Obituari: Jokpin, Puisi, dan “Ibu”

Foto oleh Paul Kadarisman

Pada pagi 27 April 2024, Joko Pinurbo pergi. Genap sudah ibadah puisinya. Penyair paling populer dalam dunia perpuisian kita hari ini berpulang setelah berjuang lama melawan penyakit paru yang menggerogoti tubuhnya. Hari itu, dan berhari-hari sesudahnya, orang kembali membicarakan puisinya atau memanggil kenangan tentang Jokpin, sebutan akrabnya. Saya tak sempat bertemu dengannya ketika akhir Agustus tahun lalu ia menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Seperti biasa, ia tak betah lama di Jakarta.

Terakhir ia bertanya, lewat WhatsApp, “Ada apa sebenarnya di balik drama politik ini? Mohon pencerahan,” seolah-olah saya political guru yang bisa digugu. Saya cuma jawab, “Gak tahu juga. Saya buta.” Melalui WhatsApp, kami memang biasanya tidak membahas politik, bahkan puisi. Lebih banyak tentang bola. Kami sama-sama pengagum Lionel Messi. Dan ketika kesebelasan Argentina memenangkan final piala dunia 2022, ia mengirimkan gambar Messi yang mengenakan kostum Yesus, disertai pesan: “Saatnya tidur sambil memeluk agama.” Saya kembali teryakinkan, ia seorang religius yang betul-betul mengamini imannya.

Diiringi hujan dan doa dari keluarga, sahabat, teman-teman, dan orang-orang yang menyayanginya, penyair itu meninggalkan kita selamanya. Satu hal yang saya sesali, kami tak sempat membicarakan “Ibu” yang selalu hadir dalam puisi-puisinya.

__

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Joko Pinurbo menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, namun urung menjadi imam.

Meski demikian, seminari menebalkan kecintaannya pada sastra melalui buku-buku koleksi perpustakaan sekolah. Puisi-puisinya yang mengangkat tema-tema atau berlatar biblikal sangat mungkin adalah buah dari masa-masa pendidikannya di seminari tersebut.

Secara akademis, Jokpin mempelajari bahasa Indonesia di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dengan modal pengetahuan dan pemahaman linguistik yang kuat, tak heran Jokpin bisa dengan lincah bermain-main dengan  kata, frasa, klausa, tanpa kehilangan logika naratif dan parodi yang menjadi kekuatan puisinya.

Dalam beberapa wawancara, Jokpin menyatakan bahwa puisi-puisinya berkiblat pada Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Dari Chairil ia belajar menggunakan bahasa yang efisien dengan diksi tajam, kuat, dan padat. Jejak puisi Sapardi yang naratif dan sederhana, jelas terbaca dalam karyanya. Namun ritme, jukstaposisi, dan disonansi, yang menjadi ciri kualitas puisi Goenawan, juga hadir dalam puisi-puisi Jokpin. Tapi yang istimewa dari penyair kelahiran 1962 ini adalah karena dia berhasil bebas dari pengaruh-pengaruh tersebut dan menemukan ekspresi puitiknya sendiri, yang kemudian mendudukannya sama tinggi dengan para panutannya.

Kalau bisa dikatakan sebagai strategi, maka strategi yang dipakai Jokpin untuk penciptaan puisinya adalah penggunaan dan pelibatan benda-benda dan hal-hal sehari-hari sebagai perangkat puitik. Celana, kamar mandi, becak, senja, telepon, telepon genggam, ronda, kamar tidur, tubuh, ibu, ayah – sesekali kuburan dan rumah sakit – menyusun semesta puisinya. Segala yang lumrah, remeh, akrab, bahkan intim, dan melekat pada kognisi hampir setiap orang.

Di semesta itu,  benda-benda dan hal-hal hadir dalam relasi-relasi yang “jernih” dan tampak sederhana. Jokpin tidak banyak memainkan sintaks dalam formasi puisinya. Kompleksitasnya muncul ketika kita sadar bahwa dalam kenaifan yang terjaga, seolah tanpa intervensi dari si penyair, larik-larik puisinya bukanlah realita atau potret sosial, melainkan alegori – sebuah dunia lain, makna yang lain – yang seringkali lirih dan pedih, namun selalu berhasil menyajikan ironi.

Misalnya dalam “Celana” – benda yang berulangkali hadir dan nyaris menjadi ikon Jokpin. Kita dihadapkan pada situasi “biasa”–aku lirik yang sedang berbelanja celana. Suspens dibangun pelan-pelan, ketika  aku lirik frustrasi karena tak juga menemukan celana yang ingin dibelinya. Di depan pramuniaga, ia mencopot celananya sendiri.

            “Kalian tidak tahu ya,
            aku sedang mencari celana
            yang paling pas dan pantas
            buat nampang di kuburan?”

Serentetan pertanyaan muncul dari bait pendek ini. Kenapa celana? Kenapa kuburan? Ada permainan signifikasi yang melibatkan dua kata itu untuk menyusun sebuah alegori. Tafsir mau tidak mau tersusun, lepas dari benar-salah dan berlebihan atau tidak, kita bisa melihat celana sebagai sebuah tanda akan kepantasan bagi harkat dan nilai (kesuksesan?) seorang manusia. Ia diupayakan dengan susah payah meski akhirnya tak jua ketemu. Pun sangat terlambat, karena yang akan ditemui, dengan celana tadi, telah wafat.

Demikian juga pada puisi “Tubuh Pinjaman”. Sebuah frasa sederhana yang menggambarkan kesementaraan manusia di dunia diolah menjadi  permainan lempar-tangkap yang cerdas dan lincah antara tubuh yang  ragawi dengan yang eksistensial. Jokpin menerakan trajektori yang jelas dari tubuh yang daging dan pasif – “…mayat yang saya pinjam/dari seorang korban tak dikenal…”, hingga ia  “hidup” berjiwa,  aktif berinisiatif – “…sampai ia tumbuh dewasa/ dan mulai berani menentukan sendiri jalan hidupnya.” Ditutup dengan bait “Tubuh,/ pergilah dengan damai/ kalau kau tak tenteram lagi/ tinggal di aku. Pergilah dengan santai/ saat aku sedang sangat mencintaimu.” – Jokpin menegaskan kerentaan dan kefanaan dari tubuh, sekaligus mengusik eksistensi dari “aku”: siapakah aku jika bukan tubuhku?

Menurut Nirwan Dewanto, puisi Jokpin adalah antipoda dari puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia menertawai “aku” yang dalam puisi lirik kita sering didramatisasi demi apa yang disebut puisi suasana. Namun humor dan main-main dalam Jokpin tidaklah “murahan” seperti dalam puisi mbeling, tapi berwatak subversif. Meski demikian, satu aspek yang dengan segera dirasakan oleh siapapun yang membaca puisi-puisinya adalah hadirnya permenungan, aftertaste yang tak akan hilang dalam waktu lama. Kata-katanya tak pernah keras. Saya bahkan bisa membayangkan larik-larik puisinya dibacakan dalam ketenangan dan kedalaman suara Jokpin sendiri. Seperti satu puisi yang ditulis Jokpin ketika masyarakat Indonesia terbelah tegas oleh isu agama:

            apa agamamu?
            agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu

“Apa agamamu” adalah selidik yang lumrah dilakukan oleh orang Indonesia. Memang mengganggu, bahkan sesungguhnya melanggar ruang privat. Meskipun pertanyaan “apa agamamu” seringkali dilontarkan tidak pada kondisi inkuisitif, namun dalam situasi ancaman perpecahan, pertanyaan itu bisa jadi semacam pagar kawat berduri yang terancang terbentang. Tapi Jokpin tahu, yang harus dilakukan bukan memberi jawaban yang benar, tapi  “membersihkan” pertanyaannya dari syak wasangka, bayang-bayang kebencian dan ketakutan. Dengan “air”, bukan dengan api.

Kualitas puitik semacam ini yang menyebabkan karya-karyanya mudah diterima khalayak – tua muda, lintas golongan dan kelas. Ia pun tampak semakin terampil menggunakan dan memainkan kata-kata yang mirip bunyinya untuk mencapai efek humor dan satir. Seperti dalam puisi “Kamus Kecil”, yang saya petilkan berikut ini:

            Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
            walau kadang rumit dan membingungkan.
            Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
            sehingga saya tahu
            bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
            bahwa ingin berawal dari angan;
            bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
            bahwa segala yang baik akan berbiak;
            bahwa orang ramah tak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
            bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
            bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
            bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan;
            bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira,
            sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila;

Karya-karya mutakhirnya semakin menunjukkan kecenderungan untuk “mencari efek” tersebut. Kesan mengulang-ulang strategi yang sama tak terhindarkan, yang tentu saja membuat puisinya jadi mudah tertebak. Tapi Jokpin menjawab santai: dia menulis puisi untuk hidup dan nafkah keluarga. Dia bahkan tak keberatan larik-larik puisinya dicetak di berbagai merchandise, meski tanpa izin. Dia cukup senang bahwa karyanya bisa memberi penghasilan bagi orang lain. Buat dia sendiri, “Tidak jadi wakil sastra Indonesia ya tidak apa-apa.”

__

Puisi-puisi terbaik Joko Pinurbo adalah puisi-puisinya tentang “ibu”. Tentu saja ini opini dan impresi pribadi. Mungkin  karena perjumpaan pertama saya dengan Jokpin adalah dengan puisi “Celana Ibu”, yang seketika merasuk dan masih tinggal di kepala hingga saat ini, bisa juga karena alasan lain. Tapi paling tidak ada dua hal yang melandasi pandangan saya.

Pertama, tanpa ingin menyelam ke dalam tinjauan psikoanalisis, bisa dilihat (atau dirasakan) bahwa di dalam puisi-puisi yang menghadirkan “ibu”, ada proyeksi rasa atau afeksi yang kuat namun subtil, hadir apa adanya atau “bersembunyi” dalam berbagai relasi (saya akan terangkan lebih lanjut di bawah), kejadian, dan suasana. Tidak sulit untuk membaca proyeksi rasa atau afeksi ini karena Jokpin tidak pernah terlalu dalam melapisi puisinya dengan ambiguitas. Karyanya tidak pernah bertendensi untuk jadi enigma.

Adanya proyeksi afeksi atau rasa yang menonjol menunjukkan pertalian yang erat dan dekat, juga resiprokal, antara Jokpin dan “ibu”, yang tertuang dalam rentang spektrum perasaan yang variatif dan kompleks. Ada rasa rindu, bahagia, hangat, dan aman. Di sisi lain juga ketakutan akan kehilangan, keputusasaan, dan penyesalan. Di antara itu, atau menyempal sebagai himpunan sendiri, kita bisa temukan hasrat, gairah, berahi. Meskipun penyair bukanlah aku/dia lirik dalam puisi, kita bisa membaca kerentanan penyair yang terungkap jujur tanpa pretensi. Dan puisi yang baik adalah puisi yang jujur.

Variasi spektrum afeksi atau rasa itu bukan melulu ditentukan oleh anasir, kejadian, dan kondisi, tapi terlebih oleh posisi “ibu” dalam relasinya dengan aku/dia lirik. Ini adalah hal kedua yang memikat saya. Dalam puisi-puisi Jokpin, “ibu” tidak selalu hadir dalam makna literer sebagai ibu biologis atau ibu dalam hubungan keluarga ibu–anak. Dari satu puisi ke puisi lain, “ibu” selalu berada dalam jalinan dan jaringan yang kompleks, dalam posisi yang tak selalu sama, tak ajeg. Sebagai akibatnya “ibu” terikat dan terkait dalam jukstaposisi afeksi atau perasaan yang beragam. Lanskap interior ini tentu harus dibaca dalam semesta semantik yang dibangun Jokpin.

“Ibu” adalah ibu dalam “Celana Ibu”. Juga dalam “Telpon Tengah Malam”. Membutuhkan ibu ketika sakit adalah pengalaman universal, tak peduli usia. Telepon dari ibu, di tengah malam sekalipun, adalah obat mujarab tanpa resep. Tapi “ibu” dalam “Bayi di Dalam Kulkas” adalah orang-orang modern yang ingin pulang pada kondisi damai dan tenang, yang direpresentasikan oleh bayi yang berdiam dalam sejuk dan damai lemari pendingin.  Pada “Ranjang Ibu” – “ibu” hadir sebagai sesuatu yang nirwujud: penderitaan dan ketabahan.

Puisi “Tahilalat” menampilkan sesuatu yang lain lagi. Dengan alur yang anakronistik (tapi sekaligus menunjukkan kepekaan Jokpin akan waktu sebagai elemen penting dalam puisinya), Jokpin menggocek kita dengan memindahkan “ibu” dari jalinan relasi Ibu–anak , secara berangsur-angsur ke satu posisi yang pelik. Bait pertama mewartakan keberadaan tahilalat. Bait ketiga menunjukkan kesukaan yang “mesra” anak pada tahilalat ibunya.

            Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
            selagi si ibu lelap tidurnya.
            Dengan girang ia mengecupnya:
            “Selamat malam, kunang-kunangku.”

Suspens antara aku lirik dengan tahilalat dibangun dengan berjalannya waktu dan perpindahan posisi tahilalat, pada saat yang bersamaan posisi “ibu”. Puisi ini diakhiri dengan bait seperti berikut:

            Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa
            sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
            dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.
 
            “Jika kau menemukannya,
            masihkah kau akan mengecupnya,
            akankah kau menciumnya?” si ibu bertanya.
 
            Ah, tahilalat itu telah hinggap
            dan melekat di puting susu ibunya.

Tersirat citraan yang sensual sekaligus seksual dari tegangan antara pandangan aku lirik dan tahilalat. Puisi ini meluruhkan  keutuhan sosok “ibu” dalam persepsi kita, meninggalkan pembaca dalam kondisi yang goyah dan gelisah.

Selalu ada puisi yang berbicara tentang “ibu” dalam buku-buku Jokpin, mulai dari karya-karya awalnya yang terangkum dalam kumpulan “Celana”, 1999, hingga “Epigram 60” yang terbit 2022. Dari situ kita bisa membaca bahwa “ibu” dalam khasanah puisi Jokpin, bukan saja puisi itu sendiri, tapi juga yang melahirkan penyair. Pada puisi-puisi lain, tersirat subtil. Tapi pada  “Kembang Susu” dalam kumpulan “Perjamuan Khong Guan”, Jokpin  memaparkannya dengan terang, sebagai berikut:

            Bila kini kau
            pandai merangkai kata,
            benih bahasamu
            sudah tertanam lama
            di susu ibumu.

__

Kembali ke cinta pertama saya,“Celana Ibu” adalah debut Jokpin sebagai penyair, sekaligus puncak pencapaian literernya. Pada puisi ini Jokpin mendemonstrasikan kemampuannya menyusun abstraksi dari realita yang konkrit ke dalam bangun cerita yang sama sekali baru, sekaligus mendestruksi konstruk kokoh dari apa yang sudah lazim kita terima selama ini–dengan “enteng”. Dengan “enteng” di sini tentu adalah tampak luar yang ingin ditunjukkan penyair pada khalayak. Sebelum membahasnya lebih lanjut, berikut “Celana Ibu”.

            Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
            mati di kayu salib tanpa celana
            dan hanya berbalutkan sobekan jubah
            yang berlumuran darah.
 
            Ketika tiga hari kemudian Yesus Bangkit
            dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
            ke kubur anaknya itu, membawa celana
            yang dijahitnya sendiri.
 
            “Paskah?” tanya Maria.
            “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
 
            Mengenakan celana buatan ibunya,
            Yesus naik ke surga.

Dalam  tradisi Kristen, ada 2 hari besar: Natal – hari lahir Yesus – dan Paskah – yang diamini sebagai hari kebangkitan Yesus dari kematian. Jika Natal dirayakan dengan kegembiraan yang polos, seringkali juga dengan melankoli, sebagai akibat dari citra yang dicekokkan oleh Hollywood, Paskah diperingati dengan megah. Merupakan perayaan tertua di dalam gereja Kristen, Paskah adalah penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kata “Paskah” berasal dari bahasa Latin yakni Páscha, bahasa Yunani Paskha, bahasa Aram Pasḥadari,  bahasa Ibrani Pesakh, yang artinya “melewatkan”, “menyelamatkan”. Dalam pemaknaan selanjutnya “keselamatan” dipahami sebagai  keselamatan  dari kematian. Bisa dikatakan Paskah adalah glorifikasi dari “kemenangan” Yesus. Semacam pembalikan dari fakta atas kematiannya yang tragis di kayu salib dan antitesis dari kekalahan.

Peringatan Paskah didahului oleh ritual panjang. Diawali dengan puasa atau pantang sebulan penuh yang ditandai dengan pengolesan abu di dahi sebagai lambang pertobatan (Rabu Abu), dan diakhiri dengan rangkaian hari-hari suci: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Minggu Paskah. Ritual ini adalah pondasi yang signifikan dalam mengukuhkan konstruksi Gereja sebagai satu institusi yang telah berdiri berabad-abad.

Dalam konstruksi tersebut, Maria, Ibu Yesus, adalah kehadiran yang samar. Meskipun dalam agama Katolik, Maria diberi peran penting sebagai “bunda pelindung”, dalam peristiwa Paskah, ibu Tuhan itu sosok yang berdiri di tepi: menyaksikan anaknya diadili, diputus bersalah dengan tidak adil, disiksa sepanjang via dolorosa, dan sekarat dan mati di kayu salib.

Dengan “Celana Ibu”, Jokpin menanggalkan perspektif sejarah besar, History, tentang peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus di mata “dunia” dan mengambil sejarah kecil dari sudut pandang Maria. Her story. Jokpin menghadirkan Maria sebagai dia lirik, ibu yang menanggung duka yang sangat. Celana kembali menjadi ikon yang membungkus kepantasan, aspek yang sangat mendasar dari kemanusiaan. Dan dengan celana buatannya sendiri, Maria mengembalikan kemanusiaan Yesus yang direnggut di kayu salib. Kata “paskah” kembali menemukan makna keselamatan yang sederhana.

 

             “Paskah?” tanya Maria.
            “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Dalam 10 baris, Jokpin mampu mencuri waktu singkat dari Kebangkitan yang dirayakan oleh Gereja dengan gegap gempita, dan memberikannya untuk momen privat yang mesra antara ibu dan anak. Di bait-bait pendek itu, duka bersilih ke komunikasi yang hangat dan sebentuk kelegaan. Ada kilas yang mensugestikan kembalinya masa kecil yang bahagia ketika Yesus mencoba celana dari ibunya. Memori itu menetap, tak bisa hilang – abadi, seperti yang tersirat dalam dua baris terakhir puisi itu:

            Mengenakan celana buatan ibunya,
            Yesus naik ke surga.

Dengan “Celana Ibu”, Jokpin mengembalikan apa yang feminin, juga fundamental, dari agama: cinta.

__

Blog24 Juli 2024

Avianti Armand


Avianti Armand adalah seorang arsitek, kurator, dan penulis. Pada tahun 2008 ia mendapatkan  Penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia untuk desain “Rumah Kampung” miliknya. Cerpennya, Pada Suatu Hari Ada Ibu Dan Radian, dipilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2011 untuk kumpulan puisinya, Perempuan Yang Dihapus Namanya dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 untuk  Museum Masa Kecil. Avianti Armand menulis beberapa buku arsitektur, salah satunya adalah kumpulan esai Arsitektur Yang Lain.