Sebuah Panduan yang Cerewet tapi Salah

Foto oleh Paul Kadarisman

1

Sebuah buku terbit pada 20 Mei 2024, dalam format e-book 784 halaman, berjudul Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Ia lahir sebagai anak kandung Program Sastra Masuk Kurikulum dan, sesuai dengan judulnya, dimaksudkan untuk memandu para guru agar mereka tidak keliru dalam mengajarkan sastra kepada murid-murid.

Tiga hari setelah itu, Nirwan Dewanto menulis surat terbuka untuk para kurator/penyusun buku tersebut dan emoh mengakuinya sebagai buku sebab e-book dalam file pdf itu “tidak memenuhi standar perbukuan yang mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya.” Karena yang terkandung di dalam terbitan itu adalah keburukan semata, Nirwan hanya sudi menyebutnya “buku”, yang artinya bukan buku.

2

Ada 43 judul buku yang direkomendasikan untuk siswa sekolah dasar, 29 untuk siswa sekolah menengah pertama, dan 105 untuk sekolah menengah atas. Ini langkah maju karena sebelumnya tidak ada satu buku pun direkomendasikan. Sayangnya, panduan itu tidak memerinci apa saja judul buku untuk murid kelas satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga kelas dua belas, dan apa alasan untuk menyarankan buku-buku itu kepada mereka. Buku-buku dikelompokkan secara simpel saja, seperti kita menempatkan butir-butir telur dalam tiga wadah. Wadah pertama berisi telur ayam, untuk anak SD kelas berapa pun. Wadah kedua telur bebek, untuk murid SMP. Wadah ketiga telur angsa, untuk murid SMA.

3

Keseluruhan buku itu dipilih oleh tim kurator buku sastra yang berisi tujuh belas orang; empat belas dari mereka adalah penulis dan sisanya guru. Tiga guru ini, selain menjadi kurator, masuk juga ke dalam tim reviewer buku sastra yang beranggotakan tiga puluh sembilan guru.

Dalam surat terbukanya, Nirwan Dewanto mempertanyakan masuknya semua buku karya para penulis-kurator ke dalam daftar rekomendasi. “Kenapa anda sendiri yang memutuskan bahwa buku-buku anda penting bagi persekolahan dan pendidikan?”

Memang saya dengar ada di antara para penulis itu yang punya kepercayaan diri menjulang tinggi untuk mengusulkan karya sendiri, tetapi saya percaya bahwa jumlah terbesarnya tidak begitu. Hanya saja, faktanya, karya mereka semua ada di dalam daftar. Dengan fakta ini, mereka tidak mungkin menampik jika ada suara bahwa ini adalah bentuk nepotisme literer, suatu gejala yang mencerminkan kegagalan tim kurator dalam menjaga integritas proses seleksi. Mereka terbukti tidak memiliki mekanisme untuk mencegah konflik kepentingan. Dan tanpa mekanisme yang mampu mencegah konflik kepentingan, sistem seleksi itu tentu rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan akan gagap untuk membuat pertanggungjawaban.

Bagian yang sedikit menghibur dalam buku panduan ini adalah kita bisa tersenyum membayangkan seseorang merekomendasikan karyanya sendiri dan membuat catatan: “Secara umum buku ini sangat cocok untuk digunakan dan dibaca oleh semua murid di lingkup sekolah dasar.”

Seperti telur, ia cocok untuk anak SD dari semua kelas, tanpa mempertimbangkan perkembangan kognisi dan tanpa melihat preferensi yang mungkin berbeda jauh antara anak kelas satu dan kelas enam.

Belakangan, para penulis-kurator mencabut buku-buku mereka dari daftar rekomendasi dan membuat permintaan maaf. Beberapa penulis juga melakukan aksi pencabutan, tampaknya karena terganggu oleh cara buku panduan itu mengajari guru cara membaca buku-buku.

4

Pemilihan buku-buku untuk direkomendasikan kepada para siswa mestinya merupakan upaya yang teliti dan terstruktur dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Setidaknya, seperti itulah informasi yang saya dapatkan tentang urusan tersebut di negara-negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Finlandia. Di negara-negara itu, seleksi buku-buku rekomendasi akan melibatkan guru, pustakawan, badan pendidikan nasional, dan pemerintah kota atau distrik. Tidak ada penulis di dalamnya. Dan mereka tidak hanya memilih buku-buku sastra, tetapi juga nonfiksi (di antaranya sains, sejarah, dan kewarganegaraan) yang mendukung kebutuhan siswa untuk mengembangkan diri, sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai manusia yang berpengetahuan.

Masa berlaku rekomendasi terhadap buku-buku itu ditetapkan. Di Finlandia sepuluh tahun, sebab kurikulum nasional negara itu ditinjau dan diperbarui setiap satu dekade. Modifikasi dalam skala minor bisa dilakukan dalam perjalanannya, demi memastikan bahwa buku-buku yang disarankan relevan dengan kebutuhan siswa, cocok dengan konteks sosial, dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dinas pendidikan dan sekolah di tiap distrik di negara itu diberi keleluasaan untuk menyesuaikan rekomendasi dengan kebutuhan setempat. Guru dan pustakawan sekolah bekerja sama dalam memilih buku yang paling sesuai dengan tingkat pendidikan siswa. Mereka juga menerima umpan balik dari orang tua murid. Pendekatan ini memungkinkan sekolah-sekolah di tiap distrik melayani kebutuhan para siswa dan membuat mereka merasakan manfaat membaca buku.

Tentu cara ini tidak mudah. Merencanakannya tidak mudah, menjalankannya tidak mudah, dan mengevaluasinya juga tidak mudah. Namun orang Finlandia memperlakukan segala hal yang berkaitan dengan pendidikan nyaris sakral, sebab, di awal kemerdekaannya, para pendiri negara itu merencanakan pendidikan dengan keyakinan bahwa inilah jalan bagi mereka untuk bangkit dan berdiri sama tinggi dengan negeri-negeri yang pernah menjajah mereka, yaitu Swedia dan Rusia.

Karena itulah mereka memasukkan ke dalam kurikulum mereka makan siang gratis di sekolah, dan kebijakan tahun 1917 itu, tahun kemerdekaan mereka, tetap dipertahankan hingga sekarang. “Mau mencicipi makan siang kami?” Suara Anne-Carine Kajan terdengar ramah dan saya langsung setuju. Ia kepala sekolah di Skola Vallgrund pada saat saya singgah selama Oktober 2017 di desa Vallgrund, Kepulauan Kvarken, wilayah pelosok Finlandia yang berbahasa Swedia. Apartemen yang saya sewa bertetangga dengan SD itu, yang kepala sekolahnya mengajar ‘bahasa ibu’ dan setiap jam pertama membacakan cerita kepada murid-murid tahun pertama dan kedua, yang guru-gurunya mampu menjelaskan secara jernih apa-apa yang mereka lakukan untuk para siswa dan membolehkan saya datang kapan saja dan duduk di kelas mereka, yang murid-muridnya mengajak saya bermain kejar-kejaran pada waktu istirahat seolah saya murid baru di sekolah itu.

“Kami miskin di awal kemerdekaan dan kehidupan sangat sulit,” kata Anne. “Makan siang gratis itulah kunci keberhasilan pendidikan kami. Ia tidak hanya memperingan beban orang tua, tetapi juga membuat anak-anak mereka mendapatkan makanan yang baik setiap hari. Tanpa bujukan itu, para orang tua lebih suka anak-anak pergi ke ladang membantu mereka.”

Saya percaya bahwa setiap kebaikan yang dilakukan orang di satu tempat pasti bisa dicontoh oleh orang di tempat lain, sekalipun tidak mudah. Namun, kita di Indonesia, yang terbiasa dengan pendekatan proyek, lebih senang memilih cara yang sangat mudah. Memilih buku-buku rekomendasi, membuat buku panduan cara membaca buku-buku itu, dan menyerahkan urusannya kepada 14 penulis dan 3 guru adalah cara sangat mudah. Prosesnya jauh lebih sederhana dan tidak memerlukan banyak waktu ketimbang harus melibatkan banyak pemangku kepentingan.

5

Sejauh ini saya tidak mendapatkan gambaran bagaimana program Sastra Masuk Kurikulum dan rekomendasi buku-buku bacaan itu akan dijalankan dan dievaluasi. Mudah-mudahan ada evaluasi, sebab evaluasi adalah elemen sangat penting dalam setiap program. Tanpa evaluasi, tidak ada cara yang objektif untuk menilai efektivitas sebuah program, mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalannya, dan mengukur dampaknya terhadap para siswa. Evaluasi akan membuat kita tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kekeliruan.

Di samping itu, evaluasi juga merupakan bentuk pertanggungjawaban. Ia memastikan bahwa semua pemangku kepentingan mengetahui bagaimana program dijalankan dan apa saja pencapaiannya.

6

Evaluasi terhadap program semacam Sastra Masuk Kurikulum adalah tindakan intelektual yang kompleks dan akan melibatkan sejumlah metode: penilaian berbasis kompetensi, survei mendalam terhadap siswa dan guru, dan analisis yang teliti terhadap hasil akademik. Para guru tidak hanya akan menjadi mentor yang sabar dan bijak bagi para siswa, tetapi juga penilai yang cermat untuk menakar sejauh mana buku-buku yang direkomendasikan mampu memenuhi tujuan pendidikan dan berhasil meningkatkan keterampilan literasi siswa.

Saya menggunakan istilah keterampilan literasi untuk menyebut kondisi di mana siswa mampu membaca dan memahami bacaan, menulis secara jernih, berbicara dengan rasa percaya diri, dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Itu semua akan menjadi modal bagi siswa untuk berhasil dalam pendidikan, menjadi warga negara yang berpengetahuan, dan menjadi individu yang mandiri dan memenuhi syarat untuk hidup bermasyarakat.

Namun, melihat cara kita menyeleksi buku-buku rekomendasi dan mutu buku panduannya, saya kurang yakin program ini akan dievaluasi.

 

Perihal Disclaimer: Moralistik atau Paranoia?

7

“Panduan ini dilengkapi dengan disclaimer/penafian di setiap rekomendasi buku untuk menjadi pertimbangan bagi para pendidik dalam memilih buku sastra agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan sekolah.”

Pemberitahuan itu tertulis pada halaman informasi di bagian awal buku.

“Aspirasi kami di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi adalah agar semua murid dapat menjadi pembaca yang kritis dan reflektif.”

Nanti kita akan melihat bahwa aspirasi tersebut, yang disampaikan dalam kata pengantar buku, tampaknya mustahil terwujud melalui buku panduan yang diantarkannya. Buku panduan yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan itu cerewet sekali, moralistik, dan dicekam ketakutan.

Sekiranya ia buku resep masakan, kita akan mendapati di dalamnya daftar panjang berisi peringatan bahwa setiap bahan bisa menyebabkan alergi, keracunan, atau mudah lupa diri. Ia juga akan mengingatkan kita, dalam cara berlebihan, bahwa terlalu banyak makan ketumbar berpotensi membuat kita jatuh cinta kepada tukang sayur langganan kita.

8

“Terdapat istilah-istilah: seksualitas, umpatan, sadisme, intoleransi, kesetaraan gender, LGBT, kekerasan verbal, kekerasan fisik.”

Semua karya pemenang Nobel Sastra saya yakin akan bertekuk lutut di hadapan disclaimer seperti itu. Panduan tersebut tampaknya dirancang agar membaca buku menjadi kegiatan yang membosankan dan para guru menjadi orang-orang yang mengidap gangguan mental dengan gejala khawatir berlebihan akan keselamatan para siswa. Buku sebaiknya steril, seperti kumpulan rumus matematika, sebab para siswa adalah anak-anak balita yang sedang belajar berjalan. Satu saja kata kasar, atau satu ekspresi kemarahan, niscaya membuat siswa tersandung dan jatuh ke jurang kehancuran moral.

Buku yang menceritakan situasi perang? Jangan disentuh. Buku itu akan membuat pembaca terbunuh oleh bom yang meledak di halaman-halaman yang mereka baca.

“Harap diwaspadai! Buku ini mengandung kebakaran, perselingkuhan, penghancuran sebuah kaum, pembunuhan saudara kandung, perilaku seks menyimpang, perbuatan licik, dan—yang paling mengerikan—ada penggunaan sebutan ‘perempuan sundal’ di dalamnya. Pembaca diharapkan mendekati teks ini dengan kewaspadaan tingkat tinggi dan dimohon membacanya di ruangan ber-aromatherapy demi menjaga ketenteraman jiwa.”

Saya membayangkan begitulah bunyi disclaimer untuk Alkitab.

9

Sikap yang lebay terhadap isu-isu krusial yang sehari-hari dihadapi manusia, dan terhadap situasi gelap dalam pikiran karakter, tidak hanya mengabaikan elemen-elemen penting dari pengalaman manusia, tetapi juga mereduksi nilai karya. Dan itu hanya mencerminkan ketidakpahaman terhadap cara yang berbeda-beda pada tiap-tiap penulis untuk menghadirkan kehidupan di dalam buku-buku mereka. Buku-buku besar sepanjang sejarah tidak menghindari isu-isu kontroversial. Dialog yang bagus tidak terjadi dalam adegan saling berbagi petuah antara dua karakter yang duduk-duduk di ruang tamu.

Mengapa panduan itu tidak berbuat normal saja? Cukup bagus sekiranya ia bisa membantu para siswa untuk mendekati karya sastra secara wajar, menyampaikan bahwa karya-karya yang bagus adalah upaya para penulisnya untuk menghadapi kompleksitas pengalaman manusia dengan keberanian, eksplorasi yang sungguh-sungguh, dan kecakapan yang memadai untuk membawakannya kepada khalayak. Melalui Hamlet dan Macbeth, misalnya, Shakespeare mengangkat tema-tema pembunuhan, pengkhianatan, dan kegilaan manusia, sementara dengan Crime and Punishment Fyodor Dostoevsky memperkenalkan kepada pembaca dilema moral dan keruwetan psikologis yang dihadapi manusia.

Justru untuk hal-hal semacam itulah antara lain kesastraan hadir di tengah kita. Menghindari realisme yang diajukan oleh sastra sama dengan menghindari kebenaran tentang kondisi manusia. Ketimbang rajin memproduksi ketidakpatutan, mengapa program sastra masuk kurikulum ini tidak dijalankan saja dengan mencontoh negara-negara lain yang berhasil mengajarkan sastra kepada para siswa mereka?

Program ini sudah patut dipuji seandainya berhasil membantu siswa menyadari pentingnya membaca, dan akan luar biasa jika mampu membuat mereka tahu cara mengapresiasi aspek-aspek keperajinan para penulis dalam menghadirkan bagian-bagian kehidupan yang paling menantang. Ketakutan terhadap sisi-sisi tergelap yang dibawakan oleh suatu karya sama belaka dengan menafikan sebagian besar dari warisan budaya dan intelektual manusia.

10

Sastra, dengan eksperimen tak henti-henti oleh para pelakunya, pada intinya adalah upaya untuk menyampaikan kompleksitas, kontradiksi, dan ketaksempurnaan kondisi manusia. Ia bukan modul untuk kursus kepribadian, juga bukan bahan ceramah keagamaan.

Disclaimer mengerikan yang diperkenalkan oleh panduan itu jelas mengandung risiko tinggi: Ia tidak akan mendorong para siswa membaca; ia hanya akan menjadikan mereka gemar menghakimi.

11

Bacalah Pada Sebuah Kapal dengan cara yang disarankan oleh panduan, dan anda akan terdorong untuk membanting novel N.H. Dini itu.

Kekerasan verbal
1) Guru menjelaskan setiap kata ataupun kalimat yang termasuk dalam kekerasan verbal dalam novel tersebut.
2) Guru mengajak diskusi kepada murid untuk menelaah setiap kata atau pun kalimat yang termasuk dalam kekerasan verbal.
SARA
Guru menjelaskan bahwa setiap perilaku SARA melanggar hukum dan ada sanksinya.
Kekerasan fisik
1) Guru menjelaskan bahwa setiap adegan yang menggambarkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh setiap tokoh dalam novel tersebut hanyalah gambaran karakter tokoh tersebut sebagai peran antagonis.
2) Guru lain menjelaskan perkara hukum yang berkaitan dengan kekerasan fisik dalam cerita novel tersebut.
Pesimisme
Guru memberikan motivasi, berkaitan dengan sikap pesimisme dalam cerita novel tersebut bahwa kini zamannya berbeda tidak seperti zaman pada cerita novel tersebut.
Seksualitas
1) Guru menjelaskan bahwa unsur seksualitas dalam novel ini, merupakan gaya hidup seks bebas yang merupakan kebiasaan bagi sebagian bangsa Barat yang tidak lazim di negara Timur utamanya negara kita.
2) Guru mapel menjelaskan masalah seksualitas yang diceritakan dalam novel ini yaitu tentang perselingkuhan, free sex menurut aspek hukum, kesopanan dan kesusilaan dan memberikan gambaran dampak buruk dari free sex.
Kritik sosial
Guru menyampaikan tata cara menyampaikan kritik yang baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Berapa semester dibutuhkan untuk membahas satu novel dalam cara seperti itu? Berapa jumlah guru dibutuhkan untuk menceramahi siswa tentang segala aspek yang muncul dalam interaksi kompleks antarkarakter? Berapa jumlah buku dalam setahun yang bisa dibaca oleh para siswa dalam metode pembacaan seperti itu?

Dugaan saya, siswa hanya akan sanggup membaca paling banter satu buku dalam setahun. Artinya, diperlukan waktu satu abad lebih untuk menyelesaikan 105 judul buku dalam daftar rekomendasi untuk siswa SMA.

12

“Guru harus menjelaskan setiap kata atau kalimat yang termasuk kekerasan verbal dan mengajak diskusi untuk menelaahnya.”

Ini akan memakan waktu satu semester dan hasilnya adalah mengalihkan perhatian pembaca dari cerita dan penggarapan tema yang lebih besar. Siswa akan lebih berfokus pada upaya mencari, dan membuat daftar, kata-kata kasar yang mereka temui di semua halaman novel itu. Manfaatnya, mungkin mereka bisa menyusun kamus kecil berisi kata-kata kasar dan umpatan dan berbagai jenis kekerasan verbal. Kerugiannya, setelah menghabiskan banyak waktu, siswa tidak akan tahu bagaimana konteks keseluruhan cerita dan apa hal utama yang disampaikan oleh karya tersebut.

“Guru menjelaskan bahwa setiap perilaku SARA melanggar hukum dan ada sanksinya.”

Mudah-mudahan guru tidak membawa KUHP di kelas. Memahami hukum tentu saja penting bagi setiap warga negara, tetapi menekankan pembacaan sebuah karya pada sanksi yang bisa diterima oleh karakter-karakter? Itu cara mujarab untuk menghindari pembicaraan tentang analisis sastra dan bagaimana cara penulisnya menghadirkan isu-isu kemanusiaan dalam konteks cerita dan karakter.

“Guru menjelaskan adegan kekerasan sebagai bagian dari karakterisasi tokoh antagonis.”
“Guru lain menjelaskan aspek hukum yang berkaitan dengan kekerasan fisik.”

Sesi ini memerlukan tiga guru. Satu guru menjelaskan analisis karakter, satu guru menjelaskan aspek legalitas dari tindak-tindak kekerasan fisik, dan satu guru lagi harus memulihkan fokus pembacaan novel ke arah perenungan makna simbolis atau tematik pada kekerasan dalam karya tersebut.

“Guru memberikan motivasi bahwa zaman sekarang berbeda dengan zaman pada cerita novel.”

Sekarang adalah sesi untuk guru Bimbingan dan Penyuluhan. Dia harus memotivasi siswa agar jangan terjerumus pada pesimisme, dan dia tidak perlu peduli bahwa upaya motivasional dalam pembacaan novel akan terasa dipaksakan dan tidak relevan. Dia juga tidak perlu risau bahwa kehadirannya dalam pembacaan novel akan mengganggu siswa menemukan sendiri refleksi mereka setelah membaca novel tersebut.

“Guru menjelaskan perbedaan budaya mengenai seksualitas.”
“Guru menjelaskan dampak buruk dari free sex berdasarkan hukum, kesopanan, dan kesusilaan.”

Guru seharusnya menolak saran ini. Mengikutinya sama dengan mengajari siswa melakukan penilaian moral yang sempit dan menolak realitas bahwa seksualitas adalah bagian dari pengalaman manusia yang kompleks dan itu seringkali diangkat dalam sastra untuk mengeksplorasi tema yang lebih luas.

“Guru menyampaikan tata cara menyampaikan kritik yang baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.”

Panduan ini berusaha sangat keras untuk mengendalikan dan menyaring setiap aspek dari pengalaman membaca. Ia tidak mempercayai siswa dan guru untuk bertukar pikiran dalam membuat analisis yang lebih bebas dan kreatif.

13

Guru yang wajar mestinya hanya akan melakukan tindakan-tindakan yang lumrah sebagai guru. Ia akan menyarankan murid-muridnya membaca buku. Kalaupun ia merasa perlu menyampaikan sesuatu, ia akan memberikan konteks yang membantu murid-muridnya memahami isu-isu tertentu dalam cerita dan mendorong diskusi terbuka di kelas tentang tema-tema yang sulit atau kontroversial dalam karya sastra, membiarkan mereka mengeksplorasi dan mendiskusikan isu-isu tersebut. Ini akan melatih para siswa mengembangkan pemikiran kritis dan pemahaman yang lebih baik terhadap sebuah karya.

Guru yang wajar juga akan mengajak siswa untuk melihat karya dari berbagai sudut pandang, tanpa memberikan penilaian moralistik yang berlebihan. Ia akan membantu mereka mengembangkan empati dan pemahaman yang baik terhadap kondisi manusia.

Jika pengetahuan guru memadai tentang aspek-aspek keperajinan dalam penulisan sastra, ia akan mampu membantu siswa mengapresiasi kompleksitas dan keindahan suatu karya. Dengan pendekatan ini, sastra akan dihargai secara wajar, dan guru tidak memerlukan panduan yang menjadikan sastra sebagai alat untuk menyampaikan ceramah moral dan tertib hukum.

 

Karya Terjemahan sebagai Bagian dari Sastra Indonesia

14

Kekeliruan fatal dari daftar rekomendasi buku-buku untuk para siswa adalah tidak memperlakukan karya terjemahan sebagai bagian dari sastra Indonesia. Dan karena ia bagian dari sastra Indonesia, seharusnya ia dipertimbangkan untuk masuk ke dalam daftar buku-buku rekomendasi. Negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Finlandia melakukannya. Jerman bahkan memasukkan terjemahan karya-karya Shakespeare ke dalam kanon sastra nasional mereka.

15

Para siswa sekolah kita akan beruntung seandainya nama-nama berikut adalah orang Indonesia dan menulis karya dalam bahasa Indonesia: Shakespeare, Dante Alighieri, Miguel de Cervantes, Gustave Flaubert, Leo Tolstoy, Anton Chekhov, Fyodor Dostoevsky, Mark Twain, James Joyce, Jorge Luis Borges, Yasunari Kawabata, Ryunosuke Akutagawa, Chinua Achebe, Naguib Mahfouz, H.C. Andersen, Ernest Hemingway, William Faulkner, Octavio Paz, Pablo Neruda, Gabriel Garcia Marquez, Albert Camus, Kafka, Goethe, Charles Dickens, Jane Austen, Astrid Lindgren, Toni Morrison, Alice Munro, Alberto Moravia, dan Umberto Eco.

Namun mereka lahir di negara-negara lain dan menulis karya dalam bahasa asing. Bahasa yang mereka gunakan jauh lebih tua ketimbang bahasa Indonesia, tradisi kesastraan mereka sudah dimulai sekian abad sebelum kesastraan Indonesia, eksperimen dan temuan sastra mereka sudah banyak.

Bahasa Indonesia relatif masih muda dibandingkan banyak bahasa lain di dunia, karya-karya yang lahir dalam bahasa ini masih terbatas, temuannya di bidang sastra tidak signifikan, ekspresi-ekspresi susastranya—diakui atau tidak—belum sekaya ekspresi-ekspresi dari bahasa yang jauh lebih tua dan memiliki tradisi sastra yang panjang. Itu sebabnya para penulis kita lebih banyak membaca karya terjemahan atau karya dalam bahasa asing bagi yang cakap membaca buku berbahasa asing. Mereka harus meluaskan wawasan, mempelajari berbagai teknik penulisan, mengenal beragam bentuk dan cara penyajian.

Penerjemahan adalah cara untuk menjadikan karya-karya unggul dari berbagai khazanah sastra di muka bumi menjadi bagian dari sastra Indonesia. Dan hanya dengan mengakui bahwa karya terjemahan adalah bagian dari sastra Indonesia, kita bisa membuat daftar rekomendasi buku-buku bacaan yang lebih baik bagi kepentingan para siswa.

16

“Karya-karya terjemahan itu bagian dari sastra Indonesia,” kata penyair Sapardi Djoko Damono (1940-2020), penerjemah Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway dan banyak karya sastra lainnya, ketika kami bercakap-cakap santai sekian tahun lalu di ruang tamu rumahnya.

Karya Charles Dickens yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jelas tidak mungkin disebut sastra Inggris. Ia berbahasa Indonesia, sementara definisi sastra Inggris adalah karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris, terlepas dari asal geografis penulisnya.

Ketika sebuah novel asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, novel itu menjadi produk bersama antara kreativitas penulis asli dan keterampilan interpretatif penerjemahnya. Penerjemah mengerahkan kemampuannya untuk menangkap nuansa, nada, dan konteks budaya dari karya asli sambil membuatnya menarik dan dapat diakses oleh pembaca Indonesia. Proses ini dengan sendirinya mengubah karya dan menjadikannya ciptaan baru yang mencerminkan pertemuan dua tradisi sastra.

Teks mengalami adaptasi linguistik dan kultural dalam proses penerjemahan. Idiom, referensi, dan nuansa budaya asli harus diterjemahkan atau dicarikan padanan terdekatnya dalam bahasa Indonesia. Pengalihbahasaan ini sering menghasilkan sebuah karya yang, sambil mempertahankan narasi inti, alur, penokohan, dan elemen-elemen tematik karya aslinya, juga merefleksikan elemen bahasa dan budaya Indonesia. Ia menjadi karya unik dengan identitas campuran yang mencakup dua tradisi literer, atau tiga jika karya itu diterjemahkan tidak dari bahasa aslinya.

Tentu ia tidak bisa disebut karya penulis Indonesia, tetapi bagaimanapun ia bagian dari sastra Indonesia dan turut membentuk kesastraan Indonesia.

17

Sebetulnya karya terjemahan tidak hanya turut membentuk kesastraan Indonesia, tetapi bahkan turut membentuk lanskap kesastraan dunia.

Kita bicara tentang Kisah Seribu Satu Malam. Ia masuk Eropa pertama kali melalui terjemahan bahasa Prancis oleh Antoine Galland pada awal abad ke-18 dan memukau pembaca dan penulis Barat dengan narasinya yang melingkar-lingkar, latar yang eksotis, dan teknik cerita berbingkai yang menyatukan banyak kisah.

Jorge Luis Borges sangat mengagumi Kisah Seribu Satu Malam, yang ia baca melalui versi terjemahan Inggris sepuluh jilid (1885) oleh Richard Burton, dan menyebutnya sebagai karya yang unggul dalam kekuatan imajinatif dan struktur naratifnya. Ia mengagumi bentuk naratifnya yang melingkar dan konsep cerita di dalam cerita, yang menurutnya memukau dan meresahkan, juga cara buku itu menjalin banyak cerita menjadi satu narasi menyeluruh, sebuah teknik yang kemudian memengaruhi gaya penulisannya sendiri.

Penulis modern lainnya yang dipengaruhi oleh buku itu antara lain adalah James Joyce, Marcel Proust, dan John Barth.

Naguib Mahfouz, penulis Mesir pemenang Nobel Sastra 1988, juga sangat mengagumi Kisah Seribu Satu Malam dan menulis novel Arabian Nights and Days (1979), yang ia maksudkan sebagai sekuel Kisah Seribu Satu Malam. Dalam novelnya itu, ia memadukan elemen-elemen cerita asli dengan tema sosial dan politik kontemporer sambil mempertahankan nada mistisnya.

Banyak penulis terkenal dipengaruhi oleh terjemahan Kisah Seribu Satu Malam. Kita bisa menyebut di antaranya Orhan Pamuk, Salman Rushdie, W.B. Yeats, Italo Calvino, H.G. Wells, dan bahkan Sir Arthur Conan Doyle. Sebelum mereka ada nama-nama Johann Wolfgang von Goethe, Walter Scott, Gustave Flaubert, Alexandre Dumas, Victor Hugo, Pushkin, dan Leo Tolstoy.

Kisah Seribu Satu Malam memiliki dampak besar terhadap sastra Eropa dan membentuk pendekatan kreatif banyak penulis Barat, dan selanjutnya dunia, jika kita menimbang pengaruh para penulis itu terhadap generasi penulis sesudah mereka. Kecuali dalam kasus Naguib Mahfouz, yang membaca dalam bahasa aslinya, kisah itu datang kepada mereka melalui versi terjemahan.

18

Jadi, menimbang sumbangan penting karya terjemahan dalam membentuk kesastraan suatu bangsa, mestinya daftar rekomendasi buku-buku bacaan itu memasukkan juga karya terjemahan. Membaca karya terjemahan memberi sejumlah pengalaman kepada para siswa dalam cara yang tidak mungkin dicapai hanya melalui karya asli.

Pertama, ia memperluas pergaulan siswa dengan bentuk-bentuk narasi yang beragam, dan memperkenalkan mereka pada berbagai perspektif dan cara berpikir yang berbeda dari budaya mereka sendiri. Membaca Pippi si Kaus Kaki Panjang, karya Astrid Lindgren, misalnya, akan mempertemukan mereka dengan gadis kecil Swedia yang sangat unik dan mandiri. Pippi Langstrum mampu mengangkat kuda dan memiliki cara berpikir yang berbeda dari semua anak lain; ia bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk berani menjadi diri sendiri dan berpikir di luar kebiasaan. Kisah-kisah petualangannya yang tidak konvensional, lucu, dan imajinatif, mendorong anak-anak untuk berani mempertanyakan norma-norma sosial, tetap dalam suara naif kanak-kanak, dan menemukan bahagia dalam kebebasan dan kemandirian.

Kedua, karya-karya terjemahan, yang dikerjakan secara baik, akan meningkatkan keterampilan bahasa para siswa. Melalui karya terjemahan, siswa dihadapkan pada variasi dalam struktur kalimat, idiom, dan penggunaan bahasa. Ini tidak hanya memperkaya kosakata mereka tetapi juga meningkatkan kemampuan mereka dalam menulis dan berbicara.

Ketiga, penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia adalah kontributor penting bagi perkembangan bahasa. Ia meningkatkan kosakata bahasa Indonesia, memperkenalkan struktur tata bahasa baru, memperkaya ekspresi idiomatiknya, dan menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Itu semua menjadikan bahasa Indonesia semakin mampu mengekspresikan gagasan-gagasan yang mungkin terlalu rumit untuk disampaikan pada fase awal kelahirannya.

Untuk semua sumbangan itu, bahasa Indonesia berutang besar kepada para penerjemah. Menerjemahkan kalimat kompleks dari bahasa Inggris, Prancis, atau Jerman dengan sendirinya memperkenalkan bahasa Indonesia pada konstruksi tata bahasa baru. Penerjemah sering harus menemukan cara-cara inovatif untuk menyampaikan makna yang sama, yang kadang-kadang melibatkan pembengkokan atau perluasan aturan tata bahasa Indonesia. Proses ini secara halus memodifikasi dan memperkaya kemungkinan sintaksis bahasa.

Keempat, dengan membaca tentang kehidupan dan pengalaman orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, siswa belajar menghargai keragaman dan mengembangkan empati terhadap kemanusiaan secara universal. Mereka belajar bahwa meskipun kita berbicara dalam bahasa yang berbeda dan hidup dalam konteks budaya yang berbeda, kita semua berbagi pengalaman yang sama sebagai manusia.

19

“Dengan mengikuti kisah beberapa penyintas, kita bisa melihat betapa banyak penderitaan dan kengerian yang disebabkan oleh bom ini pada orang-orang tak berdosa yang bergantung pada keputusan kaisar mereka. Anda dan saya hanya berusaha berempati terhadap hidup mereka, sembari bertanya-tanya mengapa hal-hal mengerikan ini terjadi dan mengapa hal-hal itu masih terus terjadi hingga saat ini?”

Itu salah satu dari banyak sekali komentar orang yang membaca buku Hiroshima, laporan jurnalistik John Hersey, seorang novelis, untuk mengenang satu tahun dijatuhkannya bom atom yang menghancurkan kota itu pada 6 Agustus 1945. John mewawancarai enam korban selamat untuk membuat laporan mendalam tentang hari ketika bom atom dijatuhkan dan penderitaan sesudahnya. Karyanya diterbitkan dalam satu edisi utuh majalah The New Yorker edisi Agustus 1946 dan kemudian terbit sebagai buku dan orang menganggapnya sebagai salah satu karya jurnalistik paling berpengaruh di abad kedua puluh.

Murid sekolah kita, seandainya membaca terjemahan Hiroshima, tentunya memiliki kesempatan berharga untuk memahami apa yang terjadi pada para korban bom atom dan ikut merasakan penderitaan mereka, sebagaimana pembaca yang menulis komentar di atas. Kemampuan merasakan penderitaan orang lain akan menjadikan mereka tumbuh lebih sehat secara emosional. Mereka juga dapat memahami isu-isu rasial dan ketidakadilan sosial di Amerika Serikat jika membaca To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, sambil menarik garis paralel dengan isu-isu serupa yang mungkin ada di sekitar mereka sendiri

Hal sangat berharga lainnya dengan memasukkan sastra terjemahan ke dalam kurikulum adalah karya-karya terjemahan itu akan mempertemukan para siswa dengan berbagai variasi gaya penulisan, tema, dan genre. Ini penting untuk menjaga ketertarikan dan mempertahankan keterlibatan mereka dalam pelajaran sastra. Pertemuan dengan karya-karya Gabriel García Márquez, Haruki Murakami, dan Orhan Pamuk, misalnya, akan menjadi pengalaman berharga bagi mereka untuk berkenalan dengan keterampilan para penulis itu dalam menggunakan teknik mereka untuk mengolah tema-tema dan membangun cerita: realisme magis, narasi non-linear, dan metafiksi dengan struktur kompleks.

20

Tidak semua siswa tertarik pada sastra, tentu saja. Kepada mereka yang tidak tertarik, guru bisa saja menyampaikan bahwa membaca karya terjemahan tetap berharga karena akan membantu mereka meningkatkan keterampilan bahasa, memperluas pemahaman budaya, dan menemukan perspektif baru. Bahkan mereka masih dapat menemukan manfaat praktis, seperti meningkatkan kosakata dan memperluas wawasan.

Bagi mereka yang tertarik pada sastra dan punya minat menulis, perjumpaan dengan teknik-teknik naratif yang beragam bisa mengilhami mereka untuk mengeksplorasi cara-cara baru ketika mereka sendiri menulis—pada saatnya nanti. Mengenal teknik-teknik yang beragam akan memperkaya perangkat penulisan mereka, dan itu memungkinkan mereka membuat cerita yang lebih inovatif.

21

Meniadakan karya terjemahan dari daftar buku-buku yang direkomendasikan akan membuat siswa kehilangan manfaat intelektual, budaya, dan emosional yang diberikan oleh karya-karya tersebut. Perjumpaan dengan beragam tradisi sastra sangat penting bagi mereka untuk menumbuhkan pemahaman lebih luas dan empati yang universal tentang kondisi manusia.

Ini bukan hanya tentang karya terjemahan dari negara lain, tetapi juga karya terjemahan dari khazanah dalam negeri. Kita memiliki banyak bahasa daerah, dan status bahasa daerah adalah bahasa asing bagi bahasa Indonesia. Karya sastra dari berbagai bahasa daerah baru akan menjadi bagian dari sastra Indonesia ketika ia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak memasukkan karya terjemahan ke dalam daftar rekomendasi berarti juga menghilangkan peluang para siswa untuk memahami kekayaan khazanah sastra kita sendiri. Jika saat ini tidak ada terjemahan yang berarti dari karya-karya bahasa daerah, kita menjadi tahu apa yang selayaknya dilakukan: negara perlu memfasilitasi penerjemahan karya-karya sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia.

22

Terakhir, semua pembicaraan di atas mengandaikan bahwa persekolahan di negara kita mampu menjalankan fungsinya untuk membuat murid membaca buku. Kenyataannya tidak begitu. Maka, untuk sedikit logis, sebelum menyodorkan daftar buku yang perlu dibaca oleh anak-anak sekolah dan menerbitkan panduan membaca buku-buku tersebut, seharusnya pemerintah mencari tahu cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang mampu membuat orang membaca buku.

Kita bisa membawa kuda ke air, tetapi tidak mungkin memaksanya minum. Itu pepatah yang cocok dengan apa yang kita bicarakan. Anda bisa memberikan daftar buku-buku yang harus dibaca, tetapi anda tidak mungkin memaksa murid-murid sekolah kita membaca buku yang mana pun dalam daftar itu. Anda harus menjadikan mereka pembaca buku terlebih dulu.[]

Esai24 Juli 2024

A.S. Laksana


A.S. Laksana menulis fiksi dan esai dan pernah menjadi wartawan. Dua kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara dan Murjangkung dipilih oleh majalah Tempo sebagai prosa terbaik, masing-masing 2004 dan 2013. Kumpulan cerpen ketiganya Si Janggut Mengencingi Herucakra (2015) mendapatkan penghargaan sastra dari Badan Bahasa sebagai buku cerita pendek terbaik 2016. Bukunya yang lain adalah Creative Writing. Ia mengikuti residensi tiga bulan di Finlandia, 2017, yang ia gunakan sebagian besar untuk mengunjungi sekolah dasar di sana.