Bontotan sebagai Cerita Fantastik
Suatu Dokumen Fin de Siècle

Ilustrasi (Sulaman) oleh N. Putri

Bontotan adalah sebuah roman karangan Liem Khing Hoo (LKH) yang diterbitkan oleh Paragon Press pada 1937. Ceritanya bernada romantik gelap dengan latar kampung Tembok di pinggiran kota Surabaya. Meski menceritakan kisah horor tentang makhluk jadi-jadian berwujud bontotan, sosok menyeramkan berbalut putih, roman ini sebetulnya adalah cerita roman klasik antara dua sejoli yang melampaui segala perbedaan yang mereka miliki.

Kisah roman seperti itu merupakan trope yang biasa digunakan oleh teks-teks yang diproduksi oleh pengarang keturunan Tionghoa. Elizabeth Chandra pernah menyatakan dalam artikelnya yang berjudul “Women And Modernity: Reading The Femme Fatale In Early Twentieth-Century Indies Novels(2011), fiksi yang dikarang oleh etnis keturunan Tionghoa dianggap picisan (pulp fiction) karena isi teksnya yang tidak mencerminkan budi luhur, berisi adegan seksual, kriminalitas, dan skandal. Juga karena ditulis dengan bahasa Melayu Pasar sehingga ia tidak dianggap sebagai karya Sastra karena jauh dari “penulisan yang indah”, sebuah konsep yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda berbarengan dengan gagasan modernisasi melalui Balai Pustaka (Volkslectuur).

LKH lewat roman Bontotan menginterogasi gagasan modernitas yang dibawa oleh pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka. Doris Jedamski dalam artikelnya yang berjudul “‘Mabuk Modern’ and ‘Gila Barat’ – Progress, Modernity, and Imagination: Literary Images of City-Life in Colonial Indonesia” (1998) menjelaskan bahwa pada dekade-dekade awal abad ke-20 muncul kekhawatiran terhadap “pencapaian modernitas” yang semakin tidak terkendali. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan kota yang pesat ditatap dengan penuh kegelisahan. Pemerintah kolonial Belanda secara singkat menyulap beberapa tempat seperti Bandung, Batavia dan Surabaya menjadi kota, tetapi tetap sesuai dengan kebutuhan pemerintah kolonial. Fenomena tersebut memunculkan berbagai tanggapan dan kritik yang terekspresikan dalam bermacam media, seperti seni rupa, sastra, jurnalisme, fotografi, dan film.

Genre horor menjadi pilihan yang sesuai bagi LKH karena secara inheren genre ini mengakomodasi emosi kegelisahan dan mampu menampilkan pembenturan dua realitas, supernatural dan natural tanpa dianggap tidak masuk akal. Lewat tulisan ini saya ingin menunjukkan bagaimana LKH mengomentari gagasan modernitas dalam Bontotan sekaligus memperlihatkan signifikansinya dalam pembacaan kontekstual atas sejarah sastra Indonesia pada masa kolonial.

Bagi yang belum sempat membaca Bontotan, kisah ini sebetulnya pengulangan kisah klasik era romantik yang tentu saja berbalut horor supernatural. Struktur naratifnya memakai pola whodunnit layaknya cerita misteri dengan alur maju-mundur. Dengan alasan agar mudah dipahami, akan saya ringkas plot Bontotan secara kronologis.

Bontotan menceritakan dua sejoli yakni Soekidja, seorang pemuda dari kota Surabaya, yang jatuh cinta pada gadis Kampung Tembok bernama Trisni. Tiga tahun sebelum peristiwa bontotan meneror Kampung Tembok, keduanya bertemu di Pasar Malam Nasional di Surabaya. Ketika Soekidja mengantarkan Trisni pulang, warga desa tidak senang pada gelagat Soekidja yang mereka anggap perlente, terutama gerombolan Wirja, Ahmat, dan Djaja. Gerombolan ini pulalah yang menghabisi Soekidja dua kali, pertama membuat Soekidja dirawat di rumah sakit dan kedua berakhir di kuburan.

Namun, ternyata itu bukan akhir dari Soekidja. Ia berpura-pura mati agar dapat membalas dendam kepada Wirja dan kawan-kawannya. Tiga tahun kemudian Soekidja meneror Kampung Tembok dan membalas dendamnya dengan menjelma sebagai bontotan. Istri dan anak gadis Wirja menjadi korban pertama teror bontotan. Kenyataan itu membuat Wirja menjadi gila hingga setiap malam ia berlari memutari kuburan. Tidak lama setelah itu Djaja dan Ahmat ditemukan tewas mengenaskan. Terakhir, barulah Wirja yang ditemukan dalam keadaan sama mengenaskannya di area kuburan kampung. Kematian mereka membuat warga semakin percaya bahwa bontotan ini adalah arwah Soekidja yang membalas dendam.

Teror di Kampung Tembok membuat para warga yang dipimpin kepala kampung, Soma, segera memanggil seorang kiai bernama Mantragoena. Tapi karena bontotan ini bukan makhluk halus melainkan Soekidja yang menyamar,  segala mantra dan ilmu sang kiai tidak mempan. Berbekal rasa penasaran dan cinta tulus terhadap Soekidja, Trisni memberanikan diri menemui makhluk jadi-jadian itu sendirian. Setelah bertemu dan mengetahui kenyataan sesungguhnya akhirnya Soekidja mau “bertobat” dan kembali menjadi manusia biasa. Mereka bersatu kembali dan berencana meninggalkan Kampung Tembok. Semua kematian yang diakibatkan oleh Soekidja seolah tidak pernah terjadi.

Dari ringkasan di atas dapat terlihat bagaimana Bontotan dapat dibaca sebagai teks yang berada dalam kediantaraan (liminality). Teksnya sendiri memperlihatkan bermacam kediantaraan, kota dan kampung, modern dan tradisional, natural dan supernatural, hidup dan mati. Dualitas-dualitas tersebut sengaja dihadirkan oleh LKH dalam Bontotan untuk menginterogasi wacana modernitas.

Sebelum melihat Bontotan dalam konteks kesejarahan, mari kita telisik lebih dekat bagaimana keadaan naratifnya sendiri, apa yang bisa kita interpretasikan darinya dan signifikansinya terhadap pembacaan sejarah. Untuk membacanya secara adil, karena ia teks horor maka ia perlu dibaca menggunakan alat analisis teks horor, maka tentu saja kacamata telaah dari Tzvetan Todorov yang cocok untuk mendedah Bontotan.

 

Bontotan Sebagai Genre Fantastik

Nama Tzvetan Todorov mungkin dikenal oleh banyak di antara kita karena mencetuskan istilah “naratologi” atau kita meminjam metodenya dalam menganalisis struktur naratif. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini saya akan menggunakan konsepnya soal genre fantastik. Tawaran genre ini ia tulis dalam bukunya yang berjudul Introduction à la littérature fantastique (1970). Lewat buku itu ia menawarkan penetapan definitif genre fantastik dalam sastra bergenre serta menunjukan metode kritik sastra khususnya yang berkenaan dengan studi genre.

Genre fantastik, sesuai namanya, memperlihatkan suatu gambaran mengerikan, ganjil, atau tidak dapat dijelaskan lewat akal sehat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kefantastikan ini memunculkan keragu-raguan atas kebenaran atau malah kepalsuan dari kehadiran hantu atau makhluk lain yang sama tidak masuk akalnya, sehingga menimbulkan pertanyaan, “apakah makhluk yang aku lihat tadi kenyataan atau imajinasi belaka?” Dengan pertanyaan tersebut, genre fantastik menggeser pandangan umum terhadap “fantasi” yang sering dilihat sebagai wahana eskapisme, atau alternatif bahkan idealisasi, dari suatu dunia karena menunjukkan persimpangan antara dunia kita dan dunia lain. Dengan demikian, seseorang (bisa tokoh atau pembaca) akan ragu (hesitate) dalam mengambil sikap karena saking berbaurnya kedua dunia tersebut. Keraguan (hesitation) menjadi konsep penting dalam genre fantastik karena ia mengacu pada ambiguitas realitas yang ada dalam teks. Sederhananya, genre fantastik adalah teks yang membahas keraguan terhadap natural dan supernatural.

Tentu saja sebagian kritikus sastra Indonesia akan mengatakan penggunaan konsep ini agak riskan, atau bahkan problematik, untuk membaca teks dari Timur, khususnya Indonesia. Pasalnya, konsep yang dikemukakan Todorov berakar pada aliran pemikiran periode setelah era Pencerahan yang membuat dikotomi natural dan supernatural. Sedangkan sikap kita terhadap peristiwa supernatural sudah terinternalisasi sejak lama seperti yang dituliskan oleh Ong Hok Ham dalam  bukunya yang berjudul Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2018). 

Namun, untuk bisa dibaca sebagai genre fantastik, Bontotan harus memenuhi tiga kondisi yang dirumuskan Todorov. Pertama, Bontotan harus membuat pembaca meyakini bahwa dunia yang ia baca adalah sama dengan dunia pembaca, serta menghadirkan keraguan dalam diri pembaca atas penjelasan dari teks yang bersifat natural maupun supernatural. 

Kondisi pertama sudah terpenuhi sejak awal cerita. Bontotan dibuka dengan narasi deskriptif kota Surabaya dan kampung-kampung di sekitarnya ketika malam Selasa Kliwon yang bertepatan dengan malam Hanggara-Kasih (Anggoro Asih atau Anggara Kasih). 

Malem Hanggara – Kasih jaitoe malem hari Selasa Kliwon, kaloe orang djalan di brapa kampoeng-kampoeng dari kota Soe­rabaja, aken selaloe dapet membaoe baoenja roepa­-roepa doepa jang dibakar, . . . maleman itoe ada ma­lem dari roch-roch aloes dan dedemit banjak gen­tajangan dan berkwasa di doenia, dan dengen memo bakar itoe doepa katanja nanti mendapet kasihnja (ketjinta’annja) itoe sekalian orang aloes. (5)

Dapat dilihat dari kutipan di atas LKH memulai cerita dengan menampilkan bermacam hal yang dekat dengan tradisi masyarakat Jawa. Pembaca kontemporer dapat menghubungkan kenyataan dalam roman dengan dunianya sendiri. LKH tidak menghadirkan latar fiktif atau pun memodifikasi dunia dalam Bontotan. Ia berusaha sedekat mungkin dengan tradisi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Hal ini ia lakukan untuk menghadirkan ilusi bahwa dunia dalam teks sama dengan dunia pembaca sehingga kengerian dalam teks dapat tersalurkan kepada pembaca. Pola penyajian tersebut adalah motif yang sering muncul dalam teks horror seperti dalam karya Abdullah Harahap atau Novie Irianne.

Kondisi kedua adalah adanya keraguan yang dirasakan oleh seorang tokoh atas semua kejanggalan yang dialaminya, sehingga pembaca dapat menghubungkan dirinya dengan tokoh tersebut. 

Untuk memenuhi kondisi kedua, pembaca dapat menghubungkan dirinya dengan tokoh Pak Wirja, warga Kampung Tembok yang meragukan kehadiran bontotan di kampungnya sendiri. Bahkan ketika anaknya, Soetinah, kemudian istrinya meninggal karena diteror bontotan Pak Wirja masih meragukan makhluk jadi-jadian itu. 

Tapi biarpoen begitoe, Bapak ‘Tinah tida gam­pang pertjaja penoeh itoe semoea tjerita’an jang dikarang oleh pendoedoek, kerna kamoedian ia ber­pendapetan bahoea matinja sang anak adalah kerna sakit demem dan oemoemnja orang jang lagi terse­rang oleh demem memang seringkali bisa mengatjo atawa membajangken hal-hal jang tida karoean.(11)

Pak Wirja menjadi representasi bunyi pikiran modern yang berusaha untuk mengandalkan nalar daripada menyerah pada alasan-alasan supernatural. Karakter ini mewakili pemikiran pembaca dengan pemikiran modern.

Ketiga, pembaca harus mengambil sikap tertentu terhadap teks, yakni melepas pembacaan alegoris dan puitik sehingga membacanya secara literal. Kondisi yang terakhir ini sebetulnya tidaklah sulit bagi kita sebagai pembaca. Karena persoalan klenik juga supernatural bukan hal yang jauh dari keseharian kita. Sebut saja pamali dan gagasan lain yang setara membuktikan bahwa mitos, bila melihatnya secara Barthesian, adalah bagian dari sistem komunikasi masyarakat kita. Ditambah lagi pola cerita yang diceritakan secara mengalir tanpa interupsi oleh narator membuat pembaca dapat menangguhkan ketidakpercayaannya (suspension of disbelief). 

Namun, perlu digarisbawahi kembali bahwa bagi Todorov ketiga kondisi tersebut tidak memiliki nilai yang setara. Kondisi pertama dan ketigalah yang membentuk sebuah fiksi bergenre fantastik, sedangkan kondisi kedua bisa saja tidak terpenuhi oleh teks.

Kemudian Todorov menjelaskan bahwa genre fantastik berada di tengah ketidakpastian. Ia berada di antara dunia yang patuh pada hukum supernatural dan natural. Jika teks memilih salah satu dari kedua itu maka teks tersebut telah beranjak dari genre fantastik. Genre fantastik berada di antara keganjilan (uncanny) dan menakjubkan (marvelous). 

Ketika teks tidak menjelaskan ketidakmasukakalan yang terjadi dalam cerita dan membiarkannya menjadi bagian dari supernatural, ia berarti ada dalam spektrum genre ganjil. Sebaliknya, ketika teks menjelaskan suatu kejadian yang tidak masuk akal tersebut sebagai bagian dari wilayah natural maka ia masuk ke dalam genre menakjubkan. 

Perlu digarisbawahi juga bahwa Todorov menggunakan istilah ganjil (uncanny) tidak mengacu pada konsep yang ditawarkan oleh Freud. Bagi Todorov, keganjilan sudah ada sejak kemunculan genre horor itu sendiri. 

Todorov menyadari bahwa cerita tidak akan ajek dalam satu genre saja. Genre fantastik selalu berada dalam kediantaraan. Ia tidak sepenuhnya ganjil maupun menakjubkan, ia ada di tengah tapi condong ke arah ganjil atau menjadi genre fantastik ganjil (uncanny-fantastic). Lalu di mana posisi Bontotan di antara tawaran-tawaran genre ini?

 

Bontotan dan Keraguan atas Modernitas

Bontotan sudah memenuhi tiga prakondisi dasar untuk dibaca sebagai teks fantastik. Pembacaan ini menjadi dasar peneorian dan mempermudah kita untuk melihat bagaimana Bontotan menginterogasi gagasan modernitas. Karena teks bergenre fantastik diwajibkan untuk menunjukkan adanya keraguan (hesitation), baik terhadap realitas supernatural maupun natural. Keraguan itu terlihat dari cara LKH membenturkan dan meleburkan bermacam dualitas. LKH tidak membiarkan pembacanya duduk nyaman dan membaca dalam satu sudut pandang saja.

Seperti yang kita ketahui bersama, modernitas bukan sekadar pijakan historis saja, tetapi merupakan sebuah amalgamasi dari bermacam persoalan sosial yang terjadi selepas Revolusi Industri. Persoalan seperti keterasingan, individualisme serta pemisahan kampung dan kota yang drastis adalah sebagian implikasi dari modernitas. LKH menyadari semua persoalan tersebut dan menyelipkannya dalam roman ini.

LKH membagi Bontotan ke dalam dua penggalan cerita. Bagian pertama Wirja yang menjadi fokalisator kemudian pada bagian kedua cerita beralih ke Soekidja. Pembagian cerita seperti ini sengaja dilakukan oleh LKH agar terlihat jelas kontras keduanya sekaligus memudahkannya mengomentari gagasan modernitas. Lewat bagian pertama kita ditampilkan semacam komentar terhadap realitas natural, khususnya keraguan LKH terhadap modernitas.

Keraguan Bontotan terhadap realitas natural sudah tampak sejak halaman pertama melalui jukstaposisi kampung dan kota. Di malam Hanggara-Kasih para penduduk kampung Tembok menutup rapat rumah karena ada rumor bontotan sedang berkeliaran. Sedangkan penduduk kota Surabaya tidak keluar rumah karena sedang ada wabah flu. 

Pendoedoek males kloearan sebab itoe masa ada bertjaboel penjakit influenza jang lagi menjerang seloeroe kota Soerabaia, lagi di brapa kampoeng ada terdenger brapa orang telah djadi korbannja “bontotan” (6).

Dari narasi di atas terlihat jelas LKH sedang menyandingkan wabah influenza dengan bontotan. Lewat sandingan tersebut memperlihatkan realitas natural dan supernatural berada dalam dunia yang sama. LKH jelas-jelas tidak menunjukkan bontotan sebagai sekadar mitos agar warga kampung tidak terkena influenza atau cara warga kampung menalar influenza. Akan tetapi,  LKH memperlihatkan bagaimana bontotan dan wabah memiliki nilai yang setara.

Pembaca kemudian berkenalan dengan tokoh Wirja sebagai antagonis dalam cerita yang tidak percaya dengan rumor bontotan sedang berkeliaran di kampungnya. Wirja adalah seorang modernis tulen di kampungnya. Hanya ia seorang yang tidak percaya pada bontotan. 

“Bangsa kita memang soeka pertjaja tachajoel, goegon-toehon”, katanja Bapa Soetinah. “Akoe tida pertjaja bahoea Bontotan itoe sesoenggoehnja ada. Itoe tjoema tertjipta kerna orang poenja kebodo’an dan kepertjaja’an sadja.”(6)

Cara Wirja menyandingkan kebodohan dengan kepercayaan menunjukkan sikap Barat yang penuh arogansi dan merendahkan terhadap realitas supernatural. Penjelasan-penjelasan supernatural sering dianggap sebagai keterbelakangan berpikir dalam spektrum pemikiran modern. Lewat sini LKH menunjukkan problematisasi identitas warga kampung dan juga pengaruh modernitas yang tidak berhenti di kota saja.

Bahkan istri Wirja menyamakan suaminya dengan orang “Blanda”, Wirja mengamininya:

“Kaoe ini seperti Blanda sadja, selaloe tida maoe pertjaja pada setan-setan.”

“Memang; anggepan dan pemandengannja orang koeIit poeti ada betoeI, soeal setan atawa memedi itoe dianggep satoe nonsens besar,” (7)

Istri Wirja menyebut suaminya sebagai orang Belanda karena ia berpikir layaknya orang Belanda bukanlah sekadar candaan, tetapi juga melibatkan proses peliyanan (othering). Tokoh Wirja didemonisasi, ia tidak hanya liyan dalam keluarganya dan bahkan kampungnya sendiri, tetapi juga dalam hal identitas nasionnya. Apalagi melihat konteks kontemporer, saat itu Indonesia masih belum merdeka, maka panggilan tersebut tentu bernada sangat negatif. Hal ini tidak hanya menunjukkan sikap Bontotan yang tidak setuju dengan pandangan modernis, tetapi juga penegasan soal kompleksitas identitas yang dialami masyarakat Indonesia pada era kolonial. 

Mengikuti cara berpikir Barat dapat dibaca pula sebagai strategi Wirja untuk bertahan hidup pada era kolonial. Wirja dengan sengaja meliyankan diri sendiri dari komunitasnya agar merasa sejajar dengan bangsa penjajah.

LKH kemudian mengeksploitasi tokoh Wirja dengan lebih mendalam ketika nasib nahas ditimpakan kepadanya. Akibat ucapannya yang sompral, bontotan mendatangi dan meneror istri dan anak gadisnya, Soetinah, hingga mati ketakutan. Wirja menjadi gila.

Semalem itoe Wirja telah mengame atawa mengatjo tida karoean. Ternjata ia itoe telah berobah ingetannja. Ia djadi gila. 

Laen malemnja, kombali Wirja mengatjo dan me­maki-maki Bontotan, sambil bertreak-treak ia lari menoedjoe ka koeboeran dan bikin roesak brapa maesan koeboeran. (53)

Kegilaan yang dialami Wirja dapat kita interpretasikan bukan hanya karena ia merasa ditinggal kesepian atau gagal dalam menjaga keluarganya, tetapi karena ia mengalami benturan dua realitas, natural dan supernatural. Ia yang sebelumnya merupakan liyan dipaksa oleh bontotan untuk masuk ke dalam komunitas kampungnya. Wirja tidak sanggup menerima bahwa kedua realitas tersebut bersatu. Wirja menyadari dirinya berada dalam kediantaraan, sebagai seorang modernis, tidak mampu menerima ambiguitas, ia harus mantap pada satu pijakan realitas.

LKH kemudian menunjukkan hal sebaliknya pada penggalan cerita yang kedua. Pada titik ini kita berkenalan dengan protagonis roman Bontotan yakni Soekidja yang menjadi pembanding (narrative foil) dari tokoh Wirja. Berbeda dari Wirja, Soekidja menerima kediantaraan dan ambiguitas, bahkan memanfaatkannya. Lewat tokoh ini LKH mengeksplorasi bagaimana wacana supernatural dan natural melebur menjadi satu.

Bagian kedua bermula dengan cerita awal mula Soekidja bertemu kekasihnya, Trisni. Kisah cinta keduanya berujung nestapa akibat Wirja dan kawan-kawannya yang tidak senang dengan kehadiran Soekidja sebagai orang dari kota Surabaya di kampung mereka. Wirja yang merasa superior dengan pemikiran modernnya tidak ingin ada yang menyainginya di Kampung Tembok.

Setelah Soekidja masuk ke rumah sakit untuk kedua kalinya akibat dikeroyok oleh Wirja, ia dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapa-siapa, Soekidja berpura-pura mati dengan cara mengambil identitas pasien di sampingnya yang meninggal. Ia lalu pergi dari rumah sakit dan mencari cara untuk membalas dendam. Cara pertama yang muncul dalam  kepalanya adalah: 

Akoe bergoeroe pada brapa goeroe il­moe-ilmoe gaib. . . . Akoe jakin­ken ilmoe si’ir, ilmoe kedot (tida mempan sendjata) dan laen-laen matjem ilmoe. . . . Tapi ternjatalah akoe belon dapetken ilmoe kesaktian jang sampoerna. (80)

Dari kutipan di atas kita melihat LKH menegaskan kembali bahwa realitas supernatural ada dalam dunia Bontotan meski sulit untuk digapai. Kehadiran realitas tersebut membuat dunia dalam Bontotan menjadi ganjil (uncanny). Meski demikian, LKH tetap memberi jarak antara realitas supernatural dengan dengan kehidupan sehari-hari untuk menjaga nilai mistisnya.

LKH mempermasalahkan keganjilan ini dengan membuat Soekidja menjadi makhluk jadi-jadian yang bukan supernatural. Tokoh Soekidja yang gagal mendapat ilmu gaib memilih menjadi hantu bohongan.

“Sampe pada soeatoe hari, kebetoelan akoe mene­moe koran ‘Pewarta’ dan di bagian kabar kota ada. terdapet kabaran bahoea di brapa kampoeng Soerabaia pendoedoek telah rame membitjaraken tentang­ Bontotan.

“Ini kabaran ada sanget menarik hatikoe. Sigra akoe dengen mendadak dapet pikiran dan satoe da­ja boeat bikin pembalesan. Akoe kepingin djadi sa­toe Bontotan!” (80)

Soekidja tidak hanya memanfaatkan kepercayaan penduduk terhadap supernatural, melainkan menggunakannya sebagai senjata untuk memuluskan upaya balas dendamnya. Cara Soekidja mendapatkan pengetahuan untuk menjalankan rencananya ditampilkan dengan cara modern, yakni lewat surat kabar. 

Saya yakin LKH menjadikan Soekidja sebagai protagonis adalah karena kelenturannya dalam bersikap terhadap wacana supernatural dan natural, tradisional dan modern. Karena lewat Soekidja, LKH dengan mudah mempersoalkan realitas supernatural dan natural. 

Soekidja yang gagal mendapat ilmu gaib akhirnya kembali ke kota Surabaya. Di sana ia melakukan  bermacam persiapan untuk menjadi bontotan. 

” . . . Akoe beli kaen poetih dan perabot boeat merias moeka, membikin tjaling (sioeng) palsoe dan koekoe palsoe.

“Kemoedian dengen resia pada soeatoe malem akoe pergi ka koeboeran sini [kampung Tembok], tjontreng moekakoe dengen tjat item, bikin jang sanget menakoetken. kroedoengin seantero toeboehkoe dengen kaen poe­tih. Satelah mana akoe laloe kloearken soeara djeri­tan dan rintih-rintihan jang menjeremken. (80)

Bontotan ternyata makhluk material dan merupakan pengejawantahan mitos di Kampung Tembok. Pada titik ini segala realitas supernatural yang sudah dibangun sejak awal roman seakan-akan runtuh. Efeknya adalah pembaca jadi mempertanyakan kembali kenyataan-kenyataan yang telah mereka baca. Akan tetapi, LKH membongkarnya kembali ketika menunjukkan bahwa Soekidja sebagai bontotan tetap berada dalam spektrum supernatural.

“Kaoe poenja soeara-soeara ada seperti soeara dari sorga, Tris,” Bontotan itoe kata poelah de­ngen hati tratapan kerna sanget terharoe. “Kaoe telah kasi kehidoepan baroe padakoe jang telah mati.” (76)

Seperti yang telah dijelaskan di awal, kita tidak perlu melihat kematian di atas sebagai ungkapan alegoris maupun ungkapan puitik. Soekidja sebagai bontotan secara literal berada dalam liminalitas hidup dan mati. Sehingga pada akhir peristiwa di kampung Tembok, ketika dendam sudah terbalaskan, Trisni mengembalikan Soekidja menjadi manusia lewat cintanya.

“Bertaoen-taoen akoe poenja raga telah kosong dan iblis jang djahat telah ganti isiken itoe. Tapi sekarang, Tris, kaoe telah oesir itoe iblis djahat dan kaoe kombaliken akoe poenja djiwa . . . .” (78)

Dari kutipan itu semakin jelas terlihat upaya LKH mengembalikan lagi entitas bontotan menjadi nonmaterial. Cara ini terlihat puitik mengingat hal tersebut dilakukan ketika Soekidja menjadi manusia (makhluk material). Dengan pengembalian kedudukan bontotan dalam realitas supernatural maka LKH membuat bontotan menjadi sosok yang tidak tetap pada satu realitas saja. Bontotan berada di antara realitas natural dan supernatural.

 Bagi saya, kenyataan bahwa bontotan adalah hantu bohongan, hasil penyamaran Soekidja dan bukan arwah gentayangan, justru yang membuatnya jadi menyeramkan dalam  gagasan modern. Lagi pula, gagasan modern secara langsung merujuk pada ketetapan dan keterukuran. Dengan menjadi entitas yang kabur berarti bontotan melawan kategori dan klasifikasi tetap mana pun. Bontotan sebagai hantu dapat dilihat juga sebagai personifikasi dari kecemasan dan keragu-raguan terhadap kemajuan yang tak berakhir dari modernitas. 

 

Bontotan sebagai Dokumen Fin De Siècle

Ada hal yang luput dibahas oleh Todorov ketika melakukan pembacaan teks lewat genre fantastik, yaitu dimensi sosial dan kultural. Bagaimana pun juga pembacaan yang ia lakukan menggunakan pendekatan strukturalis yang memberi perhatian terhadap teks secara saksama. Sehingga Rosemary Jackson pada 1980 menulis buku Fantasy: The Literature of Subversion untuk menambahkan pembacaan dimensi sosial dan kultural ke dalam analisis genre fantastik. Menurut Rosemary, fantastik bukan cuma genre, melainkan sebuah cara. Beranjak dari pergeseran ini, saya akan menggunakan fantastik sebagai cara untuk menunjukkan signifikansi Bontotan dalam konteks sejarah sastra Indonesia.    

Bontotan layak dibaca sebagai dokumen fin de siècle (jelangan abad). Memang Bontotan dan fiksi karangan keturunan Tionghoa cenderung berisikan topik erotik dan sensasional, tapi bukan berarti kita menyelesaikannya dengan membacanya sebagai roman picisan. Secara tekstual, Bontotan mempermasalahkan wacana modernitas juga identitas. Secara historis, corak penulisan Bontotan mengikuti teks-teks fiksi yang hadir menjelang penutup abad 19 yang dikenal sebagai di Eropa sebagai tulisan Dekadensi. Teks-teks yang termasuk golongan dekadensi mengeksplorasi emosi-emosi gelap manusia yang berhubungan dengan kematian dan seksualitas, seperti yang dipraktikkan oleh Bontotan.

Sekilas kemunculan Bontotan terlihat terlambat beberapa dekade untuk dibaca sebagai dokumen fin de siècle. Tetapi, jika melihat konteks sejarah penerbitan kalangan keturunan Tionghoa pada dekade awal abad ke-20, kebanyakan teks yang laku pada kurun waktu itu bukan karya asli keturunan Tionghoa melainkan saduran karya-karya klasik genre populer dari Eropa maupun Tiongkok. Doris Jedamski, Elizabeth Chandra, juga A. Teeuw mencatat adanya kecenderungan penerjemahan teks-teks klasik populer dari penulis seperti Alexandre Dumas, Rudyard Kipling, Mark Twain, dan Hector Malot.

Teeuw mencatat dalam artikelnya “The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature” (1972) bahwa pembaca teks terjemahan cenderung membaca tulisan-tulisan bertema petualangan romantik. Menurut Teeuw, hal tersebut terjadi karena teks bertema pertualangan romantik pada beberapa aspek dekat dengan tema-tema yang ada dalam pewayangan, sehingga secara tematik menjadikannya familiar bagi pembaca di Indonesia. Tidak hanya teks dari dataran Eropa, penerbit yang dikelola keturunan Tionghoa juga menerjemahkan teks dari Tiongkok.

Seperti yang dicatat oleh Nio Joe Lan dalam Sastera Indonesia-Tionghoa (1962), pada masa kolonial terbit majalah dari kalangan keturunan Tionghoa yang laku keras di pasaran. Majalah-majalah seperti Penghidoepan (1925) dan Tjerita Roman (1929) yang diterbitkan di Surabaya menghadirkan teks terjemahan. Sam Kok menjadi salah satu yang paling laris. Karya itu dicetak hingga 62 jilid yang setiap jilidnya terdiri atas 80 halaman. Popularitas bacaan terjemahan dari bahasa Tiongkok yang diproduksi penerbitan keturunan Tionghoa menarik perhatian Kepala Bagian Biro Pers (Commissie voor de Volkslectuur) Balai Pustaka. Menurut Nio Joe Lan, popularitas bacaan tersebut baru membuka pintu bagi penulis keturunan Tionghoa untuk menghasilkan karya.

Selain berhubungan dengan situasi produksi teks oleh penerbit dan kecenderungan pembaca yang masih menggemari teks terjemahan, keterlambatan hadirnya Bontotan di awal abad ke-20 menurut saya juga berhubungan juga dengan faktor idiosinkratik teks horor. Sebagaimana yang diutarakan oleh Fred Botting dalam bukunya Gothic (The New Critical Idiom) (1996), teks gotik (begitu juga horor) menunjukkan adanya keluapan (excess). Kehadiran Bontotan yang terlambat, menyiratkan suatu letupan emosi penulis keturuan Tionghoa yang sebelumnya hanya tersalurkan sedikit lewat teks-teks bergenre lainnya.

Menempatkan Bontotan dalam celah sejarah sastra Indonesia seharusnya tepat karena dekade 1930-an adalah era transisi dalam sejarah global. Revolusi Industri masih suam, terjadi perubahan pola dan gaya hidup di kampung-kota. Orang-orang menjadi harus mendefinisikan kembali pemahaman mereka soal ruang dan tempat. Imbasnya, bermunculan aliran sastra seperti modernisme di Amerika Serikat dan realisme magis di Amerika Latin, sedangkan di Indonesia muncul langgam Pujangga Baru.

Transisi dari tradisional ke modern yang dialami Indonesia pada dekade tersebut terlihat dari generasi Pujangga Baru yang menjadi arus utama sastra Indonesia saat itu. Persoalan nasionalisme, kebahasaan, dan penetrasi budaya Barat menjadi topik utama karena hal-hal tersebut dipandang sebagai sebuah angin segar. 

Namun, Bontotan yang menjadi bagian dari sastra Melayu Tionghoa, melihat modernitas sebagai sesuatu yang tidak sederhana. Bontotan sebagai sebuah teks seperti halnya hantu bontotan yang berada dalam kediantaraan, menunjukkan ambivalensi terhadap modernitas, ia tidak sepenuhnya menyetujui atau pun menolaknya. Roman ini hadir sebagai alegori dari identitas Indonesia yang selalu menjadi (becoming) dalam persimpangan sejarah Indonesia sebagai diri sendiri (Self) dan Barat (Other).

Esai30 April 2022

Alwin Firdaus Wallidaeny


Alwin Firdaus Wallidaeny menulis dan meneliti tentang sastra dan film yang berkaitan dengan isu horor serta lingkungan. Selain itu, ia mengajar di jurusan Sastra Inggris Universitas Islam 45 Bekasi. Tulisannya dapat diakses di situs hororarium.com