Melani Budianta
Kritik Sastra, Kajian Budaya, dan Ekosistem Sastra di Indonesia

Ilustrasi: Jiwenk

Sejarah metode kritik sastra di Indonesia menunjukkan perkembangan yang dinamis dan beragam. Pada era 1960-an hingga 1970-an, terjadi perdebatan antara pendekatan Ganzheit dan new criticism. Sementara pada 1980-an, terjadi perdebatan sastra kontekstual yang hampir bersamaan dengan polemik tentang new historicism di Barat. Kritik sastra kemudian berevolusi dengan masuknya cultural studies (kajian budaya) dan teori-teori pascakolonial yang menjadi dominan dalam studi sastra Indonesia.

Memasuki abad ke-21, tren dalam kritik sastra Indonesia semakin beragam dengan penerapan teori-teori modern seperti ekokritik, feminisme, gastrokritik, pendekatan sastra wisata, dan humaniora digital. Ini menunjukkan respons terhadap perkembangan global dan lokal dalam pemikiran sastra. Pembacaan jauh (distant reading) dan humaniora digital (digital humanities) juga menjadi bagian penting dalam kajian sastra dunia hari ini dan perlahan-lahan mulai digunakan juga di Indonesia. Evolusi dari berbagai pendekatan kritik sastra di Indonesia ini dibahas dalam wawancara panjang dengan Melani Budianta.

Melani Budianta adalah guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam perkembangan metode kritik sastra di negeri ini, Melani dikenal melalui sejumlah tulisannya yang melibatkan aspek pascakolonial, sastra bandingan, studi budaya, dan gender. Karya-karya kritik dan esainya dipublikasikan di berbagai surat kabar, majalah dan jurnal (nasional maupun internasional). Kegiatan akademis dan kontribusinya selama ini membuatnya menjadi salah satu tokoh kunci dalam perkembangan kajian sastra di Indonesia.

Latar belakang pendidikannya Sastra Inggris, dengan skripsi tentang Harold Pinter di bawah bimbingan Tuti Indra Malaon dan disertasi tentang Stephen Crane di Universitas Cornell. Selanjutnya, ia banyak terlibat dalam sejumlah upaya pendokumentasian karya sastra Indonesia, oleh Badan Bahasa bersama Sapardi Djoko Damono, di antaranya, menyunting cerita pendek Indonesia periode awal (1870-1910), dan menyusun esai tentang aliran sastra, seperti realisme, simbolisme dan imajisme. Beberapa buku yang ia tulis maupun terjemahkan, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi dan Teori Kesusastraan, hingga kini digunakan dalam pengajaran sastra di kampus-kampus.

Selain kerja-kerja sebagai editor antologi karya sastra dan esai, Melani juga menulis esai tentang gender, sastra, dan identitas budaya di sejumlah jurnal internasional dan terus aktif berkolaborasi dengan peneliti dan aktivis budaya lintas kawasan, seperti Consortium of Inter-Asia Cultural Studies Institution, Asian Regional Exchange of New Alternatives dan Critical Island Studies. Ia menjadi editor di beberapa jurnal ilmiah, antara lain Inter-Asia Cultural Studies Journal, Wacana Seni (Malaysia), Unitas (Filipina).

Terkait kiprahnya di ranah metode kritik sastra, Melani juga dikenal sebagai pelopor perkembangan Kajian Budaya di Indonesia. Mata kuliah Kajian Budaya telah diampunya sejak 1990-an sebelum akhirnya Universitas Indonesia membuka program Magister Kajian Budaya di FIB UI. Ia mendorong penggunaan perspektif kajian budaya yang lintas, multi dan transdisiplin, dengan menggunakan teori kritis. di bidang-bidang yang semula lebih banyak disoroti dari perspektif satu disiplin saja. Ia pernah mengelola satu tim penelitian terkait modal budaya yang dibawa oleh buruh migran asal Indonesia ketika pulang ke kampung halaman – termasuk mengelola pengalaman migrasi menjadi karya sastra. Ia juga terlibat aktif membantu Badan Bahasa dalam riset sejarah sastra Indonesia yang dibagi dalam pembabakan per dasawarsa. Simak selengkapnya percakapan antara redaksi tengara.id dengan Melani Budianta.

 

Meniti Jalan Meneliti Sastra

Dengan latar belakang pendidikan Sastra Inggris dan studinya di Amerika Serikat, bagaimana Melani Budianta memadukan perspektif Sastra Inggris dengan fokus pada karya-karya sastra Indonesia? Melani menceritakan masa-masa studinya yang mengantarnya untuk mendalami berbagai pendekatan kritik sastra.

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Kami ingin membicarakan dengan Anda bagaimana perkembangan kritik sastra di kampus maupun di luar kampus, dan terutama kami ingin tahu sudut pandang Anda, bagaimana Anda berproses memilih jurusan sastra, menulis kritik sastra, dan mengembangkan Kajian Budaya di UI. Bagaimana awalnya Anda tertarik melakukan penelitian sastra, apakah ini semula didasari oleh ketertarikan membaca sastra?

 

MELANI BUDIANTA

Tentu, ini tidak lepas dari minat sejak kecil di kota kelahiran saya Malang. Minat yang saya bawa, sehingga saya masuk ke fakultas sastra. Dari kecil saya dibesarkan oleh buku dan tradisi membaca yang sangat merasuk dalam kehidupan sehari-hari sejak saya kecil. Tradisi di dalam keluarga saya, untuk hadiah ulang tahun, biasanya berupa buku, atau karya sendiri—boleh lukisan atau puisi. Jadi, tradisi berkesenian dan menyerap karya sastra sudah sangat kental, juga tradisi mendongeng dan saling bercerita. Itu sudah menjadi bagian kehidupan saya sejak kecil. Karena itu, ketika saya bersekolah, itu menjadi bingkai bagi saya untuk memahami kehidupan.

Saya sendiri sebagai seorang anak yang belajar membaca, saya mengalami persoalan disleksia. Ketika SD, nilai pelajaran saya selalu jelek. Kalau berhitung, saya suka terbalik-balik antara 6 dan 9, tidak bisa membedakan B dan D.

Satu kunci yang membuat saya berubah dan menjadi bisa menguasai bidang akademik: ketika kelas 4 SD, guru Matematika saya membahas semua persoalan matematis itu dengan cerita. Saya ingat betul ketika dia bercerita tentang pembagian pecahan, dia bercerita tentang seorang janda yang punya 4 anak dan hanya punya 1 kue, dan kue itu digambarkan bulat, maka janda itu harus membelahnya menjadi 2, lalu membelahnya lagi di tengahnya, dan itu adalah ¼. Saya ingat momen itu sampai sekarang. Setelah itu, pelajaran Matematika menjadi mudah sekali buat saya. Di seluruh pelajaran, peringkat saya meloncat sehingga pernah menjadi juara sekolah di kelas satu SMP. Hanya dengan dibukakan perspektif untuk melihat dunia melalui imajinasi, siswa yang bermasalah seperti saya bisa keluar dari hambatan realitas dan menyadari: belajar itu mudah dan menyenangkan.

Akhirnya, setelah saya lulus SMA, saya memilih sastra, karena memang di situ saya sudah punya panggilan sangat kuat. Saya memilih Sastra Inggris, karena kakak saya memiliki satu lemari berisi buku-buku terbitan Penguin Classics. Jika saya sedang sedih atau ada masalah, dia datang membawa satu buku untuk dibaca, seperti antologi puisi Emily Dickinson. Pada waktu itu koleksi buku di rumah juga berisi terbitan Balai Pustaka yang diterjemahkan dari Sastra Dunia.

Saat saya masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia, saya sangat menikmati kesempatan belajar membaca dan mengkaji sastra, yang tidak terasa seperti beban belajar. Saya juga mendapatkan dosen-dosen yang sangat inspiratif dan menggairahkan. Saya sempat diajar oleh Sapardi Djoko Damono, yang menjadi role model dalam mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa. Waktu itu Sapardi masih mengajar di Sastra Inggris, sebelum pindah ke Sastra Indonesia. Ia membiarkan para mahasiswanya memilih dan mengusulkan bahan bacaan: “Kita mau baca apa?”

Beberapa novel yang diusulkan mahasiswa, dan juga pilihan Sapardi dibaca bersama. Setelah membaca, kita dibebaskan saja berdiskusi. Jadi, ada kebebasan untuk menafsir, tidak ada lagi satu kebenaran tunggal. Waktu itu, mazhab yang dominan masih new criticism. Dengan new criticism, seakan-akan ada beban, untuk mencari satu kesatuan makna yang terbangun dari seluruh elemen. Jadi, mahasiswa kadang-kadang merasa takut salah, dan mencoba menebak-nebak kebenaran tafsir. Tapi, dosen seperti Pak Sapardi, dan juga Pia Alisjahbana, sudah mulai membuka ruang-ruang penafsiran yang terbuka.

Salah satu dosen favorit saya yang lain adalah Tuti Indra Malaon, yang mengajarkan Shakespeare dengan cara mendramatisasinya di kelas. Di bawah bimbingan Tuti dan Sapardi, saya menulis skripsi tentang kekhasan gaya penulisan dalam karya-karya Harold Pinter. Absurditas dalam lakon-lakon pendek Harold Pinter seperti The Room, The Birthday Party, The Dumb Waiter dan Silence menggelitik saya. Kebetulan pada 1970-an itu saya sering menonton lakon-lakon “absurd” Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki.

Dari memahami Harold Pinter, saya sudah mulai mempelajari sedikit sastra bandingan. Dengan melihat sastra berbahasa Inggris, saya juga merefleksikan diri saya dan kesusastraan Indonesia pada saat yang sama.

 

ZEN HAE

Tahun-tahun itu saya kira masih berlangsung perdebatan kritik aliran Rawamangun dengan Ganzheit, kalau Anda masuk kuliah pada pertengahan 1970-an. Apa pengaruh bagi Anda ketika masuk Sastra Inggris, di Sastra Indonesia, kok, ada ribut-ribut antara M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman. Seperti apa situasinya ketika itu?

 

MELANI

Di Fakultas Sastra UI sendiri saat itu sebetulnya ada dua aliran yang agak berbeda. Dosen-dosen Sastra Prancis sangat berorientasi pada pendekatan strukturalis. Teks harus dibelah-belah, menjadi sekuen-sekuen, yang kemudian dipelajari strukturnya. Sementara Sastra Inggris menggunakan new criticism, dengan pendekatan close reading, yang tidak ada formulanya. Subjektivitas dalam memaknai sangat tinggi. Sementara itu, teman-teman yang belajar strukturalisme, membangun tahapan membaca yang lebih sistematis dan menurut saya, lebih mengikat. Tradisi Inggris dan Amerika memang lebih dekat ke new-criticism

 

MARTIN SURYAJAYA

Saya baca di buku Meretas Batas Ilmu, Anda menulis tentang pengalaman Anda era 1970-an, Anda menyampaikan bahwa pembacaan dekat merupakan dasar bagi literasi. Mungkin Anda bisa menceritakan bagaimana pendekatan itu diajarkan. Anda juga diajar oleh A. Teeuw dan H.B. Jassin, apakah ada cerita mengenai itu?

 

MELANI

Memang, ada berbagai metode pembacaan. Boen S. Oemarjati , yang juga sempat saya kenal, menekankan pentingnya “menafsir secara benar”, Ia menggarisbawahi kehati-hatian, agar penafsiran itu didukung oleh keseluruhan kondisi teks, tidak hanya oleh satu elemen atau bagian saja. Kalau seluruh bagian mendukung “tema” yang dibahas, maka penafsiran itu dianggap paling sahih. Sedangkan beberapa dosen lain lebih longgar memberikan kebebasan menafsir, asalkan keabsahannya bisa ditunjukkan. Saya lihat, H.B. Jassin berada di antara dua kutub itu, ia memakai subjektifitas untuk memaknai teks.

Menurut saya, dengan pembacaan dekat, kita diajak untuk membawa subjektivitas diri kita pada teks. Ada semacam dialog yang intens dengan teks. Ini adalah dasar dari literasi, karena proses itu membangun kedekatan dan dialog antara yang membaca dengan teksnya.

Literasi akan terbangun dengan membiarkan teks berbicara kepada kita dan menyentuh pengalaman diri. Memakai istilah Putu Wijaya, kita membiarkan teks berbicara, menyentuh yang “aduh dan tak aduh” dalam diri kita. Dengan demikian kepekaan kita terhadap nuansa-nuansa teks, tak bisa dilepaskan dari pengalaman subjektif pembaca.

Dalam new criticism, tidak ada resep bagaimana membuat penafsiran, karena diasumsikan pembaca memakai pengalaman membacanya. Jadi, semakin banyak kita membaca, semakin banyak kosakata yang kita punyai, semakin kaya ensiklopedi tentang gaya, eksperimen-eksperimen berbahasa, dan strategi estetik dalam membangun tema. Kepekaan menafsir dibangun dari pengalaman membaca yang terakumulasi.

Maka, ketika kita membaca teks baru, kita bisa menempatkannya dalam khazanah bacaan yang ada di dalam kepala kita. T.S. Eliot juga menyebutkan hal itu dalam esainya tentang Tradition and the Individual Talent. Jika ada satu karya baru, maka konfigurasi sastra akan berubah komposisinya, karena ada pengetahuan baru yang muncul.

 

MARTIN

Kalau tidak salah di zaman itu, para kritikus dengan metode new criticism, seperti William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley, mengkritik mengenai apa yang disebut affective fallacy, kesesatan atau kekeliruan afektif yang membuat interpretasi terhadap karya tidak objektif karena terbawa oleh perasaan ketika membaca atau menduga-duga perasaan yang ada di dalam teks. Itu justru dikritik oleh new criticism.

Jadi, sebetulnya posisinya agak bertentangan dengan gagasan Ganzheit yang diangkat oleh Arief Budiman, misalnya perjumpaan dengan Chairil, yang justru afektif sifatnya. Ada pertentangan seperti itu, ya?

 

MELANI

Ya, memang, itu selalu ada, antara yang mau melihat karya itu sebagai sesuatu yang harus dilihat sebagai sesuatu yang objektif atau dengan subjektivitas. Menurut saya, ada di dalam kedua itu, bandul itu tidak bisa dipisah begitu saja sangat dikotomis; karena bagaimana kita memahami teks dengan subjektivitas. Dalam perspektif teori kritis maupun teori postruktural, tidak ada objektivitas murni, karena realitas tidak bisa terlepas dari bahasa, dan oleh sebab itu tidak lepas dari pemaknaan. Metode Ganzheit mengimbangi pendekatan pada struktur agar roh karya sastra tidak menguap dalam pembongkaran struktur.

Roh karya sastra itu dari bagaimana dia berdialog dan berinteraksi dengan pembacanya. Tapi, pada saat yang sama, ketika di ranah akademis ada tuntutan untuk validitas, membangun konsep dan abstraksi, jadi kritik akademis memang ada di antara dua bandul itu—bisa yang sangat ekstrem, sampai menggunakan pengukuran dan segala macam itu. Walaupun sekarang pada intinya akhirnya ada juga jembatannya dengan AI (artificial intelligence) dan cara membaca big data dan sebagainya. Artinya, praduga-praduga itu sekarang bisa dibantu dengan alat-alat ukur. Apakah saya benar mengukur atau tidak?

 

ZEN

Dalam konteks mengerjakan kritik sastra dalam tradisi new criticism, memang fokus pada karya bersangkutan. Apakah keluasan Anda membaca saat itu, dengan membaca banyak buku atau melihat teater yang lain, ada aspek perbandingan yang bekerjakah di situ? Karena Anda di saat yang sama ketika meneliti Harold Pinter itu juga menonton teater absurdnya Putu Wijaya? Ada perbandingan yang masuk antara teater Inggris modern dengan teater Indonesia modern?

 

MELANI

Pasti, sangat jelas terjadi perbandingan itu, walaupun dengan risiko. Risiko muncul jika kita melihat teater absurd barat itu sebagai konsepnya, yang kemudian kita aplikasikan atau cangkokkan pada teater modern Indonesia. Saya berdialog dengan Sapardi mengenai itu: apakah absurditas dalam konteks lakon-lakon Putu itu (Aduh, Dag-dig-dug, Aum) itu berbasis dari kenyataan dan budaya sehari-hari tentang kehidupan dan kematian yang dianggap lumrah dan biasa di Bali, ataukah serupa dengan konsep absurditas di Barat? Konsep absurditas di Barat sangat eksistensialis, sementara yang di sini bagaimana? Memang diskusi dalam skripsi saya belum masuk ke situ, baru di permukaan saja, baru melihat bentuk dan gaya saja. Tapi, diskusi saya dengan Sapardi masuk ke dalam pembahasan ke arah itu.

 

MARTIN

Di era 1970-an itu saat Anda berkuliah S1, apakah critical theories (teori kritis) seperti Mazhab Frankfurt atau Keywords: A Vocabulary of Culture and Society-nya Raymond Williams sudah masuk ke Indonesia?

 

MELANI

Belum, teori kritis yang dikembangkan di Birmingham oleh Raymond Williams dan kawan-kawannya waktu itu belum masuk ke Indonesia. Saya baru mempelajari itu saat S2 dan S3. Waktu saya S1, masih menggunakan new criticism betul-betul. Sebetulnya memang pengajaran model ini agak kurang membantu bagi yang belum punya pengalaman membaca dan menekuni dunia sastra. Mahasiswa yang tidak punya latar belakang sastra akan kebingungan saja. Apalagi menimbang pendidikan kita di SMA, yang tidak memberi kesiapan untuk membaca.

Di SMA, kita belajar dengan jalan menghafal, dan tidak pernah diberi kesempatan untuk membangun interpretasi sendiri. Semua interpretasi sudah diberikan oleh buku, dalam bentuk ringkasan cerita atau data tentang karya dan pengarang yang dihafalkan. Jadi, saat itu bahkan banyak anak-anak yang beroleh peringkat satu di SMA kemudian tidak bisa melakukan penafsiran, karena di bangku kuliah mereka diminta untuk memberikan interpretasinya sendiri, padahal mereka belum pernah diajarkan untuk berpendapat secara bebas dan berpikir secara kritis.

 

Pendalaman Studi Kritik Sastra

Melani menceritakan perkembangan kampusnya yang bertransisi dari Fakultas Sastra UI menjadi Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya UI, hingga kehadiran serta penggunaan berbagai metode kritik sastra di kampus dari masa ke masa.

 

ZEN

Bagaimana ceritanya perubahan dari Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya?

 

MELANI

Di Fakultas Sastra, kita bukan hanya diajarkan Ilmu Sastra. Ada Linguistik, Sejarah, Filsafat, Arkeologi, Ilmu Perpustakaan. Jadi, kata “sastra” lebih mengarah pada humaniora. Saat namanya masih Fakultas Sastra, banyak orang-orang mengira kita belajar sastra saja. Mereka sering salah mengerti, “Lulusan sastra, nanti jadi sastrawan, ya?”

Padahal, ada ilmu-ilmu lain ada di situ. (Antropologi juga pernah menjadi bagian dari FS UI, sebelum bergabung ke FISIP). Dalam perkembangannya, kemudian Sapardi, Benny H. Hoed, dan beberapa guru besar FS UI itu berpikir bahwa seringkali pemahaman tentang sastra direduksi menjadi sastra saja, ilmu-ilmu lain bagaimana? Jadi, kita harus memilih; apakah menyebutnya Ilmu Humaniora, atau Ilmu Budaya. Dalam bahasa Inggris, kita menggunakan istilah humanities, tapi saat diterjemahkan, kita menggunakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Sementara itu, Ilmu Kajian Budaya mulai berkembang pada 1990-an, saat saya baru menyelesaikan S3 di Cornell University. Ilmu Kajian Budaya, seperti yang di Birmingham, berkembangnya memang dari Sastra Inggris, yang membahas teks dengan pendekatan kajian kritis, tentang gender, relasi kuasa, dan poskolonial. Di FSUI, pelopornya juga dimulai dari Sastra Inggris, yang kemudian diperkaya oleh pengajar dari program studi lain di Departemen Susastra.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, pada akhirnya, critical theory meresap masuk ke semua disiplin, termasuk di ilmu-ilmu sosial dan politik. Di tahun 2000-an, saya diajak oleh dosen-dosen jurusan Politik dan Sosiologi, untuk membuat kelompok diskusi teori kritis.

Konferensi Cultural Studies yang pertama diadakan pada 2003 di Trawas, Jawa Timur, bersama dengan Universitas Petra, dan KUNCI Cultural Studies, sebuah lembaga yang membawa pendekatan cultural studies dalam praktik media. Pada saat itu Ariel Heryanto dan Janet Steele ikut berpartisipasi. Waktu itu disetujui bahwa bentuk jejaring cultural studies ini dibiarkan cair dan informal – karena sifat cultural studies itu sendiri yang meretas batas antara akademis dan non akademis, mendobrak kategori seni adiluhung dan seni yang berada di ruang keseharian.

Pada akhirnya, ada kebutuhan dari ranah akademis untuk memfasilitasi perkembangan cultural studies, sehingga FIB UI akhirnya membuat pengkhususan di dalam Departemen Ilmu Susastra di tahun 2004. Dengan cara bergotong-royong dengan teman-teman dari Kunci Cultural Studies, Universitas Sanata Dharma, dan teman-teman dari bidang lain, seperti Dr. Risa Permanadeli dari Psikologi Sosial, kami sempat mendatangkan Gayatri Chakravorty Spivak – pakar poskolonial untuk memberi kuliah umum di Yogya dan di Jakarta. Pakar jejaring inter-Asia, Kuan Hsing Chen, juga sempat datang dan memberi kuliah di FIB UI.

 

MICHELLIA

Apakah Ilmu Kajian Budaya ini kemudian mensinergikan berbagai jurusan di FIB?

 

MELANI

Tentu tidak semua pengajar memakai pendekatan yang sama, karena ada 6 departemen (Susastra, Linguistik, Sejarah, Filsafat, Perpustakaan, Kewilayahan) dengan tradisi keilmuan yang berbeda. Departemen Susastra sendiri, selain Sastra Modern dan Cultural Studies, memiliki pengkhususan seperti Kajian Tradisi Lisan dan Filologi, dengan kekhasan pengembangan studi masing-masing. Pengajar Sastra Modern (Rusia, Arab, Jepang, China, dan seterusnya) memperoleh pendidikan dari universitas di berbagai negara di dunia – dengan sistem yang berbeda. Tentu terjadi saling dialog dan saling belajar antara pengajar, terutama ketika mata kuliah diajarkan melalui satu tim yang terdiri dari beberapa dosen dari latar belakang berbeda-beda. Bagaimanapun, perkembangan ilmu secara global – dengan pendekatan-pendekatan kritis seperti feminisme, postruktural, poskolonial, menyebar ke semua jurusan.

 

MARTIN

Mungkin mundur sedikit ke periode saat Anda mengerjakan disertasi, pada 1987-1992, atau saat mengerjakan tesis magister, kami ingin mendengar cerita pengalaman Anda saat itu.

 

MELANI

Mungkin akan saya mulai dari saat saya mengambil master di tahun 1980-1981. Saat itu saya kuliah di Program Kajian Wilayah Amerika di USC, Los Angeles. Saya harus belajar tentang politik dan sejarah Amerika. Tetapi yang menarik, justru dalam mata kuliah politik dan sejarah itu selalu ada bacaan wajib karya sastra yang didiskusikan dalam proses pembelajaran.

Hal yang sama juga terjadi ketika saya mengambil S3 di bidang Sastra Inggris di Cornell University. Saya bebas mengambil mata kuliah pilihan di luar Sastra Inggris, seperti kuliah yang diajarkan oleh Ben Anderson di Program Kajian Asia Tenggara, dan kuliah di Program Sejarah dari Michael Kammens, pakar Sejarah Amerika. Semua mata kuliah itu menggunakan karya sastra dalam silabusnya. Saya jadi heran, kok di Indonesia tidak bisa begini? Mungkin itu sebabnya dunia politik kita kurang berwawasan budaya (hahaha)

Padahal, dulu, kalau kita lihat, tokoh-tokoh politik kita, Sukarno, Sjahrir, semua membaca karya sastra. Di pengasingannya di Banda Neira, Sjahrir bisa menulis resensi tentang perkembangan sastra Amerika kontemporer. Bagaimana dia membaca perkembangan itu dari Banda? Dari peti-peti buku yang ia bawa ke sana? Sungguh luar biasa. Intelektual seperti Sudjojono di tahun 1950an bahkan sempat membuat perdebatan tentang krisis sastra. Para negarawan kita terdahulu mendalami sastra, dan Sukarno bahkan menulis drama..

 

MICHELLIA

Ketika Anda kuliah di Amerika Serikat dulu, dengan pelajaran politik, ekonomi, sejarah yang menggunakan karya sastra dalam pembelajarannya, bagaimana Anda melihat keadaan Indonesia saat itu?

 

MELANI

Saya melihat ini adalah warisan, barangkali warisan pendidikan kolonial? Warisan yang sangat disciplined oriented, berbasis tembok-tembok disiplin yang sangat kaku, dan sangat linear.

Sampai sekarang, di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, jika kita mengurus kenaikan pangkat dan lain sebagainya, linearitas itu selalu ditekankan: dari S1, S2 hingga S3 ilmunya harus satu disiplin. Padahal, jika kita memahami perkembangan ilmu, semakin tinggi, ilmunya semakin berada di tataran lintas, multi dan transdisiplin.

Akibatnya, di Indonesia wawasan budaya mahasiswa menjadi terbatas. Jika masuk ke bidang ekonomi, yang dipelajari hanya urusan ekonomi saja. Padahal, novel-novel yang mengupas persoalan ekonomi–seperti novel John Steinbeck tentang depresi di tahun 1930an, atau novel the Octopus karya Frank Norris tentang gurita oligarki–sangat membuka wawasan.

Beberapa universitas di Indonesia pernah mencoba sistem liberal arts, yang memberikan beberapa mata kuliah yang terintegrasi antara humaniora dan sains di tingkat awal. Tetapi nampaknya kokohnya tembok-tembok disiplin ilmu belum dapat digoyangkan

Kedua, terkait pendidikan dasar sampai menengah, di mana letak pembelajaran sastra? Ketika belajar di Amerika Serikat, saya membawa anak-anak saya, yang bersekolah di sana. Setiap awal minggu, anak-anak harus melaporkan cerita yang dibacakan oleh orangtua mereka. Jadi membacakan cerita Itu pekerjaan rumah bagi orangtua. Jika ditanya, “Minggu ini orang tuamu baca buku apa?” anak-anak akan menceritakan apa yang dibacakan orang tua mereka. Untuk TK, bahkan ada author’s day, anak-anak itu diminta membuat buku cerita. Narasi dibuat dalam bentuk gambar. Kemudian guru memberi catatan untuk menuliskan “cerita” anak itu di bawah gambar-gambar mereka. Buku itu “diterbitkan” (dipajang di kelas) di masa kenaikan kelas, dengan orangtua sebagai peserta peluncuran buku mereka. Di SD, pasti ada satu buku cerita anak yang wajib dibaca sampai tuntas, dan dibahas per minggu. Yang sering dipakai adalah buku karya Roald Dahl, seperti Charlie and the Chocolate Factory atau the BFG. Cerita-ceritanya membuka fantasi, kocak dan komunikatif. Di SMP dan SMA paling tidak ada tiga novel wajib yang biasanya sudah memakai karya sastra klasik.

Mereka dibawa untuk menghayati karya dengan berbagai cara. Saya ingat saat anak saya yang duduk di SMP ditugasi membaca novel Jane Eyre karya Emily Bronte, ia membuat maket rumah yang menjadi latar cerita. Ada juga tugas untuk membuat rekonstruksi baju zaman itu. Untuk mata kuliah pengantar Sastra berbahasa Inggris dan Masyarakatnya, di FIB UI kami memberikan tugas untuk membuat youtube video, atau mendiskusikan karya dan konteksnya melalui media sosial.

 

MARTIN

Anda menulis bahwa saat studi S3 Anda sempat diajar oleh Jonathan Culler tentang Dekonstruksi. Bagaimana pengalaman Anda tentang itu?

MELANI

Saat kuliah S2 di tahun 1981 saya sudah mulai membaca teori kritis. Waktu itu saya mengambil satu kuliah di Program comparative literature. Ternyata isinya bukan sastra bandingan seperti yang kita bayangkan, melainkan teori-teori pascastruktural seperti psikoanalisa Freud dan Lacan.

Ketika menempuh studi S3 di Program Studi Inggris (Department of English) di Cornell, pengajar teori sastra adalah Jonathan Culler, dia mengajar dekonstruksi selama semester. Dia mengajar dengan sangat runut dan jelas. Lain halnya dengan Jacques Derrida. Tiap tahun, Cornell selalu mengundang filsuf-filsuf. Pernah satu kali saya datang saat Derrida bicara. Terus terang saja, waktu itu saya tidak mengerti satu kalimat pun. Ha, ha, ha. Tapi saya menengok ke sekitar, orang-orang serius mendengarkan dan manggut-manggut. Saya pikir apakah mereka berpura-pura?

 

ZEN

Ini karena bahasa Inggrisnya sulit atau bagaimana?

 

MELANI

Karena dia bermain-main dengan bahasa. Di tangan Derrida, bahasa disampaikan secara performatif. Dia bukan memakai bahasa untuk menjelaskan. Jadi, jika dia menjelaskan tentang “my friend, my enemy,” dia akan membuat sedemikian rupa sehingga kita di satu sisi merasa disapa, tetapi di saat lain merasa diliyankan sebagai musuh, dengan bombardir kata-kata yang mengusik. Ada tindak bahasa sedemikian rupa sehingga kita teralienasi dan merasa tidak nyaman. Dia tidak menguraikan, dia melakukan tindak bahasa seperti itu.

Di Cornell, kami memang berkesempatan berkenalan langsung dengan beberapa pemikir. Terutama Culler, memang sangat membantu. Saya masih ingat paper yang saya tulis untuk Culler. Waktu itu dapat A, saya tidak tahu apakah karena bagus, atau karena tercemplung ke lumpur. Ha, ha, ha. Paper saya itu sudah berwarna cokelat, mungkin tersiram kopi, entahlah. Catatannya, dia mengomentari positif cara saya membahas konsep-konsep dekonstruksi dengan langsung mengupas kontradiksi dalam teks. Memang, terkadang orang masih salah memahami konsep dekonstruksi. Melalui pendekatan dekonstruksi, kita membaca teks against itself, dibaca terhadap dirinya sendiri. Jadi, kontradiksinya kita ambil dari apa yang ditawarkan di dalam teks itu sendiri, bukan di luar teks. Kalau misalnya ada oposisi biner, jadi bagaimana oposisi biner itu meluruhkan sendiri pembedaan yang hendak dibangun – misalnya melalui kontradiksi antara apa yang dikatakan secara eksplisit dan apa yang disampaikan secara implisit.

 

MARTIN

Teknis dasarnya sangat close reading berarti, ya?

 

MELANI

Sangat dekat dengan close reading. Dekonstruksi itu perpanjangan dari new criticism, sangat tekstual, tidak keluar dari teks.

 

MICHELLIA

Karena perbandingannya dengan dirinya sendiri, ya?

 

MELANI

Iya, sangat begitu.

Jadi, dalam pendekatan saya ketika mengerjakan disertasi, memang dekonstruksi sangat membantu saya. Misalnya, ketika membaca terjemahan Julius Caesar, dalam salah satu paper saya, saya membaca Julius Caesar dari terjemahan tiga orang, Mohamad Yamin, Asrul Sani, dan Ikranagara.

Saya memakai dua pendekatan. Satu, dekonstruksi. Satunya lagi, pendekatan yang melihat teks dalam ruang kesejarahannya, new historicism. Ruang kesejarahan itu adalah bentukan sosial. Teks dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat. Kita harus paham pemaknaan sejaman. Misalnya, dalam membaca teks terjemahan Mohamad Yamin, ada kata perkosa. Tentara itu diperkosa. Ternyata, pengertian diperkosa pada zaman itu artinya “dirudapaksa”, “dicederai”. Bukan makna perkosa seperti zaman sekarang. Jadi, ada konteks di situ yang berbeda. Nuansa kata itu sudah berbeda. Kita harus melihat kata dalam ruang-waktunya. Selain melihat kata yang dipergunakan saat itu, tentu saja juga melihat, misalnya, konstruksi gender. Muhammad Yamin menerjemahkan bitch menjadi “seperti laki-laki berkonde”. Cara dia memperlakukan kata itu sesuai dengan zamannya.

 

MICHELLIA

Betul, ya, misalnya Marianne Katoppo pada 1970-an masih menggunakan kata wanita, sementara sekarang kita sudah konsisten untuk terus menggunakan kata perempuan.

 

MELANI

Ya, seperti itu. Tentu dia memahami kata wanita saat itu berbeda dari kita hari ini, tentu aspek “perempuan”-nya sudah ada, meski dia menggunakan kata wanita saat itu.

Jadi, di satu sisi konteks sangat penting, dan apa yang terjadi waktu itu. Seperti terjemahan Asrul Sani yang dikerjakan pada zaman Orde Baru, puncaknya adiluhung, semua serba-adiluhung, puncak-puncak kebudayaan. Jadi, semua kata-katanya diolah sedemikian rupa, sehingga betul-betul dicari kata yang puncaknya, yang terbaik.

 

ZEN

Bahasa Indonesia dalam terjemahan Asrul Sani indah, ya?

 

MELANI

Ya, sedangkan yang terjemahan Ikranagara, kan, ditulis pada zaman demonstrasi terhadap Soeharto. Jadi, di situ kata people, yang dalam terjemahan Asrul Sani disebut sebagai “rakyat”, oleh Ikranegara dipadankan dengan kata “massa”. Tokoh Brutus yang menghianati Julius Caesar di dalam terjemahan Muhammad Yamin digarisbawahi sosoknya sebagai pengkhianat, sedangkan di Ikranegara ia menjadi pahlawan, karena berani menurunkan penguasa.

 

ZEN

Kalau tidak salah tulisan Anda itu pernah dimuat di Kalam, ya?

 

MELANI

Benar, pernah dimuat di Kalam, untuk kali pertama. Terus, kemudian diminta lagi untuk ditulis dalam bahasa Inggris, saya buat konteks yang sedikit baru ketika ditulis dalam bahasa Inggris.

Saya ingin berbagi pengalaman dalam memilih topik disertasi di Cornell. Waktu itu saya membahas Stephen Crane. Mengapa saya membahas pengarang ini? Ceritanya, saya merasa tertekan di satu mata kuliah karena dalam anggapan saya, sebagai satu-satunya mahasiswa Asia di kelas itu, saya diperlakukan secara rasis oleh dosen yang mengajar; Tentu itu perasaan yang tidak ada buktinya. Ha, ha, ha. Jika saya berbicara sesuatu, dia tidak pernah menanggapi. Tapi saat orang lain yang berbicara, kulit putih, dengan substansi yang sama seperti yang saya katakan, langsung dia merespons. Jadi, saya terus terang merasa sangat tertekan, dan ketika saya harus menulis paper – tentang periode yang dia ajarkan, 1890—akhir abad ke-19 — saya membuat makalah tentang Stephen Crane, tapi saya tidak pernah bisa menuliskannya. Itu satu-satunya mata kuliah yang saya ambil yang tidak pernah saya tuntaskan.

 

MICHELLIA

Jadi, akhirnya Anda memutuskan mengembangkan paper yang tidak pernah selesai itu untuk kemudian menjadi disertasi?

 

MELANI

Ya, saya kembangkan jadi disertasi saja, dan memakai pendekatan poskolonial dan ras. Balas dendam saya. Ha, ha, ha. Balas dendam terhadap perasaan didiskriminasi yang memang tidak bisa dibuktikan. Rasisme kadang-kadang memang sulit dibuktikan. Kita didiskriminasi terkadang tanpa yang berbuat harus mengatakan sesuatu.

 

MARTIN

Sempat menggunakan pendekatan stilometri segala macam itu?

 

MELANI

Untuk disertasi itu saya menggunakan gabungan antara dekonstruksi, new historicism, dan analisis gaya penulisan. Saya harus mencari pendekatan yang berbeda, karena jika menulis disertasi, apalagi menulis artikel tentang sastra Amerika, baru mengetik nama “Stephen Crane” saja sudah akan muncul ribuan hasil pencarian.

 

ZEN

Iya, sudah lebih banyak orang lain yang menulis.

 

MELANI

Benar. Bagaimana caranya mau membuat sesuatu yang baru dari sana? Disertasi, kan, harus menyumbangkan hal yang baru. Jadi, saya mencari akal. Sejak semester 1 saya sudah mulai memikirkan topik ini, karena saya hanya punya waktu 4 tahun. Teman-teman saya di Amerika Serikat itu menyelesaikan kuliahnya 6-8 tahun, sementara beasiswa saya hanya 4 tahun, padahal di 3 tahun pertama saya harus mengambil belasan mata kuliah. Artinya, waktu menulis disertasi hanya 1 tahun. Jadi, saya membuat strategi, apalagi saat itu saya membawa kedua anak saya bersama saya saat suami saya sedang kerja di BBC, London.

Mulai dari semester satu saya sudah harus mencari topik disertasi. Saya mencari pengarang yang terbilang biasa-biasa saja. Saya mencari satu novelnya yang paling tidak pernah dibahas. Kebetulan Stephen Crane itu sebagai jurnalis dan novelis, gaya hidupnya agak berantakan, mirip Chairil Anwar. Hidupnya diisi minum-minum, main perempuan, dan utangnya banyak sekali, sehingga seringkali honorarium harus dibayar di muka untuk buku-buku yang dia tulis, melalui sistem ijon. Dia mendapat masalah di Amerika, dikejar-kejar polisi, akhirnya dia pindah ke Inggris, bergaul dengan Jack London, T.S. Eliot dan sastrawan-sastrawan sejaman. Saya membaca semua riwayatnya, karena saya menggunakan pendekatan new historicism. Saya perlu tahu seluruh kehidupannya dan zamannya, dan bagaimana zaman itu terkait dengan tulisannya.

Saya menemukan satu novelnya yang tidak pernah diselesaikan, karena keburu meninggal. Novel itu setengah thriller. Saya kira dia menulis itu karena kepepet mencari duit. Novelnya itu tidak selesai, kemudian diselesaikan oleh Robert Barr, seorang penulis populer. Novel ini sangat menarik bagi saya. Lalu, saya mencoba melihat mana tulisan Stephen Crane dan mana tulisan penulis populer ini. Jadi saya harus memahami gaya si penulis kedua dan juga gaya Stephen Crane. Jika mengerjakannya dengan penelitian korpus, dan memakai AI untuk mengolah datanya, sekarang ini pasti bisa cepat terdeteksi perbedaan gayanya. Sementara, saat itu saya melakukannya dengan meneliti satu per satu, kata sifatnya, struktur kalimat, gaya bahasa, dan lain-lain. Untungnya itu dilakukan hanya untuk satu bab saja, sebagai titik masuk untuk berbicara tentang posisi Stephen Crane sebagai jurnalis dan pengarang yang terpojokkan, dan pada saat yang sama, untuk melihat bagaimana novel ini mengandung konflik yang bisa diinterpretasikan dari perspektif poskolonial.

Mengapa pendekatan poskolonial dipakai? Karena saya menulis disertasi tersebut di tahun 1990, ketika sedang ramai-ramainya Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendeklarasikan Perang Teluk untuk menaklukkan Saddam Hussein di Irak. Saya melihat wacana yang dibangun di surat kabar di tahun 1990an (seperti yang terjadi sekarang ini di Gaza) tak jauh berbeda dengan wacana di media massa 100 tahun sebelumnya, ketika Stephen Crane bekerja sebagai jurnalis. Saya membaca tulisan jurnalistik Stephen Crane saat dia menulis tentang Perang Turki-Yunani di tahun 1890an, dan bagaimana secara umum media di Amerika merepresentasikan musuh bersama melalui koleksi surat kabar akhir abad ke-19 yang tersimpan rapi di Universitas Cornell. Koran-koran waktu itu penuh karikatur, orang Turki yang digambarkan seram dan kejam.

Saya masih lihat tulisan-tulisan Stephen Crane saat itu yang dikirimkannya ke majalah The Atlantic. Saya membaca majalahnya, dan masih merasakan kehadirannya. Pengalaman saya hidup dalam suasana Amerika di tahun 1990an menjadi bingkai saya untuk membaca bagaimana Stephen Crane, sebagai jurnalis dan novelis, merepresentasi yang dianggap liyan; orang Yunani, orang Turki, orang Arab melalui jurnalisme sastrawi satu abad sebelumnya.

Di satu sisi, berbeda dari penggambaran dominan, ada aspek empati dan rasa kemanusiaan dalam cara Stephen Crane menampilkan orang-orang yang terpinggirkan, korban perang Yunani-Turki. Di sisi yang lain Crane tidak terlepas dari ideologi dominan zamannya, ada bias-bias etnosentrisme yang masuk. Tarik menarik itu juga terlihat dalam novelnya..

Buat saya ketika itu, tentu itu sesuatu yang baru, saya sebagai orang Indonesia membawa persepsi saya, melihat peristiwa 1990 di Amerika Serikat dengan kacamata yang kritis, dan , kemudian saya lihat bagaimana Amerika Serikat belum lepas dari belenggu rasisme satu abad sebelumnya.

 

ZEN

Apa judul karya yang Anda teliti itu?

 

MELANI

The O’Ruddy.

Jadi, novel itu hanya satu bagian kecil saja dalam disertasi saya. Sisanya, tentang bagaimana Amerika melihat yang liyan pada 1990. Jadi, saya membaca koran, membongkar arsip. Karya sastra adalah bagian dari keseluruhan disertasi itu.

Ada beberapa dosen saya yang melancarkan kritik saat saya menjalani ujian, menyebut saya terlalu over-reading. “Oh, kamu terlalu over-reading,” kata salah satu penguji saya. Karena saya kadang-kadang mengaitkan hal-hal yang tidak secara langsung ada hubungannya. . New historicism memang bekerja dengan cara begitu. Peristiwa nonsastra dilihat bukan sebagai konteks melainkan sebagai teks sezaman. Kaitan antara teks sastra dan berbagai peristiwa sastra di luarnya dibaca secara intertekstual. Ya, memang itu suatu jenis cara pembacaan, suatu latihan yang mengasyikkan buat saya, tidak terjebak pada teori.

 

MARTIN

Kepekaan terhadap teks masih diutamakan, ya.

 

MELANI

Intinya, pemahaman terhadap teks, dan bagaimana kita mengaitkannya dengan teks-teks non sastra sezaman, kebijakan, peristiwa politik, peristiwa sastra atau yang dialami pengarangnya. Tentu interpretasi bermain di situ. Biografi si pengarang tidak dianggap sebagai sebuah bagian terpisah. Biografi, khususnya yang ditulis sejaman, dilihat sebagai bagian dari konstruksi realitas semasa.

Dalam pendekatan seperti ini kita tidak lagi mengacu pada konsep intrinsik dan ekstrinsik seperti yang diuraikan oleh Wellek dan Warren yang bukunya saya terjemahkan sebelum berangkat ke AS. Yang ada di dalam teks tak bisa dilepaskan dari bentukan sosial yang datang dari luar teks.

 

Memelopori Kajian Budaya

Sebagai pelopor perkembangan Kajian Budaya di Indonesia, bagaimana Melani melihat evolusi dan dampak kajian budaya dalam konteks akademis di negara ini? Apa yang menjadi motivasi utamanya untuk memperkenalkan dan mengembangkan mata kuliah Kajian Budaya, dan bagaimana peranannya berkembang seiring waktu?

 

MICHELLIA

Bagaimana kemudian setelah 1992 Anda membawa pendekatan Kajian Budaya ke UI?

 

MELANI

Kami mulai pendekatan Kajian Budaya di Jurusan Sastra Inggris. Di Amerika Serikat pada waktu itu berkembang isu multikulturalisme. Dominasi WASP (White Anglo Saxon Protestan) digugat dengan menunjukkan bahwa ada keragaman–terutama dari diaspora kulit berwarna yang dibungkam dalam sejarah dan juga dalam kurikulum, termasuk penentuan “kanon sastra” yang didominasi karya Kulit Putih.

Pada tahun 1996, kami membuat kerjasama dengan Universitas Warwick. Kami membaca isu-isu multikulturalisme, dan membangun ruang dialog melalui internet antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa Warwick. Kami juga menyelenggarakan konferensi dengan topik Multikulturalisme di Amerika, Inggris, Australia dan Indonesia dengan beberapa pakar dari universitas di tiga negara itu.

 

MICHELLIA

Bagaimana prosesnya saat itu, dari konferensi kemudian mengembangkan kajian isu multikulturalisme di Indonesia?

 

MELANI

Waktu itu, menjelang akhir pemerintahan Soeharto, sensor masih kuat. Tetapi sensor di era Suharto tidak pernah bisa mencengkeram secara total, karena keluasan wilayah Indonesia dan jumlah populasinya. Banyak ruang dan celah yang bisa ditembus. Jadi, di seminar saat itu, kami semua mengkritik Orde Baru. Saya sendiri berbicara tentang topik yang judulnya “Multikulturalisme Taman Mini”. Mula-mula, kami membahas multikulturalisme di Inggris dan Amerika, dan ujung-ujungnya membahas bagaimana keragaman atau kebhinekaan dikemas secara tokenistik dan semu di Indonesia.

 

MARTIN

Pendekatannya sudah cultural studies di era itu, ya?

 

MELANI

Sudah. Waktu itu kami sudah mulai mengembangkannya di Jurusan Sastra Inggris. Ada Manneke Budiman, Junaidi, Reni Winata, saya, dan beberapa dosen lain yang terlibat. Kami bekerja sama dengan Australia, Inggris, dan Amerika. Kami membicarakan multikulturalisme dari perspektif berbeda di ketiga negara-negara Anglo-Saxon tersebut dan di Indonesia.

 

ZEN

Jika boleh dipetakan, sebetulnya perubahan orientasi kritik sastra dari new criticism ke cultural studies di negeri ini bisa dibagi secara tegas? Kapan dan bagaimana?

 

MELANI

Proses Itu tidak berlangsung hanya dari dalam lingkup akademi, dan secara lebih kecil dalam ilmu sastra saja. Jadi bukan babakan perkembangan teori yang bersifat linear, dan tak bisa dilepaskan dari konteks politik. Perkembangan Kajian Budaya di Indonesia ada di dalam konteks kritik terhadap Orde Baru yang semakin lama semakin otoriter.

Wacana Orde baru sangat jelas mempertunjukkan tegangan antara pesan yang harmonis dan tindak bahasa yang bernuansa kekerasan. Contohnya, pidato Soeharto yang menekankan keutuhan, stabilitas, tetapi tindak bahasanya dicirikan dengan kosa kata yang represif seperti “menggebuk” dan “mengamankan” * (yang bisa diwujudkan dengan penculikan, pembunuhan dan seterusnya seperti yang terjadi di 1998). Pidato seperti itu secara langsung bisa menunjukkan bagaimana melalui langgam yang santun imajinasi tentang suasana ideal dihadirkan melalui tindak bahasa yang menyamarkan nuansa kekerasan.

Jadi, sebetulnya critical theory itu sudah dikembangkan oleh teman-teman di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) awalnya, George Junus Aditjondro dan Ariel Heryanto. Mereka sudah membicarakan critical theory. Ariel malah agak kritis terhadap sastra yang waktu itu masih dipenuhi imaji yang indah-indah, dan mengajukan sastra yang bersifat lebih “kontekstual”.

Teman-teman di UKSW itulah yang telah terlebih dulu mengembangkan, melalui kesadaran kritis terhadap wacana secara umum, terutama wacana Orde Baru. Kemudian kita lihat konsep discourse secara umum, yang sebetulnya sudah ada di linguistik. Misalnya, konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dibungkus dalam multikulturalisme Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Itu sebuah wacana. Wacana dalam arti bukan hanya kata-kata, melainkan juga praksis, institusi, dan sarana ideologis lainnya yang menghadirkan kekuasaan. Jadi, ada praksis tentang keragaman, ada institusinya, departemennya, dan TMII sebagai ruangnya.

bagaimana Teori Kritis masuk ke sastra dan berbagai disiplin ilmu. Jadi, sebetulnya tidak sepenuhnya mulai dari sastra. Bersamaan dalam satu era itu, kesadaran kritis kita dibuka. Dengan sendirinya, maka kita juga melihat itu melalui critical theory yang dikembangkan di sastra juga.

 

MARTIN

Jadi urutannya, multiculturalism yang masuk tadi, setelah new criticism, lalu critical theories, kemudian berkembang menjadi cultural studies, baru lalu masuk pendekatan pascakolonial, ya?

 

MELANI

Kritik akademis dimulai dari new criticism di wilayah budaya Anglo Saxon, lalu strukturalisme masuk dari bidang linguistik (de Saussure) dan antropologi (Levi Strauss) kemudian pascastrukturalisme – baik yang mengulik kaitan alam bawah sadar dan bahasa (Lacan), maupun dekonstruksi ala Derrida. Lalu ada new historisisme yang menerapkan pendekatan postruktural dengan mengaitkan sastra, sejarah dan politik. Di Inggris cultural studies berkembang dari Birmingham dengan teori-teori kritis yang beririsan dengan pendekatan postruktural.

Teori poskolonial muncul dari persilangan teori-teori kritis, yang melihat bahwa realitas sosial itu bukan muncul begitu saja, tetapi merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh bahasa. Jadi jika jenis kelamin itu biologis, gender atau norma tentang peran perempuan dan laki-laki, adalah sebuah konstruksi yang disosialisasikan dari keluarga, pendidikan, agama, tradisi dan seterusnya. Setelah tahun 1990an berbagai pendekatan itu masuk tidak secara berurutan – dan bukan berarti yang sebelumnya ditinggalkan.

Pendekatan-pendekatan kritis itu tak bisa tidak juga saling beririsan. Munculnya juga tak bisa dilepaskan dari gerakan untuk menuntut kesetaraan–seperti feminisme, gerakan hak sipil di kalangan kulit berwarna.

Di konteks Indonesia, misalnya, waktu bicara tentang multikulturalisme pada tahun 1996 itu, kita sudah berbicara tentang bagaimana Belanda mewariskan segregasi berbasis ras Indonesia. Ras Eropa diletakkan paling atas, kemudian Timur Asing di lapis kedua dan terakhir Bumiputera. Artinya, l sudah dibahas di situ, bagaimana segregasi dan stereotip antar-ras dibangun oleh kuasa kolonial

Dalam kuliah-kuliah dan penelitian tentang budaya Amerika di kampus di tahun 1992-1996 itu, dan dengan sendirinya ketika kita bicara tentang identitas ras, kelas dan gender, pasti muncul persoalan relasi kuasa. Misalnya, bagaimana kaum WASP (White Anglo Saxon Protestant) itu menjadi penguasa kolonial di tanah airnya sendiri. Dia menjadi ras yang dominan, sedangkan yang terjajah adalah warga kulit berwarna, dan bagaimana perempuan kelas bawah menjadi subjek yang berada di lapisan paling bawah.

Jadi ketika bicara multikulturalisme, pendekatan poskolonial menjadi bingkai kritisnya. Dalam perbincangan seperti itu persilangan isu ras, kelas, gender sebetulnya sudah muncul, jauh sebelum istilah intersectional diperkenalkan baru-baru ini

 

MICHELLIA

Tapi kenapa baru mengembangkannya pada 1996? Bukankah Anda sudah menggunakan pendekatan itu dalam mengerjakan disertasi pada 1987-1992?

 

MELANI

Memang, setelah menyelesaikan studi, waktu saya habis untuk mengajar. Perlu waktu untuk mengembangkan jejaring dan publikasi.

 

ZEN

Dalam konteks zaman itu, yang kelihatan aktif dari paparan Anda memang UI dan UKSW untuk kemunculan studi-studi atau teori baru dalam sastra dan budaya. Apakah ada peran-peran kampus lain, UGM, Udayana, Unpad, apakah mereka ikut menentukan?

 

MELANI

Di Cornell – dan tentunya di universitas lain di mancanegara — banyak dosen Indonesia dari berbagai universitas di Indonesia. Kebanyakan teman-teman yang belajar di Kajian Asia Tenggara di Cornell berasal dari jurusan Antropologi. Pengajar-pengajarnya, antara lain Benedict Anderson dan James T. Siegel, membawa pengaruh yang besar pada alumni. Saya beruntung boleh ikut mengambil kuliah-kuliah mereka juga. Lulusan dari Cornell antara lain Romo Budi Susanto, S.J. mengembangkan kajian poskolonial di Sanata Dharma. Di Antropologi UGM ada P.M. Laksono, dan di Surabaya Dede Oetomo mengembangkan aktivisme budaya untuk membangun kesadaran tentang gender ketiga melalui Gaya Nusantara.

Jadi, mereka yang pulang dari studi mengembangkan teori dalam wujud yang berbeda-beda. Yang berjejaring dengan teman-teman di FIB UI di tahun 2003 untuk mengadakan konferensi Cultural Studies yang pertama waktu itu adalah KUNCI Cultural Studies. Mereka memang bergerak secara informal di luar dunia akademis, mengembangkan cultural studies melalui media. Kami juga mengajak Universitas Kristen Petra di Surabaya. Sementara di Udayana, kajian budaya dikembangkan dengan dua penekanan, yakni aspek wisata yang berorientasi pada yang lebih pragmatis dan critical theory, yang kritis.

 

Kritik Sastra setelah Reformasi

Selepas 2000, di Indonesia berkembang berbagai wacana kritik sastra, arus deras yang masuk dari pengaruh perkembangan serupa di mancanegara. Dari keresahan tentang berakhirnya berbagai teori besar di Eropa, hingga keresahan seputar berteori secara berlebihan (over-theorizing) menggelayut di antara para akademisi sastra ketika itu, dan berlanjut hingga saat ini.

 

MARTIN

Pada 2000-an, di luar negeri wacananya berkembang ke arah After Theory. Ada Terry Eagleton yang membicarakan keresahan tentang berakhirnya teori-teori besar dari Eropa pada 2004. Kita juga pada waktu yang sama banyak berbicara tentang over-theorizing dalam sastra.

Sementara, saya lihat dari kiprah Anda, pada 2000-an, justru tidak masuk ke wilayah teori-teori itu, tapi justru memperkuat cultural studies dari perspektif kawasan melalui jaringan InterAsia. Mencoba membangun paradigma teori sendiri dari realitas kawasan. Itu respons terhadap over-theorizing itu atau bagaimana?

 

MELANI

Iya, over-theorizing itu sampai sekarang masih terus bikin eneg.

Sebetulnya, begini, yang ideal menurut saya jika kita mau membuat sebuah kajian—sebetulnya ini tradisi new criticism barangkali ya—kita bermula dari data atau karya yang dibahas. Dari situ, kemudian dengan bingkai teori yang sudah meresap dalam kepala kita, kita mempunyai kepekaan untuk memunculkan permasalahan yang bersumber dari karya. Ada isu apa, sih, dalam data itu yang membuat kita resah, suatu permasalahan ilmiah yang belum terjawab atau terselesaikan? Mengapa masalah itu muncul, konteksnya apa? Setelah itu, baru kita menentukan bingkai konseptual apa yang bisa dipergunakan untuk memahami permasalahannya.

Kita mulai dari data dulu, lalu baru ada pertanyaan. Misalnya, saat membaca cerpen, kita lihat aspek demokrasinya, tapi ada satu-dua tokoh yang terasa mengganggu, misalnya tokoh kulit berwarna yang munculnya sepintas saja, dan terbungkam dalam narasi. Ada apa di balik penggambaran seperti itu? Ada yang mengganggu. Dari yang mengganggu itu, baru ada praduga. Kemudian baru kita memilih bingkai teoretis, untuk membaca permasalahan itu. Dan kemudian nanti jika kita sudah memproses pemaknaan dengan bingkai konseptual itu, barangkali kita bisa menemukan sesuatu temuan yang baru.

Jadi, caranya bukan sekadar mencocokkan teori. Karena jika begitu, artinya kita hanya memberi ilustrasi untuk menguatkan teorinya saja. Padahal, sebetulnya maksud sebuah pembacaan adalah membangun wawasan baru atau teori baru dari data atau karya yang dibahas..

Misalnya, saat saya membaca terjemahan Julius Caesar itu, saya belum tahu apa yang akan saya temukan. Jadi, saya baca dulu ketiga terjemahan itu, lalu saya temukan permasalahan. Saya baca betul-betul, saya lihat dan dalami. Penemuan saya tentang perbedaan ideologi ketiga teks baru muncul belakangan, setelah saya membongkar semua. Dalam tulisan yang jadi, kesannya seakan-akan saya sudah tahu dari awal, sudah datang dengan argumentasi yang kemudian dipaparkan dalam tulisan. Sebetulnya, dalam prosesnya, saya sama sekali belum tahu mau menuliskan apa. Ceritanya, saya diminta menulis tentang terjemahan. Mau menulis tentang apa, ya? Lalu, saya pergi ke PDS H.B. Jassin untuk mencari terjemahan karya Shakespeare yang pernah dilakukan orang, dan lantas saya menemukan tiga terjemahan itu. Saya baca saja. Belum tahu mau berbicara apa dari sana.

Dari pembacaan atas data itulah, baru kemudian kita menemukan apa yang ingin dibicarakan. Bingkai teori yang sudah mengendap di kepala kita kemudian dapat berfungsi menjadi kacamata konseptual untuk menemukan permasalahan. Ketika kita melihat data, kacamata itu bisa membantu membaca persoalan. Jadi, bukan sebaliknya, “Ah, saya mau bikin tulisan dengan teori ini.” Lalu, baru mencari-cari teksnya. Itu yang sangat meresahkan, jika hanya mengambil teks dan kemudian teksnya dicocokkan dengan teori. Apalagi, orientasinya jadi teori Barat semua yang diaplikasikan pada “data lokal”.

 

ZEN

Yang Anda sebutkan tadi, soal memperkuda atau mencangkokkan teori-teori terhadap teks sastra, sampai sekarang bukankah masih terjadi pada tulisan atau paper akademis?

 

MELANI

Memang. Masih. Karena apa?

Karena dalam format tesis, disertasi, dan penelitian ilmiah memang harus ada kerangka teori, metodologi dan seterusnya. Saat saya menulis disertasi di Amerika Serikat, formatnya lebih lentur, jadi, saya bisa bermain-main dengan lincah saja membumikan teori tanpa berpanjang lebar menguraikannya.

Akibatnya ada kecenderungan untuk mendewakan teori di atas segalanya. Lalu teori itu semua datang dari Barat, yang kemudian diaplikasikan pada data lapangan—atau pada teks. Sebetulnya, ada cara untuk menyiasatinya, yakni dengan mendialogkan teori dengan data sedemikian rupa, justru untuk melihat ketidaksinkronan—sehingga bisa muncul temuan baru.

Satu contoh, saya membimbing mahasiswa dari Jurusan Ekonomi. Dia mendiskusikan perkumpulan moge (motor gede), Harley Davidson. Dia menggunakan teori habitus dan field dari Bourdieu. Jadi, ada suatu ruang (atau lapangan) pemetaan (field) untuk memosisikan subjek dalam persilangan koordinat dua modal atau kapital yang berbeda yakni, modal ekonomi, dan modal budaya/sosial. . Dia membuat pemetaan itu untuk melihat sistem “kepangkatan” atau hirarki dalam organisasi perkumpulan moge di Indonesia. Pada akhirnya, dia mengalami kesulitan. Saya bilang, bagus. Karena apa, karena kalau di luar negeri, symbolic field itu sangat tertata melalui struktur sosial yang dibangun beratus tahun. Symbolic power, economic power, atau capital dibangun secara bertahap berbasis kelas. Sementara di Indonesia, banyak praktik jalan pintas untuk “naik pangkat”–walau untuk sementara. Motor dan batch atau tanda kepangkatan serta seragam bisa disewa. Jadi tidak perlu harus merangkak bertahun-tahun untuk naik pangkat. Karena Indonesia tidak sama dengan konteks habitus di Eropa, maka ada persoalan jika ingin menerapkan teori Bourdieu.

Mahasiswa itu kemudian menyadari bahwa di Indonesia teori Bourdieu itu tidak bisa serta-merta berlaku, karena ada berbagai hal yang berbeda. Contoh lain adalah musik punk di Indonesia. Beberapa Punkers dari Indonesia sempat terkejut ketika mengalami rasisme di perhelatan punkers Eropa. Tradisi Punk Inggris itu bermula dari gerakan anak muda kulit putih, kelas menengah bawah, yang memberontak norma-norma budaya dan anti kemapanan. Mereka juga resah karena merasa harus berebut ‘remah-remah’ lowongan pekerjaan dengan imigran kulit berwarna. Sebaliknya, di Indonesia kita dapat menemui Punkers dari Bekasi yang bukannya anti pemerintah seperti di Inggris, tapi justru sangat nasionalis, memimpin anak-anak kampung menyanyikan “Indonesia Raya”, membersihkan sampah di Kali Ciliwung. Konteks punk di Indonesia dan Inggris berbeda sekali.

Justru keruwetan Indonesia ini bagus, karena membuat theorizing menjadi rumit, perlu didialogkan dengan konteks budaya lokal. Itu sebabnya pendekatan InterAsia menurut saya menyehatkan, membuat saya senang, karena mereka juga bersoal dengan hal yang sama. Mereka bukan anti-teori, tetapi mendialogkan teori dengan cara membuat acuan-lintas kawasan.

Kuan-Hsing Chen dengan Asia as Method, buku sucinya, mengatakan bahwa kita sebagai orang Asia, yang hidup dalam dunia berbeda dengan dunia Utara. Modernisasi, pengaruh Barat tak bisa tidak sudah menjadi bagian dari realitas Asia. Tetapi, jika kita mau membicarakan kondisi masyarakat kita, kita tidak bisa mengambil teori dan dicocokkan begitu saja. Kita perlu mendialogkan teori—seperti yang dilakukan oleh mahasiswa saya yang meneliti tentang moge itu—dengan kondisi yang ada di Indonesia. Menggunakan referensi yang disebut inter-referensi, referensi lintas, dengan kondisi-kondisi yang lebih mirip di Asia, di India misalnya, dengan pemikiran berbasis pada kondisi di Asia.

Kuan-Hsing, misalnya, membahas teori masyarakat madani yang berkembang di Eropa. Konsep masyarakat madani atau civil society di Eropa itu jelas, di luar negara, di luar bisnis, dan di luar agama. Di Eropa, agama adalah persoalan pribadi, bukan wilayah publik. Kuan-Hsing melihat di Taiwan, klenteng ikut berperan dalam Masyarakat madani. Ini tidak cocok dengan konteks Eropa. Jadi, dia memberi contoh, ketika berbicara tentang masyarakat sipil di Taiwan, dia mendiskusikannya dengan konsep Political Society dari Partha Chatterjee yang menyorot gerakan politik masyarakat terpinggirkan di India. Pendekatan seperti itu sangat menarik bagi saya. Dalam kajian seperti itu aktivisme budaya, sastra, dan ekonomi, politik saling terkait.

 

Momen dalam Perkembangan Intelektual

Ada dua momen yang terkait dengan perkembangan intelektual Melani yang disampaikannya pada 16 Desember 2023 saat Melani memberikan pidato di Mimbar Perempuan di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta, tempat diselenggarakannya Kongres Perempuan I 95 tahun lalu. Acara yang dibuat oleh Sekolah Pemikiran Perempuan ini merefleksikan perkembangan pemikiran perempuan—dan sekaligus merefleksikan bagaimana isu kekerasan berbasis gender berimbas dalam perkembangan intelektual Melani.

 

MICHELLIA

Bisa ceritakan momen-momen penting dalam perkembangan intelektual Anda?

 

MELANI

Peristiwa pada 1998 dan 2016 adalah momen yang membangun kepekaan saya pada isu gender yang menjadi salah satu bingkai penting dalam tulisan dan kajian saya. Pada 1998 itu, saya ingat persis baru pulang dari Teater Utan Kayu, tanggal 13 Mei, seusai membahas Saman karya Ayu Utami. Di jalan pulang, suasana sangat lengang, sehingga muncul rasa was-was bagi saya. Saya baru tahu kemudian apa yang terjadi. Perkosaan massal di tengah kerusuhan Mei itu sangat mengerikan. Yang membuat lebih prihatin, generasi muda sekarang banyak yang tidak tahu atau melupakan peristiwa itu. Di situ karya sastra untuk membangun ingatan bersama. Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Karya itu sangat penting walau tidak menguak yang terjadi pada lebih dari seratus perempuan Tionghoa. Ada karya lain, misalnya, serial Sekuntum Nozomi karya Marga T yang mengungkapkan peristiwa itu dengan nada yang serasa “mati-rasa”.

Tahun 1998 juga merupakan momen ketika saya mulai terhubung dengan jejaring intelektual aktivis inter-Asia. Di akhir 1998 saya mempresentasikan paper “Globalization and Discourse of Cultural Identity”, yang kemudian dipublikasikan di edisi pertama Jurnal Inter-Asia Cultural Studies. Artikel itu mengangkat wacana dikotomis “Kami-Mereka” di era pasca kerusuhan, 1998, memuat potret McD Sarinah yang diselubungi tulisan “milik pribumi”.

 

MARTIN

Lalu, peristiwa apa yang terjadi tahun 2016?

 

MELANI

Di tahun 2016 itu sedang ramai orang berbicara tentang LGBT-Q, Di FISIP UI ada Support Group & Resource Center on Sexuality (SGRC) yang menyediakan ruang yang aman dan nyaman untuk orang-orang berbicara tentang seksualitas. Tapi ada potongan diskusi yang dibocorkan ke media sosial, dan menjadi viral.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada saat itu merespons dengan mengatakan bahwa “sebaiknya LGBT tidak masuk kampus”. Anggota DPR dan seluruh kekuatan konservatisme muncul serentak dari berbagai penjuru. Sebagai orang yang menekuni cultural studies, gender, pascakolonialitas, saya kehilangan suara.

Saya sempat berkonsultasi dengan Dede Oetomo. Dia bilang, “Tiarap saja dulu. Sebab, kalau semakin lantang, akan semakin menjadi-jadi reaksinya.” Reaksi itu merembes ke mana-mana. Bahkan sopir taksi bertanya, “Jadi di UI ada LGBT, ya?” Mereka melihat orientasi gender yang berbeda seperti penyakit menular. Mahasiswa yang terdampak tentu mengalami ketakutan dan kekhawatiran. Sehari sebelum saya bicara di Mimbar Perempuan, di UGM sedang terjadi juga peristiwa serupa dengan tahun 2016 itu.

 

MICHELLIA

Iya, di Fakultas Teknik ada pengumuman bahwa tidak boleh ada aktivis yang mendukung LGBT di sana. Dosen-dosen Fisipol dan berbagai jurusan di UGM banyak yang menolak itu, jadi memang lumayan ribut kemarin.

 

MELANI

Ya, itu, banyak mahasiswanya yang stres menghadapi kebijakan represif seperti itu.

 

MICHELLIA

Sementara memang belakangan ini di sastra banyak berkembang pendekatan intersectional dan queer theory, mungkin, ya?

 

MELANI

Iya, itu sangat ironis. Di satu sisi masyarakat kita konservatif. Jadi, jika berbicara tentang teori-teori queer, rasanya apa, ya? Dunia terasa bipolar.

 

MARTIN

Teorinya ke mana, kenyataannya ke mana, ya…

 

MELANI

Iya. Karena itu, terus terang saja saya lebih suka bekerja dengan teman-teman jejaring kampung. Sewaktu saya stres menghadapi peristiwa-peristiwa itu, Maria Darmaningtyas, teman dari IKJ menyarankan, “Bergabung saja dengan teman-teman dari Jaringan Kampung Nusantara” Jadi, saya dimasukkan ke dalam grup WA mereka, yang dikelola oleh Redy Eko Prasetyo dan kawan-kawan. Mereka berasal dari latar belakang bermacam-macam, seniman tari, musik, kepala desa, penggerak literasi. Orientasi budaya dan ideologi bisa berbeda-beda, tetapi di sana tidak ada polisi moral yang dogmatis. Yang penting, kerja budaya apa yang bisa kita dukung bersama? Suasananya cair, dan santai.

Pada 2016 itu, tertekan sekali, saya betul-betul merasa kehilangan semangat kerja. Ketika saya bergaul dengan teman-teman Jaringan Kampung, akhirnya saya memperoleh ruang yang lebih terbuka dan bebas. Melalui kegiatan budaya di berbagai desa dan kampung, saya menemukan sastra dalam bentuk keseharian.

 

Kritik Sastra di Luar Kampus

Berbagai platform dan forum, ruang-ruang baru berkembang di luar kampus, untuk mengisi kekosongan kerja-kerja kritik sastra. Melani membicarakan tentang peran komunitas atau kelompok kecil di luar kampus, kehadiran forum baca atau taman baca, termasuk juga peran penerbit dan kerja-kerja seorang penyunting sastrawi (literary editor), serta komunitas sastra di luar kampus dalam mendorong interaksi bersastra yang lebih luas di tengah masyarakat.

 

ZEN

Tadi kita sudah bicara banyak sekali tentang peran Anda di kampus dan perkembangan teori keilmuan yang Anda pelajari. Jadi, sekarang misalnya, katakanlah Anda bergeser sedikit ke luar kampus dan melihat situasi kritik sastra saat ini, seperti apa? Baik itu yang dikerjakan oleh kalangan akademis maupun oleh para sastrawan sendiri yang coba menumbuhkan itu.

 

MELANI

Ketika new criticism berkembang, diskusinya memang antara Ganzheit dan aliran Rawamangun. Diskusi itu menarik, polemik seperti itu perlu. Tetapi pada saat itu penulisan kritik masih bersifat longgar. Pada perkembangannya, penelitian sastra di ranah akademik dituntut untuk memakai teori dan metodologi yang lebih ketat dan sistematis.

Maka, kita memproduksi tesis-tesis dan skripsi yang berbeda dengan kritik sastra di ruang public di zaman H.B.Jassin. Maka, dua macam jenis: kritik sastra yang sifatnya ulasan, apresiatif dan kritik akademis. Mulai ada jarak antara keduanya. Kadang-kadang, kemudian, kritik akademis ini masuk juga ke ruang-ruang media umum. Padahal format dan audiensnya berbeda,

 

ZEN

Artinya sebaiknya diedarkan seputar kampus saja?

 

MELANI

Tentu perlu berputar di kampus, dan di khalayak ilmuwan sastra. Jika ingin membawanya ke khalayak umum, cara menyampaikannya tidak perlu dipenuhi jargon dan teori. Ketika saya membaca God of Small Things karya Arundhati Roy, tentu di kepala saya ada bingkai konsep poskolonial, tapi ketika membuat kata pengantar novel itu, saya bisa langsung menunjukkan bagaimana aspek pascakolonial bermain di dalam novelnya. Kita tidak perlu mengumbar teori dan jargon-jargon ilmiah dengan paparan metodologi seperti laporan penelitian ilmiah.

Saya ingat, kami dewan juri pernah bingung memilih esai terbaik dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007, karena ada kecenderungannya semacam itu. Tapi pada akhirnya kita biarkan saja berbagai ragam kritik itu untuk saling berdampingan. Memang hal semacam itu muncul, imbas dari kajian akademik yang terlalu teoretik. Bukan artinya tidak boleh menggunakan teori, tapi formatnya saja mungkin dibuat lebih ramah pembaca.

Perkembangan yang lain adalah hilangnya sosok seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin sebagai tolok ukur, untuk tahu seseorang sudah pantas disebut sastrawan. Setelah Reformasi, ada demokratisasi dalam kritik sastra. Lagi pula, siapa yang sanggup mengambil alih posisi Jassin? Mungkin bukan tidak ada yang mau, tetapi tidak punya waktu. Pengajar di zaman ini disibukkan dengan tuntutan administrasi, pengabdian Masyarakat, penelitian, publikasi ilmiah. Jadi setelah Teeuw dan Jassin tidak ada, memang terasa ada kevakuman. Tapi, justru kritik dari bawah bergeliat. Orang mulai menulis blog tentang karya sastra, sudah tidak takut salah menafsir. Memang ada anggapan bahwa, nilai kritik jadi tidak terstandardisasi. Kita tidak tahu mana kritik yang bisa didengarkan, mana yang kurang berkualitas. Tapi, saya kira, melalui proses demokratisasi ini kematangan pembaca dengan sendirinya juga berproses.

Untunglah ada lembaga-lembaga yang menyelenggarakan sayembara dan memberi penghargaan karya sastra terbaik, seperti DKJ dan Kusala Sastra Khatulistiwa. Semua itu berfungsi sebagai kritik juga. Jadi, ada demokratisasi di ruang publik, ada kritik-kritik yang sifatnya kritis. Itu semua membangun keragaman jenis kritik yang ada di Indonesia. Dari tulisan blog yang sangat informal sampai penelitian akademis yang penuh-teori dengan format yang kaku, dan ada pula yang berada di antaranya. Heterogen. Plural. Beragam.

Saya kira saya sangat mengapresiasi yang dibuat oleh tengara.id, karena membangun suatu tradisi yang berada di tengah. Tengara membangun tradisi untuk kritik sastra yang sehat. Kita bisa bicara validasi tafsirnya berbasis pada orang boleh berdialog, berdiskusi. Ruang-ruang seperti itu kita perlukan lebih banyak lagi.

Saya teringat juga, salah satu kelemahan dalam sistem kritik sastra yang ada—yang saya juga ikut bersalah—kalau ada launching buku, sebagai pembahas kita agak sulit mengkritik atau menunjukkan kekurangan buku bersangkutan.

 

ZEN

Masak mau melancarkan kritik sastra di peluncuran buku, ya…

 

MELANI

Benar. Kemudian, juga blurb untuk karya teman-teman pengarang. Kita juga tahu bagaimana teman-teman sastrawan berjuang untuk membangun rasa percaya diri. Kita ingin menumbuhkan rasa percaya diri itu, jadi tidak bisa serta-merta menguliti karya secara kritis. Kita terus mencari ruang agar kita bisa terus mengkritik, tetapi tidak menjatuhkan.

 

MICHELLIA

Kritik yang konstruktif, ya.

 

MELANI

Benar. Satu ruang yang saya kira masih kurang adalah bagaimana membangun ekosistem kritik sastra. Yang sedari tadi kita obrolkan adalah bagaimana membuka ruang kritik sastra, membangun ekosistem kritik sastra. Satu, dari akademis. Tadi sudah kita bahas. Kedua, dari tatanan yang lain, di luar kampus. Ada penjurian, ada kritik sastra informal, ada media seperti tengara.id. Jadi, soal bagaimana kita membangun sebuah ekosistem kritik sastra yang hidup, yang sehat, yang bergairah. Tentu pendidikan di kampus penting. Pendidikan di sekolah menengah, membaca sedari awal itu penting. Sekarang di era digital ini, mahasiswa bahkan mengalami kesulitan menyelesaikan satu novel saja. Seringkali mereka harus dipaksa untuk membuat log book proses membaca. Itu pun tidak tuntas. Menyedihkan.

 

MICHELLIA

Masalah attention span, ya.

 

MELANI

Begitulah. Ini soal bagaimana kita menumbuhkan kembali, menjaga semangat membaca. Mungkin bisa membaca dari platform digital, kalau tidak bisa buku cetak. Minat baca dan gairah membaca mulai dari kecil anak-anak itu tetap dijaga. Juga ekosistem dalam pendidikan, akademis, media, dan penerbit. Dari penerbit, itu yang masih memprihatinkan menurut saya.

 

MICHELLIA

Bagaimana itu, memprihatinkannya?

 

MELANI

Dulu saya pernah menjadi editor Penerbit Indira, yang menerbitkan komik Petualangan Tintin. Selain menerjemahkan komik Tintin, Indira menerbitkan Dua Manusia, karya Jasso Winarto. Saat itu sebagai editor, ada proses berdialog, menanyakan kepada pengarangnya jika saya tidak memahami logika narasi, atau menemukan kalimat yang kurang jelas. Proses revisi dilakukan sampai kemudian ketika naskah itu jadi, penulisnya senang, dan saya puas sebagai editor.

Sekarang ini, saya lihat peran literary editor kurang. Karena, sering kali penerbit sekarang berfungsi hanya sebagai broker penerbitan. Saya pernah satu kali diminta oleh penerbit, untuk memberi sambutan di acara peluncuran buku penulis yang terkenal. Ya ampun, buku itu dipenuhi dengan salah cetak, bahkan salah tulis nama tokoh. Tentu kurang enak hal ini untuk ditampilkan. Tapi, ketika itu, saya menanyakan, “Ini editornya mana? Kok tidak bekerja?” Mungkin karena pengarang dianggap sudah terkenal, jadi karya itu langsung dicetak saja.

Ketika membaca karya beberapa sastrawan, terkadang saya merasa, bahwa jika diedit sedikit saja, karya tersebut bisa jadi jauh lebih bagus. Jadi semestinya ada semacam proses review. Sayangnya, dalam konteks karya mereka, proses literary editing tidak terjadi. Karena apa? Mungkin karena mahal. Mereka mungkin mesti menghemat—jika dilihat dari perspektif ekonomi. Sementara di luar negeri, novela The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway itu diedit oleh Maxwell Perkins, dengan kerja yang luar biasa. Dari panjang berapa ratus halaman. Para editor sastra memang bekerja dengan tidak terlihat, di balik layar, tapi prosesnya dikerjakan sangat serius untuk menghasilkan karya yang prima.

Dulu saya pernah ngobrol dengan Frans Meak Parera dari Kompas, yang sekarang sudah meninggal, “Bagaimana kalau kita bikin sekolah, ya? Sekolah khusus seperti IKJ, sekolah editor, khusus untuk editor sastra. Jadi, soal bagaimana dia mengolah naskah, melakukan review, mendialogkan perbaikan, langsung dengan pengarangnya.” Menurut saya, profesi literary editor ini belum berjalan di Indonesia. Mungkin karena di pemerintah pun nomenklaturnya tidak ada. Yang ada hanya editor, itu pun hanya copy editor, yang kadang-kadang tidak melakukan tugasnya juga.

Jadi, ekosistem untuk peningkatan kualitas karya sastra itu perlu dibangun. Dibangun dari mana? Bisa dengan kerja sama dengan penerbit, atau dengan DKJ, melalui lokakarya untuk literary editor.

Kemudian, soal pembaca. Siapa yang menggarap pembaca? Semua orang ingin bersastra, tapi tidak pernah menggarap pembaca. Pembaca harus digarap. Pembaca harus disiapkan. Kita menulis buku untuk siapa? Kalau tidak ada yang membacanya, bagaimana? Dulu, Richard Oh dan Toko Buku Aksara pernah menyelenggarakan acara itu, dan saya pernah diundang menjadi pembaca dalam reading club. Mereka setiap bulan sekali membaca satu novel. Ada satu orang yang menjadi pemantik. Itu contoh menggarap pembaca. Toko buku juga tidak banyak yang menggarap pembaca, hanya menjual yang sudah laris saja.

Saya baru mendengar dari paparan Ratna Riantiarno di peringatan 100 hari meninggalnya Nano Riantiarno, bagaimana Teater Koma di masa-masa awalnya membangun audiens. Mereka pergi “dari pintu ke-pintu” untuk meminta orang menonton, meminta anggota Teater Koma untuk masing-masing mendatangkan penonton, baik tetangga, atau kenalan. Mula-mula penonton yang tidak terbiasa masuk ke teater, datang karena “setengah dipaksa”—tetapi pada gilirannya mereka ketagihan. Sekarang orang cenderung kehabisan tiket kalau Teater Koma pentas.

 

Menjelajahi Budaya Populer

Ruang-ruang akademis dan para pegiat kritik sastra di kampus telah banyak melakukan penelitian tentang ekosistem sastra yang lebih luas—tidak melulu mengerjakan kajian karya sastra per se, tetapi juga menjelajahi berbagai bentuk alih wahana, dari film hingga game, atau topik-topik terkait konsumsi karya sastra dan resepsi pembaca.

 

MICHELLIA

Beberapa klub buku, dan toko buku, misalnya POST Pasar Santa menggarap itu. Suasananya cukup akrab dan intim, dengan satu-dua pembicara dan belasan khalayak pengunjung. Hanya saja memang hasil pembacaan itu tidak dituliskan, hanya obrolan yang berakhir dalam diskusi. Jadi, tidak bisa kita akses, ya.

 

MELANI

Perlu, mungkin memang tidak harus berupa ulasan. Mereka bisa membuat ulasan dalam video YouTube saja, misalnya, karena sekarang cara membaca mereka juga berbeda. Mungkin juga dibuat obrolan dalam bentuk audiovisual, karena tradisi membaca sudah bergeser. Kita mengikuti perkembangan sambil mengintervensi secara proaktif. Tapi memang butuh investasi ke arah sana. Siapa yang akan mendanai investasi ini? Sebetulnya toko buku. Tapi, banyak toko buku juga yang tutup, atau bergeser, lebih menjual alat tulis.

 

ZEN

Negara semestinya bisa turun tangan soal itu, lewat Ditjen Kebudayaan.

 

MELANI

Kita tidak bisa sepenuhnya mengharapkan pada pemerintah. Kita punya komunitas-komunitas sebetulnya yang sudah bergerak dengan cara mereka sendiri.

 

ZEN

Banyak komunitas di daerah yang tumbuh dan bergiat menyelenggarakan obrolan buku.

 

MELANI

Ya, saya harus mengapresiasi bahwa lanskap bersastra sekarang ditopang oleh komunitas. Komunitas berperan sangat penting, karena mereka mengisi bermacam-macam ruang. Keragaman sastra kita sangat luas—dari sastra anak sampai fan fiction, jangan lupa, fan fiction itu luar biasa. Saya melihat anak-anak SMP-SMA sekarang, bisa menulis sampai enam buku. Ratusan halaman. Gila tidak? Kita mungkin tidak pernah mendengar nama mereka.

 

MICHELLIA

Ya, jutaan juga pula duitnya. Setiap bab dibaca, misalnya dibuka dengan harga seribu rupiah, satu buku dibaca ratusan pembaca, lumayan sekali royaltinya. Saya mengikuti beberapa sistem Wattpad, Storial, Kwikku, dan lainnya.

 

MELANI

Ya, mereka bikin ratusan halaman. Kadang-kadang satu cerita bersambung dikerjakan bersama, bukan lagi karya tunggal. Dikerjakan bersama, tiga-empat orang, saling berotasi, melanjutkan bab-babnya, semacam omnibus. Jadi, memang, dunia sastra kita sangat majemuk. Bagaimana kita menggapai mereka? Saat ini kita tidak menggapai mereka.. Mereka hidup di dunia mereka sendiri. Mereka rata-rata juga menulisnya dalam bahasa Inggris.

 

MICHELLIA

Ya, mereka membuat webtoons juga, dalam bahasa Inggris.

 

MELANI

Dan mereka tidak membaca apa yang kita tulis. Tidak tersambung. Jadi, bagaimana membuat jembatan-jembatan, momen-momen pertemuan, itu penting.

 

MICHELLIA

Kalau di dunia akademis sendiri, seberapa banyak kritik sastra terhadap karya-karya populer dan penulisan dalam medium platform ini?

 

MELANI

Di Program Studi Ilmu Susastra dan Sastra Inggris, bahkan kami meneliti karya yang tidak harus teks atau karya tertulis. Mahasiswa dapat meneliti film, alih wahana, game. Game, kan menggunakan narasi, cerita. Dan game itu kompleks sekali. Jadi ada narasi, plotnya, tokohnya, strukturnya. Sekarang berkembang game theory dan seterusnya. Tugas akhir mereka dapat mengenai lifestyle, konsumsi, resepsi pembaca. Dalam pembicaraan ranah akademis, bukan hanya soal pemahaman teks atau proses produksi, saja, tapi soal bagaimana teks dibaca, bagaimana teks direproduksi kembali dengan medium berbeda. Bahkan kajian tentang komentar para pembaca juga bisa menjadi satu tesis tersendiri.

Yang menarik—ini perlu saya sampaikan juga—saya baru mengetahui dari mahasiswa saya, tentang proses mereka sampai pada karya sastra. Saya tanya dari mana mereka mendapat topik untuk mengulas karya yang mereka pilih. Ternyata, bukan seperti saya yang memulai kajian dari membaca karya. Saya mendapati bahwa mereka justru berawal dari game.

Ada yang mengatakan begini, “Saya mengenal tokoh ini dari sebuah video game. Setelah saya kenal tokoh ini dari video game, saya tertarik pada tokoh ini, lalu saya lihat ada filmnya. Saya tonton filmnya. Setelah nonton filmnya, saya lihat caption dalam credit title di film itu, ternyata filmnya bersumber dari buku. Setelah itu, saya baca bukunya.” Jadi, baginya, buku itu adalah terminal terakhir. Buku itu dia peroleh dari game. Urutannya: game, film, buku. Dalam bayangan saya, mereka pertama-tama membaca buku, lalu melihat alih wahana buku itu ke film, dan dari film ke game. Saya tidak membayangkan bahwa prosesnya terbalik. Tapi itu terjadi dan itu adalah bagian dari dunia kritik sastra kita. Kita tidak bisa menabukan itu.

Kalaupun nanti kita membuat novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya yang kompleks itu menjadi game, boleh saja ya, dari game, lalu jadi film. Sekarang banyak orang mengetahui Bumi Manusia dari filmnya. Tidak ada masalah. Akhirnya, mereka tertarik untuk membaca bukunya setelah menonton filmnya. Artinya, alih wahana menjadi bagian dari kritik sastra.

Sekarang banyak sekali yang melakukan kritik alih wahana. Jadi, mereka melihat bukan keaslian lagi, bagaimana sebuah karya alih wahana itu jauh atau dekat dari versi buku, bukan. Tapi soal bagaimana genre yang berbeda ini mengolah narasi yang sama dengan cara yang sama sekali berbeda, membangun dunia yang berbeda. Lalu, apa yang masih bisa didialogkan dari tiga hal yang berbeda ini? Menurut saya, itu menarik, karena itu relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Sastra harus tetap relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.

 

Kembali ke Masa Awal

Melani mengakui bahwa suatu teori belum tentu berlaku secara mutlak. Ada berbagai situasi dan latar belakang berbeda yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti atau kritikus sastra dalam melakukan kerja kritik. Terkait ini, Melani menekankan pentingnya untuk melakukan dialog atau “mendialogkan teori” dengan data yang diperoleh, bukan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh suatu teori, tetapi berusaha juga untuk mencari celah atau menemukan apa yang kurang dari teori tersebut. Ia juga menekankan pentingnya penelusuran kembali karya-karya sastra terdahulu, melakukan kerja seorang sejarawan sastra, dan mengambil peran-peran yang diperlukan untuk mengembangkan ekosistem sastra.

 

MICHELLIA

Tadi Anda menyebut bagaimana sebenarnya teori bisa tidak cocok dengan keadaan kita di Indonesia. Anda menegaskan perlunya berdialog dengan teori. Artinya, sebenarnya kita punya potensi untuk membuat teori kita sendiri. Apakah di ranah akademis kita ada upaya untuk membuat atau mengajukan teori sastra sendiri?

 

MELANI

Belum ada yang sama sekali baru. Biasanya hanya mendialogkan. Mendialogkan dengan kondisi yang ada, mengabstraksikan dengan cara berbeda. Kita tidak bisa mereka langsung, harus ada teori apa. Kita harus berproses, dari apa yang kita lihat, apa yang kita alami. Bagaimanapun, sastra Indonesia modern ini memang produk modernitas. Produk dari hikayat, segala macam. Dalam konteks ini Badan Bahasa pernah melakukan penelitian tentang cerpen di buku dan majalah yang terbit pada akhir abad ke-19. Menarik sekali. Saya membantu Badan Bahasa membuat antologi hasil penelitian ini. Dalam satu majalah ada hikayat, salinan atau transkripsi dari naskah lama, terjemahan cerpen Prancis, dan ada cerita Cinderella versi Tionghoa. Ha, ha, ha. Semua jenis itu terhimpun dalam satu majalah, genre sastra dengan kemajemukan yang luar biasa.

 

ZEN

Majalah apa itu, ya?

 

MELANI

Majalah Çahabat Baik (1891, Betawi) yang terbit dengan 7 nomor, dengan editor Tunggal Patmo di Soerijo.

Itu hanya salah satu majalah, di antara majalah-majalah yang terbit sebelum 1920-an. Di antaranya ada Bianglala (1868) yang kemudian berlanjut menjadi majalah Bintang Djohar (1873, Betawi) dan lainnya. Dari penelusuran cerpen yang terbit di majalah dan buku berseri dihimpunlah antologi 20 cerpen yang diterbitkan oleh Badan Bahasa dengan judul yang diambil dari salah satu cerpen, yakni Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Periode Awal (1870-an – 1910-an ). Cerpen paling awal diambil dari majalah Bintang Johar tahun 1873. Selain 4 cerpen dari majalah Çahabat Baik, dipilih 7 cerpen dari Boekoe Tjerita Warna Sari jilid kedua yang diedit oleh H.F.R. Kommer, lalu 9 cerpen dari majalah penerbit Melayu Tionghoa Penghiboer dan Bok Tok. Seperti yang disebutkan oleh editor Boekoe Tjerita Warna Sari, karya yang dipublikasikan tidak dipandang sebagai sastra adiluhung, tetapi sebagai “roepa-roepa tjerita jang indah-indah”. Tidak ada asumsi orisinalitas dalam konsep cerita di situ. Sumber cerita bisa dari tradisi lisan, saduran atau adaptasi cerita terjemahan, yang kemudian diceritakan kembali. Jadi dari situ saya menamakan sosok pengarang zaman itu sebagai “tukang cerita lintas budaya”.

 

MICHELLIA

Jadi, dari sana Anda terpantik untuk meneliti kesejarahan sastra kita?

 

MELANI

Di sana saya melihat keragaman dan persilangan budaya yang menarik. Sebelum masuk konsep kesusastraan modern, karya yang ada sangat ramai dengan keragaman jenisnya, dan aspek kelisanannya sangat kuat.

Modernitas masuk ke Indonesia sekaligus di saat bersamaan, campur baur. Itu terjadi juga dalam seni rupa. Dalam seni rupa Eropa, surealisme itu periodenya sebelum seni rupa kontemporer. Di seni rupa kontemporer Indonesia, yang bergaya surealis seperti Lucia Hartini, serta yang bergaya realis, naturalis, hyper realis, abstrak bisa muncul di satu masa yang sama. Ini berbeda dengan periodisasi seni dan sastra di Eropa. Di masa kolonial, pengaruh berbagai aliran Eropa itu masuk bersamaan, bercampur dengan ragam sastra tradisional, dan sastra lisan. Di periode awal, kita melihat pluralitas itu. Makin lama, makin ke sini, ada penyaringan sesuai kaidah sastra modern dengan format fiksi berbentuk cerpen, novel, dan drama,

Majalah-majalah di periode awal memuat cerpen yang dalam istilah kita sekarang mungkin bukan cerpen. Ada cerita sehari-hari, slice of life, anekdot-anekdot, cerita mistik, cerita hantu. Begitu masuk genre cerpen modern, ada struktur yang menuntut kaitan tokoh, latar dan alur yang lebih terstruktur. Periode awal menarik karena campur aduk itu, tanpa kategori sastra adiluhung atau yang keseharian. Ragam bahasanya pun berbeda-beda.

 

ZEN

Itu karena otoritas redaktur juga, yang menentukan karya mana yang layak diterbitkan.

 

MELANI

Dari otoritas pemerintah kolonial yang memakai terbitan Balai Pustaka dalam bahasa Melayu tinggi sebagai standar, karya-karya yang beragam itu disebut “bacaan liar”, termasuk terbitan karya Melayu Tionghoa.

 

MICHELLIA

Jadi, terkait membuat metode atau teori versi kita sendiri, Anda menawarkan supaya kita melakukan pembacaan ke sastra pra-Indonesia, karya-karya sebelum 1920 itu?

 

MELANI

Ya, kita harus membaca ulang karya-karya sastra lama kita. Jika bisa, melakukan pembacaan ulang dengan meletakkan pada konteks sejarahnya, dan didialogkan dengan berbagai teks yang lain. Misalnya, roman dari era 1920, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dapat dibandingkan dengan karya sastra Melayu Tionghoa yang topiknya serupa. Salah asuhan, tapi salah asuhan yang berbeda. Salah asuhannya karena apa? Dalam karya-karya Melayu Tionghoa, pola salah asuhannya. yang pria karena gila judi dan madat, dan yang perempuan karena pergaulan bebas.

 

ZEN

Dalam karya Melayu Tionghoa ada cerita tentang pergundikan. Juga, tokoh-tokoh yang gila judi dan mabuk madat.

 

MELANI

Ya, begitu. Kita membaca karya periode itu, Salah Asuhan didialogkan dengan karya-karya di luar Balai Pustaka. Kan, seru. Ada banyak model salah asuhan ketika itu, dengan akhir cerita yang berbeda-beda. Menarik itu.

 

MICHELLIA

Jika kita memberikan label atas teori atau metode pembacaan kita pada karya-karya ketika itu, sebaiknya disebut apa? Iseng-iseng disebut karya sastra tempo doeloe, seperti yang dilakukan Pramoedya?

 

MELANI

Tidak usah menggunakan teori atau label, tetapi bisa mengabstraksi penemuan dari data yang ada, seperti konsep sastrawan era sebelum 1920-an sebagai “Tukang Cerita Lintas Budaya” di atas.

Keterlibatan saya dimulai ketika diajak oleh Sapardi untuk membantu Badan Bahasa. Kurang-lebih dia bilang begini, “Kita bikin sejarah sastra, yuk. Bikinnya beda. Bukan seperti Jassin dengan Angkatan 1966 dan sebagainya. Kita petakan saja setiap satu dekade, ada karya apa saja dalam periode itu.” Kami kemudian melakukan pembacaan atas sastra Indonesia periode awal yang hasilnya termuat dalam antologi Nona Kulit Kucing. Setelah itu, kami melakukan pembacaan atas karya era 1920-an. Kemudian, periode 1930-an, dan seterusnya. Sayangnya, Badan Bahasa hanya mencetak antologi dalam beberapa eksemplar, karena mereka tidak boleh menjual buku. Mungkin mereka dapat membuat versi digitalnya.

 

MARTIN

Bisa dijadikan korpus penelitian itu.

 

MELANI

Seru itu. Tapi, ya, ada keterbatasan anggaran.

Waktu itu anggaran Badan Bahasa hanya memungkinkan untuk melakukan fotokopi cerpen dalam jumlah tertentu saja. Penelusuran dilakukan terutama di Perpustakaan Nasional. Ketika melakukannya, kita akan sedih sekali. Koran-koran era 1920-an sudah lapuk. Bagaimana kita meneliti dengan keadaan koran yang renta itu? Harusnya semua sudah didigitalisasi. Sayang sekali, banyak juga koran dan majalah yang kini sudah tidak ada. Saya ingat bagaimana berdebar-debar menyentuh lembar-lembar koran dan majalah itu, takut merusaknya saat melakukan penelitian. Saking ringkihnya.

Saat ini, saya sedang melakukan penelitian lanjutan untuk Badan Bahasa, yaitu karya-karya sastra dekade 1950-an. Periode ini gila sekali. Kaya luar biasa, paling banyak karya diciptakan dibanding dengan era sebelumnya: Cerpen, puisi, drama. Betul-betul harta karun sastra. Kita kewalahan untuk mendata. Untuk satu majalah saja, cerpennya bisa ratusan. Belum lagi puisi dan drama. Bingung juga bagaimana cara kita membaca sebanyak itu. Ada majalah hiburan, majalah sastra, majalah politik—semuanya memuat karya sastra. Proyek Badan Bahasa ini akan terbit dalam dua buku. Sekarang ini sudah sampai ratusan halaman. Kami tidak membedakan karya sastra yang ditulis oleh penulis terkenal, kanon atau bukan kanon. Dengan membatasi satu pengarang dengan dua karya saja hasilnya sudah berjilid-jilid. Itu khusus cerpen. Belum lagi puisi.

 

ZEN

Ini pekerjaan sejarawan sastra.

 

MELANI

Iya, betul. Tapi, kalau kita menunggu sejarawan sastra, siapa yang mengerjakan? Berhubung belum ada yang mengerjakan, semua pihak sekarang ini harus berkontribusi sebisanya.

 

ZEN

Sebelum kita mengakhiri percakapan ini, kami ingin mendengar Anda memberikan semacam closing statement, apa yang harus dan layak dikerjakan oleh kritikus atau penelaah sastra hari ini, di tengah situasi sekarang ini?

 

MELANI

Ya, membaca dan menulis. Hanya dua kata itu. Membaca, menulis. Membaca, menulis. Membaca, menulis. Tidak ada yang lain. Bagaimana Anda membaca dan menulis, dan apa karya yang Anda baca dan tuliskan, itu terserah Anda.

Kita juga harus ikut membantu membangun ekosistem sastra yang lebih bergairah. Dengan cara kita sendiri-sendiri. Kita tidak bisa melakukan semuanya. Jika bisa mengerjakan di sini, kerjakan di sini. Jika bisa mengompor-ngompori Badan Bahasa, atau Ditjenbud, lakukanlah. Yang di DKJ, teruskan majalah tengara.id, sayembara kritik sastra, sayembara novelnya, puisi, jangan sampai berhenti. Kita semua membangun ekosistem sastra dengan cara kita masing-masing. DKJ mungkin juga bisa mendiskusikan pentingnya editor sastrawi untuk penyuntingan naskah dengan penerbit. Akademisi membangun kritik dan pembaca dengan menularkan gairah menggeluti sastra ke mahasiswa. Juga tugas membentuk dan menjangkau pembaca–yang sering kita lupakan. Terutama, di bidang puisi, banyak sekali yang ingin menjadi penyair, tetapi tidak rajin membeli atau membaca buku puisi. Syukurlah sekarang sudah mulai ada komunitas membaca dan menulis puisi. Terutama ketika masa pandemi Covid 19, anggotanya menjamur. Melalui komunitas seperti ini kita mengembangkan gairah bersastra dengan cara masing-masing, untuk segmen yang berbeda-beda.

 

ZEN

Baik, Ibu, terima kasih banyak atas diskusi ini.

Percakapan31 Desember 2023

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.