Representasi Tokoh-Tokoh Padri
—dalam Lakon-Lakon Wisran Hadi
Empat Lakon Perang Paderi karya Wisran Hadi memperlihatkan citra kaum Padri yang relatif moderat alih-alih keras atau radikal. Sikap dan tindakan kekerasan kaum berjubah putih itu dikoreksi dan dievaluasi serta dikalahkan dengan akal sehat, kepatutan, dan kewajaran. Di tengah menguatnya praktik agama sebagai yang bengis dan serba-memaksa, tawaran berupa Islam yang lebih akomodatif, sadar diri, dan melihat ke dalam, patut diketengahkan. Dalam berbagai tinjauan atas karangan-karangannya, Wisran lebih banyak disebut berbicara tentang adat yang keropos, marginalisasi perempuan di tengah masyarakat matrilineal, penafsiran ulang atas mitologi dunia Melayu, dst., namun pengkajian tentang corak keberislaman yang diusungnya dalam karya-karyanya belum mendapat pembicaraan yang berarti. Tulisan ini bermaksud membaca lakon-lakon Wisran di atas dari sudut pandang bagaimana ia mencitrakan Kaum Padri di Minangkabau, mencitrakan Islam pada kurun tertentu dari sejarah, lewat representasi atas para tokoh utamanya.
Keempat naskah lakon yang dimaksud ditulis dalam waktu yang berbeda-beda, dipublikasikan dan kemudian dipentaskan juga dalam waktu yang tidak sama, tetapi seluruhnya dalam masa Orde Baru.[1] Keempatnya telah memenangkan sayembara penulisan naskah drama, dialih-wahanakan ke atas panggung, dan mendapat sambutan yang cukup meriah (penonton sandiwara nyaris selalu ramai setiap kali Wisran dengan Bumi Teater-nya mementaskan naskah-naskah itu). Sementara pujian berdatangan, dia juga tidak bisa tidak menerima cibiran: saat banyak dramawan tengah ‘meminimalkan kata’, Wisran Hadi justru memaksimalkan dan mengeksplorasinya habis-habisan.[2] Tetapi yang paling diingat ialah gugatan dari penguasa atasnya: naskah-naskah itu dianggap “mengganggu” pandangan orang ramai tentang sosok pahlawan dari kalangan Padri. Di masa Orde Baru, banyak orang di Sumatera Barat telah bereaksi atas sebuah karya kreatif produk imajinasi. Berbagai protes bermunculan dari berbagai kalangan di sana. Gubernur Sumatera Barat, misalnya, sampai harus meminta panitia membatalkan pementasan salah satu naskah Wisran itu dalam sebuah Pekan Raya Islam di Festival Istiqlal.[3]
Kalau dicermati, dalam keempat lakon itu, Wisran justru berbicara tentang suatu kurun yang jauh, alih-alih mengkritisi kondisi Orde Baru. Masa sejarah yang dibicarakannya ialah masa ketika Islam mengalami proses ‘menyejarah’ yang menentukan sekaligus menegangkan, dari sebagai nilai-nilai normatif ke dalam praktik-praktik keseharian dalam lingkup sosial-kultural masyarakat lokal Minangkabau (persisnya Perang Padri) pada awal-awal abad ke-19. Bahan sejarah itu diolah Wisran dengan sentuhan kreatif untuk keperluan seni pertunjukan, sehingga hasilnya tidak seharusnya dibaca sebagai risalah sejarah.
Yang lebih bernilai dari naskah-naskah ini kemudian adalah sebuah episteme—sistem pemikiran yang diusung penulisnya ke tengah gelanggang masa kini. Karena naskah-naskah ini berbicara tentang suatu periode penting lagi krisis dalam sejarah Islam di Minangkabau, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana citra Islam (lewat tokoh-tokoh Padri) direpresentasikan dalam naskah-naskah lakon ini. Dengan menjawab ini akan terjawab pula wacana keislaman seperti apa yang hendak diketengahkan Wisran dalam naskah-naskan lakon tersebut. Untuk menjawab itu kita bisa melihatnya pada (1) ‘suara siapa yang dominan’ dalam naskah dan (2) suara ‘siapa yang akhirnya dimenangkan’ si pengarang.
Perguruan: Tuanku nan Tuo
Perbedaan pandangan merebak sepanjang lakon ini, baik antara Tuanku nan Tuo dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh aliran keras (dari Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh), perdebatan antara sang guru dengan istrinya ataupun perdebatan antarsesama murid. Pertentangan di antara guru dan murid-murid terus meruncing seiring perguliran cerita. Guru mengajarkan kebebasan berpikir kepada murid-muridnya, tetapi di sisi yang berbeda dia cemas akan akibat yang dihasilkan dari kebebasan yang diajarkannya itu. Ia mengatakan, “Perguruan ini punya hukum sendiri. Kami memberikan kebebasan berpikir. Aku melindungi pikirannya.” Tetapi pada dialog kemudian, dia menyangsikan tindakannya sendiri dengan kesadaran bahwa kekebasan berpikir itu telah melahirkan perbedaan pandangan yang tak terdamaikan, yang pada ujungnya juga menciptakan perbedaan pada sikap dan tindakan.
Murid-murid yang berseberangan dengan guru merupakan tema umum naskah ini. Selalu ada antitesis dari sang murid yang membantah tesis sang guru, begitupun sebaliknya. Kadang-kadang, guru kewalahan meladeni ‘perbedaan pandangan’ dengan murid-muridnya sendiri. Sulit menemukan kata sepakat dan ketika kesepakatan berhasil dibuat, hal itu mentah lagi oleh perbedaan yang lain. Naskah ini seperti debat yang panjang, yang seperti tanpa akhir.
Perbenturan pandangan yang tiada henti itu juga terjewantahkan dalam bentuk pengkhianatan. Ada kecurigaan sesama anggota perguruan. Ada murid-murid yang melakukan protes dengan cara membikin petisi. Ada pula tangan-tangan kekuasaan yang hendak mencampuri urusan internal perguruan, sesuatu yang direpresentasikan lewat kehadiran dubalang (prajurit dalam sistem adat) sebagai perpanjangan kekuasaan kaum adat. Perbedaan pandangan ini pada akhirnya memang menghancur-leburkan mereka sendiri.
Sekalipun begitu, suara guru nyaris selalu hadir pada hampir setiap bagian lakon yang terdiri dari empat bagian ini. Pada bagian pertama, terjadi perdebatan antara guru (Tuanku Nan Tuo) dan lelaki (Haji Miskin) yang berakhir pada kemenangan sang guru.
GURU:
… Pembakaran itu adalah awal dari segala permusuhan. Hal inilah yang tidak dapat kubenarkan. Beberapa waktu mendatang, bila kita masih hidup, kita akan menangisi tindakan yang dilakukan sekarang. Api itu takkan teduh dalam hati mereka, diri kita sendiri, dan saling menghidupkannya dengan alasan masing-masing.
Pada bagian kedua, terjadi perdebatan antarsesama pengikut perguruan. Guru tidak hadir secara fisik, tetapi pengaruhnya tetap mendominasi pemikiran dan tindakan pengikut.
Pada bagian ketiga, terjadi perdebatan antara guru (Tuanku Nan Tuo) dan pemuda (Tuanku nan Renceh). Di sini, sekali lagi guru dimenangkan dengan kalimat pengunci ada padanya. Pada bagian akhir naskah, mengemuka narasi panjang (lebih dari dua halaman naskah) tentang sikap guru yang dapat dilihat sebagai suara yang dimenangkan pengarang.
GURU:
… Sejak dulu kukatakan, tegakkanlah kebenaran. Tegakkan. Itu harus. Tapi janganlah kebenaran menjadi alat untuk saling memisahkan kita. Buat apa kebenaran yang diperjuangkan itu? Untuk memusnahkan kehidupan? Tidak bukan? … Kita diberi berbagai hal oleh Tuhan. Pemegang kekuasaan, pemegang kebenaran, dan sebagainya. Tapi tidak untuk saling memusnahkan. Kenapa kalian tidak mau berendah hati agak sedikit dan tidak merasa sombong—bahwa bukan kita saja yang diinginkan kebenaran dan bukan mereka saja inginkan kekuasaan. Ya, bagaimana lagi. Semua orang ingin sesuatu yang besar. Kebenaran. Kemurnian. Kekuasaan. Dan mereka pun menyebut malapetaka ini adalah perang dari penegak kebenaran. Mereka namakan dirinya kaum Paderi! Memakai jubah putih pertanda kesuciannya! Tapi betulkah ada kebenaran yang sesungguhnya dalam jubah-jubah putih itu? Aku ingin, kita-kita ini, kembali merenung agak sesaat. Kita renungkan, di mana letak kekuasaan pada kebenaran, dan di mana letak kebenaran pada kekuasaan.
Representasi Tuanku Nan Tuo, dari uraian tersebut, adalah representasi Padri yang akomodatif terhadap adat, memilih jalan pendidikan dan dakwah secara perlahan-lahan dalam mengubah keadaan ketimbang jalan kekerasan yang revolusioner. Narasi-narasi yang dominan adalah penolakan atas pertumpahan darah, pengendalian diri ketimbang tergesa-gesa dalam bertindak, sikap berhati-hati sang guru dalam menentukan sikap di tengah gebalau persoalan dan pilihan-pilihan untuk ‘diam’ di tengah kecamuk perseteruan yang semakin sulit diurai. Tuanku Nan Tuo tetap tidak bisa memilih antara kekuasaan yang dipegang kaum adat dengan kebenaran yang dibawa oleh kaum Padri. Tuanku Nan Tuo berjalan di antara keduanya.
Dalam sejarah Padri sendiri, Tuanku Nan Tuo adalah tokoh gerakan Padri awal yang memang terbilang moderat. Hanya Tuanku Nan Tuo di Cangkinglah yang “banyak mengajar dan menobatkan orang-orang yang telah tersesat”, kata Hamka, tetapi “amat sedikit yang menurut.” Sekalipun susah untuk mengubah masyarakat, “Tuanku Nan Tuo menolak perjuangan secara kekerasan,” tulis Hamka lagi, dan dia “dengan sabar dan sadar memasukkan juga pengaruh Islam ke dalam masyarakat”.
Hal ini diperkuat juga dengan keterangan Christine Dobbin yang menulis bahwa Tuanku Nan Tuo tidak pernah senang dengan kekerasan antardesa yang dilakukan Padri yang merupakan ciri utama gerakan Padri. Perguruan di bawah Tuanku Nan Tuo, menurut Dobbin, “sejak dulu membaur dengan damai dalam panorama agraria. Mereka tidak merupakan tantangan bagi masyarakat luas.” Ketika pemimpin-pemimpin Padri membujuknya untuk terlibat atau setidak-tidaknya mendukung mereka dalam gerakan yang lebih keras, “Para pimpinan Padri tidak bisa membujuk Tuanku Nan Tua untuk merestui upaya mereka. Mereka, sebaliknya, malah terbujuk untuk bersulmpah kepada guru mereka”.
Tidaklah aneh jika kemudian Wisran menampilkan citra yang sama dalam naskahnya. Sejauh pembacaan kita, Wisran tidak melakukan ‘dekonstruksi’ yang berarti atas sang tokoh. Apakah kecenderungan yang sama juga ditemukan pada tokoh Padri lainnya?
Perburuan: Tuanku nan Renceh
Tuanku Nan Renceh, generasi Padri berikutnya, adalah salah seorang tokoh Padri yang dalam sejarah dikenal paling keras. Menurut Jeff Hadler, bersama Haji Miskin dan Tuanku Rao, dia merupakan neo-Wahabi yang dakar—yang paling keras kepala. Bersama aliansi Hariman Nan Salapan, ia memicu perang agama terpanjang dalam sejarah puak Minangkabau. Untuk menunjukkan keseriusan gerakannya, dia bahkan menikam etek-nya (bibinya) sendiri sampai mati karena kedapatan melanggar ‘syariat’—larangan makan sirih.
Namun, Wisran tampak mempertanyakan kembali citra itu lewat dialektika yang panjang. Perbedaan pandangan lagi-lagi mewarnai nyaris seluruh lakon ini: antara Nan Renceh sebagai Padri masa silam dan Nan Renceh sebagai Padri masa depan, antara narasi Nan Renceh dan narasi sejarawan, antara Nan Renceh dan gurunya Tuanku Nan Tuo dan inspiratornya Haji Miskin, antara Nan Renceh dan bibi atau eteknya (yang kemudian dibunuhnya), juga dengan mamak (paman), ayah dan kekasih yang kemudian jadi istrinya.
Tokoh Tuanku Nan Renceh mengevaluasi seluruh citra historis atas dirinya. Pembaruan Padri yang keras dengan membakar balai adat, seperti yang dilakukan Haji Miskin, dianggapnya tindakan “kalap lagi bodoh”, yang hanya akan “menyulut api permusuhan”. Sementara keikutsertaannya dalam aliansi Harimau nan Salapan dianggapnya sebagai “romantisme seorang pelajar” dan keikutsertaannya dalam gerakan Haji Miskin disebut sebagai ‘persekongkolan’ untuk memaksakan kehendak dengan jubah mentereng ‘pembaharuan’.
PEMUDA III:
Kau kira, apa yang dibicarakan kedua orang itu?
PEMUDA IV:
Tawar-menawar atau gertak sambal untuk saling memaksakan kehendak masing-masing.
PEMUDA III:
Pasti persoalan jodoh. Yang tua sudah lama tidak beristri, yang muda belum juga dapat jodoh. Persekongkolan perjaka-duda ini memakai topeng mentereng, yaitu,
PEMUDA III, IV:
Pembaharuan! Husy!
Tuanku nan Renceh yang keras kepala itu, “neo-Wahabi yang dakar” dalam bahasa Hadler, di tangan Wisran justru hadir sebagai sosok pendamai dan penyatu. Narasi-narasi tentangnya ditantang dan dibalikkan: dia pintar, cerdas, jujur, seorang tokoh yang berpendidikan, yang tidak akan mungkin melakukan tindakan-tindakan semisal pembunuhan bibinya hanya karena makan sirih. Sekalipun kemudian, representasinya yang keras lagi radikal menguat seiring perguliran lakon, yakni ketika Tuanku Nan Renceh dikalahkan dalam debat-debat panjang dengan pemain-pemain sandiwara atau sejarawan, akan tetapi representasi atasnya yang kemudian dimenangkan Wisran adalah Tuanku Nan Renceh yang tidak terlalu radikal.
Wisran memenangkan akal-sehat, kewajaran, sebagai puncak dari praktik kebenaran. Yang dimenangkan tetap juga suara guru yang moderat. Nan Renceh yang semula radikal tidak berdaya di hadapan suara gurunya itu dalam beberapa kali perdebatan. Dia mengakui kekeliruannya dan kekerasan tindakannya, dan ‘menyerah’ bersalah di hadapan gurunya.
Kita akan segera melihat pada naskah berikutnya, apakah representasi yang sama masih akan dominan dan pandangan moderat masih akan dimenangkan pada sosok Padri ketiga.
Pengakuan: Tuanku Imam Bonjol
Naskah lakon ini terdiri dari tigabelas lintasan. Pada dua lintasan pertama, naskah ini menampilkan gambaran Bonjol sebagai negeri yang tenang dan maju, seakan terpisah dari kemelut yang tengah berkecamuk di luar. Namun, pada lintasan yang ketiga, ketenangan itu segera saja terusik ketika dua orang Padri dari luar Bonjol datang meminta perlindungan. Kedatangan itu memulai sengketa dalam benteng Bonjol. Pertentangan pandangan kemudian semakin runyam dan kompleks, melibatkan Tuanku Imam versus anggota Barampek Selo Bonjol, Datuak Gadang (pihak adat) versus Barampek Selo Bonjol, Barampek Selo Bonjol versus Padri dari luar Bonjol yang mencari perlindungan (Tuanku Bandaro & Malin Basa), Srikandi Bonjol dan kaum laki-laki. Kehadiran Tuanku Bandaro dan Malin Basa, yang mengkampanyekan ‘jihad Padri membersihkan agama’, memaksa pemimpin-pemimpin Bonjol untuk memutuskan apakah harus ikut serta dalam gerakan itu atau tetap menjaga netralitas Bonjol yang selama ini telah coba dipertahankan. Proses itu semakin rumit ketika Belanda ikut terlibat dalam peperangan, yang memaksa Bonjol pada akhirnya harus memilih jalan peperangan dengan memihak Padri.
Dalam naskah ini, Tuanku Imam Bonjol, generasi ketiga Padri, hadir sebagai representasi yang berbeda dari anggapan umum dan representasi resmi negara yang mengkampanyekannya lewat pendirian tugu, gambar pada mata uang, dan buku sejarah di sekolah-sekolah pada umumnya: berkuda dengan gagah, dengan keris panjang terhunus ke udara. Tuanku Imam Bonjol dalam representasi Wisran adalah Padri yang peragu, penuh pertimbangan dalam memutuskan suatu tindakan, lebih sebagai ulama-pemikir ketimbang aktivis gerakan reformasi Islam yang berapi-api. Tuanku Imam yang evaluatif, alih-alih agresif. Pergolakan Padri disebutnya sebagai “peristiwa yang menyedihkan.”
Jika pun pada akhirnya Bonjol terlibat dalam perang, itu adalah pilihan yang kurang buruk di antara yang terburuk.
TOKOH I:
Kita berada dalam keadaan yang serba sulit. Mereka mengepung, mengharuskan kita untuk berpihak.
TOKOH III:
Ya. Pada pihak Bonjol.
TOKOH I:
Bagaimanapun tentu kita cenderung memihak Paderi
TOKOH IV:
Kenapa begitu?
TOKOH I:
Mana yang lebih baik, memilih teman sesama muslim atau bukan?
TOKOH III: (PADA TOKOH IV)
Dia mulai ragu. Yang kutakutkan adalah akibatnya.
TOKOH IV:
Bila Tuanku Imam dikepung keraguan, semuanya akan jadi berantakan.
TOKOH III:
Kita harus memihak Bonjol, Tuanku.
TOKOH I:
Kita bertahan terhadap kepungan mereka, secara tak langsung kita telah memihak Paderi!
Penekanan pada kehadiran ‘pihak asing’ tampak di sini. Jika di dua naskah sebelumnya tidak ada anasir asing, pada naskah ini kehadiran “tangan-tangan asing ikut mengacaukan keadaan”.
Bagi Tuanku Imam Bonjol sendiri, “Mereka tidak menjernihkan keadaan, tetapi menjadikan keadaan semakin parah. Mereka ingin mengambil keuntungan dari penderitaan kita.” Itulah sebabnya, pilihan untuk memihak Padri adalah pilihan yang paling masuk akal bagi dia.
Akan tetapi, peperangan yang bertahun-tahun itu justru telah menimbulkan kehancuran parah bagi rakyat Bonjol. Desakan peperangan jugalah yang ‘memaksa’ Bonjol menyerbu ke utara, ke Rao dan Mandahiling.
LELAKI VIII:
Kalau mereka yang menyerang ke Rao dan Mandahiling tidak datang har ini, besok mungkin kelaparan akan dimulai.
LELAKI VII:
Mereka pergi untuk berperang, bukan menjemput makanan.
LELAKI VIII:
Sebagaimana lazimnya, yang menang harus menguasai semuanya.
LELAKI VII:
Ya ya. Makanan, budak-budak, ternak dan (NAMANYA DIPANGGIL). Saya. (PERGI).
LELAKI VIII:
Pada suatu saat nanti, Bonjol akan dipenuhi budak-budak. Yang akan selalu patuh kepada siapa saja yang berkuasa.
KEPALA GUDANG: (MENGUMUMKAN).
Saudara-saudara. Diharap bersabar beberapa saat. Nasi habis! (SEMUA ORANG RIBUT DAN MEMAKI-MAKI).
Penyerangan ke Rao dan Mandailing itu bukan hanya meninggalkan trauma bagi kaum yang diserang, tetapi juga menyisakan depresi yang akut bagi para penyerang. Representasi perang dalam naskah ini adalah sebagai sesuatu yang ‘jahat’, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi penyerang, tidak hanya bagi yang kalah tetapi juga bagi si pemenang.
TOKOH VI:
Kemenangan buat Bonjol. Ya. Kemenangan. Ya. Beratus-ratus, beribu-ribu manusia tidak berkepala telah tersungkur di ujung pedang ini. (TERTAWA SENDIRI). Ya, ya, kemenangan. (TIBA-TIBA MENJADI TAKUT SEKALI). Itu mereka. Mereka mengikutiku sampai ke sini. Mereka menuding. Tidak. Tidak. Aku bukan pembunuh anak-anak! Aku bukan pembunuhmu. Aku sayang padamu. Bapak kalianlah yang menyebabkan kalian terbunuh. Mereka tidak mau menyerah. Tidak mau memberiku makanan. Jangan tuding aku, jangan. Jangan. Aku bukan pembunuh kalian.
TOKOH I:
Sembahyanglah. Mohonkan ampun pada Tuhan.
TOKOH VI: (TIBA-TIBA BERDIRI).
Kau! Kau! Karena kau aku mata gelap! Kau suruh aku ke Rao, Mandahiling, Air Bangis! Perjuangan katamu! Syahid katamu! Mana pedang! Mana pedang! Kupancung! (DIA TIDAK MENEMUKAN PEDANGNYA, LALU TERTAWA SEPUASNYA. KEMUDIAN JATUH LAGI DI TANAH DAN TAK BERKUTIK).
TOKOH I:
Dibawanya kemenangan untuk Bonjol, tapi dia tidak mampu memikul kesalahannya. Tuhan, lepaskan kami dari neraka ini.
Di tengah kehancuran akibat perang, suara-suara perempuanlah yang kemudian tampil dan akhirnya dimenangkan. “Bonjol telah sesak napas oleh darah”. Kata ‘srikandi-srikandi Bonjol’ itu lagi: “Kami telah terluka sebelumnya, perdamaian akan dapat menyembuhkan kami”. Suara perempuan mendapat banyak tempat. Suara mereka menjadi wakil dari rakyat banyak yang tidak menginginkan peperangan (sebagaimana tergambar dalam lintasan kelima dan lintasan ketujuh, juga lintasan kesebelas hingga ketigabelas). Pada akhirnya, suara perempuan juga menjadi suara yang mewakili khalayak laki-laki. Tuanku Imam Bonjol akhirnya memutuskan untuk tidak akan lagi berperang:
TOKOH I:
Aku tidak tega melihat penduduk Bonjol antre mengambil makanan. Perang ini harus dihentikan! Dengan cara bagaimanapun! Katakan pada semua orang, Bonjol tidak akan melakukan peperangan lagi.
Dapatlah dikatakan, pada naskah yang ketiga ini, representasi Wisran atas Tuanku Imam Bonjol bukanlah representasi yang melawan arus ‘narasi sejarah’ seperti yang banyak disangkakan.
Tuanku Imam Bonjol, dalam narasi sejarah, bukanlah tokoh Padri yang dakar macam Tuanku nan Renceh dan Haji Miskin. Tuanku Imam Bonjol, semisal yang dicatat Hadler, adalah “seorang yang pada akhirnya gagal secara militer, yang meninggalkan ideologinya sendiri, dan yang, karena beralih dari aksi kekerasan ke perdamaian, dihadiahi pembuangan dan penderitaan.”
Sekali lagi dikutip Hadler: “Kemenangan satu-satunya Tuanku adalah kesadaran akan keputusannya yang keliru telah bergabung dengan Padri; dia memulai kampanye permintaan maaf dan restitusi yang sebagian besar diabaikan oleh baik elite tradisional lokal maupun militer Belanda”.[4]
Penyeberangan: Sultan Abdul Jalil Tuanku Sembahyang
Naskah ini mengisahkan Sultan Abdul Jalil Tuanku Sembahyang, pada masa ketika Perang Padri sudah usai dan gerak Padri telah dimatikan Belanda dalam segala lapangan kehidupan.
Anasir-anasir Padri dibersihkan dari masjid dan surau (dari perguruan-perguruan), dari lapangan adat di balai-balai permusyawaratan nagari, juga dari sistem hukum ketika hukum pidana adat (yang diwarnai secara cukup signifikan oleh hukum pidana agama [Islam]) diganti dengan undang-undang pidana Belanda.
Mantan komandan artileri Padri yang disegani itu kini harus berada di bawah kekuasaan pemenang perang yang hendak menghabiskan seluruh pengaruh Padri dengan kampanye-kampanye anti-Padri (Padriphobia) ke sekujur Minangkabau.
Dalam kondisi Padri sebagai pihak yang kalah, Sultan Abdul Jalil ditampilkan sebagai sosok Padri yang korektif; “dievaluasinya kesalahan-kesalahan Padri,” bunyi sebuah dialog. Pertikaian yang terjadi selama Padri dianggapnya sebagai pertikaian “dua golongan fanatik”, baik kaum adat maupun Padri sama-sama wakil dari sikap ekstrem.
Padri, dalam representasinya, adalah “orang-orang yang berlindung di balik perjuangan agama”.
DEMANG:
Ya. Perang yang baru lalu telah memisahkan dan membuat kita harus memilih. Sejak rumah gadang kita dibakar Paderi, dendamku tidak pernah padam. Dengan berbagai cara aku berusaha membalas dendam. Tuan Komandan mengangkatku jadi Demang, kuterima. Menyandang gelar sutan yang seharusnya gelar pusaka untukmu atas desakan Tuan Komandan kuterima juga. Aku dihanyutkan dendam dan tak seorang pun menyusulku atau melepaskan aku dari arus yang semakin deras. Dan Wan sendiri, kakakku, tak pernah menegurku. Seakan menyimpan dendam padaku karena gelar pusaka yang kurampas. Sejak itu kita bersimpang jalan.
IMAM:
Agama lebih menenteramkan jiwaku, Yung. Jika Paderi membakar rumah kita, bagiku yang membakar itu bukan agama. Tapi orang-orang yang berlindung di balik perjunagan agama untuk melampiaskan kecemburuan sejarah kepada kita. Aku tidak memihak mereka, tapi aku harus mempertahankan agama. Harus! Tanpa agama negeri ini akan dihanyutkan Batang Karan sampai ke Muara, sampai ke laut, sampai kita tidak ada lagi dalam catatan kehidupan ini.
Lagi-lagi, naskah ini merayakan pertentangan pandangan: antara Angku Imam (Tuanku Sembahyang) dan Angku Demang, antarpengikut kedua belah pihak, antarsesama jemaah dan antarpengurus, juga pertentangan yang lebih alot di antara anggota keluarga kerajaan yang masih tersisa mengenai siapa yang paling berhak mewarisi Kain Cindai kekuasaan setelah Angku Imam menyingkir ke hulu dan Angku Demang hanyut ke muara.
Suara-suara yang dominan dalam naskah ini adalah suara Angku Imam dan Angku Demang, dua kakak-beradik yang dihanyutkan pertengkaran (arus Batang Karan). Di sisi lain, hadir Tuan Komandan (negara kolonial) yang tidak muncul secara fisik tetapi muncul sebagai bayang-bayang yang represif dalam wujud Opas dan surat-surat undangan rapat yang dibawanya. Demang takut pada suara-suara yang tak tampak itu; dia tampak tampak tergesa-gesa dan kalang kabut dengan setiap kehadiran Opas. Demang dan Imam menjadi pihak yang dipengaruhi oleh bayang-bayang kekuasaan itu, tunduk padanya (terutama Demang) dan tak berdaya terhadapnya (Imam).
Lantas siapa yang akhirnya dimenangkan? Demang akhirnya melawan kekuasaan kolonial yang memperkudanya, sekalipun akhirnya ditangkap dan dibuang. Namun, dengan begitu dia telah kembali mengukuhkan dirinya sebagai wakil kaum adat yang berdaulat (setidak-tidaknya dalam impian) melawan keinginan Belanda bahwa “dia harus menganggap dirinya sepenuhnya pegawai negeri dan bukan sebagai Tuan negeri ini”. Sementara Imam menolak ketidakberdayaannya dengan menyingkir ke hulu. Setelah lolos dari penjara ‘si kafir’, dia “mengasingkan diri ke hulu”. Di tengah pertikaian yang tidak terselesaikan, Imam memilih “bertahan di tepian”, tidak masuk ke gelanggang arus huru-hara, “ke arus Barang Karan”, sekalipun dibujuk berkali-kali para utusan Tuan Komandan. Pihak yang menang dalam segitiga pertikaian ini tentu saja adalah Tuan Komandan, wakil kolonial; pemenang terakhir dalam sejarah Perang Padri.
Namun, dalam naskah ini Wisran tampaknya ingin memenangkan suatu gagasan dan sikap: terhadap penjajahan, agama dan adat harus resisten dan bersatu melawan, di tengah badai prahara (penjajahan dari luar dan perseteruan di dalam) adat dan agama mesti kembali sebagai pegangan.
Dialog di akhir naskah ini mengukuhkan itu:
IMAM:
Khatib! Ikat kemudimu! Tetapkan arah kiblatmu!
Datuk! Jangan ragu. Gunakan galah adatmu!
Reno! Selendangmu akan hancur jika dijilat air bercampur garam!
Tancapkan keyakinanmu, Bilal!
Tikungan tajam menunggu di depan!
***
Representasi Wisran atas tokoh-tokoh utama Padri tampak punya garis yang sewarna: representasi Padri yang korektif dan evaluatif atas keradikalan gerakan mereka maupun pendahulu mereka. Wisran memenangkan akal-sehat, kewajaran dan kepatutan sebagai puncak dari praktik kebenaran, bukan sikap keras dan revolusioner. Yang dimenangkan tetap juga suara tokoh-tokoh yang moderat yang tampak mendominasi keempat lakon. Suara-suara radikal yang muncul dari tokoh-tokoh dalam lakon ini acap tidak berdaya (atau dibuat tak berdaya) di hadapan suara-suara yang lebih moderat itu. Dalam beberapa kali perdebatan berhadap-hadapan muka, tokoh-tokoh radikal mengakui kekeliruan dari kekerasan tindakan mereka, dan ‘menyerah’ bersalah.
Pandai Sikek, 2022
Kepustakaan
Christine Dobbin, Islamic revivalism in a changing peasant economy: Central Sumatra 1784-1847, London: Curzon Press, 1983.
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Haji Abdulkarim Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera Barat, Jakarta: Umminda, 1982.
Jeffrey Hadler, Muslims and matriarchs: cultural resilience in Indonesia through jihad and colonialism, Ithaca, New York: Cornell. University Press, 2008.
Pandu Birowo, “Teater ‘Tanpa Kata’ dan ‘Minim Kata’ di Kota Padang Dekade 90-an dalam Tinjauan Sosiologi Seni”, Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 2, (November) 2014, h. 314-335.
Sahrul N., Kontroversial Imam Bonjol, Padang: Penerbit Garak, 2005.
Sahrul N., “Islamic Culture in the Four Role of Paderi War by Wisran Hadi”, dalam Diane Butler (ed.), Proceeding of the International Seminar on “Art and Spirituality”, 9 November 2016, ISI Padangpanjang, h.183-204.
Syahnir Aboe Nain (transliterator), Naskah Tuanku Imam Bonjol, Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2005.
Wisran Hadi, Empat Lakon Perang Paderi, Bandung: Angkasa, 2002.
[1] “Perguruan: Tuanku Nan Tuo” memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara tahun 1978; “Perburuan: Tuanku Nan Renceh” ditulis pada 1982; “Pengakuan: Tuanku Imam Bonjol” ditulis tahun 1979; dan “Penyeberangan: Sultan Abdul Jalil” ditulis sejak tahun 1971 dan dirampungkan pada 1982. Keeempat naskah ini kemudian dikumpulkan dan dibukukan dalam Empat Lakon Perang Paderi (Bandung: Angkasa, 2002).
[2] Pandu Birowo, “Teater ‘Tanpa Kata’ dan ‘Minim Kata’ di Kota Padang Dekade 90-an dalam Tinjauan Sosiologi Seni”, Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 2, (November) 2014, h. 314-335.
[3] Sahrul N., Kontroversial Imam Bonjol (Padang: Penerbit Garak, 2005).
[4] Narasi ini direkonstruksi Hadler dari catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol yang ditulisnya di masa pembuangan di Sulawesi. Lihat: Syahnir Aboe Nain (transliterator), Naskah Tuanku Imam Bonjol (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2005).
Deddy Arsya
Deddy Arsya, lahir dan menghabiskan masa kecil di Bayang, Pantai Barat Sumatra. Sehari-hari bekerja sebagai dosen & pengarang lepas. Bukunya, Odong-odong Fort de Kock, terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik Pilihan Majalah TEMPO tahun 2013. Penghargaan yang sama diperolehnya untuk kali kedua pada tahun 2019 untuk buku Khotbah Si Bisu. Sementara Penyair Revolusioner masuk dalam shortlist Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017. Ia juga memperoleh Wisran Award untuk buku Mendisiplinkan Kawula Jajahan pada tahun 2019. Bukunya yang lain berupa buku prosa berjudul Rajab Syamsudin Penabuh Dulang (2017), buku kumpulan esai berjudul Celana Pendek dan Cerita Pendek (2018), dan sebuah buku berisi kisah-kisah humor berjudul Ustad x. & Simalanca (2020). Karya termutakhirnya, Arkeologi Asmara (2022).