Apakah Harus Ada Kanon Sastra Indonesia?

Foto oleh Paul Kadarisman

Konon, Sastra Masuk Kurikulum

Juni tahun lalu di The Guardian, Jeffrey Boakye[1], seorang penulis dan pengajar sastra Inggris, menulis keresahannya pada kanon sastra Inggris yang sarat dengan supremasi kulit putih, bias kelas, dan bias gender. Dia menganggap pendidikan formal di sana sebagian besar dirancang untuk anak-anak kelas menengah atas dengan kanon sastra didominasi oleh laki-laki kulit putih heteroseksual yang secara historis menikmati banyak privilege. Bagi Boakye, perlu adanya pembongkaran kanon lama, dan kurikulum dianggap mampu menjadi titik awal untuk mengatasi persoalan ketidakadilan sosial yang termuat dalam pendidikan, terkhusus dalam kanon sastra.

Selang sekian bulan, ada kabar dibentuknya sebuah tim di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mengkurasi karya-karya sastra yang direncanakan menjadi bacaan wajib bagi siswa-siswi sekolah dari tingkat dasar sampai menengah atas. Informasi itu membuat terbitnya harapan akan adanya penyusunan kanon baru dan membayangkan sastra akan menjadi mata pelajaran mandiri, bukan lagi bagian kecil dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi saat mendengar nama programnya: Sastra Masuk Kurikulum.

Selain harapan, ada dugaan hasil kurasi itu pasti disertai pro dan kontra. Nyatanya, harapan dan dugaan itu rontok semua. Pertama, Sastra Masuk Kurikulum menjelma seperti jargon yang menutupi semakin terpinggirkannya sastra. Alih-alih sastra dipusatkan untuk menjadi mata pelajaran, malah difungsikan sebagai sarana pendukung pembelajaran berbagai mata pelajaran. Niatnya memang baik agar karya sastra tidak hanya dibaca sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia. Namun, perlu diketahui bahwa Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan mengeksplorasi sumber belajar dan menyarankan para guru untuk menguraikan konektivitas antarmata pelajaran sehingga sastra justru akan lebih memungkinkan untuk dipelajari dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain apabila jadi mata pelajaran, dan pada kondisi itulah sebuah kanon—bukan rekomendasi—lebih dibutuhkan.

Kedua, ternyata tidak ada pro, semua kontra—termasuk tim kurator—baik pada buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra maupun pada Daftar Rekomendasi Buku Sastra yang termuat di dalamnya. Buku panduan memiliki banyak kekurangan dan kekeliruan yang amat fatal hingga tak layak disebut sebagai buku. Sementara Daftar Rekomendasi Buku Sastra banyak digugat karena adanya konflik kepentingan yang mana karya para kurator masuk dalam daftar rekomendasi tersebut. Kemendikbud akhirnya menarik panduan tersebut dan konon sekarang sedang dalam tahap revisi.

Lepas dari sejumlah pihak yang pesimistis rekomendasi tersebut kelak diaplikasikan dalam pendidikan di sekolah—karena sebentar lagi ada pergantian kepemimpinan dengan kebiasaan ganti kurikulum—saya termasuk yang menanti hasil revisi tersebut. Dalam masa penantian ini, izinkan saya menguraikan beberapa hal terkait kanon sastra dimulai dari pertanyaan:

 

Apakah Setiap Rekomendasi Bacaan adalah Kanon?

Pemahaman tentang kanon selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh sejarah. Dalam sejarah sastra Indonesia, sependek pengetahuan saya, belum pernah ada rekomendasi bacaan sastra yang bukan usaha kanonisasi. Padahal, melepaskan rekomendasi dari kanon sangatlah mungkin, yakni dengan menanggalkan aspek historisitas dan estetika untuk fokus pada tujuan rekomendasi tersebut.

Dalam bagian “Tentang Program”  pada Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (Kemendikbud, 2024), kriteria utama pemilihan karya sastra berdasarkan dimensi, elemen, dan subelemen Profil Pelajar Pancasila yang demikian berjenjang dan rumit. Jika saja ini menjadi kriteria satu-satunya pemilihan karya, hasilnya akan sebatas rekomendasi. Namun, yang terjadi adalah pemilihan juga didasarkan pada hal-hal yang identik dengan kanon, yang disebut dalam buku tersebut sebagai kriteria sastrawi, terutama poin tentang “…karya-karya dari periode awal hingga para penulis dari generasi terkini.” Aspek kriteria tambahan dalam pemilihan karya semakin menunjukkan upaya kanonisasi daripada sekadar rekomendasi: “…menimbang berdasarkan penghargaan yang telah diperoleh…”.

Harus diakui bahwa program kurasi untuk rekomendasi bacaan ini merupakan terobosan dalam sejarah pemerintahan Indonesia terkini untuk mengarahkan pendidikan sastra di sekolah yang dilakukan dengan gegap gempita. Sebelumnya, hanya terdengar lirih adanya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam “memasukkan” sastra dalam pembelajaran sekolah.[2] Akibatnya, beberapa karya yang tak laik kadang dijadikan materi pembelajaran masuk dalam sejumlah buku pelajaran maupun Lembar Kerja Siswa (LKS). Di sisi lain, ketiadaan rekomendasi buku sastra justru dibarengi dengan kurangnya motivasi untuk membaca karya sastra di kalangan pendidik dan peserta didik.

Kalaupun ada materi karya sastra yang cukup laik masuk dalam pelajaran bahasa Indonesia, kebanyakan berinduk pada buku-buku “Angkatan” yang sudah banyak dikritik. Artinya, selama ini belum banyak inisiatif dari pemerintah untuk menyusun kanon atau rekomendasi sendiri demi tujuan pembelajaran di sekolah. Begitu ada inisiatif, bahkan dengan melibatkan banyak sastrawan dan akademisi, malah ada banyak blunder, meski harus dimaklumi sebagai kewajaran untuk setiap yang pertama.

Perhatian pemerintah yang minim terhadap sastra—dan pendidikan pada umumnya—turut mengamplifikasi kritik pada program Sastra Masuk Kurikulum berikut panduan yang menyertainya. Apalagi perilisan program tersebut justru di saat isu naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) Perguruan Tinggi dan kontroversi pendapat pejabat Kemendikbud soal pendidikan tersier. Sampai-sampai ada saja yang menyeletuk di kolom komentar IG Badan Bahasa pada unggahan tentang agenda rilis program tersebut: “Padahal banyak hal lain yang jauh lebih urgent…”

 

Kanon Statis

Sejarah sastra Indonesia lebih didominasi kanon statis. Ada dinamika pada pembahasan beberapa periode, tapi selalu didominasi satu pihak, dan uniknya pihak itu adalah yang selalu “diserang” yakni H.B. Jassin dan A. Teeuw. Nama-nama semisal Ajip Rosidi (melalui Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia, 1969), Zuber Usman  (melalui Kesusastraan Lama Indonesia [1954] dan Kesusastraan Baru Indonesia [1957]), Bakri Siregar (melalui Sedjarah Sastera Indonesia Modern I, 1964), Claudine Salmon (melalui Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa, 2012 [versi asli 1981]), dan Keith Foulcher (melalui Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933–1942, 1980 dan Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia, 1994) kurang mendapatkan ruang dalam pembelajaran sejarah sastra Indonesia.

Selebihnya, kanon disusun dengan gairah untuk melahirkan sebuah angkatan, semisal yang digagas Korrie Layun Rampan tentang Angkatan 80 dan Angkatan 2000. Pamusuk Eneste juga masuk dalam kategori ini melalui Novel-Novel dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 70-an dan Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esei dan Kritik (1983). Linus Suryadi AG agak berbeda dengan upaya menyusun puisi-puisi Indonesia modern melalui Tonggak (1987), yang sampai 4 jilid, tetapi tanpa upaya pembongkaran sebab apa yang disusunnya telah banyak direkomendasikan oleh penulis sejarah sastra sebelumnya. Begitu pula ketika menyusun Tugu (1986), Linus juga hanya fokus pada penemuan dari apa yang sudah disibak oleh Teeuw.

Di antara dua kecenderungan itu, ada beberapa akademisi yang mencoba membuat kanon dengan menulis sejarah sastra Indonesia, seperti yang dilakukan Sarwadi (Sejarah Sastra Indonesia Modern) serta Rosida Erawati dan Ahmad Bahtiar (Sejarah Sastra Indonesia). Namun, apa yang dihasilkan mereka hanya rangkuman—untuk tidak mengatakan sebagai pengulangan sebagaimana tampak pada judul-judul buku mereka—dari apa-apa yang sudah disusun oleh sejarawan sastra Indonesia sebelumnya. Sama sekali belum ada upaya pembongkaran, kalau pun ada temuan, semata klasifikasi sastra kontemporer semasa buku itu disusun. Barangkali buku-buku itu akan lebih pas diberikan kata “Pengantar” di awal setiap judulnya.

Di kampus-kampus yang memiliki program studi Bahasa dan Sastra Indonesia kanon statis itu diajarkan sampai sekitar pertengahan awal dekade 2000-an. Buku Teeuw dan Jassin menjadi bacaan wajib. Upaya membongkar kanon lama kalah oleh wacana sastra pada kurun masa tersebut, semisal sastra wangi, sastra islami populer, sastra siber, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, pada masa ini pengajaran sastra mulai terbuka pada sejarah sastra Indonesia versi Bakri Siregar dan peranan peranakan Tionghoa yang dikaji Claudine Salmon sudah banyak dibicarakan. Meskipun itu menjadi bacaan sekunder selain karya-karya Ajip Rosidi, Umar Junus, dan Zuber Usman. Dan hal-hal yang berasal dari buku sekunder itu menjadi sesuatu yang asing bagi mahasiswa sebab di masa sekolah, generasi remaja 1990-an tidak diajarkan perihal tersebut.

Apabila kita bandingkan dengan pengajaran sastra di luar negeri akan tampak begitu timpang. Sejak 1970-an telah ada diskusi yang intens soal kanon sastra Inggris dan Amerika. Asumsi-asumsi baru bermunculan soal kanon untuk pengajaran sastra. Pertama, adanya pembagian pengajaran tokoh-tokoh kanonik pada jenjang tertentu agar tidak diulang di jenjang berikutnya. Misalnya, jika pada jenjang sarjana telah diajarkan karya-karya Shakespeare maka itu tidak akan diajarkan di jenjang berikutnya. Penjenjangan ini penting agar tidak menghabiskan waktu, juga agar mahasiswa belajar dengan terstruktur. Dalam pendidikan sastra di Indonesia, apa yang ada adalah penjenjangan teori, bukan objek karya sastra. Maka, ada kemungkinan seseorang mendapatkan gelar master bidang ilmu sastra dengan objek kajian yang sama dengan yang dikerjakannya untuk mendapatkan gelar sarjana.

Kedua, penemuan penulis-penulis baru untuk ditambahkan dalam kanon dengan kerja arsip yang tertib. “Penulis-penulis baru” di sini dalam arti bukan penulis kontemporer, tapi penulis yang dulu terpinggirkan, yang tak tercatat dalam kanon lama. Indonesia termasuk yang lemah dalam hal pengarsipan, termasuk dalam arsip karya sastra. Sementara ini arsip yang cukup lengkap dikoleksi PDS H.B. Jassin sehingga pembongkaran kanon lama, dalam hal ini yang disusun Jassin, agak sulit dilakukan. Meskipun demikian, semenjak era digital, pengarsipan sastra sudah lebih baik sehingga peneliti di masa depan tidak akan mengalami kesulitan sebagaimana peneliti sekarang ketika mengkaji sejarah sastra Indonesia modern pada masa-masa awal perkembangannya.

Ketiga, kategorisasi yang sebelumnya digunakan dalam penyusunan kanon menunjukkan adanya bias ideologis, etnis, dan gender. Dengan dasar itu, para akademisi di sana menyusun antologi karya untuk bekal pengajaran sastra yang meluaskan kategorisasi kanon pada representasi ideologi, etnis, dan gender.[3] Di Indonesia kanon lama tidak hanya bias ideologi, etnis, dan gender, tetapi juga ada semacam hierarki genre sehingga, misalnya, puisi realis terpinggirkan oleh puisi liris.[4]

Wesling (1997)[5] menyebutkan pada kurun 1970 sampai 1990-an ada dua kekuatan dominan dalam dunia sastra: pertama, Kanon Baru, yang dulunya merupakan antikanon, dan kedua, teori sastra konstruktivis sosial yang berperan sebagai antagonis terhadap semua kanon, melalui penolakannya terhadap segala sesuatu dalam budaya yang diterima begitu saja. Kanon Baru menolak ciri yang selama ini dilekatkan dalam Kanon Lama, yakni dengan (1) tidak lagi merujuk pada makna asli istilah kanon yang berdampak pada ditanggalkannya nilai kesucian, (2) tidak lagi menerima kredo klasik karya kanonik sebagai inkarnasi estetis dari esensi universal, (3) tidak lagi menerima karakter karya besar yang terbukti dengan sendirinya, (4) tidak lagi menerima gagasan klasik sebagai prototipe dari semua mediasi masa lalu dengan masa kini, dan (5) tidak lagi menerima postulat kanon yang tetap dan tidak berubah. Dengan menolak kelima hal tersebut, Kanon Baru memperluas kriteria sastra kanon tidak semata pada aspek estetis dan historis, tetapi juga pada keterwakilan ideologi, etnis, gender, orientasi seksual, dan hal-hal lain yang sebelumnya tidak pernah dilirik Kanon Lama.

Sementara itu, teori sastra konstruktivis keukeuh menolak keberadaan kanon. Mereka lebih memilih membongkar bagaimana karya-karya tertentu mendapatkan predikat terbaik dibandingkan karya lainnya. Pengaruh pemikiran Pierre Bourdieu tentang arena produksi kultural sangat kuat. Dalam pandangan Bourdieu selera budaya sepenuhnya dikonstruksi untuk melayani kelas yang dominan. Dengan cara pandang itu, karya-karya kanon dianggap hanya memenuhi selera kelas tertentu daripada merepresentasikan semua kelas.

 

Kontra Kanon

Apa yang disampaikan Bourdieu sejalan dengan pemikiran Kermode (1979)[6] yang menganggap kanon pada dasarnya adalah konstruksi strategis yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri karena kanon memungkinkan kendali atas teks-teks yang dianggap serius oleh suatu budaya. Keberadaan kanon lalu dicurigai sebagai upaya kelas tertentu untuk mempertahankan kekuasaan atas selera budaya.

Di Indonesia pengaruh teori konstruktivis dapat dilihat dalam penelitian Wijaya Herlambang[7] yang dengan cermat menguak bagaimana kebudayaan, termasuk sastra, selepas 1965 dikonstruksi oleh Barat yang diarahkan secara terstruktur melalui beberapa pribadi dan lembaga. Esai Saut Situmorang, “Politik Kanonisasi Sastra dalam Sastra Indonesia”[8], juga termasuk yang dipengaruhi cara pandang konstruktivis, yang menyingkap bagaimana karya Ayu Utami mendapatkan banyak apresiasi dengan memaparkan sejumlah langkah strategis di luar kekaryaan untuk mendapatkan pengakuan.

Perspektif kaum konstruktivis semakin mendapatkan tempat dalam arena sastra Indonesia ketika Denny J.A. berupaya menokohkan dirinya sebagai seorang sastrawan perintis puisi esai. Upayanya dilakukan dengan mengajak beberapa sastrawan untuk membuat karya, mendirikan jurnal sastra, menyelenggarakan perlombaan, mengadakan pementasan karya, dan sejumlah agenda lainnya untuk mendapatkan pengakuan dalam sastra Indonesia. Publik sastra yang sudah mafhum tentang nilai karya yang tidak apolitis, yang terkait dengan sikap dan tindakan pengarangnya, menolak keras upaya yang dilakukan Denny J.A.[9] Selepas itu, setiap ada upaya yang menyusun daftar sastrawan dan/atau karya sastra banyak mendapatkan penolakan dari publik sastra Indonesia.

Barangkali saking kuatnya pengaruh kaum konstruktivis, sejumlah upaya menyusun kanon tak pernah terang-terangan melabeli hasil kerjanya sebagai kanon. Yang lugas menggunakan istilah itu justru mereka yang kontra kanon. Selain “Rekomendasi”, kata “Pusaka” juga dipilih oleh Kemendikbud ketika pada 2017 menyusun sebuah draf buku berisi daftar bacaan yang diberi judul “Pusaka Sastra”. Draf buku yang dieditori Adi Wicaksono dan Zen Hae ini lebih terang eksplorasi terhadap temuannya dalam memberikan sejumlah buku yang selama ini tidak masuk kanon lama. Buku ini juga menguraikan dengan jelas tentang pemilihan istilah “pustaka”, kriteria dan tujuan pemilihan, posisi draf tersebut dalam dunia pendidikan, dan ulasan tiap-tiap karya.[10] Sayangnya, draf buku ini sampai sekarang belum diterbitkan. Meskipun demikian, saya menduga draf buku ini menjadi bahan bacaan tim kurator Daftar Rekomendasi Buku Sastra.

 

Pembongkaran dan Penemuan

Sikap kaum konstruktivis yang menolak adanya kanon tentu perlu diapresiasi. Pemikiran mereka dibutuhkan untuk membongkar kanon lama yang statis. Sebab, kanon statis menghasilkan pengetahuan sastra yang statis juga. Tentu ini hal yang tidak baik bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, apakah harus berhenti pada pembongkaran?

Setiap upaya penyusunan kanon tidak hanya harus melakukan pembongkaran terhadap kanon lama, tetapi juga disertai eksplorasi terhadap temuan. Daftar Rekomendasi Buku Sastra sebenarnya telah melakukan pembongkaran terhadap kanon lama, tetapi tidak mengeksplorasi temuan mereka.

Bahkan, untuk beberapa hal, daftar tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dulu termaktub dalam Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan yang disusun oleh sejumlah kerani di Indonesia Buku.[11] Meskipun buku tersebut disertai disclaimer kalau tidak memilih “buku-buku terbaik”, tetapi daftar yang diberikan memang “patut” untuk dibincangkan.

Dalam buku yang diterbitkan tahun 2009 itu, setidaknya terdapat 3 hal yang dibongkar dalam kanon lama. Pertama, tim penyusun memasukkan sejumlah karya yang awalnya tidak ada dalam pembicaraan sastra Indonesia, semisal bagaimana Student Hidjo karya (Mas) Marco Kartodikromo diletakkan di atas Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang sebelumnya dikukuhkan, diajarkan, dan dipercaya sebagai novel pertama sastra Indonesia modern. Daftar Rekomendasi Buku Sastra juga memasukkan karya tersebut, dan juga Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Dua karya itu meskipun terdapat dalam sejarah sastra Indonesia versi Bakri Siregar, tetapi semasa Orde Baru dihilangkan agar sejarah sastra tidak ternoda dengan sesuatu yang beraroma komunis.

Kedua, buku ini berani memasukkan biografi, esai, dan catatan perjalanan, bahkan terjemahan Quran sebagai buku sastra. Kecuali terjemahan Quran, buku-buku jenis itu juga ada dalam Daftar Rekomendasi Buku Sastra. Padahal pada kanon lama, apa yang dianggap sastra hanya puisi, cerpen, novel, dan drama.

Ketiga, buku ini mengapresiasi karya populer dengan memasukkan Ali Topan dalam daftar. Akademisi sastra era 1980 sampai 1990-an tidak banyak menyediakan halaman untuk buku semacam karangan Teguh Esha ini dalam kertas-kertas kerja mereka. Hal yang juga dilakukan Daftar Rekomendasi Buku Sastra ketika memasukkan karya Tere Liye yang selama ini dianggap menulis karya “receh”. Karya-karya Tere Liye dan karya sastra berkategori populer memang telah mendapatkan ruang yang cukup dalam kajian sastra sehingga dimungkinkan untuk masuk dalam kanon selama sesuai dengan kriteria pengkurasian.

Penggunaan frasa “buku sastra” dalam buku susunan tim kerani Indonesia Buku dan tim kurator Kemendikbud dapat kita baca sebagai kompromi sekaligus upaya peluasan pada objek sastra yang tidak semata puisi, prosa, dan drama. Jika diuraikan dalam kategori jenis tulisan secara umum, buku sastra yang dimasukkan tersebut antara lain berjenis: esai, biografi, komik, catatan perjalanan, dan skenario film. Aspek generalitas dan keterbacaan demi peluasan pembaca sastra tampaknya amat kuat menjadi pertimbangan. Seandainya ada eksplorasi mengapa jenis-jenis tulisan itu dianggap sebagai karya—bukan buku—sastra, ini akan menjadi temuan. Namun, hal ini justru belum dieksplorasi lebih jauh dan mendalam. Padahal dalam tim kurator ada akademisi sastra yang mumpuni di bidang itu yang memahami bahwa pengertian karya sastra terus berkembang sehingga dapat menjelaskan ke publik bahwa, misalnya, biografi, komik, dan catatan perjalanan, kini merupakan jenis karya sastra.

 

Merancang Kanon

Dalam Cultural Capital: The Problem of Literary Canon Formation (1996) karya John Guillory terdapat adegan imajiner tentang sekelompok pembaca yang berasal dari identitas sosial dan budaya yang sama tengah membacai sejumlah teks dengan tujuan menyusun sebuah kanon. Adegan yang terus berulang di buku ini merupakan satire atas penyusunan kanon selama ini yang bagi Guillory merepresentasikan adanya dominasi kelas. Buku ini merupakan tanggapan atas debat kanon yang berlangsung pada masa itu di mana perdebatan mulai melebar pada isu multikulturalisme. Buku yang sebagian besar didasari oleh pemikiran Pierre Bourdieu ini mengajak kembali mempertanyakan apakah kanon harus ada? Apa fungsi kanon? Apa makna kanon? Bagaimana proses penyusunan kanon? Siapa yang paling ideal menyusun kanon?

Kanon dibutuhkan dalam pendidikan sastra agar pembelajaran dapat berlangsung secara sistematis dan terukur. Mustahil pendidikan sastra tanpa adanya kanon. Mereka yang kritis terhadap kanon tidak lain adalah yang tekun mempelajari karya-karya kanon, atau minimal mereka yang berasal dari pendidikan yang memanfaatkan kanon dalam pembelajarannya.

Gugatan terhadap kanon selama ini bermuara pada kriteria yang digunakan. Artinya, tidak banyak yang menyasar pada kanon itu sendiri. Kritik pada Daftar Rekomendasi Buku Sastra, misalnya, banyak yang menyasar pada soal konflik kepentingan, representasi kelas dan etnis, dan kurang terangnya kriteria pengkurasian. Di luar itu, tampaknya banyak yang sepakat bahwa kita tetap butuh kanon sastra. Persoalannya, sekali lagi, kembali pada bagaimana kriteria dirumuskan, ditetapkan, dan diterapkan.

Sebagaimana diketahui, definisi kanon berinduk pada pemikiran Matthew Arnold yang menyatakan kanon sebagai sekumpulan teks-teks berkualitas terbaik yang mewakili zamannya. “Terbaik” senantiasa bersifat subjektif; dipengaruhi ideologi, latar sosial, ekonomi, budaya; dan tidak ajeg. Dalam banyak kritik, penyematan “terbaik” pada daftar kanon berkonsekuensi: karya-karya yang tidak masuk daftar dianggap kurang, atau bahkan, tidak berkualitas.

Setiap kanon memiliki kriteria yang berbeda dalam menetapkan mana yang “terbaik”. Akan menjadi debat kusir apabila yang “terbaik” menurut seseorang harus sesuai dengan yang “terbaik” milik orang lain. Oleh karena itu, dalam penyusunan kanon perlu lebih dulu menyusun kriteria “terbaik”-nya dengan saksama disesuaikan dengan tujuan penyusunan kanon tersebut. Sependek pembacaan saya, kanon-kanon sastra sebagian besar disusun demi kepentingan pendidikan sastra, meski kemudian pendidikan sastra ini juga diarahkan pada tujuan pendidikan yang lebih umum, misalnya pendidikan yang inklusif, yang menerima keragaman ideologi, etnis, gender, dan orientasi seksual. Maka, karya-karya sastra yang akan masuk dalam daftar kanon adalah yang merepresentasikan keragaman tersebut.

Lalu, bagaimana dengan karya-karya yang tidak menunjukkan keragaman isu tersebut? Apakah otomatis itu karya-karya buruk? Dengan adanya kriteria yang jelas, publik sastra pasti akan paham bahwa “terbaik” dalam kanon tersebut bukan benar-benar terbaik karena dibatasi kriteria tertentu. Publik sastra dapat memberikan protes pada tujuan dan kriteria yang ditetapkan sebelum mengarah ke daftar kanon. Adapun kritik terhadap daftar kanon dapat menggunakan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan, apakah karya-karya yang ditetapkan sebagai kanon memenuhi keduanya, atau sebaliknya ada karya-karya yang memenuhi keduanya tapi luput dari daftar kanon.

Kalau demikian, apakah eksplorasi tema dalam karya sastra lebih penting daripada eksperimen bentuk? Tidak juga, sebab persoalan “mewakili zamannya” juga turut menjadi ketentuan sebuah kanon yang ditunjukkan melalui bentuk karya. Artinya, bentuk justru menjadi ukuran pertama, yang direpresentasikan pada konsep sastra di suatu zaman. Misalnya, catatan perjalanan yang kini dikukuhkan beberapa ahli sebagai karya sastra. Apabila ada suatu karya yang memenuhi unsur sastra perjalanan, ia dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam kanon. Namun, dalam tahap berikutnya, karya tersebut harus berkompetisi dengan yang sejenis untuk dipertimbangkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Dengan cara kerja demikian, kita dapat meninjau mengapa karya Agustinus Wibowo yang masuk Daftar Rekomendasi Buku Sastra, sementara karya Sigit Susanto atau Windy Ariestany tidak masuk?

Setiap orang dan lembaga dapat menyusun kanon sastra, tetapi peran pemerintah diharapkan lebih baik dari yang lainnya. Sebab tanpa peran pemerintah kanon akan sulit masuk kurikulum. Uraian sebelumnya telah menyinggung bagaimana kanon sastra di Indonesia banyak disusun secara personal, dan yang kemudian dimanfaatkan untuk kurikulum adalah yang hanya sesuai dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Inisiatif pemerintah terkini melalui Sastra Masuk Kurikulum dengan melibatkan banyak sastrawan dan akademisi sudah bagus, dan menghilangkan kecurigaan pada agenda politis pemerintah. Namun, yang perlu dicermati berikutnya adalah apakah tim kurator sudah cukup merepresentasikan keragaman ideologi, etnis, gender, dan kelas serta genre karya, yang memungkinkan adanya keterwakilan hal-hal terkait dan keragaman selera?

Harold Bloom, sosok yang paling tekun menyusun, dan lantang membela, Kanon Barat tradisional, memang mempermasalahkan soal pertimbangan representasi dalam penyusunan kanon, terutama tentang etnis dan gender. Baginya, idealisasi penggantian standar estetika dalam kanon dengan pertimbangan etnis dan gender adalah sesuatu yang mengagumkan, tetapi itu tidak dapat menggantikan kekuatan kanon yang terletak pada estetika karya. Ia menganggap mereka yang kontra terhadap kanon mereduksi perkara estetika menjadi ideologi. Padahal, menurut Bloom, Kanon Barat justru menetapkan standar pengukuran yang tidak bersifat politis. Ia berharap jangan sampai standar estetika di bidang humaniora hancur atas nama keadilan sosial.[12]

Kalau demikian, mana yang harus didahulukan, estetika atau representasi? Sebab nilai karya sastra ada pada estetikanya, maka estetika patut didahulukan. Kalau sekadar representasi, teks-teks di luar karya sastra banyak yang lebih kuat dalam menyuarakan keadilan sosial. Meski demikian, standar estetika tersebut harus dipastikan benar-benar lepas dari aktivitas politis, yang salah satunya dapat dicegah dengan keragaman latar belakang para kurator.

Dan yang lebih penting dari itu, poin yang telah disinggung oleh Wesley pada bagian tengah tulisan ini, jangan sampai kanon dianggap abadi dan tidak dapat berubah. Bahkan, sebisa mungkin, seturut gagasan Classen (2011)[13] setiap penyusunan kanon dalam kurikulum mampu memberdayakan peserta didik untuk mendekonstruksi batasan-batasan dalam kanon itu sendiri dan memungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru dari peserta didik. Misal hal tersebut dapat diwujudkan, tentu Sapardi Djoko Damono[14], dan beberapa pendidik yang sepaham, tidak akan menolak kehadiran kurikulum sastra yang berlaku secara nasional.

Semisal kurikulum sekarang atau kurikulum pemerintahan baru nanti—misal dugaan ganti kurikulum itu benar—tidak menghasilkan kanon, barangkali tidak akan ada yang mengimbangi daftar karya sastra yang tengah disusun di Goodreads “Buku Indonesia yang Akan Menjadi Kanon di 2050”. ***

 

Daftar Pustaka

Boakye, J. (12 Juni 2023). The Big Idea: Do We Need to Dismantle the Literary Canon?. The Guardian. https://www.theguardian.com/books/2023/jun/12/the-big-idea-do-we-need-to-dismantle-the-literary-canon

Ismanto, A., dkk. (2009). Seratus Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. Bantul, Yogyakarta: i:boekoe.

Kermode, F. (1979), Institutional Control of Interpretation, Salmagundi, 43,72-86.

Wesling, D. (1997). Constructivist Theory and The Literary Canon. Hungarian Journal of

English and American Studies, 3(1), 139-148.

 

[1] Jeffrey Boakye, (12 Juni 2023), The Big Idea: Do We Need to Dismantle the Literary Canon?, The Guardian, https://www.theguardian.com/books/2023/jun/12/the-big-idea-do-we-need-to-dismantle-the-literary-canon

[2] Pada tahun 2017 Kemendikbud menerbitkan seri buku Sastra Budi Pekerti untuk mendukung pendidikan karakter di sekolah melalui apresiasi sastra. Buku disusun terpisah dari tingkat sekolah dasar sampai menengah atas. Isinya berupa saduran dari karya-karya sastra Indonesia dari berbagai masa yang dianggap sebagai tonggak pada zamannya. Dua tahun berselang, pada 2019, Dirjen Kebudayaan merancang draft buku Pusaka Sastra, tetapi sampai sekarang belum diterbitkan.

[3] Hasil dari perluasan kanon itu adalah buku The Heath Anthology of American Literature (1989) dieditori oleh Paul Lauter. Pada 2016, Lauter menyatakan kebanggaannya bahwa mereka, para penyusun buku itu, yang terdiri dari penulis beragam etnis dan perempuan penulis, telah memenangkan Perang Budaya karena berhasil mengubah arah pendidikan sastra di Amerika dengan lebih inklusif.  Lebih lanjut dapat dibaca dalam Paul Lauter, (2016), Transforming a Literary Canon, Transformations: The Journal of Inclusive Scholarship and Pedagogy (Paul Lauter, Ed.), 26(1), hlm. 31-33.

[4] Tentang bagaimana genre tertentu lebih dihargai atau dianggap lebih tinggi daripada genre lain dalam kanon sehingga menciptakan hierarki genre dapat dibaca artikel Alastair Fowler, (1979), Genre and the Literary Canon,  New Literary History,11(1), hlm. 97-119.

[5] Donald Wesling, (1997), Constructivist Theory and The Literary Canon, Hungarian Journal of English and American Studies, 3(1), hlm. 139-148.

[6] Frank Kermode, (1979), Institutional Control of Interpretation, Salmagundi, 43, hlm. 72-86.

[7] Lebih lanjut baca Kekerasan Budaya Pasca-1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film karya Wijaya Herlambang (Marjin Kiri, 2011).

[8] Lebih lanjut baca esai “Politik Kanonisasi dalam Sastra Indonesia” dan esai-esai lainnya yang sangat kuat perspektif konstruktivismenya dalam buku Politik Sastra karya Saut Situmorang (Jual Buku Sastra, 2018)

[9] Tentang ini dapat dibaca Skandal Sastra: Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dan Kriminalisasi Saut Situmorang karya Andre Barahamin, dkk. (IBC, 2016). Kajian akademik tentang kasus tersebut dapat dibaca pada tesis “Pergulatan Denny JA dalam Arena Sastra Indonesia” karya Fitriawan Nur Indrianto (FIB UGM, 2016).

[10] Draf “Pusaka Sastra” saya dapatkan dari tim redaksi Tengara.id sebagai bahan penulisan artikel ini. Dalam pembacaan saya, penyusunan draf ini secara tidak langsung beririsan dengan gagasan Altieri (1983) dalam memilih karya-karya yang masuk di dalam sebuah kanon, yakni karya yang punya kontras (beda dengan karya sezamannya), karya yang representatif (mewakili jiwa suatu zaman), dan karya yang inovatif. Gagasan tersebut dapat dibaca dalam Charles Altieri, (Sept 1983), An Idea and Ideal of a Literary Canon, Critical Inquiry, 10(1), hlm. 37-60.

[11] An Ismanto, dkk, (2009), Seratus Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan, Bantul, Yogyakarta: i:boekoe.

[12] Lebih lanjut tentang masalah ini dapat dibaca dalam bab “An Elegy for the Canon” dalam The Western Canon: The Books and School of the Ages (1994). New York, San Diego, & London: Harcourt Brace & Company.

[13] Classen, Albrecht, (2011), Defining and Teaching the Canon in German Studies, The German Quarterly, 84(1), hlm. 1-3.

[14] Dalam esai “Sastra dalam Kurikulum” Sapardi menunjukkan sikap yang ambigu, ia menolak kurikulum, tetapi menyarankan beberapa hal untuk dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum pendidikan sastra. Selengkapnya dalam Sapardi Djoko Damono, (2021), Sastra dan Pendidikan, Sleman, Yogyakarta: Pabrik Tulisan.

Esai24 Juli 2024

Saeful Anwar


Saeful Anwar adalah staf pengajar di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Menulis Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Nasional (UGM Press, 2017) dan Ruang-Ruang Kemungkinan dalam Kritik Sastra Akademik (Jejak Pustaka, 2024).