Kerja-kerja di Pinggir Sastra Indonesia
Melihat Peran Agen Sastra Lebih Dekat
Pucuk gunung Es
Di pucuk pencapaian sastra Indonesia belakangan ini ada dua nama yang bisa kita sepakati, adalah Eka Kurniawan dan Norman Erikson Pasaribu. Alasannya sederhana saja, baik Eka maupun Norman sama-sama berhasil membawa sastra Indonesia dalam penghargaan International Booker Prize yang prestisius. Man Tiger (Man Booker International Prize 2016) dan Happy Stories, Mostly (The 2022 International Booker Prize) berhasil masuk ke dalam daftar panjang dan membuat Indonesia masuk dalam percaturan sastra global yang tidak terlalu ramah bagi orang-orang selatan.
Keberhasilan keduanya tentu bukan keberhasilan yang semata individual. Jose Saramago pernah mengingatkan kita tentang kerja penerjemah yang turut memungkinkan hal di atas: “Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasionalnya masing-masing. Sastra dunia yang sesungguhnya diciptakan oleh penerjemah“. Baik Eka maupun Norman, sudah sepatutnya angkat topi bersama penerjemahnya masing-masing, Labodalih Sembiring dan Tiffany Tsao.
Penulis, penerjemah, bersama dengan penerbit bisa dibilang adalah pucuk gunung es. Dalam sebuah proses panjang terbitnya sebuah buku hingga sampai ke tangan para pembaca, ketiganya adalah yang sangat mungkin diingat orang-orang. Namun, tulisan ini tidak akan membicarakan apa yang paling mudah diingat.
Ada bejibun tahapan dan kerja orang-orang yang seolah tak kasat mata tetapi berperan penting membuat para pembaca di belahan bumi lain menjangkau sastra Indonesia. Satu peran yang krusial dan sayangnya tidak mendapat tempat untuk ikut berdiri di pucuk gunung es itu adalah Agen Sastra.
Bagaimana Agen Sastra Bekerja?
Agen Sastra atau bisa disebut juga sebagai Agen Penulis adalah profesi yang sudah berkembang sejak lama di Industri perbukuan dunia. Dengan tugas utama menemukan penerbit bagi penulis yang mereka wakili, agen dalam hal ini turut menegosiasikan kontrak penulisnya dan terkadang turut berperan dalam manajemen karier penulis.
Jika melihat tugas dan fungsi seorang agen sastra yang “seharusnya”, tradisi ini memang ganjil dan cukup asing di indonesia. Penulis di indonesia biasanya akan langsung berkontak dan mengirim naskahnya ke penerbit, menunggu konfirmasi, dan mengurus sendiri kontraknya. Dalam hal kontrak, hal ini seringkali membuat salah satu pihak dirugikan–peristiwa yang lebih sering dialami para penulis–karena tidak cermat dan kurang pengalaman dalam mengurus kontrak.
Tugas agen sastra lainnya dalam kerja-kerja penulis yang umum terjadi adalah turut menjajaki potensi pemanfaatan karya penulis yang mereka wakili. Seperti permintaan alih wahana atau adaptasi karya ke medium lain, hingga potensi penerbitannya dalam bahasa asing. Ia akan mengurus kontrak-demi-kontrak yang memang bukan urusan penulis–terlebih bagi penulis yang tidak memiliki cukup wawasan atas nilai ekonomi karyanya, yang tentu bisa saja hilang ketika ia mengurusnya secara independen. Praktik yang sudah dilakukan seabad lalu ini bisa jadi adalah pengetahuan baru bagi kebanyakan penulis di Indonesia.
Bersama agen sastra, seorang penulis akan sangat mungkin menjalankan satu-satunya tugas penulis—menulis. Ia tidak perlu repot mengurus kontrak yang berbelit-belit, memikirkan peluncuran dan berbagai jadwal diskusi, membayangkan strategi promosi, mencari harga pasaran untuk alih wahana maupun penerjemah yang akan membuatnya go internasional, hingga mengkurasi konten media sosial penulis.
Di Indonesia, kita akan lebih mudah menemui penulis cum content creator cum admin media sosial cum penerbit cum editor cum kritikus sastra cum digital marketer cum dosen filsafat cum kurator seni rupa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Agen Sastra: Cerita-cerita di Belakang Layar
Dalam Macondo, Para Raksasa, dan Lain Hal (2021), Ronny Agustinus menulis, “Ketika bicara tentang boom sastra Amerika Latin, kebanyakan pengamat dan pembaca hanya berbicara tentang para penulis yang menonjol di era tersebut, sebutlah Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa. . .Seakan-akan hanya dari tekad, perjuangan, dan kualitas para penulis inilah sastra Amerika Latin bisa dikenal dunia. Kebanyakan pembaca di Indonesia, misalnya, nyaris tidak mengenal nama Carmen Balcells. Dia memang bukan penulis, ‘hanya’ seseorang yang bekerja di balik layar sebagai agen sastra. Namun tanpa dia, boom sastra Amerika Latin bisa dipastikan tidak akan terjadi.”
Gestine Muller juga menceritakan kisah paling epik dalam sejarah kepengarangan Isabel Allende dan bagaimana peran Carmen Balcells sebagai agen sastra dalam How Is World Literature Made? The Global Circulation of Latin America (2020). Seperti yang kita tahu, Allende adalah salah satu pengarang besar Cile yang telah menghasilkan 23 buku, diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, dan menjual total 74 juta eksemplar ke seluruh dunia. Tidak hanya itu, ia juga telah menerima 60 penghargaan sastra dari 15 negara berbeda. Dua novelnya, La casa de los spiritus (House of Spirit) dan D amor y de sombra (Of Love and Shadows) telah difilmkan dan diperankan aktor-aktor beken seperti Antonio Banderas dan Jennifer Connelly.
Jauh sebelum mencapai itu semua, Allende lebih dulu karib dengan penolakan. Naskah La casa de los spiritus beberapa kali ditolak rumah penerbitan di Amerika Latin; hal yang membuatnya melempar dadu dan menyerahkan naskahnya pada Carmen Balcells yang berada jauh di Spanyol. Di tangan Balcells, naskah La casa de los spiritus akhirnya terbit oleh penerbitan asal Spanyol, Plaza & Janes, pada 1982. Di tahun yang sama, ia juga meraih Mazatlan Prize. Dari sinilah Allende mulai dilirik ke pasar Eropa, dan dunia.
Dalam esai “On Carmen Balcells: Remembering the Role of a Literary Agent”, Nazlı Gürkaş seorang agen sastra yang memasarkan buku-buku pengarang Turki menulis, “Sebagai agen sastra muda, saya menemukan pengalaman emosional mendengar cerita Balcell. Dia dianggap sebagai salah satu tokoh paling menonjol dalam sastra Amerika Latin dan Spanyol, terutama dalam menjangkau seluruh dunia sastra. Tidak heran jika kisahnya menginspirasi para agen muda. . .Apa yang kami upayakan untuk dilakukan di pasar sastra Turki tidak jauh berbeda dengan jalur yang dipetakan oleh Balcells. Sebelum (agen sastra) Kalem Agency kami dirikan, hanya 400 buku Turki yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain selama sejarah republik. Sekarang, kita dapat menghitung lebih dari 1.600 kontrak yang melibatkan hak terjemahan untuk penulis Turki. Kalem Agency telah menjual hak penulis Turki ke dalam 46 bahasa.”
Cara Agen Sastra dan Penerbit Menciptakan Selera
Beberapa dari kita boleh saja percaya bahwa selera bacaan itu ditentukan oleh diri sendiri, tetapi hal ini tidak sepenuhnya tepat. Akses terhadap buku bacaan, dalam hal ini kesusastraan global, ditentukan oleh penerbit arus utama, editor akuisisi dan Agen Sastra.
Mengapa buku-buku sastra Amerika Latin yang meledak di pasar dunia pada tahun 80-an, baru digandrungi pembaca Indonesia pada tahun 2000-an? Mengapa di rak-rak buku sastra terjemahan, lebih mudah kita temui para pengarang Eropa dan Amerika ketimbang penulis-penulis Asia Tenggara yang lebih dekat secara geografis? Mengapa rak sastra Asia kita lebih banyak diisi oleh pengarang-pengarang Korea Selatan dan Jepang?
Sebelum pembaca mulai mengeksplorasi bacaan lebih jauh, selera kita sebagai pembaca lebih dulu ditentukan oleh toko buku, atau penerbit arus utama. Akses kita pada buku-buku sastra global berawal dari sini: di tangan kurator penerbit arus-utama yang memiliki bejibun toko buku, di tangan Agen Sastra yang berhasil menjual hak cipta, di tangan Agen Sastra dan editor akuisisi yang berhasil mendapatkan kontrak dari penulis yang dikehendaki penerbit.
Di hadapan pertanyaan “apakah Agen Sastra dan Penerbit turut berperan dalam membentuk standar ukuran estetik dan selera masyarakat sastra?” maka jawabannya adalah “tentu saja!”
Agen Sastra sebagai Wacana
Selain penerjemah, di tangan agen sastralah buku-buku dari penulis kita bisa tersebar hingga menemui pembacanya di tempat asing. Jika saya boleh menekankan, mereka adalah ujung tombak dalam lalu lintas sastra Indonesia di pentas global.
Sebagaimana karya-karya S. Rukiah Kertapati yang penting dan tidak tercatat dalam sejarah sastra Indonesia yang berat sebelah, pembicaraan tentang agen sastra selalu terkubur dan dilupakan. Para pembaca lebih menyukai pembahasan soal tiga hal yang mudah mereka ingat: kerja kreatif para pengarang, penerjemahan karya sastra, hingga bagaimana caranya sebuah naskah diterima sebuah penerbit.
Wacana tentang kerja agen sastra di Indonesia, sepanjang yang saya tahu, pertama-tama dibawa oleh Ronny dalam tulisan yang saya kutip di atas dan pertama kali tayang di blognya dengan tajuk “Carmen Balcells: Penggerak Sesungguhnya ‘Boom’ Sastra Amerika Latin” pada April 2012. Namun, pembahasan itu sepi-sepi saja. Lalu, dalam gelaran yang lebih besar pun baru kembali lagi muncul dalam agenda Lab Ekosistem Sastra, Jakarta International Literary Festival 2019.
Agenda yang disebutkan terakhir ini sayangnya hanya dapat diikuti oleh sebagian orang yang lolos kurasi. Ada banyak pengetahuan yang tidak bisa diakses publik dalam Lab Ekosistem Sastra: Literary Agent ini, dari bagaimana seorang agen sastra bekerja, ekosistem agen sastra yang tidak begitu tumbuh, menyusun kontrak kerjasama dengan penerbit asing, hingga posisi buku-buku Indonesia di pasar dunia.
Setelah JILF, gelaran JakTent pun turut memeriahkan wacana agen sastra dalam lanskap yang lebih besar dan spesifik dalam satu seri diskusi LitTrade. Berbagai pembahasan dan pembicara dari berbagai latar belakang hingga perwakilan Frankfurt Book Fair ikut terlibat. Temanya juga beragam, seperti negara-negara Asia Tenggara yang mulai menjadi pangsa pasar baru dalam kesusastraan global, cara menjual terjemahan karya sastra, tantangan kiwari untuk distribusi buku dan konten, pasar buku anak di Asia Tenggara, dan banyak lagi.
Melihat Kerja-kerja yang Jauh dari Sorot Lampu Utama
Dalam praktik di Indonesia, kerja-kerja agen sastra lebih sering dilakukan penerbit. Ada klausul khusus dalam kontrak mereka terkait alih wahana dan sejenisnya, yang tentu saja baru dirasakan beberapa penulis best-seller. Indonesia sejatinya baru berbenah ketika ditunjuk sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. Kerja-kerja Agen Sastra juga mulai disorot dan dinilai menjadi satu kepingan puzzle yang hilang dalam vakumnya sastra Indonesia di pentas dunia setelah Pramoedya Ananta Toer. Sayangnya, efeknya tidak melulu positif karena Agen Sastra juga secara sempit dipahami hanya sebatas menjual hak cipta ke penerbit asing, tidak lebih.
Kerja-kerja yang jauh dari sorot lampu utama ini, selain jarang diketahui juga tidak begitu diminati. Dari penelusuran saya, Indonesia sendiri hanya memiliki beberapa agensi yang mewadahi para penulis sastra. Di antaranya Borobudur Agency, Maxima, Literasia, dan Trisda Agency. Namun, mereka juga tidak berfokus memasarkan buku-buku sastra.
Selain jauh dari sorot lampu utama, upah untuk agen sastra juga tergolong kecil. Dari salah satu agensi yang saya sebut di atas dan saya ketahui, mereka hanya mendapat fee sebesar 15% yang diterima pengarang dari hasil perjanjian dengan penerbit asing. Semisal pengarang menerima uang muka royalti sebesar US$1000, agen hanya akan dapat US$150 saja. Angka yang tidak terlalu mewah dan membuat para agen harus memutar otak demi menjual tidak hanya satu naskah saja. Belum lagi para agen sastra yang memiliki keharusan untuk aktif dalam pameran buku-buku internasional. Tanpa bantuan dana, atau bagi agen yang menetap di Indonesia, adalah mustahil membiayai diri secara independen untuk pergi ke berbagai event internasional ini; yang lebih menakutkan adalah kemungkinan mereka pulang tanpa hasil.
Dalam status Facebook-nya pada 21 November 2018, Ronny menulis, “Memasarkan buku untuk diterjemahkan ke bahasa asing itu tidak gampang. Pertanyaan mendasarnya selalu adalah: apa yang bisa ditawarkan karya bersangkutan di tengah-tengah ribuan karya penulis dunia lainnya yang juga bagus-bagus? Prinsip ‘biarkan karya itu sendiri yang bicara’ sudah tidak bisa berlaku di sini, karena dalam suatu ajang bisnis negosiasi rights, misalnya di suatu pesta buku internasional, ada puluhan ribu karya yang sama-sama ‘bicara’, suara mereka bersaing saling menenggelamkan. Karena itu dibutuhkan bantuan seseorang yang punya keahlian tersendiri untuk itu, keahlian yang agak terpisah dari kerja-kerja keredaksian lainnya di suatu penerbitan, keahlian yang biasa dipegang oleh seseorang dengan predikat ‘rights manager’ atau ‘literary agent’.”
Jika Ronny terlalu pesimis, maka antitesisnya adalah ditunjuknya Indonesia sebagai Market Focus pada gelaran London Book Fair 2019 lalu. Dari 450 judul buku yang ikut dipamerkan dalam agenda tersebut, tercatat sebanyak 23 judul buku terjual dan 408 judul buku lainnya masuk tahap negosiasi[1].
Kabar baik di atas dilanjutkan dengan terpilihnya novel Beauty is a Wound karya Eka Kurniawan sebagai The Best Translated Novels of the Decade versi Lithub. Eka berhasil melengserkan beberapa karya dari para penulis terkemuka dunia, dari para pemenang Nobel (Patrick Modiano dan Olga Tokarczuk) hingga kandidat peraih Nobel (Haruki Murakami). Yang paling terkini, tentu saja adalah kabar Happy Stories, Mostly yang kembali mengingatkan publik sastra global bahwa sastra Indonesia masih perlu dipertimbangkan.
Sekali lagi, baik dalam kasus 23 judul yang terjual dalam London Book Fair 2019 hingga maupun novel Beauty is a Wound dan kumpulan cerita Happy Stories, Mostly, para pengarang ini tidak bekerja sendirian. Meski orang-orang akan lebih mudah mengingat yang tampak di sampul, tetapi ada banyak pihak yang terlibat dalam terbitnya sebuah buku (baik versi asli maupun ketika terbit dalam bentuk terjemahan bahasa asing).
Para pekerja buku seperti editor, penyelaras, penata letak, desainer dan ilustrator, memang kerap dilupakan dan bahkan beberapa di antaranya tidak dicantumkan dalam lembar kolofon. Mereka, sebagaimana para agen sastra, adalah orang-orang yang bekerja di pinggir panggung sastra Indonesia yang tidak terlalu meriah.
[1] Sumber: katadata https://katadata.co.id/pingitaria/berita/5e9a55138edc6/bekraf-ungkap-keberhasilan-indonesia-dalam-london-book-fair)
Doni Ahmadi
Doni Ahmadi lahir dan besar di Jakarta, kini tinggal di kota satelit pinggir Jakarta. Ia menulis esai, cerita pendek, dan sesekali menerjemahkan. Bersama tiga rekannya, ia mengelola rumah penerbitan buku-buku sastra. Bukunya, kumpulan cerita Pengarang Dodit (2019).