Untuk Nirwan Dewanto
“‘Pada mulanya adalah Kata’. Bukan mulanya yang sulit, penegasan bahwa Kata itu Tuhan dan pernyataan tegas akan penjelmaannya. Akan tetapi, akhirnya. [. . .] Kerusakan disingkapkan pada momen mengatakan selamat tinggal pada Kata yang menjadi daging dan mengirim bukunya ke dunia, seketika itu tulisan dibiarkan mengatakan dengan dirinya sendiri apa yang dikatakan Tulisan-Tulisan Suci”. [i]
Sebenarnya sangat banyak problem, bahkan kecacatan dan kesesatan, dalam esai “Menggapai Hukum Alam” karya Nirwan Dewanto.[ii] Semua problem yang terdapat dalam surat Nirwan kepada Niduparas Erlang tersebut bukan tidak penting untuk ditanggapi, tetapi tulisan ini hanya akan menitikberatkan pada persoalan antara kelisanan dan keberaksaraan yang menjadi pokok perdebatan antara Nirwan dan Niduparas. Nirwan keberatan dan membantah tuduhan Niduparas dalam “Residu Kaki Kata: Di Mana Kelisanan Diinjak, Di Situ Keaksaraan Dijunjung”[iii] bahwa ia merendahkan kelisanan. Meskipun menolak disebut merendahkan kelisanan, Nirwan justru kembali menegaskan penilaiannya yang menjadi keberatan utama Erlang atas Kaki Kata: kelisanan dan irasionalitas.[iv]
Asumsi di Balik Oposisi Biner Kelisanan-Tulisan
Nirwan hampir selalu memaknai kelisanan lebih inferior dibandingkan tulisan dengan mengukurnya melalui sains (“ilmu” kata Nirwan) dan/atau rasionalitas. Di samping itu, ia juga membandingkan antara kelisanan dan tulisan dengan berpijak pada punya dan tidak punya nilai etik. Bertolak dari perbandingan tersebut, kelisanan diasosiasikan dengan “misteri dan keajaiban”, “danyang”, “primitif” dan sejenisnya, juga diasosiasikan dengan “kekerasan” dan “kejahatan”. Sekalipun Nirwan melawan kelisanan karena inferior dibanding tulisan, ia mencintai kelisanan dalam bentuk dokumenternya seperti teater, musik dan tari.
Kelisanan yang dikritik Nirwan adalah suatu atavisme, yakni suatu praktik kelisanan pada era pra-tulisan yang kini muncul kembali dalam era tulisan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hadirnya kembali kelisanan di era tulisan itu dibaca Nirwan sebagai suatu irrasionalitas. Apa yang dimaksud Nirwan dengan rasionalitas?
Sebuah petunjuk yang menyingkapkan pengandaian Nirwan dapat ditemukan dalam pengertiannya mengenai sastra. Ia menyatakan: “Jangan pernah lupa bahwa ‘sastra’, yang kita ambil dari bahasa Sanskerta, berarti tulisan, atau wacana tertulis”. Arti “sastra” dalam bahasa Sanskerta tidak selalu persis sama dengan apa yang dikatakan Nirwan. Kata sastra—shastra dalam ejaan Sanskerta—baru memperoleh arti “buku”, “tulisan” atau “wacana tertulis” pada akhir atau setelah masa Weda dalam sejarah Hinduisme. Pada awal masa Weda, sastra mempunyai arti “persepsi”, “aturan”, “pengajaran”, “instruksi” atau “bimbingan ritual”. Ketika itu, arti sastra lebih merupakan teks performatif atau teks preskriptif, yakni teks yang ditemani dengan pembayangan tindakan aktual dan bersifat dinamis. Sedangkan pada akhir atau setelah masa Weda arti sastra lebih merupakan teks denotatif, merujuk kepada “benda” dan bersifat statis. Dengan demikian, pengertian sastra semula mencakup juga unsur-unsur kelisanan, berbeda dari pengertian Nirwan.
Sebagai perbandingan, kita dapat mengacu pada rekonstruksi Walter J. Ong dalam Orality and Literacy. Ong memperlihatkan bahwa literatura dalam bahasa Latin merujuk ke sehimpun produk tulisan. Di balik pengertian itu, menurut Ong, terlihat bagaimana pengaruh budaya tulisan telah mendominasi kita, bahkan saat kita mengkaji oral literature yang tercakup dalam budaya lisan.
Dengan mengartikan sastra sebagai tulisan, Nirwan mengeluarkan “sastra lisan” dari sastra; “sastra lisan” adalah sastra yang bukan-sastra. Kajian Ong justru memperlihatkan asumsi tersembunyi di balik pandangan Nirwan: mentalitas budaya tulisan yang telah berakar berabad-abad pada diri kita adalah halangan besar bagi kita untuk memahami budaya lisan, budaya lisan yang sama sekali tidak mengenal aksara atau tulisan, kelisanan pertama.
Ong mengilustrasikan betapa mentalitas yang dibentuk oleh aksara yang statis, visual dan teraba kesulitan mengakses budaya yang berakar pada gerak dan bunyi: kita dapat menghentikan gerak objek visual dan masih mendapatkan objek visual statis, tetapi jika kita menghentikan gerak objek audial kita tidak akan mendapatkan apa-apa selain kebisuan.
Dalam kritiknya terhadap Sartre yang menempatkan savage/primitive mind (nalar liar/primitif) inferior di hadapan domesticated/civilized mind (nalar jinak/beradab), Claude Levi-Strauss[v] menyatakan bahwa problem Sartre, selain problem berpikir analitis-dialektis, adalah melihat sejarah kepurbaan dengan menggunakan kacamata elan budaya yang berlaku pada masa hidupnya sendiri. Pengandaian tentang posisi diri yang digunakan untuk memandang sejarah inilah yang tidak ditinjau secara kritis oleh Nirwan. Posisi Nirwan adalah melihat realitas masa lalu dari sudut pandang realitas aktual masa kini; realitas masa lalu ditangani sebagai jasad mati.
Nirwan tidak kritis mempertimbangkan kemungkinan bahwa menafsir masa lalu dari dokumen-dokumen berdasarkan posisi dirinya dalam realitas aktual sekarang bisa jadi berbeda menafsir masa lalu berdasarkan realitas aktual masa lalu.
Apa yang mengemuka adalah suatu “kesadaran dokumentorial” yang melahirkan pandangan “lawan sastra bukanlah ilmu melainkan kelisanan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Nirwan menggunakan cara pandang zaman tulisan untuk mengevaluasi kelisanan. Inilah asumsi yang tidak dipertanyakan dalam teks Nirwan.
Kedudukan Alam dalam Budaya Lisan dan Tulisan
Budaya lisan dan tulisan bekerja dengan cara berpikir yang berbeda dalam hubungannya dengan alam, termasuk dalam soal memandang diri sendiri, mengingat dan memperoleh serta mengumpulkan pengetahuan. Kelisanan memiliki landasan pada bunyi dan gerak yang merupakan bawaan alamiah karena manusia belajar berbicara secara alamiah, tidak mengikuti suatu kaidah yang formal seperti belajar menulis dan membaca. Cara berpikir lisan bertolak dari bunyi/suara yang dihasilkan oleh organ tubuh manusia sendiri secara langsung dan juga berlandaskan pada karakteristik bunyi/suara dan gerak yang merupakan peristiwa langsung yang segera berlalu. Mentalitas lisan tumbuh dan berkembang bersama kesadaran akan hubungan langsung dengan alam melalui pengindraan, yakni hubungan dengan sumber alamiah bunyi dan karakteristik bunyi yang sementara.
Pengetahuan atas alam diperoleh dan dikumpulkan melalui pemaknaannya atas kesan indrawi, disimpan dalam organ ingatan biologis dan disebarluaskan sebagai pola bunyi berulang dengan irama yang kita kenal sekarang sebagai pola metrum, asonansi, aliterasi, dan persajakan.
Jika kemudian kita boleh menyebutnya juga sebagai rasionalitas yang lain, rasionalitas yang lain itu adalah rasionalitas indrawi yang berbeda dengan rasionalitas objektif. Tatanan alam atau hukum alam berada pada wilayah pengindraan sekaligus rasionalitas. Oleh karenanya, hukum alam sebagai objek saintifik dapat diakses dengan dua cara: yakni melalui persepsi indrawi dan imajinasi, dan melalui penalaran dan abstraksi.
Pada sisi lain, mentalitas tulisan atau nalar tulisan yang berlandaskan pada visualitas yang statis mencerminkan hubungan dengan alam yang berjarak, tidak langsung, dengan cara berpikir yang abstraktif dan struktural. Tulisan yang adalah teknologi ingatan yang diproduksi di luar tubuh dan juga berada di luar tubuh serta bersifat lebih awet (relatif tak berubah), membuat tulisan dapat disimpan secara eksternal dan dapat dilihat (dibaca) ulang di sembarang waktu dan ruang. Sifat tulisan yang lebih awet dan berada di luar tubuh ini memungkinkan tulisan dapat didistribusikan secara luas tanpa kehadiran subjek pembicara. Absennya subjek pembicara dalam tulisan telah menjadi problem otoritas sejak Plato yang mengecam tulisan sebagai simulakra kehadiran, kehadiran palsu.
Namun, problem otoritas ini pula yang mendorong tulisan untuk berkembang seperti yang tampak pada pengadopsian teknik retorika pidato langsung di depan publik sebagai prinsip representasi dalam sastra oleh Aristoteles. Problem otoritas dalam tulisan juga menjadi batu tumpu dalam dekonstruksi Derrida dan “kematian pengarang”-nya Barthes. Bahkan, aksara Carakan juga lahir bersama cerita tentang problem otoritas yang berujung pada saling bunuh antara penyampai pesan dan penerima pesan. Secara umum, aku kira, problem terlepasnya konteks yang membuat praktik lisan sebagai peristiwa aktual adalah salah satu generator untuk pertumbuhan dan perkembangan tulisan sebagai suatu teknologi.
Kelisanan bukan tidak punya kekurangan. Hari ini kita memahami dunia dan kemanusiaan melalui kesadaran yang dibentuk oleh tulisan atau melalui internalisasi tulisan. Sebagian dari kita mungkin meratapi berlalunya budaya lisan yang dikenal dari tradisi lisan.
Mungkin ada juga sebagian dari kita yang kehilangan kewaskitaan dalam membela matian-matian budaya tulisan. Yang jelas, mengapresiasi secara positif kelisanan tidak sama artinya menganggap kelisanan, sebagai suatu tradisi aktual, adalah keadaan yang akan bertahan selamanya. Karena itu, menempatkan kelisanan dalam posisi inferior di hadapan tulisan adalah arogansi. Menyatakan cinta kepada tradisi lisan sambil “menginjaknya” adalah omong kosong.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf terakhir bagian “Pengantar” dalam Conversations on the Natural Son-nya Denis Diderot yang melukiskan “kesadaran akan posisi diri” dalam kaitannya dengan hilangnya peristiwa aktual, hilangnya teman bicara—retakan terbuka antara kelisanan dan tulisan yang muncul saat ia menghentikan gerak tangannya untuk menuliskan kata-kata—yang membawanya menemukan coup de theatre lain yang bukan drama tikungan peruntungan, tapi tableau yang membekukan sensibilitas dalam salah satu bingkai dari serial pengadeganan dramatik untuk memproyeksikan keotonoman sensibilitas panggung menjadi keheteronomian sensibilitas penonton—merubuhkan dinding keempat teater:
Inilah yang kami katakan. Tetapi, alangkah berbedanya antara apa yang Dorval telah katakan padaku dan apa yang aku tulis! . . . Mungkin gagasannya sama, tetapi manusia jeniusnya hilang . . . Sia-sia aku mengunjungi jejaknya di dalam diriku yang dibentuk oleh pertunjukan alamiah dan kehadiran Dorval. Segalanya tidak akan kembali; aku tidak dapat menatap Dorval; aku tidak dapat mendengar suaranya. Aku sendirian, di tengah-tengah debu buku-bukuku dan bayang-bayang studiku . . . baris-baris kata yang aku tulis suram, sendu, dan dingin.[vi]
[i] Dikutip dari Jacques Ranciere, The Flesh of Words, terjemahan Charlotte Mandell, Stanford University Press, 2004, h. 1-2.
[ii] Nirwan Dewanto, Menggapai Hukum Alam, https://tengara.id/esai/menggapai-hukum-alam-nirwan-dewanto/
[iii] Niduparas Erlang, “Residu Kaki Kata: Di Mana Kelisanan Diinjak, Di Situ Keaksaraan Dijunjung”, dalam Teks, Pengarang, dan Masyarakat, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020.
[iv] Nirwan Dewanto, Kaki Kata, Teroka Press, 2020.
[v] Baca Claude Levi-Strauss, The Savage Mind, khususnya Bab 9: “History and Dialectic”, Weidenfeld and Nicolson, 1966, h. 245-269.
[vi] Denis Diderot, “Conversations on the Natural Son”, dalam Selected Writings on Art and Literature, terjemahan Geoffrey Bremner, Penguin Books, 1994, h. 5.
Dwi Pranoto
Dwi Pranoto menulis esai, puisi, dan menerjemahkan. Sempat setahun bekerja di sebuah perusahaan pelayaran yang beroperasi di Selat Bali, kemudian pindah ke Cilegon, Jakarta, kembali ke Banyuwangi, terus ke Jember. Di Jakarta sempat bergabung dengan Teater Tanah Air dan Kelompok Teater Kami. Di Jember bergabung dengan Kelompok RumahKata sambil mengisi siaran Apresiasi Seni dan Budaya di RRI Pro 1 Jember.
Kelisanan dan keberaksaraan memang dua dunia yang sama tapi bisa ditelusuri, sekaligus ditegaskan perbedaannya. Orang yang bicara, berpidato di depan orang lain tampak lebih menantang dalam sebuah kehadiran langsung, meski ia bicara dengan membaca atau menghafal teks. Teater monolog sebentar lagi digelar di Gedung Juang.
Sekarang ini tulisan sudah menjadi kehadiran utama seseorang yang menulis di ruang sepi sendiri. Saya bisa memahami pandangan Nirwan Dewanto. Juga bisa memahami pembelaanmu yang mencoba memahami budaya lisan sebelum lahirnya tulisan. Pertanyaannya, kalau karya lisan bisa ikut mati bersama orangnya, tulisan yang mengabadikannya. Demikianlah.