dengan baris berikutnya, terus begitu. Tetapi, Amir sudah mulai menggunakan frasa-frasa yang menunjukkan tanda-tanda modernisme artistik—“rindu rasa”, “rindu rupa”, misalnya.
Chairil mengekstremkan temuan Amir Hamzah, yaitu membuat puisi yang satuan-satuan terkecilnya adalah frasa-frasa, kalimat-kalimat yang sumbang, bahkan satu frasa bisa terdiri atas satu kata belaka. Kalimatnya dipiuhkan, dimampatkan, jika perlu menjadi satu kata, dan frasa yang satu dengan yang frasa lain bisa tidak berhubungan. Kenapa? Karena dia mau mewadahi kebutuhan yang lain, sesuatu yang tidak bisa dikomunikasikan. Misalnya bunyi, musik, rupa, dan seterusnya. Jadi, puisi modern dalam bahasa kita mulai dengan Chairil Anwar.
Ketika dia muncul, orang bertanya-tanya, kurang-lebih, “Lho, ternyata puisi bisa begini? Ternyata, puisi bisa sumbang, bisa jelek.” Dia ini seperti Sudjojono dan Affandi. Ternyata, lukisan, seni lukis, bisa jelek. Lukisan tidak harus bagus, tidak harus indah seperti Mooi Indië. Anatominya tidak sempurna, goresannya kasar.
Apakah ini temuan khusus dalam negeri? Tidak. Ini bagian dari internasionalisme, tetapi dicerna dengan raga-jiwa pribumi, jadinya seperti itu. Tetapi, dalam bahasa, lebih spesifik lagi. Karena satu bahasa tidak bisa dibandingkan dengan bahasa lain. Jadi, ada aspek internasionalisme yang kuat dalam kiprah Chairil Anwar, dan kita bicara di sini soal pengaruh.
Lawan Konvensi, Perluas Tradisi
Chairil Anwar dikenal sebagai pelahap pustaka yang rakus. Ia menempa dirinya agar tepat dan sangat cermat memilih kata. Konon, Chairil Anwar butuh berbulan-bulan hanya untuk menulis satu kata saja. Untuk ketekunannya ini, H.B Jassin memuji bahwa Chairil Anwar sangat peka akan diksi. Karyanya harus tepat secara kata, tepat secara sintaksis, dan tepat secara arti, tidak mubazir—tetapi ada pula kata dan kosa kata yang tidak gramatikal dan itu hanya ada pada Chairil Anwar. Mengapa ini terjadi?
HASAN ASPAHANI
Pada awalnya, bukankah apa yang ditawarkan oleh Chairil itu ditolak dan dianggap merusak bahasa?
NIRWAN
Begini. Katakanlah, misalnya, kita biasa mendengar musik atau lagu yang merdu, yang harmonis, yang sepadan, yang enak di telinga. Artinya apa? Itu segala sesuatu yang sudah menjadi satu dengan komunikasi massa. Puisi Chairil tidak begitu. Puisi Chairil itu seperti begini: saat kita mendengar musik merdu, tiba-tiba saja ada lenguhan, ada jeritan, ada letusan. Memang mengagetkan.
Itu baru satu hal. Lalu, masalah bentuk, “Lho, kok seperti ini bentuknya?” Pada 1943 itu kelihatan, ketika muncul puisi “Aku” atau “Semangat”. Barangkali itu tahun paling produktif dalam kepenyairan Chairil, setelah dia berhasil melepaskan diri dari pengaruh Pujangga Baru seperti dalam “Nisan”.
Saya kira, orang menggunakan moralisme atau teori moral untuk melihat Chairil. Pada waktu itu, kan, memang ada normalisasi, dalam pengertian tertentu. Normalisasi itu apa? Nanti kita bicara tentang peran Keimin Bunka Shidosho, atau Kantor Pusat Kebudayaan. Tentara pendudukan Jepang berusaha menggunakan kesenian sebagai alat propaganda. Jadi, ada normalisasi. Paling tidak, organisasinya mengarahkan seni sebagai alat modernisasi sosial, seperti zaman Pujangga Baru, tetapi kali ini lebih terorganisasi. Dalam situasi seperti ini, puisi Chairil mengejutkan, baik bentuknya maupun suaranya. Isinya, maksud saya. “Aku ini binatang jalang,” maksudnya apa?
Meskipun, seperti Jassin mengatakan, “Aku” bisa dibaca sebagai “bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku’”, ini dikatakan Chairil beberapa tahun kemudian, kan? Ini bisa menjadi suatu simbolisme dari tenaga yang bermacam-macam, yang kemudian bercita-cita menjadi “aku” di hadapan kolonialisme. Bisa saja tafsirnya begitu.
Jika pembaharuan itu tidak diterima, maka wajar saja. Ini avant-gardisme. Chairil Anwar adalah avant-gardisme yang pertama dalam sastra Indonesia. Salah satu aspek dari avant-gardisme adalah bahwa dia melawan komunikasi, tepatnya komunikasi massa, oleh karena itu memang tidak dapat diterima, tidak bisa dicerna.
HASAN
Melawan konvensi . . .
NIRWAN
Ya, melawan konvensi, pasti konvensi Pujangga Baru, misalnya konvensi empat seuntai.
Sekarang kita bicara soal puisi bebas. Puisi bebas itu aneh bentuknya ketika itu. Tidak ada konteks yang mendukung—saya tidak mengatakan Chairil adalah orang yang kali pertama menulis puisi bebas; Roestam Effendi dan J.E. Tatengkeng telah menuliskannya. Tetapi, bentuknya mencapai sesuatu yang prima di tangan Chairil. Mengejutkan sekali. Terlepas setuju atau tidak, puisi “Aku” itu mengejutkan.
Sapardi Djoko Damono menyebutnya sebagai sajak remaja, sajak yang tidak matang. Tetapi Sapardi tidak melihat bentuknya. Dia melihat suaranya, isinya. Buat saya, Sapardi dihantui keremajaan juga ketika melihat puisi Chairil; dia hanya memeras isi puisi dari bentuknya.
Avant-gardisme selalu begitu. Siapa yang bisa melihat itu? Yang eksplisit mengakui itu adalah Jassin. Tetapi saya kira bukan hanya Jassin. Teman-teman Chairil juga mengakui itu. Orang-orang yang lebih muda, saya kira Asrul, Rivai, melihat potensi itu. Mereka mengikutinya juga, kan? Saya kira orang seperti Sjahrir, yang nota bene pengetahuan keseniannya paling bagus di antara orang-orang politik, juga melihat itu. Bacaan Sjahrir juga pasti lebih luas daripada Chairil. Kemudian, orang seperti Usmar saya kira akan mengakui Chairil. Di mana dia melihat Chairil? Pada realismenya. Salah satu ciri realisme adalah mengungkapkan unsur gelap dari jiwa manusia. Seperti jiwa ketok, yang tadi kita bahas. Meskipun Usmar Ismail kemudian menggarap itu dalam bentuk yang tertib, misalnya dalam film Lewat Djam Malam, kelihatan konflik itu.
ZEN HAE
Tadi Anda sebut Chairil Anwar hadir dalam konteks yang tidak sendirian sebagai penyair modernis.
Kita tahu pada tahun-tahun itu, kalau kita mengacu pada puisi berbahasa Melayu bermula pada awal abad ke-20, bahasa Indonesia masih sangat muda, belum ada kamus bahasa Indonesia modern, belum ada tata bahasa, belum ada tradisi perpuisian yang panjang. Bagaimana orang seperti Chairil muncul dan tiba-tiba membuat proyek modernisasi artistik dengan modal yang, katakanlah, tradisi perpuisian yang tidak panjang, yang belum menjauh ke belakang?
Kalau dalam modernisasi Amerika Utara, sebelum modernisme, ada Victorianisme, jadi ada sambung-menyambung ke belakang. Di sastra Indonesia modern, dalam konteks Chairil, seperti muncul begitu saja. Paling jauh, reaksinya terhadap puisi Amir Hamzah, misalnya, atau ke pantun. Bagaimana Anda menjelaskan fenomena ini?
NIRWAN
Internasionalisme itu masuk ke Indonesia secara perlahan-perlahan. Dalam seni rupa, lebih awal, ada Bataviasche Kunstkring, yang sekarang jadi bar Tugu Kunstkring Paleis; itu dahulu adalah tempat pameran lukisan paling penting. Setéléng—bahasa Indonesia pada waktu itu—terjadi di situ. Orang-orang seperti Sudjojono dan Affandi tidak mungkin punya keberanian melukis jelek kalau tidak pernah melihat lukisan impresionisme dan ekspresionisme Eropa yang dipamerkan di situ. Ada kolektor besar, namanya P.A. Regnault, juragan pabrik cat, kolektor lukisan-lukisan Prancis, Jerman, impresionisme dan pasca-impresionisme terutama; koleksinya dipamerkan di situ. Sudjojono dan Affandi menonton itu. Makanya, mereka punya keberanian.
Saya kira, mereka waktu itu berpendapat, “Lho, ini kok pelukis-pelukis di sekitar saya yang nota bene orang Belanda dan murid-murid mereka, orang-orang pribumi, melukis pemandangan alam yang bagus-bagus saja?” Jadi, ada konteks internasional, ada visi yang tumbuh dari sana.
Kemudian, Chairil bagaimana? Ada dampak dari internasionalisme yang terbatas ini. Toko buku, misalnya, perpustakaan sudah muncul. Perpustakaan, toko buku, menyediakan bahan-bahan bacaan. Chairil, saya kira, kemampuan bahasa Inggrisnya agak terbatas. Dia belajar belakangan. Tetapi, dia baca, kan? Dan jangan lupa, Chairil tahu bahwa angkatan Pujangga Baru membaca penyair-penyair romantik Belanda yang menulis 50 tahun sebelumnya, Willem Kloos, Jacques Perk.
Maka Chairil membaca penyair-penyair Belanda yang sezaman. Bahasa Belandanya bagus sekali, dan ditengarai bahwa dia menulis satu puisi dalam bahasa Belanda “Catastrophe”, kan? Dia menguasai bahasa Belanda lebih dulu. Siapa penyair-penyair Belanda waktu itu yang menonjol? Ya, Hendrik Marsman dan Jan Jacob Slauerhoff. Chairil membaca mereka bukan karena dia mau berorientasi pada sastra Belanda. Itu semata-mata karena hanya itu yang dia punya. Dalam konteks kolonialisme di Asia Tenggara, sebenarnya.
Chairil menemukan Marsman, Slauerhoff; karena itu dia menggunakan “vitalisme”, ada kata itu dalam “Pidato Radio”-nya. Itu kata yang digunakan Marsman juga dan kritikus sastra Belanda untuk menjelaskan puisi Marsman. Apa itu vitalisme? Vitalisme ada dua sisi: keberanian untuk vivere pericolosamente, bahasa Italianya, ya, hidup menyerempet bahaya. Kira-kira menjadi—dalam bahasa Prancis—semacam le poète maudit. Meskipun, tidak segila itu. Model dari le poète maudit ada tiga—Rimbaud, Verlaine, dan Baudelaire. Mereka orang-orang yang mau dengan sengaja melawan kebudayaan borjuis. Saya kira temperamen kepenyairan semacam itu ada di Belanda, di dalam diri Marsman, dan melahirkan puisi-puisi yang vivere pericolosamente, menyenggol-nyenggol bahaya; kemudian juga di lain pihak ada tema yang kuat, yaitu bahwa hidup dan maut berdamping-dampingan. Saya kira itu sangat mengilhami Chairil.
Saya kira pengaruh Marsman ada pada puisi bebas Chairil. Slauerhoff lebih pada visinya. Kemudian, saya kira pengaruh Slauerhoff baru terasa belakangan ketika Chairil mulai menggarap lagi kuatren. Puisi Slauerhoff lebih teratur, kita bisa lihat itu pada satu kumpulan sajak Slauerhoff yang diterjemahkan Hartojo Andangdjaja, Kubur Terhormat bagi Pelaut. Sebagian besar puisinya berbentuk kuatren. Setelah itu apa?
Itulah konteks modernisme artistik sedunia yang waktu itu memang sedang memuncak. Maka, sampailah Chairil membaca T.S. Eliot, Ezra Pound, W.H. Auden, R.M. Rilke, juga Conrad Aiken. Apakah penyair-penyair bahasa Inggris ini memengaruhi dia secara langsung—dan bahasa Jerman, ya, Rilke—khususnya Eliot? Menurut saya, tidak ada pengaruh langsung, karena tidak ada bentuk puisi Eliot langsung yang mengenai puisi Chairil.
Tetapi, saya kira Chairil sadar bahwa, dari persinggungannya dengan berbagai puisi dari luar itu, ada paling tidak tiga ciri puisi modern: pertama, jukstaposisi, bahwa satu kalimat dengan kalimat lain, satu frasa dengan frasa lain, tidak berhubungan, dan hanya diikat oleh matriks yang tidak terkatakan; kedua, ironi, bagian dari jukstaposisi, suatu irama tertentu dari jukstaposisi, menggabungkan dua hal yang tidak mungkin digabungkan, sehingga timbullah suara lain, suara sumbang; ketiga, penggunaan referensi langsung. Ini modernisme. Dalam puisi Chairil, banyak sekali informasi. “Bioskop Capitol putar film Amerika”, misalnya, itu informasi. Kemudian, naik kereta, “Semarang, Solo, makin dekat saja”. Informasi lagi. Dalam Pujangga Baru, itu tidak ada, informasi yang diambil begitu saja. Ini sebenarnya prinsip kolase. Dalam seni modern, kecenderungan ini sangat kuat. Picasso, misalnya, menempelkan lembaran koran pada kanvasnya. Ini serupa dengan apa yang dikerjakan Chairil.
Chairil memungut sesuatu yang faktual, menempelkannya begitu saja ke dalam puisi. Itu kolase. Penggunaan kolase itu sebenarnya tidak terbatas pada informasi. Juga pengambilan ragam lisan. Ragam lisan untuk menghancurkan keindahan. Itu baru terjadi pada Chairil. Itulah pengaruh modernisme artistik sedunia.
Tetapi, begini, vitalisme Chairil itu, menurut saya, adalah pasca-romantik. Karena bagaimanapun itu jiwa ketok. Dalam seni rupa, itu dikenal jiwa ketok. Apa itu jiwa ketok? Pelukis, memunculkan jiwanya pada kanvas. Itu bedanya dari melukis molek, Mooi Indië. Vitalisme pun begitu. Jadi, Chairil sebenarnya bersifat pasca-romantik. Di satu sisi masih romantik, memperlihatkan jiwanya. Di lain pihak, dia menggunakan kolase modernis.
Chairil Anwar tidak mengamalkan prinsip escape from personality dari Eliot. Jadi, menurut saya, Chairil tidak terpengaruh langsung oleh Eliot. Barangkali suasana puisi Eliot masuk, misalnya dalam puisi-puisinya terakhir. Suasana, ya—tadi saya sudah bilang jukstaposisi, misalnya, yang sejak awal sudah ada—misalnya, sangat kentara dalam puisi “Aku Berkisar Antara Mereka”. Apa itu? Ini tidak khas Eliot. Ini khas modernisme artistik, di mana penyair itu jadi flâneur—ini istilah yang ditonjolkan Walter Benjamin untuk Baudelaire.
Flâneur adalah orang yang berjalan di kota, lanskap urban, dan dia melihat reruntuhan kapitalisme, reruntuhan kebudayaan borjuis. Dia melihat capitalist ruins dan kemudian dia menarik sesuatu dari situ. Disonansi, kolase, dan sebagainya. Gambar seperti begini juga pasca-romantik. Romantisisme dalam pengertian Benjamin juga begitu; reruntuhan dunia yang sudah fragmented dan dipungut, disatukan lagi oleh si penyair. Modernisme berwatak pasca-romantik. Dia memungut fragmen-fragmen yang tidak lagi alam yang asli, tetapi alam yang sudah commodified, dikomodifikasikan.
Oleh karena itu, bisa dimengerti mengapa Chairil mengambil ragam lisan, ragam dialek, bahasa cakapan. Jika kita lagi-lagi membandingkan Chairil dengan penyair-penyair yang tadi kita sebut—penyair-penyair seperti Pessoa, Manuel Bandeira, atau César Vallejo di Peru—semua dari mereka itu mengambil ragam cakapan, untuk melawan klasisisme. Salah satu watak modernisme artistik adalah melawan klasisisme dengan mengambil ragam cakapan.
Serap Pengaruh dari Berbagai Penjuru
Chairil Anwar adalah penyair yang berdiri tegas sebagai seorang avant-gardis, tidak hanya ketika berhadapan dengan generasi Pujangga Baru, tetapi juga dengan situasi kesusastraan di Hindia Belanda pada umumnya masa itu. Ia banyak menyerap pengaruh dari para penyair Belanda dan “mengambilnya” menjadi kekhasannya; menantang balik apa yang telah diserapnya.
MICHELLIA
Dari semua pernyataan Anda tadi, saya jadi teringat satu acara di Salihara “Membaca Kembali Chairil Anwar” yang juga membahas ini. Ada pertanyaan tentang apakah Chairil mendapat pengaruh dari para sastrawan Prancis. Tetapi, kemudian dalam diskusi itu Anda bilang, “Tidak, Chairil tidak mendapatkan pengaruh dari Baudelaire dan lainnya.” Sementara tadi terjelaskan bahwa watak karakter dari Baudelaire dan para penyair Prancis tadi didapatkan justru dari pembacaan Chairil atas para penyair Belanda. Dia juga mengakses teks-teks bahasa Inggris dengan serba keterbatasan.
Tadi juga, penjelasan Anda mengenai Eliot, membuat saya teringat, Anda pernah menyatakan bahwa dia sangat terpengaruh puisi panjang “The Waste Land” karya Eliot, tetapi Anda katakan bahwa tidak sepenuhnya mengambil dari Eliot. Kendati dia memahami bahwa ada watak modernisme Eliot itu?
NIRWAN
Ya, “The Waste Land” bukan hanya judul puisi, tetapi situasi tanah gersang itu—terutama oleh Eliot—adalah situasi yang dilihat oleh si penyair. Eliot sangat religius orangnya, sangat konservatif dalam moral. Dia melihat modernitas atau modernisasi sosial membuat tanah gersang. Gersang dari apa? Dari spiritualitas. Tetapi, kan, itu dari sebelah kanan? Kalau dari sebelah kiri, metafora ini bermakna bahwa dunia ini adalah tanah gersang dalam arti bahwa isinya tumpukan puing-puing, fragmen-fragmen yang jatuh dari totalitas yang sudah tidak punya daya ikat lagi. Penyair modernis mengadopsi ini. Itu adalah situasi umum modernisme artistik.
Sekarang, dalam konteks Chairil. Dia bagaimanapun khas Asia Tenggara—saya baru sampai pada refleksi ini tadi malam. Kenapa Asia Tenggara ini—tadinya saya pikir Indonesia atau Hindia Belanda terpisah dari internasionalisme, dalam arti modernisme artistik, dan Chairil tidak punya kontak langsung dengan modernisme artistik internasional—berbeda dari situasi negara-negara jajahan Prancis, Inggris, dan Spanyol? Kalau di Cile atau di Argentina, atau jajahan Prancis seperti Senegal, Madagaskar—para penyair mereka berkontak dengan metropolis. India juga begitu, berkontak ke Inggris. Jajahan Spanyol, apalagi. Ibukota kultural dari sastra Amerika Latin bukan hanya Buenos Aires, tetapi juga Paris dan Madrid. Tetapi, itu kan tidak terjadi di Hindia Belanda?
Semula saya pikir itu khas Hindia Belanda, tetapi ternyata itu khas Asia Tenggara. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya untuk sementara ini adalah bahwa memang negara-negara Asia Tenggara ini terikat pada klasisisme, pada budaya warisan yang sangat kuat di tanah sendiri. Jajahan Prancis seperti Vietnam tidak punya penyair yang aktif dalam sastra berbahasa Prancis. Sementara Senegal punya, Léopold Sédar Senghor, misalnya. Madagaskar punya penyair yang diakui dalam sastra Prancis. Jean-Joseph Rabéarivelo, misalnya. Vietnam tidak punya yang semacam itu. Demikian juga jajahan Inggris seperti Malaysia (dan Singapura).
Jadi, Chairil hebat sekali. Dia mengatasi keterbatasan ini dengan mencari sendiri. Oleh karena itu, bisa dipahami, misalnya, meski khazanah pengetahuannya terbatas, dia menjadi sangat internasional. Dia tidak kenal puisi Prancis. Padahal modernisme yang paling penting, dan sedang trendi pada zamannya, sebenarnya datang dari khazanah-khazanah Inggris, Prancis, dan Spanyol. Di Prancis ada surrealisme—apalagi, surrealisme sangat kiri, banyak membantu gerakan perlawanan atau gerakan alternatif di “dunia ketiga”.
ZEN
Tetapi, kalau boleh saya potong, dalam Gema Suasana terbitan 1948, ada satu edisi yang memuat wawancara André Breton, pentolan Surrealisme Prancis. Maksud saya, situasi itu mungkin tidak setajam Chairil tidak terpengaruh puisi Prancis, tetapi pemikiran atau lanskap surrealisme Prancis itu diserap juga oleh Chairil.
NIRWAN
Saya kira itu betul, tetapi begini—Gema Suasana memang suatu media avant-garde yang paling terkemuka, kan? Saya curiga itu Dolf Verspoor yang berinisiatif, mari kita periksa. Generasi Chairil tidak mengenal khazanah Prancis, kecuali prosanya, Chairil kenal André Gide atau Vercors. Tetapi mereka tidak mengenal puisi Prancis atau surrealisme Prancis. Itu baru wawancara dengan Breton. Ini perlu penelitian—mungkin Verspoor mengatakan, “Lho, kalian mesti kenal nama ini.”
Mereka juga tidak mengenal Spanyol. Federico García Lorca baru dikenal pada 1950-an. Padahal, surrealisme muncul pada 1920-an akhir sampai 1930-an, bahkan sampai 1960-an; pengaruhnya besar di seluruh dunia. Kemudian, penyair Spanyol angkatan 1927, bukan hanya Lorca, tetapi juga Juan Ramón Jiménez, Vicente Aleixandre; nama-nama itu tidak dikenal oleh generasi Chairil Anwar. Sastra Amerika Latin, apalagi, tidak dikenal.
Sastra Inggris? Yang dibaca Chairil secara terbatas adalah Eliot. Tetapi, Eliot itu seperti rock star waktu itu. Eliot itu komoditas yang trendi di dalam pasar sastra dunia, makanya Chairil mengenalnya: Eliot, Auden—lebih muda dari Eliot. Prinsip-prinsip modernisme terutama dikenal dari Eliot. Jadi, Chairil melampaui keterbatasan itu, dan saya berpendapat bahwa orang seperti Chairil tidak ada di Asia Tenggara. Di Thailand tidak ada orang yang setingkat Chairil, di Vietnam tidak ada, di Malaysia juga tidak.
ZEN
Kalau Filipina ada penyair modern semacam José Rizal, ya?
NIRWAN
Rizal wafat di tahun 1896, jauh sebelum gerakan modernisme artistik sedunia mulai.
Salah satu nasib negeri-negeri berbahasa Inggris adalah modernisme artistiknya tidak menonjol. India tidak menonjol puisinya, kan? Tradisi puisi berbahasa Inggris di India, menurut saya, tetap romantik bahkan hingga 1980-an. Filipina juga. Jadi, modernisme yang sangat khas dengan ciri-ciri tadi, jukstaposisi, montase, ironi dan segala macam, tidak ada di negara-negara Asia Tenggara yang lain. Mereka memang kemudian menyerap pengaruh modernisme artistik jauh belakangan hari. Tetapi, avant-gardisme sebagaimana yang saya bicarakan tadi, avant-gardisme menjelang terbentuknya negara nasional, menurut saya, tidak ada di Asia Tenggara. Kecuali di Indonesia.
Munculnya Sang Modernis Saat Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, ketika Chairil Anwar pertama kali muncul di gelanggang sastra Indonesia, puisinya belum diterima karena, bagi banyak orang, itu membawakan individualisme dengan keras. Sementara pada masa itu politik kebudayaan menghendaki komunalisme demi kemakmuran Asia Timur Raya. Kita tahu, saat itu H.B. Jassin yang “menemukan” dan membela Chairil Anwar, setelah karyanya ditolak Pandji Poestaka atau media-media lain yang takluk oleh sensor Jepang. Bagaimana sesungguhnya peran H.B. Jassin dalam kepenyairan Chairil Anwar?
MICHELLIA
Tadi kita sudah bicara soal konteks kolonialisme Belanda, bagaimana Chairil lebih banyak mengakses sastra Belanda yang mendapatkan pengaruh dari sastra dunia ketika itu. Kami sekarang ingin masuk ke masa pendudukan Jepang, karena kita tahu Chairil mulai menulis dalam suasana fasisme Jepang. Karakter individualistis dalam puisi Chairil juga tidak diterima di masa itu. Belum lagi perkara sensor yang berusaha mengendalikan semua jenis tulisan pada masa itu. Pada masa itu, Jassin menemukan dan memperkenalkan Chairil kepada khalayak sastra Indonesia. Apakah peran Jassin demikian besar dalam memperkenalkan kehebatan Chairil? Dan apakah ada peran-peran seperti ini juga di dalam kepenyairan di tanah-tanah jajahan lain?
NIRWAN
Tadi saya sudah mengatakan bahwa Jassin dan Chairil itu satu pasangan yang cocok karena mereka berada dalam situasi membangun kanon budaya Indonesia yang baru. Peran Jassin tentu saja penting. Dia sedang berusaha membangun sastra Indonesia modern yang baru dari sudut wacana, dan dia ketemu dengan Chairil. Itu hal biasa. Chairil itu sendiri, jika dia dianggap pemimpin gerakan, menulis kredo yang cukup kuat. Pidato-pidatonya adalah kredonya. Tentang vitalisme maupun tentang craftsmanship. Juga tentang apa itu puisi sezaman.
Apakah ada pasangan seperti itu di negeri-negeri jajahan lain di Asia Tenggara? Sudah pasti tidak ada. Tetapi, di tempat lain, misalnya, dalam kasus surrealisme, juru bicaranya, penyairnya, menjadi kritikusnya sendiri, melalui manifesto. Di Amerika Selatan juga begitu. Sebenarnya kritikus itu diperlukan bukan dalam pengertian menahbiskan penyair. Kritikus diperlukan ketika situasi sastra mengizinkan atau memaksa orang yang terlibat di sekitar gerakan itu untuk membangun sistem kanon tertentu.
Misalnya, gerakan modernisme artistik di Brazil dibangun oleh para eksponennya sendiri. Kaum seniman, penyair, pelukis, filsuf, dan musisi—dan kemudian orang lain bergabung masuk, para kritikus. Tetapi, juru bicara paling penting dari gerakan-gerakan itu sendiri adalah eksponennya sendiri. Misalnya, dalam kasus modernisme di Brazil, Mário de Andrade; dia adalah seorang penyair dan kritikus. Di Argentina, Leopoldo Lugones adalah penyair dan kritikus. Jorge Luis Borges juga penyair dan kritikus. Jadi, mereka memberikan suatu pengertian baru tentang sastra yang mereka bangun sendiri.
Yang disebut kritikus memang datang belakangan, tidak selalu bertepatan. Kelebihan Jassin adalah bahwa dia muncul bersamaan dengan Chairil. Surrealisme baru banyak dibicarakan belakangan, bersama dengan Simbolisme, setelah munculnya orang-orang pascastrukturalisme. Tidak ada satu kritikus khusus Surrealisme di Prancis ketika gerakan itu mulai. Begitu juga Angkatan 27 di Spanyol. Penyairnya sendiri yang berwacana.
Peran kritikus itu penting dan vital. Namun demikian, variabel-variabel sosial, budaya, dan politik juga penting. Berbagai gerakan modernisme artistik itu sebenarnya menandakan perubahan sosial-politik yang lebih besar. Misalnya, gerakan 4 Mei di Cina itu bagian dari modernisasi sosial, avant-gardisme yang pertama di sana. Itu cikal bakal atau antisipasi untuk munculnya Partai Komunis di kemudian hari. Tidak harus politis, tetapi selalu modernisme artistik itu bereaksi terhadap atau membarengi modernisasi sosial.
Di Argentina juga begitu, Borges mulai muncul ketika Argentina menjadi kekuatan ekonomi dunia yang penting pada 1930-an. Argentina menjadi pengekspor daging lembu terbesar di dunia, ekonominya mengalami booming. Dan teater Argentina, yang nomor dua atau nomor tiga setelah La Scala di Milan, ada di Buenos Aires, itu dibangun pada tahun-tahun itu. Jadi, ketika Buenos Aires, São Paulo menjadi metropolis, muncul modernisme artistik. Pergolakannya di situlah.
Kita lihat Angkatan 27 di Spanyol mendahului Perang Saudara Spanyol, ketika gerakan demokratik berbenturan dengan fasisme, sampai akhirnya Perang Saudara Spanyol meletus pada 1936. Jadi, selalu ada tanda-tanda keresahan sosial yang muncul lewat modernisme artistik. Di Jepang, misalnya, Kōtarō Takamura muncul tidak lama setelah Restorasi Meiji. Para seniman Jepang merasa perlu untuk tidak menggunakan bentuk-bentuk klasik, lalu mengadopsi vernakularisme melalui pengaruh Eropa.
Jassin dan Chairil memang khas Indonesia. Dan Jassin hanya tepat melihat Chairil. Dia tidak pernah mengulangi lagi prestasinya. Prestasi Jassin selebihnya menjadi pencatat, dokumentator dan redaktur majalah sastra sampai akhir hayatnya. Tetapi, Jassin tidak pernah bisa melihat pembaruan atau kebaruan sastra yang terjadi pada 1970-an. Dia tidak bisa melihat prestasi Goenawan, Sapardi, Sutardji. Jadi, Jassin sangat situasional. Dan dia adalah kritikus bakat alam. Dia tidak membangun teori. Dia melawan teori. Dia mengatakan bahwa pekerjaan sastra adalah kepekaan, dan dia sangat cemas dengan ilmu, karena dia percaya ilmu akan merusak intuisi, kemampuan intuitif dia.
Jadi, kritik sastra Indonesia memang betul bermula dari Jassin. Murid-murid Jassin pun berperilaku seperti Jassin, biarpun mengaku mengerjakan metode analitik. Baru kemudian kita mendapatkan kritikus kanonikal yang tepat pada Teeuw, yang nota bene juga bersinggungan dengan Jassin, Takdir Alisjahbana, dan Poerwadarminta.
ZEN
Saya ingin kembali ke pembahasan tadi saat Anda menyebut situasi sosial politik yang memengaruhi satu gerakan modernisme artistik. Dalam konteks Chairil Anwar ini, tentu saja kita harus berkonsentrasi pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu, bahasa Indonesia masih sangat muda. Kamus bahasa Indonesia baru mulai ditulis pada 1942. Tata Bahasa Baru Indonesia juga ditulis Alisjahbana pada tahun-tahun itu—meski baru terbit pada 1948. Jadi, situasi modernisasi bahasa Indonesia muncul secara serempak, dan puisi Chairil muncul karena dorongan itu juga. Pada saat yang sama muncul pula gerakan modernisasi sosial yang dijalankan Keimin Bunka Shidosho, tetapi Chairil tidak ingin masuk dalam perangkap kulturkammer itu. Kemunculan seorang modernis seperti Chairil Anwar terjadi karena penolakannya terhadap modernisasi sosial. Begitu ya?
NIRWAN
Seniman adalah makhluk licin. Dia akan berusaha mencari cara untuk mewujudkan gagasannya. Artinya, seniman—sadar maupun tidak—ingin membangun institusi yang memperkuat visinya.
Kedatangan Jepang jelas bukan sesuatu yang diancangkan. Tetapi, juga, saya kira sebagian menyambut itu, atau terpaksa menerimanya. Karena, bila kita lihat Polemik Kebudayaan, Takdir sudah jelas pro-westernisasi dalam pengertian tertentu. Sebenarnya, tidak tepat dikatakan westernisasi—modernisasi sosial tidak lain adalah modernisasi ekonomi. Modernisasi ekonomi adalah rasionalisasi ekonomi. Tetapi, lawan-lawannya menganggap itu sebagai suatu sikap yang tidak betul karena seakan-akan menjadi pro-penjajahan Belanda. Kemudian, Jepang datang untuk menyatakan diri bahwa dia adalah saudara bangsa-bangsa Timur. Itu cocok dengan “suara Timur” dalam politik kebudayaan, cocok dengan prinsip kekeluargaan yang dianut oleh Ki Hadjar Dewantara, misalnya, dalam mengelola Taman Siswa. Cocok juga dengan pandangan Sanoesi Pane bahwa ada yang disebut kepribadian Timur, meskipun kepribadian itu mendapat asupan dari seluruh dunia.
Kedatangan Jepang sebenarnya akibat dari perang antara fasisme dan negara-negara Barat yang beraspirasi demokratik. Tetapi situasi itu tidak terlalu disadari. Mereka datang, membuat Kantor Pusat Kebudayaan, dan Jepang tahu bahwa kesenian adalah alat propaganda, terutama di kalangan kaum terdidik. Tetapi, kemudian, tidak cuma itu, karena Keimin Bunka Shidosho berperan menyebarkan kesenian. Tentu saja Jepang pintar, mereka bekerja sama dengan para seniman; hampir tidak ada yang tidak ikut.
Proyek Keimin Bunka Shidosho di satu pihak adalah proyek propaganda, tetapi seniman menggunakan itu untuk membangun nasionalisme kebudayaan. Dan nasionalisme kebudayaan itu tidak ada batasnya. Pelukis-pelukis diberi kesempatan untuk meriset, misalnya, untuk melihat berbagai kebudayaan Nusantara. Mereka diyakinkan bahwa sumber inspirasi mereka terletak pada tanah mereka sendiri, sehingga lahirlah orang-orang seperti Agus Djaya, Otto Djaya, Emiria Soenassa, Kartono Yudhokusumo—menggunakan motif-motif kedaerahan atau etnik dalam lukisan mereka. Kita tahu juga orang-orang seperti Affandi atau Sudjojono hidup dengan nasionalisme sejak awal. Prinsip Sudjojono tentang jiwa ketok menyatu dengan nasionalismenya. Identitas itu penting buatnya, identitas yang semangatnya universal. Jadi, jiwa ketok adalah prinsip kejeniusan seniman, tetapi juga prinsip untuk mencari nasionalisme.
Kesadaran seperti ini mendapat asupan gizi yang bagus pada zaman Jepang, melalui Keimin Bunka Shidosho. Usmar Ismail menggunakan itu untuk mulai mencari aspirasi nasional melalui teater dan kemudian melalui film. Meskipun, aspirasi itu memerlukan wadah teknik, yaitu realisme Stanislavski yang tidak ada hubungannya dengan Jepang. Simbiosis mutalistiknya seperti begitu.
Orang-orang seperti Ki Hadjar Dewantara dan Sanoesi Pane, yang memang adalah lawan polemik Takdir, mendapatkan kesempatan untuk memikirkan kembali proyek-proyek nasionalisme kebudayaan mereka. Jadi, sebenarnya nasionalisme kebudayaan Indonesia memperalat Keimin Bunka Shidosho. Dan Chairil, saya kira, tidak terlepas dari situasi itu.
Chairil adalah seorang nasionalis dalam pengertian tertentu. Dia ingin menciptakan suatu kesenian yang baru dan belum pernah ada sebelumnya, dan itu dalam kaitan mendirikan negara nasional kita. Chairil sangat sadar akan fasisme. Dia mengejek Pujangga Baru, mengejek kulturkammer. Tetapi, situasi membangun kebudayaan nasional di sekitar Keimin Bunka Shidosho itu mengenai dia. Dan pola-pola ini, hubungan antara negara dengan seniman, untuk membangun kebudayaan nasional, dan terutama melawan kolonialisme—dalam hal ini kolonialisme kulit putih—pola-pola ini dipakai oleh pemerintah Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan. Itulah kenapa para seniman bergerak ke Yogyakarta, seiring dengan perpindahan ibu kota negara ke sana. Mereka ke Yogyakarta bukan hanya karena nasionalisme, tetapi karena ada semacam dana perjuangan. Kita tahu bahwa sanggar-sanggar seni rupa—Seniman Indonesia Muda dan pecahannya Sanggar Pelukis Rakyat yang berdiri di Yogyakarta—disokong oleh negara. Potensi ini berkembang terus.
Tadi saya mengatakan nasionalisme kebudayaan ini membuat orang seperti Ki Hadjar Dewantara dan Hatta mendirikan sekolah-sekolah seni. Sekolah seni itu adalah sekolah kejuruan tingkat tinggi. Itu di Yogyakarta. Kenapa di sana? Lagi-lagi, perkara revolusi Kemerdekaan. Negara campur tangan mendorong kreativitas kesenian, dan menurut saya itu pola Keimin Bunka Shidosho. Pengaruh Jepang pada kehidupan kita bukan hanya itu, tetapi juga pembentukan RT-RW, baris-berbaris, upacara bendera. Militerisme Indonesia sangat mendapat pengaruh Jepang. Jenderal Soeharto juga didikan Jepang.
Militerisme atau peran pemerintah di dalam kehidupan juga dapat pengaruh Jepang. Jadi, memang kehadiran Keimin Bunka Shidosho adalah situasi tidak terelakkan—dan kolaborasi atau kerja sama antara seniman dan negara terjadi terus. Nantinya, di zaman Kemerdekaan, ada Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), agen kebebasan berkreasi yang datang dari Belanda. Pramoedya Ananta Toer juga ikut Sticusa, sebelum memusuhinya.
HASAN
Di Keimin Bunka Shidosho itu ada kursus penulisan drama dan film, bahkan semacam penyutradaraan juga ada. Di seni rupa, setahu kami ada beberapa pelukis Jepang yang datang; Sudjojono antara lain ikut belajar di sana, keliling Jakarta, mengunjungi Tanah Abang dan lain-lain, melukis on the spot.
Di sastra tampaknya tidak ada—setahu kami. Jepang tidak mendatangkan seorang penyair, sastrawan, novelis untuk mengajar seperti di teater dan seni rupa? Ada pertemuan setiap bulan, kata Jassin, yang membicarakan seperti apa sastra kita yang cocok pada zaman itu, Angkatan Baru namanya, dan berlangsung selama satu tahun. Puisi “Aku” dibacakan di pertemuan pertama pada 1943.
Maksud kami, Jepang menyensor tema isi sastra, tetapi tidak mengarahkan estetika atau teknik penulisan. Apakah situasi itu yang menguntungkan Chairil sehingga muncul dengan apa pun yang ada di kepalanya—karena tidak ada sensor dalam hal estetika—dan kemudian menjadi besar lalu “berbunyi sekali”?
NIRWAN
Sebenarnya kehadiran Jepang sudah jauh lebih awal. Ini mesti diteliti. Tahun 1930-an, sudah muncul seniman Jepang di sini.
ZEN
Mata-mata, mereka itu.
NIRWAN
Bisa jadi.
Beberapa pelukis Indonesia sudah belajar pada seniman Jepang sejak akhir 1930-an. Terutama, saya kira, yang dilatih adalah keterampilan teknis, dan bukan spesifik bentuk seni. Maksud saya soal teknis, begini, dalam sandiwara di Hindia Belanda memang tidak pernah ada realisme; mereka tahu, mereka datangkan guru-guru yang bisa menulis naskah realis dan membuat panggung. Meskipun Usmar tentu sudah belajar sendiri. Jika mau propaganda, harus menggunakan realisme, dong, tidak mungkin fantasi. Kemudian, para pelukis juga demikian. Kehadiran pelukis-pelukis Jepang agak ekstensif, sampai ke Bukittinggi. Bahkan, ada satu-dua orang yang sangat penting, singgah ke sini, pada akhirnya ada yang menjadi warga Prancis—Tsuguharu Fujita (kemudian menjadi Léonard Foujita), pelukis pasca-impresionisme yang penting di Prancis.
Saya kira, situasi lokakarya teknis itu penting buat mereka. Sebenarnya, ini juga siasat. Karena, dalam lokakarya itu, mereka mendapatkan alat-alat. Saat itu, alat-alat melukis, cat dan kanvas, mahal. Memproduksi sandiwara juga memerlukan alat-alat dan dana. Kemudian, para pelukis berkeliling dan membuat pameran di daerah-daerah; mereka juga dibiayai.
Dalam soal sastra, mengajarkan keterampilan sastra memang paling repot. Saya tidak tahu, mungkin kita belum tahu, yang pasti sampai sekarang tidak tahu, apakah saat itu ada sastrawan Jepang yang datang kemari? Sejauh ini, tampaknya tidak ada. Sastrawan Jepang yang menonjol pada waktu itu adalah kalangan modernis. Bagaimana mengajarkan keterampilan modernisme artistik yang cenderung pada jukstaposisi? Tidak mungkin.
Yang penting dikemukakan di sini—ini mungkin khas Indonesia juga—Keimin Bunka Shidosho mempertemukan berbagai seniman dengan sangat rapat. Keinginan setiap seniman untuk melampaui disiplinnya sendiri terbilang sangat besar. Kita bisa berteori atau bercuriga bahwa puisi Chairil yang sangat ungrammatical, yang sangat spontan dalam pengertian tertentu, memungut sana-sini, sebenarnya kita bisa lihat bahwa itu adalah pengaruh Affandi, yang melukis sangat spontan. Spontanitas murni itu hanya ada di dalam seni lukis.
Dalam sastra, hal itu tidak mungkin, karena sastra terikat pada kamus, pada gramatika. Tetapi, saya kira, penyair jika melihat pelukis bekerja, dia ingin berlaku spontan juga, memperlihatkan greget, tetapi dengan alat-alat yang tidak memungkinkan spontanitas. Makanya, puisi modern adalah tegangan antara yang spasial dan temporal. Ingin melukis, ingin membuat yang spasial, tetapi alat-alatnya temporal, yaitu bahasa. Itu salah satu ciri puisi modern yang penting juga, tegangan antara yang spasial dan yang temporal. Dalam bahasa kita, itu bermula pada Chairil. Pada Amir Hamzah, puisi masih berwatak temporal.
Membaca Karya-karya Chairil Anwar Lebih Dekat
Chairil Anwar kerap disalahpahami sebagai “penyair binatang jalang”, seakan-akan kerja kepenyairan melulu melakoni hidup yang autentik tanpa intelektualisme sama sekali. Sementara jika kita membaca dekat, puisi-puisi Chairil Anwar adalah hasil kerja intelektualisme yang keras.
Pembacaan ketat-dekat atas suatu karya memperlihatkan bagaimana sebuah tradisi sastra di sebuah negara—dalam konteks ini melalui penyair avant-gardisnya—berhubungan dengan tradisi sastra yang berlangsung di dunia. Puisi Indonesia, melalui Chairil Anwar, adalah sesuatu yang berbeda, tetapi juga sejajar dan merupakan bagian dari perkembangan modernisme artistik puisi sedunia. Dalam pembahasan kali ini, Zen Hae mengajak Nirwan Dewanto membagikan pembacaan ketat-dekatnya atas sejumlah karya Chairil Anwar.
ZEN
Tentu saja, puisi bebas paling kentara atau kelihatan pada persajakan Chairil Anwar. Meskipun Tatengkeng atau generasi Pujangga Baru pernah mencoba-coba dengan sangat terbatas. Kalau kita bentangkan kompleks kekaryaan Chairil Anwar, ada model persajakan Pujangga Baru, dalam “Nisan”, misalnya, ada puisi bebas yang ekstrem “1943”, ada yang mengadopsi atau mengolah kembali puitika pantun pada “Senja di Pelabuhan Kecil”. Bahkan, hingga model kuatren yang tertib, seperti sajak tanpa judul yang kemudian disebut “Derai-Derai Cemara” . . .
NIRWAN
Itu enggak ada judulnya, ya?
ZEN
Tidak ada judulnya, tetapi kemudian editor Aku Ini Binatang Jalang memberi judul dengan baris pertama. Maksud saya, bagaimana Anda melihat kompleks kekaryaan puisi Chairil yang ragamnya sebenarnya cukup banyak. Ada model Pujangga Baru, puisi bebas, pantun, pengolahan kembali pantun, dan adukan dengan puisi bebas dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”, dan ada juga sajak-sajak yang sangat tertib seperti sajak yang tidak berjudul tadi.
NIRWAN
Puisi pertama Chairil yang kita kenal “Nisan” (1942)—kita tidak tahu apakah sebelum itu ada puisinya yang tersisa—masih bergaya Pujangga Baru. Meskipun dia sangat berani menggunakan bentuk yang sangat pendek, kuatren. Kemudian, puisi bebas itu aspirasi modernisme artistik Chairil yang nyata.
Dalam banyak kesempatan di bahasa-bahasa lain, puisi bebas menyatu dengan vernakularisme, dengan pengambilan ragam cakapan. Itu salah satu ciri modernisme artistik di seluruh dunia. Chairil mengambil puisi bebas; saya kira itu pengaruh Marsman langsung. Puisi bebas Chairil sudah mulai ditulis pada 1942, dan terutama 1943.
Jika kita melihat puisi yang kedua dalam 1942 itu, “Penghidupan”, sebenarnya sudah merupakan upaya untuk membuat puisi bebas. Chairil sudah membuat jukstaposisi dalam puisinya itu. Tiba-tiba dia mempertemukan lautan dengan pematang. Selama ini kita membayangkan pematang di darat, di tengah sawah. Tetapi, ini laut, yang bertemu dengan pematang. Itu jukstaposisi khas Chairil. Dia sudah mulai matang dengan puisi bebas setelah puisi itu, pada 1943.
Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa perjalanan kepenyairan Chairil adalah usaha menguasai konvensi. Dalam pendapat Sapardi, konvensi cuma berarti keteraturan bentuk, yang tidak lain daripada kuatren, atau yang serupa itu. Dia mengatakan bahwa Chairil matang hanya dalam pengertian tertentu saja. Matang, artinya tidak remaja lagi. Artinya, Sapardi lagi-lagi melihat suara Chairil, isi puisinya, bukan bentuknya. Kematangan Chairil, ketidakremajaannya menemukan bentuk yang terbaik pada kuatren, demikian kata Sapardi. Saya tidak menganut pandangan ini.
Misalnya puisi “Tak Sepadan”, buat saya, sudah setengah kuatren, karena bait keduanya tiga baris. Bentuknya masih seperti kuatren. Menurut saya, itu sudah puisi bebas. Apa inti puisi bebas? Itu ketika frasa-frasanya, baris-barisnya, tidak berhubungan satu sama lain. Dan itu, buat saya, “Tak Sepadan” sudah puisi yang matang. Bukan puisi remaja, bukan puisi emosi.
Apakah rumpang itu dibuat dengan pemotongan larik atau pisah bait, sama saja. Itu kebutuhan komposisi. Misalnya, “Kau kawin, beranak dan berbahgia/sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.” Itu jukstaposisi. Kita bisa membayangkan hubungannya melalui satu, dua, atau tiga tingkat imajinasi. Muncul juga penggunaan referensi, yang harus dicari. Ahasvéros itu siapa? Kita mesti mencarinya. Sapardi dan Subagio juga mempertanyakan itu, kurang-lebih, “Ngapain sih pakai Ahasveros?” Ya, tidak apa-apa. Fungsi ambilan. Chairil bisa memungut dari apa saja. Bisa dari fakta, bisa dari ragam cakapan, bisa dari kisah asing. Penting digarisbawahi di sini, bahwa yang asing itu juga milik kita, milik Indonesia. Bahwa kita bisa mengambil dari mana saja dengan setara, tanpa kompleks tinggi hati atau rendah diri. Demikianlah kolase modernis sudah mulai di tangan Chairil.
“Jadi baik juga kita padami/unggunan api ini”—“kita padami”, itu khas Chairil. Menggunakan bentukan kata kerja yang tidak pernah digunakan orang. “Karena kau tidak ‘kan apa-apa/sedangkan aku terpanggang tinggal rangka”. Ada unggun api yang membuat kamu tidak apa-apa, tetapi saya tinggal rangka, itu jukstaposisi. Kemungkinan hubungannya hanya bisa kita bayangkan melalui suatu matriks yang tidak dikatakan di sini.
Jika kita lihat pada tahun yang sama, puisi “Aku” lahir pada tahun itu, ya—dan juga “Hampa”, misalnya. “Hampa” adalah puisi bebas yang sudah prima. Bayangkan, tahun 1943. Jadi, saya tidak setuju dengan Sapardi. Bahwa keremajaan Chairil, keresahannya, kelantangannya, kegilaannya, sebenarnya sangat mengendap, sangat tertapis, dalam bentuknya. Puisi “Hampa” sangat selesai dalam bentuk. Bukan hanya selesai, tetapi Chairil betul-betul membuat puisi modern, yang satuannya adalah frasa, dan satu frasa dengan frasa yang lain dihubungkan oleh suatu matriks yang tidak terkatakan. Itu apa? Sunyi. Musik. Unsur musik di dalam matriksnya itu. Sunyi itu, kan, musik. Dia mengatakan sunyi di sini. Ini ada hubungan intertekstual dengan puisi Amir Hamzah—penyair “Nyanyi Sunyi”. Chairil membuat “nyanyi sunyi”, tetapi dengan cara disonansi.
ZEN
Berarti Sapardi itu “nyanyi sunyi” ketiga, bukan kedua, seperti dikatakan Goenawan Mohamad . . .
NIRWAN
Ya, yang dibuat Sapardi itu “nyanyi sunyi” yang kesekian. Puisi Indonesia berkarakter “nyanyi sunyi”, sebenarnya. Dimulai oleh Amir Hamzah, dimekarkan oleh Chairil Anwar, kemudian dilanjutkan oleh Sitor dan Subagio, kemudian diperluas oleh Goenawan dan Sapardi. “Aku pun tahu: sepi kita semula”. Itu, kan, sepi lagi. Sapardi juga begitu. Jadi, Chairil sudah matang sejak 1943.
Menarik dipersoalkan apakah Chairil berkembang ke arah bentuk yang lebih teratur? Menurut saya, tidak. Karena pada saat yang sama, sejak awal Chairil tetap membayangkan bentuk pantun. Misalnya “Kawanku dan Aku”, itu pantun. Pantun yang kemudian diurai, menjadi seakan-akan puisi bebas. Cobalah tautkan baris-baris tunggal yang seakan-akan berdiri sendiri itu. Ini empat, empat, empat—pantun, kuatren juga. Demikianlah, Chairil membuat jukstaposisi dengan mengurai bentuk empat seuntai.
Sebenarnya dia mau memberi kesempatan, bahwa antara tiga baris atas dan tiga baris sebelahnya yang satu baris tersendiri itu, ada satu tarikan napas. “Kami jalan sama”, “Kami jalan sama./Sudah larut”—kami jalan bersama, kami sama-sama jalan, itu sangat ungrammatical. Apa yang larut? Apakah mereka sudah berlarut-larut jalan, atau hari sudah larut? Dua-duanya bisa. Itu maksud saya, bagaimana frasa-frasa di dalam puisi berfungsi untuk mempertajam matriksnya.
“Menembus kabut/Hujan mengucur badan”. Jadi, sebenarnya unsur-unsur puisi Chairil itu berantakan. Tetapi, yang berantakan itu, saya melihatnya sebagai spontanitas à la Affandi di dalam melukis. Dia menggunakan alat-alat yang semantik dan gramatik untuk mencapai spontanitas, yang tidak pernah tercapai. Itu ironi dalam puisi.“Sudah larut sekali/Hingga hilang segala makna/Dan gerak tidak punya arti.” Jika begitu, tidak ada maknanya? Ya, memang, karena puisi itu “nyanyi sunyi”. Tidak ada maknanya, jika diartikan semata-mata sebagai maksud atau pesan. Dia melawan itu. Karena jika puisi menjadi alat modernisasi sosial, dia harus berpesan.
Puisi Goenawan Mohamad tidak mungkin ditulis tanpa ada puisi seperti ini. “Dingin Tak Tercatat” dan “Lintang Kemukus”, dari sinilah bentuknya. Begitu juga puisi Sapardi yang kuatren, puisi Goenawan yang kuatren—tidak bisa ditulis tanpa kuatren Chairil. Bukan kuatren Amir Hamzah. Kenapa? Karena kuatren-kuatren Chairil itu jukstaposisi, dan kalimatnya susut menjadi frasa. Cuma, memang, Sapardi lebih memilih harmoni, Goenawan lebih memilih disonansi.
Jika kita melihat model kuatren Indonesia yang muncul setelah itu, modelnya adalah kuatren Chairil. “Di beranda ini angin tak kedengaran lagi”, “Waktu adalah mesin hitung, cintaku” dalam puisi Goenawan. Puisi Rendra dan Subagio sama. “Tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan”—ini puisi “Gerilya” karya W.S. Rendra. Baris-baris seperti itu tidak mungkin ditulis jika Chairil tidak menulis “Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah//rubuh/patah.” Puisi “Afrika Selatan” karya Subagio Sastrowardoyo tidak mungkin ditulis tanpa adanya “Cerita buat Dien Tamaela”.
Jadi, orang-orang yang mengecam Chairil, misalnya Subagio yang menengarai pengaruh-pengaruh Chairil pada mereka yang disebutnya “penyair-penyair puber”, dia sendiri terpengaruh Chairil. Itulah yang namanya anxiety of influence; ini istilah yang saya comot dari Harold Bloom. Subagio tidak sadar bahwa dia terpengaruh Chairil. Mengecam Chairil dan segenap pengaruhnya, tetapi dia sendiri terhisap ke dalamnya. Tidak bisa menghindar.
Chairil sudah matang pada 1943 dari segi itu. Tidak ada kemungkinan lain. Bentuk “Kawanku dan Aku” ini yang kita temukan lagi dalam sajak-sajak bebas Goenawan. Begitu juga sajak “Monolith” karya Subagio, yang tidak mungkin ditulis tanpa sajak “Hampa”.
Jadi, Chairil melampaui dirinya sendiri. Akhirnya, kita menyadari bahwa bentuk-bentuk seperti kuatren sangat kuat, kita tidak bisa menghindar dari itu. Bentuk-bentuk empat seuntai memang mengakar jauh. Memori kolektif orang Indonesia—memori kolektif penyair, terutama—sadar maupun tidak berusaha menghidupkan lagi bentuk itu. Tetapi, di samping itu, kuatren adalah bentuk yang universal, ada di mana-mana, yang masih berlaku hingga kini. Dan itu terjadi terus, pada Sitor, pada Sapardi, pada saya juga, yang akhirnya menulis kuatren. Apakah itu sadar atau tidak, sebenarnya para penyair lebih banyak mengaktifkan bentuk-bentuk yang hidup dalam memori kita. Dan Chairil menyatakan bahwa bentuk itu tidak pernah usang. Kenapa? Karena satuannya bukan lagi kalimat, tetapi frasa. Kurang lebih, kalau bentuknya kuatren, unsur-unsur temporal justru bisa dijinakkan.
ZEN
Tadi Anda sudah menyebut unsur terkecil puisi Chairil adalah frasa atau kata, sangat padat. Sementara, generasi sebelumnya, katakanlah, Amir Hamzah masih menulis dalam kalimat.
Saya mau Anda memberi semacam elaborasi terhadap dua sajak yang sering dianggap sangat dekat hubungannya; “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dan “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil. Kedua sajak sama-sama mengandung lanskap alam, tetapi cara pandang terhadap alam agak berbeda. Yang satu, teleologis. Sementara, Chairil punya semacam kesadaran “di sini, nikmati apa yang ada hari ini.”
NIRWAN
Saya kira saya bukan orang pertama. Teeuw sudah menulis soal ini dengan sangat bagus. Bahwa kita melihat hubungan antara “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Berdiri Aku”, sebenarnya itu adalah aspirasi kita, aspirasi untuk membangun tradisi perpuisian, suatu cara yang masuk akal bahwa sebuah puisi tidak mungkin muncul begitu saja tanpa puisi sebelumnya.
Misalnya, “Berdiri Aku” dan “Senja di Pelabuhan Kecil”. “Berdiri Aku” itu temporal; kita bahkan bisa merekonstruksi suatu cerita, suatu parafrasa dari puisi itu secara hampir mendekati sempurna. Apa artinya? Cerita itu sesuatu yang temporal, ada awal dan akhir, juga jelas siapa yang ada di situ, yaitu aku. Aku menjadi pusat dari pemandangan itu. Sebagai lukisan, dia sempurna. Ibaratnya, kita melihat lukisan, kita tidak akan ragu lagi mengatakan ada pantai, ada unsur-unsurnya, ada kelengkapannya, ada situasinya, ada waktunya, kapan, dan kita bisa melihat itu sebagai pemandangan yang utuh, yang bulat, yang koheren.
Unsur-unsur itu tidak ada dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Jika kita membaca “Senja di Pelabuhan Kecil”, sebenarnya aku tidak muncul di bait pertama dan kedua. Dia baru muncul di bait ketiga, dan itu pun muncul dengan ragu-ragu dan samar-samar. Jadi, ketika kita membaca bait pertama dan kedua, jika kita pembaca yang teliti, kita pasti bertanya, “Ini yang bicara siapa, ya?” Apakah narator yang mahatahu, omniscient narrator, atau siapa?
Yang kedua, yang paling penting buat saya, kita tidak mungkin merekonstruksi suatu cerita dari situ karena Chairil Anwar tidak mengizinkan kita membuat parafrasa dari puisi itu. Mungkin itu senja ya, sesuai dengan judulnya. “Ini kali tidak ada yang mencari cinta”. Sangat bercorak lisan, kan? “Ini kali”—tidak ada di Pujangga Baru. “Di antara gudang, rumah tua, pada cerita.” Lho, kok “pada cerita”? Jadi, apa dia melihat pemandangan atau tidak? Ada unsur self-reflexivity di situ.
Lalu, “tiang serta temali”, jadi kelihatan loncat-loncat. Mulai dari unsur yang besar, sampai unsur yang kecil, “tiang serta temali”. Kemudian, “Kapal, perahu tiada berlaut”, tidak ada laut, bisa jadi sangat kubistis. Laut dihilangkan dari lanskap. “Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.” Kita tidak tahu maksudnya ini apa. Sangat ungrammatical. Intinya, kita tidak mungkin membuat parafrasa dari puisi ini.
Alhasil, apa? Alhasil adalah pemandangan modernis yang tidak indah. Jika pun itu bisa disebut pemandangan, maka itu bisa disebut sebagai suatu lukisan yang hanya semi-figuratif, atau lukisan modernis yang sebenarnya tidak menirukan objeknya, tetapi mempersoalkan cara pandang kita terhadap objek. Itu sudah self-reflexivity.
Kemudian, aku muncul di bait ketiga. “Tiada lagi. Aku sendiri.” Apa yang tiada lagi? Tiada lagi, apa ini? Jika kita mau berspekulasi, maka dia mau meniadakan sesuatu di dua bait sebelumnya. Tiada lagi apa? Tiada lagi, semuanya tidak ada? Artinya problem diri, problem si pemandang diragukan, bahwa dia tidak jelas memandang atau mengesani apa.
“Berjalan/menyisir semenanjung, masih pengap harap/sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan/dari pantai keempat.” Dari pantai keempat, ya, kita tidak tahu mengapa ada pantai keempat. Di mana dan apa pantai pertama, kedua, dan ketiga? Itulah rumpang, celah bisu yang menjadi matriks puisi.
Jadi, sebenarnya, unsur keserempakan, kesementaraan, arbitrariness, hubungan antara aku dan yang dipandang, itu sangat goyah.
Tetapi, lagi-lagi, puisi ini masuk begitu saja ke dalam diri kita, masuk dengan satu kebulatan tertentu. Masuk secara ganzheit, barangkali? Karena kita punya pengalaman membaca puisi Indonesia. Jadi, ini anxiety of influence. Kita membaca puisi ini dengan anxiety of influence. Puisi ini makin berbunyi lagi bukan hanya karena kita mengenal puisi Amir Hamzah, tetapi justru karena kita sudah membaca aneka puisi Indonesia tahun 1970-an.
ZEN
“Pada Sebuah Pantai: Interlude” karya Goenawan Mohamad . . . .
NIRWAN
Teknik begini yang dikembangkan dengan subtema berbeda “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”. “Aku pun tahu”, munculnya di bait ketiga. “Aku pun tahu: sepi kita semula/bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” Melankoli filsafat Goenawan itu berasal dari Chairil. Chairil, kan, menonjol dalam melankoli filsafat. “Hidup hanya menunda kekalahan,” misalnya.
ZEN
“Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar . . .”
NIRWAN
Ya, sama.
Dalam puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” ada larik “Aku pun: tahu sepi kita semula/bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” Serupa, kan.
Chairil pernah menulis “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.” Atau, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Kata “adalah” itu muncul terus di puisi Goenawan. “Waktu adalah mesin hitung, cintaku,” misalnya. Seperti itu terus, kan? Jadi, memang, melankoli filsafat sebagai salah satu ciri Chairil yang kuat muncul kembali, bukan hanya pada Goenawan, melainkan juga pada Sitor dan Subagio. Tetapi, melankoli filsafat itu menurut saya adalah suatu ironi. Karena si penyair hendak berfilsafat, tetapi tidak bisa. Karena hendak menolak pesan. Maka, filsafatnya dimubazirkan atau dibatalkan. Filsafat tidak lebih menjadi suatu unsur kolase, sebagaimana Chairil memungut informasi tadi, memungut ragam cakapan.
Jika sekarang penyair Indonesia menulis kuatren, maka modelnya adalah kuatren Chairil. Itu yang saya sebut sebagai anxiety of influence. Tentu saja, jauh di kemudian hari, bukan hanya pengaruh Chairil yang mereka cernakan. Tetapi, kali ini kita membahas situasi spesifik bahasa Indonesia. Puisi-puisi jenis ini jika diterjemahkan bisa jadi akan hilang segala kelebihannya. Terjemahan Burton Raffel atas sajak-sajak Chairil sangat gramatik. Harus mengganti yang ungrammatical dengan sesuatu yang lain.
ZEN
Soal ungrammatical, kata-kata yang tidak gramatikal dalam puisi Chairil, kan, banyak sekali. Misalnya, “menghembus diri”, “mempercaya mau berpaut”, itu menunjukkan afiksasi/pengimbuhan kata bahasa Indonesia yang berantakan.
Jika kita bandingkan dengan Alisjahbana, kita tahu dia seorang ahli bahasa, menyusun kitab tata bahasa. Dia juga menulis banyak sekali esai tentang bahasa Indonesia. Sesuatu yang dia pelajari secara otodidak, tetapi menjadi bukti bahwa tata bahasa baru itu adalah salah satu yang diacu oleh tatabahasawan di Indonesia. Artinya, dia punya pengetahuan bahasa yang cukup, dan itulah kenapa kalimat-kalimat atau puisi-puisi Alisjahbana sesuai dengan tata bahasa yang dia pahami pada saat itu.
Sementara, Chairil ini menurut kami punya daya rusak yang kuat sekali, karena mungkin dia tidak ingin terperangkap oleh tata bahasa atau situasi bahasa yang resmi. Apakah itu mungkin juga karena faktor ketidaktahuan atau ketidakcukupan bahasa Indonesia Chairil? Kita bisa memaknai ini sebagai modernisme artistik yang menonjol dalam sajak Chairil Anwar. Bagaimana pendapat Anda soal perbandingan antara Chairil dan Alisjahbana terkait proses morfologis kata dalam puisi.
NIRWAN
Saya kira Chairil berada di dua sisi. Pertama, dia ingin merusak, dalam pengertian tertentu. Kedua, bagian dari ignorance dia terhadap tata bahasa. Dia tidak tahu. Chairil tidak bisa dikatakan sempurna. Ketidaksempurnaannya adalah ketika dia menggunakan bahasa nyaris semau gue. Tetapi dia bereskan itu dalam suatu struktur otonom puisinya. Misalnya, “mereksmi” itu apa? Itu tidak ada di kamus. Dan kita tidak tahu itu apa.
Atau, jika dia menggunakan kata benda abstrak, kita sendiri bertanya, itu maksudnya apa? Atau, begini, kata bentukan afiksasi itu, “Kalau ‘ku habis-habis kata, tidak lagi/berani memasuki rumah sendiri, terdiri/di ambang penuh kupak” apa itu? “’Ku habis-habis kata” maksudnya apa? Aku kehabisan kata atau apa? “Terdiri” itu seharusnya “berdiri”. Atau, dia mau mengatakan bahwa “dia tidak sadar berdiri.” Barangkali tiba-tiba terlempar, dia berdiri di depan pintu tanpa dia maui. “Di ambang penuh kupak” itu salah; karena “kupak” itu kata sifat. “Pintu kupak,” itu yang benar.
Kemudian, pada baris berikutnya, “Kecemasan derita, kecemasan mimpi,” itu apa? “Kecemasan”—kita boleh curiga, bahwa itu ragam lisan. “Terlalu cemas” sama dengan “kecemasan”. Mungkin, maksudnya adalah terlalu cemas oleh mimpi, terlalu cemas oleh derita. Tetapi, kemudian, karena dua kombinasi itu enak bunyinya, lalu itu menjadi dimaklumi di dalam struktur puisi keseluruhan. Tentu saja, Chairil bisa “dimaafkan” dalam arti bahwa dia membuat puisi yang bulat dan otonom dalam keseluruhannya, tetapi unsur-unsurnya sangat berantakan. Ini sebentuk ironi lagi.
Dalam buku Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang suntingan Pamusuk Eneste, ejaan semua puisi Chairil dikoreksi, tetapi untuk kata-kata yang “cacat” begitu tidak dikoreksi. Orang tidak berani mengoreksi Chairil. Seharusnya, memang dibuat edisi anotasi puisi-puisi Chairil Anwar. Jika ejaannya terkoreksi, kenapa yang lain tidak terkoreksi juga, kenapa? Kita hanya bisa berspekulasi tentang makna harfiah dari kata-kata Chairil. Jadi, saya menganggap itu adalah bagian dari kelemahan Chairil juga.
Jika puisi-puisi Chairil yang berantakan ini dibaca oleh anak-anak sekarang, maka ada dorongan untuk ngawur, semau gue. Tetapi, ada kemungkinan lain, yang harus kita buktikan, paling tidak dibuktikan oleh interpretasi. Apakah Chairil sedang membuat suatu neologisme, misalnya? Di dalam puisi Indonesia, belum ada orang yang dengan sengaja membuat neologisme dalam bahasa Indonesia, kecuali Sutardji barangkali. Tetapi, dia lebih mementingkan unsur bunyi, “sepisaupa”, misalnya, atau “sepisaupi”, itu dari “pisau” dan “sepi”. Sepi lagi; Sutardji pun berangkat dari “nyanyi sunyi”.
Sutardji dengan sengaja membuat neologisme, untuk menonjolkan unsur bunyi. Chairil, saya curiga, tidak begitu. Itu karena ignorance saja, karena dia tidak peduli saja, dan dia memungut tanpa mengecek kamus. Padahal ada kamus Melayu-Belanda, ada.
Dengan segala kekeliruannya itu, Chairil membuat disonansi. Disonansi ini berlanjut pada puisi-puisi Goenawan. Meskipun disonansinya menjadi disonansi semantik, bukan gramatik lagi. Pada Chairil, disonansi gramatik lebih dulu, baru semantik. Pada Goenawan, unsur disonansi sangat kuat, sekalipun itu puisi prosa, disonansinya sangat kuat. Termasuk dalam puisi “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam” ada larik “di bawah cahaya, hari pun bercadar”. Tidak ada hubungannya semua frasa-frasa itu. Menurut saya, disonansi itu hanya tumbuh melalui pengaruh Chairil.
Disonansi itu ada juga di Sapardi, misalnya pada puisi “Catatan Masa Kecil”. Juga pada puisi Sapardi yang kuatren “Kartu Pos Bergambar: Taman Umum, New York”. Menurut saya, modelnya adalah puisi Chairil. Pada frasa-frasa yang menggantung, tidak selesai, rumpang di antara frasa.
Dari Melayu Deli ke Kelisanan Melayu Pasar
Chairil Anwar menciptakan puisi dalam bentuk yang sangat modern, dengan bentuk puisinya yang sangat bebas, di tengah puisi langgam Pujangga Baru yang mengadopsi bentuk-bentuk pantun dan soneta. Dalam karya para penyair Pujangga Baru kala itu, teks-teks berbahasa Melayu seperti diturunkan dari kamus, sementara Chairil Anwar mengambil diksi-diksinya yang paling membekas di ingatan kita hari ini dari bahasa sehari-hari. Apakah kepindahannya dari Medan ke Jakarta memberi pengaruh pada perubahan ini?
MICHELLIA
Anda pernah menulis di tengara.id yang menunjukkan sikap Anda yang memuliakan keberaksaraan dibandingkan kelisanan. Sementara, dari tadi Anda menyebut pengecualian terhadap Chairil, ada karakter Chairil yang sangat bercorak kelisanan. Apakah ini ada pengaruhnya karena dia berpindah ke Jakarta? Mungkin, karena perpindahan dari Medan dengan gaya Melayu Deli ke Jakarta lantas mendapat pengaruh Melayu Pasar Jakarta. Apakah ada dalam konteks puisinya persinggungan Chairil dengan aksesnya di Jakarta ini? Apakah ragam cakapan ini juga memengaruhi sebagian besar penyair di Jakarta periode itu? Selanjutnya, merujuk pada tulisan Anda tersebut, apakah Anda melakukan pengecualian terhadap Chairil, atau tidak melakukan pengecualian?
NIRWAN
Saya kira banyak yang tidak tepat membaca tulisan saya itu. Pertama, saya menjawabnya secara mudah dulu. Puisi Chairil jelas puisi tulisan. Ada jejak kelisanan, iya. Tulisan itu apa salah satu cirinya? Fiksasi, pembekuan. Jadi, saat dia menggunakan ragam lisan, itu sudah dibekukan. Sudah menjadi tulisan. Saya tadi mengatakan, kenapa dia mengambil ragam lisan? Dia memungut apa saja, untuk membuat jukstaposisi, membuat kolase. Bisa ragam lisan, bisa informasi, bisa referensi—Ahasvéros, misalnya. Itu semua sama statusnya, tidak ada yang lebih tinggi.
Sekarang, ragam lisan itu apa? Kenapa ada puisi modern? Saya kembali lagi pada teori saya, puisi itu pada umumnya sebentuk atavisme. Atavisme dalam pengertian yang paling dasar. Bukan cuma seperti yang dikatakan Subagio, “Bangkitnya kembali ciri perpuisian nenek moyang.” Atavisme itu adalah bangkitnya kembali kemampuan manusia bicara, mencandra sesuatu, ketika berpikir rasional belum ada. Ketika manusia berbahasa pertama kali, dia cuma punya peralatan lisan. Tetapi, dengan peralatan lisan itu, dia mencoba menjelaskan atau berjarak dengan alam. Tetapi dia tidak bisa, karena dia tidak tahu apa yang sungguh terjadi. Karena itu, dia mengatakan, “matahari terbit di timur, tenggelam di barat.” Kan tidak begitu sebenarnya. Ilmu alam kemudian membuktikan apa yang benar, yaitu bahwa bumi berputar pada porosnya, dan bumi bergerak mengitari matahari, tetapi kita tetap berbicara begitu. Dalam semua bahasa. Sunset, sunrise. Sama. Artinya apa? Manusia punya kapasitas primitif, kapasitas warisan budaya lisan ketika ilmu pengetahuan belum ada.
Puisi adalah residu kebudayaan rasional. Residu itu apa? Karena dunia kita sudah tertib, sudah modern, maka tertib teratur, karena kita tidak mau lagi menjadi makhluk yang menderita di tengah alam semesta. Kita punya ilmu, teknologi, punya perangkat yang lain, punya organisasi sosial. Apakah semua bisa dilingkupi oleh itu? Tidak. Ada hasrat-hasrat tertentu, dunia yang pra-rasional yang masih ada dalam diri kita. Karena kita ini adalah mesin hasrat, mesin fisiologi, mesin biokimia. Bagaimana itu bicara? Bicaranya lewat kesenian. Kesenian itu chaos sebenarnya. Kesenian adalah sisa chaos yang harus ditata. Tetapi tidak mungkin ditata sepenuhnya, karena sudah diambil oleh kapasitas rasional. Oleh karena itu, puisi mengambil residu rasionalitas dan membahasakannya.
Dengan kata lain, sebenarnya puisi modern menyadari posisinya. Jika kita melihat dari luar, dia menyadari posisinya di tengah semesta pra-tulisan. Dunia ini, meskipun tertata, kita tetap melihatnya sebagai lukisan. Kalau kita enchanted, terpesona pada sesuatu, kita melihat semesta sebagai sesuatu yang sekali tangkap, sekali jangkau, dan kemudian kita mau membahasakan itu. Bahasanya adalah kesenian. Dengan kata lain, tulisan itu, dalam arti sastra, adalah terjemahan dari semesta pra-tulisan.
Modernisme berusaha memungut fragmen-fragmen itu, tidak semuanya, memungut sebisanya, mengekstraknya kembali, menjadi puisi. Jadi, watak pengaruh lisan memang sangat besar. Sebenarnya bukan hanya pengaruh lisan. Rupa itu, kan, juga pra-tulisan. Sesuatu yang tidak terdefinisikan, itu rupa. Misalnya, kita melihat pohon. Jika mendefinisikan pohon kita menggunakan botani. Jika melihat hewan, kita mendefinisikannya dengan zoologi. Di situ, ada kategorisasi, klasifikasi. Namun ada bahasa yang melampaui kategorisasi itu—bukan berarti dia lebih superior—itu semata karena dia mengambil residu dari penjelasan-penjelasan tadi. Ini rupa, sebenarnya. Semesta pra-tulisan yang dibahasakan kembali melalui puisi.
Jadi, jejak kelisanan dalam puisi itu besar sekali. Tetapi, ini tulisan. Oleh karena itu, yang bekerja untuk menghidupi atau menghidupkan puisi itu adalah interpretasi. Sesuatu yang betul-betul hanya punya bukti, yaitu benda itu sendiri, kata-kata tertulis itu sendiri. Jadi, itu tulisan, fiksasi dari pengalaman. Kita tidak bisa tanya lagi ke siapa pun. Itu bedanya antara lisan dan tulisan. Puisi, puisi tertulis, itu membunuh pengarangnya. Sastra membunuh pengarangnya, karena pengarangnya itu sudah tidak ada, atau tidak berkuasa lagi, sehingga puisi ini menjadi lebih besar atau lebih luas daripada maksud pengarang; oh, bisa juga lebih sempit, jika barangnya jelek. Jika barangnya bagus, maka lebih besar dari maksud pengarang.
Ini bukan puisi lisan. Puisi lisan itu bergerak dalam komunikasi yang hidup; ketika pendengar dan penutur masih berada dalam satu ruang dan waktu yang sama. Puisi Chairil tidak. Puisi Chairil menjadi modernis karena memungut ragam lisan. Tetapi, bukan hanya ragam lisan; namun juga informasi dan segala macam, semua itu bernilai sama. Dengan kata lain, jika Chairil melanjutkan “nyanyi sunyi”, maka kita bertanya, sunyi itu lisan atau tulisan? Lisan, kan? Tetapi sunyi yang kita alami di dunia tidak kekal abadi. Maka, diambil, dipastikan, diabadikan. Unsur musik, diambil, unsur pra-tulisan diambil menjadi tulisan, sehingga kita mengalami “nyanyi sunyi” hanya dalam semesta tulisan. Itulah maksud saya.
Soal kenapa Chairil baru mengambil ragam cakapan itu di Jakarta, saya kira itu tadi konteksnya. Jakarta adalah pusat pergolakan, pusat pertumbuhan, ibu kota kebudayaan Hindia Belanda, tempat modernisasi sosial paling kuat. Jadi, ada situasi heteroglossia yang sangat kuat di Jakarta, meski kata heteroglossia itu tidak tepat dikenakan ke puisi. Tetapi, menurut saya, watak puisi Chairil sangat mengandung unsur-unsur itu; unsur-unsur berbagai ragam cakapan dari berbagai ragam kelas, asal-usul, situasi. Macam-macam masuk ke puisinya.
MICHELLIA
Dikotomi atau vis à vis-nya, kan, kita antara bahasa ucap Pujangga Baru yang serba-sopan dan à la pantun, soneta, dan lain sebagainya, dengan corak barunya Chairil yang tadi Anda sebut, memang mendapat pengaruh dari bahasa Melayu Pasar Jakarta. Hanya saja, yang belum kami dapatkan dari penjelasan Anda adalah bagaimana pandangan Anda ketika kita membandingkannya antara bahasa ucap Pujangga Baru dengan gaya bahasa Melayu Pasar?
NIRWAN
Tadi saya mengatakan, aspirasi Pujangga Baru adalah modernisasi sosial. Dalam modernisasi sosial, aspirasi sastra mengabdi kepadanya. Oleh karena itu, Pujangga Baru tidak bisa bergerak terlalu jauh, karena tidak menyadari sastra atau khususnya puisi sebagai medium yang punya otonomi. Sastra tidak boleh melawan, bahkan dia harus tunduk pada modernisasi sosial. Oleh karena itu, memang, eksplorasi sastra kaum Pujangga Baru tidak bisa terlalu jauh. Paling pol, Amir Hamzah. Yang punya temperamen artistik kepenyairan cuma Amir Hamzah. Sanoesi Pane tidak. Dia tetap seorang modernis sosial, seperti Takdir. Meskipun filsafat mereka berbeda.
Armijn Pane kemudian menjadi seorang proto-modernis di dalam roman karena dia mengatakan bahwa modernisasi sosial itu bermasalah. Kaum borjuis itu bermasalah. Kaum terpelajar itu bermasalah. Mereka belum bisa mengendalikan mesin hasratnya. Amir Hamzah juga. “Iman kita itu bukan iman yang bulat, tapi bermasalah. Terutama karena dia menghadapi konformisme budaya,” begitulah kurang-lebih. Tetapi, peralatannya belum memadai.
Pujangga Baru dibatasi oleh wawasan yang tidak luas. Tetapi, satu ciri bisa dikatakan: bahwa orang yang bisa melampaui keterbatasan bentuk adalah orang yang wawasannya lebih banyak. Amir Hamzah membaca puisi-puisi Timur, misalnya, membaca puisi-puisi sufi. Armijn Pane membaca Madame Bovary. Tetapi ini tidak sampai pada Takdir, pada yang lain. Memang, ada problem keterbatasan wawasan.
Siapa yang bisa melampaui keterbatasan itu, merekalah yang menjadi pengarang yang bagus. Armijn dan Amir Hamzah. Armijn di dalam prosa, dan Amir Hamzah di dalam puisi. Armijn di dalam puisinya, ya, tetap seorang social modernizer seperti Takdir. Tetapi dia melampaui itu di dalam romannya.
Terakhir, saya kira ini tekanan kultur priayi “borjuasi”. Mereka belum bisa melampaui itu, kultur ambtenaar. Meskipun mereka memperjuangkan modernisasi sosial, temperamen mereka untuk menjadi l’enfant terrible tidak ada. Amir Hamzah pulang ke Langkat karena mau dijodohkan.
HASAN
Dan diangkat jadi sultan . . .
NIRWAN
L’enfant terrible itu ada, tetapi tidak di dunia sastra Pujangga Baru. Sudjojono, Affandi . . . dan Chairil. Chairil 100% l’enfant terrible. Sementara, Affandi dan Sudjojono masih berkeluarga; Sudjojono guru Taman Siswa; artinya, dia l’enfant terrible, tetapi dia masih ada aspirasi untuk membangun kebaikan dalam bentuk pendidikan, dia jadi guru di Rogojampi, Jawa Timur. Affandi mencari nafkah dengan melukis poster bioskop. Chairil tidak. Dia hidup semau-maunya, jadi l’enfant terrible 100%.
Saya kira, Chairil itu anak manja yang hidup dari santunan keluarga dan teman-temannya. Meskipun sebenarnya l’enfant terrible itu ada batasnya, dia juga dekat dengan guru-guru Taman Siswa, dengan orang-orang Balai Pustaka. Dia bergaul dengan Pak Said (Mohamad Said Reksohadiprodjo), pemimpin Taman Siswa di Kemayoran. Dia dekat juga dengan Kasuma Sutan Pamuntjak, kelak direktur Djambatan—yang sebelumnya bekerja di Balai Pustaka, kakeknya Laksmi Pamuntjak; malah kadang-kadang dikasih pondokan—saya pernah mendengar begitu. Jadi, plagiarisme Chairil itu terjadi karena terpaksa. Kata Jassin saat menjadi redaktur Mimbar Indonesia, sajak terjemahan tidak akan dimuat. Sementara jika diakui sebagai sajak asli, akan dimuat, dan kasbon boleh. Jadi, Chairil melampaui kultur borjuasi priayi untuk menjadi l’enfant terrible.
MICHELLIA
Jadi, ketika kami membaca tulisan Anda tentang keberaksaraan dan kelisanan ini, kami perlu lebih menempatkan konteksnya di sejarah peradaban, ya, alih-alih dikotomi antara Pujangga Baru dan Chairil. Maka, artinya, jika ditempatkan dalam konteks ini tidak bisa?
NIRWAN
Beda. Keduanya memperjuangkan budaya tulisan. Chairil tidak mungkin hidup tanpa Pujangga Baru, dan keduanya tidak mungkin menjadi generasi yang memusuhi tulisan. Mereka mengusung intelektualisme. Tetapi intelektualisme Pujangga Baru tidak menemukan bentuk artistik, sementara Chairil menemukannya. Untuk ini, panjang ceritanya. Nanti kita bisa berbicara tentang puisi gigantis, intelektualisme Subagio, dan seterusnya.
Bergolak Atasi Kecemasan Akan Pengaruh
Sejumlah telaah atas karya Chairil Anwar menyebut bahwa sang penyair memperoleh pengaruh signifikan dari sejumlah nama. Sebagaimana seniman lain yang bergulat dengan daya kreatif mereka, Chairil Anwar tentu menghadapi juga kecemasan akan pengaruh. Dari mana sebenarnya titik mula ia memperoleh pengaruh, dan bagaimana ia mengolah kecemasan tersebut?
MICHELLIA
Sedari tadi kita membahas bagaimana Chairil Anwar melakukan pemberontakan dalam karyanya, menantang formalisme Pujangga Baru. Bagaimana Chairil sampai pada refleksi tersebut? Tadi Anda juga membahas pengaruh yang diperoleh Chairil dari beberapa bacaannya. Sylvia Tiwon menulis artikel yang sangat baik menelisik bagaimana Chairil Anwar sangat berutang pada Amir Hamzah. Chairil juga mengambil pengaruh Marsman dan sederet penyair untuk melawan Pujangga Baru itu tidak lepas dari kecemasan pengaruh.
Sebenarnya, jika kita melacak ke belakang, dari siapa ia memperoleh pengaruh dan bagaimana hal tersebut dimungkinkan, dan bagaimana dia mengolah pengaruh itu?
NIRWAN
Saya jawab yang kedua dulu.
Yang pasti Chairil mencernakan Pujangga Baru dengan sangat baik, sehingga dia sampai pada kesimpulan bahwa Amir Hamzah adalah penyair yang sangat penting; tadi sudah dikatakan, “destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru”. Dan saya kira frasa-frasa mengambang dalam puisi Chairil itu sudah dimulai dalam puisi Amir Hamzah.
Namun, itu saja tidak cukup. Seperti yang telah saya katakan, Chairil punya wawasan internasional yang sangat kuat. Dia bisa melampaui nasionalisme yang sempit maupun kedaerahan. Maksud saya begini: Angkatan Pujangga Baru, tentu saja, belum berpisah dari kemelayuan, dan bukan kebetulan bahwa kemelayuan itulah yang menjadi sendi utama dari penerbit Balai Pustaka. Chairil tidak begitu. Saya kira dia percaya bahwa kemelayuan yang dianut Pujangga Baru tergolong perilaku priayi, aristokrasi lama, bakal borjuasi. Tidak ada kelas borjuis, tetapi itu menjadi watak borjuis yang tidak produktif. Mental kepegawaian.
Chairil menyadari itu, dan itulah, saya kira, dia berusaha meloloskan diri dari perangkap itu, dan menemukan sumber-sumber yang tidak lagi dikungkung oleh batas-batas nasional. Meskipun memang terbatas, tetapi dia bisa melakukannya. Tadi saya mengatakan bahwa ada pengaruh sastra Eropa Barat dan Amerika Utara. Jerman, Inggris—selain Belanda. Dalam sastra Belanda, dia menemukan Marsman. Kenapa begitu? Itu juga tidak khas Chairil. Konteks nasionalisme yang baru membuat para eksponen membangun internasionalisme di dalam gerakan nasionalisme.
Apa itu internasionalisme? Salah satu aspek nasionalisme yang penting itu, “Kalau kau jadi bangsa, kau jadi seperti bangsa lain, dong.” Setara. Jadi, jangan karena kulitmu, maka kau membatasi kreativitasmu. Jangan karena kulitmu, kau lalu mengerangkeng sumber-sumber inspirasimu. Dan itu, kan, sudah terjadi sebenarnya. Takdir mengatakan itu, tetapi sebagai proyek modernisasi sosial. Dia internasional, tetapi lingkupnya terbatas, lingkupnya adalah modernisasi sosial—memajukan masyarakat Indonesia. Memerdekakan bangsa Indonesia dari takhayul dan irrasionalitas. Tetapi bentuk seninya belum ketemu.
Amir Hamzah mulai menyadari itu. Dia keluar dari perbatasan bahasa Melayu, menemukan puisi-puisi Timur. Mengapa Amir Hamzah, dan bukan Muhammad Yamin, misalnya? Keduanya sama belajar di AMS Jurusan Budaya Timur di Solo. Amir Hamzah lebih berbakat, menurut saya. Dia lebih berbakat dalam arti itu tadi, mesin fisiologinya lebih mendukung. Sementara, Yamin tidak. Yamin kembali ke masa lalu dalam pengertian sebenarnya, Sanoesi Pane juga—merindukan Nusantara lama. Amir Hamzah tidak. Dia menggunakan bentuk Melayu untuk menyatakan suara baru. Chairil memperjauh itu.
Sekarang, tentang internasionalisme. Internasionalisme memang sisi lain dari nasionalisme. Saya tadi mengatakan Sudjojono dan Affandi—mereka membangun kesenian, seni lukis Indonesia yang baru dengan prinsip jiwa ketok, tetapi prinsip itu sendiri pengaruh dari impresionisme dan pasca-impresionisme Prancis dan ekspresionisme Jerman, yang mereka lihat melalui Bataviasche Kunstkring. Dan tentu melalui buku-buku, karena tidak semua lukisan bisa dipamerkan di situ. Saya kira, pada waktu itu toko buku di Jakarta lumayan maju, bahkan disebut sudah ada Perpustakaan USIS.
Apakah Chairil sendirian? Tidak. Usmar Ismail itu sangat internasional. Dia tahu film-film Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam sinema ketika itu, realisme itu dibangun dengan cara Soviet atau Amerika atau Italia. Orang-orang seperti Eisenstein dan Pudovkin, yang menggunakan media film untuk modernisasi sosial, tetapi mereka dengan cara mengaktifkan modernisme artistik melalui perfilman.
Di Amerika, kita tahu, realisme sangat berkembang. Murid-murid Stanislavski tumbuh hingga di Amerika Serikat, Lee Strasberg, misalnya. Mereka memiliki sekolah akting yang bagus dan memasok para aktor ke film-film Hollywood. Murid-murid Lee Strasberg banyak, termasuk Marlon Brando dan Stella Adler yang juga Stanislavskian. Jadi, internasionalisme ada di situ. Pengaruh itu tampak pada film-film karya Usmar.
Tadi saya mengatakan tentang Ki Hadjar Dewantara. Dia bisa dianggap Bapak Pendidikan Nasional. Dia tidak mengusung nasionalisme dalam pengertian ultra-nasionalis. Memang dia mengembangkan sistem pendidikan pesantren, tetapi dia dipengaruhi Montessori dan sistem pendidikan Tagore di Shantiniketan, India. Jadi, ada internasionalisme di situ. Internasionalisme adalah kualitas penting generasi pendiri tersebut.
Tadi saya menyebut banyak sekali, termasuk leksikografi. Itu juga internasional sebetulnya, tetapi dipergunakan untuk membangun kamus bahasa Indonesia. Jassin, misalnya, dia membangun kanon sastra nasional; artinya dia tahu bahwa sastra nasional di sana dibangun oleh suatu pendekatan yang kanonik. Jadi, jika kita kembali pada prinsip-prinsip yang dibangun oleh Angkatan 1945—atau sebagian angkatannya—mencerminkan ini: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Apa artinya? Sumber-sumber kreativitas tidak dibatasi oleh lingkup nasional. Kedua, rasisme sudah tidak ada lagi. “Saya ini kulit cokelat, tapi saya bisa setara, lho, dengan kamu, kulit putih.” Jadi, nasionalisme dalam pengertian yang bagus begitulah. Kesetaraan. Jika saya menulis puisi, membuat seni lukis, sama belaka nilainya dengan yang kamu punya.
Tidak seperti sekarang ini. Sekarang ini, arus balik multikulturalisme yang menganggap di sana itu putih, white mythology. Artinya, dikuasai oleh suatu prinsip kebenaran tertentu, yang mengandung rasisme, meskipun rasisme yang terbalik. Pada generasi Chairil itu, belum muncul isu ini. Jadi, isunya adalah memerdekakan diri, dalam arti mengejar kesetaraan di lapangan kesenian. Siapa mereka ini? Mereka kaum intelektuil; pengarang-pengarang intelektuil, dalam pengertian sebenarnya. Suatu situasi yang kemudian dirumuskan Subagio Sastrowardoyo 25 – 30 tahun kemudian dan mencerminkan situasi ini. Meskipun Subagio menggunakan kategori ini untuk mencandra para penulis Kisah dan Horison, secara tersirat dia mengakui bahwa Angkatan 1945, para eksponennya, bukan sekadar pengarang bakat alam, tetapi pengarang intelektuil.
Apa itu pengarang intelektuil? Mereka adalah pengarang yang berpikir tentang mediumnya, tentang sumber-sumber penciptaannya, dan membuat manifesto atau kredo yang bisa mendukung proses kreativitas mereka. Chairil begitu, Sudjojono begitu, Usmar begitu. Mereka penulis esai yang tajam. Pengarang intelektuil. Mereka ini intelektuil yang karya intelektuil–nya adalah kesenian mereka. Oleh karena itu, bisa dimengerti bahwa pengarang-pengarang intelektuil ini menghasilkan suatu struktur dan bangun kesenian yang kuat. Bukan mereka berfilsafat melalui kesenian mereka, tetapi mereka membuat landasan ontologi yang kuat untuk kesenian mereka.
Masalahnya kemudian soal ideologi; mereka pecah karena perbedaan orientasi. Jika mau dikatakan, humanisme itu artinya bahwa kesenian tidak terbatas sumber dan referensinya, tidak terbatas pula cakupan penyebarannya. Humanisme itu begitu: “Aku, walaupun kulitku berwarna, tidak masalah. Saya bisa membuat karya sehebat kalian.” Kemudian, semua itu menjadi masalah ketika pada saat yang sama mulai muncul ideologi. Muncul soal pertentangan kelas dan kedaerahan. Saya kira begitu orientasi budayanya.
Orientasi Budaya Sang Pembaharu: Pengelana, Penyair Intelektual
Melalui puisi, Chairil Anwar menyampaikan pemberontakan terhadap gaya yang lama. Dengan lantang, dengan berani, tidak tunduk pada petatah-petitih kesopanan. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Orang-orang sezamannya mungkin sulit untuk menyamai kelantangan itu. Chairil Anwar lantas menekankan sikap senimannya ini dengan menyatakan bahwa seorang seniman sejati menyerahkan seluruh daya upayanya, juga intensitas dan energi berkeseniannya dalam karyanya.
MICHELLIA
Perkara aspek politik nanti akan ditanyakan oleh Zen Hae, soal bagaimana orang Lekra menanggapi pandangan Surat Kepercayaan Gelanggang terkait humanisme universal.
Kembali ke soal intelektualisme seorang seniman, kami ingin menanyakan pendapat Anda. Begini, seniman itu ada yang intelektual armchair, berdiam dengan nyaman di ruang kerja, membaca-baca literatur, sementara ada juga seniman yang terjun, dalam artian, intelektualismenya terlibat.
Chairil ini, meski kemudian ada kecenderungan ke Surat Kepercayaan Gelanggang, yang lebih lanjut lagi diteruskan oleh teman-teman Manifes Kebudayaan, sebenarnya Chairil sendiri secara pribadi adalah orang yang terlibat. Orang yang, katakanlah, hidupnya bohemian, tetapi pergaulannya sangat luas, bergaul dengan para seniman, punya kepekaan lintas golongan. Artinya, dia intelektual yang melibatkan diri dalam aktivitas di sekitarnya. Dalam artian itu, apakah kita dapat menyebut Chairil sebagai seniman intelektual yang terlibat?
NIRWAN
Dalam pengertian ini, Chairil dalam esai-esainya, pengakuan teman-temannya, dia memang l’enfant terrible, kalau bukan le poète maudit. Dia bergaul dengan siapa saja, dengan pelacur, orang jalanan, dengan kaum elite juga. Artinya, dia mengejar vitalisme itu.
Apakah itu suatu pilihan? Mungkin ya. Model penyair l’enfant terrible masuk ke dalam kepribadiannya. Marsman, kan, begitu—tipe kepribadian yang begitu. Slauerhoff begitu, meski dia dokter, hidupnya sangat bohemian. Baudelaire; flâneur, pengelana kota, pengelana modernis. Chairil menghayati itu dan sadar atau tidak dia mengambil alih model itu ke dalam dirinya. Vitalisme.
Saya kira juga, dia tidak sendirian. Affandi begitu, Sudjojono juga. Dalam beberapa hal, Cornel Simanjuntak juga. Ada model yang dia benamkan ke dalam dirinya secara sadar atau tidak, dan ada situasi yang memaksa dia begitu. Situasi pergolakan Jakarta di tahun-tahun revolusi itu memang situasi yang membuat seorang aristokrat atau borjuis kehilangan dasar pegangan sosial-ekonominya. Apalagi Chairil, yang memang tidak pernah meniatkan dirinya menjadi pegawai dalam jenis apa pun juga. Dia anak manja, anak tunggal, dari pasangan orang tua yang bercerai. Bagaimana dia hidup? Saya kira dia hidup dari santunan. Masak dia hidup dari honor? Tidak mungkin. Hidup dari honor, mungkin honornya habis juga dalam waktu singkat.
Jadi, Chairil memang beruntung dalam arti kata tertentu. Dia menikahi Hapsah Wiraredja. Sudjojono dan Affandi bekerja untuk menyambung hidup, Chairil tidak pernah menempuh cara hidup begitu. Sudjojono menjadi guru Taman Siswa, Affandi menjadi tukang gambar reklame dan lain-lain.
Jadi, memang, privilese Chairil itu di satu pihak adalah pilihannya—karena manja, saya duga begitu—dan di lain pihak karena situasi Jakarta seperti itu. Dia bergerak di lingkungan ini—ya, borjuasi Jakarta. Teman-temannya orang-orang Taman Siswa seperti Pak Said, terus Pak Kasuma St. Pamuntjak di Balai Pustaka. Jassin—Jassin punya penghasilan. Siapa lagi? Sjahrir . . . . Ya, orang-orang seperti itulah yang menyokong hidup Chairil.
Jadi, dia intelektuil dalam pengertian bahwa karakternya itu intelektuil, tetapi dia punya karakter lain yang tidak dimiliki oleh intelektuil biasa, yaitu karakter le poète maudit atau l’enfant terrible itu, dalam arti kata yang lebih lunak sedikit daripada yang dimaksud dalam bahasa Prancis.
Dia terlibat dalam pengertian itu, terlibat di dalam kehidupan jalanan. Jika perlu, jadi pencuri buku, misalnya. Tetapi perihal mencuri buku itu, juga tidak khas Chairil. Teman-teman saya semasa kami mahasiswa juga mencuri buku, karena tidak punya uang untuk membeli buku. Ya, sesederhana itu saja.
ZEN
Angkatan 45 sebagai sebuah generasi sastra itu sangat beragam komposisinya. Kita tahu ada Chairil Anwar, ada Jassin, Asrul Sani, Rivai Apin, para perupa, Affandi, Sudjojono, Henk Ngantung, Cornel Simandjuntak. Menurut saya, aliran politik mereka lebih dominan yang kiri—dengan adanya seniman-seniman kiri ini.
Tetapi, jika kita melihat konteks Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditulis oleh Asrul, memang seperti diambil alih oleh—bukan kanan—situasi pemikiran yang mengabaikan anggota—katakanlah, kalau boleh disebut anggota—Angkatan 45 yang kekiri-kirian tadi. Mereka itu seperti tidak direken dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Itulah yang memicu organisasi Lembaga Kebudayan Rakyat (Lekra) yang beberapa pendiri dan anggotanya adalah anggota Angkatan 45. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
NIRWAN
Ini lagi-lagi khas situasi mulai dari proklamasi kemerdekaan sampai dengan penyerahan kedaulatan. Di lapangan politik, kita tahu, Sukarno, Tan Malaka, Sjahrir tidak pernah saling bersepakat. Sjahrir menuduh Sukarno sebagai kolaborator, Tan Malaka juga menuduh itu, tetapi Sjahrir dan Tan Malaka juga tidak bertemu. Tan Malaka lebih keras perjuangan kelasnya, Sjahrir tidak. Sjahrir kurang lebih sosialisme demokrat.
ZEN
Kiri salon . . . .
MICHELLIA
Tetapi, Tan Malaka sendiri juga dibilang revisionis . . . .
NIRWAN
Ya, ini konteks nasional. Jika dilihat dari gerakan internasionalisme dia memang revisionis.
Begitu juga dalam sastra. Kita bisa melihat perbedaan ideologi keras itu juga terjadi, meskipun itu tidak terlalu kelihatan pada tahun-tahun itu. Angkatan 45 memang suatu keranjang besar yang isinya sejak awal adalah orang-orang yang, kalau dilihat jeroan ideologinya, berbeda sejak awal. Tidak terlalu kelihatan pada mulanya, tetapi berbeda.
Kita bisa membayangkan bahwa Pramoedya sejak awal sudah begitu, sudah menjadi seorang proto-Marxis. Sementara, Idrus lebih cynical dalam arti dia melihat pergolakan sosial dengan kacamata Neue Sachlichkeit (Kelugasan Baru). Jadi, dia melihat ironi revolusi. Sementara, Pramoedya melihat revolusi punya tujuan—memerdekakan orang bukan hanya dari penjajahan, tetapi juga dari perbedaan kelas.
Sebenarnya, jika dilihat belakangan, memang Surat Kepercayaan Gelanggang mewadahi apa yang saya sebut tadi. Universality, atau humanisme tadi, adalah bahwapara pendukungnya berpikir liberal, liberal thinking, atau libertarian. Orang itu menjadi sesuatu karena ada individu. Dalam hal ini, mereka mirip dengan Takdir. Hanya individu yang bisa mengatasi masalah. Penjajahan itu ada, karena tidak ada individu yang merdeka; karena di sana lebih rasional, mereka lebih mampu menggunakan alat-alat rasional, sehingga kekuatan ekonominya menjadi kapital, menjadi sesuatu yang menjajah orang yang tidak punya gagasan itu; artinya menjajah orang yang terbelakang. Jawaban orang liberal adalah, “Ya sudah, kita harus bangkit sebagai individu. Melawan rasisme yang dikandung oleh diri sendiri maupun orang lain.”
Kemudian, kaum yang berpendapat bahwa ideologi itu perjuangan kelas. Jika berpangkal pada individu, maka kontradiksi kelas tidak akan muncul. Yang muncul adalah individu. Individu adalah topeng untuk kelas. Benih-benihnya sudah ada, dan sebenarnya jika kita melihat seniman pada umumnya, banyak yang condong ke kiri. Kaum seniman yang pergi ke Yogyakarta dan Madiun, mereka itu kiri. Mereka melihat kolonialisme sebagai penjajahan kelas, penjajahan modal dan kuasa terhadap kelas tidak berpunya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau orang-orang itu—meski prinsipnya modernis (jiwa ketok itu prinsip modernisme artistik)—di kiri semua. Hampir semua pelukis di kiri. Sementara, sastrawan terbagi dua.
Ada soal lain, apakah revolusi kemerdekaan adalah perjuangan bersenjata atau bukan? Itu juga soal lain, yang masuk ke sini. Orang yang memusuhi atau mengkritik Surat Kepercayaan Gelanggang menyatakan bahwa kaum Gelanggang ini tidak berpihak, maka kontradiksi jadi tidak ada. Sebenarnya, itu pandangan yang sudah didasarkan pada perbedaan kelas. Kemudian, pandangan yang menyertai itu adalah bahwa diplomasi merebut kekuatan permanen dari rakyat yang melawan dengan senjata. Sebenarnya, yang terjadi itu kurang-lebih begini. Ini ada Belanda dan tentara Sekutu (Allied Forces). Ini Goliath, besar sekali kekuatan ini. Mau datang lagi ke Indonesia. Mereka tidak tahu kondisi sebenarnya. Yang mau mereka perangi sebenarnya fasisme Jepang. Mereka ini kekuatan besar, tidak mungkin ada perjuangan bersenjata, kecuali sebagai suatu jawaban, “Kami tidak mungkin ditaklukkan.” Simbolisme itu, perjuangan bersenjata itu. Tidak seimbang pertempurannya. Tidak pernah seimbang, oleh karena itu kenapa Sukarno enggak mau melawan dan memilih ditawan, ya karena kekuatan yang tidak seimbang itu.
Orang-orang seperti Sukarno dan Hatta tidak percaya bahwa perjuangan bersenjata bisa menang. Orang-orang yang menempuh gerakan bersenjata itu gerakan simbolik. Jenderal Soedirman dan Oerip Soemohardjo menganjurkan Sukarno untuk ikut lari ke hutan, tetapi Sukarno tidak mau.
Dan gerakan itu pindah ke Yogyakarta juga gerakan simbolik. Kenapa pindah ke Yogyakarta? Karena Yogyakarta adalah daerah yang tidak dijajah, daerah yang tidak pernah dikuasai Belanda. Kesultanan Yogyakarta bukan daerah kekuasaan Belanda, dan Sultan Yogya punya sumber daya. Dana perjuangan itu dari Sultan Yogya. Kita tidak tahu bagaimana nasib Republik jika tidak ada Sultan Yogya. Oleh karena itu, diplomasi itu sebenarnya tidak bertentangan dengan perjuangan bersenjata, karena pertempuran di lapangan tidak seimbang, sehingga diplomasi adalah upaya untuk mengimbangi ketidakseimbangan perang di lapangan. Hasilnya delegasi kita bisa berbicara di PBB. Tetapi, prestasi kayak begini sering diremehkan. Argumennya, “Lho, jika begitu, kemerdekaan itu adalah pemberian, karena kalian berdiplomasi, bukan merebut.” Itu soal legitimasi.
Sebenarnya, jika mau diperpanjang, mesti ada revolusi yang agak permanen, sampai dengan perbedaan kelas selesai. Tetapi, kemudian, ternyata tidak bisa. Kaum kiri akhirnya masuk parlemen. Parlemen itu diplomasi. Sebab jika mereka menganut garis Leninis atau Maois, tidak mungkin masuk parlemen. PKI, setelah Pemberontakan Madiun, masuk parlemen—menjadi partai terbesar keempat dalam Pemilu 1955—dan Aidit umurnya baru 30-an tahun.
PKI dan Lekra menggunakan ide yang mirip ide Takdir Alisjahbana: modernisasi sosial dan menggunakan kesenian sebagai alat modernisasi sosial. Cuma, sekarang ada muatannya, muatan ideologi kiri.
Apakah mereka menganut modernisme artistik? Iya, terbatas. Itu pengaruh Chairil dan jiwa ketok, tetapi mereka tidak mengalami—PKI dan orang-orang kiri itu pada 1960-an jadi terbatas lagi jalur informasinya, mereka tidak kenal bahwa di Eropa atau di Amerika Selatan, orang-orang kiri mengerjakan surrealisme. Penyair Spanyol, Angkatan 27, banyak yang kiri. Rafael Alberti itu kiri dan mereka tidak menulis realisme sosialis. Pablo Neruda kadang-kadang sangat politis, tetapi tidak mengerjakan realisme sosialis.
Mereka belum tahu, tidak punya wawasan itu, dan mungkin mereka tahu atau tidak. Mereka mengenal penyair Soviet, misalnya Mayakovsky, tetapi Mayakovsky memang sangat pro-Lenin waktu itu meski pada akhirnya kecewa. Tetapi, yang lain, mereka abai. Boris Pasternak, dikenal, tetapi Pasternak, kan, dianggap reaksioner. Alexander Blok? Mungkin mereka tidak tahu.
Jadi, mungkin orang-orang yang menyadari modernisme artistik dengan baik di kalangan Lekra itu, di sastra, ya, cuma Njoto. Salah satu acuannya: tinggi mutu ideologi, tinggu mutu artistik. Pedoman 1-5-1. Tetapi, itu dijalankan dengan sangat terbatas. Maka, sastra kaum Lekra itu didaktis, karena dibatasi oleh kata-kata, oleh slogan; sedangkan seni rupanya lebih merdeka dalam berekspresi. Mau bikin apa sih, kalau dengan seni rupa itu? Paling-paling seperti karya-karya Hariadi, Sudjojono, Affandi, Diego Rivera. Tetap tidak bisa mengatakan sesuatu dengan eksplisit karena rupa tidak pernah bisa sangat didaktis seperti slogan dan jargon.
“Ayah Spiritual” Para Penyair yang Berpisah Jalan
Generasi yang mengisi Angkatan 45 adalah para sastrawan yang memperluas bacaan dan mengambil pengaruh dari berbagai karya sastra dunia. Selain menjadi bagian dari sebuah angkatan yang baru, Chairil Anwar sendiri tidak membatasi ruang-ruang pergaulannya, ia juga berkongsi dengan sejumlah budayawan dan intelektual yang pro-Belanda untuk menerbitkan majalah Gema Suasana.
Dalam generasi itu kita tahu, ada Rivai Apin yang lantas menjadi pentolan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Jenis puisi orang-orang Lekra selanjutnya pun dapat dikatakan bersumber dari Rivai Apin yang dekat dengan Chairil Anwar. Sementara, kita tahu, bahwa Chairil Anwar adalah salah seorang dari “tiga menguak takdir” yang merumuskan Surat Kepercayaan Gelanggang dan di kemudian waktu memberi pengaruh signifikan pada hadirnya Manifes Kebudayaan.
ZEN
Jika boleh disebut, Angkatan 45 ini adalah induk dari para seniman yang pada 1950-an berpisah jalan, kiri atau kanan, berpartai dan tidak berpartai. Wafatnya Chairil pada tahun 1949 itu mengosongkan suatu imajinasi tentang model besar yang tiba-tiba tidak ada. Makanya, muncul sinyalemen krisis sastra pada 1950. Tidak ada karya besar dan lain sebagainya, karena Chairil juga tidak hadir sebagai model. Reaksi pengarang-pengarang era 1950 kemudian membuat semacam gerakan balik, bukan lagi ke dunia luas, tetapi ya kampung halaman yang digarap. Apakah ada problem lain? Misalnya, soal wawasan kesusastraan, soal buku, soal bakat? Bagaimana kita melihat pengaruh Chairil pada generasi Ajip Rosidi dan kawan-kawan?
NIRWAN
Bahwa Chairil menjadi Ur-poet atau penyair induk, bukan dia yang sengaja membuat dirinya begitu. Saya kira model yang dia tinggalkan itu tidak tergantikan dalam konteks sastra Indonesia pada waktu itu. Puisi bebas, puisi kuatrin yang modernis, itu pengaruh Chairil yang tidak tergantikan. Sebenarnya orang menyadari situasi yang tidak baik itu—Asrul Sani, misalnya, pada 1948, menyebut “puisi gigantis” itu. Saat dia mengatakan, “deadlock puisi emosi-semata”, dia bicara tentang krisis sebenarnya. Karena dia mengatakan terlalu banyak binatang jalang, terlalu banyak bunga kata, tetapi tidak ada Weltanschauung.
Artinya apa? Semua orang hanyut pada pengaruh Chairil, menjadi binatang jalang, baik di dalam ekspresi, maupun dalam isinya, dalam bentuknya juga. Artinya, dia menganggap itu keremajaan, ketidakmatangan. Tetapi dia tidak mengatakan siapa yang mengerjakan itu. Apakah Chairil termasuk menulis puisi emosi-semata atau tidak? Dan puisi gigantis itu apa? Saya membayangkan, karena Asrul itu tidak terlalu lancar juga esainya—maksud puisi gigantis itu mungkin puisi epik, tetapi yang baru. Atau mungkin modelnya itu seperti—ah, dia tidak sebut sih—mungkin seperti Faust, karya-karya Shakespeare, mungkin ya. Kita tidak tahu, karena dia bahkan tidak menyebut contohnya, dia tidak menyebut siapa yang dimaksud menulis puisi emosi-semata? Apakah Chairil termasuk? Dirinya termasuk atau tidak?
Memang, jika kita membaca puisi-puisi tahun itu, ya; dari Rukiah, Walujati, Akbar Djuhana, Rivai Apin, Asrul Sani, Sakti Alamsjah, Piet Sengodjo, Boejoeng Saleh, itu seperti puisi Chairil semua. Itu menjengkelkan sebenarnya, sehingga orang seperti Asrul—yang sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan situasi itu, tergerak mengecam. Tetapi dia, dengan puisi-puisinya, sebenarnya jika kita mau digolongkan, termasuk penyair puisi emosi-semata juga. Dia mengkritik kecenderungan generasinya sendiri. Pilihan lainnya di luar jalur Chairil belum ada waktu itu.
Bahkan, penyair-penyair yang datang kemudian, Ajip Rosidi dan generasinya, termasuk yang kemudian bergabung dengan Lekra, yang terutama Hr. Bandaharo, yang puisinya sangat politis, itu sangat terpengaruh Chairil juga. Jadi, mereka belum mampu melihat kemungkinan lain. Khususnya, mereka terpengaruh puisi bebasnya. Jadi, menurut saya, pada waktu Chairil pergi, kelihatan bahwa kita tidak lagi punya pengarang intelektuil—pengarang yang sanggup mengatasi keterbatasan sumber ciptaan.
Asrul tahu itu, tetapi dia tidak bertemperamen penyair. Dia lebih berhasil dalam cerpennya. Kelihatan sekali cerpennya dapat pengaruh Kafka, misalnya, atau Camus. Bisa juga dalam pengertian tertentu, jika dia membangun dialog, terasa seperti pengaruh Hemingway. Yang lain bagaimana? Yang lain tidak punya wawasan internasional yang cukup.
Kenapa tidak punya wawasan internasional yang cukup? Yang pertama, tentu saja karena bakat alam. Mereka tidak sanggup melampaui bakat alam mereka sendiri. Penyair-penyair yang kemudian menganjurkan kembali kebudayaan daerah, itu sama, mereka terpengaruh Chairil juga. Puisi Ramadhan K.H. “Priangan Si Jelita”, Rendra, Kirdjomuljo, Ajip Rosidi, terpengaruh Chairil. Biarpun mereka bicara tentang alam atau hal-hal sentimentil, frasa-frasanya itu sangat Chairil. Itu mengapa saya katakan bahwa tidak ada orang yang bisa jauh dari pengaruh puisinya Chairil, terutama puisi bebasnya.
Pada waktu itu, kuatren belum diperhatikan orang, kecuali Sitor. Penyair yang bagus pada 1950-an itu Sitor, orang yang punya kesempatan untuk menggali kembali kekuatan kuatrin. Orang mengatakan itu kembali ke akar, ke bentuk pantun, tetapi, ya, lagi-lagi, Sitor punya wawasan internasional. Dia mulai mengenal puisi Prancis.
ZEN
Meskipun puisi-puisinya seperti catatan harian . . . .
NIRWAN
Sitor sebenarnya juga agak aneh. Dia mengenal puisi Prancis yang Simbolisme, bukan Surrealisme. Jadi, menurut saya, dia mengenal nama-nama penyair Prancis abad ke-20, tetapi tidak menyambung. Dia lebih bersambungan dengan Simbolisme, angkatan sebelumnya, angkatan sebelum Paul Valéry. Sementara penyair lain tidak punya kesempatan untuk membangun wawasan internasional sendiri.
Hubungannya adalah dengan situasi republik, sebenarnya. Republik Indonesia pada waktu itu cukup kacau balau, sangat mengecewakan, karena kemerdekaan politik belum membawa ke mana-mana, lalu ada nostalgia—menurut saya—secara kultural, ada nostalgia untuk membayangkan Timur yang damai, yang tidak berkonflik, Timur yang luhur budayanya, kemudian juga ada problem pascakolonial, dalam pengertian bahwa kita ini merdeka, tetapi kok tidak menjadi maju seperti mereka? Lalu—mungkin membangun semacam teori sendiri—jangan-jangan karena kita terlalu mau meniru mereka? Seperti itu, kan. Jadi, lalu, kembali ke orientalisme untuk diri sendiri. Maka, kembalilah menengok ke daerah.
Sampai dengan 1960-an, tidak ada pengarang intelektuil. Mungkin kecuali satu orang, Subagio Sastrowardoyo. Jangan lupa, Subagio lahir pada 1924, lebih tua daripada Asrul Sani dan Rivai Apin, lebih muda dua tahun dari Chairil. Tetapi, Subagio pada tahun-tahun 1940-an tidak sempat, belum menulis puisi, baru mencoba-coba main keroncong, kemudian melukis. Kemudian, dia tidak puas dengan dua jenis kesenian itu. Lalu, terbuka wawasannya. Dia belajar di Sastra Inggris di Gadjah Mada. Dia lalu terbuka, membuka kemungkinan, melihat pengaruh Chairil, jika saya tidak keliru dia mengatakan itu di bagian akhir buku puisi Simphoni, pengaruh Chairil yang melanda penyair-penyair puber, oleh karena itu dia mengajukan suatu tesis, bahwa puisi yang bagus itu adalah puisi yang filsafat. Kenapa? Filsafat adalah lawan dari sentimentalitet.
Sentimentalitet itu apa? Itulah yang kurang-lebih disebut Asrul sebagai “puisi emosi-semata”. Lalu, Subagio membangun puisi yang menurut dia berdasarkan filsafat. Tetapi, filsafatnya Subagio itu, ya, sama seperti Chairil, melankoli filsafat, bukan filsafat. Bahwa dia matang sebagai pribadi di luar puisinya, itu iya, karena umurnya sudah cukup. Tetapi, dia tetap membangun melankoli filsafat. Apakah ada filsafat dalam puisinya Subagio? Ya, ada. Tetapi itu statusnya seperti dalam puisi Chairil. “Hidup hanya menunda kekalahan”, atau “nasib adalah kesunyian masing-masing”, kurang-lebih begitu.
Subagio juga bicara tentang rasisme, misalnya, di dalam “Afrika Selatan”, dia bicara tentang Tuhan, tentang Adam di Firdaus, yang dengan sudut pandang minor, seperti Chairil sebenarnya. Jadi, sebenarnya, tidak mungkin ada puisi bebas Subagio jika tidak ada puisi bebas Chairil. Jadi, dia tidak sadar sebenarnya. Dia hanya mengecam pengaruh Chairil, tetapi bentuk puisi Chairil sangat merasuk ke dalam puisinya sendiri.
Dia mau menampik pengaruh Chairil, tetapi apa boleh buat, dalam bahasa Indonesia, model yang tersedia baru Chairil. Apakah Subagio internasional? Iya. Mungkin dia membaca filsafat, membaca Nietzsche, Berdyaev, segala macam, tetapi wawasan sastranya tidak terlalu internasional. Minimal, sama dengan Chairil. Karena lanskap puisi dunia itu kurang dikenal lagi. Sastra Spanyol kita belum tahu, sastra Eropa Timur apalagi. Jika kita berbicara tentang puisi filsafat, kan, kita berbicara puisi Eropa Timur, Czesław Miłosz, Zbigniew Herbert, dan Wisława Szymborska—sangat kuat kecenderungan filsafat pada puisi Eropa Timur, menjadi anti-filsafat, bukan lagi melankoli filsafat. Jadi, Subagio yakin bahwa filsafat adalah alat untuk melawan sentimentalitet. Mungkin satu-satunya penyair intelektuil yang tumbuh pada 1950-an itu Subagio.
Angkatan penyair bakat alam ini berlangsung terus, sampai dengan akhir 1966. Tetapi, bibit-bibit penyair intelektuil sudah ada: Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Baru muncul bentuknya lebih jelas pada setelah 1966. Sapardi dengan kumpulan puisi Duka-Mu Abadi dan Goenawan dengan puisi-puisinya di Horison. Sebenarnya, lebih awal lagi, di majalah Sastra. Puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” kan muncul di Sastra, jika tidak salah. Kemudian, kumpulan puisinya yang pertama, Pariksit.
Jadi, Subagio, Sapardi, Goenawan ini penyair-penyair intelektuil generasi kedua setelah Chairil, dan bukan kebetulan bahwa avant-gardisme kedua itu mulai dengan mereka. Avant-gardisme yang pertama, ya Chairil.
ZEN
Sebetulnya Goenawan dan Sapardi ini sudah muncul sejak akhir 1950-an. Kenapa avant-gardisme dalam puisi mereka baru menonjol setelah 1966? Apakah karena konteks sosial politik yang kacau balau itu atau ada hal lain?
NIRWAN
Kalau Sapardi itu, pelan-pelan, ya. Sapardi tidak pernah mengakui bahwa dia dipengaruhi Chairil Anwar. Dia secara lisan maupun tulisan mengakui menulis puisi karena pengaruh puisi Rendra. Tetapi jika kena Rendra itu sama dengan satu-dua langkah ke Chairil. Kemudian, barulah dia mengakui belakangan bahwa kematangan Chairil tampak pada sajak-sajaknya yang kuatren.
Sapardi jelas, bahwa sebagian besar sajaknya itu kuatren sejak awal. Jadi, mungkin dia menyadari bahwa menulis kuatren itu adalah cara terbaik untuk mencapai kedewasaan berpuisi. Tetapi itu tidak jelas bentuknya—sampai dengan kita membaca puisi awal Sapardi, misalnya yang dimuat Angkatan 66 susunan Jassin, di situ belum kelihatan aspek avant-gardisme. Di satu pihak, dia masih terikat pada langgam lama, langgam klasik. Dia juga terpancing untuk menulis puisi-puisi komentar sosial, tetapi lebih lunak sedikit. Sapardi sejak awal itu penyair liris, sebenarnya. Dia tidak pernah menulis puisi balada. Oh ya, ada, sih, yang seperti balada “Balada Orang Gila”, misalnya. Atau, “Pergi dari Solo ke Barat”, itu ada aspek-aspek naratifnya. Tetapi momen Sapardi menjadi penyair liris avant-gardis itu pada 1967; ini bisa kita baca pada Duka-Mu Abadi. Puisi “Prologue” itu sangat avant-garde menurut saya.
Lagi-lagi, bentuk-bentuk yang dikerjakan Sapardi dalam buku Duka-Mu Abadi, itu bentuk kuatren yang sudah dikerjakan Chairil melalui “Senja di Pelabuhan Kecil” atau “Cemara Menderai Sampai Jauh”. Atau, yang setengah kuatren itu, “Yang Terampas dan Yang Putus.” Baris pertamanya, “Kelam dan angin lalu mempesiang diriku” Itu sangat kuat pengaruhnya pada Sapardi dan Goenawan.
Jelas, Sapardi avant-garde di situ. Avant-garde dalam pengertian bahwa dia membangkitkan lagi ciri-ciri modernis dalam puisi Indonesia, yang tidak terdapat dalam puisi-puisi pada 1960-an, dan kemudian dia berkembang terus. Meskipun Sapardi mengambil sisi harmoni dari Chairil, dia berkembang terus, kuatren-kuatrennya tetap berkembang dalam buku Mata Pisau, dan di samping itu dia mengembangkan lagi jenis puisi yang lain. Itu pengaruh puisi dunia, saya kira, puisi prosa, “Catatan Masa Kecil 1-3”, kemudian beberapa sajak dalam Akuarium.
Sehabis itu, Sapardi menjadi “ingin mencintaimu dengan sederhana”, yang seperti begitu, normalisasi. Sementara Goenawan sudah kelihatan watak avant-gardisnya dalam puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi.” Dari segi bentuk, itu puisi yang sangat dipengaruhi “Senja di Pelabuhan Kecil” Chairil. “Kedengaran” itu sudah pasti frasa yang sangat Chairil; kombinasi ke-an, bukan “terdengar”. “Langit terlepas”, itu sama seperti “kapal pelaut tiada berlaut” dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Jadi, itu, avant-gardisme dalam puisi selalu dikerjakan oleh penyair-penyair intelektuil.
Menghayati Puisi Chairil Anwar Hari Ini
Hari lahir maupun hari kematian Chairil Anwar diperingati dengan adanya Hari Puisi Indonesia dan Hari Puisi Nasional. Sementara sejumlah orang lainnya masih menggugat aspek kreativitas sang penyair: apakah ia plagiator, apakah ia imitator, apakah ia lantas perlu dirayakan sedemikian rupa?
MICHELLIA
Mari kita masuk ke konteks hari ini. Kita sudah membahas bagaimana pengaruh Chairil ke para penyair hari ini, terkait penulisan kreatif. Kita tahu bahwa hari jadi Chairil diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia, sebagai hari peringatan nasional.
Sementara di awal Anda sudah menjelaskan bagaimana oleh banyak anak muda hari ini kasus Chairil masih dilihat dan dipertanyakan, apakah dia plagiat, apakah dia imitator—masih ada latar belakang seperti itu, kan, dari seseorang yang menyadur atau menerjemahkan karya orang lain, lalu diakui sebagai karya sendiri, diterbitkan, walaupun kemudian ada pembelaan bahwa dia melakukan itu karena dia sakit dan lain sebagainya; ada pembelaan dari H.B. Jassin yang membersihkan namanya. Terkait ini, apakah menurut Anda Hari Puisi Indonesia ini patut disematkan untuk memperingati hari jadinya?
NIRWAN
Sebentar, saya mau klarifikasi dulu. Hari kematiannya Chairil itu Hari Puisi Nasional, 28 April. Hari lahirnya, Hari Puisi Indonesia, 26 Juli. Begitu, kan?
Lalu, apakah kita mau membatalkan Chairil sebagai Ur-poet, atau membatalkan peringatan hari lahirnya karena dia melakukan plagiarisme? Menurut saya, itu “moralisme”. Keburukan Chairil sebagai manusia yang lain masih banyak. Utang tidak dibayar, dia mungkin menggoda bini orang, menyia-nyiakan istrinya. Apakah itu membatalkan sumbangannya kepada sastra Indonesia? Tentu saja tidak.
MICHELLIA
Pertanyaan ini dalam konteks proses kreatif, terkait dia yang mengakui karya tersebut sebagai karya sendiri.
NIRWAN
Chairil itu penting karena puisi-puisi aslinya. Asli itu tentu harus diberi catatan kaki; ada yang terpengaruh, ada juga yang di perbatasan saduran. Sebenarnya, jika puisi yang sangat terpengaruh itu adaptasi, jika diberi catatan kaki sebenarnya tidak masalah. Misalnya “Karawang Bekasi”, itu sudah bisa dianggap puisi asli. Seperti saya menyebut dalam Dua Marga, tentang sumber-sumber puisi saya.
Menurut saya, kita sebaiknya meletakkan Chairil pada sumbangannya membangun model puisi modern Indonesia. Itu satu kotak tersendiri, tidak ada yang disembunyikan. Bahwa dia melakukan plagiarisme, ya, sudah ketahuan, sudah terbukti. Apa ini membatalkan kepeloporannya dalam perpuisian kita? Menurut saya, tidak. Seperti halnya sikap Chairil terhadap keluarganya yang tidak bertanggung jawab itu, segala macam kelemahan dia dalam kehidupan, itu tidak membatalkan nilai puisi dia.
MICHELLIA
Sekali lagi, pertanyaan ini dibatasi pada konteks terkait penulisan kreatif.
NIRWAN
Saya teruskan. Penting bahwa Chairil mencoba menegakkan pemikiran tentang puisi. Tetapi tentu bukan hanya itu. Pemikiran dia, intelektualisme dia, sudah satu menyatu belaka dengan puisinya. Modernisme artistik di mana-mana ada kredonya, maka penyair intelektuil adalah penyair yang juga berbicara tentang puisi. Chairil sangat berharga di situ. Sampai 1960-an, dia adalah the model. Sekarang, dia adalah a model. Itu saja. Kenapa? Karena orang-orang seperti Sapardi dan Goenawan itu menggunakan puisi Chairil sebagai model, tetapi bukan satu-satunya model. Saya kira Sapardi juga memungut Eliot, Seferis, puisi Amerika Serikat, puisi Cina klasik, misalnya. Puisinya “Cahaya Bulan Tengah Malam Hari” itu, kan, adaptasi; atau puisi “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”. Adaptasi dari puisi Cina klasik, dari Li Po kalau tidak salah.
Lagi-lagi, siapa yang bisa meloloskan diri—dalam pengertian tertentu—tidak menjadikan Chairil sebagai satu-satunya model, itulah tipe penyair intelektual. Itulah orang-orang yang sanggup untuk melampaui model yang terbatas di dalam khazanah sastra Indonesia. Goenawan bisa saja mengambil ilham dari Pasternak, dari puitika Jawa, atau mungkin ilhamnya sebenarnya lebih banyak dari luar khazanah puisi, filsafat terutama, pascamodernisme sangat cocok dengan melankoli filsafatnya. Sikapnya terhadap ambiguitas, bahwa puisi itu melawan komunikasi, itu sangat pascamodernis. Atau, kalau tidak begitu, sangat simbolis, dalam pengertian simbolisme Prancis, bahwa puisi tidak bisa dikendalikan oleh penyairnya, namun menjadi suatu tenaga tersendiri, organisme tersendiri.
Mengolah Kecemasan Pengaruh Penyair Terdahulu
Apakah puisi Chairil Anwar perlu dilampaui? Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad—masing-masing telah bereaksi terhadap warisan Chairil. Lalu, bagaimana pendapat Nirwan Dewanto mengenai hubungan antara puisi Chairil dengan puisinya sendiri?
ZEN
Kita sudah bicara hampir tiga jam dalam kapasitas Anda sebagai pengamat atau kritikus. Sekarang, kami ingin mendengar pendapat Anda dalam posisi sebagai penyair yang sudah menghasilkan paling tidak Jantung Lebah Ratu, Buli-Buli Lima Kaki, dan Dua Marga. Menurut amatan kami, paling tidak Anda menggunakan lagi kuatren, pola-pola pantun, atau puisi prosa dalam khazanah yang lain lagi. Kalau mau disangkut-sangkutkan, pasti acuannya jauh ke belakang, tentu kita sudah tahu tadi itu. Bagaimana Anda memandang Chairil Anwar sebagai a model?
NIRWAN
Agak biografis sedikit, ya. Malu juga saya berkisah tentang riwayat diri sendiri. Begini, saya sampai pada rangkaian kesimpulan seperti ini tentu ada prosesnya. Tentu saja, karena puisi Chairil yang saya kenal pertama kali adalah “Aku”, karena ayah saya meninggalkan warisan buku-buku sastra dan majalah-majalah sastra, antara lain Tifa Penyair dan Daerahnya. Ada puisi “Aku” di situ. Tetapi saya tidak tertarik. Saya tidak pernah tertarik dengan puisi “Aku” karena pada waktu itu saya tahu bahwa puisi ini sudah dikenal orang lain, sudah dibaca dan dibacakan di mana-mana, maka buat saya jadi klise, saya tidak tertarik lagi.
Kemudian, saya mengenal puisi-puisi Rendra melalui, kalau saya tidak keliru, majalah Zenith, “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, misalnya. Itu juga saya tidak tertarik karena terlalu naratif. Itu terjadi waktu saya SMP.
Karena saya tidak tertarik pada “Aku” dan tidak tertarik pada puisi Rendra, lalu sepertinya saya tidak tertarik pada puisi, padahal temperamen saya itu temperamen puitik dalam pengertian bahwa prosa tidak pernah memuaskan saya karena terlalu mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang kemudian menarik perhatian saya karena buat saya puisi itu sangat berbeda dari bahasa sehari-hari dan mengatakan sesuatu yang tidak terkatakan oleh bahasa sehari-hari adalah puisi “Prologue” karya Sapardi Djoko Damono dan puisi “Monolith” karya Subagio Sastrowardoyo, bagian dari pengumuman sebuah lomba pembacaan puisi, yang terpasang di majalah dinding sekolah saya.
Kenapa dua puisi itu menarik? Karena, lho, ternyata -Mu bisa berduka? Ternyata Tuhan itu posisinya tidak sangat istimewa, karena Dia ditempatkan dalam posisi yang berduka. Atau paling tidak, duka saya, duka kita, dialihkan ke Dia, dan kita berbagi. Kemudian, puisi Subagio menarik karena dia juga bicara tentang Tuhan. “God”, ini kok ada bahasa Inggris? Tentu saja ini puisi bebas.
Kemudian, setelah saya membaca majalah Horison dan segala macam, baru saya menemukan Chairil lagi, misalnya “Senja di Pelabuhan Kecil”. Puisi itu saya temukan, dan saya menyadari puisi itu puisi yang bagus dan istimewa, dan memancing saya untuk ikut-ikutan menulis puisi, karena menurut saya, ini kuatren, tetapi kok tidak lazim? Lalu, saya teringat pada “Prologue”. Maka saya berpikir, lho, ini, kan, ada hubungannya? Lalu, saya mulai membangun kesimpulan bahwa puisi adalah suatu rangkaian teks. Artinya apa? Jika saya menengok kembali ke belakang, maka setelah saya membaca Goenawan, Linus Suryadi AG, dan penyair-penyair yang menulis kuatren, akhirnya saya bisa menghubungkan Chairil dengan perkembangan berikutnya.
Dalam arti ini, maka saya berlaku seperti Borges. Setiap penulis menciptakan pendahulunya sendiri. Ini anakronistik, kan? Bukan pendahulu yang menciptakan kita; kitalah yang menciptakan pendahulu kita. Saya berada dalam situasi itu. Sekarang juga sama. Ketika saya melihat Chairil, sebenarnya saya sedang menghubungkan beberapa simpul dalam puisi modern sebagai suatu kontinuitas.
Avant-gardisme itu apa? Avant-gardisme adalah suatu lompatan paradigmatik, spikes, lonjakan, tetapi garis utamanya sebenarnya tetap sambung-menyambung. Garis ini tidak sepenuhnya linear, jika dilihat secara tiga dimensional; sebenarnya tahun-tahun 1970-an atau sebenarnya waktu itu sudah cukup banyak sumber-sumber yang membuat kita membaca yang lain. Terjemahanlah, ya, karena ketika itu kita belum mahir berbahasa asing. Ada Puisi Dunia I dan II karya Taslim Ali, ada Puisi Prancis dalam Dua Bahasa karya Wing Kardjo, kemudian ada Puisi Brazilia Modern, Puisi Cina Klasik yang diterjemahkan Sapardi. Ada pula antologi Puisi Negro terjemahan Dodong Djiwapradja. Artinya, semua itu, apa yang disebut puisi di hadapan saya, bekerja simultan.
Artinya, saya lebih beruntung. Dan pada waktu itu saya juga tidak serius, cuma main-main saja. Menulis puisi karena saya terbawa oleh lingkungan teman-teman saya menulis puisi. Tetapi kurang-lebih saya beruntung, karena menulis puisi itu tidak seperti yang mereka buat: terharu, melihat sesuatu, terus menulis. Saya tidak begitu, karena sudah ada bagasi. Saya tidak ada keinginan untuk menjadi penyair serba haru seperti kawan-kawan saya itu. Nyatanya, saya berhenti menulis puisi, sampai dengan saya kuliah lagi di Bandung. Meskipun ada juga puisi saya, jika saya boleh ingat, yang masih bisa diselamatkan itu, yaitu puisi yang saya buat sewaktu saya kelas 1 SMA, saya temukan lagi, terus saya kirimkan belakangan ke Horison, dimuat, “Daun Gugur” (1977). Itu seperti puisi liris Indonesia saja yang saya sebut tadi, kuatren-kuatren itu.
ZEN
Tapi itu dimuat pada 1984, ya?
NIRWAN
Iya, betul. Karena baru belakangan saya kirim ke sana.
Kemudian di Bandung, saya bergaul dengan penyair yang menurut saya temperamennya itu romantik, bukan intelektuil. Saya belajar sendiri saja, kebetulan di kampus saya ada perpustakaan yang bagus. Saya tidak tahu apakah puisi saya berbeda atau tidak, tetapi yang pasti saya tidak ingin menulis puisi seperti yang mereka kerjakan. Barangkali di situ ada pengaruh surrealisme, ya, secara tidak langsung. Meskipun, surrealisme itu tidak datang merembes ke dalam diri saya melalui puisi. Lingkungan takhayul, lingkungan folkloris kita, kan, sangat surreal sebenarnya. Ornamen, takhayul dan segala dongeng, khazanah hantu-hantu, cerita perwayangan, dan seterusnya, semua itu surrealisme buat saya. Juga surrealisme dari seni lukis.
Surrealisme Prancis itu, saya tidak terlalu menyadari, sampai saya membaca terjemahan Wing Kardjo. Tetapi saya kemudian mendapatkan bahan-bahan bacaan baru di Perpustakaan ITB; saya mulai mengenal jenis puisi yang lain, jenis puisi yang bukan sekadar apa yang sudah saya kenal. Ada jenis puisi lain yang saya jangkau, puisi dari sana, dari sini, dari situ, bahasa Inggris, melalui terjemahan bahasa Inggris, kemudian ada puisi-puisi Polandia, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, segala macam. Itu semua membuat metabolisme saya berubah sedikit. Tetapi, saya tetap anak puisi Indonesia.
Saya hidup dengan anxiety of influence juga. Saya sering mengatakan bahwa influence itu influenza. Kita semua terjangkiti virus influenza, kemudian kita menyembuhkan diri. Tetapi, dalam upaya penyembuhan itu, metabolisme kita sudah berubah. Di dalam penyembuhan itu, ada wawasan baru.
Misalnya, begini, prinsip-prinsip seperti escape from personality, death of the author, kita diam-diam mengerjakan itu tanpa menyadarinya. Sebab apa? Ini lagi-lagi pengaruh seni rupa. Jika kita melihat seni lukis, kita tidak tahu apa dan siapa si pelukis sebetulnya, karena di situ tidak ada aku yang bicara, apalagi jika lukisan itu tidak ada figurnya; jadilah itu objektif, kuasi-objektif, objektif dalam pengertian tertentu. Meskipun beberapa orang mengatakan itu liris, tetapi itu tetap objektif, karena tidak ada yang bicara. Yang ada cuma sapuan kuas, garis, bidan, barik, segala macam. Yang bicara siapa? Tidak ada kata-kata. Jadi, lukisan itu benda, presentasi, bukan representasi.
Kemudian, juga, sifat objektif dari lukisan lebih kelihatan, karena puisi itu centang-perenang pun bisa. Tetapi, dalam lukisan, kita bisa menggambar pakai penggaris. Piet Mondrian itu kalau menggambar pakai penggaris, begitu juga Kazimir Malevich. Lukisan kubisme juga ketika dibuat, si pelukis menggunakan penggaris. Tentu saja, kita bisa berpikir, “Lho, kenapa kalau menulis puisi tidak bisa pakai penggaris?” Geometrinya lebih muncul, misalnya, lebih kelihatan. Itu, bagi saya, salah satu praktik escape from personality.
Belakangan, saya menyadari bahwa kalau puisi atau sastra itu adalah residu dari rasionalitas; berarti kita bisa mempersoalkan rasionalitas. Atau, mengatakan sesuatu yang tidak rasional dengan alat-alat rasional. Dengan kata lain, menggambar dengan penggaris. Meskipun penggaris itu, di dalam konteks semantik dan gramatik, tidak tersedia, tetapi cara kerja dengan penggaris itu bisa diambil alih.
Misalnya, kubisme hanya mungkin dalam lukisan. Simultanisme. Tetapi dalam puisi mestinya bisa juga, kenapa tidak? Kalau tadi saya mengatakan, Chairil dan penyair-penyair liris setelahnya itu dihantui oleh keinginan untuk membuat sesuatu yang spasial dengan alat-alat temporal, sekarang ya bikinlah lebih ekstrem saja. Ya sudah, sekarang geometrinya diperlihatkan, misalnya. Unsur-unsur permainan sudut pandang itu dinyatakan dalam bentuk permainan bidang, misalnya, tetapi melalui frasa, kalimat, kata. Seperti itu kira-kira. Sambil kita menyadari ironi dari kreativitas.
Yang bisa melakukan escape from personality seratus persen itu cuma kaum ilmuwan. Darwin, misalnya; tidak ada ciri pribadi di dalam karya ilmiahnya—yang nota bene mencerminkan hukum alam.
Sekarang, jika sastra mau melaksanakan prinsip itu, jelas tidak mungkin. Tetap saja ada unsur personality di situ. Makin kita menghindar, makin ketahuan cap jarinya. Bukan tidak ada cap jari Eliot dalam puisinya. Ironi itu saja yang perlu disadari. Apakah itu pascamodern atau modern, itu tidak penting buat saya. Pada akhirnya, saya tidak bisa lagi menilai puisi saya, kecuali saya mau lebih pintar daripada puisi saya. Kalau saya lebih pintar dari puisi saya, artinya saya tidak menjadi intelektuil di dalam puisi. Ya, tidak apa, artinya saya memilih peran sebagai komentator atau kritikus di waktu yang lain. Menulis puisi di satu waktu, menulis ulasan di waktu yang lain. Tidak apa.
Saya bukan kritikus dalam pengertian Jassin atau Teeuw, ya, karena saya tidak pernah menulis tentang sejarah sastra. Tetapi saya mungkin bisa disebut kritikus, karena saya membangun pengertian, membangun teori tentang puisi dan kesenian. Paling tidak, begitulah esai-esai saya. Mungkin saya jenis Eliot. Bukan isi pemikirannya, tetapi kotak tempat tinggalnya. Orang-orang seperti Borges, kan, menbangun teori tentang sastranya. Pessoa termasuk, meskipun tidak secara langsung.
Tetapi dalam pengertian itu, ya, apa? Saya tetap menulis dalam bahasa Indonesia. Apakah puisi saya bisa diterjemahkan? Bisa. Karena unsur logikanya sangat kuat. Metaforanya mungkin harus diganti dengan apa yang tersedia dalam bahasa sasaran.
ZEN
Ini terakhir dari saya, sebelum kita sudahi wawancara ini. Bagaimana Anda sebagai penyair/kritikus melihat puisi Indonesia hari ini?
NIRWAN
Saya jawab secara terbatas saja. Tidak mungkin saya di saat ini memberikan peta persajakan Indonesia. Begini. Mayoritas penyair Indonesia bertemperamen romantik. Romantik dalam pengertian bahwa mereka mengejar “pengalaman hidup yang autentik”, pengalaman yang mereka percaya akan dengan sendirinya merangsang kelahiran puisi. Sebenarnya tradisi romantik itu tidak jelek, karena jika kita melihat puisi Amerika Serikat, misalnya, ya, puisi di sana itu neo- atau pasca-romantik; mulainya dengan Walt Whitman. Whitman membesarkan dirinya melalui puisinya sehingga kita tidak tahu lagi bedanya dirinya dengan alam semesta. Jadi multitude: diri sendiri menjadi sesuatu yang berlapis-lapis. Kemudian, kita lihat pengaruhnya pada Wallace Stevens. Kemudian, Stevens mempengaruhi John Ashbery; itulah temperamen romantik, tetapi romantik yang disusupi oleh ironi tentang pelukisan diri sendiri. Dengan kata lain, dipengaruhi oleh escape from personality. Jadi, di situ kita melihat tradisi romantik yang berbeda.
Salah satu problem dalam khazanah puisi kita adalah bahwa sekarang ini pendekatan kanonikal itu tidak ada, ditinggalkan. Jadi, penyair-penyair itu, jika tidak ada sistem kanonik, lalu mereka kehilangan kesempatan untuk menilai diri mereka sendiri, karya mereka sendiri. Terhanyut ke dalam pengaruh tanpa menyadarinya, tanpa anxiety of influence.
Ambil contoh “murid-murid” Umbu Landu Paranggi, misalnya. Hampir semuanya, terutama di zaman Persada Studi Klub di Yogyakarta, terpengaruh Goenawan dan Sapardi, tanpa mereka sadari. Belakangan ada aspek folklorik yang masuk, terutama pada penyair-penyair Bali, tetapi modelnya puisi lirik yang itu-itu juga. Itu patut disayangkan, karena mereka tidak bisa melompat dari sistem norma poetika yang melingkupi mereka.
Jadi, menurut saya, kita harus membawa masuk lagi internasionalisme yang mutakhir. Dan itu biasa saja dalam kehidupan intelektuil, dalam kehidupan ilmuwan, kehidupan seniman. Memang kita harus menganut prinsip bahwa kita bisa setara sama dengan mereka, dengan generasi sezaman di mana-mana, terlepas dari kita berhasil atau tidak. Watak profesionalisme memang begitu. Kita melompat dari, sebut saja, rasisme, yaitu rasisme yang sekarang berkuasa lagi, yaitu bahwa orang Indonesia bisa asli sendiri. Perangkap keaslian itu sangat kuat sekarang, justru karena kurangnya wawasan internasional. Di sinilah pentingnya membicarakan Chairil Anwar, yaitu bahwa untuk menjadi nasional, dia menjadi internasional terlebih dulu. Penyair-penyair intelektuil sangat berwatak internasional.
Raganya nasional, tetapi denyut jantungnya internasional. Beginilah, gampangnya, puisi ini suatu keterampilan yang sangat berbahaya, karena pada dasarnya semua orang menulis puisi. Ibu saya, budhe saya, adik saya, guru-guru saya, kawan-kawan saya, semua menulis puisi. Semua mereka bisa menulis puisi untuk mencurahkan rasa, mencurahkan keharuan. Jika orang-orang dengan temperamen begini tiba-tiba kena pengaruh dari puisi modern Chairil Anwar atau siapa pun itu pada 1970-an, mereka akan menjadi penyair lirik, dengan sendirinya.
Oleh karena itu, sebenarnya kemampuan menulis mereka belum cukup ketika mereka terhanyut dalam suasana kepenyairan. Lalu, yang dikejar adalah menjadi penyair, bukan menulis puisi. Penyairnya datang lebih dulu daripada puisinya. Akhirnya apa? Wacana perpuisian Indonesia itu isinya omong-omong tentang kepenyairan, bukan diskusi tentang craft dalam menulis puisi, atau pembicaraan tentang puisi. Kepenyairan itu apa? Penyair dianggap sebab-musabab utama dari adanya puisi. Akhirnya apa? Harus hidup autentik, termasuk berdiri di depan masyarakatnya. Modelnya ya si binatang jalang tadi, yang mesti hidup autentik.
Mitos Chairil yang binatang jalang itu hidup di kalangan sastra maupun pembaca awam. Orang yang hidup untuk menerabas norma-norma demi mencapai autentisitas dalam kehidupan. Padahal, semuanya itu hanya muncul karena intelektualisme Chairil. Kita tidak benar-benar mampu membaca puisinya, jika kita dikuasai dongeng tentang si binatang jalang. Kita hanya merasa bicara tentang puisi, sesungguhnya kita hanya bicara tentang si penyair. Penyair jadi nomor satu, begitulah pembicaraan dari kepentingan bakat alam.
Karena tidak ada intelektualisme, maka craftsmanship juga tidak terbangun. Menganggap autentisitas sebagai keutamaan itu, kan, artinya melalaikan keterampilan, seakan-akan pengalaman batin atau apa pun itu bisa muncul secara langsung. Seakan-akan puisi saya dan saya, diri saya, tidak ada perantaranya, langsung terlahir begitu saja.
Saya selalu mengatakan bahwa ada dua-tiga tahap yang mesti dilalui. Tahap pertama, seseeorang yang punya temperamen puitik mengubah dirinya menjadi penyair, dan penyair itu bukan diri sehari-hari. Artinya apa? Ini situasi membangun craftsmanship, menjadi intelektuil, mempersoalkan bakat alamnya, mencurigai pengalaman autentiknya. Tahap kedua, si penyair mengubah diri lagi menjadi subjek penutur dalam sajak-sajaknya, yang membunuh si penyair dalam arti tertentu, dan di sini sebenarnya berlaku prinsip yang anti-romantik dalam pengertian tertentu. Jika tidak, intelektualisme dia hanya akan menghasilkan puisi yang didaktis, di mana diri pribadi yang biografis akan tampil di depan, berceramah, berkhotbah. Atau puisi yang hanya curahan rasa, puisi emosi, dalam pengertian Asrul Sani.
HASAN
Soal ketegangan, sering dibicarakan, Sapardi mengatakan ketegangan antara konvensi dan tradisi. Chairil, misalnya, bicara ketegangan antara pendahulunya dan keinginan untuk memperbaharui. Anda juga rasanya sering bicara tentang ketegangan. Apakah modal merawat ketegangan itu?
NIRWAN
Ketegangan itu dirumuskan post-factum. Teeuw begitu juga ketika dia berbicara tentang ketegangan antara pembaharuan dan konvensi.
Jika kita melihat sejarah, sejarah puisi, atau sejarah sastra, dalam hal ini kita mencoba mencari kontinuitas. Ada revolusi, tetapi revolusi itu sendiri menegaskan adanya kontinuum. Dalam kontinuitas yang panjang ini memang ada ketegangan, dan itu adalah adalah anxiety of influence. Tidak dalam pengertian bahwa yang satu memerangi yang lain. Ada yang terjangkit influence, semacam influenza-lah, dan kemudian berusaha menyembuhkan diri. Dalam usaha menyembuhkan diri itu, ada alat-alat yang bisa dijangkau.
Ada alat-alat yang dia pungut dari para pendahulu di khazanah bahasa nasionalnya sendiri. Itu artinya dia menjadi pelanjut. Dia pungut, tetapi alat-alat itu sendiri bukan sesuatu yang bisa dipungut begitu saja; dia harus menghancurkan sesuatu dari pendahulunya itu. Tetapi istilah menghancurkan ini sendiri hanya metafora. Karena begitu dihancurkan, yang dihancurkan itu malah makin menjadi, menjadi-jadi. Si penghancur justru memberi komentar terhadap yang sebelumnya. Jadi, Chairil justru memberi komentar terhadap Amir Hamzah. Memberi komentar dan koreksi. Komentar dan koreksi itu adalah puisi Chairil.
Apakah ini suatu ketegangan? Iya. Ketegangan antara yang sudah jadi konvensi dan yang diaspirasikan sebagai yang baharu. Tetapi, itu juga suatu permainan. Suatu permainan dalam arti playfulness, si seniman tidak sepenuhnya terjajah oleh tradisi sastra yang membesarkannya. Dia mengambil sesuatu dari sana sebagai aspek main-main, aspek kekanak-kanakan yang positif, bukan childish, tetapi childlike. Dia berlaku seperti anak-anak supaya dia bisa menatap dunia dan warisannya itu dengan cara yang kreatif. Anak-anak itu selalu segar.
Tetapi juga permainan dalam arti game. Ada hukumnya. Dan hukum itu konvensi. Konvensi itu apa? Tadi saya sebut, konvensi yang paling dasar itu gramatika, semantik, kemudian ada konvensi bentuk, misalnya kuatren. Apakah dia menerima konvensi itu? Tidak hanya begitu, dia juga harus memperluasnya. Dia menjangkau yang ungrammatical; artinya dia berusaha melampaui gramatika. Mungkin memperkaya gramatika, misalnya dengan kombinasi yang baru antara awalan dan akhiran, memperkaya fungsi kata kerja. Chairil sangat begitu: kapal itu tidak mengambang di atas laut, tetapi berkakuan, begitu misalnya. Itu suatu permainan. Jadi, ada fungsi game, ada fungsi playfulness tadi.
Apa lagi? Playfulness tadi, ketegangan tadi, alat-alat yang lain, itu ada yang harus dia pungut juga dari tempat lain, dari bahasa-bahasa yang lain. Itu yang saya sebut tadi internasionalisme. Karena peralatan di dalam negeri tidak cukup, maka dia mengambil peralatan dari tempat lain. Itu sangat alamiah, dalam pengertian tertentu. Kita jadi petani, itu tidak cukup untuk menyuburkan tanah, kita cari alat-alat lain yang bisa membuat tanah menumbuhkan potensinya yang baru.
Jika dilihat dari sudut kreativitas, maka ketegangan itu sendiri berubah jadi permainan, sebab tanpa itu, dia akan terjangkit oleh influenza secara negatif. Seperti itu tadi, orang-orang yang sibuk memerangi Chairil Anwar itu; buat apa? Toh mereka terjatuh juga dalam pengaruh Chairil. Lebih baik jika mereka menyadari Chairil sebagai bagian dari anxiety mereka, kemudian mereka berusaha melampaui itu. Itu baru bisa terjadi jika mereka mengambil alat-alat dari tempat lain.
Sekarang kita bicara tentang kritikus yang melihat ketegangan itu. Begini, kritikus itu ada dua jenis. Yang satu, membangun sejarah sastra; Teeuw, Jassin dan Harold Bloom, misalnya. Jika membangun sejarah sastra, maka ada exclusion, ada inclusion. Itu yang memunculkan ketegangan. Sistem dia atau argumen dia untuk membangun sejarah sastra itu mungkin membuat dia harus memperkuat tension di situ. Tetapi ada orang lain yang membangun dengan sistem lain. Lalu ada tension kedua; katakan saja kontes antara kanon A dan kanon B. Kanon itu tidak mungkin satu. Kanon itu multiple. Satu orang membangun satu kanon. Orang lain membangun kanon yang lain lagi.
Kemudian, ada kritikus jenis lain, kritikus yang membangun teori tentang puisi. Biasanya ini penyair. Sebenarnya teorinya itu adalah kredonya, manifestonya, yang kemudian diperluasnya. Jika kita membaca T.S. Eliot, dia sangat anti-romantik, maka dia kembali ke metaphysical poets, karena dia membangun teori yang disebut objektif-korelatif, yaitu bagaimana membangun suatu alat untuk mengatasi emosi. Bagaimana menerjemahkan emosi ke dalam alat yang kurang lebih objektif. Dia sangat anti-romantik. Oleh karena itu, sudah dengan sendirinya dia mengeksklusi penyair-penyair dari ranah romantisisme dari khazanahnya.
Tetapi kita tahu satu generasi kemudian ada kritikus yang bukan penyair, katakan saja Harold Bloom, yang membangun teori lain, teori pasca-romantik; dia mengeksklusi Eliot. Buat dia, puisi itu pada hakikatnya romantik. Dia mengeksklusi Eliot dan kemudian membangun kanonnya sendiri. Seperti itu kira-kira. Ada tension jenis kedua. Tetapi ada juga orang-orang yang membangun teori, juga sebenarnya tidak secara langsung membangun sejarah sastra; itu para penyair juga. Orang-orang seperti Octavio Paz, misalnya. Dia membangun teori tentang modernisme di Amerika Selatan dalam kaitannya dengan khazanah internasional dalam Children of the Mire. Dia membangun teori, sebenarnya itu anxiety of influence juga, tetapi versi yang lain.
Kira-kira begitulah. Di Indonesia, itu yang harus diperkaya—pembicaraan dan wacana tentang puisi, dan ini bukan hal baru sama sekali. Chairil, Jassin, Teeuw sudah memulainya. Kita tinggal melanjutkan belaka, apalagi ketersediaan asupan dari luar bukan main berlimpahnya. Beginilah risikonya bila kita membicarakan lagi Chairil Anwar, sekarang ini.
ZEN
Dari kami sudah cukup. Terima kasih banyak.
MICHELLIA
Sekali lagi, terima kasih atas kesediaan Anda berbagi telaah tentang Chairil Anwar dalam wawancara ini.
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.