Hari ketika Sastra dan Video Game Tidak Lagi Dipertentangkan
Hari ketika Saya Bermain What Remains of Edith Finch
Tak ada satu hal pun di rumah ini yang tampak abnormal, hanya saja segala sesuatu tampak terlalu banyak. Seperti senyum dengan terlalu banyak gigi. Seolah bom sudah meledak, membunuh semua orang dan menyisakan furniturnya.
Bahkan perapian di ruang tamu memiliki cerita. Edie bilang batu bata yang menyusunnya berasal dari rumah yang asli, setelah rumah itu tenggelam. Saya mengintip ruang perpustakaan melalui celah. Edie pernah bilang juga bahwa setiap anggota keluarga Finch yang pernah hidup dimakamkan di suatu tempat di perpustakaan itu.
Saya mengarahkan kontroler kembali ke ruang tamu. Sebuah teks mengapung di layar televisi: “Banyak hal tertinggal dalam pusaran angin malam tadi,” begitu suara dari arus kesadaran Edith, karakter utama sekaligus narator dari game yang saya mainkan. Saya membaca kalimat itu sambil melihat-lihat keadaan. Kekacauan di ruang tamu bukan disebabkan oleh angin puyuh seperti kata Edith, atau ia tak memaksudkannya sebagai ‘angin puyuh’ secara harafiah. Sebab, jika benar rumah ini diamuk angin, pastilah sampah dan kertas-kertas berhamburan, pastilah poster orang hilang itu sudah tak menempel di pintu. Ruangan ini, atau tepatnya seluruh isi rumah ini, lebih mirip seperti ditinggalkan secara buru-buru. Semua benda personal seperti buku, jepitan rambut, piring kotor, dan alat-alat masak tergeletak seperti baru dipakai dan tak pernah sempat dibereskan lagi.
Saya mengarahkan kontroler ke pintu, tepatnya ke poster orang hilang. Sebuah kalimat mengapung lagi: “Ibuku bukanlah seorang yang optimis amat, tapi dia tak pernah berhenti percaya abang saya Milton masih hidup.” Lalu saya keluar rumah dan mengamati bangunan. Ini bentuk bangunan paling berbahaya yang pernah saya lihat. Jika rumah ini ada di dunia nyata, pengguna Twitter yang suka mengkritik arsitektur pasti akan membuat utas panjang tentang betapa bodoh perancangnya: bangunannya seperti dibikin oleh seorang bocah yang bermain Minecraft, sama sekali tak mengindahkan keseimbangan, mereka tumpuk-menumpuk hingga puncak seolah lolos dari pengamatan gravitasi.
Beberapa jam kemudian saya sudah memakan pasta gigi. Lalu mengunyah wortel di kandang hamster. Saya kelaparan, tetapi Ibu mengunci saya di kamar. Lapar. Saya melihat buah beri menjuntai dari mistletoe di ambang jendela. Lapar.
Saya mendengar kicau di luar jendela. Burung layang-layang berusaha kembali ke sarangnya. Saya mendekati jendela dan menjulurkan tangan. Cahaya bulan menembus pepohonan, membantu saya untuk mendekati burung itu. Saya meloncat. Hup!
Saya berjalan-jalan di batang pohon dekat jendela kamar Ibu. Jika saya terus berjalan, saya khawatir Ibu akan melihat saya. Saya akan kena omel lagi, akan dikunci lagi, akan tidak dikasih makan malam lagi. Namun saya tidak peduli, ada aroma yang lebih kuat daripada ketakutan saya kepada Ibu. Saya memilih-milih dahan, meloncat, dan melihat Ibu dan Ayah di kamar. Mereka tidak melihat saya. Itu kabar baik, soalnya saya pernah berjanji kepada Ayah untuk tidak memanjat pohon lagi. Namun, saat ini, yang saya inginkan hanya burung itu. Sesuatu di dalam diri saya mengarahkan langkah kaki saya, dan saya hanya perlu mengikutinya.
Saya dan burung itu hanya sejarak satu loncatan. Deru ombak menghantam tebing di bawah pohon ini bikin jantung saya makin tak keruan. Lapar. Saya meloncat, tetapi burung itu lebih lihai. Suara angin memenuhi headphone saya, layar hanya gelap. Dan saat gambar muncul lagi, saya sudah melayang-layang. Di hadapan saya sebuah garis pantai dan tebing curam, saya memutar dan tiba di area rumput terbuka dan banyak pohonnya. Sebuah suara mencuri perhatian saya. Suara itu terselip di antara embusan angin laut, menyaru dengan ranting patah, tetapi saya mengenalinya. Gemeretak gigi-gigi mungil yang tengah mengunyah rumput. Lapar.
Cuplikan cerita di atas adalah pengalaman saya bermain What Remains of Edith Finch (WRoEF). Saya menuturkan ulang dengan mengambil teks dari gim secara langsung dan mencampurnya dengan apa yang saya pikirkan ketika bermain.
WRoEF adalah gim first-person[1] yang dikembangkan oleh studio independen Giant Sparrow dan dipublikasikan Annapurna Interactive pada 2017.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan saya menggunakan gim ini sebagai pembuka. Pertama, WRoEF menyimpan elemen-elemen sastra yang lebih dekat dengan pembaca di Indonesia setidaknya berdasarkan pengamatan saya dari obrolan di media sosial seperti cerita berbingkai, fantasi (tadinya saya mengkategorikannya ke dalam ‘realisme magis’ tetapi saya khawatir istilah ‘realisme magis’ tidak cocok dengan apa yang terjadi di layar dan malah mereduksi arti ‘realisme magis’ itu sendiri), horor, dan puisi sehingga mungkin saya bisa menjelaskan mekanisme gameplay dengan bahasa yang sama-sama kita pahami.
Kedua, game ini memenangkan award untuk kategori ‘Best Narrative’ di beberapa acara penganugerahan game seperti The Game Awards 2017, SXSW Gaming Awards, dan 2018 Games for Change Awards. Saya kira, WRoEF adalah contoh yang menarik jika membicarakan hubungan game dengan sastra. Betul bahwa game berbasis cerita dengan elemen artistik yang bagus—bahkan cenderung sinematik—semakin ke sini semakin banyak. Hal ini tentu didorong oleh teknologi mesin konsol dan komputer yang semakin canggih serta teknologi rendering dan proses ray tracing dalam desain visual yang memungkinkan gambar tampak game semakin realistis. Game seperti Heavy Rain, The Last of Us, Detroit: Become Human, atau Red Dead Redemption 2 menawarkan pemain untuk mengalami cerita yang sulit terlupakan. Ketiga, saya menyukai WRoEF. Sejak pertama memainkannya pada 2018 di PlayStation 4, saya mengulanginya lagi beberapa kali dan menonton orang lain memainkannya juga, sekadar ingin tahu bagaimana respons pemain lain.
Saya akan kembali membahas WRoEF nanti.
Hari ketika Saya Bertemu Konsol Gim
Ingatan saya tentang bacaan terjauh adalah buku panduan servis televisi.
Buku itu tebal dan sampulnya berwarna biru. Di dalamnya terdapat beragam gambar sirkuit dan jeroan televisi tabung dari beragam merek. Posisinya selalu berada di laci meja, bersama buku lain yang juga tebal dan berisi banyak gambar yang kemudian saya tahu itu berisi panduan kelistrikan dalam bangunan (mechanical, electrical, and plumbing). Kedua buku itulah yang sering saya baca, bukan karena seru apalagi mengerti isinya, melainkan karena banyak gambar dan simbol-simbol. Papa saya seorang teknisi listrik. Mama saya ibu rumah tangga yang kemahiran berkebunnya seperti seorang seniman. Tak ada tradisi sastra di dalam keluarga kami. Tak ada puisi. Tak ada paper akademis. Bacaan yang bisa dianggap serius dan mungkin di dalamnya ada sesuatu yang berbau sastra cuma tumpukan koran, majalah berisi resep masakan, dan komik Paman Gober (saya menganggap serius Paman Gober). Keluarga biasa yang tak banyak kejutan, hingga suatu hari saya secara sengaja mencolok obeng ke steker listrik karena melihat Papa mencolok test pen ke situ dan saya kesetrum untuk pertama kali dalam hidup saya seorang klien yang menyervis NES (Nintendo Entertainment System) tidak pernah kembali mengambil konsolnya yang sudah diperbaiki. Bagaimana pun itu bukan pertama kalinya barang servis tak pernah ditebus, dan itu membuat rumah kami seperti penimbunan barang elektronik.
Papa memutuskan mencolok konsol itu ke teve dan mengajari saya bermain Super Mario Bros. Kelak Papa akan menyesali (atau malah bersyukur) telah membiarkan hal itu terjadi.
Benda itu menyedot seluruh fokus saya. Saya jadi sangat jarang mengaji, jarang main sepeda, atau hal-hal lain seolah saya sudah menemukan arti hidup di umur enam tahun. Hingga Papa membuat informasi aneh agar saya main ke luar rumah: teve yang sering dipakai buat main game akan cepat rusak. Itu mungkin hoax pertama yang saya terima dan sampai hari ini saya masih mempercayainya.
Teknologi konsol berkembang seiring pertambahan usia, dan saya selalu menanti gosip-gosip dari majalah game bahkan hingga saya sudah cukup dewasa untuk membaca novel Harry Potter. Kebiasaan ini berlanjut terutama ketika saya beranjak SMP dan konsol yang mahal tak mungkin saya miliki. Kebiasaan bermain game berganti ke game online. Lagi-lagi, saya merasa perangkat komputer sewaan itu adalah rumah saya. Orang mungkin melihat saya seperti bangkai yang mengendap di dalam bilik warnet, sebaliknya saya merasa menemukan semangat hidup. Ketika tetikus bergerak di layar, dunia di balik layar terhampar: masyarakat yang gemar intip-mengintip buat cari tahu apa yang dilakukan tetangga mereka berganti menjadi masyarakat yang eksibisionis. Gim RPG (role-playing game) tradisional yang sebelumnya saya pahami sebagai sarana cosplay virtual, di mana saya meminjam role dan karakter yang dibuatkan pengembang game dan saya menjadi karakter itu, berkembang menjadi dunia penuh kekuasaan yang di dalamnya saya bisa leluasa memodifikasi avatar saya, menjadi hero yang saya mau, seolah saya bisa menjadi diri saya sendiri secara leluasa… atau membentuk diri saya yang baru. Dan, lagi-lagi, saya gampang tersedot dengan hal-hal begini. Inilah yang saya lakukan: begadang, pulang ke rumah untuk makan dan tidur siang, bolos sekolah, mencuri uang Mama, lalu balik lagi.
Kabar baiknya di bilik warnet itulah saya menemukan keasyikan lain: Mendengar musik bajakan dan membaca fiksi.
Semakin dewasa saya menyadari bahwa saya lebih menikmati game yang memiliki cerita. Di titik ini pula pertautan antara game dan kelak pekerjaan saya sebagai pembuat cerita bertemu.
Cerita tentang bocah kaya raya dari kota yang dites bapaknya sendiri untuk jadi petani di desa akan selalu menempel di kepala saya. Cerita tentang Ksatria Cahaya yang sudah melakukan hal besar (memperbaiki masa lalu!) tapi tak seorang pun menyadari jasa mereka tertanam kuat di dalam pikiran saya. Dan saya mustahil melupakan pengalaman pertama saya berbicara dengan Yahweh dalam Shin Megami Tensei 4. Ketika game yang saya mainkan tidak memiliki cerita, tipe god game, RTS (real-time strategy), atau simulasi ekonomi kota seperti SIM CITY 2000 saya merancang cerita versi saya sendiri. Di saat bersamaan, saya juga sedang tertarik membaca manga, novel atau cerita-cerita pendek yang tersedia di perpustakaan sekolah atau blog orang.
Di dalam otak kekanak-kanakan saya, buku sastra dan video game tidak terasa seperti dua entitas yang berasal dari abad berbeda. Keduanya memiliki core mechanics yang sama, yang secara bergiliran menemani saya tumbuh: menawarkan tempat-tempat yang mustahil saya rasakan di dunia nyata, berjumpa dengan tokoh-tokoh dari yang sangat keren sampai yang seram, mengalami momen puitis dan merasakan the fear of the unknown, terlibat dalam pengalaman politik dalam situasi yang familier, memberi keberanian untuk tidak lari dari masalah, memberi harapan bahwa hidup masih layak dijalani (tahun depan ada cerita baru lagi!), dan yang terpenting membuat saya mengerti bahwa seindah apa pun Desa Kakariko di The Legend of Zelda tetap lebih enak hidup di dunia nyata karena kue nastarnya bisa dimakan. Dari sisi teknis, untuk urusan kepengarangan, baik sastra maupun video game keduanya memberi masukkan tentang bagaimana merancang dunia yang seru, membuat peta dan labirin, mendesain karakter, membangun dialog yang efektif. Keduanya menjadi sarana untuk secara sadar membiarkan nilai-nilai yang saya pahami, baik politis maupun filosofis, merembes ke dalam cerita.
Saya selalu berandai-andai jika game engine seperti Unity sudah ada di era Tolkien, kira-kira dunia seperti apa yang akan dia bangun? Jika game simulasi peradaban seperti Civilization atau Astroneer ada di era Revolusi Oktober, cerita seperti apa yang kira-kira ditulis oleh Alexander Bogdanov? Semua piranti yang awalnya menjadi mainan, dunia pelarian, berangsur menjadi penghidupan.
Di tahun 2011 saat saya sudah harus cari uang sendiri saya jadi belajar bahasa program, mempelajari arsitektur dan narasi game, komposisi musik dalam game, beli buku teknik menggambar dan seterusnya. Lagipula saat itu, dibarengi dengan pekerjaan harian dan kondisi keuangan, mengambil pendidikan IT secara formal nyaris mustahil.
Kegiatan itu menjadi semacam ritual hingga hari ini. Saat menjalani ritual itu, meminjam istilah teman dekat saya, saya lagi in my element. Inilah sumber kesenangan saya: membuat cerita, membentuk dunia. Jadi, karena itulah pada tahap ini saya tidak yakin saya sanggup mengenali perbedaan antara sastra dan video game, antara puisi dan baris kode, antara kegemilangan The Left Hand of Darkness dan keindahan The Legend of Zelda. Mereka jalin-menjalin menemani saya melewati hari-hari kelam, melahirkan pikiran-pikiran selewat tentang harapan dan keindahan, memberi ruang yang cukup lega bagi saya secara fisik dan mental sebelum menavigasi dunia nyata, dan hal-hal yang saya perlukan untuk mendefinisikan arti sastra bagi saya sendiri.
Hari ketika Saya Dikagetkan oleh Keragaman Cara Orang Bersastra
Hari itu 23 Oktober 2022. Saya kaget mendapat tawaran menulis dengan tema relasi teknologi dan sastra. Sejauh ingatan saya tentang Dewan Kesenian Jakarta dan teknologi, pada 2020 DKJ membuat acara bertajuk ‘Jasa dan Dosa Platform Digital Pada Sastra’. Dan itu, menurut saya, aneh.
Kata ‘dosa’ membuat ‘sastra’ tampak seperti sesuatu yang amat agung sehingga menempatkan sastrawan seperti Jedi, dan ‘platform digital’ yang diapit kedua kata itu seperti Sheev Palpatine yang berusaha menjatuhkan ordo Jedi dengan segala muslihat. Dan ketika ‘sastra’, yang terus-menerus ternodai (huhu kasihan sastra 🙁) oleh ‘platform digital’ ini, semakin kehilangan kekuatan dan kesuciannya, ‘platform digital’ berdiri di hadapan ‘sastra’ lalu berkata, “I have waited a long time for this moment, my little green friend.”
Adegan itu bergulir di kepala saya ketika membaca post Instagram DKJ yang lewat di feed. Dari tema diskusi itu, saya membayangkan sastrawan seperti kelompok eksklusif, atau malah klan, yang memegang teguh nilai-nilai sastrawi—apapun artinya—dan gemar menggerutu tentang betapa manusia dan dunia hari ini tak bisa lagi mereka mengerti sambil berusaha keras tetap relevan dari hari ke hari. Itu adalah alasan utama kenapa saya lebih senang menarik selimut dan tidur lagi ketimbang menghadiri acara-acara ‘sastra’. Namun, mari kita lihat sisi positifnya: jika ‘dosa’ memang ada di dalam bangun-dunia Sastra Indonesia, saya merasa sudah kebanyakan dosa dan tidak akan pernah layak dibaiat sebagai sastrawan.
Atau, mungkin cara pandang kami berbeda sehingga saya tidak melihat pentingnya topik diskusi publik tersebut.
Saya mengerti bahwa kehadiran sesuatu yang melampaui kemampuan-kemampuan biologis manusia mau tak mau melahirkan perasaan insecure bahkan mungkin takut. Saya sudah menuliskan hal ini dalam percobaan membuat komik strip dengan bantuan AI dalam artikel berjudul Mengajari Mesin Berpikir.
Meski begitu, saya percaya memiliki pikiran sempit dengan memelihara kecurigaan bahwa teknologi diam-diam menggerogoti kemurnian sastra itu omong kosong. Sebab sejak semula, kecuali korporat tengik yang berupaya meraup keuntungan sebanyak-banyaknya atau penganut akselarasionisme pengidap Malthusian akut yang menganggap overpopulasi adalah masalah dan manusia adalah penyakit, tak ada yang memaksa manusia untuk berkompetisi dengan manusia lain, apalagi mesin. Mempertentangkan keduanya membuat seolah matematika benar-benar tampak seperti ilmu setan dan pekerjaan mengutak-atik komputer tak ubahnya setan yang membujuk siapapun untuk berdosa. Tak ada yang perlu dijaga dari dosa, karena baik tradisi sastra maupun kemajuan teknologi keduanya adalah bagian dari progres dan tak ada yang lebih mulia hingga bisa imun dari kritik.
Saya tidak tahu bagaimana pendapat orang lain, tetapi saya percaya kalimat Ursula Le Guin dalam tulisannya “Things Not Actually Present”: On Fantasy, with a Tribute to Jorge Luis Borges bahwa fungsi kata-kata/sastra yang paling tua dan mendesak adalah untuk menghadirkan kepada kita “representasi mental dari hal-hal yang tidak benar-benar ada”, sehingga kita dapat membuat penilaian tentang dunia tempat kita tinggal dan ke mana kita akan pergi di dalamnya, apa yang dapat kita rayakan, apa yang harus kita takuti. Jadi, selama sastra dalam ‘platform digital’ atau dalam medium teknologi antarmuka lain dapat memenuhi fungsi yang ‘tua dan mendesak’ tadi, saya kira tak ada situasi yang memungkinkan skenario penodaan terhadap sastra.
Penting untuk memahami bahwa spektrum kecerdasan manusia amatlah luas: ada pembaca yang hanya bisa menikmati membaca buku fisik, ada yang lebih mudah membaca dengan gawai. Ada yang bisa membaca secara khusyuk lewat teks di atas kertas, ada pula pembaca yang lebih nyaman menyerap informasi lewat audio. Ada yang lebih nyaman menikmati sastra secara pasif, ada yang lebih dapat menikmati sastra secara interaktif. Memang jika menyadari hal itu agaknya mustahil memuaskan semua pihak, tetapi berusaha menjadi penjaga gerbang kemurnian sastra dalam bentuk tertulis atau buku cetak saja, berdebat apakah post Instagram puisi atau bukan puisi, membuat pegiat sastra tampak tengil tanpa alasan yang jelas. Ini persis format template meme:
No one:
Sastrawan: TEKNOLOGI MERUSAK KEASYIKAN MEMBACA BUKU WIFI BIKIN ORANG JARANG BICARA TIDAK ADA LAGI PERCAKAPAN FILOSOFIS ORANG TIDAK LAGI NAIK GUNUNG UNTUK MENDAPAT WANGSIT
Saya kira yang terjadi justru muncul pilihan-pilihan cara membaca yang sebelumnya, karena keterbatasan teknologi, tidak mungkin. Dampak perkembangan teknologi terhadap sastra adalah terbukanya pilihan lain tentang bagaimana orang menikmati teks, dan ini berkaitan pula dengan aksesibilitas: bagi saya, misalnya, lebih mudah mendapat efek dari fungsi sastra yang dibicarakan Le Guin tadi dari medium yang interaktif. Kemarin pula saat membahas tema ini ada seorang teman yang memiliki disleksia, dia bilang lebih mudah membaca dengan gawai yang memungkinkan dia untuk mengubah pengaturan font. Mama saya mengidap glaukoma, dan dia hanya bisa membaca novel tulisan anaknya dari ponsel dengan huruf besar-besar. Itu hanya contoh kecil perkara akses kepada teks yang terjadi di sekitar saya.
Bagaimana pun, teknologi selalu politis.
Pertanyaan bagaimana akses kepada teknologi atau apakah distribusi teknologi, dan termasuk pula edukasi tentang teknologi, sudah dapat dengan mudah diakses semua orang? Atau ia hanya terkonsentrasi di satu pulau dan seolah seluruh negara merasakan hal yang sama? Atau ia justru hanya mudah diakses di area-area yang disebut hot spot bagi pebisnis?
Hal-hal seperti itu rasanya lebih genting untuk dibicarakan, karena perkara akses terhadap edukasi dan teknologi ini saya kira yang membuat relasi antara sastra dan teknologi jadi perlu dibicarakan.
Hari Ketika Saya Tersadar akan Persinggungan antara Game dan Sastra
Ketika mendengar ‘game’, sebagian besar orang hari ini akan merujuk pada video game. Sebuah medium di mana pemain memainkan objek di dalam layar, sangat adiktif, dan tidak ada faedahnya. Namun, jauh sebelum komputer memungkinkan video game tercipta, apa yang disebut permainan (game) sesungguhnya sudah berkaitan erat dengan seni bercerita yang menjadi salah satu elemen dalam sastra.
Mari kita sedikit mengingat lirik permainan Ular Naga Panjang:
“Ular naga panjangnya bukan kepalang!
Menjalar-jalar selalu kian kemari,
umpan yang lezat itulah yang dia cari
ini dianya yang terbelakang.”
Lirik di atas memiliki struktur. Lirik itu bercerita. Dan yang mengerikan—kalau dipikir-pikir setelah dewasa—lirik itu dinyanyikan dengan riang gembira. Kematian dimakan naga mungkin satu dari beberapa jenis kematian yang kurang mengenakkan.
Atau, mari kita simak permainan ini Saya Orang Kaya, Saya Orang Miskin. Begini dialognya:
“Saya orang kaya!”
“Saya orang miskin”
“Saya minta anak!”
“Namanya siapa?”
“Namanya [masukkan nama teman kamu yang akan diambil orang kaya].”
Dialog dalam permainan ini singkat dan efektif, mereka menggerakkan cerita—seperti nasihat yang sering kamu temukan di kelas-kelas penulisan kreatif, mereka menampilkan realitas tanpa pura-pura, distopia tanpa gemerlap teknologi, dan kalau mau membahas muatan politis cerita, permainan di atas tampak lebih bagus dan relevan ketimbang satu isi novel 1984. Semua terjadi dalam permainan yang menyenangkan. Saya bahkan tidak kepikiran kalimat-kalimat ini sampai mengetiknya saat ini.
Dua permainan di atas bekerja dengan mekanisme sangat sederhana: berinteraksi dan bersenang-senang. Keduanya tampak seperti diciptakan secara spontan, mungkin tidak pernah dimaksudkan untuk menceritakan horor dimakan naga atau anak orang miskin diambil oleh orang kaya. Asas berinteraksi dan bersenang-senang ini dapat pula kita temui di buku-buku pilih-sendiri-petualanganmu yang memungkinkan pengalaman lain menikmati cerita, yaitu melibatkan pembaca untuk merasakan akhir cerita yang beragam dan memberi ilusi bahwa nasib tokoh-tokohnya berada di tangan pembaca. Bentuk ceritanya kekanak-kanakan (karena memang itu serial anak-anak) dan nggak nyastra banget-lah. Namun, Intan Paramaditha membawa ‘interaksi dan kesenangan’ itu ke level lain lewat novel Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu.
Ini menarik karena di dunia ini ada novel aneh berjudul White Warlord & Black Baron. Novel ini menawarkan interaksi total dari pembaca, ia memungkinkan seorang pembaca menikmati buku ini sendiri atau menikmatinya secara duel: dua pembaca bertarung satu sama lain di dalam satu buku. Betul, penulisnya menawarkan fitur solo dan multiplayer seperti dalam video game. Seperti kebanyakan buku berbasis fantasi, ia dianggap cuma milik bocah. Ini cukup menggelitik saya. Jika seorang penulis Indonesia mampu menciptakan novel dengan mekanisme yang sama (menawarkan solo dan multiplayer) dengan kecakapan seperti Intan Paramaditha mengolah Gentayangan, apakah ia layak disebut sastra? Lalu, pertanyaannya, siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan mana sastra dan mana bukan? Hm, makes me really think…
Sastra sebagai “bahasa” dan “karya seni tertulis” kerap menjadi titik berangkat ketika membicarakan atau memperdebatkan pertautan antara sastra dan teknologi. Kalau mengikuti definisi saklek tersebut, mungkinkah kita menganggap begini: seperti sastra yang menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan cerita, video game menggunakan seni menulis kode untuk menggambarkan dunia, mengatur tindak-tanduk karakter, dan ragam fungsi interaktif di dalam layar. Baik sastra tertulis dan video game (termasuk di dalamnya pengembang video game) sama-sama mengharuskan kemahiran khusus untuk memfasilitasi orang lain (pembaca, pemain, penonton) mendapat pengalaman estetis dan membuka peluang untuk menginterpretasikannya. Bagaimanapun, seorang pekerja yang merancang kode program harus memastikan bahwa bahasa buatan (constructed language) yang ia gunakan dapat dimengerti oleh komputer, dengan kata lain, ia menggunakan seni bahasa dan komunikasi yang memungkinkan komputer mengerti apa yang ia pikirkan. Seorang pekerja perancang antarmuka harus bisa mengasah kemampuan bahasa visual dan simbol agar dapat mengomunikasikan apa yang disampaikan komputer kepada manusia. Lalu, bagaimana jika 1.000 tahun dari hari ini manusia bisa menemukan model komunikasi yang efektif dengan makhluk bukan manusia (nonhuman), apakah karya yang dihasilkan dalam model komunikasi seperti itu tidak bisa masuk ke dalam kategori sastra? Mungkin tidak bisa, jika bahasa yang dimaksud di dalam sastra adalah bahasa natural, yang artinya sastra hanya eksklusif dari manusia dan hanya untuk manusia, lebih spesifik ke bahasa paling dominan dalam suatu kumpulan, dan lebih spesifik lagi bahasa dari bangsa yang berhasil menaklukan bangsa lain. Skenario ini bagi saya membuat sastra lebih mirip seperti alat penjajah, ketimbang medium untuk mengerti apa arti menjadi makhluk bumi.
Beberapa video game produksi game developer besar terinspirasi dari karya sastra, seperti BioShock, S.T.A.L.K.E.R., GSC Game, dan Far Cry 2, sedangkan sebagian malah merupakan adaptasi langsung, seperti The Witcher, Agatha Christie the ABC Murders, dan lainnya. Di ranah indie game developer lebih banyak lagi. Menariknya, dengan menggunakan video game sebagai medium penceritaan, pencipta bisa memaksimalkan meta-narasi. Game seperti Red Dead Redemption 2, misalnya, menyelipkan sastra melalui cerita serial Otis Miller yang bisa ditemukan dan dibaca oleh pemain. Di dalam game berbasis cerita memang lazim ditemukan objek-objek seperti majalah atau koran fiktif, poster, selebaran, artikel website, dan sebagainya yang kebanyakan memiliki cerita tersendiri yang kalau ditelusuri bisa jadi satu cerita pendek sendiri.
Beberapa gim yang saya sebutkan itu secara sadar mengawinkan elemen-elemen sastra dengan mekanisme gameplay. Artinya pencipta tak hanya mengandalkan seberapa mahir ia mengambil elemen-elemen dunia nyata untuk membangun dunia fiktif, atau kepiawaian menyampaikan cerita, atau bagaimana mendesain karakter yang membuat pembaca secara sukarela menginvestasikan perasaan-perasaan mereka, tetapi juga kemahirannya menggarap pekerjaan rumah yang lebih besar: bagaimana menggabungkan semua itu ke dalam desain yang sanggup menampung seluruh pecahan di atas dan merajutnya menjadi sebuah game yang saat dimainkan dapat mengeluarkan efek yang diharapkan? Strategi mendesain narasi di dalam video game bagi sebagian orang, termasuk saya, jauh lebih kompleks dan menantang.
Setidaknya, ada tiga strategi sastra yang sejauh ini saya sadari ketika bermain gim berbasis cerita:
-
Struktur, bentuk, dan teknik bercerita
-
Bagaimana teks lebih memenuhi peran estetis ketimbang fungsional
-
Intertekstualitas
Kecakapan dan ketekunan ini bisa kita jumpai di karya sastra seperti novel-novel interaktif klasik hingga Gentayangan. Strategi mendesain narasi di dalam game yang seperti saya sebutkan tampak jelas di dalam gim yang saya ceritakan di awal tulisan: What Remains of Edith Finch. Jadi, mari kita kembali ke WRoEF.
Hari ketika Saya Bermain What Remains of Edith Finch Bagian 2
Jika WRoEF adalah buku cetak, ia mungkin adalah buku kumpulan cerita pendek dengan setiap ceritanya bertindak seperti potongan puzzle atau kolase dari cerita panjang tentang kutukan di dalam darah keluarga Finch. Cerita berbingkai yang, berbeda dengan film atau buku kumpulan cerita tradisional umumnya, memberi keleluasaan ekstra terhadap cerita dan orang yang mengonsumi cerita.
Saya memainkan seorang karakter yang berangkat dengan feri menuju Pulau Orcas, pulau terbesar dari Kepulauan San Juan di Pacific Northwest. Dalam permulaan permainan, saya duduk memandangi daratan yang semakin menjauh. Di atas paha saya terdapat buket kala lili dan sebuah jurnal. Jurnal itu adalah bingkai pertama dalam cerita ini. Ia ditulis oleh Edith Finch, satu-satunya keluarga Finch yang tersisa. Cerita bergulir melalui catatan Edith di jurnal yang ia tulis setelah meninggalkan rumahnya selama tujuh tahun. Setiap kali saya membaca kalimat yang ditulis Edith, huruf-huruf muncul di layar seiring dengan suara Edith membaca kalimat. Kalimat itu kadang berisi informasi penting untuk jalannya cerita seperti kunci yang saya pegang, latar belakang masing-masing keluarga Finch, hingga lokasi pemakaman. Meski begitu, seringnya kalimat itu berisi loncatan-loncatan pikiran Edith tentang sesuatu yang ia rasakan, misalnya ketika ia masuk ke dapur:
“Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun…
dapur ini,
aku merasa seperti di rumah sendiri.
Tetapi alih-alih keluarga, yang kujumpai hanya kenangan.”
Atau komentar Edith ketika masuk kamar Molly:
“Seumur hidup aku hanya bisa melihat kamar Molly melalui lubang intip.
Kandang gerbilnya Molly memiliki kamar tidur kecil
lengkap dengan replika kandang gerbil yang lebih kecil lagi.
Berada di dalam kamar ini untuk pertama kali,
aku merasa seperti baru saja memasuki sebuah lukisan.”
Kalimat di atas terasa lebih memenuhi fungsi estetis, terasa personal dan emosional, selain tentu saja berfungsi sebagai penggerak cerita. Melalui kalimat di atas saya bisa menginterpretasikan bagaimana relasi Edith dengan anggota keluarga lain, dan dari kalimat serta intonasi suara Edith saya merasakan kengerian, lebih tepatnya uncanny. Segala sesuatu di rumah ini tampak seperti rumah pada umumnya, tetapi atmosfer ruangannya ganjil. Ada hal yang semestinya tak ada, atau ada tetapi jumlahnya berlebihan, dan hanya dapat terjelaskan dengan kalimat seperti ‘jumlah gigi yang terlalu banyak’ atau ‘rasanya seperti memasuki sebuah lukisan’. Hal itu membuat seakan saya tak sekadar melakukan napak tilas pengalaman Edith bertahun-tahun silam, tetapi kelamaan saya merasa dekat sekali dengan Edith, lalu tanpa saya mau game memaksa saya untuk menjadi Edith, dan menerima takdir keluarga Finch. Karakter yang saya mainkan bergerak mengikuti tanda yang ditinggalkan Edith, ruangan yang saya jelajahi saya lihat melalui penilaian dan pengalaman Edith, melalui tekstur perasaan Edith yang hadir lewat tipografi dan suara Edith.
Sebelum memasuki kamar Molly, saya berinteraksi dengan novel karya Jules Verne, Twenty Thousand Leagues Under the Sea. Novel Jules Verne ini memiliki peran signifikan sebelum saya memasuki bingkai cerita Molly: ia memberi alusi kepada cerita Molly dan irisannya dengan cerita Jules Verne, ia juga memberi foreshadow tentang apa yang kelak akan saya hadapi di dalam kamar Molly: Seperti kru kapal selam Nautilus, saya akan menyelam ke dalam laut yang berada tak jauh dari kamar ini dan saya akan mengalami keanehan khas kedalaman lautan seperti cerita Jules Verne tetapi dalam versi yang lebay.
Di dalam kamar Molly, saya membaca buku harian yang ditulis oleh Molly. Buku harian ini adalah bingkai cerita lain. Suara Edith berganti suara Molly kecil dan huruf-huruf yang mengapung di layar tampak seperti cacing sedang breakdance:
“13 Desember 1947
Dear diary, aku akan mati sebentar lagi tapi aku ingin memberi tahu seseorang tentang apa yang akan terjadi. Semua ini bermula ketika Ibu menyuruhku masuk kamar tanpa makan malam.”
Melalui teks dan suara Molly (yang sesungguhnya tak hadir di dalam game) saya meloncat ke cerita dalam bingkai Molly dan bermain sebagai Molly. Rasa lapar yang tak tertahankan, dunia luar kamar yang tak peduli—diwakili suara Edie yang berkata “Sudah kemalaman, Molly. Tidur sajalah!” Saya mengikuti insting Molly mencari permen sisa halloween. Habis. Saya melihat Christopher, ikan mas dalam akuarium, dan menahan diri untuk tidak memakannya. Saya melihat kandang gerbil, melihat makanan kering di sana, dan saya memakannya. Saya mengikuti insting Molly masuk kamar mandi dan mengunyah pasta gigi. Saya segera melihat dunia dalam layar, semua objek di dalam kamar Molly sebagai makanan. Lalu Molly melihat jendela, saya melihat jendela, dan kami menemukan buah beri dari mistletoe yang menggantung di bibir jendela. Kami memakannya. Tak lama Molly bilang ia mendengar suara burung layang-layang, ia tahu akan ke mana burung itu pergi. Lalu dimulailah proses transformasi Molly dari kucing, ke burung hantu, ke hiu, ke monster tentakel, dan semua diceritakan dengan suasana riang, bahkan terlalu riang, dalam upaya Molly menuntaskan rasa lapar. Kami menjelajahi pulau untuk mencari makanan. Memakan apa saja mengikuti insting survival Molly.
Saat memainkan cerita Molly, saya membayangkan cerita pendek Julio Cortázar berjudul Axolotl (saya pernah menerjemahkannya di sini). Bagaimana si narator mengikuti obsesinya terhadap axolotl dan pelan-pelan berubah menjadi axolotl. Proses transformasinya tidak seperti Gregor Samsa yang mendadak berubah menjadi serangga yang memungkinkan saya sebagai pembaca berpikir bahwa Samsa tidak benar-benar bermetamorfosis, tetapi Julio Cortázar menceritakan transformasi narator dengan motivasi yang jelas dan terjadi secara berangsur-angsur dimulai dari membayangkan menjadi axolotl di dalam akuarium hingga benar-benar menjadi axolotl di dalam akuarium. Begitu pula yang terjadi pada Molly, kelaparan mendorongnya untuk memakan apa saja termasuk beri beracun dan dia jadi memiliki obsesi melampaui apa yang biasa dan tak biasa dimakan manusia. Obsesi dan upayanya merasionalisasi pikirannya sebagai manusia membuatnya berpikir tentang makanan hewan-hewan sesuai pengetahuan yang ia terima di usianya, dan ia menceritakan naluri bertahan hidup itu di dalam buku hariannya sebelum dia mati.
Melalui cerita Molly ini, kita diperkenalkan bagaimana aturan di dunia WRoEF bekerja: sekalipun tampak seolah saya sebagai pemain memiliki kehendak bebas untuk menentukan akan ke mana saya mengarahkan karakter utama, dunia WRoEF adalah ruang yang terbatas, dengan hal yang mungkin dan tak mungkin berjalan secara beriringan dalam spektrum cerita fantastis/supernatural, sehingga kejadian luar biasa seperti, misalnya, si karakter mendadak berubah jadi labu siam, adalah hal biasa di dunia WRoEF. Pengalaman transformatif seperti cerita Molly lazim ditemukan dalam fiksi genre fantasi, fiksi spekulatif, hingga genre spesifik seperti realisme magis. Alih wahana dari buku ber-genre itu ke film bisa saja membuat kita terpesona, tetapi di dalam video game kita mengalaminya secara langsung sebagai pihak pertama dengan mekanisme interaktif yang tidak ada di buku tradisional. Pengalaman itu yang membuat interpretasi atas cerita dalam film, buku, dan video game jadi sangat berbeda. Bukan berarti video game menawarkan pengalaman lebih baik atau lebih buruk dari dua medium lain, hanya saja efeknya berbeda. Menurut saya, sastra fiksi sains, fantasi, atau realisme magis adalah seperti pilihan mode dalam fitur-fitur yang disediakan oleh dunia cerita. Ketika saya ingin mengalami dunia yang melanggar batas dunia nyata, saya akan memilih mode fiksi sains atau cerita-cerita aneh dan fantastis dengan memilih membaca buku-buku dalam genre itu. Proses ‘mengalami’ itu terasa lebih nyata ketika bermain video game.
Pada satu titik di dalam WRoEF, kita akan bertemu dengan bingkai cerita Barbara Finch. Begini deskripsi Edith tentang Barbara:
“Saat tumbuh dewasa, aku selalu menganggap Barbara sebagai bintang cilik. Aku tidak pernah memikirkan betapa sulit baginya menjalani dunia itu.”
Cerita Barbara lagi-lagi dituturkan oleh narator yang tak hadir di dunia WRoEF. Kali ini cerita dibingkai dalam komik yang disuarakan oleh Old Jack, makhluk berkepala labu khas halloween. Saya membaca cerita Barbara setelah melalui pikiran Edith tentang Barbara dan mendapat informasi tentang Barbara lewat medium komik dengan narator Old Jack yang menceritakan bagaimana Barbara Finch, si artis cilik yang terlahir di keluarga sial, mati serta diiringi oleh musik Halloween (1978) yang ikonik itu. Sesungguhnya cerita Barbara lebih sederhana dan cenderung formulaik, seperti kebanyakan cerita horor. Tetapi, pengembang video game memberi sentuhan berbeda.
Cerita Barbara dimulai dengan pemisahan antara saya, sebagai pemain di luar layar, membaca komik. Melalui perspektif orang ketiga, saya membuka halaman komik satu per satu, mengikuti gambar-gambar panel secara linier, dan membaca sambil mendengarkan suara Old Jack menarasikan balon-balon kata. Desainer game ini mempersempit perspektif saya sebagai pembaca komik dengan cara melakukan zoom in di setiap panel, hal ini memastikan saya tidak melewatkan satu panel pun dan mencegah terjadinya kebocoran cerita, sekaligus (dan inilah strategi narasi yang menurut saya brilian) menjembatani perpindahan perspektif dari sudut pandang orang ketiga ke sudut pandang orang pertama. Sekalipun pada mulanya saya adalah pembaca komik Barbara, pada satu momen menegangkan saya sudah larut ke dalam karakter Barbara dan menjadi Barbara.
Cerita horor Barbara hanya akan menjadi cerita horor biasa yang tropes-nya bisa kita jumpai di utas Twitter jika kita membacanya sebagai teks. Cara pengembang WRoEF mendesain narasi dengan memaksimalkan potensi video game membuat cerita horornya jadi menawarkan pengalaman membaca yang tidak biasa. Ia tetap cerita horor klasik yang kebanyakan orang kenali, tak ada eksperimen rumit dalam hal plot dan tak ada twist yang membuat penikmatnya kaget; strategi penyajiannya yang menjadi daya tarik utama. Hal yang kurang lebih sama, tetapi dalam cara kerja yang berbeda hadir pada bingkai cerita tentang kematian Dawn, Gus dan Gregory.
Dawn, Gus dan Gregory adalah tiga anak dari pernikahan Sam Finch dan Kay Carlyle. Saya menemukan surat gugatan cerai di tempat tidur Gregory. Di ranjang bayi pula saya menemukan kain dengan bordir nama Gregory dan tahun 1976-1877. Gregory mati saat bayi (saat usianya duapuluh dua bulan). Saya menyadari bahwa sebentar lagi saya akan masuk ke bingkai cerita Gregory. Saya jadi bertanya-tanya, jika sebelumnya bingkai cerita dihadirkan dalam bentuk buku harian, lantas bagaimana bentuk bingkai cerita Gregory? Maksud saya, seajaib apapun dunia WRoEF, saya mungkin tak akan segera percaya bayi 22 bulan bisa menulis cerita tentang bagaimana dia mati. Saya membaca surat cerai, terdapat dua lampiran di sana. Lampiran pertama berisi kontrak perceraian dan sebagainya, pada lampiran kedua, di bawah tanda tangan orang-orang dewasa yang terlibat perceraian saya menemukan tulisan tangan Sam. Suara Sam muncul segera setelah saya berinteraksi dengan surat itu.
Kay, Sayang
Apakah kamu ingat kebiasaan Gregory tertawa saat ia sedang sendiri?
Seakan-akan sesuatu yang lucu sedang terjadi tetapi cuma dia yang bisa melihat.
Setelah itu layar menampilkan tangan bayi memegang mainan kodok di dalam bak mandi. Saya menduga, game akan memaksa saya mengendalikan tangan bayi itu dan menggiringnya ke kematian. Tetapi rupanya dugaan saya salah, segera setelah Waltz of the Flowers-nya Tchaikovsky melantun dari gramofon (saya menduga begitu sebab suara lagunya bergoyang-goyang) saya menyadari bahwa, alih-alih mengontrol tangan bayi, saya mengontrol mainan bebek di depan saya. Lalu, suara Sam muncul lagi:
Aku pikir dia melihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat
Saya menggerak-gerakkan mainan bebek sambil membaca teks itu, dan menyadari di bingkai cerita Gregory ini saya menjadi sesuatu yang lucu, yang hanya bisa dilihat oleh Gregory. Saya menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus menstimulasi rasa penasaran Gregory kecil. Saya menjadi mainan bebek. Saya menjadi mainan kodok yang meloncat-loncat dan menyundul gelembung sabun berisi bebek imajiner di dalamnya.
Aku selalu bertanya-tanya apakah yang ia lihat, kata Sam dalam suratnya. Seperti apa dunianya. Dia sangat mengingatkanku pada Calvin. Tersesat dalam imajinasinya sendiri.
Saya adalah yang dia lihat, Sam. Saya adalah imajinasinya. Saya adalah hal kocak yang menjadi sumber rasa ingin tahunya.
Suara telepon berdering. Kay yang mestinya memandikan Gregory jadi harus mengangkat telepon. Rupanya yang menelepon adalah Sam. Keduanya ribut di telepon, meninggalkan Gregory tanpa pengawasan.
Sambil memancing rasa penasaran Gregory, saya bisa mendengar pertengkaran Kay dan Sam di telepon. Sementara di dunia saya, kalimat dari surat Sam harus dibaca sampai habis. Kalimat dari surat Sam timbul dan tenggelam, mereka menjadi objek untuk saya mainkan. Kalimat dalam surat itu menjadi pemantik adegan demi adegan untuk melanjutkan cerita; semakin Sam berbicara semakin saya mendekatkan Gregory kepada kematiannya.
Metode penceritaan yang sama saya jumpai pula di bingkai cerita Gus dan Dawn. Pengembang game mengubah kalimat menjadi sesuatu yang secara aktif bercerita, memenuhi fungsi teks sebagai ‘kendaraan dalam cerita’ secara literal. Pada cerita Gus, misalnya, saya membaca puisi yang kertasnya tergulung di gulungan benang. Saat selesai membaca judulnya, layar berganti menjadi langit yang luas dan saya mendengar seseorang membaca puisi sambil bermain layang-layang. Puisi itu berjudul A Poem for Gus: Who always said the wedding was a bad idea.
Bait puisi muncul di langit. Saya tidak akan bisa melanjutkan cerita jika saya tidak berinteraksi dengan puisi itu, artinya saya harus membaca dan mendengarkan puisi itu sampai tuntas. Tugas saya sebagai pemain adalah menerbangkan layang-layang dan berusaha menabrak bait-bait puisi yang muncul. Menghancurkan bait-bait puisi itu hingga mereka terpencar menjadi sekumpulan kata tak bermakna, menjadi ekor imajiner yang mengular di belakang layang-layang saya. Menjadi angin. Menjadi badai.
Menjelang akhir cerita Gus, saya tak hanya berinteraksi dengan puisi di langit tetapi juga kursi-kursi, tenda, dan benda apapun yang ada di tanah. Layang-layang saya berubah menjadi taifun, dan seiring perubahan itu awan gelap berangsur mendekat disusul gemuruh petir.
I wish that…
I wish that I could truly say
I thought about you on that day
Out there on the beach alone,
just you the wind the sea and foam
Tiba di bait ini, layang-layang saya semakin mengacau. Ia benar-benar seperti mata badai yang mengangkut apapun yang bisa ia temui.
But I didn’t. Until we found you.
Lalu, gelap.
Jika saya memutuskan untuk melanjutkan menulis tentang betapa saya menyukai segala hal yang disediakan oleh pengembang game WRoEF, mungkin tulisan ini akan berakhir menjadi buku 😑. Jadi sebaiknya saya hentikan di sini. Setidaknya, sampai di sini anda memahami bahwa sulit bagi saya untuk tidak menganggap video game sebagai medium olah bahasa yang tepat untuk mengekspresikan apa yang saya pikir dan rasakan tentang dunia. Anda boleh menyebutnya pengalaman sastrawi, boleh juga tidak. Hal itu tak mengubah apa yang saya saya alami sepanjang permainan.
Saya selalu berpikir tak ada yang menakutkan dari perkembangan teknologi, selama kita tidak berpikir bahwa teknologi adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia ini. Artinya, kita melihat teknologi sebagai alat, seperti pengungkit atau roda, dan karenanya segala pengembangannya mesti melihat keadaan masyarakat yang akan menggunakannya. Ia menjadi berbahaya ketika sama sekali terputus dengan masyarakat.
Video game punya ruang yang sangat cukup untuk menampung keindahan, kesubliman, dan keperajinan penulis selama penulis memiliki akses untuk mempelajari seluk-beluknya. Sayangnya, saat ini video game adalah medium yang cenderung mewah. Tidak semua dapat bermain game, dan tidak semua mendapat edukasi yang sama tentang teknologi gaming. Di dalam kepala saya, saya membayangkan hal-hal menyenangkan seperti kolaborasi antara penyair dan programmer.
Saya menganggap video game dan sastra sama-sama merupakan bentuk penceritaan dan ekspresi artistik; fungsi teknologi yang menopang keduanya sekadar mengakomodasi kebutuhan dan kenyamanan penikmatnya. Mereka yang lebih menikmati bentuk pasif seperti novel dan puisi, yang di dalamnya pembaca tidak memiliki kendali atas peristiwa dan hasilnya ditentukan oleh penulis, bisa memilih tetap menikmati sastra dalam teknologi buku cetak. Teman-teman difabel bisa menikmati karya-karya sastra lewat medium yang membuat mereka nyaman. Mereka yang memiliki variasi neurologis yang di luar tipikal bisa menikmati karya sastra dalam model interaktif.
Anda tidak akan menemukan hot take apalagi hal definitif ‘apakah gim video bisa disebut sastra?’ di tulisan ini. Sebab, hal lebih penting dari perdebatan tentang video game dan sastra saya kira adalah bahwa kedua medium itu sama-sama memiliki fungsi untuk menyampaikan ide, emosi, dan tema yang kompleks yang melayani kebutuhan penikmatnya. Keduanya sama-sama sanggup menyedot perhatian, meminta kita melampaui perspektif yang kita miliki, dan mengajak kita bersinggungan dengan makhluk selain manusia untuk tidak melulu congkak dengan menganggap manusia adalah pusat segala sesuatu di Bumi. Keduanya bekerja seperti pasar tukar-tambah empati yang siapa tahu dapat memecahkan gelembung dogmatis yang mengerak di dalam kepala kita sejak kecil.
Menerima bahwa video game adalah juga metode penceritaan atau penyampaian rasa yang efektif, terlepas dari ia layak atau tak layak disebut sastra, berarti juga membuka kemungkinan baru untuk membentuk iklim sastra Indonesia yang lebih terbuka dan nggak mumet di dalam dirinya sendiri partisipatif.
Hari ketika Saya Menyadari Masalah Video Game adalah Masalah Sastra juga
Perlu dicatat bahwa dunia video game apalagi industrinya yang juga sama nyebelinnya dengan dunia sastra tidak seperti kue cucur (seragam). Tidak semua video game dirancang berbasis cerita dan minim aksi (istilah keren sekaligus ejekannya, walking simulator). Kebanyakan masih berbasis aksi, menuntut strategi jitu, dan menganggap penceritaan adalah nomor 100 dari produksi game. Wajar saja, karena industri game mengakar kuat pada kapitalisme dan neoliberalisme dan sejak awal memang bersandar pada pasar yang ekstrakompetitif dan eksploitatif. Yang perlu Anda ketahui adalah bahwa banyak juga upaya-upaya studio gim, rata-rata studio kecil atau pengembang perorangan, yang memang mencintai literatur dan fokus mengembangkan kemungkinan penceritaan lewat video game seperti WRoEF.
Saya tadi menyatakan bahwa persinggungan video game dan sastra paling dekat ada di genre fiksi sains dan fantasi. Mungkin karena genre ini memungkinkan eksplorasi yang lebih luas ketimbang genre lain, selain karena dunia dan makhluk imajinatifnya tampak keren kalau divisualisasikan (dan menjadi nilai jual tersendiri). Biarpun begitu, fiksi sains memiliki masalah yang mengakar kuat di dalam tradisinya, terutama karena genre ini didominasi oleh dunia barat (Anda bisa menemukan eropasentris pada cerita-cerita Jorge Luis Borges, misalnya).
Apa yang difantasikan di dalam cerita fantasi yang menjadi kanon sebagian besar berakar dari dongeng-dongeng Eropa. Apa yang diimajinasikan sebagai masa depan adalah masa depan yang dibayangkan oleh masyarakat barat dan khususnya kulit putih dan lagi Amerika Serikat era perang dingin. Sehingga di dalamnya rentan pula terdapat ide-ide yang bermasalah seperti kolonialisme, imperialisme, rasisme, misogini, hingga antikomunisme. Ketika membicarakan fiksi sains, orang cenderung membayangkan teknologi tinggi seperti mobil-mobil terbang, ilmu peroketan yang rumit, penjajahan di Mars, atau robot-robot militer. Ketika saya membaca karya-karya Le Guin, rasanya seperti dibanting dari puncak Monas dan diseret dengan kuda sampai Cirebon sampai saya sadar bahwa dunia fiksi sains yang saya pahami keliru.
“Para penulis fiksi sains ‘tulen’ mengabaikan segalanya kecuali, yah, fisika, astronomi, dan mungkin kimia. Biologi, sosiologi, antropologi—bagi mereka itu bukan sains, itu hal-hal ringan. Mereka tidak begitu tertarik dengan apa yang dilakukan manusia, sungguh. Tapi saya. Saya banyak menggunakan ilmu sosial.”
Ursula K. Le Guin berkata begitu dalam wawancaranya dengan The Paris Review. Anda juga harus membaca suratnya yang keren ini. Saat memiliki akses terhadap teks-teks Le Guin, saya menyadari satu hal. Seandainya Le Guin sama populernya dengan George Orwell di Indonesia, seandainya pembicaraan mengenai kaitan sastra, sosial dan politik dalam fiksi spekulatif atau fiksi sains tidak melulu didominasi pemujaan terhadap George Orwell, orang-orang mungkin akan melihat fiksi sains dan spekulatif dengan cara pandang berbeda. Kami mungkin bisa pula mengakses cerita-cerita Le Guin secara lebih mudah sehingga bisa melihat keadaan sosial dalam perspektif yang berbeda pula sebelum memutuskan mencipta dunia fiktif atau mengkhayal tentang teknologi.
Saya pembaca Frank Herbert. Dulu saya mencintai Dune, bisa dikatakan Dune adalah novel kedua setelah Vacuum Flowers (Michael Swanwick) yang membangkitkan gairah saya untuk mencipta dunia. Saya suka bagaimana dia menulis dialog yang padat, menciptakan karakter, membentuk ekologi di dalam Dune. Saya berutang kepadanya dalam banyak hal, seperti saya berutang pada Ursula K. Le Guin. Tetapi sekarang saya tidak bisa tidak melihat Frank Herbert dengan penilaian yang sama, seperti ketakutan historisnya terhadap penyihir dan perempuan, menggembosi karakter selain laki-laki menjadi sehingga mereka tampak seperti karakter yang tidak memiliki dimensi emosional, dan dia memiliki problem memandang budaya lain secara eksotis. Ketika saya masih lebih muda, saya pikir lebih mudah untuk membaca hal-hal seperti Bene Gesserit. Namun, semakin ke sini rasanya tidak bisa pura-pura tidak melihat itu lagi.
Masalah serupa juga terdapat dalam genre cyberpunk dengan estetika distopia usang dan rasis. Dalam genre ini, misalnya, pecinan selalu digambarkan kumuh tak terurus di tengah gegap-gempita kota merayakan keberhasilan Reaganomics. Template distopia yang selalu diulang-ulang semakin menggerus muatan politik genre distopia dan berakhir sebagai perayaan/fetish terhadap kehancuran belaka.
Desainer game pasti juga banyak berutang pada Dungeons & Dragons dan Tolkien. Kedua hal ini sudah menjadi default di dunia penulisan fiksi fantasi, dan tanpa keberadaan kritikus sastra yang memberi masukan konstruktif, penulis fantasi menggunakan template yang sama dan tidak menyadari konservatisme dan ide regresif yang merembes dalam cerita-cerita Tolkien. Saya menyukai Tolkien, tetapi menyalin template Tolkien tanpa menyadari atau mempertanyakan tone rasis dan ide kolonialisme di dalam cerita-ceritanya jelas sama sekali tidak membantu.
Di dalam fiksi sains dan fantasi yang sejauh ini didominasi oleh penulis kulit putih, ada tendensi tak tertahankan untuk mempolarisasi gagasan moral baik dan buruk. Tidak mengherankan jika gagasan itu kemudian memberi informasi terhadap desain makhluk yang diciptakan pengarang. Manusia (semoga) secara sadar berusaha untuk tidak berprasangka buruk, tetapi juga memiliki kecenderungan mengelompokkan makhluk hidup menjadi ‘kita’ melawan ‘mereka’. Pengelompokan makhluk berdasarkan gagasan ‘jahat dan baik’ tentu mempengaruhi keputusan artistik saat si penulis mendeskripsikan makhluk fiktifnya, misalkan: mereka yang jahat dibuat tampak tidak beradab, menyukai benda-benda tajam, dan memiliki aksesoris serba bertaring, dan biasanya, sebagai jalan pintas, penulis mengasosiasikan si jahat ini dengan hewan-hewan yang berbahaya seperti laba-laba, ular, jaguar, dan sebagainya. Mereka sejak semula digambarkan oleh pengarang bukan hanya sebagai outcast atau liyan tetapi juga sebagai sesuatu yang sudah pasti jahat dan kayak menjadi target kekerasan.
Jika penampilan fisik menggambarkan secara esensial perilaku karakter di dalam cerita yang Anda tulis, bukankah Anda mendorong orang untuk mengasosiasikan penampilan dengan perilakunya?
Metode berpikir di atas mungkin adalah salah satu cara tercepat—sekaligus cara paling malas—untuk mencipta karakter karena Anda sedang berhadapan dengan masyarakat yang mayoritas berpikir demikian, tetapi menggunakan ciri-ciri fisik dengan cara ini menyisakan sedikit, atau bahkan menghapus sama sekali, kesempatan bagi individu dari suatu ras atau gender di luar mayoritas untuk mengekspresikan diri tanpa takut diasosiasikan sebagai orang jahat atau orang terkutuk. Ada sejarah panjang konservatisme, rasisme, kolonialisme, dan queerfobia di balik tradisi artistik mendeskripsikan karakter ini. Tolkien, misalnya, secara eksplisit mendeskripsikan elves berkulit putih terang sementara goblin dan orc berkulit gelap. Berdekade kemudian kelas penulisan kreatif masih mengoceh tentang bagaimana mendeskripsikan karakter yang bersandar pada Tolkien atau Lovecraft tanpa memberi ruang berpikir kritis.
Ini tentu bukan ajakan membenci atau anti terhadap penulis-penulis atau metode penulisan itu. Tak ada salahnya menyukai The Lord of the Rings atau Do Androids Dream of Electric Sheep? Hanya saja, di dalam teks keduanya menyelipkan bagaimana cara penulis memandang dunia, dan cara pandangnya seharusnya tak menjadi default, apalagi dianggap model cerita yang universal. Pencarian terhadap sesuatu yang orisinal tentu pekerjaan yang melelahkan—kalau tak ingin dibilang sia-sia, sementara dunia imajinasi dibentuk dan dibatasi oleh hal-hal yang sekitar kita, karenanya imajinasi tentang teknologi seharusnya berurusan dengan apa yang suatu masyarakat butuhkan (kebutuhan komunitas kamu tentu saja berbeda dengan kebutuhan masyarakat Amerika) karena begitulah teknologi! Ia bertugas membantu manusia mengerjakan pekerjaan mereka.
Saya selalu penasaran dan ingin membaca karya-karya fiksi sains dari teman-teman di luar Jakarta, karena kehidupan saya hanya ada di sekitar kota ini dan apa yang saya bayangkan tentang teknologi, ekonomi, sosial, hingga politik selalu tak bisa keluar dari pandangan saya tentang Jakarta. Siapa tahu dengan sastra fiksi sains, fantasi, atau spekulatif yang menorobos batas imajinasi default dalam genre-nya orang secara bersama-sama bisa mengenyahkan pikiran bahwa hanya manusia yang layak dipenuhi kebutuhannya, bahwa hanya nilai-nilai dari kelompok Anda yang mesti dipegang seluruh masyarakat, bahwa Anda sesungguhnya tidak spesial-spesial amat.
Saya punya contoh menarik: Ada sebuah game berbasis cerita yang dirancang oleh Mohammad Fahmi dan diproduksi oleh studio game independen lokal, Toge Productions, berjudul “Coffee Talk”. Game ini berisi karakter-karakter eksentrik seperti berkulit hijau atau ungu, bertanduk, berkuping lancip dan lain-lain yang secara artistik berada di jalur tradisi fantasi a la Tolkien. Meski begitu, game ini berhasil memutarbalikkan stereotipe Tolkien dengan cara sederhana sekali, yaitu menulis dengan sensitivitas dan bernuansa. Kita tak lagi melihat orang-orang aneh di dalam Coffee Talk sebagai the other; kepiawaian penulisnya merangkai cerita membuat kita merasa terhubung dengan karakter-karakter nyentrik itu dan berempati dengan masalah yang mereka hadapi.
Saya sering mendengar sastrawan menggerutu karena menganggap orang-orang hari ini terlalu sensitif dan mengekang kebebasan mereka berekspresi lewat sastra. Jika mereka memainkan game seperti Coffee Talk, mungkin mereka bisa mencurigai diri mereka sendiri: jangan-jangan masalahnya bukan betapa masyarakat hari ini terlalu sensitif, melainkan lantaran mereka yang sudah terlalu lelah untuk belajar mendengar dan memahami, atau terlalu malas untuk mencari solusi dari kreativitas yang mentok akibat tidak pernah memperbarui referensi sejak tiga puluh tahun lalu.
Catatan Kaki
[1] First-person game adalah genre gim video yang dinarasikan dan divisualisasikan dari sudut pandang orang pertama. Dalam genre ini, tokoh utama biasanya tidak terlihat secara langsung karena pemain melihat dunia gim dari sudut penglihatan sang tokoh.
Sabda Armandio
Sabda Armandio Alif lahir pada 18 Mei 1991. Kemunculannya di dunia sastra Indonesia tak terduga. Tanpa pernah menerbitkan suatu cerita pendek pun di koran nasional—jalur lazim bagi penulis Indonesia untuk mendapatkan perhatian—Dio hadir dengan novel pertamanya, Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya pada 2015. Novel yang berlumur humor ganjil ini langsung menjadi pembicaraan dan berakhir dengan mendapat penghargaan sebagai Novel Terbaik 2015 versi Majalah Rollingstone Indonesia. Naskah untuk novel keduanya, 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif, meraih penghargaan Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2016 dan diadaptasi ke layar lebar pada 2022 oleh Visinema dan Kawan-Kawan Media. Saat ini novelanya yang berjudul Dekat dan Nyaring (Penerbit Banana, 2019) mendapat Sastra Prosa Pilihan Tempo 2019. Ia menerbitkan kumpulan cerita pendek Kisah-Kisah Suri Teladan (Penerbit Gambang, 2019) dan novel fiksi ilmiah berjudul MONGREL pada 2021 di platform Kumparan+.
Saat ini Dio bekerja sebagai Chief Technologist di jurno.id.