Novel Kura-kura Berjanggut (KkB) tentu saja bukan karya sastra pertama dan satu-satunya yang diperbincangkan terkait narasi sejarah. Bahkan, karya-karya setua Iliad—yang periode waktu penulisannya saja sulit dipastikan—atau novel-novel klasik Cina yang dikelompokkan dalam “Empat Karya Termasyhur dari Cina” (si da mingzhu) juga dicari atau diperdebatkan unsur kesejarahannya. Hal tersebut mengindikasikan keinginan kuat manusia modern (dalam konteks perkembangan peradaban, bukan pemetaan spesies) untuk mengetahui atau mendefinisikan kembali identitas dan eksistensi mereka melalui narasi-narasi yang dibuat generasi sebelum mereka dan diekspresikan melalui berbagai modalitas, mulai dari tradisi lisan sampai teks tertulis. Dalam hal ini, berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya semakin menguatnya obsesi akan objektivitas, menempatkan sejarah—dalam definisinya sebagai cabang ilmu pengetahuan tentang masa lalu yang menjadikan validitas dokumentasi sebagai parameter—dalam posisi yang lebih berkelas dan tepercaya dibandingkan narasi-narasi yang bergerak secara organik di suatu lingkungan masyarakat, yang dalam tulisan ini saya sebutkan sebagai mitos.
Kebangkitan objektivisme pada satu dan lain hal berdampak pada cara kita membaca karya sastra. Karya-karya yang bercerita tentang kehidupan di masa lalu dibaca secara sempit menggunakan kacamata sejarah, menekankan pada upaya-upaya validasi, dan pada gilirannya melewatkan pembacaan mendalam terhadap anasir yang membangun kesastraan karya sastra itu. KkB adalah salah satu karya sastra yang menjadi korban dari bertenggernya objektivisme di singgasana ilmu pengetahuan. Sayangnya, KkB kerap dibaca dengan harapan penemuan akan narasi sejarah yang objektif tentang perdagangan rempah internasional pada abad ke-16 di Nusantara, terutama di Aceh, atau yang dihadirkan dalam karya ini sebagai Kerajaan Lamuri. Hal tersebut terlihat dari tendensi sejumlah hasil kajian ilmu sastra yang menjadikan novel ini sebagai subjek penelitian, yang mengarah pada upaya untuk mencocokkan karakter A dan peristiwa B dengan tokoh-tokoh dan fenomena-fenomena di masa lalu yang sempat terekam dan dicetak dalam buku-buku sejarah, atau paling tidak dalam catatan-catatan orang kulit putih yang tersusun rapi dalam penanggalan yang runut yang kemudian dikonstruksikan sebagai sejarah. Pencarian justifikasi sejarah tersebut mengecilkan atau bahkan mengesampingkan sama sekali anasir sastrawi KkB, dan pada gilirannya mereduksi mitos masyarakat Lamuri menjadi narasi sejarah.
Para sejarawan mungkin tidak akan senang dengan argumen saya, yang seakan-akan menempatkan mitos berada di atas sejarah. Apalagi jika sudah membicarakan metodologi penelitian sejarah yang bersandar pada dokumentasi sebagai sumber validasi, objektivitas sebagai parameter kesahihan, serta gagasan realitas dan kebenaran empiris sebagai variabel keberhasilan. Akan tetapi, kita perlu menyadari dan mengakui bahwa mitos pada beberapa kasus memiliki fungsi sosial yang jauh lebih kuat daripada hal-hal yang didefinisikan atau dikategorisasikan sebagai ilmu pengetahuan.
Sebagian besar dari kita tentu tidak asing dengan mitos makhluk halus yang akan mengganggu orang yang memasuki kawasan tertentu selepas matahari terbenam. Narasi itu tidak membutuhkan validasi berupa dokumen arsip untuk dipercayai dan telah berhasil dimanfaatkan selama ratusan—jika tidak ribuan—tahun sebagai alat pengendali perilaku manusia. Sebab mitos pada dasarnya bukan tentang benar atau salah. Ia terbangun paling tidak oleh dua hal, yakni signifikansi dari subjek narasi dan kemampuannya untuk bertahan.
Mitos dengan subjek narasi yang penting atau signifikan akan mampu bertahan jauh lebih lama karena memiliki fungsi tertentu bagi orang-orang yang mendengar dan menceritakannya. Contohnya, mitos-mitos penciptaan dunia atau asal usul manusia yang agaknya akan terus direproduksi, disebarkan, dan diturunkan selama manusia masih ada di muka bumi. Mitos-mitos tersebut pada beberapa titik digunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam kelindan relasi kuasa sebagai alat kontrol sosial, misalnya oleh para petinggi dan guru agama untuk mengendalikan umat. Dengan kerja-kerja reproduksi tersebutlah suatu mitos bisa bertahan, disebarluaskan atau diturunkan melalui tuturan, atau juga dikonservasi dalam wujud yang lebih materialis seperti tulisan.
Alih-alih membacanya sebagai fiksi sejarah—sebagaimana dinyatakan dalam beberapa kajian—saya mendapati kedua karakteristik mitos tersebut pada narasi tentang kelompok persaudaraan Kura-kura Berjanggut yang tertuang dalam KkB. Melalui penelusuran terhadap setiap teks yang menyusun KkB, kita akan melihat bagaimana mitos bekerja, dimaknai dan dimanfaatkan, baik oleh kelompok masyarakat yang menciptakannya maupun oleh kelompok lain yang terpapar olehnya, terlepas dari rentangan jarak waktu dan tempat, membentuk dinamika yang tidak bisa dikatakan teratur, tetapi terbukti berhasil mengisi alam pikiran manusia. Oleh karena itu, tulisan ini sejatinya tidak disarankan bagi para pembaca budiman yang masih berhasrat untuk menemukan kepingan sejarah Kerajaan Aceh dan perdagangan rempah Nusantara dalam KkB.
Untuk mencegah kebingungan pembaca terkait istilah yang digunakan dalam tulisan ini, saya menyertakan sedikit penjelasan sebelum kita masuk lebih lanjut. KkB merujuk kepada novel yang menjadi subjek pembacaan tulisan ini, sementara Kura-kura Berjanggut merujuk kepada kitab resep cara membunuh Sultan Nuruddin yang disusun oleh Putri Tajul Dunya dan menjadi bagian dari cerita KkB, dan Kura-kura Berjanggut merujuk pada nama kelompok persaudaraan yang dikisahkan dalam KkB memiliki misi untuk membunuh Sultan Nuruddin.
Satu hal mendasar terkait strategi penceritaan KkB yang perlu disadari dan dipahami sebelum masuk lebih lanjut ke dalam setiap teks penyusunnya adalah bagaimana narasi novel tersebut tidak bergerak dalam satu kerangka alur cerita, melainkan dalam satu semesta mitos tentang Kura-kura Berjanggut yang dihadirkan melalui empat “kitab” yang menyusunnya, yakni “Buku Si Ujud”, “Buku Harian Tobias Fuller”, “Lubang Cacing”, dan “Catatan Bantaqiah Woyla”. Saya memutuskan untuk menggunakan istilah “kitab” dalam merujuk kepada bagian-bagian dalam novel ini karena pada “Catatan Bantaqiah Woyla” kita akan menemukan kisah lahirnya buku ini, yakni sebagai hasil dari kerja-kerja pengarsipan, transliterasi, penerjemahan, dan penggabungan yang dilakukan oleh Bantaqiah terhadap teks-teks yang berdiri sebagai entitas fisik yang terpisah satu dari yang lain.
Kitab keempat dalam KkB merupakan panggung bagi Bantaqiah untuk menghadirkan maksud dan tujuannya menyusun buku tersebut, juga menceritakan romantisasi kerja-kerja filologi, soal bagaimana ia bisa bertemu dengan “arsip-arsip itu seperti bertemu kembali kawan lama”, “mengurung diri di kamar” selama dua minggu untuk membaca dan menelaah naskah-naskah lama, lalu mengerjakannya sebagai “seorang amatir” (918). Catatan Bantaqiah pada gilirannya mengilustrasikan peran dan kuasanya dalam menentukan teks apa saja yang ia masukkan dalam KkB di antara sejumlah teks lain yang berkaitan dengan mitos Kura-kura Berjanggut, di antaranya Kitab Riwayat karya Astakona yang menjabarkan kisah hidup Anak Haram atau Sultan Nuruddin, Kitab Firasat karya Si Ujud, Kitab Rintisan karya Abdoel Gaffar yang mengisahkan tentang tanah kelahiran Si Ujud, dan Catatan Perjalanan ke Dunia Lain yang disusun Bonnefoy, nakhoda yang menemani pelaut Prancis Jean Claude selama perjalanan Ekspedisi Ketiga Eropa ke Lamuri. Akan tetapi, kita tidak akan sepagi ini untuk membahas Bantaqiah Woyla. Kita akan kembali lagi kepadanya di bagian akhir dari tulisan ini. Sekarang mari kita membaca dulu tiga kitab yang dikumpulkan Bantaqiah dan satu tulisan yang dibuatnya untuk membentuk isi KkB.
Kitab pembuka KkB, “Buku Si Ujud” adalah naskah yang paling menuntut kerja-kerja filologi dibandingkan naskah-naskah lain yang terdapat dalam novel ini. Bantaqiah menulis dalam catatannya bahwa kitab tersebut awalnya ditulis dalam aksara Arab-Melayu dan bahasa Melayu (917), sehingga untuk menyajikannya sebagai bagian dari KkB, Bantaqiah mengalihaksarakan dan menerjemahkannya.
Nama yang digunakan sebagai judul kitab tersebut sesungguhnya bisa kita temukan pada salah satu naskah kuno Aceh, yakni Hikayat Malem Dagang yang ditulis oleh Chik Pante Geulima dan selesai disusun pada 1889, saat Perang Sabil sedang berkecamuk di Aceh. Karya tersebut dipercaya sebagai epos tertua warisan zaman keemasan tradisi sastra Aceh, sehingga berhasil menarik perhatian peneliti dalam maupun luar negeri. Terdapat perbedaan pendapat di antara kedua kelompok peneliti tentang sosok Si Ujud dalam Hikayat Malem Dagang. Snouck Hurgronje membaca Si Ujud sebagai raja Belanda yang dilawan oleh Sultan Iskandar Muda.[1] Sementara Hoessein Djajadiningrat membaca Si Ujud dalam Hikayat Malem Dagang sebagai Sultan Alauddin Riayat Syah III, seorang sultan Johor.[2]
Perdebatan semacam itu bukanlah hal yang baru atau aneh dalam kajian naskah lama, mengingat sejumlah faktor intrinsik dan ekstrinsik yang membentuk lubang atau jarak pengetahuan antara teks tersebut dengan pembaca modernnya. Sejumlah faktor itu meliputi sifat dari tradisi penulisan dan penyalinan naskah yang memungkinkan adanya beragam versi teks, perjalanan yang ditempuh oleh satu naskah sampai akhirnya ditemukan kembali dan dibaca yang sering membuat teks tersebut harus kehilangan beberapa bagiannya, dan yang juga tidak kalah krusial adalah pemahaman bahasa dan budaya yang dimiliki pembaca modern. Bahkan, kita juga bisa mempertimbangkan aspek siapa dan kepentingan apa yang dibawa oleh sang pembaca/periset suatu teks. Akan tetapi, pada tulisan ini kita tidak akan mencari tahu lebih lanjut siapa sebenarnya Si Ujud dalam Hikayat Malem Dagang atau mencari pembuktian keberadaannya dalam sejarah Kesultanan Aceh. Mari kita kembali pada Si Ujud dalam KkB tanpa harus memaksakannya menjadi orang lain.
Keputusan Bantaqiah untuk memasukkan “Buku Si Ujud” dalam KkB adalah pintu gerbang utama yang mengantarkan kita ke dalam pembahasan tentang mitos Kura-kura Berjanggut. Tulisan yang terbagi ke dalam 17 bagian tersebut dimanfaatkan oleh Bantaqiah untuk menancapkan tonggak pertama tentang Kura-kura Berjanggut sebagai mitos. Penulis “Buku Si Ujud” memperkenalkan Kura-kura Berjanggut sebagai “persaudaraan rahasia” yang merupakan “salah satu musuh paling kuat” (18) dari Sultan Nuruddin atau yang lebih sering disebut dalam kitab tersebut sebagai Anak Haram. Selain Kura-Kura Berjanggut, ada juga dirinya yang ia gambarkan sebagai musuh dalam selimut bagi Anak Haram, yang bersembunyi sebagai sangkilat, atau “mata-mata yang bertugas mengawasi pejabat kesultanan” (14), dengan keinginan besar untuk membunuh majikannya karena digerakkan rasa dendam atas kematian orang tuanya dalam Pembasmian Merica, momentum pemberontakan Anak Haram bersama para pengikutnya di penjara Jalan Lurus yang mengantarkannya ke puncak kekuasaan.
Seiring berjalannya cerita dalam “Buku Si Ujud”, berceceran kepingan-kepingan kisah tentang Kura-kura Berjanggut yang menuntut pembaca untuk menyusun kepingan-kepingan tersebut untuk memahami siapa sebenarnya tokoh tersebut. Mulai dari sosok pendiri Kura-kura Berjanggut bernama Zainal Abidin yang pernah mengirim kelompok pelawak untuk mengelabui dan membunuh Anak Haram (35); beberapa nama yang disebut sebagai pemimpin Kura-kura Berjanggut, antara lain Imam Besar Tarekat Burung Pingai (417), dan Madina (426); Perak sebagai salah satu kota persembunyian terbaik Kura-kura Berjanggut (358); jumlah anggota Kura-kura Berjanggut yang mencapai sepuluh ribu orang (549) dan kekayaan Kura-kura Berjanggut yang tidak terbatas (548), sampai narasi-narasi terkait lainnya, seperti sandiwara berjudul Kura-kura Berjanggut yang menceritakan tentang seekor kura-kura yang dikelabui oleh seekor unta buangan Nabi Sulaiman (35), dan buku “panduan singkat untuk membunuh Anak Haram dengan tebal seratus dua puluh halaman” (548) yang dikutip dalam “Buku Si Ujud” pada bagian penjabaran daftar kebiasaan Anak Haram sehari-hari dan lima jurus membunuh sultan kedelapan Lamuri tersebut (552–8). Semua hal itu tidak diungkapkan dalam cara yang cukup mudah diikuti dalam “Buku Si Ujud”, karena dikelilingi oleh begitu banyak cerita lain yang berhubungan dengan kehidupan pribadi penulis, riwayat hidup Anak Haram mulai dari kelahiran sampai perannya sebagai sultan, dan situasi perdagangan merica di Kerajaan Lamuri dengan segala politik dan intriknya.
Di antara ceceran kepingan-kepingan cerita Kura-kura Berjanggut yang dapat membentuk pemaknaan utuh tentang kelompok tersebut, terselip sejumlah narasi yang mengindikasikan konstruksi Kura-kura Berjanggut sebagai mitos. Salah satu yang paling kentara adalah keraguan yang berkelebat di benak sejumlah karakter dalam “Buku Si Ujud”. Misalnya, Si Buduk yang “sulit untuk percaya” bahwa tiga orang yang ditemuinya di penginapan Teratai Putih saat Kura-kura Berjanggut sedang mengadakan sidang sebagai “orang-orang Kura-Kura Berjanggut yang tersohor itu” (420). Bahkan penulis “Buku Si Ujud” sendiri meragukan jumlah anggota Kura-kura Berjanggut yang disebutkan oleh Putri Tajul Dunya dalam Kura-kura Berjanggut mencapai sepuluh ribu. Menurut ia, itu “sebuah angka yang tentu saja dilebih-lebihkan” (549). Bagaimana cerita tentang Kura-kura Berjanggut beredar di kalangan masyarakat Lamuri melalui kisah-kisah yang dituturkan, penggunaan namanya sebagai judul buku yang dipercaya mematikan, ditambah dengan keberagaman persepsi terhadap Kura-kura Berjanggut—yang pada satu sisi dipercaya sebagai kelompok rahasia yang teramat kuat dan di sisi lain diragukan keagungannya—adalah karakteristik mitos dan menjelaskan bagaimana ia dihidupkan di suatu lingkungan masyarakat.
Dalam hal ini, sebenarnya Bantaqiah punya pilihan untuk membentuk konstruksi tersebut dengan membuat tulisan yang lebih sederhana sehingga lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca abad ke-21. Akan tetapi, Bantaqiah menurut saya memang sengaja menyuguhkan hasil pengalihaksaraan dan penerjemahannya atas “Buku Si Ujud” tanpa mengubah unsur naratif teks tradisional tersebut, bahkan tidak memiliki keinginan untuk sekadar memberikan pengantar atau penjelasan analitis atas teks tersebut (bandingkan dengan kitab kedua KkB ketika Bantaqiah menuliskan pengantar untuk teks tersebut). Saya tidak akan mengatakan hal tersebut sebagai semata-mata keengganan atau kemalasan Bantaqiah.
Sebaliknya, Bantaqiah berkeinginan untuk menancapkan tonggak mitos Kura-kura Berjanggut dalam KkB melalui alam pemikiran anggota masyarakat Lamuri sebagai pihak pertama yang menciptakan mitos tersebut. Seperti telah sedikit saya singgung di atas, “Buku Si Ujud” menyuguhkan narasi-narasi lain yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Lamuri, sehingga melalui teks ini pembaca akan mengenal Lamuri dari kacamata seorang Lamuri, melalui cara penceritaan yang khas Lamuri. Dalam kata lain, Bantaqiah memaksa pembaca abad ke-21 untuk menghadapi teks dari abad ke-16 dengan segala kerumitannya—untunglah, paling tidak, Bantaqiah sudah melakukan pengalihaksaraan dan penerjemahan—untuk mengenal mitos Kura-kura Berjanggut dan alam pemikiran masyarakat Lamuri.
Jika “Buku Si Ujud” sudah memberikan gambaran yang begitu mendalam, mengapa Bantaqiah harus melibatkan “Buku Harian Tobias Fuller” dan “Lubang Cacing” dalam KkB? Seorang peneliti hampir dapat selalu dipastikan bahwa ia memiliki tujuan dan misinya tersendiri dalam melakukan suatu proyek penelitian. Saya membaca niat Bantaqiah untuk membuktikan kepada pembacanya bahwa subjek yang tengah ditelitinya memiliki signifikansi pada era dewasa ini. Bahwa bukanlah hal yang cuma-cuma untuk berjibaku dengan naskah tradisional, melakukan pengalihaksaraan dan penerjemahan atas aksara dan bahasa yang tidak lagi digunakan oleh kebanyakan orang saat ini, serta membahas suatu narasi yang termaktub dalam naskah kuno di dunia serba-digital saat ini. Dewasa ini para ilmuwan humaniora, salah satunya pengaji naskah kuno, memang sering menjadi korban dari semua wacana tentang peran pragmatis peneliti dan hasil penelitiannya terhadap pembangunan negara atau dunia. Mereka harus mencari alasan-alasan tertentu yang membuat mereka lolos dari pertanyaan-pertanyaan terkait signifikansi dan manfaat kerja-kerja riset mereka seiring nilai ilmu pengetahuan semakin ditentukan oleh dampak dan sumbangan nyatanya pada pembangunan yang bersifat fisik dan terukur.
Namun, dalam hal ini saya tidak ingin mengecilkan Bantaqiah sebagai seorang peneliti yang terjebak dan tidak berdaya di tengah segala tuntutan “dampak nyata” ilmu pengetahuan yang saat ini merongrong di ruang-ruang kuliah, perpustakaan, atau lembar kerja para akademisi dan peneliti.
Pada tingkat yang lebih substantial, Bantaqiah menghadirkan “Buku Harian Tobias Fuller” sebagai upaya untuk menunjukkan sejauh mana mitos Kura-kura Berjanggut berkembang dalam skala waktu maupun cakupan geografis, juga bagaimana narasi tersebut hidup (baca: dihidupkan) dalam keberagaman latar. Bantaqiah memasukkan “Buku Harian Tobias Fuller” dan naskah-naskah dalam “Lubang Cacing” yang ditulis pada abad ke-17, ke-20 dan ke-21 oleh beberapa penulis dengan latar belakang beragam dan dalam bentuk teks yang beragam pula untuk menguatkan karakteristik mendasar mitos yang saya sebutkan pada pembuka tulisan ini, yakni signifikansi subjek dan kemampuannya untuk bertahan.
Setelah “Buku Si Ujud”, kita akan mendapati pengantar Bantaqiah untuk mengawal pembacanya masuk ke “Buku Harian Tobias Fuller”. Ia berusaha memberikan konteks tentang siapa Tobias Fuller, maksud kedatangannya ke Lamuri pada paruh awal abad ke-20, dan apa yang terjadi padanya kemudian di tanah yang jauh dari tempat kelahirannya itu. Bantaqiah menyebutkan bahwa Tobias raib secara misterius setelah terlihat berjalan “dengan canggung melintasi pematang sawah” yang merupakan “setapak yang berakhir di mulut sebuah goa” (679) yang bukan merupakan jalan yang umum dilintasi oleh penduduk lokal. Berbicara tentang misteri hilangnya Tobias, Bantaqiah sudah mengingatkan dalam pengantarnya bahwa kitab kedua dalam KkB tersebut tidak akan “membuka tabir raibnya sang penulis”, dan pada saat yang sama menyebutkan tentang Kura-kura Berjanggut sebagai “kitab yang diamalkan oleh para pembunuh misterius Lamuri” (681). Menghadirkan asumsi tentang hubungan antara nasib yang dialami oleh Tobias dengan narasi Kura-kura Berjanggut dalam pengantar buku harian seorang kulit putih pendatang merupakan cara Bantaqiah untuk meyakinkan bahwa mitos Kura-kura Berjanggut tidak hanya melibatkan masyarakat Lamuri yang hidup pada zaman ketika “Buku Si Ujud” ditulis, tetapi melampaui abad dan identitas budaya, serta meretas segregasi golongan yang tergambarkan melalui label “kafir” yang dialamatkan masyarakat Lamuri kepada orang kulit putih (702) dan anggapan bahwa orang Lamuri adalah masyarakat “fanatik” (732) yang berkembang di kalangan orang-orang kulit putih.
Serupa dengan karakter Si Ujud yang dianggap memiliki intertekstualitas dengan sosok lain di luar semesta KkB, sejumlah pembacaan yang sudah dilakukan sebelumnya terhadap buku ini berargumentasi bahwa Tobias Fuller merepresentasikan sosok Rudolf A. Kern, seorang peneliti Belanda yang telah mengaji sejumlah fenomena budaya di sejumlah daerah di Indonesia dan menelaah naskah-naskah tradisional Nusantara. R.A. Kern pernah mengunjungi Aceh dan secara spesifik melakukan penelitian terhadap fenomena pembunuhan orang-orang kulit putih oleh masyarakat lokal, yang ia sebut dengan Aceh Moorder atau Pembunuhan Aceh dalam catatannya yang sampai hari ini masih sering dirujuk[3] untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu 1910–1930 di Aceh tersebut. Sementara itu, Bantaqiah menjelaskan dalam pengantarnya bahwa Tobias Fuller ditugaskan oleh Majelis Penyelidikan Pembunuhan Lamuri untuk menyelidiki Pembunuhan Lamuri, atau pembunuhan-pembunuhan terhadap orang kulit putih yang dilakukan penduduk pribumi pada kurun waktu 1913–1917. Seperti halnya Si Ujud, sosok Tobias Fuller mungkin memang memiliki relasi intertekstualitas dengan sosok seorang R.A. Kern. Akan tetapi, sekali lagi tulisan ini tidak berupaya untuk mencari-cari justifikasi sejarah dari KkB, sehingga kita tidak perlu lebih lanjut menghubungkan Tobias dengan peneliti itu.
Nuansa yang jauh berbeda akan kita temukan setelah berjibaku dengan cerita dalam “Buku Si Ujud” yang berlarut-larut dan berpindah ke “Buku Harian Tobias Fuller”. Perbedaan yang paling mendasar dan kentara berkaitan dengan aspek fisik kedua teks tersebut. Entri-entri dalam “Buku Harian Tobias Fuller’ mengandung anasir parateks seperti judul dan penanggalan yang digunakan secara cukup konsisten oleh penulisnya. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan dalam teks tersebut secara umum dapat dikatakan lebih mudah dipahami oleh pembaca abad ke-21. Di balik perbedaan tersebut, terdapat satu benang merah yang menghubungkan kedua teks tersebut yakni mitos Kura-kura Berjanggut. Pembaca atau peneliti yang condong pada kajian pascakolonialisme hampir dapat dipastikan akan berupaya menemukan narasi-narasi yang berkaitan dengan bagaimana Tobias sebagai representasi kelompok masyarakat penjajah melihat lingkungan masyarakat yang mereka jajah. Mereka kemungkinan besar akan berusaha meyakinkan diri dan penikmat argumentasinya bahwa Tobias memiliki pandangan yang mengobjektifikasi masyarakat Lamuri. Tentu hal tersebut sah-sah saja dilakukan, tetapi dalam hal ini saya malah mendapati kecenderungan yang berkebalikan dari yang diharapkan oleh para peneliti berkacamata kritik pascakolonial.
Alih-alih menggambarkan apa yang disebut dengan sudut pandang kolonial berbumbu egoisme pemikiran Era Pencerahan tentang kategorisasi apa yang bisa dianggap ilmu pengetahuan dan bukan-ilmu pengetahuan, “Buku Harian Tobias Fuller” malah menunjukkan kerentanan dan kelemahan masyarakat kolonial saat berada di tanah jajahan mereka.
Hal tersebut dapat dibaca dari pengakuan beberapa orang yang diwawancarai Tobias dan secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah golongan kulit putih yang meliputi satu korban selamat, satu istri korban meninggal, dan satu teman korban (692); kedua adalah masyarakat Lamuri yang meliputi sepuluh orang keluarga pelaku (702, 765) dan tiga pelaku pembunuhan (751, 781).
Dalam buku hariannya, terbaca bagaimana Tobias menarasikan ulang pertemuan dan pembicaraannya dengan para responden dengan cara yang tidak sepenuhnya objektif. Saat berbicara dengan istri salah seorang korban, ia mengaku “iba melihat Nyonya E yang tak dapat menahan air matanya saat menceritakan bagaimana suaminya dibunuh” (693). Ia juga memberikan penilaian personal terhadap LP, orang Swiss yang menjadi korban selamat dari serangan kelompok pembunuh Lamuri, dengan mengatakan bahwa ia memiliki nasib yang “lebih beruntung” (694). Pada saat yang sama, penceritaan Tobias tentang penuturan korban juga menunjukkan kelemahan orang-orang kulit putih yang tinggal di Lamuri. Selain Nyonya E yang menangis saat diwawancarai, Sersan Kepala LW, rekan Heyneman, salah satu korban pembunuhan, “berkali-kali memukulkan kedua tangannya yang kekar” ke paha dan meja, dan berkata “ingin membunuh semua orang Lamuri yang ditemuinya untuk membalas kematian temannya itu” (694), sebuah rencana yang jelas-jelas tidak pernah benar-benar terjadi karena masyarakat Lamuri masih hidup di tanah kelahiran mereka.
Pada saat yang sama, terbaca juga kemenangan masyarakat Lamuri atas orang-orang kulit putih, serta cara pandang mereka atas suatu peristiwa yang mengganggu para pendatang itu. Hal tersebut ditunjukkan ketika Tobias mewawancarai keluarga pelaku, salah satunya Kamariah. Perempuan enam puluh tahun itu tidak mengizinkan Tobias, “orang kafir, untuk menginjak pekarangan rumah panggungnya”, dan dokter itu menuruti larangan tersebut. Selain itu, “wawancara berlangsung santai” (702), seakan-akan Kamariah tidak menganggap tindakan anaknya membunuh Letnan Zentgraf sebagai perkara yang terlalu besar. Kecenderungan serupa terjadi di antara orang tua, kerabat, dan tetangga para pembunuh yang lain, “mereka tidak berusaha untuk menutupi apa pun” (705) ketika menceritakan riwayat masa kecil para pembunuh itu. Tobias juga dibuat geram ketika mewawancarai Abdo Madjid, pembunuh Letnan Jacob yang menurutnya adalah “seorang pembunuh tanpa perasaan bersalah. Tanpa punya rasa takut” (751). Bahkan Tobias juga sempat merasa heran ketika bertemu Ali Lada, ayah tiri Abdo Madjid yang sempat menunjukkan “sebentuk rasa kagum yang terpancar di matanya kepada anak tirinya” (765).
Lebih lanjut, kerentanan orang-orang kulit putih semakin jelas tergambarkan melalui penceritaan Kapten Sjaak tentang Cornelius Neeb, seorang fotografer kulit putih yang rela meninggalkan tanah kelahirannya demi bisa “dicatat sebagai tukang potret perang pertama di Hindia” (729). Saat bertemu dengan Neeb, Sjaak mendapati fotografer itu mengenakan kemeja “garibaldi model dua belas kancing” lawas yang “kusut dan boyak di sana-sini” (722). Kemudian Neeb juga mengaku pada kawannya bahwa ada orang-orang “mengerikan dan sangat keji” yang mengendalikan mata dan tangan mereka untuk membalas dendam sehingga “setiap kali dia membidikkan kamar gelapnya, seorang pembunuh Lamuri melompat bersama cahaya yang memancar keluar” (733). Neeb juga percaya bahwa para pembunuh Lamuri “menumpang hidup pada potret-potret yang ia buat” (733–4). Keyakinan Neeb akan semua hal tersebut dapat dibaca sebagai upaya mempertanyakan ulang konstruksi dualisme logis-tidak-logis, ilmiah-tidak-ilmiah, ilmu pengetahuan-takhayul yang sering muncul dalam kajian-kajian pascakolonial ketika kelompok kulit putih menjadi pihak yang memegang kuasa untuk mendefinisikannya.
Inilah yang menurut saya menjadi tujuan Bantaqiah memasukkan “Buku Harian Tobias Fuller” dalam KkB. Ia ingin menghadirkan narasi kerentanan orang-orang kulit putih dari segi material—melalui aksi penyerangan kelompok pembunuh Lamuri—maupun secara epistemologis—melalui kepercayaan yang dipegang oleh Neeb—sebagai penguat gambaran signifikansi subjek mitos Kura-kura Berjanggut di kalangan masyarakat asing yang tinggal di daerah mitos tersebut berasal.
Lebih lanjut, “Buku Harian Tobias Fuller” juga menjadi pembuktian akan kebertahanan mitos Kura-kura Berjanggut dari zaman “Buku Si Ujud” yang ditunjukkan melalui wawancara Tobias dengan para pelaku pembunuhan. Pertama adalah melalui wawancara dengan Abdo Madjid yang mengaku kepada Tobias bahwa ia “membunuh disebabkan oleh buku atau cerita Kura-Kura Berjanggut” (754). Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh dua orang pembunuh lain di Kutaraja (781).
Hal tersebut akhirnya membuat Tobias tidak bisa lagi membendung ketertarikannya pada kitab Kura-kura Berjanggut, sebagaimana terlihat dari obrolannya dengan Jan Leo. Jan Leo meyakinkan Tobias bahwa Kura-kura Berjanggut memang ada dan mengatakan bahwa terdapat lebih dari satu versi salinan kitab tersebut, yakni edisi 1613, 1629, dan beberapa naskah tiruan. Tobias mengaku sudah memegang edisi 1629, sementara edisi 1613 yang menurut Abdoel Gaffar sebagai versi “orisinal dan berbahaya” (782), masih berada di tangan Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelijen Politik Hindia), sebagai barang sitaan. Keberadaan beragam versi dari satu jenis teks adalah fenomena yang lumrah dalam semesta naskah tradisional. Sebelum hadirnya mesin cetak dan sistem penerbitan yang terpusat, distribusi pengetahuan sepenuhnya dilakukan oleh manusia: melalui tradisi lisan yang diteruskan dari satu bibir ke bibir lain, pada satu kesempatan diterima oleh seseorang yang mengenal aksara dan kemudian ia ingat dan tulis dengan tangan, lalu sampai ke tangan seseorang lain yang juga mengenal aksara, kemudian ditulis ulang dengan tangan. Dalam rantai distribusi ini, begitu banyak faktor yang menyebabkan variasi dan perbedaan antara satu salinan teks dengan salinan yang lain, mulai dari human error sampai kepentingan sang penyalin naskah.
Tobias dalam hal ini terkesan sama sekali tidak keberatan untuk larut dalam riuh distribusi pengetahuan di era pra-mesin cetak di Lamuri yang diwarnai keragaman dan ketidakajekan narasi. Ia menulis dalam buku hariannya bahwa ia “senang pada informasi” (782) yang diperolehnya dari Jan Leo dan ingin segera memperoleh Kura-kura Berjanggut edisi 1613 yang dinilai lebih berbahaya. Ketertarikan Tobias untuk membaca beragam versi naskah Kura-kura Berjanggut yang jelas-jelas bukan merupakan teks yang biasa ia baca sebagai seorang dokter jiwa dari Eropa mengimplikasikan bahwa ia telah tertarik dalam pusaran dinamika mitos Kura-kura Berjanggut yang terjadi di Lamuri.
“Buku Harian Tobias Fuller” juga menjadi pintu gerbang ke narasi yang lebih spesifik dari mitos Kura-kura Berjanggut, yaitu tentang jurus Tumit Keadilan. Hal tersebut disebutkan oleh Jan Leo dalam pembicaraannya dengan Tobias. Untuk mengetahui tentang jurus Tumit Keadilan, kita harus kembali sejenak ke bab 14 “Buku Si Ujud”, yakni Resep-resep Mematikan untuk Sultan. Bab yang mengutip beberapa bagian dari kitab Kura-kura Berjanggut tersebut menyatakan paling tidak ada lima cara untuk membunuh Anak Haram, antara lain Bajing Emas, Debu Setan, Seruling Tajul Muluk, Tumit Keadilan, dan Kencinglah di Antara Gajah dan Sultan. Putri Tajul Dunya menyatakan dalam buku yang disusunnya bahwa untuk melakukan jurus Tumit Keadilan, “hanya dibutuhkan tiga hal: tumit yang kuat, sebilah belati, dan keberanian” (556). Pembahasan tentang jurus Tumit Keadilan selanjutnya akan menghiasi teks-teks yang tersusun dalam “Lubang Cacing” sebagai kitab ketiga dalam KkB.
Sekali lagi, saya membahas peran Bantaqiah sebagai peneliti yang memiliki kekuasaan penuh untuk memilih teks mana yang akan menjadi isi dari KkB. Buku harian adalah bentuk teks yang bisa dikatakan sangat personal, berisi catatan-catatan yang sering tidak ingin diketahui isinya oleh orang lain selain penulisnya. Di sana ada ambiguitas pemikiran dan perasaan, tumpang tindih ekspektasi dan realitas, hal-hal yang tidak terucapkan di hadapan manusia lain. Bantaqiah memilih teks tersebut alih-alih catatan penelitian yang rasanya sulit untuk dibayangkan jika Tobias tidak membuatnya.
Oleh karena itu saya membaca adanya kesengajaan Bantaqiah untuk menghadirkan narasi personal yang “manusiawi” dari karakter-karakter orang kulit putih yang biasanya muncul sebagai pengendali dan penguasa. Hadirnya tulisan Tobias dalam KkB menandai kebertahanan dan kemenangan pemikiran masyarakat Lamuri dalam rentang waktu empat abad, dan di tengah sengkarut interaksi lintas budaya antara penduduk setempat dengan kelompok pendatang.
Sekarang kita akan beranjak kepada kitab ketiga dalam KkB yakni “Lubang Cacing” yang namanya diambil dari istilah yang digunakan Jean Claude, seorang pelaut Prancis yang sempat bertemu dengan Anak Haram, “untuk menggambarkan ingatannya yang rapuh” (918). Tidak seperti dua kitab sebelumnya yang berupa naskah utuh, “Lubang Cacing” adalah kumpulan teks-teks singkat yang dikumpulkan Bantaqiah dari sejumlah sumber. Keberagaman bentuk, sosok penulis, dan jarak rentangan waktu dari kumpulan teks tersebut mungkin akan memunculkan anggapan bahwa “Lubang Cacing” tidak lebih dari sekadar hasil pencarian literatur terkait mitos Kura-kura Berjanggut yang ditemukan oleh Bantaqiah. Akan tetapi, sekali lagi, Bantaqiah bukanlah seorang pengepul naskah yang kemudian tidak tahu akan melakukan apa dengan sumber-sumber data yang diperolehnya. Setiap tulisan yang menyusun kitab “Lubang Cacing” menunjukkan lapisan kedua dari semesta mitos Kura-kura Berjanggut, yakni bagaimana ia dimaknai dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang berjarak dengan masyarakat Lamuri, baik perihal alam pikiran ataupun dimensi waktu dan tempat.
Sebagai pembuka, Bantaqiah mengambil cuplikan Tempête et voyage yang ditulis pada sekitar 1821 oleh Jean Claude. Dalam “Buku Si Ujud” sempat disebutkan bahwa Jean “Si Pemanggang” (panggilan penulis “Buku Si Ujud” kepada Jean Claude) tidak percaya dengan “omong kosong” tentang Kura-kura Berjanggut yang dianggapnya “sebagai upaya halus untuk mengusir mereka keluar dari Lamuri” (10). Ketidakpercayaan—atau penolakan untuk percaya—tersebut dapat dibaca sebagai jarak dalam alam pikiran yang membuat catatan perjalanan Jean—paling tidak bagian yang dikutip oleh Bantaqiah—sama sekali tidak menyebutkan tentang Kura-kura Berjanggut dan hanya berfokus pada pertemuannya dengan Anak Haram untuk urusan bisnis rempah. Pertanyaannya, mengapa teks ini harus dimasukkan dalam KkB? Seperti yang saya singgung sebelumnya, bagian “Lubang Cacing” digunakan Bantaqiah untuk menunjukkan bagaimana mitos Kura-kura Berjanggut dimaknai oleh individu atau kelompok masyarakat di luar Lamuri dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Jean dalam hal ini memang sempat menginjak Lamuri, berinteraksi dengan masyarakatnya, tetapi ia secara sadar menciptakan jarak pemikiran dengan penduduk Lamuri. Keputusan Bantaqiah untuk melibatkan catatan perjalanan Jean dalam KkB pada gilirannya menunjukkan dinamika mitos sebagai narasi yang tidak selalu diterima dan berterima. Melalui teks-teks selanjutnya dalam “Lubang Cacing”, dinamika tersebut terasa semakin kuat.
Ada rentang waktu yang cukup jauh antara teks pembuka “Lubang Cacing” dan tulisan-tulisan lain yang mengikutinya. “Penyelewengan Perasaan Penderita Kusta” adalah satu kasus yang menarik karena merupakan satu-satunya teks yang ditulis bukan sekadar sebagai catatan pribadi penulisnya, tetapi sebagai kabar yang diwartakan. Berdasarkan informasi sumber yang tercantum di kaki tulisan, dapat diketahui bahwa tulisan yang cenderung bersifat investigatif dan argumentatif—khususnya jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan catatan pribadi—tersebut dimuat sebagai kolom di Batavia Bode, surat kabar Belanda yang berkantor di Batavia dengan tahun terbit 1913.
Tulisan Si Agam mengandung paling tidak satu argumen dan satu asumsi. Argumen yang muncul adalah bahwa pembunuhan terhadap orang-orang kulit putih adalah “pemberontakan sekitar tiga ratus penderita kusta” (888) di Lamuri. Asumsi yang dihadirkan Si Agam terbaca dari pertanyaan “kami berpikir, apakah ini yang disebut dengan teknik Tumit Keadilan? Suatu teknik membunuh yang pernah diperkenalkan oleh seorang perempuan Lamuri tiga abad lalu?” (888). Lebih lanjut dalam tulisannya Si Agam juga menyarankan “dokter-dokter jiwa terbaik” (889) untuk dikirim ke Lamuri guna mengatasi tragedi yang terjadi di sana. Tulisan Si Agam juga sempat disinggung oleh Tobias dalam buku hariannya, ketika ia mematahkan argumen Si Agam melalui temuan dari kajian lapangan yang dilakukannya. Pada kenyataannya, “semua pelaku pembunuhan ini bukanlah penderita penyakit kusta” (719). Akan tetapi, asumsi Si Agam terkait jurus Tumit Keadilan terbukti kemudian menjadi pembahasan pihak PID dalam investigasi mereka terhadap kasus pembunuhan orang kulit putih di Lamuri.
Tulisan Si Agam berperan sebagai jembatan bagi mitos Kura-kura Berjanggut untuk bereproduksi dan bertahan, terutama di kalangan orang kulit putih. Jika dirunut dari waktu penulisan dan penerbitan kolom “Sejarah Pemalsuan Perasaan Penderita Kusta di Lamuri”, yakni pada 1913, yang disusul dengan kedatangan Tobias di Lamuri satu tahun kemudian, menunjukkan bahwa Si Agam adalah orang kulit putih yang pertama mempertanyakan Tumit Keadilan, memperkenalkan mitos Kura-kura Berjanggut ke kalangan pembaca surat kabar Batavia Bode. Kehadiran tulisan Agam dalam KkB juga menunjukkan bagaimana mitos tidak hanya bekerja melintasi rentangan waktu, tetapi juga jangkauan jarak, karena Si Agam merujuk Lamuri dengan “di sana”, mengindikasikan bahwa fisiknya tidak berada di Lamuri. Pada kenyataannya kita memang tidak perlu secara fisik melebur di tengah masyarakat yang memproduksi suatu mitos untuk membicarakan atau bahkan memercayai mitos yang berkembang di sana. Salah satu contohnya adalah bagaimana beberapa para pembaca Indonesia tertarik dan memercayai mitos dewa dewi Yunani yang memiliki jarak waktu, tempat, dan budaya dengan kita.
Tulisan ketiga yang menjadi bagian dari “Lubang Cacing” menyimpan banyak hal menarik untuk dibaca secara mendalam. Hal pertama yang paling kentara adalah tulisan tersebut merupakan satu-satunya teks dalam KkB yang menggunakan sistem penanggalan Hijriyah. Tertulis dalam catatan kakinya bahwa tulisan tersebut dibuat pada Jumadil Akhir 1333, atau sekitar April 1915 menurut penanggalan Masehi. Penggunaan penanggalan Hijriyah dalam tulisan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai semata tempelan, karena teks tersebut memang mengandung narasi keagamaan yang sangat kuat.
Penulisnya, Fakir bin Sabi, menggunakan istilah-istilah dan frasa-frasa keagamaan untuk menarasikan sudut pandangnya terhadap seseorang yang ia sebut sebagai “Tobis”, yang menurut deskripsinya mengarah pada sosok Tobias Fuller. Mengapa teks tersebut menggunakan nama Tobis ketimbang Tobias? Asal usul nama Tobias dapat ditarik sampai tradisi Yahudi. Dalam bahasa Ibrani, Toviyah berarti “Tuhan baik”. Sementara itu, Fakir bin Sabi berkali-kali menekankan sosok Tobis sebagai orang yang “akan selalu diikuti oleh Iblis yang ingin mencari jalan pulangnya” (891), karakteristik yang dalam logika ajaran agama Ibrahimi jelas-jelas bertolak belakang dengan sifat-sifat ilahiah. Fakir bin Sabi sengaja mengganti nama Tobias menjadi Tobis karena tidak ingin mengakui makna nama tersebut.
Dari tulisan tersebut selanjutnya kita bisa membaca bagaimana Fakir bin Sabi memiliki perhatian lebih kepada Tobias yang menginap di rumah yang pernah ditinggali “mawlana”-nya, Abdoel Goffar, sosok yang juga berkali-kali muncul dalam KkB, khususnya pada kitab kedua, ketiga, dan keempat. Fakir bin Sabi mengaku bisa membaca jiwa orang kulit putih itu dan mendapati kesedihan di dalamnya. Pada titik inilah kemudian kita dapat menemukan narasi mitos Kura-kura Berjanggut, ketika Fakir bin Sabi menganggap kesedihan di dalam jiwa Tobias “bersumber pada ketidaktahuannya atas sesuatu yang ingin sekali ia mengerti tapi tidak akan pernah kunjung bisa ia mengerti. Para pembunuh itu” (892).
Pendapat Fakir bin Sabi sekali lagi menunjukkan apa yang saya sebut dengan “dinamika mitos”. Fakir bin Sabi sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang memproduksi mitos Kura-kura Berjanggut menciptakan batas-batas segregasi tentang siapa yang bisa memahami alam pemikiran masyarakat Lamuri. Menurut ia, Tobias boleh saja bersusah payah menempuh perjalanan ke Lamuri untuk mencari tahu dan memahami masyarakatnya, tetapi hal tersebut sejatinya tidak akan pernah berhasil, karena ia adalah liyan. Liyan dalam hal muasal, liyan dalam hal pemikiran, liyan dalam hal agama. Pada taraf lebih lanjut, bahkan Fakir bin Sabi agaknya dapat dibaca sebagai representasi masyarakat suatu daerah yang berupaya menjaga ekosistem alam pemikiran kelompok mereka tetap terjaga dari upaya-upaya pemaknaan liar yang mungkin dilakukan oleh kelompok masyarakat di luar daerah asal pemikiran tersebut.
Namun, upaya Fakir bin Sabi untuk mengendalikan dinamika mitos yang muncul dan bergulir di tempat tinggalnya bisa dibilang sia-sia. Hal itu jelas terlihat dari teks berikutnya dalam kitab “Lubang Cacing”, yaitu “Unta Nabi Sulaiman dan Raja Kura-kura”. Jika dibandingkan dengan teks-teks lain dalam kitab “Lubang Cacing” atau bahkan semua teks yang menyusun KkB, “Unta Nabi Sulaiman dan Raja Kura-kura” adalah satu-satunya yang berbentuk karya fiksi, secara khusus, fabel. Dalam hal ini, penting untuk memberikan perhatian khusus pada genre yang dipilih oleh Xavier Bautista, sang penulis.
Fabel pada prinsipnya adalah kisah yang melibatkan karakter hewan, tumbuhan, benda mati, ataupun alam secara umum melalui proses antromorfosis, atau pemberian karakteristik-karakteristik manusia. Sementara itu mitos Kura-kura Berjanggut yang beredar di kalangan dalam dan luar masyarakat Lamuri—berdasarkan penjelasan pada teks-teks sebelumnya dalam KKB—berkenaan dengan sekelompok manusia. Oleh karena itu, yang terjadi dalam “Unta Nabi Sulaiman dan Raja Kura-kura” adalah tumpang tindih representasi yang pada gilirannya melibatkan kompleksitas sekaligus cairnya dinamika pengembangan dan pemanfaatan narasi mitos.
Dalam lingkup pembacaan yang lebih umum dan luas, cerita “Unta Nabi Sulaiman dan Raja Kura-kura” bisa saja dianggap sebagai asal-muasal kura-kura berjalan lambat. Akan tetapi, penempatan teks tersebut dalam KkB menuntut pembacaan yang lebih spesifik, yakni berkenaan posisi Kura-kura Berjanggut sebagai narasi mitos.
Pertama, kisah yang diceritakan dalam fabel tersebut berkaitan dengan cerita yang dipertunjukkan oleh kelompok pembunuh yang menyamar untuk membunuh Anak Haram, sebagaimana disebutkan dalam “Buku Si Ujud” (35). Hal tersebut menunjukkan upaya-upaya reproduksi yang dilakukan melalui alih wahana karya untuk menguatkan signifikansi subjek utama dari suatu mitos.
Kedua, fabel tersebut menceritakan seekor raja kura-kura yang termakan tipu daya seekor unta usiran Nabi Sulaiman, nabi semua binatang. Unta yang sedang dalam pembuangan itu mengatakan bahwa raja kura-kura adalah kura-kura yang aneh karena tidak memiliki janggut, sementara semua kura-kura di tanah Nabi Sulaiman memiliki janggut. Unta itu kemudian pergi meninggalkan raja kura-kura dalam kegamangan, ia terus berjalan dengan lamban terus mencari janggut yang dilempar oleh Nabi Sulaiman. Pencarian janggut oleh raja kura-kura digambarkan sebagai suatu kesia-siaan, hal yang menyebabkan keturunan kura-kura berjalan lambat. Penggambaran janggut sebagai suatu tipu daya mewakili keraguan terhadap keberadaan kelompok Kura-kura Berjanggut, dan semakin menguatkan karakteristik mitos itu sendiri. Mitos tidak membutuhkan penilaian objektif benar salah untuk bisa dipercaya, karena kekuatannya terletak pada signifikansi subjeknya menurut kacamata masyarakat yang menghidupinya.
Salah satu pihak yang melihat mitos masyarakat Lamuri memiliki subjek yang penting tentu saja adalah Bantaqiah. Ia sangat percaya diri dengan pemikirannya sampai-sampai memasukkan tulisannya sendiri dalam KkB, yakni “Perihal Abdoel Gaffar dan Si Ujud” dalam “Lubang Cacing”. Tulisan tersebut adalah draf makalah untuk simposium Peringatan Satu Setengah Abad Abdoel Gaffar yang ditulisnya pada musim panas 2007.
Dalam hal ini, sedikit pendalaman tentang sosok Abdoel Gaffar agaknya diperlukan untuk memperkaya pembacaan akan tulisan Bantaqiah. Nama Abdoel Gaffar dapat ditemukan di bagian Glosari KkB, yang dijelaskan sebagai “nama mualaf Christiaan Snouck Hurgronje”, sosok yang bersama Jendral J.B. van Heutsz “berperan penting menaklukkan Aceh dalam perang yang telah berlangsung tiga puluh tahun” (923). Tentu saja, nama dan sosok Snouck Hurgronje tidaklah asing dalam narasi sejarah Indonesia sebagai seorang akademisi yang memanfaatkan pengetahuannya tentang masyarakat dan budaya Aceh serta Indonesia untuk melumpuhkan perlawanan dan pertahanan penduduk Aceh dan kemudian menyusun kebijakan pemerintah kolonial yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Pencantuman nama Abdoel Gaffar dalam Glosari dapat menjebak analisis KkB kepada kecenderungan mencari validasi ceritanya dalam historiografi sejarah Indonesia, sesuatu yang coba dihindari dalam tulisan ini. Oleh karena itu, Abdoel Gaffar akan tetap dibaca sebagai salah satu karakter berpengaruh dalam KkB dan bukan sebagai Snouck Hurgronje.
Besarnya pengaruh Abdoel Gaffar dapat ditemukan sejak penceritaan Tobias dalam buku hariannya. Selama melakukan penelitian lapangan di Lamuri, Tobias menginap di sebuah rumah yang dipercaya akan melindunginya dari pembunuh Lamuri karena rumah tersebut pernah ditinggali dan telah dibuat keramat oleh Abdoel Gaffar. Selain itu, Abdoel Gaffar juga dicatat dalam buku harian Tobias sebagai orang yang “mengumpulkan ratusan dongeng dan legenda orang Lamuri” (770), dan membawa “salah satu salinan buku Kura-Kura Berjanggut dari skriptorium al-Zahir” (781), yang berarti bahwa pendatang tersebut punya peran penting dalam dinamika alam pemikiran masyarakat Lamuri. Hal tersebut didukung lebih lanjut oleh catatan Bantaqiah dengan menyebutkan perannya sebagai seseorang yang “naik ke atas mimbar dan menyeru betapa beruntungnya orang-orang yang memilih berperang di jalan Allah” (901) atau dalam kata lain sebagai pengkhotbah.
Dalam hal ini, Bantaqiah cenderung menunjukkan sikap antipati kepada Abdoel Gaffar. Bantaqiah menilai Abdoel Gaffar sebagai “penyusup kisah yang tidak dapat membedakan antara kebenaran di satu sisi dan pencapaian tujuan di sisi lain” (905). Menurut ia, salah satu karya Abdoel Gaffar, yakni Sahibul Kisah Orang-Orang Celaka Sepanjang Masa menarasikan kematian Si Ujud dengan salah. Sementara itu, yang dimaksud sebagai kebenaran oleh Bantaqiah adalah versi kisah hidup Si Ujud yang tertuang dalam Kura-kura Berjanggut yang diperolehnya dari Tajul Muluk—yang akan dibahas secara rinci dalam Catatan Bantaqiah Woyla—yakni, alih-alih mati di sebuah pantai di Lamuri, Si Ujud “berhasil lolos dari jebakan Sultan Nuruddin, berlayar menuju Fansur dengan kapal al-Hakikat, dan akhirnya menjadi nabi di sana” (905).
Untuk memahami posisi “Perihal Abdoel Gaffar dan Si Ujud” dalam dinamika mitos Kura-kura Berjanggut, agaknya teks tersebut perlu dikaji sebagai tulisan yang diproduksi oleh seorang akademisi dengan kepentingan untuk mempertahankan dan memenangkan argumennya. Keinginan Bantaqiah untuk menempatkan narasi dalam Kura-kura Berjanggut dengan narasi dalam Sahibul Kisah Orang-Orang Celaka Sepanjang Masa pada posisi berlawanan benar-salah dapat dibaca sebagai upaya demistifikasi mitos. Bantaqiah tidak memberikan ruang bagi tulisan atau persepsi Abdoel Gaffar terkait kematian Si Ujud sebagai variasi narasi suatu mitos. Sementara itu, sebenarnya bukanlah hal yang aneh jika sejumlah mitos yang berkembang di beberapa kelompok masyarakat daerah memiliki subjek atau tema serupa. Contoh paling umum adalah bagaimana sejumlah kebudayaan di dunia memiliki mitos tentang manusia pertama dengan karakteristik serupa, seperti berasal dari dunia yang berbeda dari bumi dan mereka mengemban tugas untuk menata kehidupan di bumi yang belum teratur. Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat adalah demistifikasi tidak serta-merta menjadikan suatu mitos kehilangan signifikansinya untuk terus menjadi bagian dari alam pikiran suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, “Perihal Abdoel Gaffar dan Si Ujud” tetap memainkan peran sebagai media reproduksi mitos Kura-kura Berjanggut.
Tulisan terakhir dalam kitab “Lubang Cacing”, yakni “Buku Saku Marinir Amerika Serikat untuk Indonesia” adalah teks teranyar yang dimasukkan Bantaqiah dalam KkB, dibuat pada 2009 oleh Ratna Juita, sosok yang nantinya akan diperkenalkan lebih lanjut oleh Bantaqiah dalam catatannya. Meskipun sang penulis tidak menyatakan secara jelas, atau teks juga tidak mencantumkan informasi terkait tujuan penulisan karya tersebut, saya mendapati kesamaannya dengan catatan yang dibuat Si Agam hampir seratus tahun sebelumnya. Layaknya Si Agam, Ratna membaca fenomena kontemporer dan menghubungkannya dengan mitos Kura-kura Berjanggut, khususnya jurus Tumit Keadilan. Bahkan tulisan tersebut mengindikasikan bahwa Ratna memang sempat membaca tulisan Si Agam dan mendukung argumennya, mengingat hanya kedua orang itulah yang menyebutkan bahwa pembunuh orang-orang kulit putih di Lamuri adalah para penderita kusta. Menempatkan teks ini sebagai penutup dari “Lubang Cacing” menegaskan upaya Bantaqiah untuk membuktikan kelanggengan salah satu versi mitos Kura-kura Berjanggut selama berabad lamanya.
Sekarang tibalah kita di panggung utama penyusun KKB, yaitu “Catatan Bantaqiah Woyla” ketika sang peneliti kita menceritakan perjalanan dan pertemuannya dengan teks-teks yang berkaitan dengan mitos Kura-kura Berjanggut dan disusunnya dalam KkB. Dua kitab terbesar dalam KkB, “Buku Si Ujud” dan “Buku Harian Tobias Fuller”, diperoleh Bantaqiah dari Tajul Muluk, salah satu tokoh yang disebutkan dalam kedua kitab tersebut, yang ternyata adalah bibi/paman (Tajul Muluk mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan dan laki-laki) Bantaqiah dari pihak ibu.
Kedua kitab tersebut diberikan Tajul Muluk kepada Bantaqiah sebagai warisan yang ia tinggalkan sebelum mati terbunuh di tangan para eksekutor. Setelah beberapa tahun menyisihkan kedua kitab tersebut di dalam gudang apartemen, suatu momentum menggerakkan Bantaqiah untuk menerbitkannya, yaitu ketika televisi menayangkan berita penangkapan seorang teroris yang menyebutkan tentang Tumit Keadilan dalam persidangannya. Maka Bantaqiah memulai perjalanannya untuk menggarap dua naskah yang telah diperolehnya dari Tajul Muluk dan mencari teks-teks lain yang didapatkan melalui perjumpaannya kembali dengan para akademisi dan perpustakaan.
Sampai pada akhirnya Bantaqiah menerima undangan untuk terlibat dalam simposium Peringatan Satu Setengah Abad Abdoel Gaffar, sebuah momentum yang mempertemukannya dengan musuh dan kawan Abdoel Gaffar, salah satunya Ratna Juita yang mengaku “pernah mendengar istilah Kura-Kura Berjanggut dari sebuah buku yang direbutnya dari seorang perwira Angkatan Darat” (922) yang pada gilirannya menjadi subjek kajian “Buku Saku Marinir Amerika Serikat untuk Indonesia” yang ia tulis pada 2009. Meski tidak diceritakan secara terperinci, dapat dibayangkan Bantaqiah dalam kesempatan tersebut menyampaikan secara gamblang argumen-argumennya untuk mematahkan tulisan-tulisan yang pernah dibuat Abdoel Gaffar terkait Lamuri dan mitos Kura-kura Berjanggut.
Setelah membaca secara keseluruhan semua teks dalam KkB, tibalah kita pada kesimpulan bahwa buku ini tidak lain daripada versi mitos Kura-kura Berjanggut kesekian yang dibuat oleh Bantaqiah Woyla, seorang peneliti di abad ke-21. Melalui dua kitab utuh, enam tulisan pendek, dan catatan pribadinya yang dengan sengaja dan sadar ia pilih, kumpulkan, dan himpun dalam KkB, Bantaqiah memberikan gambaran tentang bagaimana Kura-kura Berjanggut telah menjadi mitos yang cukup kokoh, karena ia telah berhasil mempertahankan signifikansi subjeknya lewat berbagai upaya reproduksi yang dilakukan melalui beragam modalitas dalam rentangan waktu lima ratus tahun. Pertanyaan yang mungkin muncul berkaitan dengan hal ini adalah: bukankah narasi sejarah juga memiliki kekuatan untuk menyebar dan bertahan? Tentu saja. Akan tetapi, sekali lagi, jawabannya terletak pada teks-teks yang dipilih oleh Bantaqiah, mulai dari naskah lama yang dapat digolongkan sebagai hikayat, buku harian, tulisan kolom di surat kabar, fabel, sampai draf makalah yang sangat menunjukkan penilaian subjektif penulisnya, tidak ada satu pun yang mengarah pada pembuktian ada atau tidaknya Kura-kura Berjanggut. Alih-alih, semuanya menghadirkan perbincangan tentang Kura-kura Berjanggut sebagai narasi yang dikuatkan, dipercaya, diragukan, dipatahkan; melayang-layang di sekitar orang-orang yang menuliskannya.
Pada akhirnya pembaca mungkin akan bertanya, “ke mana Azhari Aiyub yang namanya terpampang di sampul depan KkB?” Saya memang sengaja tidak ingin mengganggu pertapaannya, dan saya harap pembaca juga bisa melakukan itu. Sebab itulah sebenarnya alasan yang mendasari lahirnya Bantaqiah Woyla, sosok peneliti kita yang sangat tertarik dengan masyarakat Lamuri beserta alam pemikirannya. Bantaqiah lahir dan hadir sebagai anak dari permainan teks yang diciptakan oleh Azhari dalam KkB, yaitu semesta metanarasi yang menghadirkan jarak antara dirinya dengan tulisan yang dibuatnya, juga dengan para pembacanya.
Strategi itu jugalah yang pada akhirnya menguatkan posisi teks ini sebagai penceritaan mitos tentang KkB, alih-alih narasi fiksi sejarah, apalagi pengisahan ulang dari catatan sejarah. Keberjarakan antara Azhari sebagai penulis dengan KkB sebagai karyanya sejalan dengan karakteristik utama dari mitos, yaitu kealpaan sosok pencipta atau penulis. Oleh karena itu, pembacaan KkB sebagai narasi sejarah tidak lain merupakan keberhasilan permainan Azhari dalam membumbui sejarah dan meramu mitos.
[1] Snouck Hurgronje, Aceh di Masa Kolonialis, terjemahan Singarimbun Ng. (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985).
[2] Hoessein Djajadiningrat, “Critisch overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het sultanaat van Atjeh”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 65, 1991, h. 135–265.
[3] Rudolf Arnold Kern, Hasil penyelidikan tentang sebab-musabab terjadinya “Pembunuhan Aceh”, terjemahan Aboe Bakar (Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1994).
Dhianita Kusuma Pertiwi
Dhianita Kusuma Pertiwi menamatkan studi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang dan Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia. Ia telah menerbitkan kumpulan naskah drama Pasar Malam untuk Brojo (2016), novel fiksi sejarah Buku Harian Keluarga Kiri (2019), prosa spekulatif Menanam Gamang (2020), kajian lakon wayang kulit Sesaji Raja Suya: Kuasa dan Rasa (2021), ensiklopedia istilah Mengenal Orde Baru (2021), serta karya terjemahan Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2022). Bersama Ruang Perempuan dan Tulisan, riset dan tulisannya mengenai Charlotte Salawati terbit dalam buku Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021). Dhianita merupakan salah satu peraih Nusantara Academic Award 2020. Ia menjadi salah satu pendiri sekaligus redaktur penerbitan Footnote Press. Sejak 2017, Dhianita merilis artikel tentang sejarah dan isu sosial-politik Indonesia setiap akhir pekan di situs pribadinya, dhiandharti.com.