—Surat untuk Niduparas Erlang
Pamflet di bawah ini, yang saya tulis setelah membaca tulisan Bung “Residu Kaki Kata: Di Mana Kelisanan Diinjak, Di Situ Keaksaraan Dijunjung”,[1] berisi pokok-pokok yang akan saya kembangkan lagi untuk bahan obrolan dengan anak saya, Rapa, ketika ia memasuki usia remaja nanti; saya berharap ia akan mencintai ilmu dan seni. Namun, terutama, saya mau menyampaikan kepada Bung (dan juga kepada Rapa, kelak) perihal apa dan bagaimana itu rasionalitas. Jalan ke sana sedikit panjang dan berliku. Begini:
Apa yang kita lihat di hadapan kita? Alam. Bumi dan langit seisinya. Hanya alam? Tentu saja tidak. Kita melihat alam dan kebudayaan. Dan kita bukan hanya melihat, tapi juga mengalami keduanya. Itulah pengalaman. Peng-alam-an. Membanggakan pengalaman, kita mampu, atau merasa mampu, melihat kebudayaan di segala seginya, sejak kulit hingga ke intinya, sejak hulu hingga ke hilirnya. Tapi apakah kita bisa melihat alam sedalam itu? Tidak sama sekali. Kita tidak bisa melihat, misalnya, virus, elektron, inti bumi, dan lubang hitam. Bahkan kita tidak mampu melihat aliran darah di tubuh kita sendiri. Adakah alat yang bisa membantu kita? Ada. Ilmu namanya. Science. (Untuk selanjutnya, akan saya sebut belaka ilmu.)
Apakah alam dan kebudayaan serasi? Bisa ya, bisa tidak. Lihatlah sawah yang membentang hijau, maka itulah contoh keserasian antara keduanya. Lihatlah pandemi Covid-19 yang berlaku sekarang, maka itulah satu bukti bahwa keduanya bertentangan. Benarkah manusia, bersama kebudayaan yang dibangunnya, menaklukkan alam, paling tidak menjinakkannya? Ya, sudah terbukti. Tapi alam juga bisa membalas dendam, sekurangnya mengirim tanda bahaya. Lihatlah bencana iklim, misalnya. Sebab alam bukanlah kumpulan benda belaka. Bukan hanya sekian banyak—tak-terhingga—binatang, bakteri, virus, hujan, awan, batu, pohon, matahari, benda langit, dan seterusnya. Alam dikendalikan oleh hukum-hukum alam. (Untuk selanjutnya akan saya sebut belaka hukum alam.)
Apakah hukum alam itu takdir? Ya, tapi bukan takdir yang diperkatakan oleh Genesis. Bila syarat-syarat fisika dan kimia terpenuhi untuk adanya kehidupan di planet tertentu, katakan saja di bumi, maka terbentuklah organisme, yakni organisme yang berevolusi dari bentuk-bentuk yang sederhana menuju ke yang kompleks. Itulah takdir, yaitu takdir tanpa sang pencipta. Hukum alam adalah dinamika yang lahir dari evolusi alam semesta sendiri, sejak kosmos menciptakan dirinya sendiri, katakanlah sejak Dentuman Besar. Apakah seluruh alam semesta dipenuhi hukum alam? Ya. Bahkan alam semesta adalah hukum alam itu sendiri, atau sebaliknya. Adakah bagian alam semesta yang bebas dari hukum alam? Tidak ada. Yang ada hanyalah ranah-ranah yang belum disingkapkan oleh ilmu. Cepat atau lambat, ilmu akan sampai ke sana.
Apakah seluruh hukum alam sudah diketahui oleh manusia? Belum. Sebab manusia hanya mau memahami hukum alam—tepatnya akibat hukum alam—yang bisa dimanfaatkannya. Sebab sarana kita untuk benar-benar mengetahui sungguh terbatas. Apakah seluruh hukum alam akan tersingkap semuanya bagi kita, sekurang-kurangnya yang merahasia tidak akan merahasia lagi? Ya, jika manusia mau berilmu.
Dan jika Homo sapiens, yaitu manusia seperti kita, tidak punah. Apakah hukum alam ada oleh karena kesadaran manusia? Tidak sama sekali. Bumi tetaplah mengelilingi matahari biarpun iman (dahulu) mengatakan sebaliknya.
Bumi berusia 4500 juta tahun, biarpun engkau sekalian dan kami takut sekali oleh bilangan itu—biarpun kami dan engkau sekalian percaya kepada Genesis.
Kesadaran manusia tumbuh bersama dengan kebudayaan. Manusia mengenal yang baik dan yang buruk, yang boleh dan yang terlarang, karena ia hendak memperkembangkan kebudayaan. Kesadaran sering beririsan dengan kepercayaan, dengan iman. Betapa kesadaran terlalu sering berisi ketidaktahuan. Yang tidak kita ketahui, kita isi dengan fiksi. Yang gelap, kita tumpatkan dengan aneka tenaga adikuasa. Kesadaran ialah sarana manusia untuk bertahan hidup sebagai predator puncak. Apakah kesadaran kita selaras dengan hukum alam? Sering kali tidak. Manusia cenderung menolak bahwa bumi adalah hasil evolusi alam semesta (kosmos). Ia suka menyangkal bahwa dirinya sendiri, Homo sapiens, ialah hasil evolusi organisme, yang pada dasarnya ialah bagian dari evolusi alam semesta.
Kesadaran mulai ketika manusia mulai berkompromi dengan hukum alam—“menaklukkan alam”. Dan ia sering kali keliru, tapi kekeliruan ini bisa membuatnya bertahan hidup. “Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat” (yang berarti “matahari mengelilingi bumi”) adalah keliru; namun di segala bahasa, umat manusia tetap berkata demikian, hingga hari ini. Yang benar, bumi berputar pada porosnya sendiri. Dan yang keliru itu pun menjadi metafora, yang boleh jadi mustahak dalam kehidupan sehari-hari. Ini sekadar contoh kecil. Dengan salah kaprah itulah manusia mendirikan dan mengembangkan bahasa dan kebudayaan di bentangan masa yang begitu panjang. Sebelum ilmu, science, tiba, manusia hanya merasa tahu akan hukum alam. Sesungguhnya ia hanya tahu sebagian, sebagian kecil saja. Manusia hanya tahu apa yang ingin diketahuinya belaka, tetapi pengetahuan yang serba-sedikit ini cukuplah untuk memajukan masyarakat, memajukan kebudayaan. Begitulah kesadaran bekerja—dan pada tahun-tahun terakhir ini kita menyebutnya “akal sehat”. Kesadaran ialah sedikit pengetahuan yang dioplos dengan kepercayaan berkadar tinggi. Ilmu, yang mendasarkan diri pada eksperimen dan pembuktian, sama sekali bukanlah sahabat bagi akal sehat.
Kesadaran manusia mulai ketika ia tahu bahwa dirinya bukan lagi seperti bagian-bagian alam yang lain. Manusia ialah binatang yang sadar bahwa ia tidak bisa lagi mengandalkan tubuhnya. Ia membuat alat-alat untuk membela diri, menyerang, berburu, bertahan hidup. Di keluasan alam, ia mulai bertanya apa dan siapa dirinya. Dan menciptakan alat-alat belaka tidak cukup. Ia harus memberi nama—binatang apa yang kuburu, pohon apa yang buahnya kumakan, bola api apa yang membuat terang siang, tenaga apa yang memberiku hidup, siapa yang akan memberiku keturunan. Ia pun menciptakan kata-kata. Dengan sepatah kata, ia bisa bahu-membahu dengan sesamanya, berkongsi arti yang sama, untuk tujuan bersama.
Demikianlah, bahasa paling purba ialah semacam gumpalan kata, semacam puisi yang dilantunkan, sejenis surrealisme primal. Tapi manusia tidak cukup dengan itu. Ia perlu menjelaskan situasi diri dan sekitarnya dengan lebih baik, lebih terang. Maka kata berbiak dan tersusun menjadi kalimat, maka bahasa pun bernahu. Dan kalimat-kalimat menjadi cerita. Manusia bertanya dari mana asalnya dan ke mana ia menuju. (Sangkan paraning dumadi, kata si Jawa.) Muncullah cerita tentang asal-usul, genesis. Pun manusia mengancang cerita tentang kehidupan yang abadi, sebab ia takut akan kematian, akan ketiadaan.
Kita tahu bahwa puisi dan cerita—katakan saja “sastra”—paling purba itu perlahan-lahan berkembang menjadi sebentuk pengetahuan total tentang alam, pengetahuan yang berefek pada “teknik” untuk mengelola kehidupan, mengembangkan kebudayaan. Sebab, bahasa bukan sekadar alat memberi nama, bukan sekadar alat mengantarkan pengertian. Beranjak dari “sastra” purba tersebut, ketika himpunan manusia semakin bertakik-takik menjadi masyarakat, puak, suku, bangsa, dan seterusnya, manusia membuat cerita—narasi—yang lebih canggih.
Maka jadilah narasi besar, grand narrative. Sebutlah itu religi dan—kemudian—filsafat dan—kemudian lagi—ideologi. Datangnya aksara dan—jauh di kemudian hari—teknologi cetak-mencetak mempertajam pembedaan tiga “bidang” tersebut.
Homo sapiens, yaitu manusia jenis kita, sudah berada di bumi sejak, katakanlah, 200 ribu tahun yang lalu. Kini spesies Homo yang lain sudah punah. Manusia mulai berbahasa—“menemukan bahasa”—50 ribu tahun yang lalu, dan dengan itu terjadilah “revolusi kebudayaan” atau revolusi kognitif.[2] Revolusi yang membuat kecerdasan manusia meningkat laju secara eksponensial. Demikianlah, manusia baru berilmu, katakanlah, pada 500 tahun terakhir. Ya, ilmu, science. Jika Bung berkehendak, sila pergunakan istilah modern science (sebab Bung bisa juga mengatakan bahwa berbagai piramida di Mesir dan Amerika Tengah dan berbagai candi di Jawa dibangun juga dengan ilmu, yakni ilmu kuno). Saya tetap memakai istilah ilmu dalam arti dan amalan science yang berlaku sekarang.
Baiklah. Ungkapan “manusia berilmu” sangat berlebih-lebihan. Yang menjalankan ilmu ialah kaum ilmuwan, pulau-pulau kecil di tengah samudra kaum awam. Kami tetap takut, bahkan makin takut, akan hukum alam. Bagaimana kami tidak gementar oleh teori evolusi jika kami telanjur percaya kepada penciptaan dan akhirat? Bukankah kami harus mengorbankan indah tamasya di depan mata begitu kami tahu bahwa bumi hanyalah setitik debu di tengah miliaran tata surya di kosmos ini? Bagaimana mungkin kami tidak jeri ketika kami tahu bahwa kecerdasan kami hanyalah akibat perbedaan genetik antara kami dan “sepupu” kami simpanse (Pan troglodytes) yang tidak sampai dua persen?
Manusia hidup dengan semacam skizofrenia dalam dirinya. Ia ragu-ragu berilmu, atau ia hanya setengah berilmu, tapi ia sepenuhnya hidup dengan segala akibat ilmu yang bernama teknologi. Kaki kita yang satu berpijak dalam kegelapan yang dihuni segala yang kita percayai ada, dan kaki kita yang lain berpijak pada ranah terang yang disinari ilmu.
Modernitas kita pada dasarnya ialah akumulasi begitu banyak revolusi ilmiah, tepatnya segala akibatnya. Pengobatan, penerbangan, informatika, nanoteknologi, artificial intelligence, dan seterusnya, itulah yang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari, ya, kita perlukan bahkan sering kali tanpa kita sadari. Bahwa kami dan engkau sekalian tidak bisa lain daripada menggunakan telepon seluler, memakan buah terbaik, memerlukan vaksinasi, dan menyadari bencana iklim, misalnya, itulah bukti bahwa ilmu bekerja dengan sangat baik, sekalipun engkau sekalian dan kami tak hendak percaya kepadanya.
Hukum alam—dan ilmu yang mengungkapkannya—tidak memerlukan empati kita. Bumi berotasi pada porosnya dan beredar mengelilingi matahari—tidak bergantung pada “matahari terbit di timur dan tenggelam di barat” yang berlaku sejak manusia mengenal bahasa hingga hari ini. Ilmu bersifat impersonal. Pada dasarnya siapa saja bisa menemukan hukum alam. Darwin dan Wallace “melahirkan” teori yang sama, teori tentang seleksi alam, tanpa saling berhubungan. Hukum alam bukan karya seni yang bermula pada kepribadian si seniman. Bila mekanika klasik tidak terumuskan oleh Newton, maka orang lain akan mewujudkannya. Pada hakikatnya, hukum alam akan terungkap semuanya, satu demi satu (sekali lagi, jika manusia tidak punah). Soalnya hanyalah melalui apa dan siapa ia akan terungkap. Kaum ilmuwan “hanyalah” kaum profesional yang terdidik dan berdedikasi untuk itu. Mereka ialah medium bagi si hukum alam untuk menampakkan diri kepada kita.
Jadi, apa itu rasionalitas? Ialah kesadaran yang membukakan dirinya kepada hukum alam, kepada ilmu. Potensi akan rasionalitas berkonflik setiap saat dengan ranah nilai-nilai, katakan saja dengan kebudayaan. Itulah sebabnya rasionalitas kita letakkan sebagai cakrawala. Aku dan engkau bukan kaum ilmuwan (yang bisa “membunuh diri” untuk menyingkapkan hukum alam), sebab engkau dan aku masih ingin memberikan dan mendapatkan empati. Adapun empati ialah akibat dari apa yang dianggap bajik dan benar menurut kebudayaan.
Jika kesadaran hanya sekadar kesadaran, yaitu terikat kepada kebudayaan, maka ia akan lumpuh dan melumpuhkan. Kita tahu bahwa kebudayaan berkembang menjadi jamak, terikat kepada waktu dan tempat. Pada suatu ketika, budaya-budaya tertentu menganggap bahwa, misalnya, membunuh bayi perempuan, mengorbankan manusia di altar persembahan ke dewa, dan mengayau kepala ialah kebajikan. Pada suatu periode, orang kuat ialah sumber kekuasaan, dan bahwa menaklukkan orang kuat yang lain ialah lebih daripada kebajikan. Dan seterusnya. Namun bukan maksud saya di sini menyajikan slide show sejarah umat manusia.
Kesadaran menggantungkan dirinya kepada religi dan filsafat, dua ranah yang bisa perlahan-lahan berubah menjadi ideologi, yaitu “teknologi kuasa” untuk mengelola masyarakat. Maka lahirlah ilmu sosial (pengertian yang jamak, tentu saja, social sciences), untuk menjadi alternatif terhadap ideologi, dan untuk memahami hukum masyarakat. Irisan antara filsafat dan ilmu alam—itulah ilmu sosial. Sosiologi, historiografi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, dan seterusnya, yang berusaha meniru prosedur ilmu alam seraya melepaskan diri dari filsafat, tetaplah terikat kepada nilai-nilai. Bagaimana tidak. Ia melancarkan kritik kepada ideologi sekaligus menjinakkannya, agar ideologi menjadi “teknologi kuasa” yang wajar dan mustahak. Demi apa? Demi kemajuan masyarakat.
Bila ada dakwaan, terutama dari kaum filsuf (tentulah bukan semua filsuf, sebab ada juga golongan yang bersikukuh bahwa matematika dan ilmu alam berkongsi logos, rasionalitas, dengan filsafat), bahwa ilmu telah menjadi magisterium—yaitu, sumber fatwa—sejak zaman Pencerahan hingga hari ini,[3] maka dakwaan itu sungguhlah tidak tepat. Ilmu, dalam hal ini ilmu alam, natural sciences, tidak mungkin menjadi magisterium atau grand narrative, sebab prosedurnya sendiri tidak memungkinkannya berlaku demikian. Ia hanya berbicara tentang sesuatu yang bisa dibuktikannya melalui observasi, eksperimen, atau penalaran matematis. Ia gemar—dan harus—melakukan falsifikasi terhadap dirinya sendiri.
Sekali lagi, apa yang ditemukan ilmu, sebagaimana hukum alam itu sendiri, tidak memerlukan empati kita. Temuan itu sendiri bisa terkoreksi, terlengkapi atau bahkan gugur oleh observasi, eksperimentasi, dan pembuktian berikutnya; atau, tidak jarang, hanya tersimpulkan benar dalam lingkup terbatas. Mekanika klasik Newton, misalnya, hanya berlaku untuk benda-benda makroskopik dan benda-benda langit, bukan di ranah atomik. Ilmu hanya mengatakan apa yang bisa dikatakan dalam lingkup penelitiannya: ia mengungkapkan sesuatu terlepas sama sekali dari apakah kita menyukainya atau tidak. Seperti sudah kukatakan, hukum alam sering kali menakutkan. Ya, lebih menakutkan lagi manakala ia merontokkan segala apa yang kita percayai, kita imani. Ilmu ialah subversi terhadap segala bentuk ideologi, termasuk religi. Jadi bagaimana mungkin ilmu menjadi sumber fatwa? Kuharap aku tidak harus bercerita lagi bagaimana otoritas religius menghukum kaum ilmuwan di masa dahulu.
Yang bisa menjadi magisterium ialah segala apa yang membuat kita merasa aman dan selamat di bumi dan di kehidupan pasca-kematian, segala apa yang tidak diberikan oleh ilmu. Magisterium ialah sumber Kebenaran, yang tidak menerima falsifikasi. Sedangkan dalam ilmu, falsifikasi ialah tulang belakang prosedurnya. Demikianlah, kaum filsuf itu melakukan category mistake. Mereka mengira ilmu sama dengan ideologi. Maka, kritik mereka sebaik-baiknya tertuju kepada ideologi (termasuk religi, khususnya religi terlembagakan), bukan kepada ilmu. Tepatnya, ideologi yang kelihatan di permukaan merebut, menapis, mengemas dan menyebarkan hasil-hasil keilmuan demi memajukan masyarakat.
Dan bila kita berbicara tentang “hasil-hasil keilmuan demi memajukan masyarakat” tentu kita harus berbicara tentang pilihan etis. Dan pilihan etis kita semestinya ialah bagian rasionalitas kita. Bung tahulah ke mana kita harus berpihak dalam perihal pengharaman vaksin, penggunaan senjata pemusnah massal, pembuangan residu plastik dan energi fosil, perubahan iklim, dan seterusnya. Sikap berpihak yang etis itu, sekali lagi, ialah kesadaran yang membuka diri terhadap ilmu. Semakin kita rasional, semakin kita bisa memelihara kelangsungan bumi dan umat manusia. Sungguh aku tidak paham jika sang filsuf mengatakan bahwa ilmu mengikis dunia-makna oleh karena sifatnya yang experiment-centered, bahkan data-centered. Bukankah alam semesta ini kian bermakna belaka ketika semakin banyak hukumnya tersingkap? Bukankah kita semakin terbebaskan jika kita semakin tahu, termasuk tahu akan ketidaktahuan kita sendiri? Hukum alam itu indah bagiku. Indah, murni, dan sunyata. Dengan sedikit sarkasme, kita bisa berkata bahwa kaum ilmuwan hanya berbicara tentang perihal yang mereka ketahui belaka, sedangkan kaum filsuf merasa tahu akan segala perihal dan berhujah melalui spekulasi murni.
Namun, sangatlah mungkin kaum filsuf mencurigai ilmu karena nostalgia religius yang sudah melarut dalam cara pandang mereka. Semacam platonisme cukuplah membuat mereka jengah dengan metode dan prosedur yang bersifat impersonal, yang merasuk jauh ke hakikat benda dan hubungan antar-benda. Lagi-lagi, bagi aku, impersonalitas itu sangat baik, sebab itulah sisi lain kedaulatan individu. Impersonalitas ialah subversi terhadap segala bentuk kekuasaan, kerakusan dan kesombongan. Kritik mendasar terhadap ego dan egosentrisme. (Di titik ini, dengan sepenuh ironi, kita bisa mengatakan bahwa adalah para ilmuwan dan matematikawan yang justru mampu mengamalkan prinsip-prinsip escape from personality dari T.S. Eliot maupun death of the author dari Roland Barthes, lebih daripada kaum sastrawan dan kritikus sastra.)
Jika filsafat punya tugas, maka itu bukanlah untuk menjadi antipode terhadap ilmu alam, bukanlah pula untuk membimbing berbagai disiplin kehidupan ke “jalan yang benar”. Filsafat akan jadi wajar, mustahak, dan tetap muda jika ia “sekadar” menjadi kritik terhadap ideologi dan religi (maka, jadilah ia semacam kembaran bagi ilmu sosial). Jika filsafat ialah proses pemikiran sekaligus meditasi yang berupaya melawan asumsi, prinsip, dan doktrin yang sudah mapan berlaku di haribaan publik, maka ia juga harus jernih melawan dirinya sendiri, termasuk “moralisme” yang ditegakkannya.
Bagiku sendiri, filsafat akan semakin serupa dengan sastra, yang mendorong kita bermain-main dengan bahasa (sebab bahasa bukan hanya alat, dan menggunakan bahasa sebagai alat belaka akan membuat penggunanya jatuh ke dalam tindasan platonis yang berikutnya), meledek komunikasi massa, menggerogoti pengertian yang didesakkan oleh si empunya modal, senjata, dan kuasa. Seperti kesenian, filsafat akan mampu membagi pengalaman estetik (yaitu semacam pengalaman mistik di zaman informasi) kepada kita, ketika segenap proposisinya segera malih menjadi setengah metafora belaka.
Tapi bagaimana itu sastra? Di sini saya hendak mengingatkan lagi bahwa sastra (yang di suatu masa di suatu tempat bernama susastra, yaitu sastra yang indah) ialah sebentuk atavisme, sejenis nostalgia akan situasi ketika manusia baru bisa menamai benda-benda. Sastra (dan kesenian pada umumnya) ialah jelmaan bahasa primal di masa ketika ilmu berhadap-hadapan dengan ideologi. “Manusia pertama” membuat kata untuk memberi nama, dan pada saat yang sama ia harus “mengungkapkan rasa”—takjub, takut, murka, kasih, solider, dan seterusnya. Hasilnya ialah gumpalan kata, yakni puisi atau sejenisnya, sebentuk “surrealisme” purba. Sebuah bahasa pra-pengertian, pra-konsep: itulah “sastra” yang pertama, yang tentu saja bukan sastra, sebab sastra ialah tulisan, dan aksara belum muncul ketika itu. Sastra modern, khususnya puisi modern, berlaku seperti kilas balik pada derajat tinggi kepada suatu masa ketika pengalaman si anak manusia masih penuh, seluruh, utuh, belum terbagi-bagi, ketika ia menemui alam semesta untuk pertama kalinya.
Ilmu linguistik modern, khususnya yang bertolak dari Ferdinand de Saussure, semakin menunjukkan sifat primitif bahasa. Bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan antara kata, arti kata, dan realitas yang ditunjuknya, namun ternyatalah konvensi sosial memaksakan hubungan itu. Bahwa kuda bukan hanya kumpulan aksara k-u-d-a, tapi juga makna yang menunjuk hewan yang berjenis kuda, sementara di tempat-tempat lain kuda bisa dipertukarkan begitu saja dengan horse, jaran, caballo, cheval, kabayo, hisan, equus, uma, hoiho, ghoda, atau farasi. Demikianlah, semantik yang serba-semu itu mengada, menguat, bahkan menjadi “alamiah”, terabadikan oleh kamus, menjadi dasar komunikasi. Sastra modern, terutama puisi modern, sesungguhnya hendak mempersoalkan semantik yang sudah telanjur beku itu. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian,” kata Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya.
Sastra melawan segala yang harfiah (harfiah, dari huruf atau aksara, atau letter dalam Inggris; harfiah, literal; sebentar lagi akan saya gunakan literalisme), segala yang tersurat di permukaan. Inilah paradoks yang dibawakan oleh kaum sastrawan sepanjang kiprah mereka: mereka memproduksi tulisan untuk membawa denyut hidup yang pernah diberikan kelisanan, untuk menjadikannya subversi kepada—juga sub-versi, versi bawah permukaan dari—bahasa yang sudah dibaku-bekukan, bahasa komunikasi massa.
Dengan demikian tegangan antara sastra dan kelisanan sudah berlaku sejak manusia mendirikan apa yang bernama sastra. Saya, Bung, dan pesastra yang mana juga tersangkut ke dalam tegangan ini. Jika saya bicara lagi tentang tegangan itu, sesungguhnya saya sedang menekankan keperajinan, keterampilan, craftsmanship, bukan “moralisme”.
Boleh jadi seorang sastrawan ialah moralis, nabi kecil, pemberontak, orang buangan, atau nihilis, yang menyatakan pandangannya. Namun, ini adalah pandangan yang hanya bisa terpancarkan—juga terpiuhkan, tergandakan, terbelokkan, bahkan teremukkan oleh—tulisannya. Tidak ada jalan lain. Ia tidak bisa meminta agar mutu karyanya terhubung dengan biografinya. Kita, yang membaca tulisan itu, tidak bisa lagi bertanya kepada si pengarang, sebab ia tidak lagi berada di samping atau di belakang karyanya, ia sudah “mati”. Bila kita menginterogasi si tulisan, maka ternyatalah kita sendiri yang memberi jawab: sebuah interpretasi; sebuah re-kreasi.
Bila seorang penyair yang lahir di Kepulauan Riau menulis kredo bahwa kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, maka bukanlah berarti ia meremehkan kata dan bahasa dan menggunakan mulutnya untuk meracau di pentas; justru sebaliknya, ia makin getol mengutak-atik tulisan, misalnya saja permainan larik, raga persajakan, dan tipografi. Jika ia mengatakan bahwa puisi harus kembali kepada mantra, maka tidaklah ia menyamakan dirinya dengan dukun perapal mantra; justru sebaliknya, ia hendak menjadi seorang pegarda depan dalam puisi berbahasa Indonesia, puisi yang seratus persen tulisan.
Bila seorang prosawan yang berbahasa-ibu Sunda-Banten (namun ternyata menulis dalam bahasa Indonesia) melakukan riset budaya lisan di sebuah pulau di Samudra Hindia di barat Sumatra dan kemudian ia menulis sebuah novel berdasarkan itu, maka novelnya, dengan sendirinya, memutuskan kontak dengan kelisanan—dan segala yang tersangkut dengannya—yang mengilhaminya. Sebab ia terikat kepada aksara dan nahu dan semantik bahasa Indonesia, kepada tata permainan sastra Indonesia. Yang ia berikan kepada kita bukanlah “sastra lisan”, melainkan “hanya” buku, barang cetakan, yang harus dibaca, bukan didengarkan. Ia bukan juru cerita lisan—baik dalam bahasa di pulau yang jauh itu maupun bahasa Indonesia—yang dikelilingi khalayak perungu-pemirsa.
Kemudian bayangkanlah tiga penulis yang sedang menempuh “proses kreatif” di ruang studi masing-masing: seorang penyair yang menulis sajak “tentang” lengking peluit kereta api pengangkut batu bara di sebuah kota kecil di Midwest; seorang antropolog yang mengerjakan “deskripsi kental” perihal adu ayam di sejumlah titik di Bali; seorang paleontolog yang menyusun “cerita” tentang zaman Pleistosen-Holosen di lembah-lembah Bengawan Solo. Mereka sudah kehilangan realitas yang di luar sana itu, realitas pra-tulisan, yaitu sepotong dunia yang mereka cerap dengan segenap indra dan wawasan mereka; tinggallah hanya sekian banyak coret-moret, sketsa, catatan, spesimen, foto, rekaman, dan ingatan—“setengah tulisan” yang harus mereka angkat ke dalam tulisan, yaitu tulisan yang akan tidak bisa lain daripada “naik derajat” lagi ke bentuk cetakan. “Proses kreatif” mereka berjalan dalam batas-batas disiplin, tradisi, konvensi, prosedur, penilaian yang disediakan bidang masing-masing, segala sesuatu yang terikat kepada budaya tulisan.
Berbagai contoh di atas saya kira cukuplah untuk menyatakan kembali bahwa “lawan sastra bukanlah ilmu melainkan kelisanan”. Justru di dalam pernyataan demikianlah terkandung apa yang Bung sebut “kesadaran akan posisi diri”. Tetapi supaya “kesadaran” tersebut tidak terjerumus ke dalam heroisme yang tidak perlu, (misalnya heroisme yang “mendakwa” si penulis Kaki Kata telah merendahkan kelisanan, tepatnya tradisi lisan), kita perlu melakukan prognosis ke dalam diri sendiri.
(For your information, mohon maaf. Sudah lama saya ikut mengelola sebuah pusat kesenian yang menampilkan banyak sekali jenis “anak kandung budaya lisan” yang Bung junjung: teater, musik, tari, baik yang lama maupun yang baru; juga perbincangan, ceramah, kuliah, kelas keterampilan, dan seterusnya.)
Jika Bung girang menggunakan frase “oposisi biner”, maka bayangkanlah “lawan” yang ada dalam paragraf di atas ialah seperti lawan dalam laga olahraga. Adapun laga antara sastra dan kelisanan ialah laga tanpa batas waktu, di mana kedua pelaga ganti-berganti taktik dan pemain, dengan sejarah dan “rasionalitas” (hilangkan tanda kutip jika Bung berkenan) masing-masing, dengan penonton yang meluas ke seluruh buana. Dan jika Bung menyukai segala sesuatu yang visual, maka terjadilah pula “oposisi biner”, misalnya, antara pulau (sastra) dan laut (kelisanan) di sekitarnya, atau antara jalan berliku (sastra) dan hutan belantara (kelisanan) yang mengepungnya.
Seperti yang sudah saya katakan, seorang pesastra hidup dengan segala dunia yang dicerapnya, (seperti si pulau yang memeluk atau berusaha memeluk si laut), menceburi semesta pra-tulisan untuk, pada akhirnya, menapisnya, katakanlah memilih tema, motif, citra, langgam, ragam, dan seterusnya, dan “mengabadikan” hasil tapisan itu ke dalam sebuah verbal art form, tidak lebih dan tidak kurang. Sastra boleh jadi adalah “perwakilan” sepotong semesta yang sudah tertapis itu, sebuah representasi, tapi lebih mungkin lagi bukan, sebab itu sudah menjadi dunia yang tersendiri, yang tidak mungkin lagi dicocokkan dengan apa yang menjadi sumbernya, acuannya. Sebab pembaca akan menghidupkan realitas yang lain dari sana melalui interpretasi—dan re-kreasi.
Jika puisi modern ialah sebentuk atavisme, sebentuk kebangkitan kembali gairah purba untuk menamai dunia, maka demikian juga prosa modern. Jika prosa pertama ialah benih yang menumbuhkan mitos asal-usul (yang kemudian berkembang menjadi religi), narasi besar, cerita besar, maka prosa modern ialah anti-mitos, cerita kecil perihal hidup kini dan di sini.
Religi dan ideologi ialah sebentuk literalisme, tempat kata, makna kata dan realitas dianggap satu-menyatu, dikendalikan oleh pemegang otoritas. Di sinilah kebenaran, yang seharusnya hanya “kebenaran” belaka, berubah menjadi Kebenaran. Demikianlah literalisme menjadi magisterium, menjadi master narrative. Itulah sebabnya lawan religi dan ideologi ialah ilmu.
Literalisme membunuh metafora demi mengukuhkan kesatuartian, demi memelihara Kebenaran. Itulah sebabnya sastra, yang memberikan polisemi dan ambiguitas, ialah subversi terhadapnya. Sastra adalah seperti pulau-pulau kecil di tengah samudra literalisme. Namun kekecilan dan mungkin keterpencilan itu penting untuk memelihara eksperimentasi bagi dirinya, agar ia tetap berbeda dari si magisterium yang setiap kali memaksakan komunikasi massa.
Kita juga harus mengatakan bahwa literalisme membunuh pembuktian dan falsifikasi demi tegaknya Kebenaran. Religi dan ideologi tidak memerlukan hukum alam. Sang magisterium memelihara misteri, atau Misteri, untuk menyangkal segala yang bisa membuktikannya keliru. Itulah sebabnya lawan Kebenaran ialah ilmu. Tapi saya harus mengingatkan bahwa ilmu tidak menjadikan dirinya penantang seperti itu. Sebab ilmu tidak memerlukan segala hal yang justru diperlukan oleh si master narrative—empati, kesetiaan, kepatuhan, dukungan mayoritas. Ilmu, dalam hal ini ilmu alam, bersifat impersonal dan tanpa pamrih: ia memisahkan diri sepenuhnya dari kepribadian sang ilmuwan.
(Mungkin Bung akan bertanya, bukankah kaum ilmuwan memerlukan riset, dan riset itu berdana, dana yang berasal dari mereka yang punya kuasa. Jawaban saya akan lempang: jika “ilmu” sudah mengikatkan diri dengan—berpamrih kepada—si pemberi dana, maka ia sudah menjadi ideologi. Bagaimana mungkin hukum alam dikendalikan oleh kehendak si sponsor?)
Bila seorang pesastra mengatakan bahwa ilmu punya takhayulnya sendiri, maka jelaslah pikirannya sedang diselimuti kabut pekat. Ilmu bermula dari aku tidak percaya. Aku tidak percaya bahwa matahari mengelilingi bumi; bahwa bumi dan langit diciptakan dalam tujuh hari; bahwa air bah dan letusan gunung api terjadi oleh kemarahan sang dewa. Adapun takhayul bermula dari aku percaya. Aku percaya akan adanya danyang, hantu dan makhluk halus lainnya sebagaimana tetanggaku, keluargaku, moyangku sudah percaya benar akan mereka; aku percaya bahwa bahwa pelangi dan segala hal di dunia adalah ciptaan sang tuhan. Ilmu menyatakan diri dengan pembuktian dan falsifikasi, sedangkan takhayul berakar pada keyakinan. Para ilmuwan dan mereka yang berperangai ilmiah akan menganggap Adam sebagai metafora bagi menyingsingnya fajar kebudayaan, sedangkan para true believers bersitegas bahwa Adam ialah seorang manusia harfiah yang pertama.
Dengan kata lain, si magisterium memerlukan misteri dan keajaiban supaya ia bisa berlaku kekal abadi. Bagi sastra, “misteri dan keajaiban” hanyalah apa yang belum dikatakan oleh bahasa, oleh segala apa yang akan diangkat oleh metafora, oleh alkimia kata. Bagi ilmu, “misteri dan keajaiban” hanyalah bagian dari alam, hukum alam, yang belum—bukan tidak bisa—dijelaskan. Lagi pula, bukankah ilmu sudah membentangkan begitu banyak, nyaris tak terhingga, perihal yang lebih dari sekadar keajaiban—segala perihal yang bersangkut-paut dengan evolusi alam semesta, evolusi organisme?
Misteri dan keajaiban: wilayah gelap yang dihuni oleh berbagai makhluk halus dan makhluk ilahiah, dan berbagai tenaga yang tidak terjelaskan, tenaga yang melindungi si pendiri dan si pemimpin besar di wilayah religi dan kepercayaan. (Maka Bung janganlah heran kenapa seorang penjual bunga kering bisa menjadi semacam nabi di lingkungan kota besar, termasuk bagi kaum terpelajar. Begitu mudah guru-guru agama membesarkan diri melalui marketing yang biasa-biasa saja sebenarnya, di zaman-zaman lampau maupun kini.)
Kepatuhan dan kesetiaan buta, mentalitas kawanan ternak, nafsu untuk mendapat keselamatan, segala yang terpelihara oleh apa yang telanjur bernama misteri dan keajaiban itulah yang saya sebut kelisanan. Lawannya ialah rasionalitas, kesadaran yang terbuka kepada hukum alam, kepada ilmu. Di titik ini saya katakan bahwa adalah budaya tulisan yang mendasari ilmu dan sastra. (Jangan pernah lupa bahwa “sastra”, yang kita ambil dari bahasa Sanskerta, berarti tulisan, atau wacana tertulis.)
Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa ilmu dan sastra berbagi imajinasi dan rasionalitas. Keduanya memperlihatkan kepada manusia, dengan cara masing-masing, aneka surga di bumi, di sini, supaya ia tidak memusuhi sesamanya demi satu-satunya surga di sana yang belum dilihat oleh siapa pun juga.
Keduanya juga mengisyaratkan, pun dengan cara yang berbeda, bahwa manusia mestilah menapaki aneka kekayaan di bumi, meluaskan cakupan indra dan kecerdasannya, supaya ia tidak berhimpun dengan tenaga perusak alam yang sudah berlaku di mana-mana.
Demikianlah, setelah saya melukis “pemandangan umum” di atas, saya ingin sedikit membicarakan sejumlah rinci dalam tulisan Bung. Terutama, saya akan mengingatkan lagi bahwa rasionalitas ialah kesadaran yang membuka diri ke arah ilmu. Menjadi rasional ialah sebuah sikap etis, pilihan etis. Seperti sudah kukatakan, di luar itu hanya akan ada dorongan untuk kembali kepada misteri dan keajaiban, dan kepada literalisme.
Rasionalitas tidak menarik diskontinuitas dengan masa lampau, dengan sejarah. Semakin rasional seorang anak manusia, semakin ia menyadari hubungannya dengan warisan umat manusia, dengan warisan khazanah keilmuan, dengan warisan kebudayaan. Ia hendak menjangkau semua itu, meski waktu dan tenaganya terbatas.
Saya sendiri ingin mengatakan bahwa sejarah harus menjangkau ke belakang sejauh-jauhnya: sejarah manusia hanyalah bagian kecil dari evolusi organisme di bumi, yang juga sekadar anak cabang dari evolusi kosmos. Itulah sebabnya saya dengan girang dan mudah saja memeluk berbagai warisan yang tidak jauh di belakang saya, misalnya saja tradisi lisan. Manusia rasional akan gampang mencintai dan merawat museum maupun “museum tanpa dinding”, pelbagai situs asli yang menyangga pelbagai ciptaan yang tak ternilai itu.
(“Periklanan” Bung bahwa saya perlu melongokkan kepala kepada studi tradisi lisan pada beberapa universitas kita membuat saya nyaris tersedak. Sudah kujenguk mereka, Bung. Bung janganlah khawatir: saya penggemar berat antropologi, etnografi dan etnomusikologi, semua disiplin yang bersoal jawab dengan tradisi lisan, sejak tiga dekade lalu. Sastra saya berutang banyak kepada karya-karya para ilmuwan di bidang-bidang itu.)
Jika para pecinta misteri dan keajaiban hendak melestarikan—membekukan—aneka warisan itu, saya menganjurkan diri kita untuk melihat pewarisan sebagai tanda perpisahan dengan magisterium yang pernah melahirkannya. Kita akan menatap harta karun yang melimpah ruah itu dengan cahaya ilmu dan kreativitas, yaitu sebagai sumber-sumber penciptaan dan penelitian.
(Ilustrasi kecil saja: sebagai orang Jawa pinggiran, saya dibesarkan oleh sebuah tradisi lisan bernama pertunjukan wayang kulit. Dalam kiprah saya bersastra, saya kian menyadari bahwa permainan bayang-bayang pada kelir itu adalah gambar bergerak yang “tiada duanya”. Itu sebabnya saya coba menerjemahkan permainan bayang-bayang itu, dengan menjelajahi ambang bentuk antara puisi dan prosa, ke dalam Buku Merah dan Buku Jingga. Semogalah sedikit paparan tentang atavisme saya ini bisa membuat Bung lebih lincah bermain tangkap dan lari dengan Surat Kepercayaan Gelanggang maupun intelektualisme cetusan Subagio Sastrowardoyo.)
Dengan kata lain, semua warisan itu terbuka ke arah rasionalitas. Masalahnya, apakah si ahli waris mau menyadari potensi tersebut atau tidak. Namun, akan lain perihalnya jika Bung mengatakan bahwa secabang warisan (misalnya debus atau ilmu kebal) beserta kultur yang melahirkannya ialah rasionalitas tersendiri, yang bukan rasionalitas yang saya maksud. Artinya Bung percaya akan adanya banyak rasionalitas, bukan?
Saya jawab terlebih dulu dengan separuh-humor. Masa kanak-kanak saya dipenuhi oleh “kejaiban” seperti itu: kuda lumping makan beling, permainan jailangkung, pertunjukan potong leher, kerasukan roh halus, santet-menyantet, “ilmu kebal”, dan seterusnya. Melihat kembali ke belakang sambil mengancang ke depan, saya bisa mengatakan bahwa semua itu semacam reality show belaka. Ilmu, terutama neuroscience, sudah—dan akan—menjelaskan itu dengan gamblang. Bung tidak perlu khawatir: semua “keajaiban” itu bisa disimulasikan dan diamalkan bilamana perlu. Tapi, supaya kita tidak membuang-buang umur, cukuplah kita mengalami magic realism di dalam sastra belaka.
Reaksi saya yang berikutnya ialah pertanyaan-balik buat Bung sendiri. Jika Bung percaya bahwa ada banyak “rasionalitas”, maka apakah Bung akan menenggang—membolehkan, atau bahkan menyetujui—tindakan yang didasari oleh “rasionalitas” tersebut?
Terorisme demi mencapai “negara Tuhan”; autokrasi demi mewujudkan “kehendak rakyat”; genosida demi menjaga keamanan nasional; nubuat tentang akan tibanya malaikat Jibril di Halim Perdanakusuma; pernyataan seorang menteri bahwa Covid-19 akan lewat bila kita rajin berdoa; kekerasan domestik seorang suami terhadap isterinya; sas-sus yang mendorong pembunuhan sejumlah “dukun santet”, misalnya—semua itu benar dan boleh karena masing-masing didasari “rasionalitas” tersendiri?
Jika Bung ragu-ragu menjawab, baiklah, jangan lupa bahwa Bung mengikuti heroisme para filsuf pascamodernis, tepatnya perlawanan mereka kepada “rasionalitas Pencerahan”. Menurut saya, mereka telah keliru mempertentangkan filsafat dengan ilmu. Ini adalah sebentuk nostalgia religius yang akut, baik tersengaja atau tidak, yang keliru waktu. Sesungguhnya, bagi sesiapa yang berilmu, pencerahan terjadi setiap kali hukum alam tersingkap.
Sesungguhnya tugas filsafat ialah menisbikan apa yang absolut, dan ini tidak lain daripada menyatakan kritik terhadap pemegang monopoli tafsir atas dunia, terhadap sang magisterium—ideologi dan religi. Ternyatalah pascamodernisme lebih banyak berlaku mengabsolutkan apa yang relatif—relativisme nilai-nilai, “pluralisme budaya”. Pascamodernisme mudah berjalan seiring dengan tribalisme baru dan populisme baru, yang melesatkan, misalnya, Donald Trump dan Jair Bolsonaro, sebab yang berbeda-beda itu tidak mungkin berdialog untuk mencapai yang universal.
Jika Bung menganut pandangan bahwa “rasionalitas” itu bermacam ragam, maka posisi Bung sebagai guru di universitas akan sangat bermasalah. Bagaimana pendapat Bung, misalnya, perihal para dosen dan mahasiswa yang mengamalkan semacam “ilmu gaib”, yaitu bahwa mereka, dengan hanya mematuhi “sistematika penulisan” dan mengutip sekian nama dan istilah yang keren-keren, sudah merasa berlaku ilmiah; perihal universitas kita yang lebih banyak mengurus akreditasi ketimbang melaksanakan ilmu dan penelitian; perihal “budaya agama” yang lebih berkuasa ketimbang scientific culture di pelbagai kampus kita, dan seterusnya?
Apakah semua sungsang itu boleh dan baik-baik saja sebab masing-masing didasari oleh “rasionalitas” yang lain? Apakah itu termasuk “ranah yang tak terjelaskan” oleh “nalar modernitas-rasionalitas”? Pertanyaan barusan itu hanya karikatur buat Bung. Jika Bung terseret oleh arus pikiran Bung sendiri perihal apa yang saya sebut kelisanan, yaitu kelisanan yang berlaku di antara penghasil “tulisan”, maka saya kutipkan lagi pasase dari pamflet saya “Nasionalisme”, yang pernah saya ceramahkan di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2016:
Sebelum kita menggemari perpustakaan, kita diwajibkan menulis dengan bibliografi; sebelum kita gemar membaca, kita diwajibkan berteori; sebelum kita bisa menulis, kita harus menyelesaikan disertasi; sebelum kita menyelami seni, kita terpaksa berwacana tentang seni; sebelum kita menguasai medium seni, kita terhanyut untuk “mengilmiahkan” seni; sebelum kita gandrung akan profesi kesenian, kita membebani diri dengan gelar yang akan menaikkan status sosial kita . . . [4]
Sila perhatikan bahwa saya telah menggunakan kita alih-alih anda (sebab, memang kubayangkan diriku terlibat ke dalam masalah itu). Gamblang sekali k-e-l-i-s-a-n-a-n yang saya tunjuk, bukan? Sungguh terang bahwa saya tidak berbicara tentang tradisi lisan, apalagi merendahkannya. Bung tentu tahu apa yang saya maksud dengan situasi di lingkungan akademik dalam kutipan di atas, dan situasi yang setara dalam kesastraan-kesenian kita. Tapi, baiklah, Bung sudah melakukan cherry picking, yaitu memilih hanya frekuensi suara saya yang “memuaskan” telinga heroik Bung. Itu tampak pula pada pengabaian Bung akan topik-topik seperti “barbarisme”, “suara naratif lokal”, “tradisi lain”, “orientalisme” (pada esai-esai lain dalam Kaki Kata), yang mestinya bersitatap langsung dengan aspirasi sastra dan akademik Bung akan “pengetahuan lokal”.
Jadi, kenapa pula kita harus membuka pelatihan menulis esai bagi para mahasiswa, sebab bukankah anak-anak muda itu menjalankan “rasionalitas” juga, “rasionalitas” yang lain, mungkin “rasionalitas milenial”, yang tidak harus sama dengan rasionalitas Bung? Kenapa kita harus mengikis “misteri dan keajaiban” dan k-e-l-i-s-a-n-a-n yang terkandung dalam tuna-tulisan dalam diri mereka? Di titik ini mungkin Bung mau berkongsi dengan saya perihal apa dan bagaimana itu rasionalitas yang saya lukiskan sejak awal tulisan ini.
Apa itu rasionalitas? Ialah ketika guru dan murid mampu berpikir, menulis dan berilmu. Ialah ketika mereka tegak sebagai individu-individu yang menyodorkan gagasan dan “gaya” masing-masing dalam permainan yang asyik. Ialah ketika mereka “bertukar tangkap” dengan nahu dan semantik, menerjemahkan realitas pra-tulisan ke dalam tulisan. Menulis ialah mengamalkan tata sastra (yang sama sekali tidak bisa dibilang irrasional), ialah bergerak ke ranah yang lebih terang. Paling tidak, kita tahu akan kekeliruan para guru kepenyairan pada masa kemarin: mereka mengajarkan semacam tirakat kebatinan tanpa berbagi ilmu penulisan dan wawasan sastra.
Apa itu irrasionalitas? Ialah ketika kita hidup dalam gua dan menganggap gua itu sama dengan seluruh dunia. Ketika kita merasa remang-gelap di situ ialah terang, padahal di luar gua ada terang yang begitu melimpah-limpah. Ketika kita percaya kepada “ilmu gaib” dan segala perihal yang dilolohkan kepada kita oleh ideologi dan religi, oleh magisterium yang lokal maupun yang global. Dan jika sastra ialah sebentuk atavisme, maka lelaku menulis pastilah bukan urusan “ilmu” kebatinan. Mengikuti pendapat dan amalan penyair-kritikus Subagio Sastrowardoyo, kita bisa mengatakan bahwa intelektualismelah yang mampu membuat atavisme demikian menghasilkan bentuk yang terbaik. Adapun hidup dalam gua ialah percaya kepada bakat alam, ialah tidak mengaji tradisi sastra, ialah tak menyadari kekayaan pustaka dunia.
Rasionalitas berupaya tidak mencampurkan yang gelap dan yang terang. Itu sebabnya frasa “kelisanan dan irrasionalitas bergentayangan di media sosial” sama sekali tidak berarti “media sosial sama dengan kelisanan dan irrasionalitas”. (Pun “buku bisa menyebarkan racun” tidak sama dengan “semua buku adalah racun”.) Tentang media sosial, kita bisa berkata bahwa di mana pembuktian dan falsifikasi dianggap tidak penting, di situlah dusta, prasangka, dan “kenyataan alternatif” merajalela. Di mana prasangka dipijak, di situ kekerasan dijunjung. Di mana keaksaraan dipijak, di situ kemerdekaan dijunjung.
Mengatakan bahwa media sosial mengandung banyak kebajikan hanyalah sebuah tautologi; sama dengan mengatakan bahwa mahir menulis itu sebuah kelebihan. Mengatakan bahwa manusia mudah menjadi makhluk rasional ialah sebuah kesombongan, kalau bukan kekeliruan. Itulah sebabnya saya berkata bahwa rasionalitas ialah sebuah kata kerja, tepatnya kata kerja transitif, yaitu berjalan ke arah ilmu, ke arah pemahaman akan hukum alam. Menggapai hukum alam.
Apa boleh buat, kita ialah manusia compang-camping, bukan manusia seutuhnya.
Seorang sastrawan yang beraspirasi sastra tinggi bisa saja norak dalam selera musik dan selera rupa. Seorang seniman yang membela kebebasan berpikir dan berekspresi bisa mengikat istrinya di rumah sebagai “kawan belakang” belaka. Seorang terpelajar yang mengagumi Darwin dan Wallace bisa saja mudah mempercayai hantu jenazah dan pawang hujan.
Manusia ialah penderita “skizofrenia”, juga dalam makna yang positif. Seorang presiden boleh beriman, pergi ke gereja setiap Minggu, tapi kebijakannya sangat berpihak kepada ilmu, gerakan LGBT, dan energi bukan-fosil; ia tidak membawa imannya ke urusan publik. “Skizofrenia” ternyata juga bisa diderita secara kolektif. Bangsa-bangsa yang kita sangka maju, ternyata ialah kumpulan manusia terbelakang ketika menghadapi pandemi Covid-19: mereka percaya bahwa mengenakan masker dan penjarakan sosial itu memangkas kebebasan dan hak asasi.
Rasionalitas mengatakan bahwa iman ialah wilayah pribadi: imanmu tidak boleh melimpah ke ruang publik sebab ia, yang tak bisa diperdebatkan, bisa menjadi kekerasan. Bahwa kebebasan pribadi dan hak asasi berarti juga menjaga keselamatan dan kesehatan warga: di tengah pandemi sekarang, kehadiranmu di tengah kumpulan ialah potensi untuk mematikan orang lain. Bahwa semakin banyak residu yang dihasilkan oleh kebudayaan, semakin hukum alam tampak perkasa: gunakan lebih banyak lagi plastik dan energi fosil, maka bumi dan langit akan membalas dendam kepadamu dengan bencana iklim lebih lekas lagi.
Di luar gua yang kadang-kadang masih kita tinggali (sebab konon di situ masih banyak warisan yang membuat kita merasa berarti), kita hendak memenggal kaki kata dan sayap kata, supaya Kata bisa larut sepenuhnya ke dalam aliran darah manusia pascamodern. Untuk itu, apa boleh buat, kita harus lebih dulu membunuh, setidaknya berupaya membunuh, irrasionalitas yang masih berkuasa di dalam diri kita sendiri. Barangkali kita gagal, namun setidaknya kita sudah pernah menjangkau semesta di luar gua kita, semesta yang sarat dengan kemerdekaan.
Jakarta, 14 April 2021
[1] Termuat dalam Teks, Pengarang, dan Masyarakat: 20 Naskah Terpilih Sayembara Kritik Sastra 2020, suntingan Ganjar Harimansyah dkk. (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta, 2020), 340 hlm.
[2] Paleoantropolog Richard G. Klein menggunakan istilah “the emergence of modern human behavior.” Lebih rinci (tanpa saya terjemahkan), “. . .the relationship between anatomical and behavioral change shifted abruptly about 50,000 years ago. Before this time, anatomy and behavior appear to have evolved more or less in tandem, very slowly, but after this time anatomy remained relatively stable while behavioral (cultural) change accelerated rapidly.” Baca Richard G. Klein & Blake Edgar, The Dawn of Human Culture (New York: John Wiley & Sons, 2002), terutama halaman 271-273.
[3] Baca, misalnya, Bambang Sugiharto, “Sejak era Pencerahan (Aufklärung) hingga abad ke-21 ini iptek telah jadi magisterium (sumber fatwa) paling utama dalam dunia manusia.”—dalam artikelnya “Keadaban Baru”, Kompas, 7 Agustus 2020.
[4] “Nasionalisme”, dalam kumpulan esai saya Kaki Kata (Padang & Jakarta: Teroka Press, 2020), 39-53.
Nirwan Dewanto
Nirwan Dewanto adalah penyair, esais, dan kurator. Buku-bukunya adalah, antara lain, Buli-Buli Lima Kaki (puisi), Satu Setengah Mata-Mata (esai), Buku Jingga (fiksi), Kaki Kata (esai), dan Museum of Pure Desire (puisi dalam terjemahan Inggris).
[…] “Menggapai Hukum Alam” karya Nirwan Dewanto pada mulanya adalah sebuah tanggapan atas tulisan Niduparas Erlang. Namun, […]
[…] [ii] Nirwan Dewanto, Menggapai Hukum Alam, https://tengara.id/esai/menggapai-hukum-alam-nirwan-dewanto/ […]