Keramah-tamahan Antikolonial
Di Meja Keluarga Asia-Afrika

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Sahabat,

Hari ini kita duduk mengitari meja,

Dalam pertemuan keluarga,

Dilehermu kukalungkan bunga-bunga,

Diharumi dengan wangi persahabatan,

Yang kami petik dalam perihnya perjuangan,

Dari taman tanah airku.

Kami suguhkan minuman manis-manis,

Dan kasih manis-manis,

Kita saling berjabatan,

Dan mata mesra berpandangan.

Sugiarti Siswadi, “Kepada Sahabat Asia-Afrika” (Harian Rakjat, 13 April 1961)

 

Kerja ramah tamah, seperti soal siapa yang mengalungkan bunga atau menyajikan teh untuk menyambut tamu dari jauh, bukanlah hal pertama yang akan tebersit di pikiran ketika membayangkan sejarah politik, diplomasi, dan solidaritas. Hari-hari ini, keramahtamahan lebih sering terdengar bergandengan dengan bisnis jasa hiburan dan pariwisata. Ia biasanya mengemuka dalam bualan pejabat untuk mendongkrak investasi di “negeri surga” atau pada sesungging senyum terpaksa seorang pelayan hotel berupah rendah. Kita sebut saja ini keramahtamahan kolonial. Keramahtamahan yang memperkenankan tamu menjadikan tuan rumah sebagai kesetnya dan melanggengkan hubungan timpang antara kaum penjajah dan terjajah.

Bagaimana dengan keramahtamahan antikolonial? Kita bisa memelajarinya dari puisi Sugiarti di atas, puisi yang membawa kita pada sejarah pertemuan dan pertukaran lintas bangsa di masa awal gelombang kemerdekaan Dunia Ketiga dan di tengah puncak Perang Dingin. Keramahtamahan antikolonial mewujud dalam keterbukaan tuan rumah yang mengakrabi tamu-tamunya untuk merawat solidaritas sesama kaum terjajah.   

Menilik judul dan tanggal terbitnya, mudah menerka bahwa puisi Sugiarti mengakar pada peristiwa Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat, 18-24 April 1955. Puisinya adalah puisi peringatan sejarah antikolonial. Di rambatan ingatan, peran utamanya bukan untuk memekarkan fakta dan bukti, melainkan kesan dan emosi sejarah. Selain itu, sebagaimana akan saya uraikan nanti, “Kepada Sahabat Asia-Afrika” tidak saja mengandung ingatan sejarah, tetapi juga menyediakan ruang untuk mengingat kerja-kerja yang diremehkan oleh kegagahan sejarah antikolonial arus utama.

Sosok dan karya Sugiarti Siswadi telah dituliskan dengan jernih, antara lain oleh Fairuzul Mumtaz (2016) dan Ni Made Purnamasari (2021). Mereka sama-sama menyorot kualitas karya Sugiarti yang berpihak pada ideologi revolusi perjuangan kelas dan bersumber dari kehidupan sehari-hari anak, perempuan, dan buruh tani. Dari situ, kita juga dapat menelusuri jejak wawasan internasionalisme kiri yang membekas dalam perjalanan hidup dan tulisan sang pengarang perempuan.

Misalnya saja dalam karya lain Sugiarti berjudul “Satu Mei Didesa” (1958). Sebagaimana dibahas oleh Mumtaz, cerpen ini membumikan peringatan Hari Buruh Internasional lewat kisah sekelompok kaum tani dan buruh pabrik tengah berlatih menyanyikan lagu perjuangan untuk acara yang jatuh pada satu Mei.[1] Di sela proses belajar nyanyi bersama itu, para tokoh cerita juga digambarkan berbincang hangat tentang sejarah gerakan buruh sedunia dan pentingnya saling mendukung perjuangan lintas bidang kerja. 

Sugiarti sendiri terlibat dalam jaringan kiri lintas bangsa lewat perjalanannya yang dipandu kompas geopolitik Dunia Ketiga. Seturut catatan Purnamasari, sepanjang 1950-1960an Sugiarti pernah berkeliling ke berbagai negara untuk menjalin hubungan budaya pasca-KAA.[2] Kesempatan berjejaring ini dimungkinkan karena peran Sugiarti sebagai salah satu pemimpin Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tetapi keterlibatan ini pula yang lantas membuatnya mendekam di penjara antikomunis Orde Baru pasca-1965.

Tersedianya penelitian di atas membuat kita bisa mendudukan puisi “Kepada Sahabat Asia-Afrika” di tengah sejarah dan cita-cita sastra kiri 1950-1960-an. Sastra dengan visi yang meluas dalam keseharian rakyat biasa sekaligus meninggi menuju solidaritas lintas bangsa. Selanjutnya, tulisan pendek ini akan mengulas bukan hanya tentang sejarah suatu puisi, melainkan juga puisi suatu sejarah, atau tepatnya: puisi tentang suatu kemungkinan sejarah yang beredar di dalam ruang keramahtamahan antikolonial.

 

Keramahtamahan di Panggung Diplomasi dan di Meja Keluarga

Konferensi Asia-Afrika 1955 mempertemukan 29 perwakilan negara merdeka dan hampir merdeka dari Asia dan Afrika. Di Bandung mereka membentuk koalisi global baru dengan konstituen sebesar 1,5 miliar penduduk atau 54% populasi dunia pada masa itu. Dengan gelegar khasnya, pidato pembukaan Sukarno mendaku peristiwa ini sebagai “konferensi lintas benua yang pertama dari rakyat kulit berwarna di sepanjang sejarah umat manusia!”[3]

Seruan rasa bangga itu berbalut gestur keramahtamahan. Pada awal pidatonya, Sukarno memohon “kemakluman dan kesabaran Anda [para perwakilan] apabila keadaan di negeri kami tidak sesuai harapan.” Nyatanya, kondisi ekonomi Indonesia saat itu, seperti banyak negara baru merdeka lainnya, memang babak belur. Indonesia dibelit ketidakadilan beban utang kolonial Belanda dan harus mengurusi pembenahan prasarana publik seperti jaringan komunikasi, transportasi hingga pembangkit listrik, yang rusak akibat perang.

Di penghujung perhelatan, setelah seminggu diskusi, negosiasi dan kompromi, sebuah konsensus normatif diwartakan sebagai komunike final KAA. Isinya antara lain: kecaman terhadap kolonialisme dalam segala wujudnya, aspirasi untuk saling mendukung kerja sama ekonomi dan budaya antarnegara Asia-Afrika, pernyataan atas hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri yang bebas dari diskriminasi rasial, dan dorongan moral untuk mempromosikan perdamaian dunia di tengah ancaman perang nuklir antara blok Amerika Serikat dan Uni Soviet.[4].

Lewat KAA lahir pula gagasan Dunia Ketiga. Hari ini kita lebih sering mendengarnya sebagai kasta hina dalam strata ekonomi global, tetapi dulu, ia adalah visi, posisi, bahkan utopia radikal untuk membayangkan tatanan dunia baru. Seturut pandangan sejarawan dan aktivis Marxis, Vijay Prashad, Dunia Ketiga itu bukan teritori atau tempat, melainkan sebuah proyek kolektif yang antikolonial dan anti-imperial.[5]

Asia-Afrika dalam puisi Sugiarti oleh karenanya perlu dibaca lebih dari sekadar acuan pada wilayah geografis atau pengelompokan manusia berdasarkan identitas rasnya. Ia adalah imajinasi politik tentang pertalian sejarah antar-rakyat lintas bangsa yang disatukan oleh pengalaman melawan penjajahan. Imajinasi itu ditempanya menjadi ikatan sosial sehari-hari, dengan mengalihruangkan peristiwa KAA dari pertemuan diplomatik di aula gedung menjadi acara berkumpul di meja keluarga. Bait kedua puisinya berbunyi:

Hari ini kita duduk mengitari meja,

Memecahkan masalah keluarga.

Akan kita kisahkan keindahan juang kita,

Keagungan rakyat kita,

Keperwiraannya, tulus dan setia

Mata kita basah berlinang,

Tetapi hati dibakar perlawanan.

Pemunculan ruang keluarga sebagai latar puisi bisa jadi menyalakan alarm anti-Orde Baru di telinga pembaca hari ini. Sebab kekeluargaan telah menjadi norma heteropatriarki negara untuk pengendalian sosial, alih-alih aspirasi pembentukan keintiman komunitas perlawanan sebagaimana yang dibayangkan Sugiarti dalam puisinya. Kekeluargaan adalah cara Sugiarti untuk memunculkan perilaku keramahtamahan komunal, kesan mesra dan akrab, bahkan inklusif, supaya rasa kepemilikan dan keterlibatan sejarah atas KAA tidak hanya dikuasai segelintir tokoh negara.

Setelah KAA memang muncul berbagai kontak, jaringan, bahkan lembaga yang digerakkan oleh aktor non-negara, seperti jurnalis, buruh, mahasiswa, aktivis perempuan, dan penulis. Di ranah sastra, jejak intelektual jaringan lintas bangsa ini dapat ditelusuri melalui keberadaan konferensi pengarang Asia-Afrika dan penerbitan antologi serta jurnal berkala seperti The Call dan Lotus. Para peneliti umumnya mengumpulkan usaha-usaha kepenulisan ini di bawah payung “Sastra Bandung.” Untuk membedakan rujukannya dari lingkungan sastra di daerah Bandung, kita sebut saja di sini sebagai Sastra Bandung Transnasional.

Gelanggang Sastra Bandung Transnasional telah menjadi ruang pertemuan sejajar antarpengarang Asia-Afrika, yang mengizinkan munculnya pembacaan komparatif melampaui hegemoni kanon sastra Erosentris. Secara umum, karya-karya mereka menggumuli semangat pembebasan nasional sekaligus solidaritas transnasional. Tentu saja, ruang ini secara alamiah bersifat puspawarna, sehingga keberanian untuk menyimpulkan ciri-ciri umumnya perlu dibarengi dengan perhatian pada kekhasaan linguistik, kultural, dan politik dari tiap-tiap lokalitas di Asia dan Afrika.

Kembali ke meja makan Asia-Afrika yang ditata Sugiarti dari ruang nasional bernama Indonesia, di satu sisi politik kekeluargaan yang dilukiskannya memang berisiko dibaca sebagai kesetiaan berlebihan pada kekerabatan rasial. Tetapi, di sisi lain, risiko itu tergugurkan sebab masalah keluarga yang tengah dipertaruhkan di meja itu punya dasar perlawanan yang lebih luas, bahkan universal:

Besar yang kita pertaruhkan, sahabat,

Ia bernama Kemanusiaan,

Ia bernama Kemerdekaan,

Ia bernama Kebebasan,

Ia bernama Harga Dirimu

Kesejahteraan, Perdamaian,

Ya, ia adalah segala!

Cita-cita terbaik manusia.

Rentetan jargon atau kata-kata besar di atas terasa kontras dengan semenjananya latar meja keluarga Asia-Afrika di ruang puisi Sugiarti. Kata-kata besar ini mengandaikan universalisme—untuk segala cita-cita terbaik manusia. Akan tetapi ia bukan universalisme yang eksklusif untuk kemanusiaan rakyat Asia-Afrika, melainkan universalisme yang mengkritik dan mengungkapkan betapa terbatasnya universalisme Barat Kolonial.

Pasalnya, filsafat kemanusiaan (humanisme) Barat lahir pada Abad Pencerahan bersamaan dengan pengabaian atas kegelapan praktik perbudakan transatlantik serta ekspansi kolonialisme Eropa.[6] Ia sejatinya berstandar ganda dan tidak adil sejak dalam pikiran. Melalui wawasan kemanusiaan yang rasis, kepentingan ekonomi politik kolonial membuat pembedaan struktural antara manusia beradab dan biadab sebagai pembenaran moral Eropa untuk menjajah lebih dari separuh dunia.

Persis di situlah perwakilan mayoritas global Asia-Afrika berkonferensi pada 1955 untuk merebut kemanusiaan mereka dan menghembuskan napas baru bagi universalisme. Oleh karena itu, kata-kata besar yang disodorkan di atas meja keluarga Asia-Afrika bukan warisan abstrak nirsejarah dari “humanisme universal” Barat Kolonial. Ia bersumber dari pengalaman tubuh-tubuh Asia-Afrika yang terjajah-dan-melawan serta dirumuskan dalam ruang keramahtamahan antikolonial.

 

Keramahtamahan itu Bergender

Keramahtamahan biasanya dianggap remeh-temeh. Dalam dunia yang diserobot ideologi patriarki, garis pembagian tugas penting dan remeh-temeh ditentukan berdasarkan hubungan gender. Tidak terkecuali dengan dunia diplomasi Konferensi Asia-Afrika. Semua delegasi negara adalah laki-laki. Akan tetapi, perempuan sesungguhnya selalu ada dan berperan serta. Sejarawan Naoko Shimazu menunjukkan di mana perempuan berurun peran selama KAA: di meja layanan informasi tamu dan di acara-acara malam kebudayaan—di tempat beramah tamah yang paling banter hanya akan tersorot dalam berita hiburan.[7]

Penelitian Wildan Sena Utama menelusuri tempat perempuan yang sedikit lebih tersembunyi lagi. Dari halaman koran-koran di Indonesia, Utama menemukan keberadaan kontroversial “komite keramahan” KAA, yang tugasnya menyediakan perempuan pendamping untuk peserta konferensi menikmati waktu senggang. Konon Sukarno sendiri yang memberi perintah dan kabar ini pun dijadikan bahan kritik oleh koran dan partai oposisi. [8] Pada akhirnya, lepas dari penilaian moralis, debat publik soal “komite keramahan” ini menunjukkan wacana yang mengerdilkan agensi tubuh perempuan menjadi objek dan situs pertarungan politik laki-laki.

Perempuan-perempuan elite Indonesia pascakolonial, seperti halnya Sugiarti, sebetulnya mengambil peran pokok dalam kerja berjejaring antarperempuan Dunia Ketiga. Konferensi Perempuan Asia-Afrika di Kolombo, Sri Lanka (1958), dan Kairo, Mesir (1961), adalah bukti keterlibatan intelektual dan aktivisme dari perwakilan perempuan. Namun demikian, kita tidak bisa segera menunjuk sejarah agensi perempuan antikolonial dalam puisi “Kepada Sahabat Asia-Afrika”. Tidak ada penanda gender dalam puisi itu—“kita” dalam puisi Sugiarti jelas bersifat netral gender. Akan tetapi, ini bukan berarti puisinya tidak melibatkan politik gender.

Kita bisa melihat politik gender bekerja dalam puisi “Kepada Sahabat Asia-Afrika” jika kita membaca gender bukan semata sebagai konstruksi identitas, melainkan juga sebagai situasi. Situasi keramahtamahan yang dibangun Sugiarti bisa dibaca sebagai politisasi kerja remeh-temeh yang telanjur dilumrahkan sebagai kerja perempuan. Sehingga, ada satu lagi alasan mengapa meja keluarga menjadi latar penting. Meja keluarga adalah ruang sosial yang di dalamnya perempuan pada masa itu bisa mengambil tempat dan berperan aktif dalam kerja solidaritas. Keterlibatan mereka di ruang ini bisa mengikis bias yang berkerak dalam praktik dan narasi solidaritas “brotherhood”. Dengan kata lain, kita menemukan strategi politik perempuan bukan dalam identitas gendernya, melainkan dalam situasi pembagian kerja berdasar gender.

Memang meluhurkan kerja domestik dan remeh-temeh sebagai ranah perempuan punya bahaya melanggengkan struktur ketidakadilan yang berlangsung di semua ruang sosial, dari aula konferensi sampai meja keluarga. Namun, ingatan tentang pentingnya keberadaan kerja ramah tamah sebagai upaya mempererat solidaritas adalah peluang feminis agar imajinasi kebersamaan Asia-Afrika juga dapat direngkuh perempuan biasa—perempuan-perempuan yang mengalungkan bunga, menata meja, menyuguhkan minuman manis, dll. Bergerak dari ruang domestik untuk merangkut agensi politik merupakan salah satu bentuk umum negosiasi perempuan Dunia Ketiga, yang merayakan pembebasan nasional sekaligus mengkritik patriarki dalam struktur “keluarga nasionalis.”[9] Artinya, mengerjakan tugas ramah tamah dan remeh temeh bukan melulu tanda ketundukan. Sebaliknya, ia bisa berarti keteguhan.

Meletakkan puisi “Kepada Sahabat Asia-Afrika” dalam bingkai Sastra Bandung Transnasional, keramahtamahan yang diungkapkan Sugiarti juga akan punya tempat istimewa. Cendekia sastra bernama Duncan Yoon membaca bahwa salah satu kecenderungan umum Sastra Bandung Trasnasional sangat terhubung dengan gagasan “sastra baku tempur” (combat literature) yang diusung oleh pemikir-pejuang antikolonial Frantz Fanon. Sastra baku tempur, menurut Yoon, bukanlah upaya penuturan ulang sejarah melainkan penegasan tentang kemungkinan sejarah.[10] Artinya, yang dikedepankan oleh para pengarang bukanlah puitisasi reportase peristiwa bersejarah. Fungsi sastra baku tempur baru teruji ketika ia mampu membuka cakrawala politik tak berbatas dengan menangkap cita-cita dan daya emosi revolusioner di garda depan pembebasan nasional.

Di satu sisi, puisi Sugiarti menyarankan kecenderungan senada. Kata “hari ini” yang berulang dalam bait-bait puisinya tidak mesti hanya merujuk pada kenang-kenangan mesra akan sejarah KAA 1955 yang sudah selesai. Ia justru bisa dibaca sebagai hasrat untuk terus bertemu, menyinambungkan kontak dan kesetiakawanan antikolonial. Bagi Sugiarti, para tamu di meja keluarga Asia-Afrika adalah pelaku sejarah. Mereka berkumpul untuk terus menciptakan kemungkinan sejarah baru. Terang pula ada visi tentang masa depan dalam gerak waktu “hari ini,” sebagaimana ditunjukkan dalam bait ketiga puisinya:

Kita duduk mengitari meja, sahabat,

Dan sejarah akan mencatat,

Kebangkitan dalam diri kita,

Dalam diri manusia,

Untuk manusia!

Kepada anak-anak yang lahir hari-hari ini,

Dan besok pagi,

Dibesarkan dalam dunia baru yang datang,

Kita telah menjanjikan matahari kehidupan,

Yang cemerlang dalam sejuta cahaya,

Dan abadi!!!

Di sisi lain, latar meja keluarga dan perhatian Sugiarti pada praktik keramahtamahan membuat puisinya menyimpang dari pengaruh bahasa dan emosi dominan dalam sastra baku tempur. Puisi-puisi seputar solidaritas Asia-Afrika, baik di lingkungan bahasa penyair kiri dari dalam maupun luar negeri, umumnya terdorong menggeluti kata-kata sebagai senjata berpeluru hujatan ganas. Ada wajarnya, sebab dasawarsa 1950-1960-an, emosi para penyair lintas bangsa tertuju pada medan perang di Vietnam, Kuba, Kongo, dan sebagainya. Emosi revolusi yang paling kental terbaca dalam Sastra Bandung Transnasional adalah amarah yang dibakar oleh keinginan menghantam musuh dan memenangi perang. Suatu emosi yang penting, tetapi jelas bukan satu-satunya jenis emosi yang bertebaran dalam revolusi terorganisasi.

Rumusan sastra baku tempur Fanonian memang jitu menggelorakan perlawanan antikolonial, akan tetapi cendekiawan feminis Chandra Mohanty telah mengingatkan bahwa rumusan itu sangat didominasi oleh metafora maskulin dan terlalu mengunggulkan perjuangan bersenjata. Dampaknya, peran penting perempuan yang terlibat dalam kerja-kerja di luar itu jadi tidak kelihatan dalam narasi sejarah pembebasan nasional dan solidaritas transnasional.[11]

Keramahtamahan antikolonial dalam puisi Sugiarti menawarkan metafora, emosi, dan ruang yang lebih terbuka merengkuh kerja-kerja perawatan yang umumnya dibebankan pada perempuan.

Kerja keramahtamahan itu penting, ikut membentuk peristiwa bersejarah, dan seharusnya tidak hanya dibebankan pada gender yang ditempeli stigma lemah dan lembut. Suguhan “minuman-minuman manis” di meja keluarga Asia-Afrika dihadirkan Sugiarti sebagai pelepas dahaga untuk memperpanjang napas perjuangan antikolonial. Di meja itu, menawarkan keramahan bukan berarti menjinakkan kemarahan pada kolonialisme. Di meja itu, Sugiarti mengajak kita mengingat kerja-kerja yang kerap dianggap remeh dalam penggalangan solidaritas.

 

[1] Fairuzul Mumtaz, Karya-Karya Lengkap Sugiarti Siswadi (Yogyakarta, I:Boekoe, 2016), hlm. 109-10. Mumtaz juga sempat membahas puisi “Kepada Sahabat Asia-Afrika”, lihat hlm. 155-57.

[2] Informasi ini diperolehnya dari wawancara dengan Hersri Setiawan, seorang pengarang dan aktivis Lekra yang pernah ditempatkan sebagai wakil Indonesia di Biro Pengarang Asia-Afrika, Kolombo, Sri Lanka. Ni Made Purnamasari, “Pengadilan Tani untuk Sorga di Bumi” dalam Yang Terlupakan dan Dilupakan, ed. Pradewi Tri Chatami (Jakarta: Marjin Kiri, 2021), hlm. 132.

[3] Pidato pembukaan KAA oleh Soekarno, 18 April 1955. Tonton potongan klip-nya di https://www.youtube.com/watch?v=DRIch247vb8 atau baca di https://www.cvce.eu/en/obj/opening_address_given_by_sukarno_bandung_18_april_1955-en-88d3f71c-c9f9-415a-b397-b27b8581a4f5.html

[4] Untuk penelitian akademis cemerlang tentang asal usul dan hasil KAA yang menitikberatkan sumber arsip dari Indonesia, lihat Wildan Sena Utama, Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (Jakarta: Marjin Kiri, 2017). Selanjutnya ditulis Konferensi Asia-Afrika 1955.

[5] Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third World, (New York: The New Press, 2007), hlm. xv.

[6] Untuk kritik dekolonial atas imperialisme dalam konsep humanisme Abad Pencerahan lihat Walter Mignolo, The Darker Side of the Renaissance (Michigan: Michigan University Press, 2003).

[7] Naoko Shimazu, “Women Performing ‘Diplomacy’ at the Bandung Conference of 1955” dalam Bandung at 60: New Insights and Emerging Forces, ed. Darwis Khudori (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 43.

[8] Konferensi Asia-Afrika 1955, hlm. 151-2.

[9] Untuk pemandangan umum tentang gerakan perempuan Dunia Ketiga di masa pembebasan nasional lihat karya klasik Kumari Jayawardena, Feminism and Nationalism in the Third World (London: Verso, 2016).

[10] Duncan Yoon, 2014. Cold War Africa and China: The Afro-Asian Writers’ Bureau and the Rise of Postcolonial Literature. Disertasi PhD., University of California, hlm. 49-50.

[11] Chandra Mohanty, Feminisme Tanpa Batas: Dekolonisasi Teori dan Praktik Solidaritas (Jakarta: Marjin Kiri, 2022), hlm. 12-13.

Blog30 Maret 2022

Brigitta Isabella


Brigitta Isabella meneliti dan menulis tentang topik-topik seputar lalu lintas penciptaan pengetahuan di persimpangan sejarah seni, teori kritis, dan aktivisme budaya. Penelitiannya tentang sejarah wacana geopolitik dan mobilitas seni budaya diawali dengan keterlibatannya dalam program Ambitious Alignment: New Histories of Southeast Asian Art (2015-2016). Ia tergabung dalam forum dan kolektif belajar KUNCI sejak 2009 dan belakangan turut serta dalam kerja-kerja Peretas (Perempuan Lintas Batas).

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.