Kode, Kanon, dan Runtuhnya Tembok Kota
Fungsi Kritik Sastra di Masa Kegaduhan Digital

Foto oleh Paul Kadarisman

Pengantar (dari Luar ke Dalam)

Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah penafian. Tulisan ini penuh dugaan dan spekulasi, sebagaimana lazimnya tulisan tentang kesusastraan. Saya tidak dapat berpretensi bahwa saya dapat menyajikan gagasan faktual dengan perspektif yang objektif karena saya sendiri ada dalam ranah yang menjadi perkara yang akan saya permasalahkan. Saya sendiri merupakan subjek yang berbicara tentang subjek pembicaraan yang mencakup diri saya sendiri. Ketika saya mulai menulis, sudah ada a priori serangkaian dan sekumpulan bentuk, pola, dan cara kerja. Sudah ada kosa kata. Sudah ada tata bahasa. Sudah ada wacana. Sudah ada konsep-konsep yang disepakati saya dan calon pembaca. Dengan demikian, tulisan ini baru dan lama sekaligus.

Begini.

Ada yang berubah dalam evolusi produksi, konsumsi, dan distribusi teks-teks yang disebut kesusastraan. Namun, ada pula yang tetap. Saya tidak tahu apakah masih pantas dan laku memiliki pendirian Marxian dalam memandang kebudayaan dan produk budaya, tetapi tampaknya senantiasa ada perseteruan, persaingan, dan kegiatan tawar-menawar antara pihak yang mengupayakan perubahan dan yang berusaha mempertahankan status quo. (Ya, memang terdengar seperti suara Gen-X yang masih dihantui oleh panoptikon Orde Baru. Seperti kata saya tadi, tulisan ini baru sekaligus lama.)

Begini.

 

Kode (dan Kota)

Peradaban dibangun di dalam kota. Sebagaimana yang sampaikan dalam penelitian tentang sejarah berbagai kota di Indonesia dan juga KBBI (yang merujuk ke Sanskrit-English Dictionary [1899]), kata “kota” sendiri berasal dari kata “kuta,” yang dalam bahasa Sanskerta , berarti pagar, tembok atau benteng. Dalam KBBI pun terdapat lema “kuta” dengan definisi “tempat berlindung; kubu.”Secara historis, memang kita dapat melihat bahwa kota-kota lama dikelilingi tembok. Maka, nama-nama kota lama di Eropa berakhir dengan -fort/furt atau -berg/burg. Demikian pula, kata “firdaus” ditengarai berarti ranah yang dilindungi tembok (seringnya dibayangkan sebagai taman, seperti tamansari  tempat keluarga raja terlindung dan terpisah dari khalayak), sebagaimana dirunut dalam Oxford English Dictionary pada lema “paradise.” Tembok memisahkan ketertiban dan kenyamanan yang ada di dalam dari bahaya dan ketidakpastian yang ada di luar. Karena itulah dibangun Tembok Besar Tiongkok. Namun, pada awalnya, kota memang hanya merujuk pada wilayah teregulasi di sekitar istana atau keraton, alun-alun di depan istana, dan dan bangunan penting seperti kuil utama, katedral, atau mesjid agung di sekitar alun-alun tersebut. Demikian kota-kota kuno dibangun, yang dibedakan dari kota-kota baru yang didirikan untuk kepentingan industri tertentu atau masyarakat merkantil di awal era modern, sebagaimana yang dinyatakan Clifford Geertz dalam Peddlers and Princes (1963). Kota yang saya bicarakan di sini, untuk kepentingan argumen saya tentang peran kode dalam peradaban, adalah Kota Terlarang, bukan Beijing; Tabanan bukan Mojokuto (walaupun ironisnya “kuto” merupakan bagian dari nama kota tersebut). Karena itu pula, dalam kaitannya dengan konsep kota sebagai wilayah tertutup dan teregulasi ini, Gerbang Kaspia atau Gerbang Iskandar dibangun agar Yuj dan Majuj dapat dihalau karena, jika mereka sudah hadir bersama kaum beradab, akhir zaman sudah tiba. Peradaban di dalam kota harus dijaga. Karena itu, diperlukan orang-orang yang menjaga gerbang dan akses lain: gatekeepers.

Pada tahun 1864, seorang sastrawan dan kritikus Inggris, Matthew Arnold menerbitkan esai seminalnya yang berjudul The Function of Criticism at the Present Time. Sedemikian berpengaruhnya esai yang lahir dari wacana Romantis di era Viktorian ini menjadi pula judul esai Northrop Frye, sebagai salah satu eksponen Kritisisme Baru (yang sekarang sudah mulai

usang) pada tahun 1949, yang menjadi patokan (baik secara sadar maupun tidak) bagi para pengajar kesusastraan di pendidikan menengah dan tinggi. Dalam esai tersebut Arnold menegaskan bahwa tujuan kritik sastra (dan kritik budaya secara umum) adalah menyampaikan gambaran deskriptif tentang yang dibaca dan dialami dengan netral, tanpa terlibat dalam kepentingan bahan yang dibahasnya. Seorang kritikus harus menulis di atas karya yang dibahasnya. Walaupun, katanya, daya kritis itu berada di bawah ranah daya kreatif, kritik diperlukan agar sastra dapat berada di dalam kehidupan. Gagasan ini terkait dengan ajuan yang disampaikan Arnold dalam tulisannya yang lain, yaitu Culture and Anarchy (1869) tempat ia menyatakan bahwa tujuan kebudayaan adalah pencapaian kesempurnaan. Dalam kedua tulisannya tersebut tampak kekhawatirannya tentang kondisi Inggris dibandingkan dengan kebudayaan yang berkembang di Eropa kontinental. Di satu sisi, tulisan ini menyiratkan bahwa ada keperluan Inggris menyelaraskan dominasi ekonomi dan politiknya di tingkat global dengan misi pengadabannya (mission civilatrice) agar ia dapat berperan sebagai menara di tengah kota di dalam tembok.

Di sisi lain, tersirat pula dalam tulisan Arnold ini bahwa Inggris berada di luar tembok peradaban yang di dalamnya ada Prancis dan Jerman. Tulisan ini juga menunjukkan kekhawatiran yang lain, yaitu berubahnya masyarakat Inggris dengan adanya berbagai “revolusi” yang terjadi di masyarakat: revolusi industri, revolusi sains, revolusi kelas menengah, yang telah bergulir sejak abad ketujuh belas. Ada sebagian yang berupaya mempertahankan praktik-praktik bermasyarakat dan curiga pada perubahan drastis dalam tatanan sosial politik sebagaimana yang ditampakkan oleh Revolusi Prancis,  juga yang teramati dari tulisan-tulisan Edmund Burke yang senantiasa dirujuk Arnold. Ada pula wacana yang mengutamakan ide di atas praktik, sebagaimana yang tampak pada tulisan-tulisan Thomas Paine. Ide tersebut menawarkan agar kehidupan bermasyarakat sesuai dengan ide bahwa otoritas politik berdasarkan kesepakatan dekat dengan kesempurnaan daripada yang didasarkan pada pewarisan herediter (idealisme Inggris yang terealisasi dalam pembentukan negara Amerika Serikat).

Sebagaimana yang saya sampaikan pada tulisan lain di tengara.id, Culture and Anarchy menyatakan bahwa sepantasnya kritik sastra dapat memberi masyarakat kemampuan untuk memilih dan memilah teks yang mewakili “pemikiran dan perkataan yang terbaik di dunia.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa ada kode yang bekerja untuk menjalankan pemilihan dan pemilahan ini. Kode ini diasumsikan berterima secara universal karena, dengan pembahasan deskriptif dan netral atas sebuah karya, alasan memandang sebuah karya sebagai teks yang mewakili “pemikiran dan perkataan yang terbaik” akan gamblang dan tak teragukan.

Esai Arnold tersebut lahir pada masa Inggris sedang pada puncak dominasinya dalam ekonomi dan politik global sebagai kekuatan imperial. Namun, dari esai Arnold tersebut juga mencerminkan rasa inferior Inggris secara kultural dibandingkan Prancis pada khususnya dan negara-negara Eropa kontinental pada umumnya. Beriringan dengan rasa rendah diri tersebut, ada pula rasa bersalahnya sebagai kekuatan kolonial yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan manusia di berbagai negara pada waktu humanisme liberal mulai mendominasi wacana di Eropa dan bahkan di wilayah-wilayah kolonialnya. Tulisan-tulisan Arnold, seperti juga tulisan Rudyard Kipling atau Multatuli, menempatkan kebudayaan Eropa sebagai penjaga gerbang peradaban dunia dengan asumsi bahwa ada nilai-nilai yang berlaku universal dan karena itu juga standar kepantasan tentang teks yang pantas dibaca sebagai susastra. Dan, para penulis seperti Arnold sendiri berperan sebagai penjaga gerbang kebudayaan Eropa.

Begini.

Untuk mengajukan gagasan-gagasan humanis liberal, para penulis Eropa di paruh akhir abad kesembilan belas harus menetapkan dan mendiseminasi gagasan-gagasan yang pantas dijadikan rujukan oleh seluruh dunia. Untungnya mereka memiliki akses kepada sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan misi ini: teknologi cetak dan industri penerbitan. Dengan kedua aset utama tersebut ditambah jalur-jalur transportasi yang tersedia karena perdagangan dunia dan kolonialisme, kesusastraan dapat menikmati posisi yang prestisius dalam masyarakat modern global sebagaimana agama. Dengan kode-kode estetik yang dimapankan melalui tulisan-tulisan yang permanen dan tergandakan dengan teknologi cetak, dan bersirkulasi ke seluruh dunia melalui industri penerbitan, khalayak pembaca sedunia dapat memiliki sensibilitas yang sama tentang “yang terbaik,” sebagaimana sebelumnya otoritas gereja dapat menentukan teks mana yang layak termasuk dalam Alkitab dan mana yang tidak, atau sebagaimana para ulama menentukan mana hadis yang sahih dan mana yang daif.

Untuk menjamin ketertiban dalam benak masyarakat dunia, harus ada sistem kode yang memastikan gagasan mana yang diperkenankan masuk dan yang mana dijaga agar tetap di luar. Mungkin karena itu, kehadiran teknologi digital yang memungkinkan siapa saja untuk menawarkan tulisan kepada publik dianggap sebagai ancaman bagi peradaban karena, sebagaimana yang dikhawatirkan Arnold, pihak yang dianggap tidak memiliki kompetensi atau wawasan yang sesuai dengan sistem kode yang sudah ditetapkan tetap dapat masuk melalui jalur-jalur yang sebelumnya luput dari pengawasan penjaga gerbang.

Katherine Hayles, dalam esainya, “Print Is Flat, Code Is Deep” (2004) menyatakan bahwa, setelah lima abad dominasi cetak, kita terganggu dengan adanya mesin baru yang memproduksi teks pada ranah dan media baru. Setelah lima abad bergantung pada kepastian yang tersaji “hitam di atas putih,” tinta permanen pada kertas fisik, yang eksistensinya andal, kata-kata yang dibentuk oleh bintik-bintik cahaya berkelip pada layar, yang dengan dapat berubah-ubah atau bahkan padam setiap saat, menjadi ancaman bagi ketertiban.

Teknologi cetak memapankan beberapa pola dan praktik yang kemudian menjadi lazim dan baku. Dari Hayles, kita dapat menginferensi bahwa pergeseran nilai dan kode yang menjadi keprihatinan Arnold didasarkan pada kondisi-kondisi material. Jika pada masa Burke dan Paine, dan pada masa Arnold dan Multatuli nilai dan kode merupakan akibat dari media cetak dan industri penerbitan yang menjadi wahana distribusi dan sirkulasinya, pada masa kita ini, ketika kita dalam waktu yang relatif singkat beralih dari cetak ke digital, dari tinta pada kertas ke piksel yang berkerlip pada layar gawai, dari buku dan terbitan berkala yang bersiar pada kapal melalui jalur pelayaran ke laman dan tayangan yang beredar melalui gelombang elektromagnetik, niscaya bentuk dan pola teks yang tiba pada pembaca dan pemirsa pun berubah.

Teknologi digital bukan sekadar menawarkan ranah atau media baru. Memang pada awal kemunculannya, para penulis dan penerbit sekadar memindahkan praktik-praktik penulisan yang sudah lazim ke dalam media digital. Kita dapat melihat berbagai proyek digitalisasi berbagai naskah pracetak seperti yang dilakukan oleh Kevin Kiernan dengan proyek Electronic Beowulf Project, Project Gutenberg, dan bahkan Library Genesis yang ilegal itu. Kritik akademik dan populer pun secara bertahap berpindah dari kertas ke layar, tetapi cara, pola, dan gaya penulisannya secara umum tidak berubah. Namun, baik penulis maupun pembaca mulai menyadari bahwa ranah digital menawarkan hal-hal baru. Pembaca yang biasa membalikkan lembaran kertas mulai terbiasa dengan menggulirkan halaman ke bawah dan ke atas ketika membaca teks yang tidak jarang tidak terpisahkan oleh batas-batas ukuran halaman. Para penulis, penyunting, dan penata letak dapat dengan lebih bebas memutuskan cara teks dikelola.

Lalu, para penulis dan pembaca pun mulai menyadari bahwa ada peluang untuk keluar dari linearitas teks pada lembaran kertas. Dengan fitur hipertekstual yang tersedia pada ranah siber. Pembaca dapat memutuskan tidak secara tuntas membaca satu laman, atau bahkan satu kalimat sekalipun untuk pindah ke kalimat lain di halaman lain. Afrizal Malna termasuk yang menyadari peluang-peluang baru ini dan juga cara kerja teks yang baru ini sebagaimana yang tampak pada kumpulan puisinya di Berlin Proposal (2015) Dalam kumpulan ini, terdapat sajak yang dibuat Afrizal dengan cara menampilkan kode komputer yang ada dibalik tampilan antarmukanya, baik dalam bentuk teks ataupun gambar. Demikian pula, Martin Suryajaya menginput parameter ke dalam sebuah peranti lunak untuk menghasil sajak-sajak, yang akhirnya harus tetap hadir pada keterbatasan lembaran kertas pada buku yang dijilid dan diterbitkan dalam bentuk cetak.

Namun, kumpulan karya dalam Electronic Literature Collection, yang hingga kini sudah terkumpul dalam empat volume, masing-masing disajikan pada tahun 2006, 2011, 2016, dan 2022, menunjukkan betapa teknologi digital bukan saja ranah baru melainkan juga kemampuan untuk memperluas dimensi tulisan dari sekadar terpatri pada bidang dua dimensi ke ranah yang pergerakan gagasan dan mata (atau jari bagi yang membaca huruf Braille) tidak hanya dari kiri ke kanan (atau kanan ke kiri) dan dari dari atas ke bawah. Pada ranah siber, ada sumbu lain (sumbu z atau lebih?) yang dapat bergerak dari permukaan ke dalam dan muncul di permukaan yang lain. Huruf, kata, frasa, kalimat, dan paragraf bergerak (setidaknya dalam aksara Latin) dari kiri ke kanan lalu dari atas ke bawah. Teratur seperti tentara baris-berbaris: semua unsur bergerak bersama ke arah yang pasti.

Dengan adanya tautan hiper, berbagai elemen dapat bergerak ke arah yang berbeda-beda, bagaikan anggota satu regu bisa keluar barisan dan masuk ke barisan regu lain. Peristiwa yang terjadi tidak selalu dipicu oleh aba-aba dari komando pengarang melainkan berasal dari kehendak impulsif pembaca, atau bahkan stimulan lain dari berbagai komponen pada permukaan teks maupun dalam kode-kode subtekstual yang bekerja bagaikan alam bawah sadar teks yang menyebabkan kedutan pada raut wajah si karya.

Kode pada dasarnya memisahkan antara yang berterima dan yang tidak, antara pihak yang diberi akses dan yang dilarang masuk. Kode secara etimologis berasal dari akar yang berasosiasi dengan pemilahan dan pemisahan. Mudah-mudahan tidak berlebihan jika mengatakan bahwa keseluruhan kehidupan manusia dikuasai oleh berbagai kode: bahasa, agama, hukum, etika. Beberapa karya dalam Electronic Literature Collection menunjukkan bahwa kode terbenam dalam setiap teks yang diproduksi lalu mengangkatnya ke permukaan teks ke ranah antarmuka dengan pembaca. Karya yang paling signifikan, saya pikir, dalam menunjukkan betapa berbagai kode bekerja pada produksi teks adalah قلب karya Ramsey Nasser, yang berupa program yang kode sumbernya seluruhnya ditulis dalam bahasa dan aksara Arab. Karya ini menyingkap dominasi bahasa Inggris dan logika Barat dalam teknologi digital sehingga membuka pula kolusi antara kode-kode yang menjalankan peranti-peranti yang padanya kehidupan kontemporer kita amat bergantung dan kode-kode yang berlaku dalam hegemoni sosial-politik kita saat ini. Karya ini memperlihatkan betapa setiap tulisan yang kita pikir kita produksi pada media yang kita pilih didampingi tulisan lain yang memproduksi tulisan kita sebelum kita memproduksinya, yang juga mengatur isi dan cara kita menulis. (Kode-kode inikah yang juga mengatur cara para penjaga gerbang menjalankan tugasnya? Apakah mereka juga sadar bahwa mereka diatur oleh kode-kode ini?)

Jadi, ketika saya menulis kalimat ini pun, walaupun saya pikir secara bertahap huruf-huruf yang muncul di layar komputer pangku ini saya produksi sebagaimana beberapa dekade yang lalu dengan teknologi cetak menerakan huruf-huruf pada kertas yang dimasukkan pada penggulung mesin tik, sesungguhnya ada mesin yang menafsir pulsa-pulsa listrik yang bekerja dengan sistem kode lain yang menuliskan teks lain. Lalu, mesin ini, si subjek lain ini, menafsir lebih lanjut tulisannya sendiri dan menghadirkan huruf-huruf pada layar yang mencerminkan tulisan yang saya niatkan, yang artinya mungkin bukan saya yang meniatkannya. Jangan-jangan, ketika kata-kata ini muncul di benak saya pun, sebelum jari-jari saya menafsirkan pulsa-pulsa listrik yang dikirim otak saya (yang belum tentu diri saya) kepada mereka, sebenarnya tulisan ini sudah ditulis oleh mesin lain yang bekerja dengan kode sumber yang sama sekali tidak saya sadari keberadaannya apalagi cara kerjanya.

(Betapa memalukannya melihat betapa angkuhnya saya menyematkan nama saya di awal tulisan ini.)

 

Kanon dan Para Penjaga Gerbang

Teknologi cetak memungkinkan praktik penulisan fiksi prosaik yang banal dan vulgar menjadi bagian dari teks susastra yang dianggap  adiluhung. Novel-novel Inggris yang pada awalnya muncul di abad kedelapan belas, yang kemudian hingga kini dianggap “klasik”, sedemikian bersadar diri pada saat pertama kali ditawarkan kepada publik pembaca sehingga ia merasa perlu menyediakan justifikasi di awal bukunya. Daniel Defoe, misalnya, sebelum memulai kisahnya dalam Robinson Crusoe (1719), mengajukan pembelaan dan justifikasi tentang alasan kisah tersebut pantas dan layak dibaca. Demikian pula, Jonathan Swift untuk Gulliver’s Travels (1726) dan Samuel Richardson untuk Pamela (1740). Walaupun Gulliver’s Travels menyajikan kisah dunia fantasi, sebagai novel, sebagaimana yang diteorikan oleh M. H. Abrams, dunia yang diwujudkannya dianggap perpanjangan dari dunia yang dikenal oleh pembacanya. Karena pada abad kedelapan belas itu, genre novel baru saja hadir sebagai bagian dari wacana publik, asumsi tersebut masih belum menjadi sensibilitas umum. Pada masa itu masih dipertanyakan adakah keindahan dan manfaat (dulce et utile) pada karya fiksi, yang merupakan kriteria bagi kesusastraan sejak zaman klasik, sehingga layak menjadi konsumsi khalayak. Karena fiksi ini tidak memberi informasi faktual tentang kenyataan dan tidak pula menyimpulkan nilai moral melalui bahasa metaforik, nilai estetika novel diragukan.

Kasus Pamela lebih parah lagi karena novel ini mengisahkan skandal majikan yang hendak memanfaatkan pembantunya, yaitu Pamela, untuk memenuhi birahinya. Novel ini bagaikan kisah gosip dalam tabloid, yang disajikan melalui korespondensi surat yang dikirim oleh tokoh-tokoh dalam novel kepada satu sama lain sehingga memberi kesan faktual. Davis dalam bukunya Factual Fictions (1983) menawarkan gagasan bahwa memang faktualitas, di masa ketika empirisme dan sains sedang beranjak menjadi wacana dominan, merupakan nilai yang dianggap sentral. Selain itu, Davis menggagas bahwa, berbeda dari pemahaman konvensional bahwa novel merupakan perkembangan dari epos, genre tersebut merupakan perkembangan dari gosip yang disajikan dalam berita di terbitan berkala. Maka, Davis pun mengajukan konsep yang disebutnya the news/novel matrix, atau katakanlah “matriks berita/cerita.”

Jadi, saat itu novel masih belum diizinkan masuk ke dalam wilayah sakral kesusastraan. Ia masih menunggu di luar tembok kota dan bergaul bersama kaum yang disebut Arnold sebagai “Populace.” Sementara itu, pendidikan untuk masyarakat umum semakin menjadi kelaziman. Kebudayaan cetak telah menyebabkan peningkatan volume teks yang beredar di pasar, yang pada gilirannya menuntut ditingkatkan pula jumlah pembaca sebagai konsumen melalui pendidikan umum. Dan, selanjutnya, dengan meningkatnya jumlah pembaca, meningkat pula permintaan pada teks bacaan, yang pada gilirannya, menuntut pula ditingkatkannya jumlah penulis. Untungnya, kode yang dibutuhkan untuk memiliki kemampuan membaca juga merupakan kode yang dibutuhkan untuk menulis. Dan, akhirnya, lebih banyak pihak memiliki kode untuk dapat mengakses ranah di dalam tembok kota. Karena itu, genre baru yang bernama novel ini akhirnya berterima sebagai bagian dari ranah susastra.

Maka, ketika tiba di paruh akhir abad kesembilan belas, Robinson Crusoe, ketika novel sudah diakui mendapat kepercayaan untuk dianggap “kesusastraan,” bukan saja telah berkelana dari pembaca di Inggris ke negara lain, melainkan dari satu bahasa ke bahasa lain, dan bahkan dari dunia penerbitan ke dunia pendidikan. Landsdrukkerij, penerbit dan percetakan bagi lembaga Commissie voor de Volkslectuur pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam mengimplementasikan nilai-nilai Politik Etisnya, memilih teks ini sebagai salah satu yang dijadikan sumber bagi produksi teks yang dipandang dapat mengadabkan masyarakat Hindia Belanda, khususnya di Tatar Sunda. Maka, pada tahun 1870 diterbitkanlah Carita Robinson Krusoe yang dikarang (atau digubah, atau diciptakan?) oleh Kartawinata, dan setelahnya diterbitkan Hikajat Robinson Crusoe pada tahun 1875.

Kasus Robinson Crusoe merupakan contoh cara berkhayal dan berpikir yang mengalami peningkatan prestise sehingga menjadi model bagi peradaban. Pertama, ia menyusup ke dalam tembok kota susastra. Lalu, ia mengendarai kolonialisme dan merambah ke tanah-tanah dan ranah-ranah lain dengan justifikasi bahwa ini bagian dari upaya mulia misi pengadaban (mission civilisatrice). Modus artikulasi yang sebelumnya ada di Tatar Sunda, misalnya, yang seluruhnya bersifat lisan, diperkenalkan pada kebudayaan beraksara dari anak benua India dan kemudian dari Asia Tengah. Dengan kehadiran kekuasaan kolonial Belanda (dan Inggris) diperkenalkan lah kebudayaan cetak. Sebagaimana yang sudah dikaji secara mendalam oleh Benedict Anderson, Ahmat Adam, dan Mikihiro Moriyama, modus artikulasi dan media cetak, yang pada awalnya merupakan cara kekuasaan kolonial mengimplementasikan Politik Etis yang berdasar pada ideologi humanisme liberal, pada waktu yang sama juga menjadi kendaraan bagi wacana nasionalis untuk membangun identitas lokal di luar kewarganegaraan Hindia Belanda, terutama identitas nasional Indonesia. Mengingat situasi semacam itu, Edward Said, dalam sebuah esainya, mewanti-wanti bahwa jika wacana nasionalis bersifat sekadar reaktif terhadap kolonialisme, ada peluang bahwa wacana nasionalis pun akan mengulang dan mereplikasi modus operandi imperial dalam masyarakat negara yang merdeka dari kolonialisme.

Landsdrukkerij, yang sebelumnya menjadi penerbit dan percetakan bagi Commissie voor de Volkslectuur, kemudian menjadi Balai Poestaka, juga berperan sebagai pembuat kanon dengan otorisasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ratusan teks yang diproduksi dan didistribusikan oleh Landsdrukkerij/Balai Poestaka pada waktu itu bersaing dengan teks-teks yang diedarkan dalam buku dan terbitan berkala oleh penerbit-penerbit swasta, terutama oleh oleh penerbit-penerbit peranakan Tionghoa, di Medan, Padang, Palembang, Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Namun, Balai Poestaka memiliki akses kepada sumber daya institusional, yang tidak dimiliki oleh para penerbit swasta, bahkan oleh penerbit Indo sekalipun: lembaga pendidikan. Balai Poestaka sebagai wajah baru Commissie voor de Volkslectuur, secara langsung dan tidak langsung, memiliki misi untuk menyediakan bacaan bagi siswa-siswa sekolah, atau calon-calon warga kota di dalam tembok, terutama ketika tembok itu pun sudah berevolusi menjadi batas antarnegara.

Mungkin dalam hal ini, ada untungnya saya merupakan bagian dari Gen-X yang masih ingat betapa buku-buku terbitan Balai Pustaka merupakan bahan utama dalam pendidikan dasar dan menengah yang pernah saya tempuh. Kanonisasi yang sudah dilakukan melalui kurikulum selama ini pun telah membuat saya percaya bahwa memang yang pantas saya baca dan nikmati adalah karya-karya yang ditawarkan di dalam kelas. Ketika di sekolah menengah di pertengahan dekade 1980-an, saya diajarkan untuk membaca dan menaruh hormat pada, misalnya, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Sitti Nurbaya karya Marah Roesli. Karena itu, saya percaya bahwa modernisasi kehidupan di Hindia Belanda (yang, saat itu saya pikir sama saja dengan Indonesia) diperlukan, tetapi nilai-nilai luhur lokal harus dipertahankan walaupun tokoh adat itu jahat. Sementara itu, tokoh yang, menurut Henk Maier (1999), tampak dari kejauhan seperti orang Belanda itu hero. Sebagaimana UUD 1945 (yang saya juga harus baca dan hormati) memilih dan memilah bagian dari kebudayaan daerah yang pantas menjadi kebudayaan nasional sambil menjaganya dari pengaruh asing yang mengancam. Saya juga diarahkan untuk membaca puisi Chairil Anwar, Achdiat K. Mihardja, dan Mochtar Lubis sedemikian sehingga Indonesia yang saya bayangkan itu melulu Jawa dan Sumatra, dan itu pun hanya kota-kotanya terutama Jakarta. (Setelah membaca kanon sastra Inggris, terutama karya Joseph Conrad, saya baru dapat memiliki imajinasi tentang Kalimantan dan Sulawesi. Memang tidak pantas dan tidak masuk akal, tetapi begitu adanya.) Akan tetapi, yang paling penting, genrenya harus novel, cerita pendek, puisi, atau naskah drama.

Saya juga terpapar bahan-bahan lain dengan genre lain seperti komik dan cerita silat yang saya peroleh dari “taman-taman bacaan” (penyelundup tembok kota) dan kisah-kisah yang saya baca di majalah anak dan remaja. Namun, karya-karya itu tidak pernah saya anggap sebagai “yang terbaik,” karena guru saya tidak mengajarkannya, atau bahkan menyebutnya sekalipun, di kelas. Hanya itu kriterianya. Setelah sekian dekade berlalu, saya berangsur mulai menganggap bahwa cerita-cerita Lupus, Imung, dan Keluarga Cemara itu adalah karya-karya klasik, melulu karena nostalgia saya pribadi. Akan tetapi, saya masih mencibir jika mendengar pembicaraan tentang fiksi yang ditulis Tere Liye dan Andrea Hirata karena saya menganggap karya-karya mereka tidak memiliki ciri-ciri karya sastra yang dimiliki karya-karya yang diajarkan guru-guru saya. Sebagai orang yang mencari nafkah dengan mengajar dan meneliti karya sastra, dan orang yang telah menginternalisasi kaidah-kaidah (baca: kode-kode) yang dimapankan Frye, saya dapat dengan fasih menunjukkan bahwa teks-teks yang saya anggap picisan tersebut tidak kokoh dalam menata dan  membangun struktur retoris dan naratifnya. Majas yang digunakannya tidak selaras satu sama lain. Deskripsi di dalamnya lemah dan kurang terperinci. Banyak argumen yang dapat saya tawarkan untuk menunjukkan betapa buruknya penulisan karya-karya tersebut.

Terlebih ketika saya mengetahui tulisan yang dibaca dan dihasilkan mahasiswa saya di media sosial dan berbagai platform digital seperti blog pribadi dan Wattpad. Lebih jauh lagi, wawasan mereka tentang dunia, banyak juga berasal dari narasi permainan video dan digital, bukan genre-genre yang telah diajarkan kepada saya sebagai “kesusastraan.” Saya telah dilatih dan ditugaskan untuk beriman pada kode-kode yang mengidentifikasi dan mensyaratkan “kesusastraan” sebagai teks-teks yang dicetak dan didistribusikan oleh penerbit yang bereputasi serta memiliki ciri-ciri yang juga dimiliki oleh karya-karya yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai “kesusastraan” ketika saya sama sekali tidak mempertanyakan alasannya sehingga menerimanya begitu saja.

Akan tetapi, ketika saya mengemudi mobil sendiri di jalan tol, atau ketika saya berbaring menunggu saya tertidur, bagian diri saya yang lain khawatir, jangan-jangan tidak ada alasan objektif untuk menentukan teks mana yang “susastra” dan mana yang bukan. Jangan-jangan saya telah menerima kaidah-kaidah penentunya serta menjadikannya nilai-nilai religius yang saya pegang tanpa alasan rasional. (Ini pikiran yang mengerikan bagi seorang agnostik.) Satu-satunya alasan saya menentukan mana yang “susastra” dan mana yang bukan cuma: katanya begitu. Entah siapa yang mengatakan.

Di sisi lain, saya pun, sebagai pihak yang ditugasi masyarakat untuk mengenalkan dan memasukkan generasi muda ke dalam ketertiban tembok intelektual, mengetahui bahwa kanon sastra dan kurikulum juga berubah. Ketika saya mahasiswa di jenjang sarjana, dosen-dosen saya mengajarkan bahwa kesusastraan Inggris bermula dengan Beowulf di zaman Inggris Kuno dan berlanjut dengan fiksi yang diproduksi di Inggris. Demikian pula, kesusastraan Amerika bermula dengan esai, fiksi, dan puisi yang diproduksi oleh masyarakat diaspora Inggris di Amerika Utara di abad kedelapan belas selaras dengan nasionalisme Amerika.

Namun, menjelang abad kedua puluh satu, antologi kesusastraan Inggris yang diedarkan Penerbit Norton, dengan senjata otoritas Stephen Greenblatt sebagai penyunting utama, juga mencakup karya-karya berbahasa Inggris yang dihasilkan oleh penulis-penulis dengan kewarganegaraan lain seperti India, serta negara-negara di Afrika dan Karibia. Karena itu, genre-genre baru, gaya-gaya baru, kode-kode baru masuk dan dijalankan dalam kanon dan kurikulum sebagai hasil dari kerja sama antara dunia akademik dan dunia penerbitan.

Demikian pula, antologi kesusastraan Amerika, yang dikenal sebagai Heath Anthology of American Literature suntingan Paul Lauter et al. yang diterbitkan Cencage dalam lima jilid, juga merambah masuk ke kelas-kelas di kampus sejak awal tahun 1990an yang memulai sejarah kesusastraan Amerika dari catatan harian Kolumbus, yang aslinya ditulis dalam bahasa Spanyol, serta cerita-cerita rakyat masyarakat pribumi Amerika. Kesusastraan Amerika tidak lagi sekadar menjadi cabang dari kesusastraan Inggris, dan tidak lagi diselaraskan dengan nasionalisme Amerika. Genre-genre lain (atau liyan?) pun dimasukkan ke dalam antologi ini: slave narratives di abad kesembilan belas, misalnya. Lebih banyak lagi karya penulis-penulis perempuan dan penulis-penulis etnis minoritas yang dimasukkan ke dalam antologi ini dibandingkan misalnya yang diterbitkan Norton atau Macmillan. Dalam hal ini, tampak ada persaingan di industri penerbitan dalam menawarkan kanon versi mereka masing-masing.

Namun demikian, hingga saat ini, wacana kesusastraan Indonesia masih terobsesi dengan sosok Chairil Anwar, yang konon merupakan sosok sentral dalam melakukan upaya revolusioner dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan standar bahasa Melayu Tinggi atau dienst Malaische (Melayu dinas). Sebagaimana pun telah banyak kajian tentang signifikansi tulisan-tulisan yang diproduksi dalam bahasa Melayu Pasar dan bahasa Nusantara lainnya di awal abad kedua puluh, para penjaga gerbang berusaha melestarikan kemurnian kesusastraan Indonesia dari kontaminasi tradisi selain dari yang telah ditetapkan oleh Commissie voor de Voolkslectuur, dan pewarisnya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sambil juga melibatkan benteng-benteng sastra baru, seperti Utan Kayu/Salihara, Gramedia, dan Kompas.

Kemendikbudristek mengodifikasi “kesusastraan” melalui sentralisasi kurikulum. Penerbit (termasuk media massa) melakukannya dengan menentukan teks mana yang pantas dimuat dan mana yang tidak. Negara dan swasta menentukannya dengan menyelenggarakan festival, sayembara dan anugerah. Komunitas-komunitas menentukannya dengan cara memilih buku mana yang dibedah dalam acara diskusi.

Sebagai agen institusionalisasi dan kanonisasi teks, saya harus menggunakan dimenangkannya sayembara, diberinya anugerah, dan larisnya di pasar sebuah karya untuk menjustifikasi dimasukkannya karya ke dalam silabus mata kuliah atau dibahasnya karya dalam tugas akhir mahasiswa atau artikel ilmiah yang saya saya tulis.

Karena tidak dapat mengabaikan banyaknya teks yang diproduksi dalam bahasa Nusantara lainnya (dan bahasa Arab), dibuatlah kategori Sastra Daerah untuk teks-teks yang diproduksi kebudayaan daerah yang tidak mencapai “puncak”-nya, seakan-akan kanon untuk kategori ini hanya diperkenankan dikanonisasi dalam wilayah ghetto diskursifnya sendiri (Dalam tulisan lain, saya telah memaparkan betapa kanonisasi sastra senantiasa dinaungi nasionalisme sebagai wacana ideologis dominan). Walaupun mulai ada kecenderungan penulis-penulis muda obskur di Indonesia (di Indonesia atau di Internet?), yang menulis fanfiction dan karya orisinal, menghasilkan karya dalam bahasa Inggris, terutama di ranah siber (tapi bukan di tengara.id ataupun di situs terhormat yang lain), tidak tampak ada pertimbangan yang signifikan untuk memasukkannya ke dalam tembok kota dan dibiarkan turut bersahut di alun-alunnya. Maksud saya, saya sendiri, atas dasar keimanan saya kepada kanon “kesusastraan” yang telah terpatri dalam benak saya, tidak akan memilih untuk membahas karya-karya semacam itu di dalam kelas (walaupun mungkin mengizinkan mahasiswa untuk menulis kreatif sebagai tanggapan terhadap karya kanonikal). Alasan saya adalah karya-karya ini tidak diterbitkan oleh penerbit yang mapan dalam bentuk cetak. Alasan saya adalah tidak adanya peran editor yang kompeten untuk menjamin bahwa karya-karya tersebut mematuhi tata tertib dan tata krama berkesusastraan. Alasan saya adalah karya-karya tersebut tidak mendapat persetujuan dari penjaga gerbang. Mungkin kalau saya mengajar penulisan kreatif, saya berkenan merujuk kepada karya-karya ini. Mungkin seandainya saja dalam perguruan tinggi seni seperti ISI, ISBI, dan IKJ, ada program studi “Penulisan Kreatif,”  seperti yang tumbuh subur di jenjang sarjana dan pascasarjana di negara lain, sastra di ranah digital dapat menjadi bagian dari kanon. Sementara di bagian lain di bumi ini mulai ada kolaborasi antara pihak-pihak yang bergiat dalam kesusastraan dan pihak-pihak yang bekerja di bidang pemrograman komputer, di Indonesia masih setia pada kolaborator lamanya, yaitu lembaga pendidikan bahasa (bukan teknik informatika) dan industri penerbitan dan jurnalistik. Karya yang hadir telanjang sebagai kode di ranah digital itu berbahaya. Ia dapat diretas oleh kode lain. Dan, kalaupun kita mau mengatasi retasan, kita harus menggunakan menulis kode sejenis yang sama berbahayanya. Semua peranti anti-virus itu virus. Apa jadinya dengan peradaban kita jika kita biarkan hama budaya yang berkembang biak di Internet itu masuk ke dalam taman firdaus kesusastraan? Kataklisme!

Seabad yang lalu, W.B. Yeats, yang meretas masuk ke dalam kanon kesusastraan Inggris dari Irlandia, dalam sajaknya “The Second Coming,” selaras dengan entropi, hukum termodinamika Newton yang kedua, menyatakan bahwa segala hal dalam alam semesta ini secara alamiah niscaya akan “runtuh; Pusat tidak dapat bertahan;  Anarki murni dilepas ke dunia.” Ini menakutkan. Jika wacana tentang kanon hadir dalam wacana kesusastraan saat ini, mungkin itu hasil dari ketakutan akan kenyataan bahwa tembok-tembok kota mulai runtuh, bata perbata, dan para penjaga gerbang mulai kehilangan otoritasnya. Kode bukan lagi monopoli mereka.

Padahal, katanya, setelah air bah, ada dunia baru. Sementara ombak banjir itu menderas, kita dapat berselancar di atasnya. Lagipula, kanon tidak lagi berguna karena tidak ada lagi tempat bagi pembelajaran sastra dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah kita. Kalau pun kita dapat bersepakat tentang karya mana yang pantas dibaca oleh siswa-siswa di kelas, di kelas siswa-siswa itu tidak akan membacanya.

 

Bukan Penutup

Mungkin kita harus mulai menerima kenyataan bahwa kota sudah tidak ada. Tidak ada tembok yang memisahkan antara kaum beradab di dalam dan kaum barbar di luar, bahkan tidak pula waktu dan jarak antarbintang. Banjir di ibukota, di pulau manapun, akan tetap ada. Karena itu, tidak ada lagi tempat bagi singgasana tempat untuk raja—Arthur ataupun Auteur, karena tanpa tembok, pusat pun tidak ada.

Jika diperkenankan, di akhir tulisan ini, di akhir masa kota, di masa kegaduhan digital ini, saya hendak menyarankan  bahwa kita dapat memilih antara tiga jenis kanon. Yang pertama adalah tongkat yang menandakan kekuasaan dan menjadi alat menghukum dan mengusir pihak-pihak yang mengancam dan mengganggu kekuasaan tersebut. Yang kedua adalah meriam, baik yang digunakan pihak di dalam tembok untuk menghalau kaum barbar masuk ke dalam kota  maupun yang ditembakkan pihak yang berada di luar untuk meruntuhkan tembok dan secara paksa membuka akses masuk, kemungkinan besar untuk mengambil alih kekuasaan. Dan, yang terakhir, kanon berupa kerja sama antara berbagai suara. Mungkin ada yang memulai. Lalu, mungkin ada yang mengulang dan menggemakan sehingga suara pertama teramplifikasi. Atau, dilanjutkan dengan yang melawan atau setidaknya yang berbeda dengan mengajukan suara kontrapuntal sehingga suara yang sebelumnya mati menjadi hidup atau terjadi dialog yang seru dan menghibur. Saya sendiri memilih yang terakhir.

Begitu.

Esai24 Juli 2024

Ari J. Adipurwawidjana


Ari J. Adipurwawidjana mengajar dan melakukan riset di bidang kajian sastra dan budaya serta melakukan eksplorasi dengan interseksi antara kegiatan akademik, kesenian, dan aktivisme sosial di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran sejak 1991. Kajian yang dilakukannya banyak berfokus pada teks-teks dan praktik budaya khususnya sejak pertengahan abad kesembilan belas hingga pertengahan abad keduapuluh serta relevansinya dengan teks-teks dan praktik budaya di masa kini. Saat ini, di Universitas Padjadjaran ia sedang menjabat sebagai Ketua Program Studi Sastra Inggris, menjadi peneliti di Pusat Riset Gender dan Anak, dan duduk sebagai anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ia juga aktif di Dewan Kesenian Kota Bandung (DKKB), Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Asosiasi Program Studi Inggris se-Indonesia (ESAI), Postcolonial Studies Association, dan Asian Shakespeare Association.