Sastra Indonesia adalah frasa nomina yang makna relasi antarkomponennya selalu memungkinkan peninjauan ulang atau bahkan pembaruan tafsir. Dalam upaya menentukan titik awal kesusastraan Indonesia modern, para kritikus sastra terdahulu meringkas relasi tersebut menjadi bahasa dan bangsa. Meski demikian, argumentasi yang menyokong pandangan tersebut tidak selalu saling mendukung dan kadang kala bahkan saling menafikan sebagaimana tampak, misalnya, dalam tulisan-tulisan Ajip Rosidi, H.B. Jassin, Umar Junus, dan Rachmat Djoko Pradopo.
Dengan kata lain, pembahasan tentangnya jauh dari bisa dikatakan tuntas. Seiring perjalanan waktu, persoalan yang semula menyangkut eksistensi sastra Indonesia sebagai sebuah entitas lantas memunculkan berbagai persoalan lain. Jika persoalan awal melibatkan hanya eksistensi teks-teks berbahasa Belanda, Melayu, dan Indonesia yang baru lahir, kini komponen-komponen kebahasaan yang terlibat meluas menjadi Inggris, Arab, dan variasi bahasa daerah. Jika spirit kebangsaan relatif mudah dikenali dalam teks-teks awal kesusastraan Indonesia modern, maka menyigi bangsa dalam bahasa pada masa kini merupakan upaya yang sukar ditemukan ujungnya disebabkan pangkal yang kian samar.
Maka, ditinjau ulang kini saat kesusastraan Indonesia modern sudah berusia lebih dari satu abad, kelindan persoalan bahasa dan bangsa sebagai penentu identitas sastra Indonesia tampak sebagai persoalan bahasa, identitas, dan representasi. Ketiganya bertaut bukan hanya dengan karya sastra, melainkan juga dengan para sastrawan; bukan hanya dengan struktur yang tersurat pada teks, melainkan juga dengan yang tersirat. Persoalan lain yang lebih besar: ketiganya juga sangat rentan bertaut dengan politik.
Namun, mungkin karena itu pula maka persoalan tersebut selalu menarik untuk dibahas dan selalu penting untuk ditinjau ulang. Kritik atas tahun 1920 sebagai titik tolak sastra Indonesia modern, penyusunan ulang pokok dan tokoh yang luput dari antologi-antologi kanon, pemberian ruang inklusif tanpa mengutamakan aspek geografi tertentu merupakan contoh-contoh upaya tersebut. Inklusivitas yang sudah dicontohkan sejak awal oleh para penyair dan pemikir generasi awal seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan mereka yang terlibat dalam Polemik Kebudayaan tampak sebagai warisan yang kini kembali mengemuka justru karena kesenjangan teknologi kini dan lampau, yakni teknologi digital.
Sapardi Djoko Damono pernah mengungkapkan pergeseran identitas sastrawan masa kini dari citizen ke netizen. Aspek teritori yang sebelumnya menjadi salah satu tolok ukur pasti penautan sastrawan dengan bahasa dan bangsa pun menjadi ikut bergeser. Dengan kata lain, keakraban seorang sastrawan dengan bahasa dan teritori penanda bangsa lain menjadi meningkat, terlihat dari hadirnya karya-karya sastrawan lokal yang anasir intrinsiknya tidak menautkan teks dengan apa yang lazim menengarai keindonesiaan atau bahkan disampaikan menggunakan medium bahasa asing. Situasi semacam itu sebenarnya sudah terjadi juga di masa silam jauh sebelum bahasa Indonesia mendapatkan nomenklaturnya. Demikian juga fenomena sebaliknya dengan contoh berupa Sastra Hindia Belanda atau karya-karya sastrawan Australia dan Mesir yang menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab tetapi dengan latar dan karakter sepenuhnya atau didominasi Indonesia.
Dengan demikian, perkembangan internet pada dasarnya bukan menciptakan, melainkan memungkinkan terjadinya peningkatan frekuensi fenomena semacam itu. Fenomena yang kurang lebih sama terjadi juga ketika lokalitas menjadi konsep yang tren dan menampilkan bahasa daerah di sela-sela teks sastra Indonesia menjadi jalan pintas untuk menciptakan kesan tersebut. Tegangan antara pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah merupakan masalah lain yang sering kali menimbulkan kecurigaan bahwa mengembangkan yang satu akan berimbas mematikan yang lain.
Dalam situasi mengaburnya tapal batas antar bangsa dan bahasa semacam itu, pertanyaan tentang cara sastra Indonesia menatap dirinya sendiri juga menjadi penting. Jika sastra Indonesia merupakan “warga sastra dunia”, cara seperti apakah yang dimungkinkan untuk menjaga supaya gerak menuju universalitas Sastra Dunia tidak lantas menihilkan partikularitas? Selain itu, pandangan terhadap diri sendiri hampir selalu beririsan dengan pandangan pihak lain sehingga universalitas dan partikularitas, jika diperlakukan sebagai opsi, sama-sama problematis: memilih yang pertama memungkinkan isu lama terkait “pusat” dan “daerah” kembali muncul sebagai dua pesaing berebut tampil di mata dunia, sementara memilih opsi kedua memungkinkan sastra Indonesia jatuh menjadi sekadar eksotisme dari Selatan.
Oleh sebab itu, situs kritik sastra tengara.id edisi ke-11 kali ini menampilkan empat tulisan yang memperkarakan identitas, bahasa, dan representasi dalam sastra Indonesia dari berbagai sudut pandang dan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mencoba meninjau ulang lanskap sastra Indonesia secara holistik dan mencari titik temu partikularitas dan universalitas dalam kartografi sastra dunia. Ada juga yang bertolak dari penyigian karya-karya spesifik, baik klasik ataupun kontemporer, ataupun yang secara induktif bergerak dari pengalaman personal persentuhan dengan bahasa mencoba menunjukkan bahwa historiografi bahasa dan sastra Indonesia sebenarnya lebih kosmopolit dibandingkan yang mungkin selama ini tergambar ke permukaan.
Dalam esai “Sastra Indonesia sebagai Teori Sastra Dunia”, Martin Suryajaya menganalisis akar situasi dilematis antara menempuh jalan mempartikularkan atau menguniversalkan sastra Indonesia lantas menyodorkan jalur alternatif. Jalur tersebut dimungkinkan melalui upaya beranjak dari “mentimur-timurkan diri” atau merengkuh universalitas semu yang pada dasarnya sama-sama bertolak dari internalisasi pemaknaan Utara Global. Jalur alternatif dimaksud adalah upaya menguniversalkan Selatan Global dengan salah satu contoh cemerlang kesuksesannya tampak pada realisme magis Amerika Latin. Akan tetapi kesuksesan boom sastra semacam itu juga hanya dimungkinkan ketika diimbangi oleh peralihan posisi dari pengguna teori-teori sastra Utara Global menjadi produsen teori sastra—tantangan yang sedikit banyak mengingatkan pada gagasan Subagio Sastrowardoyo tentang “teori sastra sendiri”—sekaligus upaya penduniaannya.
Menggunakan cara berbeda, dalam esai “Identitas dan Pengkhianatan: Membaca Poskolonial di Mata Kolonial”, Areispine Dymussaga Miraviori mendekonstruksi citra kesadaran identitas Oeroeg sebagai pengkhianatan dalam naratif novel Oeroeg (1948) karya Hella Haasse. Alih-alih pengkhianatan, pembentukan identitas yang tak selaras tujuan praktis Politik Etis itu justru merupakan kesadaran poskolonial. Terlepas dari fakta publikasi awalnya dalam bahasa Belanda, novel ini merupakan salah satu contoh karya yang memantik elaborasi wacana kolonial dan poskolonial dalam berbagai karya yang diakui sebagai sastra Indonesia, termasuk mungkin dari para pengarang yang membacanya dalam versi terjemahan Indonesia.
Sebagaimana esai Areispine Dymussaga Miraviori, esai “Syahrazad bagi Hikayat dari Negeri Asing” karya Royyan Julian juga bertolak dari pembacaan karya spesifik, yakni cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang menggunakan berbagai latar luar negeri. Melalui kombinasi analisis tema queer dan aspek kebahasaan, Royyan menunjukkan bahwa latar luar negeri diperlukan demi kepaduan anasir intrinsik cerpen dan kecakapan Triyanto mengolah bahasa Indonesia justru menunjukkan ciri keindonesiaan yang kuat. Dengan kata lain, identitas keindonesiaan tidak mesti ditakar berdasarkan hanya anasir naratif, melainkan juga berdasarkan bagaimana medium bahasa diolah untuk menarasikannya. Kehadiran yang asing di tengah-tengah yang Indonesia sebagaimana tampak pada cerpen-cerpen Triyanto justru mengindikasikan kosmopolitanisme.
Ni Made Purnama Sari, melalui esai “Bahasa Indonesia yang Saya Kenali”, menyigi posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang kerap kali problematis dengan bertolak dari pengalaman personal persentuhan dengan bahasa Indonesia di ruang sekolah. Melacak sejarah pembakuan bahasa Indonesia yang “penuh silang sengkarut” dan dikotomi antara daerah sebagai yang tradisional dengan Indonesia sebagai entitas yang baru sehingga menuntut kreativitas penggunaan bahasa baru itu supaya menjangkau pemahaman sebanyak mungkin publik dari berbagai daerah, esai ini menunjukkan bahwa pada dasarnya situasi semacam itu merupakan fase historis. Ketegangan tersebut melunak ketika para seniman mulai berani menunjukkan lokalitas dalam budaya dan sastra Indonesia, fenomena yang kemudian terus berlangsung sampai sekarang. Alih-alih hanya terpaku pada pameran bahasa, identitas justru akan muncul lebih kuat melalui penghayatan sesuatu yang lebih substantif, yakni “pikir dan laku” masyarakat yang akan disuarakan oleh sastrawan.
Melengkapi pembahasan dalam esai-esai yang sudah disinggung, kami menampilkan wawancara seru dengan Prof. Manneke Budiman, “Meninggalkan Definisi, Merengkuh yang Estetis”. Pandangan segar Prof. Manneke sebagai kritikus sastra menyajikan kilas balik analitis tentang akar semua permasalahan tersebut pada persentuhan antara sastra dengan politik. Upaya menciptakan batas tegas tentang sastra Indonesia muncul persis ketika definisi sastra coba untuk ditundukkan oleh agenda politis. Oleh sebab itu, melalui penghindaran situasi semacam itu, yakni dengan menempatkan sastra pada khittah-nya sebagai yang estetis, baru sastra Indonesia bisa menghindari dikotomi yang tak perlu antara partikularitas dan universalitas: satu sikap yang justru sudah ditunjukkan oleh para pendahulu.
Keempat esai dan satu wawancara yang dimuat kali ini mungkin pada akhirnya tidak menjawab semua persoalan. Akan tetapi setidaknya mereka mampu menyodorkan berbagai pandangan segar yang sekaligus mengingatkan betapa banyak pekerjaan rumah baik bagi sastrawan ataupun kritikus sastra Indonesia. Berbagai “percikan permenungan” lain dari publik pembaca setia tengara.id tentu saja selalu kami tunggu untuk rubrik Blog yang hadir dengan frekuensi lebih rapat dan naratif yang lebih singkat tetapi kami percaya mampu menunjukkan bahwa gairah kita untuk memajukan sastra Indonesia terus meningkat.
Selamat membaca.
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.

