Kanon Sastra Kita
Kritik dan Representasi

Foto oleh Paul Kadarisman

PERSENTUHAN pertama saya dengan sastra Indonesia melalui Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (1922) karya Marah Rusli dan Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Dua novel Balai Pustaka ini kepunyaan ibu saya dan berada dalam rak perpustakaan keluarga kami.

Persentuhan tak terencana. Buku-buku cerita anak telah tamat saya baca, sehingga mencari bacaan lain. Orang tua membelikan buku baru hanya sebulan sekali di Toko Buku Pemuda yang berjarak tempuh sekitar satu jam bermobil dari kota Sungailiat ke Pangkal Pinang di Pulau Bangka. Mobil Holden putih tahun 1965 meluncur di jalan. Jendela-jendela terbuka. Udara panas. Ibu duduk di samping Ayah yang menyetir. Kami anak-anak bertumpuk di jok belakang, bernyanyi-nyanyi, mengikuti suara biduan Amerika dari tape mobil.

Di masa kecil dan remaja, saya lebih banyak menikmati karya-karya terjemahan penulis asing, seperti Lima Sekawan (Enid Blyton), Seri Petualangan Winnetou dan Old Shatterhand (Karl May), dongeng-dongeng Hans Christian Andersen dan Charles Perrault, Petualangan Tintin (Herge), novel Yukio Mishima, Yasunari Kawabata, Natsume Soseki, Victor Hugo, Alexander Dumas, Anton Chekov, Charles Dickens, Leo Tolstoy, Jules Verne, Emile Zola, dan Ernest Hemingway. Karya sastra Indonesia bukan karya sastra pertama yang saya baca.

Membaca Sitti Nurbaya membawa saya kembali kepada realitas kehidupan orang Indonesia di Sumatra Barat awal abad ke-20, di masa penjajahan Belanda. Namun, Sitti di masa kecil saya adalah kenyataan sosial sehari-hari. Orang-orang dewasa membicarakan perempuan muda dari keluarga miskin dinikahkan dengan lelaki jauh lebih tua demi memperbaiki taraf hidup keluarga atau anak perempuan kabur dari rumah karena menolak perjodohan orang tua. Sitti jatuh hati kepada Samsul Bahri, sahabatnya sendiri, tetapi ayahnya yang gagal melunasi utang menikahkan Sitti  dengan Datuk Maringgih, lelaki tua kaya-raya.

Di halaman rumah masa kecil saya di Pulau Bangka, ada bangku kayu yang dinaungi sebatang pohon besar. Saya sering duduk di situ menonton pertandingan badminton antara adik saya Tata melawan anak tetangga kami Mili. Di tahun 1980-an, Indonesia tengah dilanda demam Liem Swie King, juara All England, dan saya masih belajar di sekolah dasar. Suatu hari setelah membaca Salah Asuhan, saya mengukir nama cinta monyet saya dengan bolpen hitam di bawah bangku itu, meniru perbuatan Corrie mengukir nama Hanafi di bangku taman.

Kisah cinta Corrie du Busse nona keturunan Prancis dan Hanafi inlander Minangkabau berlangsung di masa Hindia Belanda. Meski hukum kolonial mendiskriminasi kaum bumiputra di segala lini, Hanafi berhasil menempuh pendidikan di sekolah Belanda berkat kecerdasannya. Pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang Eropa telah memengaruhi pemikiran dan mengubah sikap Hanafi. Ia merasa lebih nyaman dengan budaya Belanda ketimbang budaya Minang. Ia meremehkan sanak saudara yang tak bersekolah. Ia menceraikan sang istri Rapiah. Ia mengubah status hukumnya hingga dinaturalisasi sebagai orang Belanda dengan nama baru Christian Han. Namun, ia pun tak bahagia sesudah menikahi Corrie yang dicintainya. Perbedaan pendapat dan salah paham terus mendera sepasang suami-istri ini. Hubungan toksik. Corrie ikhlas kehilangan banyak teman, yang enggan menerima suaminya seorang Belanda jadi-jadian, tetapi Hanafi malah menuduh istrinya main gila. Di puncak konflik mereka, Corrie kabur dari rumah. Ia lalu meninggal karena sakit. Membaca Salah Asuhan membuat saya jengkel kepada Hanafi, si Malin Kundang. Di akhir kisah, Hanafi bunuh diri dengan menelan pil sublimat setelah insyaf yang terlambat.

Salah Asuhan mengurai relasi antarindividu beragam ras dan kelas sosial dalam masyarakat negeri jajahan. Kaum bumiputra  atau inlander berada di kelas paling rendah. Eropa kelas teratas, disusul Timur Asing (Arab, China, India). Inlander adalah identitas bangsa terjajah. Jika tidak miskin, bodoh, dan terbelakang, maka itu anomali. Hanafi menembus batas-batas tersebut, sehingga ia menjadi “salah asuhan”. Corrie terpilih merepresentasikan derita Eropa, mengubah narasi supremasi “putih” menjadi narasi korban “kulit berwarna”. Karena ia perempuan, derita itu berlapis: korban kekerasan rumah tangga merangkap korban ras. Begitulah propaganda kolonial bekerja melalui sastra.

Antagonis dalam Sitti Nurbaya, Datuk Maringgih, menentang pajak kolonial yang menyengsarakan rakyat. Ia memengaruhi orang-orang kampung agar bersatu melawan. Namun, sosok pejuang seperti Datuk Maringgih mustahil meraih simpati pembaca. Sejak awal ia telah diprofilkan sebagai orang jahat.

Samsul Bahri kembali ke kampung masa kecilnya sebagai Letnan Mas, perwira polisi yang ditugaskan pemerintah kolonial menumpas pemberontakan Datuk Maringgih. Konflik penjajah dan rakyat jajahan teralih-tersamar oleh persoalan antara Datuk Maringgih dan Letnan Mas. Datuk-pengusaha-preman-pejuang-pembunuh istri (Sitti meninggal karena lemang beracun) versus Letnan Mas-perwira polisi-penegak keadilan-aparat kolonial. Dua inlander saling bunuh.

Sebelum diterbitkan Balai Pustaka, naskah Salah Asuhan dan Sitti Nurbaya tentu menjalani penyuntingan ketat. Lembaga kolonial yang berawal dari Kantoor voor de Volkslectuur ini berdiri pada 22 September 1917 dan berwenang menentukan apakah sebuah karya layak dijadikan “bacaan rakyat”.  Musuh “bacaan rakyat” adalah “bacaan liar”, yang mengkritik dan membongkar kebobrokan praktik kolonialisme di Hindia Belanda. Novel tentang nyai ataupun novel politik yang ditulis aktivis pergerakan digolongkan sebagai “bacaan liar”. Karya-karya ini dapat memprovokasi rakyat jajahan untuk melawan negara kolonial.

Esai Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda”, di Jurnal Prisma edisi 10 Oktober 1991 menjelaskan bahwa Persbreidel Ordonnantie yang ditetapkan pemerintah kolonial pada 1931 memberi hak hukum dan politik kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melarang penerbitan yang dianggap mengganggu ketentraman. Kata “Indonesia” misalnya terlarang muncul dalam naskah-naskah yang akan diterbitkan Balai Pustaka. Semua naskah harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi. Penyeragaman itu, menurut Hilmar, mematikan perkembangan bahasa Melayu Tionghoa dan Melayu Pasar[1], yang merupakan bahasa kaum pedagang dan buruh.

Dalam kajiannya, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Masa Pergerakan (2021), Razif menulis bahwa masa subur “bacaan liar” berlangsung dari tahun 1920 hingga 1926. Situasi ekonomi, politik, dan sosial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 memicu persemaiannya.

Pada 1899, negara kolonial memberlakukan undang-undang pertambangan. Investor-investor asing diundang menambang mineral di Hindia Belanda, seperti batu bara, timah, ataupun minyak. Perkebunan-perkebunan dibuka. Infrastruktur dibangun, terutama transportasi darat dan laut, untuk mengangkut hasil-hasil tambang dan kebutuhan logistik, mendukung kelancaran lalu-lintas perdagangan, dan mobilitas manusia. Para pengusaha tentu membutuhkan media untuk mewartakan bisnis mereka. Surat kabar dan buku dicetak. Lama-kelamaan jenis barang cetakan tersebut makin beragam, terutama di percetakan-percetakan Tionghoa, mulai dari saduran atau terjemahan karya sastra hingga karya revolusioner[2].

Karya sastra mulai bermuatan kritik. Razif mencontohkan salah satu novel karya seorang Belanda H. Kommer, yang berjudul Nji Paina, yang “sadar atau tidak, telah melancarkan kecaman tajam terhadap kaum pemilik pabrik gula, yang saat itu merupakan tulang punggung Hindia Belanda dalam mendapatkan devisa.”[3]

Di masa ini pula penerbit pertama bumiputra, Medan Prijaji, dirintis Raden Mas Tirtoadhisoerjo, yang kemudian menerbitkan surat kabar Medan Prijaji. Selain menulis kisah tentang nyai,  Tirtoadhisoerjo juga menulis artikel berisi gugatan terhadap pemerintah, kaum feodal, dan kaum pemilik modal.

Di bagian tentang “perang soeara”, Razif mengisahkan Tirtoadhisoerjo berperan menerbitkan bacaan untuk masyarakat tak terdidik. Tulisannya, “Boycott”, yang dimuat Medan Prijaji memompa keberanian orang-orang Tionghoa di Surabaya untuk memboikot para pemilik perusahaan gula yang merugikan mereka. Akibat aksi boikot itu puluhan perusahaan tutup.[4]

Fakta menarik lainnya dalam buku Razif adalah tentang perang soeara atau perang pena antara Raden Darsono dan Abdul Muis (kelak menulis Salah Asuhan), pada 1918. Abdul Muis menulis artikel opini di surat kabar Neratja. Ia menyatakan bahwa menanam tebu lebih menguntungkan daripada menanam padi, karena upah buruh kebun tebu tiga kali lebih tinggi dibanding upah buruh di sawah. Raden Darsono menentang pendapat Abdul Muis, yang disebutnya penjilat (kolonial). Ketika itu masyarakat terjajah tengah gencar memprotes proyek perkebunan tebu yang menyerobot lahan-lahan sawah di desa-desa. Produksi padi rakyat mengalami penurunan. Harga beras melonjak, karena stok berkurang. Petani sengsara. Situasi ini mirip Indonesia pascakolonial di abad ke-21,  ketika kebun-kebun rakyat digusur dan diambil alih perusahaan-perusahaan sawit yang merambah Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan, Sumatera, Halmahera, dan Papua.

Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan sampai hari ini dianggap sebagai karya-karya kanonik dalam sastra Indonesia.

Jika penyusunan kanon sastra Indonesia dilandasi semangat nasionalisme, cita-cita membangun mentalitas bangsa, perjuangan menjunjung marwah dan kesetaraan, maka kedua karya tadi tak layak masuk kurikulum pengajaran sastra di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi kita.

Dalam Modern Indonesian Literature (1967), A. Teeuw menggolongkan para sastrawan dan karya mereka yang diunggulkannya berdasarkan rentang waktu dan perang, yaitu “masa sebelum perang (kemerdekaan)” dan “masa pascaperang (kemerdekaan)”. H. B. Jassin dan Ajip Rosidi juga menggunakan pendekatan historis-periodisasi angkatan untuk mengelompokkan para sastrawan dan ciri-ciri karya. Di sekolah-sekolah, “kanon” yang mereka susun masih menjadi acuan pengajaran sastra.

Kata “kanon” berasal dari bahasa Yunani Kuno, “kanon”, yang berarti “tongkat” atau “buluh” untuk mengukur. Ukuran ini dipertanyakan, dari masa ke masa.

Ada yang menyatakan sejumlah karya unggulan dari masa lalu sudah ketinggalan zaman. Kanon sastra kelak harus mampu merespons perkembangan zaman. Ada karya yang harus dikeluarkan dan ada karya baru yang harus ditambah pada daftar bacaan.

Mrityunjay Tripathi menulis The Hindi Canon: Intellectuals, Processes, and Criticism (2018) dan menyitir pendapat Namvar Singh, kritikus sastra India, pada bab awal untuk menjelaskan tentang kanon sastra India. Dia mengisahkan Singh berceramah di Jurusan Sastra Hindi di Universitas Allahabad pada 1999. Salah satu kalimat Singh memperlihatkan paradoks sebuah kanon:

“Paradoks dari kanon ini adalah bahwa kanon merupakan milik masa lalu dan pada saat bersamaan ia benar-benar kontemporer.”[5]

Sastrawan Martin Suryajaya di salah satu video ceramahnya yang ditayangkan di YouTube menawarkan solusi untuk menghadapi paradoks kanon sastra. Tiap tahun, katanya pilih saja karya-karya sastra terbaik dan karya-karya terbaik itu menjadi pedoman bacaan sastra. Tak perlu ada kanon. Realistis dan simpel, tetapi terasa kurang meyakinkan bagi pendukung kanon.

Saya kemudian berpikir, siapa tahu kanon sastra Tiongkok dapat dijadikan acuan menyusun kanon sastra kita, karena tradisi bersastra negeri itu telah berumur ribuan tahun.

Buku Yu Qiuyu, The Chinese Literary Canon: Exploring 3000 Years of History and Culture (2015), membuat saya terpukau. Buku setebal 400 halaman tersebut membicarakan kanon sastra Tiongkok dari berbagai aspek; sejarah, politik, biografi, psikologi, arkeologi, dan antropologi.

Qiuyu membahas jenis-jenis aksara dan perkembangannya. Ia mengungkap pengalaman masa kecilnya dengan tinta untuk menjelaskan sejarah kaligrafi Tiongkok. Aksara terukir pada prasasti, meresap pada kaligrafi. Qiuyu berkisah tentang Wang Xizhi, pujangga kaligrafi Tiongkok terkemuka sepanjang masa, yang hidup di zaman Dinasti Jin ((266-420 Masehi). Istrinya, Xi Xuan, dan lima anak mereka juga penulis kaligrafi hebat. Pengasuh si bungsu Wang Xianzhi, Li Ruyi, pun penulis kaligrafi. Sampai-sampai banyak keluarga ingin punya menantu dari Keluarga Wang, keluarga pujangga ini. Bukan emas yang menarik para peminat, tetapi keagungan, keindahan, dan kedalaman kata-kata.

Rumus menemukan kanon saya dapatkan dari Qiuyu, yaitu penjumlahan dan pengurangan. Dimulai dengan pejumlahan, katanya, lalu pengurangan dan pengurangan ini lebih sulit. “Saat kamu mengurangi, kamu memotong hingga melihat otot, hingga membuka sarafnya. Kamu memotong sampai menemukan sastra yang membangkitkan semangat kehidupan.”[6]

Barangsiapa menulis karya sastra pelemah semangat kehidupan, belum terlambat untuk putar haluan sekarang.

Qiuyu mengumpamakan kanon sastra Tiongkok sebagai “aliran air berisi segala yang vital dan terindah dalam arus arteri budaya tertulis Tiongkok selama ribuan tahun”.  Beberapa definisinya tentang kanon membantu saya memahami perkara kanon ini. Menurut Qiuyu, karya kanon hampir tidak pernah menjadi salah satu karya paling populer. Karya jenis ini sangat penting, tetapi jumlahnya sedikit. Oh, mungkin ini sebabnya beberapa kawan saya tak bisa hidup layak dari karya mereka, karena karya-karya bermutu tinggi terlalu sukar dipasarkan. Oh, karya sastra unggulan memang sedikit rupanya.

Robert J. Aston dalam bukunya The Role of the Literary Canon in the Teaching of Literature (2020) mengungkap kanon sastra di Amerika Serikat dalam beberapa waktu terakhir juga menghadapi kritik dan kritik itu mendorong perluasan genre sastra di sana. Menurut Aston, fiksi ilmiah hingga sastra remaja mulai dipandang serius. Lebih banyak karya penulis dari kelompok minoritas dan karya perempuan penulis yang dulu terabaikan kini menjadi bahan kajian untuk dipelajari. Namun, masalah lain bisa saja muncul. Aston mengkhawatirkan pengelompokan ini justru memperkuat stereotipe karena menyatukan beragam penulis dan karya mereka di bawah satu payung, tetapi katanya, mengabaikan karya-karya tersebut jauh lebih bermasalah.

Harold Bloom, kritikus sastra Amerika, menekankan dalam bukunya, The Western Canon: The Books and School of the Ages (1994), bahwa “seseorang bisa menembus kanon hanya dengan kekuatan estetikanya, yang merupakan perpaduan dari penguasaan terhadap bahasa kiasan, orisinalitas, kekuatan kognitif, pengetahuan, dan kehebatan diksi.”[7] Ia kukuh menjaga fondasi dan marwah Kanon Barat. Representasi dan pemerataan bukan tujuan kanon ini. “Apa pun itu, Kanon Barat bukan program penyelamatan sosial,”[8] tulis Bloom.

Terkadang representasi menjadi tak memuaskan, karena berbagai faktor yang melingkupi dunia penciptaan atau ketiadaan akses untuk menjangkau subjek sastra. A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (1967), mengelompokkan perempuan penulis dalam satu bab, tidak membicarakan mereka satu per satu dalam bab-bab terpisah seperti yang dilakukannya terhadap para laki-laki penulis. Ia mengaku kurang bahan. Penulis yang menjanjikan seperti Ida Nasution hilang pada 23 Maret 1948, tak diketahui hidup atau mati. Diduga dihilangkan paksa oleh agen kolonial. Siti Nuraini meninggal sebelum menghasilkan cukup karya untuk dibahas. Andaikata satu atau dua puisinya diulas mungkin bisa memberi pembaca sedikit terang tentang kepenyairannya. Dua nama lain yang ditulis, Suwarsih Djojopuspito dan Rukiah Kertapati, terkesan melahirkan karya-karya kurang istimewa. Bab 22 pada bagian sastra pascaperang buku Teeuw belum berhasil menampilkan telaah dan kritik sastra yang sepadan bagi karya-karya perempuan penulis.

Negara Indonesia hari ini memiliki lebih banyak perempuan penulis. Mereka menekuni beragam genre. Karya-karya mereka bisa didapatkan di toko buku atau dipesan melalui aplikasi belanja. Beberapa memiliki blog pribadi. Para kritikus dan penyusun kanon sastra memiliki cukup bahan untuk memilah dan mengkaji dibanding Teeuw.

Pelarangan karya-karya sastra atas nama politik dan ideologi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah sebuah operasi khusus yang turut membenamkan sebagian kekayaan dan keberagaman sastra kita. Sastrawan yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) kehilangan kesempatan berkarya secara bebas. Terhitung jari yang sanggup kembali berkarya setelah keluar dari bui atau pulang dari pembuangan di Pulau Buru. Sisanya timbul-tenggelam di tengah kesulitan hidup akibat stigma “komunis” itu.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer sudah dapat dibeli bebas di toko buku, tetapi pemerintah belum mencabut secara resmi pelarangan terhadap karya-karyanya. Ia dituduh terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1965, meski tak pernah dibuktikan melalui pengadilan. Ia dibuang ke Pulau Buru, harus beradaptasi segera di kamp tahanan di hutan rawa, dan lebih banyak menggunakan cangkul ketimbang pena di bawah todongan senjata atau mengikuti korve di bawah todongan senjata.

Pada 2015, saya berkunjung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin di Cikini Raya, Jakarta, untuk merekam suasana dalam ruang koleksi. Saya diizinkan masuk dan tertegun. Ada tumpukan buku atau dokumen yang diikat, belum boleh dibuka. Itulah karya-karya penulis LEKRA.

Andaikata semangat nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan diyakini berperan melahirkan dan memberi jiwa pada karya-karya sastra Indonesia pascaperang, seharusnya karya-karya Pramoedya tidak dilarang. Karya-karya propaganda masa Jepang tidak pernah dilarang, meski merupakan proyek fasisme Jepang untuk menguasai rakyat Indonesia. Karya-karya masa Balai Pustaka pun tidak pernah dilarang, meski lahir dari proyek rust en orde negara kolonial untuk terus menjajah Indonesia.

Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya telah terbit dalam 33 bahasa. Keterbacaannya melampaui batas-batas negara. Dia sastrawan Indonesia paling terkenal dan dihormati. Di masa Orde Baru, banyak orang membaca karya-karya Pramoedya secara sembunyi-sembunyi. Buku-buku itu dicurigai mengandung ajaran komunisme.

Tokoh utama Bumi Manusia bernama Minke, diciptakan dari inspirasi sosok dan kehidupan Raden Mas Tirtoadhisoerjo, Bapak Pers Nasional dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Saat bertamu ke rumah keluarga Herman Mellema karena diajak temannya, Robert Suurhof,  Minke bertemu Annelies yang cantik dan jatuh cinta. Ia juga berkenalan dengan ibu Annelies, Nyai Ontosoroh, sosok yang kemudian dikaguminya. Ontosoroh dulu gadis desa lugu buta huruf yang dijual sang ayah kepada Tuan Mellema untuk membayar utang, lalu bermetamorfosa jadi sosok perempuan modern, pandai berbisnis, dan mengatur rumah tangga. Berdasarkan hukum kolonial, Nyai Ontosoroh tak memiliki hak sebagai orang tua anak-anaknya, meski ia yang melahirkan. Statusnya tak diakui sebagai istri. Karena itu, pascakematian Tuan Mellema, Annelies yang masih berstatus anak di bawah umur harus berlayar ke Negeri Belanda untuk tumbuh dalam pengawasan walinya, putra kandung Tuan Mellema dari istri yang sah di sana.  Ontosoroh melawan hukum penjajah, tetapi gagal. Minke patah hati. Realitas masyarakat Hindia Belanda, bacaan, dan pertemuan dengan berbagai orang serta pemikiran membentuk serta memperkokoh kesadaran Minke untuk menentang feodalisme dan kolonialisme. Ia menyuarakan kritik melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan terlibat dalam gerakan perlawanan hingga dihukum buang. Minke dipulangkan ke Jawa menjelang akhir hayatnya. Ia menutup mata dalam kesendirian. Dikisahkan dalam novel ini hanya orang-orang Jam’iyatul Khair yang datang berdoa dan ziarah ke makam Minke.

Tetralogi Bumi Manusia dituturkan dalam gaya bercerita yang sederhana. Pilihan gaya ini tepat untuk menyampaikan begitu banyak dialog yang sarat pemikiran serta gagasan dan kisah rakyat negeri jajahan yang membangkitkan bermacam emosi.

Kendala representasi pada kanon, selain watak penguasa dan perkubuan politik, adalah akses terhadap karya-karya di luar Jawa. Jangan-jangan karya-karya layak kanon ada di sana, tersembunyi di bawah kasur rumah-rumah di desa-desa tertinggal. Namun, kekhawatiran ini dapat diatasi dengan teknologi sekurang-kurangnya sejak satu dekade terakhir. Para penulis mengirimkan karya-karya melalui surat elektronik atau fasilitas pengiriman teks pada telepon pintar ke editor media di mana pun. Situs-situs gratis membantu para penulis menampilkan karya-karya mereka, bahkan sejumlah platform membaca daring, seperti Fizzo, Wattpad, atau NovelPlus memperluas kesempatan siapa pun untuk mempublikasikan karya dan memperoleh pembaca. Komunitas-komunitas penulis dan baca buku tersebar di berbagai tempat. Mereka kadang memiliki media daring. Salah satunya, Bacapetra, di Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Beberapa situs mengumumkan karya-karya sastra unggulan sepanjang masa. Mereka membuat kanon ala mereka. Beberapa forum memilih sederet penulis terbaik ala mereka. Beberapa penerbit berpromosi, “inilah mahakarya dari negara Indonesia”. Sah-sah saja. Tapi apakah ini karya-karya kanonik? Proses penyusunan kanon membutuhkan kritikus-kritikus andal yang mengkaji kualitas sastrawinya.

Saya kembali teringat Yu Qiuyu. Ia membagi cara menilai karya sastra sekaligus menyanggah pihak-pihak pengusung “katak dalam sumur”:

“Ada yang mengatakan bahwa setiap orang harus diberi kebebasan memilih apa yang ingin mereka baca dan sastra tak boleh dibagi jadi tinggi dan rendah. Ini kesalahan klasik populisme sastra. Lihatlah pada tataran individu: Bagaimana seseorang bisa bebas memilih tanpa pendidikan dasar? Katak dalam sumur, memandangi petak langitnya, ia tidak bebas; ia kebalikan dari bebas. Atau lihatlah pada tataran kelompok: jika kita tidak mendefinisikan yang terbaik dalam budaya kita, maka kita kehilangan orientasi sebagai bangsa dan harga diri sebagai spesies. Semuanya tenggelam oleh kebisingan massa.”[9]

Karya-karya sastra tinggi itulah jenis yang diwariskan dalam kanon. Zaman berubah, es mencair, hutan hilang, sungai mengering, tetapi mutu tak terkompromikan.

Berapa usia kanon sastra Indonesia? Tentu sejak Indonesia dimulai. Ketika berpidato di sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat, pada 14 Agustus 1947, Duta Keliling Republik Indonesia Sutan Sjahrir menegaskan bahwa kejayaan Indonesia identik dengan kejayaan bahari yang sudah berusia 1.000 tahun. Penghancuran kejayaan bahari itu berawal dari kedatangan Belanda ke Kesultanan Banten pada 26 Juni 1596. Pidato Sjahrir tersebut secara hukum dan politik menegaskan posisi definitif Indonesia, yang diakui secara sah dan resmi oleh hukum internasional. Berdasarkan pidato Sjahrir, Indonesia dimulai dan  diakui hukum internasional 1.000 tahun sebelum 1947, yaitu pada 947 Masehi, di masa Kejayaan Dinasti Syailendra yang menguasai Sriwijaya dan Mataram. Saat dinasti itu berkuasa bahasa Melayu Kuno yang merupakan leluhur bahasa Indonesia telah digunakan sebagai bahasa resmi negara, tercantum pada prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa, Sumatera, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indochina. Kanon sastra kita berumur 1.077 tahun hari ini.

Enam tahun silam Badan Bahasa-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyusun Pusaka Sastra Indonesia, yang berisi karya sastra unggulan satu abad (1900-2000). Daftar pusaka berisi 37 karya utama dan 48 karya pelengkap.  Hanya karya utama yang dilengkapi sinopsis. Tiap karya dijelaskan cukup baik, sehingga pembaca dapat memahami alasan pemilihan.

Pada bab pendahuluan dijelaskan bahwa “karya-karya yang termuat dalam daftar di atas dapat disebut sebagai karya-karya kanonik dalam pengertian tertentu, misalnya seperti yang dikemukakan kritikus Amerika Harold Bloom.”[10] Apakah syarat-syaratnya telah terpenuhi?

Karakteristik karya-karya terpilih dijabarkan: “Secara garis besar, kualifikasi yang dapat diberikan pada karya-karya tersebut adalah bahwa di dalamnya tercermin dan sekaligus terkandung gambaran pergulatan hidup dengan intensitas yang relatif tinggi dari manusia Indonesia khususnya dan manusia pada umumnya dalam menjawab berbagai tantangan zaman ketika karya-karya itu ditulis dan diterbitkan, baik dalam menjawab tantangan literer, estetik, kultural, sosial, dan sebagainya.”[11]

Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan ada di sana, bersanding dengan Nji Paina dan Bumi Manusia. Masing-masing karya menghadapi tantangan berbeda, karena berbeda keberpihakan di zamannya. Saya pesimistis para guru ataupun dosen akan menyampaikan posisi karya-karya ini dalam sejarah kita agar siswa atau mahasiswa dapat mengetahui kebenaran.

Pemisahan karya utama dan karya pelengkap dalam daftar pusaka tidak memiliki alasan yang kuat. Mengapa tidak digabung? Apa gunanya karya pelengkap jika sudah ada yang utama?

Daftar ini juga belum mencerminkan representasi dari berbagai kelompok identitas  (gender, suku, budaya, disabilitas,ideologi, dan agama) secara berimbang. Karya perempuan penulis pada daftar karya utama hanya satu. Kebanyakan penulis dalam daftar berasal dari Jawa dan Sumatra, khususnya suku Jawa dan suku Minang. Padahal penulis terbaik Indonesia berasal dari berbagai suku dan tempat. Ambil saja beberapa contoh. Azhari Aiyub di Aceh, Erni Aladjai di Sulawesi Tengah, atau Felix K. Nesi di Nusa Tenggara Timur. Bagaimana dengan karya penulis LGBTIQ dan difabel?  Rentang waktu karya terbit antara 1900 hingga 2000 itu dilematis. Dalam daftar cukup banyak karya generasi tua. Penting memasukkan karya-karya yang lebih baru, karena eksplorasi terhadap bentuk, bahasa, dan tema terus berlangsung di dunia sastra Indonesia. Sejumlah karya sastra unggul kekinian tentu terbit sesudah tahun 2000.

Menurut saya, daftar pusaka tersebut penting diperpanjang. Salah satu karya sastra yang luput dijadikan pusaka, yaitu Raumanen (1977), novel yang ditulis Marianne Katoppo.

Tokoh “Aku” dalam Raumanen adalah arwah gentayangan, meski bukan cerita horor. Narator atau pencerita berganti-ganti sudut pandang, antara orang pertama dan orang ketiga, dengan luwes. Alur novel tidak kronologis; bermula di masa sekarang, mundur ke masa lalu, dan berakhir di masa depan. Penokohan kuat. Pengisahan lancar. Salah satu kelebihan Raumanen, pilihan kata dan kalimat dalam karya ini terasa indah dan mutakhir. Sementara sebagian karya dalam daftar pusaka telah menjadi kuna dan asing.

Raumanen, sang tokoh utama novel, adalah gadis Minahasa. Ia cerdas dan aktif berorganisasi. Keluarganya harmonis. Ayah dan ibunya berpandangan terbuka. Abang Manen menikahi perempuan keturunan India. Suatu hari Manen bertemu Monang, lelaki Batak mata keranjang dan pintar merayu. Sering bertemu di ruang rapat dan kegiatan organisasi, mereka saling jatuh cinta. Keluarga Monang kolot setengah mati, terutama ibunya yang ingin sang anak menikahi sesama Batak. Manen hamil di saat Monang dipaksa menikahi adik sepupu. Manen putus asa, terlebih mengetahui janin yang dikandung akan lahir cacat. Ia bunuh diri.

Masalah suku maupun status sosial yang dibahas novel ini relevan dengan masyarakat Indonesia kontemporer. Raumanen menyuguhkan ragam interaksi dan pergulatan hidup manusia dan komunitas urban di Jakarta, di pusat migrasi berbagai suku-bangsa dan budaya. Raumanen adalah antitesis Sitti Nurbaya. Ia mengakhiri hidup sebagai pilihan pembebasan diri. Sitti mati diracun. Politik hadir tipis-tipis pada kisah tentang Toar, abang Manen, yang “mengecam politik neokolonialis Amerika”[12]  dan setelah setengah abad Raumanen terbit, politik luar negeri negara adikuasa itu belum berubah.

Novel Marianne mengetengahkan perspektif perempuan Minahasa, non-Jawa, Kristen-Protestan, yang menghadapi benturan pemikiran antara kehidupan modern dan tradisional, dan benturan itu tiba pada titik puncak tak tertanggungkan. Penutup cerita begitu sedih, ketika Manen akhirnya menyadari ia telah tiada. Malaikat maut berjubah putih bermata hitam itu menghunus pedang halilintar. Manen  tersambar api saat Monang tengah menabur bunga di pusaranya.

Siapakah nanti yang akan membuat 3.000 tahun kanon sastra Indonesia? Mudah-mudahan waktu itu negara kita masih ada, tetapi saya jelas telah menjadi tanah. *

 

Daftar Pustaka

Aston, R..J. (2020). The Role of the Literary Canon in the Teaching of Literature.  New York, USA: Routledge.

Bloom, H. (1994). The Western Canon: The Books and School of the Ages. New York, USA: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company.

Farid, H. (1991). Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda. Prisma, 10, 23-46.

Katoppo, M. (1997). Raumanen. Jakarta, Indonesia: Gaya Favorit Press.

Qiuyu, Y. (2015). The Chinese Literary Canon: Exploring 3000 years of History and Culture (Phil Hand, trans.). New York, USA: CN Times Books.

Razif. (2021). Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Masa  Pergerakan. Semarang, Indonesia: Beruang Cipta Literasi.

Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian Literature. Leiden, The Netherlands: KITLV.

Tripathi, M. (2018). The Hindi Canon Intellectuals, Processes, Criticism (Shad Naved, trans.) New Delhi, India: Tulika Books.

Wicaksono, A., & Zen H. (Ed.). (2018). Pusaka Sastra Indonesia. Jakarta, Indonesia: Badan Bahasa.

[1] Hilmar Farid, (1991), Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda, Prisma, 10, hlm. 37

[2] Razif, (2021), Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Masa  Pergerakan, Semarang, Indonesia: Beruang Cipta Literasi, hlm. 22.

[3] Razif, Bacaan Liar, hlm. 25.

[4] Razif, Bacaan Liar, hlm. 41.

[5] “The paradox of the ‘canon’ is that it belongs at the same time to the past and is absolutely contemporary.” Mrityunjay Tripathi, (2018), The Hindi Canon: Intellectuals, Processes, and Criticism (Shad Naved, trans.), New Delhi, India: Tulika Books, hlm. 11.

[6] “When you subtract, you cut until you see sinew, until you expose the nerve. You cut until you are left with literature that pulses with life.” Yu Qiuyu, (2015), The Chinese Literary Canon: Exploring 3000 years of History and Culture, (Phil Hand, trans.) New York, USA: hlm. 2.

[7] “One breaks into the canon only by aesthetic strength, which is constituted primarily of an amalgam: mastery of the figurative language, originality, cognitive power, knowledge, exuberance of diction”. Harold Bloom, (1994), The Western Canon: The Books and School of the Ages, New York, USA: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company, hlm, 33.

[8] Harold Bloom, The Western Canon, hlm. 33.

[9] “Some say that everyone should be allowed the freedom to choose what they want to read and that literature should not be divided into the high and the low. This is the classic fallacy of literary populism. Look at it on the level of the individual: How can anyone choose freely without a basic education? The frog in the well, looking at his patch of sky, is not free; he is the very opposite of free. Or look at it on the level of the group: If we do not define the best in our culture, then we lose our orientation as a nation and our self-respect as a species. Everything is drowned out by the noise of the mob.”Yu Qiuyu, The Chinese Literary Canon: Exploring 3000 years of History and Culture, hlm. 3-4.

[10] Adi Wicaksono & Zen Hae (Ed.), (2018), Pusaka Sastra Indonesia, Jakarta, Indonesia: Badan Bahasa, hlm. 6.

[11] Adi Wicaksono & Zen Hae (Ed.), Pusaka Sastra Indonesia, hlm. 9.

[12] Marianne Katoppo, (1977), Raumanen, Jakarta, Indonesia: Gaya Favorit Press, hlm. 90.

Esai24 Juli 2024

Linda Christanty


Linda Christanty lahir di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ia jurnalis, sastrawan, dan pegiat budaya. Karya-karyanya terdiri dari fiksi dan non-fiksi. Sejumlah penghargaan telah diterimanya, seperti Penghargaan Prosa dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, SEA Write Award 2013 dari Kerajaan Thailand, dan Ishtar Award 2021 dari International Organization of Creativity for Peace di London, Inggris. Buku terbarunya, Jangan Percaya Surat Palsu: Laporan Jurnalistik tentang Konflik di Maluku Utara, Bahasa, dan Kura-Kura (2024).