Melihat Medan dari Nadem
Pengalaman Penduduk Tionghoa di Medan Era Kolonial
Bagaimana struktur dan politik kolonial dialami oleh penduduknya? Bagaimana hal-hal tersebut tercerminkan dalam sastra pada masa itu? Untuk menggali identitas ke-Tionghoa-an dan kondisi politik serta sosial penduduk Tionghoa di Medan, kita dapat melihat karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar pada abad ke-20.
Impian dari Kota Nadem: Satoe tjerita jang sanget loetjoe menoeroet tjatetannja Tan Djit Seng – seterusnya akan disebut “Impian dari Kota Nadem” – diterbitkan sebagai fiksi (“satu cerita yang sangat lucu”) tetapi sebenarnya bisa dibaca sebagai novel politis yang ditulis berdasarkan pengalaman nyata (“menurut catatannya Tan Djit Seng”). Novel ini mengkritik para kepala masyarakat Tionghoa dan ketidakadilan yang terjadi di Medan pada awal abad ke-20.
Roman Impian dari Kota Nadem menceritakan perjalanan tokoh utama novel ini, Tan Djit Seng, ke Medan pada awal 1910-an. Di siang hari, ia berkeliling kota dan mendokumentasikan suasana dan masyarakat Medan serta kegiatannya selama melancong. Tiap malam, mereka meminum segelas “air bersih” supaya dapat memimpikan hal-hal “ajaib” mengenai kota Nadem (kata “Medan” dibalik).
Novel Melayu Tionghoa dalam Politik Kolonial
Impian dari Kota Nadem ditulis dalam “Melayu Pasar”. “Melayu Pasar” merujuk pada bahasa Melayu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, dalam Impian dari Kota Nadem, terdapat banyak istilah dari bahasa Hokkien, Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis dalam bahasa Melayu yang dipakainya. Melayu Pasar (disebut juga “Melayu Rendah”) sering dibedakan dengan “Melayu Tinggi”–varian Melayu yang distandardisasi oleh ahli bahasa Belanda C.A. van Ophuijsen untuk digunakan dalam sekolah, administrasi kolonial, dan Balai Pustaka.[1]
Dalam politik kolonial, sastra Melayu Tionghoa tidak dianggap sebagai “sastra” karena beberapa alasan. Selain karena ditulis dalam “Melayu Rendah”, kontennya dianggap sebagai sekadar “mencari sensasi” dan “tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral”. Anggapan itu mengasumsikan karya sastra Melayu Tionghoa (serta karya sastra populer lainnya dalam Melayu Pasar) tidak sesuai dengan definisi “sastra” yang saat itu dipromosikan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Balai Pustaka.
Dalam konteks tersebut, Impian dari Kota Nadem menggunakan Melayu Pasar dan diterbitkan melalui Sin Po serta penerbit Melayu Tionghoa untuk menyampaikan pesannya dengan efektif pada target pembacanya, yakni masyarakat perkotaan yang terdidik (yang juga membaca surat kabar Melayu).
Kebanyakan penulis sastra Melayu Pasar adalah wartawan, dan menggunakan gaya menulis jurnalistik dalam menulis novel. Konsekuensinya, banyak fiksi masa itu yang menggunakan deskripsi mendetail dan faktual. Selain itu, penulis sastra Melayu Pasar juga seringkali membubuhkan catatan bahwa cerita ini benar-benar terjadi di lokasi tersebut untuk meyakinkan para pembaca mengenai latar cerita yang faktual dan lokal. Sastra Melayu Tionghoa memasukkan elemen realisme dengan menekankan familiaritas kehidupan sehari-hari para pembaca dan menggunakan bahasa sehari-hari.[2] Contohnya, profil tokoh Tan Djit Seng dalam Impian dari Kota Nadem pun dibuat familier untuk para pembaca–disebutkan bahwa ia adalah seorang juru tulis (krani) dari Jawa.
Bagian pertama Impian dari Kota Nadem telah diterbitkan di surat kabar Sin Po, dan penulis awalnya menggunakan nama samaran Lim Gwat Ho. Ada beberapa alasan mengapa penulis menggunakan pseudonim pada masa itu. Mereka perlu menyembunyikan identitasnya untuk menghindari peraturan sensor dan saat mengkritik individu lain atau pemerintah kolonial.[3] (Di dalam novel Impian dari Kota Nadem, para penulis berita pun disebutkan berhati-hati ketika berhadapan dengan peraturan pers yang berlaku.[4]) Kemungkinan dua alasan inilah yang melatarbelakangi keputusan Oeij Kim Tjoan untuk awalnya menggunakan nama samaran Lim Gwat Ho.[5] Ketika cerita lengkapnya kemudian diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Kho Tjeng Bie di Batavia pada tahun 1913, penulis membubuhkan nama aslinya–Oeij Kim Tjoan–di akhir buku tersebut, supaya tidak dianggap pengecut oleh pembaca.
Melihat Identitas Tionghoa di Medan
Sebelum menyampaikan kritiknya, novel ini terlebih dahulu meyakinkan pembaca akan faktualitasnya – bahwa ada cerita-cerita yang betul-betul terjadi di Medan, dan disaksikan oleh tokoh Tan Djit Seng, seorang juru tulis yang melancong ke kota Medan pada awal abad ke-20.
Kota Medan tumbuh dari perkebunan dan berkembang menjadi pusat administrasi dan bisnis di Sumatra Utara. Perkebunan dan kehidupan kota ini menarik banyak pendatang dari berbagai macam etnis dan negara. Di kota yang bertumbuh pesat ini, tempat-tempat publik ramai dengan orang dari berbagai etnis, termasuk orang Tionghoa. Tan Djit Seng mencatat dalam Impian dari Kota Nadem, bahwa sesampainya di Medan, Labuan dan Belawan, mereka melihat banyak orang Tionghoa yang melakukan “pekerjaan kecil” seperti di Penang dan Singapura – menjadi kuli angkat barang, kuli di kereta api, penarik angkong (rickshaw), pedagang di pasar, dan sebagainya. Selain untuk bekerja, tempat-tempat publik juga digunakan penduduk kota untuk kegiatan rekreasi seperti menonton pertunjukkan teater dan pertandingan bola.
Di tempat-tempat publik ini juga, kita banyak melihat diskusi dan ekspresi identitas ke-Tionghoa-an. Pada awal abad ke-20, kesadaran politik orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai menguat. Penduduk Tionghoa di Medan menanggapi gerakan nasionalisme bukan hanya dari Hindia Belanda saja, melainkan juga dari Tiongkok. Identitas Tionghoa merupakan salah satu tema sentral pada novel ini.
Salah satu ekspresi identitas politik di Hindia Belanda adalah melalui cara berpakaian. Cara berpakaian adalah penanda sosial dan “ras” yang penting di masyarakat Hindia Belanda. Sampai tahun 1905, pemerintah kolonial Belanda menetapkan pembatasan cara berpakaian yang ketat, karena sistem penjajahan bergantung pada stratifikasi ras. Maka itu, semua penduduk kolonial diwajibkan memakai pakaian sesuai etnisnya.[6] Impian dari Kota Nadem mencatat bahwa ketika peraturan itu dihapus, pada praktiknya tidak banyak orang Tionghoa di Medan yang mengubah cara berpakaiannya – sampai terjadinya Revolusi 1911 di Tiongkok. (Revolusi 1911 mengakhiri dinasti kekaisaran Qing di Tiongkok dan menjadi awal dari Republik Tiongkok yang berdiri pada tahun 1912).
Pada kunjungan pertama Tan Djit Seng di tahun 1910, ia mencatat banyak orang Tionghoa masih “berpikiran kuno” karena memakai pakaian Tionghoa (“baju twikim”). Namun, pada kunjungannya di tahun berikutnya, ia melihat kebanyakan penduduk Tionghoa Medan dari semua kelas sosial mendukung revolusi tersebut dengan cara berpakaian mereka. Para penduduk kota ini memotong “taucang” (gaya kuncir rambut wajib untuk penduduk laki-laki pada Dinasti Qing) dan digantikan dengan gaya rambut dan baju ala penduduk Eropa. Tan Djit Seng juga menulis bahwa para perempuan Tionghoa sudah mulai memakai “baju Shanghai” saat menonton pertunjukkan komedi di Esplanade. Namun, di Medan masih tersisa “kaum tua” (kelompok yang tidak mendukung revolusi) yang memilih untuk tetap menggunakan kebaya atau memakai taucang.
Dalam roman ini, penulis juga mengajak para pembaca untuk turut mendukung perubahan ini. Diskusi mengenai identitas ini terus digemparkan dalam lingkaran pergaulan, melalui tulisan di surat kabar, tembok-tembok, jalan raya dan percakapan di tempat publik lainnya.
Impian dari Kota Nadem menulis,
Wahai! Betoel sanget rameh sekali di itoe waktoe. Di mana mana tembok dari djalan-djalan raja, telah di taroken soerat-soerat dengen nista’an pada orang jang itoe waktoe bertautjang (hal.38)
Dari catatan ini, kita melihat bagaimana pergerakan politik di Tiongkok menjadi salah satu pusat identitas ke-Tionghoa-an. Masyarakat Tionghoa di Medan abad ke-20 menjunjung tinggi identitas dan kehormatan sebagai Tionghoa. Impian dari Kota Nadem menggambarkan bagaimana kehormatan orang Tionghoa di Medan sudah “terlempar ke parit” karena pemimpin-pemimpinnya yang tidak berlaku adil.
Mengalami Ketidakadilan di Nadem
Di tengah konteks penyensoran kolonial–baik itu oleh pemerintah kolonial melalui peraturan pers dan Balai Pustaka, maupun dari pemimpin masyarakat setempat (seperti Tjong A Fie yang diceritakan novel ini)–Oeij Kim Tjoan menggunakan fiksi yang ditulis dengan Melayu Pasar sebagai alat kritik yang dapat dibaca luas oleh kalangan terpelajar.
Seperti di kota-kota kolonial lainnya, pemerintah Hindia Belanda menunjuk pemimpin-pemimpin masyarakat untuk setiap etnis, yang terdiri dari jabatan mayor, kapitan, letnan, dan wijkmeester. Novel Impian dari Kota Nadem menggunakan mimpi sebagai alat untuk mengkritik para pemimpin pemerintahan tersebut. Di dalam mimpi, mereka dipandu oleh orang tua yang mereka panggil Empee (paman) untuk menyaksikan realitas tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa di Nadem yang opresif terhadap rakyat kecil.
bangsa Tionghoa poenja kapala disini tidak sama seperti kapala di laen-laen tempat. Kapala disini tida perdoeli apa, asal sadja sakoenja boleh mendjadi penoe. (hal. 13)
Menurut Tan Djit Seng, penindasan dan ketidakpedulian para pemimpin ini mengakibatkan derajat orang Tionghoa “begitoe di perhinaken, sebagi djoega kita-orang Tionghoa boekan machloek menoesia adanja, jang haroes di pandang sama rata sadja sebagi laen bangsa” (hal.48).
Mimpi-mimpi “aneh” ini menunjukkan perspektif warga lokal mengenai kota Nadem. Misalnya, di mimpi pertama, mereka menonton dan mendiskusikan sebuah pertunjukkan teater bersama Empee. Empee menegaskan bahwa ini adalah sebuah “komedi” berdasarkan “cerita-cerita yang betul pernah kejadian di kota Nadem”.
Dalam pertunjukkan tersebut, mereka melihat bagaimana kepala-kepala Tionghoa sedang merencanakan bagaimana bisa “mengisi saku” dan “menjilat kaki Pemerintah”. Di babak berikutnya, mereka melihat polisi melakukan kekerasan kepada seorang pedagang sayur yang diduga menjual di luar pasar untuk menghindari pajak yang tinggi. Karenanya, ia pada akhirnya dihukum penjara oleh Mayor Tjong A Yit yang adalah kepala pajak yang memegang monopoli pasar di Nadem.
Diskusi Tan Djit Seng bersama Empee mengenai realitas kota Nadem ini berlanjut dalam mimpi malam-malam berikutnya. Kali ini, Empee menyodorkan sebuah artikel dalam surat kabar Melayu yang mengkritik para pemimpin Tionghoa, terutama Tjong A Yit.
Tjong A Yit (dipanggil juga “Tuan Mayor”) dalam roman ini merujuk pada Tjong A Fie. Tjong A Fie adalah seorang pebisnis sukses yang memulai usahanya di perkebunan Deli. Bisnisnya di berbagai perkebunan dan pabrik berkembang, dan ia menjadi salah satu orang Tionghoa terpenting di Medan. Selain itu, keluarga Tjong memiliki hak monopoli untuk pajak opium dan pajak lainnya, mendirikan Bank Deli, dan adalah pemilik hampir 75% properti di Medan di awal abad ke-20. Ia diangkat sebagai salah satu pimpinan komunitas Tionghoa pada tahun 1885, dan menjadi Mayor Tionghoa (pangkat tertinggi) pada tahun 1911-1921. Selain itu, Tjong A Fie melakukan banyak kegiatan filantropis, salah satunya menyumbangkan sepertiga dana untuk pembangunan masjid Medan. Memiliki reputasi baik dan dihormati oleh berbagai kalangan (termasuk Sultan Kerajaan Deli, pemerintah Eropa, dan populasi India), ia juga terlibat dalam pembuatan kebijakan di pemerintah kolonial sebagai Mayor Tionghoa dan anggota dewan-dewan perwakilan (Gemeenteraad dan Cultuurraad).[7]
Pengaruh besar Tjong A Fie pada sistem kolonial Medan inilah yang mendasari kritik novel ini pada Tjong A Fie. Sayangnya, kekuasaan tersebut tidak selalu digunakan untuk hal baik. Salah satunya, Mayor Tjong A Yit menggunakan pengaruhnya untuk menekan orang-orang yang hendak melaporkan tindakan semena-mena yang terjadi di Nadem. Contohnya, seorang juru tulis dari Buitenzorg pernah menulis artikel soal pegawai pajak judi yang mencoba melakukan penipuan. Namun, Tjong A Yit memerintahkan surat kabar tersebut untuk menarik tulisan itu, katanya:
Ati-ati! kaloe loe maoe bikin begitoe. Loe taoe goewa siapa? Goewa djadi radjanja dari ini tempat, loe taoe? Apabila loe masi soeka tinggal disini, baik loe tinggal diam sadja. (hal.41)
Karena ancaman dan hukuman dari Tjong A Yit, maka “kebenaran” secara umum tentang kondisi warga Tionghoa jarang diutarakan. Populasi Tionghoa di Nadem juga tidak dapat melapor dan mendapatkan keadilan dari pejabat Tionghoa maupun Belanda dalam sistem kolonial ini, sebab:
Kapala-kapala bangsa Tionghoa jang hendak di angkat, hampir sama sekali Pamerenta toeroet sadja adviesnja toean Tjong A Yit , kapitein Tionghoa, sekarang Majoor; … dari itoe apa bangsa Tionghoa bisa dapet kaadilan jang pantes dari itoe kapala-kapala bangsanja? Sama sekali djangan harep!! (hal.65)
Impian dari kota Nadem memberikan kita petunjuk mengenai kehidupan orang Tionghoa di kota kolonial Medan dan sentimen publik mengenai pemerintah yang jarang kita lihat dalam arsip dan riset sejarah. Novel ini tidak hanya mencatat perjalanan Tan Djit Seng (berdasarkan pengalaman riil), tapi juga sentimen publik dalam bentuk mimpi. Untuk mengkritik penyalahgunaan kekuasaan, Oeij Kim Tjoan menyamarkan kritik politiknya lewat tiga lapisan: ditulis dalam novel (fiksi), menggunakan berbagai nama samaran (misalnya, “Nadem”, “Lim Gwat Ho” dan “Tjong A Yit”), dan mencatat sebagian besar kritiknya di dalam mimpi tokohnya. Ditambah itu, ia juga mengingatkan para pembaca untuk tidak menganggapnya serius dengan memberikan disclaimer, bahwa tujuan penerbitan buku ini adalah sebatas “cerita lucu” untuk “menjenangken hati dan membikin ilang pikiran jang kesal… [s]ebab impian itoe ada begitoe aneh”.[8]
Dalam sebuah penelitian sejarah, sastra yang selektif dan subjektif memang tidak langsung dapat kita jadikan sumber fakta. Misalnya, Impian dari Kota Nadem hanya berfokus pada pengalaman penduduk Tionghoa tertentu. Namun, membaca sastra populer seperti karya Melayu Tionghoa ini dapat memperkaya pertanyaan dan wawasan yang kita dapatkan saat menggali sumber sejarah. Maka itu, kita bisa mulai bertanya: bagaimanakah karya sastra populer lain dapat memperkaya diskusi sejarah kita?
[1] Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2018), XVIII.
[2] Hendrik M. J. Maier, “Phew! Europeesche Beschaving: Marco Kartodikromo’s “Student Hidjo”,” Tonan Ajia Kenkyu 34, no. 1 (1996): 205-209; A. Wahab Ali, The Emergence of the Novel in Modern Indonesian and Malaysian Literature: A Comparative Study (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991), 53-55; Elizabeth Chandra, “National Fictions: Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting” (Disertasi PhD, University of California, Berkeley, 2006), 98.
[3]Suryadi, “Roman Medan: Literasi dan Budaya Populer Di Sumatera, 1930an-1960an,” dalam Budaya Pop: Arah, Interaksi, dan Fungsi, ed. Muhammad Takari and Arwina Sufika (Medan: USU Press, 2017), 253.
[4] “inilah kita poenja pena tiada boleh toelis lebi djaoe, kerna dengen berboeat begitoe diri kita nanti terdjiret dengen Persreglement” (Impian dari Kota Nadem, hal. 51)
[5] Sebagai informasi tambahan, nama samaran juga pernah digunakan oleh penulis perempuan Peranakan Tionghoa untuk menerbitkan karya mereka di masa itu. Claudine Lombard-Salmon, “Chinese Women Writers in Indonesia and Their Views of Female Emancipation,” Archipel 28, no. 1 (1984): 156.
[6] Arnout H. C Van der Meer, “Ambivalent Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927” (PhD dissertation, Rutgers University, 2014), 174-189.
[7] Mark A. Loderichs et al., Medan: Beeld Van Een Stad (Purmerend: Asia Maior, 1997), 26-27.
[8] Claudine Salmon dalam Sastra Indonesia Awal (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) mencatat bahwa strategi serupa juga dilakukan oleh Tjio Peng Hong dalam Pang.. Ping.. Pong! Rasia Limpoeng (Tandjoengkarang: Lampongsche Snelpersdrukkerij 1920). Novel ini mengkritik wakil ketua Serikat Islam yang juga menjadi wartawan di Lampung. Seperti Oeij Kim Tjoan, Tjio Peng Hong mengubah nama (“Lampung” menjadi “Limpoeng”, “Medan Rajat” menjadi “Nadem Tajra”, dan sebagainya) dan menuliskan bahwa karya ini hanya “sesoeatoe lelakon atawa hawsil dari pikiran jang sedang nganggoer”.
Natasha Santoso
Natasha Santoso adalah seorang penikmat sejarah dan budaya. Risetnya bersama Louie Buana tentang asal-muasal kubah masjid dalam arsitektur Islam di tanah air dan Malaysia pernah diterbitkan dalam buletin Aziatische Kunst (Maret 2020).