Hilmar Farid
Mendidik dan Membudayakan Baca Buku (Sastra)

Ilustrasi: Jiwenk

Dalam wacana “kanon sastra” Indonesia, topik yang sering diperdebatkan selama ini adalah tentang kelayakan karya apa dan siapa, yang tidak terlalu berguna dalam pengembangan wacana. Satu hal yang kerap diluputkan dari pembicaraan dan justru sangat penting adalah institusi sekolah di jantung pendidikan yang berperan sentral dalam penyebarluasan pengetahuan.

Dalam melihat “kanon sastra” sebagai medan kegiatan membaca buku dalam dimensi kolektifnya (lihat: Editorial, kerangka berpikir “kanon sastra” sebagai kata kerja, sebagai medan), institusi sekolah dan pengajaran Bahasa Indonesia Sastra di dalamnya menempati posisi strategis pada medan itu.

Institusi sekolah (dasar dan menengah) saling kait-mengait dengan sejumlah institusi lain, pelaku dan infrastruktur di dalamnya: kurikulum dan program sebagai kebijakan pemerintah, kultur didik, pemerintah pusat dan daerah, metoda ajar, teknologi internet, keluarga dan masyarakat, dan lain-lain komponen. Dengan mengurai dinamika, pola-pola interaksi dan relasi pada medan yang berlangsung selama ini, maka tampak bagaimana medan itu memberi resultan sejumlah persoalan dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita saat ini.

Dalam kurikulum pendidikan selama ini, “kanon sastra” yang dipakai adalah berdasarkan historis-periodisasi warisan abad 20.  Beberapa tahun terakhir, Kemendikbudristek melakukan sejumlah ikthiar terkait pedagogi sastra dan kebijakan pendidikan. Penyusunan buku Sastra Budi Pekerti (2017), Pusaka Sastra Indonesia (2018), keduanya tidak dirilis; pemberlakuan Kurikulum Merdeka (2022),  hingga yang termutakhir, rilis Program Sastra Masuk Kurikulum dan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024). Buku panduan yang problematik itu kemudian ditarik kembali. (Rilis resmi program dan buku terjadi ketika kami telah mengirimkan ancangan topik esai-esai untuk edisi ini, termasuk rubrik percakapan -red).

Percakapan dengan Hilmar Farid mengurai kompleksitas medan pendidikan, dengan fokus pada institusi sekolah di dalam medan kegiatan membaca buku (sastra). Antara lain, sejumlah ikhtiar pendidikan sastra yang telah dilakukan Kemendikbudristek, gagasan penyusunan Kurikulum Merdeka, turunannya pada program Sastra Masuk Kurikulum dan Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, kegiatan belajar-mengajar yang ideal vs aktual, literasi dan budaya membaca, bahasa Indonesia kini, dan sejumlah sub-topik terkait.

Hilmar adalah seorang sejarawan, pengajar, dan pengkaji kebudayaan. Sejak 31 Desember 2015 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek. Baru-baru ini ia menerbitkan buku Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan (Komunitas Bambu, 2024).

Berikut percakapan redaksi tengara.id dengan Hilmar Farid.

 

1. Pusaka Sastra Indonesia

 

NUKILA AMAL

Bisa Anda ceritakan bagaimana awal munculnya gagasan penyusunan Pusaka Sastra Indonesia? Apakah ini suatu ikhtiar “reformasi” kanon, dalam arti pemutakhiran bagi siswa, ataukah masih relatif pengulangan, bedanya ini versi pemerintah, yang lebih “otoritatif”? Apa rencana selanjutnya untuk Pusaka Sastra Indonesia: apakah akan dirilis, dicetak dan distribusikan, atau bagaimana?

 

HILMAR FARID

Awalnya itu [Pusaka Sastra Indonesia] hasil pembicaraan lintas unit di sini. Waktu 2017–2018 sudah ada pembicaraan tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter tentu punya banyak metode, mulai dari disiplin, baris-berbaris, dan seterusnya. Kami bilang bahwa karakter sebetulnya tumbuh dari dalam, dan juga sangat bergantung pada asupan yang didapat oleh si anak-anak agar bisa mengembangkan karakternya. Jadi, [karakter] bukan sesuatu yang cuma dilatih; bangun jam segini, baris di situ, dan seterusnya. Tidak ada rasanya cara yang lebih ampuh untuk menumbuhkan sesuatu dari dalam daripada seni. Bukan hanya sastra, tetapi juga semua ekspresi artistik, yang bisa dikira-kira pada sesuatu yang nyata, yang tangible, dan seterusnya. Sastra kemudian menjadi pilihan, juga seni rupa. Kami punya beberapa [karya] yang terpilih, yang bisa dipelajari anak-anak dengan berbagai interpretasi. Logikanya sama. Kurang lebih kami ingin anak Indonesia kenal paling tidak 12 karya seni visual, lengkap dengan siapa orangnya, cerita tentang apa, dan seterusnya.

Mungkin bukan dalam pengertian kanon, bahwa kami menganggap inilah karya yang merepresentasikan Indonesia, melainkan semacam undangan untuk anak-anak agar bisa berinteraksi dengan karya artistik di level yang lebih dalam. Kalau di luar sana, mereka punya kesempatan. Sekarang kan akses sudah tidak ada batas, jadi isunya bukan pada akses. Isunya adalah setelah kamu punya segala kesempatan untuk mengenal [seni visual], di tengah timbunan data dan informasi, dari mana kira-kira mau memulai? Nah, kami mengundang mereka, yuk, lewat pintu sini. Ada 12 pilihan karya seni visual. Lalu ada sekian karya sastra yang dipilih untuk anak-anak usia SD kelas 1, kelas 3, 4, 6, Kemudian SMP, SMA.

Jadi, kami bikin dulu latar belakang pemikirannya. Bukan, “Wah, kita perlu kanon sastra”. Karena kami sadar bahwa di Indonesia kita berhadapan dengan tidak adanya kanon. Ada orang seperti Jassin, Teeuw, Ajip Rosidi, semua sejarawan itu memilih [karya] yang dianggap masuk dalam perjalanan sastra Indonesia. Tapi, tidak pernah ada kesepakatan dan tidak pernah diformalkan. Negara tidak pernah bilang bahwa inilah karya yang harus kamu pelajari. Lebih instingtual sifatnya. Sitti Nurbaya harus masuk, Salah Asuhan, dan seterusnya. Tapi, saya tidak pernah menemukan regulasi yang bilang bahwa inilah yang seharusnya diajarkan di sekolah. Tidak ada alasannya.

Beda sekali dengan English Lit. Di universitas-universitas Barat sudah ada patokan-patokan, sedangkan kita masih meraba-raba, berdebat juga tidak ada habisnya; mana yang masuk sastra modern, mana yang tidak, dan seterusnya. Jadi, kami merasa negara tidak perlu menetapkan bahwa itulah karya-karya yang harus dibaca. Semangatnya bukan untuk menciptakan kanon, melainkan lebih untuk mengundang [anak-anak]. Lagipula, tentu ada pembicaraan tentang representasi, dan selalu rumit, kan. Karena kami  tahu persis ini bukan satu exhaustive list, bukan satu daftar yang kita anggap “sudah paripurna” atau “sudah benar”.

Justru karena itu bebannya lebih ringan. Teman-teman [kurator] juga lebih leluasa karena tidak ada beban. Pendekatannya bukan pilihan ini jadi kayak lembaga presentasi kebenaran, tidak sama sekali. Malah kami lebih fokus kepada bagaimana kira-kira [reaksi] anak-anak kalau berhadapan dengan karya-karya ini? kemungkinan interaksi apa yang bisa timbul dari sana? Karena kalau memang urusannya untuk penguatan karakter, maka yang diasah kemampuan anak-anak untuk mencerna, berinteraksi, memanfaatkan, mengembangkan apa pun yang dia baca. Fokus kami adalah kecintaan terhadap kata: orang yang menggunakan kata dengan sangat banyak perhitungan, pertimbangan, dan seterusnya. Sense itu yang mau kami tularkan.

Itu pun pada akhirnya menjadi tantangan: Siapa yang mengajarkan? Bahan sebaik apa pun kalau tidak bisa dikomunikasikan dengan baik kepada anak-anak akan percuma. Kami sadar betul keterbatasan ide ini pada waktu itu, sehingga justru lagi-lagi menjadi tidak terlalu terbebani dengan urusan representasi: apakah ini mencerminkan nilai Indonesia? Karena kami tahu persis isi teks tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada yang membantu, membawanya ke anak-anak, dan peran dari siapa pun ini, entah guru, sastrawan, aktivis budaya, dan sebagainya. Sebenarnya kami memikirkan dalam satu rangkaian, pendekatannya paling tidak semacam tekstual.

 

NUKILA

Saat itu kan berarti masih Kurikulum 2013 (K-13). Ada alasan kenapa Pusaka Sastra tidak dirilis resmi atau dimasukkan ke dalam kurikulum seperti sekarang?

 

HILMAR

Justru ketika 2013 itu kesulitannya mencari tempat: mau dimasukkan ke mana? Pelajaran Bahasa Indonesia sudah terstruktur. Kalau dimasukkan ke PPKN berhubung urusan kewarganegaraan terkait dengan karakter, ruang sastranya justru tidak ada, sehingga kami pikir, “Ya sudah, terbitkan saja deh”. Ada empat jilid kalau tidak salah. Kemudian lebih baik berinteraksi langsung dengan guru. Karena dia yang paling tahu cara pakainya dalam konteks sekolahnya masing-masing, daripada di-drop kebijakan dari atas.

Problemnya dengan Kurikulum 2013 dan [kurikulum] sebelumnya juga rata-rata seperti itu. Karena sudah dibikinkan pattern-nya. Sebetulnya sangat mungkin untuk menjembatani sastra dengan pendidikan karakter. Bukan hanya itu, kita bisa belajar tentang Indonesia, IPS, Geografi, dan segala macamnya melalui sastra. Hanya saja, waktu itu kan belum ada Kurikulum Merdeka. Di konteks sekarang, justru sebetulnya jauh lebih mungkin dikembangkan karena Kurikulum Merdeka semangatnya adalah memperkecil compulsory. Jadi, yang wajib seperti calistung—baca, tulis, hitung—harus diperkuat. Selebihnya sangat bergantung kepada konteks lokalnya. Jadi, anak-anak sebetulnya punya waktu untuk pengembangan diri. Kita mungkin masih ingat dulu anak-anak bawa ransel ke sekolah isinya berat. Malah kalah orang kerja. Dan anak-anak stres, karena tuntutan nilai, subjek pelajaran begitu banyak. Ini yang sekarang berusaha diubah, fokus calistung tetap esensial.

Sebetulnya guru-guru punya kemungkinan untuk mengembangkan bahan ajar berdasarkan konteks lokalnya. Tetapi, lagi-lagi, niat yang mulia seperti begini mungkin masih bisa dipraktikkan di sekolah-sekolah di Jakarta atau kota-kota besar. Ketika dibawa agak sedikit keluar dari grid, sudah sulit. Tentu ada guru-guru yang bersemangat di banyak tempat, tetapi sifatnya lebih aksidental daripada terencana. Tantangan proyek semacam ini tetap kembali ke variasi kondisi sekolah kita yang begitu lebar.

 

AVIANTI ARMAND

Bagaimana dengan soal representasi? Pusaka Sastra punya rentang tahun 1900–1999, juga  lintas genre. Tetapi hanya ada satu karya yang ditulis oleh perempuan, yaitu Ayu Utami. Sementara di daftar pendampingnya hanya ada N. H. Dini, S. Rukiyah, Dorothea Rosa Herliany. Kalaupun tujuan yang mau dicapai adalah untuk mengasah rasa melalui sastra dan seni, seberapa penting aspek representasi di dalam penyusunan Pusaka Sastra?

 

HILMAR

Saya tidak ikut seleksi karya. Waktu awal mendiskusikan Pusaka Sastra,  kami membayangkan pengalaman orang Indonesia ini kan sangat diverse. Gender, etnik, geografi, macam-macam. Kekayaan itu mestinya muncul di dalam pilihan-pilihan [karya]. Masalahnya buat saya sebetulnya lebih dari sekadar apakah penulisnya laki atau perempuan, melainkan apa yang [penulisnya] bawa. Saya kira urusan representasi ini memang sangat sentral. Walaupun fokusnya pendidikan karakter, kualitas yang sangat penting yang seharusnya muncul juga adalah memahami suara-suara perspektif yang berbeda. Itu sangat esensial, mungkin lebih penting daripada “keindahan”, dalam tanda kutip.

Sebenarnya kami juga bukan seperti mengajarkan semuanya, bahwa harus berbahasa dengan sangat baik, tetapi penulis membawa sudut pandang, dan sudut pandang itu pada akhirnya  terefleksi di dalam karya-karya terpilih. Saya kira niat sesungguhnya dalam kaitan representasi adalah itu. Memang kadang-kadang susah ya, seperti yang rame-rame kemarin, setelah dilihat, itu [pilihan] karyanya semua Jawa. Sumatra [ada] satu kalau tidak salah. Itu isu yang di kita sangat serius. Tentu menahun di dalam pendidikan kita kalau sudah bicara tentang sejarah, kebudayaan, sastra, seni visual, sangat-sangat terkonsentrasi di Jawa, Sumatra, Bali. Sedikit sekali ada Maluku, NTT, dan kawasan timur Indonesia. Misalnya, [novel] Tambera. Sejarah [di dalamnya] juga tidak sepenuhnya merepresentasikan cerita dan perspektif orang Banda. Tetapi, kalau suara dari masyarakat situ mungkin secara kualitas artistik atau segala macam debatable, buat saya jauh lebih penting daripada satu karya yang indah.

 

NUKILA

Saya ingin kembali pada  gagasan awal Pusaka Sastra. Kalau melihat kelanjutannya, kemudian ada program Sastra Masuk Kurikulum baru-baru ini, artinya Pusaka Sastra, adalah proyek, semacam proto-program, untuk menghasilkan keluaran itu? Cita-citanya sama, idenya sama, tujuan, dan segala macam?

 

HILMAR

Bagian dari diskusi yang sama, karena kami di pimpinan biasanya share soal-soal seperti itu. Misalnya, penting sekali nih sastra masuk sekolah, dengan harapan dan bayangan yang mungkin awalnya berbeda-beda. Kalau saya datangnya lebih banyak dari pendidikan karakter, semacam landasannya itu. Sementara, kalau yang sekarang ini, administrasinya di bawah Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan [BSKAP]  yang mengurusi kurikulum. Jadi, pendekatan mereka mungkin jauh lebih teknokratik dalam pengertian harus ada program khusus. Kemudian, mereka memikirkan bagaimana nanti buku itu bisa sampai ke sekolah. Job utama mereka adalah itu. Jadi, agak kurang mungkin diskusi mendalami soal representasi, soal cara memilih [karya].

Saya tidak terlibat yang terakhir itu [Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra]. BSKAP mengumpulkan teman-teman yang jadi kurator, kemudian menyeleksi karya. Setelah itu, di-review oleh guru, hasilnya buku pedoman yang kemudian bermasalah itu. Jadi, alur kerjanya seperti itu.

Pendekatan kami berbeda [Pusaka Sastra]. Bukan lagi karya cuma dipilih, tapi diambil excerpt masing-masing karya. Karena intinya ingin membantu si anak untuk bisa berkenalan dengan karya, lebih daripada harus memahami kondisi. Kami lebih fokus ke kesenangan si anak agar bisa berinteraksi dengan karya. Kalau kemudian dia bisa baca cover to cover kami bersyukur, tapi tujuan utamanya adalah merangsang anak-anak untuk engage dengan teks-teks aslinya. Ada metode yang menggunakan ringkasan, kan? Kami rasa juga lebih baik anak-anak baca beberapa halaman dari karya asli yang diharapkan memancing dia, daripada sinopsis.

 

NUKILA

Jadi saat itu tujuannya untuk sebuah rintisan pendidikan begitu ya, mengintegrasikan sastra ke dalam pendidikan siswa, yang memang terlepas dari, katakanlah, cita-cita untuk membuat kanon nasional yang “otoritatif” berdasarkan versi pemerintah. Kalau sebagai “kanon nasional” pun baru mendekati, Pusaka Sastra hanya dari tahun 1900–1999, belum cukup mewakili khazanah kekayaan sastra kita, misalnya La Galigo, Babad Tanah Jawi, dan lain-lain. Kalau dilihat di Barat, di negara-negara Anglo-Amerika, karya kanonik sejak zaman dulu dimasukkan: Homerus, Shakespeare, dan sebagainya.

Berarti memang saat ini skena di sini dibiarkan banyak versi “kanon”? Terserah siapa mau bikin, tetapi khusus untuk pendidikan ada daftar yang lebih spesifik, dan belum tentu karya kanonik semua, seperti di dalam buku panduan rekomendasi sastra itu?

 

HILMAR

Kalau yang terakhir ini, agak beda proyeknya. Waktu tahun 2017, kami punya Sastra Budi Pekerti kalau tidak salah. Saat itu kami memang tidak mencari karya-karya yang merepresentasikan Indonesia secara utuh. Kami tidak punya ambisi itu. Sementara di dalam Sastra Masuk Kurikulum sepertinya ada semacam kelengkapan. Makanya karyanya begitu banyak, terus representasi dan segala macam dibikin yang benar.

Walaupun saya kira teman-teman di sini pun sadar penuh bahwa hal itu tidak bisa: terbitkan satu daftar lalu dengan sendirinya akan menjadi kanon. Kanon kan tidak begitu tumbuhnya. Kanon betul-betul merupakan kerja institusional, bertahun-tahun, kalau memang mau dibangun ke arah sana. Hanya saja, di buku panduan memang ada bayangan bahwa karya-karya inilah yang merepresentasi gambar yang namanya Indonesia pada hari ini.

Pertanyaan tentang karya klasik menarik sekali. Itu diskusinya cukup panjang. Kalau kita perhatikan English Literature, ia mundur sampai ke Homerus dan segala macam, tetapi kemudian mengekstrak pengetahuan itu menjadi teks. Kalau kita baca, beda sangat jauh antara karya dalam bahasa Yunani-nya dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris sudah dibuat sedemikian rupa untuk pembaca hari ini. La Galigo bukan karya teks yang kita baca hari ini. Ia dinyanyikan, ditarikan, diekspresikan dengan berbagai macam bentuk. Waktu itu kami berdebat: kalau karya klasik kita masukkan seperti itu berarti kita mengikuti jejak english lit, mentekstualkan semua ekspresi kultural yang kita tahu di dalam masyarakat kita. Sayang amat.

Sebenarnya kita bisa berinteraksi dengan teks secara jauh lebih variatif, walaupun memang kita bisa bayangkan kepusingannya di sekolah. Pelajaran apa namanya kalau begitu? Kalau di sini kan ada yang namanya tradisi lisan. Tetapi ketika dibawa ke sekolah dan anak-anak harus berinteraksi dengannya, mungkin seratus persen dia tidak paham itu apa. Tetapi, kalau dia bisa membandingkan, paling tidak ada sedikit pemahaman kan bagi yang tidak paham.

Kami meyakini bahwa hal ini juga akan meningkatkan level apresiasi anak-anak. Dan dalam konteks sekolah, ini berarti sudah menyebrang ke guru-guru kesenian. Jadi, bahasa Indonesia sebenarnya bertemu dengan guru kesenian untuk mulai bisa meningkatkan literasi, karena sekarang secara praktis kita sangat letterlijk kalau sudah berhadapan dengan ekspresi kultural yang seperti begitu. Berapa sih yang masih mengerti makna dari tradisi lisan?

Itulah sebabnya [tradisi lisan] tidak ada di dalam kumpulan [buku panduan]. Tadinya ada yang bilang, “Naskah ini saja, naskah itu saja.” Kita saja susah-payah bacanya,  apalagi minta anak-anak untuk mencerna. Dan PR yang besar tadi itu, bagaimana caranya? Kami juga tidak mau pendekatan english lit yang model sapu bersih: terkesan logis, mulai dari zaman Yunani sampai kayak ada satu rangkaian garis lurus. Kami sadar seharusnya menangkap diversity kita di dalam merancang kegiatan sastra masuk sekolah, tetapi itu yang belum kejadian.

 

2. Kurikulum Merdeka

 

NUKILA

Apa saja pemikiran di balik layar untuk mengganti Kurikulum 2013 (K-13) menjadi Kurikulum Merdeka? Apa yang menjadikan kurikulum ini berbeda dan perlu?

 

HILMAR

Kalau ini di level kementerian ya. Saya kira Mas Menteri mengambil langkah untuk menangani masalah yang sudah lama sekali dibicarakan dalam dunia pendidikan, tetapi tidak ada yang bergerak ke arah sana. Dan itu mungkin juga berangkat dari pengalaman dia sebagai orang yang lebih practical daripada theoretical. Dia sendiri merasa betapa sebetulnya beban anak untuk sekolah dengan pelajaran yang begitu banyak menghalangi kreativitas, inovasi, macam-macam hal yang positif itu tadi, sehingga dia berani mengambil langkah, “oke deh, kita coba fokus saja ke literasi, numerasi, dan karakter.” Dan membebaskan atau memungkinkan sekolah-sekolah, guru, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengembangkan sesuai konteks masing-masing.

Itu awalnya kenapa Kurikulum Merdeka dibuat. Dan tentu dari segi pemikiran saya kira tidak ada perdebatan. Semua orang pasti bilang bagus. Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya mentransformasi ini, sementara guru di dalam sistem pelaporan sudah terikat dengan mata pelajaran-mata pelajaran? Mereka bahkan sekolah untuk itu, kan. Menjadi guru IPS, guru Geografi, dan guru mata pelajaran lainnya. Bagian mengadministrasi perubahan, challenge-nya jauh lebih berat daripada pemikirannya. Pemikirannya praktis, simpel, dan sedikit perdebatan, saya kira. Tetapi kemudian harus diterjemahkan menjadi program, menjadi pengubah, belum lagi Fakultas Ilmu Pendidikan juga perlu disesuaikan ke sana, jadi itu tantangannya berat.

Nah, hal lain yang saya kira, bukan hanya refleksi terhadap apa yang terjadi di masa lalu yang kemudian membuat perubahan ini ada, tetapi juga ke depan. Ke depan sebenarnya jenis pengetahuan apa yang kita perlukan? Tantangan dengan Artificial Intelligence, semua teknologi segala macam, akan mengubah dunia nyata kita secara sangat fundamental sehingga ada kecakapan-kecakapan tertentu yang akan diisi oleh mesin, diisi oleh teknologi.

Tetapi, sebenarnya pada saat yang bersamaan menuntut kita untuk masuk ke satu level yang berbeda. Menteri kita ini membayangkan, ini nih yang seharusnya dilakukan. Lompatan untuk masuk ke level berbeda ini. Kalau misalnya kita berhadapan dengan AI dan teknologi, kita tahu bagaimana cara mengendalikannya untuk keperluan kita. Sekarang kan belum. Mayoritas saya kira masih pada level takjub. Dan praktis. Kita masih seperti mengikuti formula-formula yang ada. Belum sepenuhnya kita mengendalikan. Ambisinya sebetulnya kan kita harusnya mengejar ke sana. Dan itu tidak selalu berarti menguasai teknologinya secara menyeluruh. Jadi, tidak harus jadi ahli computing.

Arts sebetulnya punya peran yang sangat besar. Di situlah kemudian, muncul ide kayaknya harus ada ruang bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan imajinasinya. Dan ruang yang paling hebat ya tentunya seni. Jadi, kenapa sastra masuk sekolah dan dari STEM menjadi STEAM—Science, Technology, Engineering, Arts, dan Math—, antara lain dasar berpikirnya adalah itu.

Hanya saja rumusan seperti ini, ketika kemudian harus diturunkan secara praktis di level sekolah, ternyata juga tidak mudah. Nah, challenge yang paling besar sebetulnya ketersediaan guru yang mampu membawa misi kayak begini ke anak-anak.

 

NUKILA

Artinya kalau memang dicanangkan untuk menghadapi percepatan teknologi dan arus globalisasi, dalam Kurikulum Merdeka itu ada pelajaran literasi media ya?

 

HILMAR

Iya. Literasi media mungkin salah satu komponen yang penting dan bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang tuanya. Makanya problem besar sebetulnya sekarang ini adalah generational gap antara anak-anak yang sudah dibesarkan dengan teknologi dan orang tuanya yang enggan. Persoalan yang sangat serius, kalau kita perhatikan, munculnya justru di gap itu. Menjawabnya memang tidak mudah karena kita tidak punya unit yang khusus Adult Education. Itu kurang sekali. Dan mungkin kalau di dalam konteks Kurikulum Merdeka, ekosistemnya kan juga sekolah dan keluarga. Jadi, orang tua tetap berperan dalam urusan ini.

Ini [orang tua] yang paling ketinggalan. Kalau guru okelah, ada sekian banyak workshop, macam-macam fasilitas untuk mengembangkan diri, tetapi yang ini gap-nya semakin lama semakin jauh. Anaknya mungkin semakin pintar, tetapi orang tuanya stuck di berbagai kebiasaan lama yang sama sekali nggak nyambung. Terasa sekali seperti itu.

Sama dengan di konteks kebudayaan, kita bicara soal [Badan] Sensor Film. Itu kan organisasi yang obsolete, usang. Dia mau ngapain sekarang? Kecuali bikin label kalau film ini menurut pengawasan, sudah lolos sensor. Tetapi, niatnya membantu masyarakat untuk selamat dari tontonan yang dianggap bermasalah tidak akan bisa dilakukan secara efektif. Kalau dulu teknologinya ada layar, orang, dia bisa bikin screen. Sekarang layar yang mengepung kita, terus mau bikin screening bagaimana?

Jadi, dari sisi itu saja, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa penting untuk meningkatkan literasi. Sudah tidak ada jalan lain untuk, katakanlah, menjalankan niat mulia melindungi masyarakat dari berbagai macam. Apa sih maksudnya ‘melindungi’?  Melindungi berarti kan membekali seseorang agar mampu berurusan dengan itu semua pada akhirnya. Kita tidak bisa tutup akses. Kita tidak bisa lagi mencarikan, kalau kata Kominfo, internet sehat. VPN sudah [jadi] mainan anak-anak.

 

NUKILA

Melanjutkan topik soal kedigitalan sebagai pendekatan yang dipakai dalam perubahan kurikulum ini. Kalau dilihat secara evolusi, perpindahan budaya kita dari yang pertama itu budaya lisan, terus tulisan. Kemudian, di saat budaya tulisan dan literasi tampaknya belum optimal, tiba-tiba masuklah budaya teknologi digital. Efeknya pada masyarakat sangat kelihatan hari ini, dalam adab berinternet. Pengguna internet paling tidak sopan itu Indonesia, menurut survei Microsoft. Jadi, kita terlalu cepat perpindahannya. Komentar Anda?

 

HILMAR

Tetapi sebetulnya juga bukan unik Indonesia ya. Problemnya mungkin sekarang lebih pada kita tidak mungkin menghindar dari teknologi. Kita tidak bisa menutupnya, tidak bisa mundur. Kita sudah seperti reach the point of no return masuk ke dalam dunia ini. Kalau saya bukan dalam pendekatan nostalgis, tentang keasyikan membaca buku itu sendiri. Tetapi, bagaimana caranya agar kehidupan sosial-kultural berkualitas di dalam teknologi, dan apa kontribusi dari ini terhadap kebiasaan membaca, literasi yang lebih berbasis kepada teks. Jadi, tantangannya sebenarnya akan masuk ke urusan seperti industri film, industri musik, yang ada di garda depan. Nah, kementerian bikin apa? Kementerian bikin script lab. Bikin dulu skrip sebanyak-banyaknya, dibiayai riset dan segala macamnya, bikin yang benar. Kalau ada alih media dari karya sastra, justru di-encourage dan seterusnya sehingga dia bisa masuk nih. Bahwa naskah itu kemudian tidak diproduksi, ya tidak apa-apa.

 

AVIANTI

Bagaimana menjembatani antara teks sastra, apalagi teks sastra yang serius sekali, dengan segala kelisanan dan medianya yang bisa jadi sangat populer? Katakanlah jika kita mencoba mencantol ke dalam TikTok, film, musikalisasi puisi, akan banyak yang tertinggal di dalam teks yang tidak bisa dijembatani.

 

HILMAR

Kalau  sudah bicara tentang alih media, kemungkinan terjadinya reduksi, korupsi, terhadap teks itu besar. Sangat bergantung kepada siapa yang mengerjakan. Banyak sekali hal-hal yang kemudian kita rasa kok tidak ketemu yang kita cari. Itu tidak terhindarkan. Tetapi, yang saya kira juga penting diingat, dan tentu mungkin tugas yang paling berat, adalah [alih media] menciptakan satu universe yang berbasis kepada karya. Ini ada urusannya dengan kekayaan intelektual. Misalnya seperti Marvel. Universe-nya apa? Komik, game, kemudian film. Bukan karya sastra ya, karena medianya lain. Tetapi, kita bisa bayangkan kalau misalnya cerita klasik kita membentuk satu universe dalam lini yang sudah sangat mapan. Dan di masa sekarang dengan teknologi digital sebenarnya ruang untuk mengembangkan itu dalam bentuk yang baru, yang unknown bahkan, besar sekali.

Nah, ini yang PR besarnya karena para pelaku di dalam ekosistem ini belum sepenuhnya melihat. Karena kalau bicara tentang industri berbasis pada kreativitas dan kekayaan intelektual, ini kuncinya. Karena kalau tidak, akan dapat yang periferal saja. Pasti di negara yang filmnya bagus, karya sastranya kuat.

 

DEWI ANGGRAENI

Jika memang ada cita-cita untuk menciptakan semesta yang menyelaraskan sastra dan medium-medium visual lainnya, apakah inisiatif-inisiatif baik dari pemerintah untuk memperkenalkan sastra kepada generasi muda seperti proyek Pusaka Sastra, Sastra Budi Pekerti, lalu Sastra Masuk Kurikulum masih relevan? Mengingat proyek-proyek yang sudah ada nyatanya tidak dipublikasikan atau ditarik kembali.

 

HILMAR

Yang pasti begini: dari beberapa pengalaman, bukan hanya untuk sastra atau pendidikan yang lain, memang untuk membuat program nasional yang kemudian berlaku umum itu sama sekali tidak mudah. Bahkan untuk, katakanlah, hal yang tidak ada urusannya dengan substansi isi pendidikan. Sekadar pengganti, misalnya, sekarang ini bukan lagi ujian nasional, tetapi bentuknya saja transformed. Kalau saya mungkin berpikirnya lebih bersahaja. Bukan ingin semuanya harus diperkenalkan secara nasional, 55 juta anak sekolah semuanya mengerti. Tidak. Pokoknya, titik-titik di mana kemungkinan berkembangnya itu kuat, ya sudah kita fokus [di situ] dulu: guru-guru yang oke, anak-anak, komunitas sastranya.

Di beberapa sekolah sebetulnya ada lho anak-anak yang luar biasa, SMP-SMA menulis review. Nah, yang seperti ini bisa ditangkap. Justru dia yang mungkin malah berperan dalam urusan tadi. Pemerintahnya cukup fasilitasi agar bisa terjadi. Kurang menyenangkan ya kalau misalnya, “ayo bikin program”, atau “lomba dari pemerintah”. Sudah lah. MIWF, UWRF, di mana-mana deh, kalau tiap kota perlu ada [festival], itu lebih baik daripada bikin satu proyek yang kemudian berharap anak-anak akan ikut di dalamnya. Jadi, yang organik akan jauh lebih efektif dalam menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang kita harapkan tadi.

Dalam kata lain, saya mau bilang, ini tidak bisa direkayasa dengan blueprint. Malah menurut pengalaman, agak berbahaya karena apa yang kita maksudkan kemudian jatuhnya ke bawah ini [menjadi] lain, apalagi kalau sudah menyangkut otoritas. Undang-undangnya sudah jalan seluruhnya.

 

Sastra Masuk Kurikulum, Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra

 

NUKILA

Hadirnya buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra menimbulkan respon ramai dan kontroversi. Kalau baca di berita ada rencana akan merevisi karena banyak kekeliruan fatal dalam buku itu. Nanti bagaimana proses seleksi buku dilangsungkan? Apakah prosesnya akan melibatkan lebih banyak pihak? Tidak sekadar sastrawan, akademisi, dan  guru SMA, tetapi lebih pada pakar pedagogi, pakar lain-lain, juga orang tua, misalnya?

Kemudian, pelaksanaannya nanti dicanangkan untuk tahun ajaran baru. Dalam praktik pelaksanaannya tentu akan ada umpan balik dari guru-guru. Kalau dari Kemendikbud sendiri, apakah akan menyesuaikan lagi dengan umpan balik yang baru ini dalam revisinya, jika ada? Apakah buku akan dimutakhirkan dari waktu ke waktu?

 

HILMAR

Kalau programnya sendiri ada di unit lain, jadi rencana mereka secara rinci, langkah berikutnya, saya juga tidak ada informasinya. Tetapi, berdasarkan diskusi kami kemarin, proyek ini pada akhirnya ingin membangkitkan minat anak terhadap sastra, membantu pelaksanaan Kurikulum Merdeka melalui sastra, dan seterusnya. Elemen pedagogisnya mungkin akan lebih tebal daripada sebelumnya. Kalau kemarin, kurator memilih karya yang mereka pikir baik, kemudian di-review oleh guru apakah mungkin digunakan atau tidak. Pada akhirnya kan judulnya Sastra Masuk Kurikulum, jadi pertimbangan-pertimbangan pedagogi ini akan turut mewarnai keputusan-keputusan itu nantinya. Itu satu hal.

Kemudian soal keterlibatan dari sebanyak mungkin orang. Walaupun bukan bagian darinya, menurut saya, paling tidak kami mesti tahu, sebenarnya tingkat pengetahuan orang tua si murid tentang semua ini seberapa sih? Jangan-jangan sama sekali tidak ada. Mungkin mereka tidak perlu membaca 200 buku, tetapi punya dasar atau landasan untuk ikut terlibat menangani karena ini jauh lebih kompleks dari yang sering dibayangkan. Orang cuma membayangkan karya sastra masuk sekolah. Pengalaman kita masing-masing kan, terinspirasi baca karya sastra di sekolah, kuliah jadi aneh-aneh. Mau ini mau itu dan segala macam, lompatan-lompatan yang akan muncul dari program seperti ini juga mesti dikawal, dan sebetulnya bukan hal yang baru. Sudah banyak sekali pengalaman di tempat-tempat lain, jadi kita bisa belajar dari pengalaman mereka.

Tetapi persisnya bagaimana langkah setelah ini, yang saya dengar cuma, oh akan dipertemukan kembali tuh reviewer-reviewer dan kurator. Bukunya ditarik pasti, ya. Dan buku pedoman yang akan keluar adalah proses dari diskusi yang melibatkan mereka; mungkin pedagoginya, bobotnya akan lebih menonjol sehingga bukunya memang menjadi pedoman untuk dipakai oleh guru.

Kemarin kan [buku itu punya] ringkasan, sinopsis, tambah informasi geografis, dan segala macam. Padahal yang diperlukan sebetulnya kan adalah kalau berhadapan dengan karya A, bagaimana di kelas bisa menggunakannya secara optimal. Kemarin kalau dilihat dari [buku panduan] itu kan belum ada sama sekali. Banyak sekali kemungkinan menghubungkan karya sastra dengan mata pelajaran lain.

 

AVIANTI

Bagaimana menangani atau mencegah adanya sensor-sensor akibat teks tertentu yang dikutip begitu saja tanpa diberikan konteksnya, sehingga, misalnya, yang tampil akhirnya jadi kekerasan seksual? Jangan-jangan kekhawatiran yang berlebihan itu bisa mendorong sensor-sensor yang melahirkan “kanon sastra agamis” misalnya. Karena pemerintah sudah masuk dalam penyusunan Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, bagaimana menghindarkan hal itu?

 

HILMAR

Ini isu yang sangat penting, dan itulah sebabnya kami menyadari otoritas yang ada. Kewenangan yang ada pada pemerintah untuk menetapkan kanon itu konsekuensinya bisa sangat serius. Makanya tadi, pendekatan [bukan] kanon tidak hanya karena kami menyadari kesulitan untuk mau bikin sesuatu yang sepenuhnya representatif, tetapi juga keengganan untuk memberikan otoritas terlalu besar kepada satu body of text. Bahwa kita harus memunculkan suatu keluaran atau daftar, tidak masalah. Sebetulnya kalau kemudian ada tafsir yang mempersoalkan karya secara arbitrer, mengambil hanya bagian-bagian tertentu, itu justru risiko terbesar kalau kita memberikan otoritas terlalu besar kepada satu institusi. Iya kalau di tangan orang yang benar. Kalau jatuhnya ke tangan yang tidak bersahabat dengan ide kebudayaan dan sastra bagaimana? Itu yang berusaha dihindari. Jangan sampai masuk ke sana. Kalau institusi itu menerbitkan, sebetulnya dengan logic yang sama. Kami menganggap orang yang kemudian mempersoalkan atau mempertanyakan, ya sebagai kritik.

Bukan hanya di Indonesia. Di Iowa, Amerika Serikat, tahun 2023, masih ada pertempuran tentang buku apa yang boleh masuk ke sekolah. Jadi, ide hangat di dalam masyarakat kita dan naik-turunnya, kadang peduli, kadang tidak. Jadi, space untuk itu kita sediakan. Dan saya sebetulnya senang sekali kalau misalnya 220 sekian buku itu menjadi sumber perdebatan. Kita perlu dengar tentang seksualitas di dalam masyarakat. Sangat-sangat mendesak sebetulnya karena kita begitu behind di dalam urusan itu. Ini malah memicu kan. Orang mulai mempersoalkan, “Apakah ini yang kita ajarkan ke anak-anak?” Ayo kita diskusi deh, ha ha. Itu justru sebetulnya suatu konteks, bukan out of the blue, ada sesuatu yang memang, katakanlah, dipertaruhkan.

Kemarin, teman-teman Lesbumi datang, antara lain menanyakan soal itu. Oleh kiai-kiai mereka ditanya, “Apakah ini yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah?” Jadi, mereka terbalik, mengira bahwa buku panduan isinya seperti begitu, inilah yang diajarkan kepada anak-anak. Maka, itu disalahpahami, yang sudah melebar dan berlanjut. Saya bilang ke teman-teman, ini justru kesempatan yang bagus, mulai mendiskusikan hal-hal yang semula tidak mudah diangkat. Misalnya menghadapi soal sexually explicit content. Selalu tantangannya, “Masa sih yang kayak begini mau dikasih ke anak-anak?” Terus saya bilang, untuk anak-anak, karya-karya sastra terlalu jauh, terlalu abstrak. Mereka sekarang bisa mengakses apa pun. Yang seharusnya sekarang kita kejar adalah kemampuan mereka untuk deal dengan yang kayak begini-begini. Karya sastra mungkin tempat yang paling baik bagi mereka untuk belajar bagaimana caranya handle informasi kayak begitu. Jadi, jangan terus memusuhi.

 

AVIANTI

Tetapi di situ masalahnya. Kalau diteliti, disclaimer-disclaimer itu justru yang sangat berbahaya karena itu interpretasi dari penyusunnya. Kemudian juga ada penyederhanaan yang terlalu ekstrim dari materi sastra tersebut sebagai upaya untuk bisa menyambung ke mata pelajaran tertentu. Itu yang sebetulnya mematikan kreativitas dan imajinasi. Apakah mungkin yang harus dilakukan justru membatasi atau menghilangkan interpretasi sepihak dari penyusun buku semacam itu?

 

HILMAR

Kalau di programnya, saya tidak tahu. Tapi, kalau ditanya soal itu, saya setuju kalau itu kemudian bukan seperti alat untuk menjelaskan bidang keilmuan lain. Bukan itu tujuannya. Tetapi, sebetulnya mengingatkan bahwa sastra [merupakan] nilai representasi dari realitas sosial, imajinasi, dan seterusnya. Tentu poin yang paling penting dalam keilmuan kan menyusun narasinya.

Ada story di dalam rumus matematika. Jadi, logic bahwa kamu sebenarnya merangkai dunia melalui persepsi yang sangat kompleks, tetapi rangkailah sedemikian rupa dengan menggunakan alat: kata. Dengan itu juga kami bisa bilang alat yang lain adalah bunyi, alat yang lain adalah gerak, dan seterusnya. Paling tidak akan jauh lebih membantu untuk masuk daripada hafalan rumus, bentuknya yang abstrak itu cenderung menjauhkan.

 

Kegiatan Belajar-Mengajar: Antara yang Ideal vs Aktual

 

NUKILA

Baik, tampaknya pertanyaan tentang buku problematik itu memang tidak terlalu tepat dialamatkan ke Anda, beberapa di antaranya tadi sudah dibicarakan. Melanjutkan ke topik lain, saya ingin bahas soal budaya. Masih tentang kurikulum baru dan pelaksanaannya sejauh ini, mendekatinya dari perspektif budaya, yaitu kultur didik. Selama ini kan institusi sekolah selalu punya hierarki dalam budaya didik. Guru sebagai otorita, yang mengajar, dan murid sebagai yang diajar: tidak boleh membantah, tidak boleh memiliki opini yang berbeda, harus patuh pada apa yang dikatakan guru––meskipun tidak semua sekolah kulturnya begini. Dalam kurikulum baru ini, apakah ada perubahan paradigma juga dalam pendekatan budaya mengajar? Bagaimana relasi guru dan siswa dalam kelas, misalnya?

 

HILMAR

Mungkin itu justru yang lebih jadi fokus sekarang ini. Karena ada program Guru Penggerak di kementerian sekarang. Sebenarnya [kami] maunya seluruh pendidikan ini berpusat pada siswa. Dan agar seluruh sistem ini benar-benar bisa melayani atau mengikuti kepentingan itu, harus ada yang menggerakkan. Dan guru-guru ini memang dibikin satu kategori khusus melalui seleksi dan training. Mereka diharapkan perannya sebagai penggerak. Mereka-mereka ini yang lebih leluasa mengembangkan materi ajar yang harus disampaikan dengan metode yang mereka kembangkan sendiri. Kebanyakan guru yang kreatif, dan semacamnya. Ini yang dikumpulkan, masuk ke dalam Balai Guru Penggerak namanya. Tugas dia melatih guru yang lain. Sekarang sudah ada 80 ribuan guru seperti begitu.

Ke depan, bahkan kepala sekolah syaratnya harus seperti brevet di militer. Kalau tidak melewati proses sebagai guru penggerak, dia tidak bisa jadi kepala sekolah. Implikasinya, kami berharap sekolah-sekolah kemudian dipimpin oleh orang-orang yang mengerti urusan ini. Keleluasaan kamu tuh raise subject yang bisa diajarkan, silakan. Kamu punya kewenangan. Kalau lihat anak-anaknya mungkin lebih kuat urusan numerik, oke berarti kamu harus mengimbanginya dengan literasi. Kalau anak-anaknya terlalu senang physical activity, maka untuk mengimbanginya kewenangannya harus ada pada si kepala sekolah. Jadi, tidak bisa didesain dari luar. Itu prinsipnya.

Nah, karena pasti sifatnya decentralized, tidak bisa bikin seperti buku panduan yang berlaku umum di seluruh situasi, karena yang difokuskan adalah menumbuhkan si para penggerak ini. Mereka yang akan menjadi kekuatan utama untuk menuju ke sana. Investment yang dilakukan oleh kementerian jauh lebih banyak di sini daripada pengembangan materi ajar. Jadi, misalnya buku sastra masuk sekolah itu belakangan. Subjek-subjek itu setelah konteks guru penggeraknya ada dulu, karena percuma kita bikin materi yang wah segala macam, kreatif-kreatifan, jatuhnya ke guru yang sangat uninspiring, ya tidak jadi apa-apa. Karena membongkar satu pola kerja yang menahun, berdekade, kan susah. Jadi, yang paling pertama membuat mereka confident dulu, bahwa yang mereka lakukan tidak salah. Seringkali guru ketakutan, “Yang saya ajar ini sudah sesuai atau belum”, nanti ada penilik dari dinas pendidikan bilang, “Kamu salah semua mengajarnya”, atau semacam itu. Dengan metode menciptakan jumlah guru penggerak dalam jumlah yang banyak, konfidensinya tumbuh karena di antara mereka sendiri juga saling berkomunikasi. Ada proses tukar [informasi] begitu.

 

NUKILA

Guru penggerak ini kira-kira lebih sebagai pemantik ya. Artinya dari Sabang sampai Merauke akan representatif sama rata dan mereka nantinya diharapkan untuk menularkan pengetahuannya dari hasil pelatihan itu ke rekan-rekan gurunya, begitu ya? Jadi, soal peran guru dan kultur didik yang tadi disebut, artinya kembali ke filosofi pendidikan di awal, seperti Tut Wuri Handayani dulu, Ki Hajar Dewantara, mendorong dari belakang atau dari–

 

HILMAR

Persis itu. Dasar pemikirannya dari sana. Karena kita lihat guru yang kemudian di lapangan, mengajar segala macam, ternyata ada anak pintar yang tumbuh dari pola seperti itu. Tetapi hal yang jauh lebih penting daripada mereka mengerti subjeknya, dan kemudian lulus di perguruan tinggi, sukses secara akademik, adalah pendidikan dalam pengertian yang luas. Kita ingin anak-anak ini [baik] di berbagai macam bidang, bukan hanya secara akademik, tetapi dalam bidang sehari-hari pun mereka punya modal: kompetensi, pengetahuan, social skills, yang artistik bahkan, sehingga lulus dari sekolah, katakanlah sudah ada bekal.

Kalau sekarang kan kita lihat banyak sekali. Tahun ‘80-an ‘90-an juga sama saja, lulus SMA kita kayak what to do? Ha ha ha, nggak tahu [harus apa]. Terus pelan-pelan menata, tahu-tahu [umur] sudah 25 tahun. Terus, “Waduh, mestinya gua sekolah ini ya”, kan kejadian-kejadian sering seperti itu. Kita ingin anak bahkan kalau bisa, “Kayaknya saya tidak perlu perguruan tinggi, bukan trajektori saya”, atau “Saya terlalu lemah dalam bidang ini atau itu.” Tetapi itu disadari dan menjadi pilihan, daripada misalnya didorong-dorong, terus ikut bimbel. Sehingga nanti malah melampaui apa yang tersedia pada dia. Bukan hanya melampaui ya, tetapi berbeda dari apa yang sesungguhnya tersedia pada dia.

Ide besarnya seperti begitu. Sebetulnya pekerjaan terpenting guru bukan memberi materi, tetapi juga menikmati semua proses ini. Itu ukurannya juga pasti susah. Tidak mudah untuk bilang, “Nggak apa-apa nggak pinter”, maksudnya secara akademik di subjek-subjek pelajarannya rata-rata, bukan yang bisa menyelesaikan cepat. Yang lebih penting kecenderungan kognitif, afektif, dan seterusnya, jalannya si anak ke mana ya kira-kira. Dan apa yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk memperkuat potensi itu. Ini ide, kerangka besarnya.

Investment kami dari kementerian masuknya ke sana. Kurikulum sebenarnya kalau kita lihat shrinking kan. Betul-betul literasi, orasi, sama karakter. Itu saja. Dari segi subjek pelajaran, kalau core kompetensi ini dia kuasai, yang lainnya lebih banyak pada pengembangan.

 

AVIANTI

Melihat bahwa sedemikian penting Guru Penggerak, juga bahwa fokus pendidikan memang diarahkan kepada siswa, meskipun ini sesuatu yang baru, mekanisme evaluasi dari Merdeka Belajar ini seperti apa? Karena kondisi setiap daerah berbeda-beda. Dan fasilitas yang mencapai daerah-daerah tertentu bisa jadi sangat minim. Selain itu, juga ada faktor-faktor, misalnya, ada daerah-daerah khusus yang punya pandangan-pandangan berbeda tentang nilai-nilai. Pasti akan berbeda cara penerapannya. Bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasinya supaya tidak ada kemungkinan terjadi bola liar?

 

HILMAR

Di dalam tata kelola pendidikan secara umum ada problem besar karena kewenangan yang terbagi. Jadi, penyelenggaraan pendidikan SD-SMP itu ada di kabupaten-kota. Mereka yang punya kekuasaan penuh—apakah bikin sekolah, apakah tidak bikin, apakah tutup, gurunya mau ditaruh di mana, kepala sekolah—itu adalah kewenangannya si bupati atau walikota. Untuk SD, SMP, SMA, SMK, dan sekolah luar biasa [kewenangannya] ada di provinsi. Karena kewenangan begitu besar sejak otonomi daerah tahun 1999. Kadang-kadang sistem ini jadi rentan terhadap macam-macam intervensi. Kepala daerah mau pilkada, macam-macam lah. Social interest gitu ya. Dia juga punya kecenderungan karena, katakanlah, dia juga anggota ormas keagamaan, maka kapal anggarannya nanti akan berat sebelah ke sisi tertentu. Jadi, subject to political dynamics. Dan itu tantangan, karena kita sudah membicarakan visi, ketika mendarat di satu wilayah menghadapi kompleksitas interest yang macam-macam ini. Jadi, kalau bicara tentang evaluasi, it’s still a long, long way to go untuk bisa benar-benar sampai ke yang diinginkan.

Tetapi, paling tidak 3-4 tahun terakhir, dengan mendorong kebijakan-kebijakan baru ini di tingkat sekolah, perubahannya terasa. Si guru menjadi lebih confident. Jadi, dia tahu bahwa sekarang tidak perlu mengajarkan dari A sampai Z. Peran mereka lebih sebagai fasilitator. Kelas bisa diatur sedemikian rupa untuk lebih fleksibel jamnya, dalam macam-macam penyelenggaraan sekolah sehari-hari. Kalau dulu, misalnya penilik sekolah datang, yang dilihat apakah siswa datang semua atau tidak, ada yang sakit atau tidak. Jadi, benar-benar semua hitungan-hitungan yang sifatnya lebih administratif ketimbang substansi.

Nah, sekarang karena sudah bergerak ke arah itu, maka yang jadi patokan evaluasinya juga berbeda. Rapor, misalnya, sekarang kan beda sekali dengan rapor kita [dulu]––kamu [nilai] Matematika berapa-berapa. Kalau sekarang ada asesmen dari guru terhadap karakteristik si anak. Dia mem-bully atau di-bully, ataukah dia berperan penting di dalam organisasi sekolah. Catatan-catatan itu kan lumayan. Dan ini sebenarnya data yang luar biasa. Karena kita jadi tahu sekolah ini, misalnya, peduli pada urusan lingkungan. Sekarang [datanya] jadi terekam. Jadi, sebenarnya perubahan-perubahan di tingkat itu dirasakan, karena si guru jadi juga lebih mengenal anak-anak. Kalau dulu kan guru cuma, “Lu bisa ngerjain tugas apa nggak?”, “Bisa lulus ujian apa nggak?” Anak diukurnya dari situ. “Angka kamu 7, kamu 9”. Kalau sekarang tidak. Sekarang guru jauh lebih mengerti muridnya secara lebih holistik. Si anak ini perkembangannya sesungguhnya kayak apa.

Apakah ini kemudian berpengaruh kepada proses belajar-mengajar? Saya tidak tahu karena tidak langsung akses, tidak bisa merasakan situasi kelas. Kalau ada pejabat datang ke sekolah, itu merupakan keadaan yang sangat luar biasa, di luar kebiasaan sekolah, jadi tidak bisa dijadikan dasar ukuran. Misalnya, kita kunjungan, “wah anak-anak gembira,” ya iya lah. Dia [jadi] nggak belajar. Ini orang siapa, mereka nggak tahu, ha ha ha…

 

NUKILA

Ada satu frasa yang menarik buat saya, “mengadministrasi perubahan”. Melihat contoh kasus buku panduan kemarin itu, secara ideal pada tingkat gagasan katakanlah bagus. Nah, hanya penerjemahannya kemudian di level menengah ataupun ke bawah, sampai ke ruang-ruang kelas, akan selalu punya kemungkinan distorsi dan deviasi yang bisa sangat jauh menyimpang. Awalnya A misalnya, nilai ideal dan cita-citanya, saat pelaksanaan sampai ruang kelas itu bisa jadi H. Ini soal penerjemahan dan pelaksanaannya.

Atau misalnya di ruang kelas, tantangannya kan mengubah paradigma dan mentalitas guru yang sudah terbentuk berpuluh-puluh tahun ini, bagaimana bisa mengukur bahwa pelaksanaannya selaras dengan yang ideal?

 

HILMAR

Pasti ya, kalau misalnya dari konsep yang kedengaran bagus ketika kita coba turunkan, tantangannya bukan hanya eksternal, tetapi di internal si gurunya juga. Transformasi dia untuk benar-benar menghayati seluruh filosofi pemikiran ini cukup besar. Saya pernah berinteraksi dengan teman-teman guru waktu awalnya mereka jadi guru penggerak. Mereka senang idenya,  “Wah, akhirnya bisa kreatif kita.” Tetapi, kenyataan di lapangan, ketika guru penggerak diformalkan sebagai sebuah kategori, berarti ada yang tidak penggerak. Tegangan mulai muncul karena guru penggerak ini jumlahnya minoritas sekali. Jadi, seperti elite di dalam lautan guru dan tenaga pendidik yang sangat besar itu. Yang saya dengar, kadang-kadang kan guru berdasarkan merit. Artinya, bukan orang yang privileged gitu tetapi karena mereka pintar, kreatif. Bisa dibayangkan kan dalam sistem seperti itu, munculnya orang-orang seperti ini langsung mengundang reaksi dari sesamanya. Jadi, kayak, “Apa sih lu. Kerajinan banget lu. Kayak [si] paling pinter.”

Jadi, memang tantangannya adalah waktu. Maksudnya, jumlah akan bertambah dengan sendirinya, tetapi kan pelan-pelan. Dan ini efek yang memang urusannya penambahan jumlah sampai satu critical mass sehingga orang merasa bahwa, “Kalau tidak jadi guru penggerak, kita yang rugi.” Sampai sekarang nih belum. Kami berharaplah lima tahun ke depan, program ini bisa berlanjut sehingga guru betul-betul menciptakan suasana baru. Bukan hanya sekedar munculnya sosok-sosok yang inspiratif, tetapi inspirasi inilah yang menjadi policy.

Jadi, kerja kerasnya dari teman-teman di pendidikan saat ini adalah itu. Dan memastikan ekosistem sekolahnya juga menunjang. Makanya itu tadi, keputusan kepala sekolah haruslah guru penggerak karena dia yang nantinya akan memimpin orkestrasi seluruh perubahan, walaupun guru yang ada di bawahnya belum mengikuti program itu. Tetapi, paling tidak dengan  arahan dia, arah kebijakan itu bisa ditempuh.

Yang juga tidak kalah tantangannya adalah murid. Siswa kan terbiasa untuk menerima saja. Maunya, “Lo ajarin gua. Gua bisa jawab. Apa yang di luar yang diajarin, nggak bisa jawab,” kurang lebih kan sikapnya begitu. Jadi, untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kreativitas dalam merumuskan sesuatu, inovasi untuk mencari jalan memecahkan masalah, gitu-gitu. Ya, tentu ada beberapa anak seperti itu, tetapi belum sama sekali menjadi semacam kebiasaan baru. Kadang-kadang kan kita juga berhadapan dengan situasi gurunya begitu kreatif, anak-anaknya belum.

Sebetulnya sewaktu mendiskusikan ini, kami selalu tahu triangle itu tidak mungkin dipisahkan: sekolah, masyarakat luas, dan keluarga dalam berbagai bentuknya. Ini komponen yang tidak mungkin diabaikan. [Anak] fokus saja di sekolah, tetapi begitu dia pulang ke rumah tuh, “bumi dan langit”. [Untuk] itu kami juga berusaha intervensi melibatkan orang tua dan masyarakat lebih luas, dunia usaha, NGO. Kan sekarang ada banyak program yang menghubungkan, jadi anak-anak bisa pergi melihat, termasuk organisasi kebudayaan. Jadi, mereka lihat langsung, “Oh, gini nih dunianya”. Dan bagaimana sekolah mereka relate dengan dunia luar itu.

Zaman Pak Anies dulu ada yang namanya direktorat untuk urusan itu, orang tua. Tetapi, tidak efektif.  Ya susah lah untuk menjangkau orang tua dari 55 juta anak secara kebijakan. Yang ada forum-forum untuk orang tua. Ya tentu di berbagai provinsi sih kayak organik saja, tumbuh dari mereka sendiri karena ingin melihat perkembangan anaknya. Sebetulnya kami punya struktur itu. Ada yang namanya Dewan Pendidikan. Dewan Pendidikan ini dari nasional, provinsi, kabupaten-kota, sampai ke komite sekolah. Jadi, setiap sekolah harusnya ada komite, perwakilan dari orang tua masyarakat yang, katakanlah, “mendampingi” sekolah itu. Cuma, memang ini [urusan] logistik. Kita punya 300 ribu sekolah. Tidak semua masyarakat di sekeliling sekolah itu antusias untuk ikut mengawasi. Mereka sudah bersyukur, “Udah bagus anak gua sekolah di sana.”, “tidak perlu diawasi dari pagi sampai sore”. Mereka merasa untuk ikut membesarkan itu beban, toh sudah dipegang sama sekolah. Kadang-kadang kan [orang tua] juga demanding terhadap gurunya. “Udah gua bayar, udah percayakan, kok [anak] masih bandel?”.

 

NUKILA

Sebentar lagi ganti pemerintahan. Bagaimana menjamin bahwa Kurikulum Merdeka ini akan berkelanjutan? Karena kalau tidak salah, dalam perencanaan pelaksanaan kurikulum baru ada fase-fasenya, ini sampai tahun sekian, ini sampai tahun sekian. Bagaimana kalau-kalau menteri pendidikannya baru tahu-tahu ganti kurikulum lagi? Selama ini guru-guru dan siswa sudah selalu siap mental dengan trope “ganti menteri, ganti kurikulum”.

 

HILMAR

Sekarang semua kebijakan kunci yang menerjemahkan konsep besar tadi dijaga dengan regulasi. Jadi, kalau misalnya menteri baru mau, katakanlah, ubah regulasi, itu tidak mudah. Dia mesti melalui proses yang lumayan panjang. Misalnya, terkait dengan perubahan organisasi harus ke Kementerian PAN RB. Jadi, seperti blockchain. Satu berubah, berubah semua. Kalau misalnya satu ini saja yang diubah, tidak akan jalan karena struktur organisasi tadi masih intact dengan yang lama. Regulasi ini saling mengunci. Mau 100 persen ganti, dia harus ganti keseluruhan.

Dan ini biasanya sudah cukup menjadi disinsentif bagi siapapun. Memang rancangannya dibuat sedemikian rupa sehingga terjaga dengan baik. Kecuali ada orang datang dengan ide yang sama muluk-muluknya dan punya energi untuk mengolah ini dalam waktu lima tahun, yang kita prediksi sih most unlikely. Apa insentifnya untuk bikin satu perubahan? Kecuali dia melihat ada sesuatu yang luar biasa salah dengan yang ada sekarang. Dan dia menganggap ada sesuatu yang harus kita tanamkan. Perkiraan kita di atas kertas dari struktur politik yang ada kok kayak tidak ada gairah untuk itu. Mungkin lebih sibuk mengurusi sumber daya alam daripada sumber daya manusia.

 

NUKILA

Ini tentang kesiapan institusi sekolah dan khususnya guru, dengan adanya perubahan paradigma praktik-praktik mengajar dalam kurikulum baru. Selain itu, kan ada masa transisi dan adaptasi setiap perubahan kurikulum: sosialisasi, pelatihan guru, administrasi, dan seterusnya—proses yang dikeluhkan guru makan waktu. Dengan melihat kondisi kesejahteraan guru saat ini, gaji minim, juga guru honorer, guru di pedalaman, juga asumsi semua guru suka baca, dan seterusnya, apakah kita meminta terlalu banyak dari para guru?

 

HILMAR

Kalau dilihat sebagai keseluruhan pasti pusat-pusat pergerakan dari sistem yang baru ini akan tersebar di beberapa titik, tidak menyeluruh. Itu sudah pasti. Saya tidak bilang bahwa “[daerah] 3T pastinya”, tidak begitu. Ada banyak juga orang-orang yang inspiring tuh justru ada di daerah-daerah kayak gitu. Jadi, kita akan lihat munculnya titik-titik pergerakan itu tersebar dan ada daerah-daerah yang pastinya akan lambat mengikuti itu.

Memang di kementerian juga ditingkatkan, kami diskusi bagaimana caranya mengatasi ini. Akhirnya ya harus ada prioritas, untuk tidak mengatakan diskriminasi. Kami harus memilih. Kalau misalnya orangnya inspiring, ya didukung. Kalau misalnya belum, ya terpaksa tidak, karena kita tidak mungkin menunggu semuanya berada pada level yang sama. Itu pasti tidak terjadi. Jadi, harus mulai dari sesuatu, tetapi mereka diberi tugas tambahan. Kami sudah membayangkan. Kalau misalnya guru penggerak di satu sekolah yang sudah jadi, ya dia harus pindah. Dia harus masuk ke tempat-tempat yang masih belum tersentuh. Jadi, itu strategi yang dipilih ketimbang, misalnya, “Lihat deh, kondisi gurunya kan beda-beda.” Ya, selalu akan ada pihak yang mengeluhkan bahwa daerah saya belum tersentuh, tidak diperhatikan. DPR selalu begitu. Jadi, kita selalu akan berhadapan dengan problem diskrepansi antara satu sisi, “Wah, yang ini kayaknya hebat,” di sisi lain masih blangsak betul. Cara untuk memperkecil gap ini dengan sirkulasi kan. Ketika orang-orang yang dianggap sudah cukup baik, jumlahnya berkelebihan atau surplus di suatu tempat, dia bisa di-deploy.

Nah, tantangan logistik itu juga besar sekali karena [gaji] guru honorer yang masih di bawah UMR, bahkan guru-gurunya juga kadang masih kerja dobel gitu ya. Jadi, challenge di tingkat logistik sangat besar dan kembali lagi ke urusan pembagian kewenangan tadi. Karena yang menggaji [guru-guru] kan pemerintah daerah. Besar-kecilnya honor tidak pada kementerian. Jadi, ketika misalnya, “Mana, guru honorer kita masih–” ya tanya dong sama Pemda. Kan dia yang pegang duitnya.

Anggaran pendidikan itu mayoritas anggarannya jatuh ke daerah. Jadi, bukan kementerian memegang ratusan triliun, kemudian bisa bagi-bagi. Tidak sama sekali. 20% APBN itu kan untuk pendidikan. Kita pegang porsi terkecil, hanya 9,6% dari total 20% anggaran yang diurus oleh kementerian. Selebihnya oleh daerah, untuk penyelenggaraan sekolah.

Logistik ini ya sama. Daerah juga, kalau misalnya dia sama pemikirannya [dengan pusat], tentu [pendidikan] menjadi prioritas. Tapi, sekarang perhatikan daerah mana yang anggaran pendidikannya 20% dari APBD? Pun kalau mereka terima dalam jumlah yang besar, 100% tuh dari negara, dari APBN, bukan dari dia sendiri. Jadi, local investment-nya dia ke pendidikan apa? Nah, ini kan komitmen penata daerah, dinamika politik, segala macam, jarang dibaca. Pembiayaan untuk misi yang seperti ini kalau tidak ada dukungan dari yang handle akan susah.

Susahnya, sekarang ini apa sih yang menjadi insentif bagi dia? Terpilih kembali. Sudah. Apakah anak jadi pintar terus dia merasa itu sebagai prestasinya? Tidak juga. Malah kalau misalnya sekarang ini, “Wah, [rendah] nih tingkat baca,” [jawabnya] “Ya itu lah, karena saya tidak pernah dibantu.” Malah jadi insentif dia untuk tetap mempertahankan yang jelek, karena dengan begitu dia punya akses kepada macam-macam bantuan, afirmasi, dan seterusnya.

Kalau anak Papua misalnya kita pake prinsip berpikir tadi, luar biasa kemungkinan dia untuk berkembang. Asalkan gurunya, muridnya, lalu logistiknya mendukung. Kita di sana memakai ethnoscience, ethnomathematics, dan sebagainya. Jadi, kalau geometri itu jangan dikasih di papan, noken saja anak-anak suruh lihat. Itu juga geometrikal sekali. Belum lagi ritme, hitung-hitungan. Masuk-keluar hutan, menyanyi, dan seterusnya.

Masalah logistik diatur di tingkat yang lebih tinggi, Undang-undang. Sama seperti kebudayaan. Taman budaya diserahkan ke provinsi. Provinsinya tidak bisa mengurus. Museum,sama aja, 111 museum lebih ada di provinsi, ada di kabupaten-kota, tetapi mereka juga tidak punya indra. Apa lagi museum, pendidikan saja belum tentu. Jadi, museum untuk apa? Apa insentifnya?

 

5. Literasi dan Budaya Membaca

 

NUKILA

Pelajaran sekolah menengah pada intinya adalah untuk menyiapkan siswa pada dunia yang lebih luas. Sebagai salah satu pelajaran, apakah pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra telah cukup menyiapkan anak untuk dapat “membaca dunia” dan berpikir tentangnya? Apakah institusi sekolah kita telah cukup memberikan dasar yang kokoh untuk menanamkan literasi kepada siswa? Literasi yang bukan hanya sekadar praktik-praktik baca tulis, karena melek huruf kan sudah cukup sukses dalam satu generasi, hampir semua masyarakat sudah bisa baca-tulis. Tetapi, literasi yang lebih dari itu: komprehensi, berpikir kritis-kreatif, kefasihan bertutur, juga kebiasaan membaca.

 

HILMAR

Dari segi bahan, mungkin mencukupi, karena kalau kita lihat bacaan-bacaan untuk SD-SMP, lumayan kompleks bahan pelajarannya. Tetapi, apakah anak SMP sekarang pada umumnya bisa dengan mudah mengikuti karya sastra? Tentu bervariasi. Kalau misalnya di pusat-pusat perkotaan, tentu jawabannya iya. Tetapi, mungkin untuk mayoritas, gap-nya masih lumayan jauh.

Itu saya kira ada urusannya dengan keadaan atau kondisi bahasa Indonesia secara umum di Indonesia, yang penggunaannya memang boleh dibilang merata sebagai bahasa komunikasi, tetapi juga sangat terbatas pada komunikasi formal. Masuk dalam ruang-ruang formal menggunakan bahasa Indonesia. Komunikasi sosial-kulturalnya, jangan-jangan vernakular jauh lebih menonjol. Pun kalau bahasa Indonesia dengan dialek. Jadi, ada gap antara– karya-karya kita kan hampir selalu ditulis dalam bahasa Indonesia standar. Yang memberi ruang bagi ekspresi-ekspresi lokal tentu ada di sana-sini, tetapi secara umum karya-karya kita berbahasa Indonesia. Dan itu bahasa yang mungkin dalam keseharian jarang kita jumpai.

Tetapi, kalau misalnya bicara tentang sekolah, ya sekolah mengajarkan bahasa Indonesia yang digunakan juga di dalam bahasa sastra. Tetapi, kita tahu di sekolah sendiri aja antara bahasa yang digunakan dalam kelas dengan luar kelas juga sudah cukup besar perbedaannya. Jadi, apakah memadai? Kalau dari segi bahan, ya memadai. Apakah dalam praktiknya itu berarti dengan mudah anak-anak bisa mengapresiasi karya sastra? Rasanya kok tidak rata. Mungkin cenderung jawabannya ke belum ya dibandingkan sudah, karena jumlah anak-anak yang kemudian bisa dengan mudah mengikuti, dan mengerti karya-karya itu dengan lebih baik, jumlahnya saya duga masih sangat terbatas.

 

NUKILA

Saya baca catatan skor PISA tahun 2022, level membaca di dunia itu ukurannya sampai level 5 atau lebih–untuk anak  kelas 10. Mayoritas anak Indonesia, sebanyak 75%, baru sampai pada level 2.

 

HILMAR

Saya kira cukup banyak orang Indonesia kesulitan menuturkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan dalam bahasa Indonesia. Untuk sekadar bercerita saja kita punya problem yang cukup serius. Saya kira PISA kan reading comprehension yang menjadi fokusnya. Kemampuan untuk menangkap [makna]. Tentu tetap kita rasakan juga gap-nya. Ketika bacaan-bacaan dimengerti bahasa Indonesianya, artinya orang tidak kesulitan untuk memahami kata-katanya. Tetapi mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa sih sebenarnya yang dibicarakan, di situ ada persoalan. Jadi, saya kira lebih serius dari sekedar bahasa, tetapi kemampuan untuk menangkap makna, menangkap inti pembicaraan, tantangannya ada di situ.

Dan karya sastra karena lebih naratif, lebih mudah diikuti, ada emosi, dan segala macamnya, diharapkan bisa membantu anak untuk mulai merangkai. Lebih tertata lah dengan struktur naratif yang ada. Kalau untuk SD-SMP, seingat saya [dari] diskusi dengan teman-teman yang terlibat, misi utamanya itu. Jadi [anak-anak] bisa mengikuti cerita, bisa membangun, bisa menceritakan kembali. Misi utamanya sebenarnya di situ, bukan misalnya keindahan pilihan kata dan seterusnya. Itu bonus. Tetapi, misi utamanya sebetulnya pada kemampuan untuk merangkai cerita di dalam benak.

 

NUKILA

Saat dirilis, disebutkan bahwa salah satu tujuan Sastra Masuk Kurikulum yaitu agar buku-buku sastra lebih dapat dibaca di kalangan siswa. Ini tentang keterbacaan dalam kaitannya dengan teknologi internet. Internet ini kan bermata dua. Katakanlah, siswa harus baca buku Layar Terkembang. Dalam hal akses, siswa akan lebih mudah dapat teks PDF-nya di internet. Tetapi, di lain pihak, internet juga dapat memberikan sinopsis Layar Terkembang, sangat mudah dicari di situs-situs—alur cerita, tokoh-tokohnya, dan lain-lain. Kemudian, jika diberi tugas, siswa juga bisa dengan mudah bikin prompt analisis buku Layar Terkembang di AI, misalnya. Pada akhirnya tidak menjamin keterbacaan buku-buku sastra pilihan itu, apakah benar-benar dibaca siswa. Apalagi ada misalnya dicantumkan dalam sambutan buku panduan, “tujuan membaca yang dapat memberi pengalaman transformatif untuk siswa’”?

 

HILMAR

Mungkin tadi ya poin yang penting soal bentuk dan isi. Selama ini kan memang ada keinginan cukup kuat bahwa karya-karya itu bicara tentang makna dan isi. Dan kita berharap anak-anak share, kemudian bisa menarik value, dan sebagainya. Sementara, saya mengamati diskusi mengenai itu, mensyaratkan bahwa si anak sudah masuk ke dalam dunia sastra. Sementara, diskusi kita, saat ini yang kayaknya lebih menonjol adalah bagaimana caranya membawa mereka masuk ke dalam dunia sastra. Jadi, tantangan terbesarnya adalah, “Apa sih yang membuat anak mau berinteraksi dengan si karya?” Bisa saja saya kira kalau misalnya sekarang kita mulai berbicara tentang makna, tetapi alternatif yang dia miliki untuk mendalami soal makna yang mungkin sangat relevan bagi dia tuh begitu banyak.

Tantangan kita tidak berhadapan dengan karya sastra, tetapi dengan banyak sekali produk audiovisual dan sekarang kan ada kecenderungan di internet, apalagi munculnya ChatGPT dan lain-lain. Segala macam yang kita risaukan tuh ada jawabannya. At your fingertip. Tidak perlu baca novel panjang-panjang untuk sampai ke sana. Bahkan kompetisi di dalam dunia digital sendiri saja sudah besar sekali. Sesama website yang menawarkan jawaban-jawaban terhadap problematika kehidupan, yang ada juga di dalam novel tentunya––kompetisinya sudah luar biasa. Apalagi sekarang kita menuntut anak-anak untuk melangkah melampaui yang tersedia di depan, yang disajikan oleh internet ini, dan masuk lebih jauh ke dalam dunia novel. Rasanya itu lompatan yang cukup jauh. Maka, kenapa saya bicara tentang bentuk, karena sebagai pintu masuk, kok rasanya jauh lebih accessible, dan punya keunikan dibandingkan dengan misalnya kita langsung melompat pada makna.

Bahasa punya keunikan pilihan kata, apalagi kalau masuk bahasa daerah dan seterusnya. Itu kan memberi konteks yang sangat immediate. Kalau kita bicara soal makna kehidupan atau sesuatu isu yang penting, pilihan penjelasannya begitu banyak dalam berbagai macam bahasa. Tetapi, kalau aksesnya pada bentuk, ia agak spesifik. Tentu mungkin malah membantu di dalam timbunan informasi data di internet. Keunikan bentuk itu akan membantu justru untuk memilah, memisahkan dengan yang lain. Sementara, kalau kita bicara mulainya dari makna kan, waduh pilihannya begitu banyak. Ini lagi-lagi ide, walaupun saya juga mulai bertanya-tanya. Sekarang konon katanya di beberapa kalangan muda stoicism gitu kayak jadi satu tren. Jadi, kadang-kadang isi juga bisa menjadi tren tersendiri.

 

NUKILA

Masih tentang teknologi dan kaitannya dengan literasi, siswa dan generasi muda ini kan salah satu subset dari yang lebih luas, yaitu masyarakat umum. Jika hasil pendidikan kita selama ini menghasilkan masyarakat saat ini yang tingkat literasinya masih rendah, juga literasi media yang payah, seperti mudah kena hoaks, bawel di medsos, mudah tertipu scam, dan sebagainya, maka pertanyaannya, apakah dengan hadirnya Kurikulum Merdeka diharapkan dapat memperbaiki hal ini? Dan jika bangsa Indonesia bisa membereskan masalah melek huruf dalam satu generasi, apakah Anda optimis, di masa depan, katakanlah satu generasi, perubahan pendidikan ini dapat membawa pada budaya literasi yang lebih kuat pada siswa, generasi muda dan masyarakat secara umum? Pada saat itu pasti zaman sudah akan lebih berubah, sudah jauh lebih ajaib.

 

HILMAR

Kalau tanya optimis atau tidak, agak ini ya… Kuncinya, kalau menurut saya, adalah pada penguasaan dan pengendalian teknologinya. Teknologi kita tidak bisa stop. Artinya, akan sia-sia untuk bilang, misalnya, “Tinggalkan handphone, lebih banyak baca buku,” dan seterusnya,  rasanya itu bukan jalan yang mudah ditempuh. Tantangannya pasti akan sangat tinggi. Jadi, mungkin yang mesti mulai dipikirkan justru adalah menggunakan teknologi itu untuk meningkatkan literasi, minat baca, dan seterusnya. Kecintaan kepada bentuk harus dibangun terlebih dulu. Dalam hal ini, karya sastra tentu bahasa, kata, dan seterusnya. Kecintaan terhadap itu mesti ditumbuhkan. Dan itu bisa diinjeksi karena sebetulnya kan tidak harus langsung masuk ke dalam suatu karya yang panjang, larik puisi. Perhatiannya, misalnya, bisa lebih pada sintaksis daripada semantik. Itu rasanya memungkinkan munculnya optimisme bahwa sebenarnya teknologi bisa menunjang.

Sama seperti dalam teater, kita berbicara fragmen. Ada tidak adegan-adegan yang paling hebat dari sebuah karya yang kemudian dibuat sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan dulu, kecintaan dulu? Baru kita bisa masuk, mengelaborasi, menempatkan si fragmen itu, atau dalam konteks sastra tadi, si kata itu, kembali kepada tempatnya. Dan orang akan melangkah lebih jauh masuk ke dalam karya. Teknologi sebenarnya sangat memungkinkan itu dan belum digunakan secara optimal.

Ada beberapa yang mencoba baca puisi [online], tetapi itu hanya memindah apa yang mereka lakukan di ruang fisik ke ruang virtual. Sementara, penguasaan dan pengendalian teknologi bukan seperti itu. Teknologinya menghadirkan realitas dalam hak paten. Secara sangat ekstrim bahkan, potongan berita singkat satu menit, masih dipotong juga jadi 10 detik. Dan itu pun yang diambil nanti hanya ekspresi tertentu dan hadir kepada kita sebagai realitas. Kalau kita ingat teori realisme yang sangat sederhana itu, tugas dari si karya ini kan menghadirkan totalitas. Tetapi pintu masuknya ke dalam pembicaraan totalitas itu bisa jadi dari fragmen kecil tadi. Begitu dalam fragmen 10 detik muncul satu statement yang mengena ke gejala tersebut, dia menjadi semacam pintu masuknya.

Logic yang sama kita lihat di dalam urusannya dengan karya sastra. Fragmennya bisa diambil, potongannya bisa diambil, yang betul-betul menimbulkan satu sensasi, yang mengundang dia untuk masuk lebih jauh. Ya ini urusannya orang kreatif kerja sama dengan komunikasi, kerja sama dengan pedagogi, untuk melihat bagaimana membuat building block berdasarkan prinsip seperti ini kan. Saya perhatikan, di TikTok, di media sosial, orang membandingkan pengucapan dari kata-kata tertentu dalam bahasa yang berbeda. Dan itu ternyata menimbulkan kesenangan-kesenangan.

Jadi, hal-hal yang seperti ini yang sebenarnya mesti kita pelajari lebih banyak, karena bisa menjadi pintu masuk sesungguhnya untuk orang kemudian menyelami bentuk lebih jauh. Dugaan saya, minat terhadap itu juga bisa tumbuh lebih kuat. Ya, ini sepenuhnya spekulasi. Praktik-praktik itu kalau kita observasi adalah di lapangan.

 

AVIANTI

Apakah  tidak ada kekhawatiran bahwa alih wahana atau alih media, apabila tidak diikuti dengan strategi yang lebih komprehensif, pada akhirnya mengakibatkan pemahaman terhadap sastra Indonesia yang  hanya berhenti sebagai fragmen? Tidak lanjut ke pemahaman yang utuh karena kemudian muncul godaan-godaan lain yang berupa fragmen-fragmen juga yang dengan segera akan menarik perhatian kita ke situ? Anak-anak yang sehari-harinya banyak digempur oleh tayangan-tayangan pendek, pada akhirnya seperti tidak punya kemampuan membaca atau attention span-nya jadi pendek sekali.

 

HILMAR

Ya, risiko tentu ada. Makanya, kalau saya tadi bicara tentang penguasaan dan pengendalian teknologi memang harus pada level benar-benar mengerti bagaimana sebenarnya arsitektur dari bangunan itu. Karena kalau tidak, pasti akan kesulitan. Resikonya adalah jadinya seru-seruan saja kan. Dan bisa menjadi banal. Maka, memang desain keseluruhan itu harus betul-betul dipikirkan sebagai intervensi.

Ini belum ada kejadian, makanya saya bilang purely spekulatif. Belum pernah ada sebagai ide. Saya membayangkan bahwa hal itu bukan sesuatu yang bertentangan. Soal teknologi adalah ancaman, itu betul. Tetapi, pada saat bersamaan, memberi peluang yang tidak ada presedennya juga. Kita kan selama ini juga sangat kesulitan, bagaimana cara memperkenalkan karya dengan cara yang sangat efektif. Dan kalau lihat bagaimana pesona teknologi digital itu begitu kuat, mestinya ini kan our point, mesti mikir bisa diapakan sih ini teknologi.

Risiko tentu ada saja, bisa berakhir menjadi satu tren baru saja, seru-seruan.  Waktu ada demam orang mengikuti gerak-gerak tertentu [tren-tren joget], pernah ada pemikiran tuh, “Coba dong diisi dengan karya-karya tradisional”. Responnya tidak seperti yang diharapkan. Jadi, ada risiko juga bahwa strategi seperti itu tidak ampuh. Maka, tantangannya adalah kita masih perlu banyak diskusi soal itu dengan yang mengerti dunia virtual, orang-orang komunikasi yang berpikir tentang konten, itu jauh lebih baik.

 

6. Bahasa Indonesia Kini

 

NUKILA

Bicara sastra artinya juga bicara bahasa. Dalam program Sastra Masuk Kurikulum, selain bertujuan untuk menumbuhkan minat baca, adakah ikhtiar untuk meningkatkan budaya berbahasa yang lebih baik pada siswa? Ataukah itu diharapkan secara alami terjadi di dalamnya, secara inheren akan membawa ke arah itu? Kemudian, dalam konteks lebih besar di masyarakat luas, pemerintah saat ini memiliki Badan Bahasa yang khusus berkutat dengan bahasa, apakah Kemendikbud atau pemerintah pada umumnya, punya semacam rencana membuat program atau gerakan masif berbahasa Indonesia yang baik, misalnya? Atau kita masih baik-baik saja?

 

HILMAR

Kalau programatik, memang mesti tanya ke teman-teman Badan Bahasa, mereka jauh lebih tahu apa-apa yang sekarang ini dikerjakan. Yang saya tahu adalah strategi mereka melibatkan pengajaran bahasa ke dunia pendidikan. Tentu cukup intensif. Saya kira sudah banyak lomba-lomba pidato, sastra juga, menulis, membaca, dan seterusnya.

Dan memang itu karena ada kerisauan. Biasanya yang menjadi titik tolak diskusi soal-soal kayak begini adalah adanya kecenderungan banyak menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dua itu yang sangat menonjol. Kalau sudah mendiskusikan gejala linguistik di kalangan anak-anak biasanya itu yang paling dominan. Percampuran––mau dibilang kreolisasi juga tidak; tetapi seperti bahasa Indonesia yang dicampur dengan kata-kata bahasa Inggris, yang di [bahasa] Inggris tidak dia mengerti, di bahasa Indonesia apa lagi. Jadi, itu yang biasanya memicu diskusi mengenai itu.

Programnya saya kira cukup bervariasi, hanya saja saya tidak punya informasinya sekarang apa saja yang dilakukan. Tetapi, jelas itu adalah salah satu agenda. Slogannya kan, “Utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, lestarikan bahasa daerah.” Dari Badan Bahasa, itu pendekatannya. Jadi, tidak menghadapkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, itu sudah pasti tidak. Tetapi juga memastikan bahwa komunikasi dalam bahasa Indonesia bisa dilakukan dengan baik.

 

NUKILA

Kalau nggak salah, dulu tahun 1990-an pernah ada gerakan masif di zaman Soeharto, ada satu periode yang harus mengganti semua judul-judul gedung: park view, building, dan segala macam istilah bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Dan itu jadi aneh, tampaknya tidak berlangsung lama saat itu.

 

HILMAR

Yang reaktif seperti itu juga, kalau menurut saya, efektivitasnya perlu kita pertanyakan. Tentu kadang-kadang alasan-alasannya lebih politis daripada satu pemikiran yang memang ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bentuk ekspresi yang dikuasai dengan baik. India juga sama. Mereka juga pakai strategi yang sama untuk mengubah semua nama kota. Kalau di sana lebih ekstrim lagi. Kembali kepada penamaan yang konon mereka sebut asli, yang sebelum kolonial.

Tetapi, balik soal tadi, bukan hanya usianya pendek, efektivitasnya juga. Berhenti menggunakan kata-kata building misalnya, nanti muncul gejala yang baru. Kita kayak terus saja mengejar, berusaha memadamkan gejala-gejala seperti itu, dan endless. Tidak akan efektif juga.

 

AVIANTI

Terlepas dari kontennya, saya ada pertanyaan soal distribusi dan aksesibilitas. Masalah pengajaran sastra Indonesia di Indonesia dengan sebaran yang demikian luas dan keragaman yang kaya memang punya kesulitannya sendiri. Di beberapa kasus bahasa Indonesia menjadi bahasa asing. Sama seperti bahasa Korea, misalnya, sehingga kita bisa lihat bahwa aksesibilitas punya lapisan dimensi yang bukan cuma sekadar geografis saja, tetapi mungkin juga historis dan lain-lain. Bagaimana Kemendikbudristek memahami dan mendekati kondisi ini?

 

HILMAR

Intinya sastra Indonesia, sastra modern Indonesia. Jadi, bahasanya juga bahasa Indonesia, yang digunakan di dalam khazanah sastra itu. Balai Pustaka, atau sebelum Balai Pustaka, bacaan liar lah masuknya, sampai ke sini, sebetulnya adalah variasi dari Melayu tulis, yang kemudian secara politik jadi bahasa Indonesia. Kita mau memperkenalkan sastra apa nih? Karena tidak semua bahasa daerah memiliki sastra modern yang kuat. Sastra Jawa oke. Disertasinya Pak Sapardi Djoko Damono itu novel-novel Jawa 1970-an. Mungkin sebagian besar, saya kira, sastra lisan jauh lebih menonjol. Betul, untuk berapa daerah itu yang lebih capture imajinasi anak-anak daripada buku sastra Indonesia modern.

Melihat kondisi seperti itu, menambah keyakinan bahwa membentuk kanon bukan jalannya. Pun misalnya dibikin regulasi, kemudian dipakai, saya bisa bayangkan kesulitan menurunkan itu. Belum lagi bicara mengenai bagaimana karya itu diresepsi di masing-masing konteks. Baca Pram tentang Wonokromo di Jailolo jatuhnya akan berbeda sekali dengan anak yang ada di dalam urban Jawa. Kedekatan rasa dan segala macamnya yang timbul akan berbeda sekali. Jadi, kanon sastra yang diharapkan punya efek untuk, katakanlah, menjadi acuan bersama, kok tidak semudah itu. Terlepas dari urusan bahwa ada perbedaan, bukan hanya perbedaan bahasa menurut saya sih, tetapi pengalamannya yang sangat lokal itu juga akan menjadi barrier untuk menciptakan pemahaman yang sama terhadap sebuah karya.

Dan kalau saya ditanya, ya pendekatannya justru sebetulnya membuka kepada, lagi-lagi, pengalaman yang begitu diverse dari masyarakat kita. Saya kira itu ciri yang penting dalam sejarah kita ini. Menciptakan humility bahwa kamu tidak pernah bisa tahu Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan seterusnya. Kebersahajaan ini juga yang membuat kita toleran, jauh lebih bisa connecting sama orang yang berbeda dan seterusnya, karena memang nafas dasarnya tuh bukan imperial. Jadi, jangan ada yang mengklaim bahwa saya yang paling tahu harus apa untuk 280 juta penduduk ini. Justru di situ kemampuan kemudian kita untuk mendiskusikannya. Semua kualitas yang diperlukan untuk mengurus bangsa ini justru lahirnya dari kebersahajaan itu.

 

NUKILA

Jadi, seperti Anda bilang barusan, misalnya, ada guru yang di sekolahnya mau bikin sastra muatan lokal Mirah dari Marunda, misalnya, untuk anak-anak di Jakarta, Si Pitung atau apa pun itu, sah-sah saja sebenarnya kalau mau memilih untuk tidak mematuhi daftar rekomendasi yang akan ada.

 

HILMAR

Kalau–ya, lagi-lagi nggak bisa berbicara atas nama program yang sedang mereka jalani, tetapi dari diskusi kemarin juga kami mengingatkan bahwa ini kan ada sekian orang menjadi kurator, mengumpulkan sekian banyak karya. Lagipula ini bukan exhaustive list, jadi tidak bisa mengklaim bahwa kita sudah baca semua lalu bisa menyimpulkan khazanah sastra Indonesia. Dan itu satu hal yang sifatnya mungkin lebih technical, tetapi di balik itu juga ada prinsip. Jadi, nggak ada yang bisa mengklaim, sekalipun sebagai sebuah kolektif, bahwa dia sudah mengetahui semua alam pikir Indonesia yang begitu kompleks. Yang bisa kita lakukan adalah challenge dengan membuat [buku] ini.

 

AVIANTI

Di dalam penggunaan sehari-hari bahasa Indonesia dihadapkan pada dua problem. Pertama adalah kesulitan untuk menemukan ekspresi yang lebih memuaskan bagi anak muda dengan ketersediaan perangkat bahasa yang ada. Kedua, semacam ada inferioritas dari pengguna bahasa Indonesia dalam mempraktikkannya. Dan itu menyebabkan banyak orang tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam bahasa Indonesia tanpa mencampuradukkannya dengan bahasa lain, misalnya bahasa Inggris.

Nah, terkait persoalan di atas, jika pemerintah hendak menyelenggarakan penyusunan apapun itu yang kita bisa sebut sebagai buku sastra, maka seperti apa yang relasinya lebih kontekstual dengan bahasa Indonesia hari ini? Dan tentunya yang bisa mengatasi dua problem tadi: Perangkat bahasa yang lebih ekspresif dan pembebasan dari bayang-bayang inferioritas.

 

HILMAR

Wah, ini berat banget–saya nggak tahu ya, karena nggak ikut proses seleksinya. Tetapi, dugaan saya, seleksi berdasarkan fokus pada cerita. Jadi yang dikejar adalah makna. Lebih pada persoalan semantik daripada sintaksis. Kayak keseluruhan ini artinya apa? Aspek linguistik. Makanya saya bilang kalau saya ditanya, saya tidak buru-buru. Misalnya nih, “Ini cerita-cerita bagus yang menginspirasi Indonesia.” Hemat saya, anak kalau sudah punya kesenangan bisa mencari apa yang dia rasa baik gitu kan untuk Indonesia menurut bayangan dia. Begitu yang kita harapkan kan.

Tetapi, yang susah untuk didapat secara instan adalah kesenangan pada bahasa. Ini tidak gampang. Ini mesti ditumbuhkan, dibiasakan. Buat saya pelajaran sastra dimulai justru dari pemahaman tentang unsur-unsur yang membentuk bahasa itu. Berasyik-asyik, bermain-main dengan kata. Tahu bahwa perbedaan fonetik punya pengaruh intonasi dan sebagainya. Sekali dia masuk ke dalam dunia itu dia akan menemukan jalannya sendiri, apa yang menarik. Awal masuknya begitu. Jadi bukan ujug-ujug mencari makna. Saya kira juga kesalahan di dalam banyak analisis sastra selama ini adalah langsung lompat ke makna. Penulis memilih kata ketika akan menulis kan pasti ada alasan. Maka, misalnya, kalau saya ditanya, Chairil Anwar tidak  mungkin tidak masuk di dalam kanon karena perubahan linguistik yang dia bawa.

Jassin kan pernah bilang, apa yang dikatakan oleh Pujangga Baru dengan 200 halaman, oleh Chairil cukup dengan dua kalimat. Karena ringkas dan betul-betul dia mencari bentuk-bentuk ujarannya, kata pilihannya, yang tentu bisa merefleksi kebaharuan itu. Luar biasa. Di tahun 1970-an atau 1980-an, ada orang-orang seperti Budi Darma yang kebetulan juga orang linguistik. Sepertinya Eka [Kurniawan] sekarang pasti ya juga dengan kebaharuan.

Tapi, ini yang belum banyak dilakukan, sementara secara pedagogis, menurut saya, ini yang harus dilakukan. Jadi, kita tidak bisa [bahas] angkatan-angkatan. Kayak angkatan 45, angkatan milieu, filosofis, dan segala macam. Okay, fine. Toh, itu juga masih penuh perdebatan, apakah sebenarnya mereka membentuk satu kesatuan atau tidak. Tetapi, kalau secara linguistik, kita bisa lihat perjalanannya. Termasuk kata-kata yang kemudian dianggap arkais. Yang ada di Pujangga Baru pantun melayu klasik, sekarang sudah susah sekali dicari. Tahun 1960-an dengan segala bahasa politiknya. Kemudian, tahun 1970-an yang menghindar dari politik dan kemudian mencari kata-kata yang––itu menurut saya  juga satu situasi yang luar biasa tuh, tahun 1970-an awal sampe pertengahan––bentuk ekstrimnya minim kata, mantranya Sutardji dan seterusnya yang kayak, apa namanya, [sastra yang] berusaha untuk tetap [punya] political role. Lebih tahu bahwa kata-kata secara linguistik sudah bener-bener marut-marutan. Luar biasa kan mengontrol kayak begituan. Jadi, kepekaan terhadap yang seperti ini bagi saya menjadi kunci. Kalau tidak, orang cenderung “Yang penting maksudnya nyampe, maknanya nyampe. Mau pake bahasa Indonesia kek, mau gua campur sedikit bahasa Inggris kek.”

 

AVIANTI

Tetapi, itu berarti akarnya jauh ke belakang ya? Maksudnya, katakanlah, kalau di bahasa Inggris ada nursery rhyme, kita tidak punya itu. Meskipun mungkin di sastra klasik atau sastra lama, ada pantun, tetapi kita tidak membacanya lagi, ada apa gitu. Puisi modern yang ditawarkan oleh Chairil Anwar dengan sangat efektif menggunakan bahasa Indonesia, tetapi kemudian kita kehilangan rima, kehilangan kedekatan dengan sesuatu yang tidak perlu punya arti. Pantun dengan sampirannya yang banyak pada saat yang sama memperkaya relasi kita dengan segala sesuatu.

 

HILMAR

Kalau menurut saya, ide mengenai Indonesia memang seharusnya dirumuskan di dalam bahasa Indonesia secara utuh. Keutuhan ide terhadap Indonesia sangat bergantung kemampuan kita secara linguistik untuk merumuskannya dalam bahasa itu. Ketika tidak punya pengertian-pengertian tertentu, istilah-istilah tertentu, maka itu sebetulnya refleksi dari bolongnya realitas. Kita meminjam [sistem] demokrasi dan sebagainya itu untuk menamai bentuk yang buat kita belum berwujud.

Dan itu tantangan besarnya. Secara linguistik juga kita lihat anak-anak dengan gampang meminjam [kata dari bahasa asing] segala macam, yang sebetulnya memperlihatkan fragmentasi dari yang namanya Indonesia itu. Belum utuh kan. Misalnya, untuk pengertian-pengertian yang sangat fundamental di dalam dunia politik, kita hampir seluruhnya tidak punya.

Saya tidak bilang harus kembali ke masa lalu yang jauh, tetapi istilah-istilah yang kemudian melekat pada sistem itu, yang bener-bener muncul karena problem pergulatan realitas dan bahasa ini tidak kejadian. Kayaknya menurut saya begitu. Yang muncul kan justru, kemudian, fenomena-fenomena yang merepresentasikan kegagalan. Istilah-istilah yang kemudian sekarang muncul untuk menertawakan. Sepertinya itu lebih original daripada yang secara konseptual berusaha. Itu problem di kita. Sastra kan sebenarnya berkontribusi memperkenalkan realitas yang imagined. Melalui bahasa, di situ sebenarnya kita membentuk ide. Kita membaca [cerita] perang dan segala macam, jadi bisa membayangkan, oke, totality dari nation ini nih, salah satu komponen pentingnya ini nih, ceritanya si orang itu. Dan ketika menghadirkannya sebagai totalitas di dalam bayangan kita, secara linguistik, yang muncul menjadi jauh lebih solid: ide tentang bangsa, ide tentang community, tentang keadilan.

Setelah itu kita bisa membayangkan bagaimana ia beroperasi. Karya sastra itu dunia yang luar biasa. Keseharian kita kan sangat fragmented, kadang-kadang tidak berkaitan satu sama lain. Dengan membaca sastra kita kayak dibantu merangkai, meletakkan urusan-urusan itu di dalam satu dunia yang lebih lengkap.

 

NUKILA

Kalau dilihat sejarahnya, bahasa Indonesia era 1920-an, 1940-an, dan sesudahnya itu kan juga merupakan bentuk represi linguistik. Salah satu di antara represi lain-lain pada sastra masa itu: ideologi politis, etnolinguistik, dan lain-lain. Setahu saya, seperti Hamka, memilih untuk menulis dalam bahasa Indonesia yang baku saat itu agar karyanya, dan sastra Islam, lebih dapat diterima di dalam sastra mainstream. Hamka meninggalkan kebiasaan menulisnya dalam bahasa Melayu vernakular. Represi linguistik ini meminggirkan karya-karya berbahasa daerah atau dialek Melayu lain, yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia dianggap bukan susastra, tetapi sastra liar. Konteksnya memang dalam rangka nasionalisme, identitas, dan nation-building––bahasa Indonesia sebagai gerakan kebangsaan. Sampai sekarang ini kan terus berlanjut, kaidah estetik yang tetap dipakai untuk buku “sastra” adalah yang menggunakan bahasa Indonesia baku, yang baik dan benar. Artinya masih ada peminggiran sosiolinguistik terhadap bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia, misalnya bahasa daerah.

Lalu represi dan peminggiran ideologi politis seperti Lekra, pelarangan karya-karya seniman Lekra. Dulu kan karya-karya seperti Pramoedya, S. Rukiah, masuk ke dalam kurikulum, sebelum diberangus di tahun 1965. Bagaimana komentar Anda tentang keterpinggiran atau peminggiran karya-karya yang dianggap bukan “susastra” di hari-hari ini?

 

HILMAR

Kalau sekarang mungkin situasinya sedikit lebih baik daripada zaman Orde Baru karena zaman Orde Baru jelas punya pilihan yang clear. Karya yang berurusan dengan politik, membawa agenda-agenda yang tidak sejalan dengan Orde Baru, jelas tidak bisa masuk. Tetapi, yang menarik saya kira tadi soal penggunaan bahasa daerah. Dan sebetulnya yang paling bertanggung jawab terhadap upaya mensanitasi bahasa Melayu yang menjadi baku itu adalah Balai Pustaka. Ia yang tidak membolehkan sedikit pun percampuran dari bahasa daerah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Tentu orang seperti Nur Sutan Iskandar dan penyunting bahasa di Balai Pustaka, menghadapi tantangan itu luar biasa karena mereka tahu persis. Jadi, ketegangannya ketika meluruskan atau membuat bahasa, menciptakan bahasa yang digunakan secara luas itu di situ.

Di zaman Orde baru, saya kira, kalau kita perhatikan, kedudukan bahasa daerah itu sebagai kontributor. Dalam bahasa Indonesia [perannya] lebih banyak untuk  supply istilah kata baru, dan seterusnya. Tetapi, kita tahu persis dalam kasus Hamka dan lainnya, itu  jauh dari sekadar urusan kosakata. Bentuk-bentuk ekspresi tertentu, bahkan secara linguistik, punya dampak yang jauh lebih besar. Perubahan-perubahan fonetik yang terjadi di dalam kata kerja dan seterusnya diseragamkan di zaman Orde Baru. Badan Bahasa salah satu tugasnya dari dulu adalah itu. Tentu masuk ke media dan membuat keragaman linguistiknya hilang, jadi tidak ada ruang untuk berkembang. Baku, cuma satu yang dipakai. Dan kalau kita bandingkan dengan [situasi bahasa] tahun 1920-an, jauh sekali.

Percampuran yang dibuat di dalam tata bahasa juga luar biasa besar. Dalam kondisi kita sekarang, kita mewarisi apa yang dibentuk mulai dari Balai Pustaka sampai sekarang. Dan saya lihat yang agak-agak memberi ruang itu media ya. [Majalah] Tempo kadang-kadang menggunakan kolokial di dalam penulisan. Beberapa penerbit jauh lebih luwes, jauh lebih fleksibel untuk urusan kayak gitu. Tetapi saya kira secara umum orang mengikuti kaidah-kaidah yang baku, di mana ruang untuk ekspresi-ekspresi yang sifatnya lokal tuh sangat-sangat terbatas. Dan itu sebenarnya karena orang tidak menggunakan, maka tidak menjadi kebiasaan sehingga terus saja, semakin lama semakin kering. Bahasa Indonesia tidak diperkaya, tetapi justru semakin menyusut. Itu observasi saya.

 

NUKILA

Kalau soal topik-topik buku, zaman sekarang ini menurut Anda sudah tidak ada masalah ya?  Katakanlah, sudah tidak ada topik tabu.

 

HILMAR

Tergantung siapa yang mendefinisikan tabu. Kalau di masyarakat ya pasti ada. Misalnya reaksi terhadap seleksi buku [panduan] itu. Yang mungkin penting diingat adalah rezim pelarangan buku sudah tidak ada. Jadi, tidak ada otoritas yang mengatakan ini boleh atau tidak boleh. Secara hukum, secara formalnya, orang tidak bisa dipidana karena dia menerbitkan buku tertentu. Bahwa bukunya ditentang, dicaci maki, kemudian dipersoalkan, mau diadukan ke polisi, ya itu soal lain lagi.

Tapi, secara struktur di dalam sistem hukum kita tidak dikenal ide untuk melarang buku di masa sekarang. Setelah keluarnya Mahkamah Konstitusi 2003, kalau saya tidak keliru, yang mencabut undang-undang itu, dan undang-undang kejaksaan juga harus mengeluarkan. Sudah tidak ada lagi pasal yang memberi kewenangan jaksa agung untuk meriksa-meriksain buku. Dari situ, saya kira, ada kemajuan berarti. Walaupun pencabutan undang-undang itu [diterapkan], tidak dengan sendirinya mengubah sikap masyarakat secara umum terhadap apa yang tidak disukai. Biar tetap saja mengekspresikan ketidaksukaannya.

 

NUKILA

Jadi, kalau ada penerbit menolak menerbitkan karya sastra tentang Ahmadiyah, misalnya, padahal karya itu menang penghargaan, berarti pada praktiknya masih ada mentalitas sensor? Misalnya pelaku pasar.

 

HILMAR

Kalau alasan dia tidak mau menerbitkan karena khawatir ada backlash politik, ya berarti sensor hidup di dalam kepala dia. Saya nggak tahu pertimbangan dia tidak menerbitkan apa, tapi tentu kalau pelaku usaha, punya perhitungan berbeda untuk bisa mengambil keputusan. Tapi, ya tadi, secara prinsip nggak ada.

 

DEWI

Baik, kami rasa sudah cukup. Terima kasih, Bapak Hilmar Farid, untuk percakapan ini.

Percakapan24 Juli 2024

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.