Ping-pongan Simbol
Membaca Salah Satu Puisi Putu Vivi Lestari

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Judul puisi Putu Vivi Lestari:

Dari sekian banyak puisi Putu Vivi Lestari, puisi dengan judul yang interpretatif di atas menawarkan kebebasan sekaligus keterikatan. Simbol garis vertikal dan horizontal dengan skala 2:1, perpotongan keduanya berada di sepertiga tubuh vertikal dan setengah tubuh horizontal, jelas sekali ia mengingatkan kita pada simbol Nasrani—baik Ortodoks, Kalotik, ataupun Protestan. Terserah ingin menyebutnya apa: Salib, Palang Yesus, Silang Suci, Tanda Hitam Kristus, apa pun; sebab penyair menghadirkan simbol—bukan kata atau frasa yang bermakna (nyaris) konkret, maka pembaca, dengan referensi beragamnya, akan menamai puisi ini sesuai referensi masing-masing.

Saya sendiri memilih Salib.

Dari judul yang multi-tafsir, kita diberi waktu untuk mengumpulkan referensi perihal simbol tersebut. Agaknya diksi yang muncul sebagai referensi bergerak bergandengan membentuk sebuah jalan narasi peristiwa, bukan letupan kesan atau imajinasi parsial. Mari masuk ke bait pertama:

 

Dosa

adalah firman

hari ini

 

Referensi menjadi benang merah yang menuntun kita masuk. Sembari berpegang pada referensi, kita memunguti diski-diksi yang ada. Kaitan antara Dosa pada baris pertama, adalah firman pada baris kedua, serta hari ini pada baris terakhir bait ini, akan tersambung dengan sendirinya dalam pikiran berkat makna yang dibawa oleh setiap kata. Keputusan penyair memilih kata dosa—bukan maksiat, salah, syirik, keliru, kejahatan, atau kedurhakaan—semula menggiring pembaca kepada interpretasi negatif, bila tidak digandeng oleh referensi kisah-kisah atau mitos yang beredar; antara dosa dan firman. Beberapa di antaranya: (1) kisah pelacur (identik dengan manusia penuh dosa) yang masuk surga sebab memberi minum anjing kehausan, (2) kisah pemabuk (sama seperti pelacur) yang masuk surga karena meninggal dalam kondisi sedang beribadah.

Perluasan narasi peristiwa bisa saja bebas ke sana kemari, dan saya memperluas narasi puisi ini ke arah yang tampak terang, yakni peristiwa kehamilan di luar ikatan pernikahan; seperti peristiwa Maria mengandung tanpa pendamping (yang umumnya digambarkan sebagai laki-laki).

Kembali kepada diksi, bila diperhatikan, posisi kosakata lainnya tampak tidak sekokoh dosa. Kekuatan dosa yang berujung pada kepositifan kian kuat dengan hadirnya firman—alih-alih kalam, perintah (Tuhan), sabda, atau titah. Bicara ketukan dalam membaca, kata titah terasa lebih bersambung dengan diksi setelahnya: Dosa/adalah titah/hari ini. Akan tetapi, dari segi makna, titah tidak merujuk kepada Tuhan, ia berafiliasi kepada raja, atau pemimpin dunia. Begitu pun dengan perintah, yang—bila dibandingkan dengan firman—afiliasinya condong ke sosok manusia ketimbang Tuhan.

Kemudian, kehadirannya yang dimiringkan, secara visual, menumbuhkan kecurigaan sendiri kepadanya: dengan visual yang berbeda dari bait lainnya, apakah bait pertama ini merupakan abstrak dari puisi ini? Apakah ia lebih penting dari bait-bait yang lain? Ataukah mungkin ia bukan termasuk bait? Saya lebih menerimanya sebagai abstrak dari puisi berjudulkan simbol salib ini.

Pembaca, selanjutnya akan beranjak ke bait kedua bersama bekal pertanyaan: dosa macam apa yang menjadi firman pada masa itu?

 

Bunga karang

(selaput lendir uterus lunak)

membenam

bulan keenam

malaikat

Galilea

mencelupkan firmannya

di rahimku

 

Bait ini bisa kita tafsirkan sebagai proses peletakan benih di rahim Maria—sebagai perluasan narasi peristiwa puisi. Ini diperkuat dengan penyebutan Galilea, yakni, sepertiga wilayah Israel yang pada masanya merupakan lokasi kejadian tersebut—sesuai sejarah Nasrani.

Yang menarik dari bait ini adalah penggunaan tanda kurung pada baris kedua. Apakah selaput lendir uterus lunak ditujukan sebagai penjelasan tambahan dari definisi Bunga karang pada baris pertama? Bunga karang, terkait sejarah Nasrani, adalah benda yang, pada masa itu, digunakan sebagai alat pembersih dubur setelah buang air besar. Sebelum Yesus disalib, bunga karang digunakan oleh prajurit Romawi untuk mencucuki mulut Yesus. Oleh karenanya, baris kedua tersebut tampak berdiri sendiri; bukan penjelasan tambahan bagi baris pertama. Jika baris kedua disingkirkan sejenak, baris ketiga dan baris pertama dapat terhubung: Bunga karang membenam.

Meski demikian, penggunaan tanda kurung tetaplah menarik karena kehadirannya menjadi penanda upaya penyair mengaitkan ketiga baris tersebut. Jika direntangkan, maka kita akan dapati mereka demikian: Bunga karang, (ke) selaput lendir uterus lunak, membenam.

Selanjutnya, baris keempat sampai kedelapan nampak naratif dan dapat direntangkan: bulan keenam malaikat Galilea mencelupkan firmannya di rahimku. Rentangan tersebut menggiring pembaca ke pemaknaan berbeda—cenderung membelokkan. Senada dengan tiga baris sebelumnya, kita juga telah menemukan pembelokkan—meskipun tanpa tanda kurung. Kehadiran Galilea yang pada rujukan sejarah Nasrani adalah sebuah tempat, bukan sosok malaikat, menciptakan gerak pingpong pada penafsiran pembaca: melompat dari rujukan yang sejak awal menjadi landasan pembacaan—sehingga secara sadar kemudian membubuhkan di sebelum Galilea (bulan keenam malaikat di Galilea mencelupkan firmannya di rahimku.), menuju sudut pandang lain yang membiarkan sosok baru malaikat Galilea lahir dalam puisi ini; lepas dari rujukan awal.

Selain itu, gerak pingpong terjadi pula dalam kronologi bilamana kita kembali kepada rujukan awal. Baris pertama sampai ketiga merupakan proses sebelum Yesus disalib, sedangkan selanjutnya adalah proses Dirinya yang mulai ditanamkan pada tubuh Maria.

Meski demikian, saya sangat terkesan dengan baris ketujuh dan kedelapan bait ini; kuncinya ada pada kata kerja mencelupkan. Sampai di sini, siapakah yang firmannya dicelupkan ke rahim? Apakah firman Tuhan? Ataukah “sekadar” si malaikat? Penulisan firmannya tanpa –Nya dengan huruf N kapital mulanya melahirkan asumsi bahwa puisi ini hadir dengan simbol ketuhanan tanpa tendensi mengagungkan sosok itu sendiri. Namun, tampaknya tidak demikian sebab terdapat kata Tuhan dengan huruf kapital pada bait ketujuh. Maka dari itu, dapatlah kita tunjuk malaikat Galilea sebagai sumber firman sekalipun firman acapkali didefinisikan sebagai kata (perintah) Tuhan. Namun, hal itu tidak berlaku pada puisi ini lantaran peluang untuk membelok dari rujukan sejarah telah terbuka; kita ingat tafsir sebelumnya yang membiarkan sosok baru, malaikat Galilea, lahir dalam puisi Putu Vivi ini.

Beranjak menuju bait ketiga:

 

Bulan keenam

bibirku belum merah

oleh sesat kata-kata

kerling bunga pacar

sembunyikan kuku

dengan jemari

yang belum selesai

meneliti gurat tubuhnya

mimpi menggenapkan

tubuhnya tak sampai padaku

 

Setelah malaikat Galilea mencelupkan firman ke rahim aku lirik, apa yang terjadi? Firman dalam rahim pada bulan keenam membawa imajinasi pembaca ke sebuah narasi perkembangan benih menjadi janin. Karena itu, kita diajak memperhatikan tubuh aku lirik—Maria—yang bibirnya belum merah oleh sesat kata-kata di bulan keenam.  Berkaca dari referensi perkembangan janin usia enam bulan yang sudah mampu menanggapi dan sedang dalam proses melengkapi organ tubuh, tampaklah kita diminta untuk lebih masuk, kali ini tembusi tubuh aku lirik: berhadapan dengan janin yang sembunyikan kuku dengan jemari yang belum selesai meneliti gurat tubuhnya. Akan tetapi, mengapa tubuhnya tak sampai padaku (aku lirik)?

Dengan bertahan pada pingpongan yang menjauh dari rujukan sejarah, saya masuk ke dalam kondisi Maria, sebagai representasi perempuan mengandung, yang terbayangkan belum dapat menyentuh keturunannya meski si keturunan sedang berada dalam tubuhnya. Mimpi menggenapkan kondisi tersebut. Akan tetapi, jika kita kembali pingpong ke rujukan sejarah, ada temuan menarik dari bunga pacar pada baris keempat bait ketiga ini.

Dalam Kidung Agung 1 ayat 14 muncul istilah bunga pacar yang berbunyi, “Bagiku kekasihku setangkai bunga pacar di kebun-kebun anggur En-Gedi”. Pacar, yang pada Kitab Kidung Agung, disebut sebagai lambang sukacita, menjadikan pembaca akhirnya berkesimpulan bahwa janin ialah bunga pacar yang dengan kerlingannya telah sembunyikan kuku dengan jemari.  Ialah kekasih bagi Maria.

Kemudian, pada bait keempat, Putu Vivi melakukan pengulangan; empat baris yang awalnya muncul pada bait kedua, dijadikannya pembuka untuk bait ini:

 

Malaikat

Galilea

mencelupkan firmannya

di rahimku

menyelipkan Kshetra yang jauh

bukan oleh janji masa lalu

13 tahun pengasingan

mata dadu

atau sankhas Bisma

yang menderu di angin

melambai

panji Arjuna

pengabdian dan kesucian

 

Setelah mencelupkan firman di rahim Maria, Malaikat Galilea menyelipkan Kshetra yang jauh. Kshetra, dalam kamus Hindu adalah sebuah tempat suci; dalam bahasa Inggris ia sepadan dengan temple—konteksnya pun sama, bisa tempat, bisa juga ketenangan batin. Terdapat kejutan pada bait ini karena kita, yang sedari awal menyusuri kekudusan Nasrani, tiba-tiba disemburkan kekudusan Hindu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuat pembaca seperti terlempar  keluar dari kendaraan satu ke kendaraan lainnya—meski masih berada dalam rute narasi yang sama.

Pingpong dari rujukan sejarah Nasrani ke sejarah Hindu telah menumbuhkan kesan  bahwa yang dikejar penyair tidak terdapat pada kamus Nasrani, sehingga ia mesti mencari di kamus lain; dan ketemulah sejumlah diksi yang pas dalam kamus Hindu. Diksi dalam rujukan sejarah hanyalah pakaian bagi tubuh puisi; ia bisa menggunakan pakaian Nasrani, pun pakaian Hindu, sesuai kebutuhan.

Dari baris kelima hingga akhir nyatanya suasana narasi tidak lagi ditempatkan pada Yesus, melainkan pada janji masa lalu dalam mitologi Mahabharata: terlihatlah jelas pada 13 tahun pengasingan (Arjuna), juga hubungan sengit antara ia dan Bisma. sankhas Bisma / yang menderu di angin / melambai sedikit memperjelas situasi janji masa lalu.

Bait kelima dibuka dengan pengulangan pada baris terakhir bait sebelumnya, dan secara kontras melempar kita kembali ke kekudusan Nasrani dengan menggandeng di Yordan pada baris setelahnya.

 

Pengabdian dan kesucian

di Yordan

sungai cuma mengirim

merpati

di padang gurun

tinggal 40 hari

keinginan

 

Berisikan tujuh baris, bait ini mengabstraksi perjalanan pembaptisan Yesus, yang di dalamnya, berlatar padang gurun dengan merpati sebagai perwujudan Tuhan. Yohanes si pembaptis, selain membaptis Yesus, juga menjadi saksi bahwa merpati, yang turun dari langit menuju Yesus, merupakan Tuhan. Setelah dibaptis, Yesus berpuasa selama 40 hari di sebuah gua sebelum nantinya memulai masa pelayanan pada umat. Temuan tersebut tertera pula dari baris kelima hingga baris ketujuh: di padang gurun/tinggal 40 hari/keinginan. Bisa diasumsikan bahwa keinginan tersebut ia tinggalkan di padang gurun, Yesus tidak membawanya ke gua.

Mengapa menggunakan keinginan alih-alih hasrat, impian, niat, dan lain-lain? Diksi pilihan Putu Vivi berada di garis tengah; antara yang kudus dan yang umum—cenderung sederhana. Lain dengan hasrat yang lebih condong pada nafsu badaniah, sedangkan impian sendiri terseret oleh dikotomi positif, tapi sarat ambisi besar.

Menuju bait ketujuh, Putu Vivi mengulang dua baris—baris kedua dan ketiga—pada bait ketiga untuk diletakkan pada baris pertama dan kedua bait ini.

 

Bibirku belum merah

oleh sesat kata-kata

memutar tali pusar

kaku

boneka menunggu

wajan mengepul

tudung saji

masa lalu, kini, dan esok

hingga puting susuku

jatuh

karena cecapan

yang tak selesai

 

Diksi tali pusar/kaku dan puting susuku/jatuh juga cecapan/yang tak selesai saling bertautan demi membangun narasi peristiwa menyusui Maria, konkret tanpa menyilakan pemaknaan lain masuk. Meski demikian, mengapa penyair menggunakan boneka menunggu ketimbang anak, atau bayi yang menunggu? Bila yang diharapkan adalah peristiwa ketidakbergerakan sebuah organisme baru di dunia—yang nota bene bergerak tumbuh, justru boneka terlampau jauh karena ia sejak awal adalah benda mati. Kendati demikian, definisi boneka, yakni “tiruan anak untuk permainan”, ternyata membuka interpretasi lain terhadap baris tersebut. Bilamana bayi tersebut lahir dari peristiwa tidak serius—sekadar main-main, atau bahkan “kecelakaan” (tidak diharapkan), maka boleh jadi, di mata si ibu, ia hanyalah sebuah boneka.

Kemudian, kehadiran wajan yang mengepul juga tudung saji, disusul masa lalu, kini, dan esok menyiratkan kesendirian Maria selama mengurus buah hatinya. Penanda waktu, diperkuat dengan empat baris terakhir, telah menyodorkan pembaca bagaiman proses mengurusi anak Maria, pada puisi ini, tidak akan pernah selesai.

 

Tetap saja

rusukmu yang berlebih

memungutku

di pinggiran

di pakaian dalamku

Tuhan bersidekap

kitab kata-kata

sesat

aku menebus

dosa vagina

sarang laba-laba lapuk

koyak di taman firdaus

 

Bait kedelapan di atas agak mengejutkan sebab narasi peristiwa secara perlahan dibelokkan; bukan lagi di jalur hubungan ibu-anak, melainkan romantisme lelaki-perempuan. Tetap saja/rusukmu yang berlebih/memungutku/di pinggiran; siapakah -mu di sana? Apakah ia yang mencecap puting susu hingga bagian kecil dari tubuh Maria itu jatuh? Jika iya, maka ialah Yesus. Ataukah Tuhan? Sebab pada baris selanjutnya terdapat di pakaian dalamku/Tuhan bersidekap.

Maria yang telah lama hidup sendiri saja, dalam kondisi belum pernah berhubungan badan dengan siapa pun, akhirnya merasakan pengalaman tersebut secara eksplisit. Tengoklah baris kesembilan sampai akhir bait ini: aku menembus/dosa vagina/sarang laba-laba lapuk/koyak di taman firdaus. Emosi bait pertama kembali hadir di sini; bagaimana (nantinya) kehamilan tanpa pernikahan dianggap sebagai dosa vagina.

Yang menarik, lebih dari itu, ialah kitab kata-kata/sesat pada baris ketujuh dan kedelapan. Kita sempat menemukan oleh sesat/kata-kata pada bait sebelumnya. Apakah pembalikan posisi adjektiva ini menyimpan makna berbeda dari yang awal? Pada kasus puisi ini, keduanya terbaca sama sebagai perkataan yang bersifat sesat. Apa saja daftar kata-kata sesat tersebut, tidak dijelaskan pada puisi ini; tidak satu pun muncul. Meski begitu, sekali lagi, jika kitab dan oleh dihilangkan, keduanya bermakna sama. Sama halnya seperti: sesak kerumunan dan kerumunan sesak.

Fenomena adjektiva+nomina dengan pemaknaan sejenis tidak banyak ditemukan—atau bisa saja, belum, karena keterbatasan referensi saya sendiri. Teringatlah saya pada beberapa contoh yang bisa dijadikan sedikit bukti bahwa fenomena di atas tidak banyak terjadi: frasa kelompok warna-warna semacam hijau daun dan merah darah. Daun dan darah, sebagai nomina, justru berperan menjelaskan jenis warna hijau dan merah. Merah yang seperti apa? Yang seperti darah; berbeda dari darah merah, bukan? Pola yang digunakan sama persis seperti tertuju sebelumnya, tapi efek yang muncul berbeda.

Kembali kepada frasa terbahas. Selanjutnya kita kembalikan kitab dan oleh di posisi semula. kitab kata-kata/sesat dan oleh sesat/kata-kata menyiratkan sumber masing-masing. Putu Vivi memilih kitab sebagai sumber kata-kata yang sesat, merujuk pada baris sebelumnya sebagai sumber kitab: Tuhan. Berbeda dari oleh yang telah jelas bersumber dari dirinya, seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Melangkah ke bait kesembilan yang singkat, suasana di bait sebelumnya masih kental terasa.

 

Sebab tegukan botol-botol

terhampar di lorong suram

dan tubuh

bukan cuma milikku

 

Terpikir oleh saya bahwa Maria, pada puisi ini, dibentuk sebagai perempuan yang sadar tubuhnya bukan hanya miliknya. Simaklah bagaimana Tuhan mengutak-atik tubuh aku lirik ini—menaruhkan janin. Pun, Yesus lahir dan secara eksplisit tidak akan pernah lepas dari dirinya.

Beranjak ke baris-baris bagian atas, Sebab tegukan botol-botol/terhampar di Lorong suram. Kata teguk, yang dalam KBBI berarti meminum, teryata tidak memiliki turunan kata tegukan; hanya ada terteguk, ketegukan, dan seteguk. Bila berkaca pada pola kata panggil dan panggilan, artinya teguk dan tegukan adalah turunan dari verba ke nomina berkat akhiran -an. Saya awalnya menduga makna tegukan beririsan dengan makna kata seteguk—bermakna jumlah, seberapa banyak ia meminum. Namun, ternyata tidak tepat sama seperti yang saya asumsikan. Lihatlah contoh berikut:

  1. Beri saya seteguk bir.
  2. Beri saya bir satu tegukan.
  3. Bunyi tegukan bir di mulutmu keras sekali.

Berangkat dari contoh nomor 3, mari menuju frasa tegukan botol-botol. Sejatinya frasa tegukan bir dan tegukan botol-botol berpola sama: nomina-nomina. Darinya, kita temukan imaji yang tidak umum: ada peristiwa meneguk—layaknya melumat—botol-botol, dan bunyi tegukan itulah yang terhampar di lorong suram. Imaji dalam ruang tersebut menggiring pembaca membentuk sebuah bunyi yang, katakanlah, baru dalam ingatan, dan ingatan ini berkelindan dengan ketidakberdayaan –ku atas tubuhnya.

Sekiranya narasi peristiwa kita telah dibelokkan satu kali di bait kedelapan, kini kita bukan sekadar dibelokkan, melainkan mesti menerima bahwa aku lirik berubah; bukan lagi Maria Ibu Yesus.

 

Aku kembali

kelahiran dua kali

menebus dosa

sebelum hari

roti tidak beragi

mengekalkan taurat

 

Kita dapat menyadarinya sejak baris kedua hingga terakhir. Siapa yang lahir dua kali, menebus dosa, lalu mengekalkan Taurat, jika bukan Yesus Putra Maria? Pun, Hari Roti Tidak Beragi adalah hari raya yang dilaksanakan satu hari setelah Hari Raya Paskah. Keduanya masih dalam suasana serupa, yakni merayakan pembebasan diri dari perbudakan dan kebangkitan Yesus setelah menebuskan dosa umatnya; terjelaskan pada Kitab Imamat 23:6. Kerja Yesus telah mengekalkan taurat sebagai kitab sebelum Injil. Maka tersimpulkanlah bahwa aku lirik telah berpindah ke Yesus.

Bait ini sama padat dan lugasnya dengan bait pertama.

 

Maka

di taman Getsemani

sediakan cawanmu

untuk perjanjian baru

agar kaumku

tak lagi menanam teluh

menandak hasrat

karena sejarah cemas

Pilatus terbungkus

kitab kata-kata

sesat

menjemput usia

di kayu palang keramat

Golgota

Jumat agung lengang

 

Bait kesebelas di atas masih dipegang oleh Yesus sebagai aku lirik—kronologis dengan bait sebelumnya. Usai kebangkitan, Yesus makan bersama dengan murid-muridnya. Dicatatlah oleh Lukas, salah satu murid Yesus, sebuah peryataan dari gurunya itu: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.” (Lukas, 22: 15-20).

Munculnya kembali kitab kata-kata sesat semakin membikin menarik puisi ini. Kali ini, apa motivasi kata-kata yang sesat? Kita agaknya akan menemukan jawabannya pada baris-baris di atasnya: agar kaumku/tak lagi menanam teluh/mendadak Hasrat/karena sejarah cemas/Pilatus terbungkus. Pilatus merupakan gubernur kelima Kekaisaran Romawi yang mengadili Yesus sebelum disalib, ia pula yang menangkap Yesus di Taman Getsemani. Diperkuat dengan empat baris terakhir, Tersebutlah bahwa Yesus diadili dan disalib di bukit Golgota pada Jumat agung yang lengang.

Demikian, teranglah kronologi bait ini.

Usai diiringi oleh Yesus, kita dikembalikan kepada Maria sebagai akuliriknya:

 

Tapi

malam hari

musim dingin

selalu

tersisa riuh

lipatan bibirmu

di daerah tak terpeta

ketika usia

belum mengajarimu

birahi

 

Kesan mengenang-yang-telah-jauh terasa kental pada bait ini. Suasana malam hari, musim dingin; di sana tersisa riuh. Riuh dari mana dan oleh siapa? Mungkin oleh lipatan bibir Yesus dari daerah tak terpeta. Saya menandai malam hari/musim dingin sebagai momen mengenang kelahiran Yesus, kita tentu ingat Natal yang secara tersirat senada dengan konteks tiga baris terakhir tersebut.

Dan, sampailah kita pada bait terakhir, bait ke-12.

 

Kau yang tersalibkan!

di Betania

usaplah rabuku

agar tak lagi 9 bulan

aku memilahTuhan

dan tiba-tiba pengembara

yang mencelupkan firmannya

di rahimku

bertanya, “Apa yang telah kulakukan hari ini?”

 

Betania, ialah desa, yang disebutkan dalam kitab Perjanjian Baru, tempat tinggal Maria—tapi bukan Maria Ibu Yesus. Perempuan tersebut adalah Maria Magdalena, yang membasuh kaki Yesus dengan minyak wangi lalu mengusapnya menggunakan rambut sendiri. Oleh karena itu, saya sempat mengira rabuku adalah rambutku yang keliru diketik; tapi ternyata tidak demikian. Rabu adalah paru-paru, bersisian dengan dada.

Yang mencengangkan adalah dan tiba-tiba penembara/yang mencelupkan firmannya/di rahimku/bertanya, “Apa yang telah kulakukan hari ini?” yang semacam jawaban atas siapa –nya pada puisi ini: seorang pengembara. Pertanyaan selanjutnya, apakah si pengembara adalah malaikat Galilea? Saya bersepakat terhadap jawaban “Ya”, sebab sejumlah sebutan—atau nama—lazim melekat pada satu sosok; dan pada puisi ini benang merah keduanya, si pengembara dan malaikat Galilea, terikat dekat; sama-sama mencelupkan firmannya di rahimku.

Akhirnya kembali membaca secara menyeluruh. Puisi yang pernah terbit di Kompas edisi Minggu, September 2000, ini memberi pembaca kesempatan berkecimpung dalam proses tafsir yang bebas di bagian satu dan terikat di bagian lainnya. Sikap pingpong antarbait ini tidak hanya terjadi di ranah interpretasi (bebas-terikat), tapi juga pada sosok aku lirik.

Dan, membayangkan proses kreatif Putu Vivi dalam menulis puisi ini, saya angkat topi atas kemampuannya membelokkan narasi peristiwa melalui pingpongan simbol. Bagaimana ia memilih sejumlah simbol sejarah Nasrani dan Hindu sebagai bola pingpong, kemudian menjalankan narasi sejarah—yang seolah-olah patuh pada narasi arus utama, tapi ternyata tidak demikian—sebagai aturan main dalam puisinya, adalah sebuah permainan yang menantang pembaca untuk terus berfokus kepada pingpongan demi mengetahui, dan memahami aturan main; kemudian menikmatinya. Dan, hal ini sejak awal telah tampak pada keputusan cerdasnya menaruh simbol sebagai judul.

 

Blog22 Oktober 2022

Ilda Karwayu


Ilda Karwayu menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi; telah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, yakni Eulogi (PBP, 2018) dan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020). Aktif bergiat sebagai Manajer Program di Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah lingkungan kerja kolektif bagi pegiat seni, khususnya sastra, di Mataram.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.