“Kanon sastra” Indonesia, seperti halnya bahasa dan bangsa Indonesia, umurnya belum panjang. Ia masih sesuatu yang menjadi; statusnya ambigu, cair, dan problematik. Maka, membicarakan “kanon sastra” Indonesia tampaknya akan selalu perlu menggunakan tanda kutip.
Pemilihan tajuk editorial “Membuka Kanon” edisi ini punya beberapa makna dan maksud. Pertama, melanjutkan tradisi frasa “Membuka Kanon” yang kerap dipakai kapan saja proses formasi dan reformasi kanon terjadi dalam sastra modern. Kedua, sebagai semangat yang berkebalikan dari “menutup”, yaitu kanon sebagai suatu ketertentuan: otoritatif, definitif, tunggal dan kukuh, “the” canon ketimbang a canon—salah satu versi di antara yang banyak. Ketiga, “Membuka Kanon” juga berarti keinginan untuk membentangkannya pada medan yang lebih luas, membukakan kemungkinan eksplorasi wacana lain.
Dalam medan yang lebih luas itu, kanon dilihat lebih sebagai kata kerja, ketimbang kata benda. “Kanon sastra” sebagai kata benda memperlihatkannya tak lebih dari sekadar artefak budaya, sebuah daftar berisikan karya sastra, nama penulis dan/atau angkatan. Darinya kita selama ini terlalu berkutat memperdebatkan isi benda kanon itu, karya apa dan siapa yang layak masuk di dalamnya. Melihat kanon sebagai kata kerja akan menampakkannya sebagai suatu medan kegiatan yang sibuk, kerja kolektif yang melibatkan banyak pihak, pelaku, dan infrastruktur dalam ruang dan waktu.
Sebagai kerangka berpikir, edisi ini akan melihat “kanon sastra” Indonesia sebagai medan kegiatan membaca buku (sastra) dalam dimensi kolektifnya. Meminjam konsep medan Bourdieu, di dalamnya ada dinamika kuasa dan pola-pola relasi: dari kebijakan, produksi, diseminasi/distribusi, hingga konsumsi saat buku berada di tangan.
Pada medan itu ada sejumlah institusi, pelaku dan infrastruktur: pemerintah pusat, institusi sekolah, guru-siswa, pemerintah daerah, perpustakaan (sekolah, daerah), sastrawan dulu dan kini, industri penerbitan, media dan internet, komunitas-komunitas sastra, inisiatif masyarakat yang mendistribusikan buku ke pelosok-pelosok negeri, dan seterusnya. Kesemuanya kait-mengait, saling beririsan dan berinteraksi dalam dinamika yang memberikan kondisi medan saat ini.
Di dunia sastra selama ini sering dinyatakan bahwa sejarah formasi kanon di Barat, Inggris misalnya, adalah konsep pinjaman dari tradisi Gereja Kristiani dengan etimologi dari bahasa Yunani-Latin. Nyatanya, sejarah kanon tidak persis bermula dari sana. Para peneliti yang menelusuri muasal dan pengembangan kodifikasi kanon Biblikal (lihat misalnya kajian Bruce Metzger, The Canon of the New Testament), mengemukakan bahwa model kanonisasi gereja diambil dari “tradisi Alexandria yang menyusun daftar penulis-penulis Yunani dalam genre sastra tertentu yang karyanya dipandang sebagai karya-karya standar, contoh-contoh inilah yang disebut ‘kanon’”. Kata kanōn (‘aturan’, ‘alat ukur’) sebagai konsep muncul pertama kali di abad ke-4. Para ahli tata bahasa Alexandria di Mesir menjadikan teks-teks Yunani itu sebagai model sebab memiliki “kemurnian bahasa”. Kanon menjadi referensi kriteria atau standar kebaikan dan kebajikan bagi pertimbangan nilai, pendapat, bahkan tindakan.
Sejarah panjang penyusunan kanon memang tidak terpisahkan dari sejarah puisi dan tradisi puitika; puisi adalah genre pertama dalam kanonisasi. Tetapi, berkiblat ke Barat tampaknya telah telanjur identik dengan kata “modernisasi”, dan barangkali kita terlalu memandang Barat sebagai model modern segala sesuatu—tak terkecuali dalam urusan kanon. Nyatanya, di belahan dunia lain tradisi kanon bahkan telah berkembang lebih lama. Tiongkok, misalnya, sejak abad ke-6 telah merekam antologi puisi kanonik. Tradisi kanonisasi yang mapan dan ketat, khususnya sejak era dinasti Song (ca. 960 -1279) dan setelahnya, menempatkan kanon puisi sebagai kriteria sosial-budaya yang penting, seiring berkembangnya kaum terdidik dan industri percetakan yang memproduksi buku-buku murah—perkembangan yang termungkinkan oleh kertas yang dikembangkan Cai Lun sebelumnya. Pemahaman kanon menjadi salah satu kriteria dalam ujian pegawai publik. Hasil dari tradisi kanon Tiongkok terlihat pada, misalnya, The Analects by Confucius, kanon berumur 20 abad lebih yang pengaruhnya teramat besar.
Kanon juga telah lama ada di Jepang. Pada pertengahan periode Edo (sekitar abad 17-18), muncul gerakan nativis yang mengembangkan kokugaku (studi nasional), pemurnian kajian kebudayaan guna memisahkan pengaruh asing (: Tiongkok). Salah satu hasil kanonisasi karya-karya yang menunjukkan kemurnian budaya dan nilai estetika Jepang itu adalah The Tale of Genji. Kanonisasi di Jepang menjadi penting pada era Meiji (1868-1912), saat upaya modernisasi yang cepat membawa pada penyusunan “kanon nasional” untuk kepentingan patriotis dan pedagogis.
Konsep kanon Alexandrian-Helenistik juga sudah dikenal sejak Era Keemasan Islam (8-13 CE), suatu masa penyalinan tekun teks-teks Yunani secara besar-besaran yang menghasilkan banyak pemikiran dan buku, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Eropa. Misalnya, karya Ibnu Sina (980-1037), Kitab al-Qanun fit-Tibb, berisikan rekapitulasi pengobatan pada masa itu yang kemudian menjadi buku teks medis di Eropa hingga abad 18. Sastra yang dihasilkan pada masa itu, Kisah Seribu Satu Malam, adalah hasil proses kanonisasi yang terus-menerus mengalami formasi dan reformasi, dieksotiskan-dierotiskan-disanitasi, ditambahkurangi, muncul dalam berbagai macam versi di berbagai negeri, tanpa ada yang dapat diklaim sebagai edisi definitif yang lengkap ataupun orisinal hingga kini.
Di Barat, tradisi kanon gereja dari Zaman Pertengahan diadaptasi pada kanonisasi puisi di Inggris pada abad 18—salah satu negara Barat yang tradisi kanonisasinya telah lebih mapan. Sejak abad 17 telah berlangsung debat tentang nilai tulisan dan superioritas antara puisi-puisi dari tradisi dan bahasa Yunani-Romawi versus bahasa Inggris vernakular, kemudian karya klasik vs karya Inggris kuna vs Inggris “modern” saat itu. Seiring zaman, debat panjang terdamaikan dengan mendefinisikan ulang nilai karya-karya warisan: karya dari tradisi Yunani-Romawi, yang berbahasa Inggris kuna dan Inggris modern, semuanya kemudian disebut sebagai karya-karya klasik (the classics) pusaka sastra bangsa Inggris.
Dalam dunia sastra, istilah “kanon sastra” pun tidak serta-merta dipakai. Debat kanonisasi di Inggris juga memunculkan sejumlah wacana seputar kanon. Di akhir abad 19, Matthew Arnold – seorang penyair, kritikus, profesor, dan pelerai dalam polemik dan berantem sastra – secara lebih ketat mendefinisikan karya “klasik” (the classics) sebagai “karya-karya kelas terbaik, keunggulannya tidak lekang oleh masa.” Konsep karya-karya klasik Arnold populer digunakan dan dipakai hingga abad 20. Awalnya sebatas wacana kritis di kalangan literati, istilah “kanon” dan “karya kanonik” kemudian kian lumrah menggantikan istilah “karya klasik”. Keduanya kerap, dan bisa saja, dipertukarkan. Seiring peralihan istilah itu, kanon (modern) Inggris berkembang dengan memasukkan genre-genre sastra lain yang saat ini kita kenal sebagai Sastra Inggris. Daftar bacaan karya-karya klasik dan vernakular, yang lebih kontemporer, juga terjemahan, mengalami penyusunan dan bongkar pasang di dalam kurikulum yang dipelajari anak-anak sekolah menengah.
Konsep “kanon” dari terapannya yang beragam sepanjang sejarah kini dipakai hampir di segala bidang: dari kanon sejarah, filsafat, hingga repertoar komposisi standar Jazz. Juga turunannya dalam budaya pop mutakhir. Istilah “headcanon”, misalnya, merujuk pada tafsir individual pembaca yang tidak harus sesuai dengan karya asli.
Uraian di atas memperlihatkan bentangan medan kanon dunia dalam lintas ruang dan waktu. Darinya kita bisa beroleh sekelumit gambaran bagaimana proses kemenjadian kanon dalam sejarah budaya dunia adalah rekaman kerja serius yang panjang, pelik, dan problematik. Sastra Indonesia mewarisi kerja penyusunan kanon dari tradisi panjang itu, sebagai suatu medan lebih kecil yang bermula dan berada dalam medan dunia yang lebih besar. Proses kemenjadian “kanon sastra” Indonesia abad 20 adalah juga rekaman sejarah kerja keras yang serius.
Di Indonesia, seperti sejumlah negara yang mengalami kolonialisme, penyusunan kanon dalam kerja sastra-budaya menjadi bagian dari semangat nasionalisme, gerakan emansipasi, dan nation-building: pembentukan identitas nasional dan modernisasi bangsa, khususnya di bidang pendidikan. Sejarah sastra Indonesia modern di akhir abad 20 mencatat para penulis dan pengkaji sastra, semisal H.B. Jassin, A. Teeuw, Ajip Rosidi, yang secara individual menyusun “kanon sastra” dengan pendekatan historis-periodisasi. Selain itu ada juga beberapa varian kanon lain berdasarkan aliran estetik, ideologi politis, atau regional, yang menolak dominasi ideologi dan estetika arus utama sastra. Periodisasi barangkali menjadi pilihan yang aman, dan perlu, sebab sekaligus merekam perkembangan artistik setiap angkatan baru yang menolak gaya artistik sebelumnya atau merepresentasikan semangat zaman yang berbeda. “Kanon” historis-periodisasi juga berarti penyusunan karya-karya unggulan dalam setiap angkatan, atau penghimpunan – yang berarti pengulangan – karya, nama, dan lintas-angkatan yang nyaris sama pada satu volume. Meskipun tidak lepas dari subjektivitas dan bias masing-masing, penyusunan oleh perseorangan ini adalah kerja keras yang gigih dan keras kepala. “Kanon sastra” historis-periodisasi warisan abad 20 inilah yang dipergunakan dalam pendidikan hingga kini.
Pemerintah pusat, yaitu Kemendikbudristek, sebagai pihak yang memiliki otorita institusional dan sumber daya, beberapa tahun belakangan ini melakukan sejumlah upaya bagi pengembangan pendidikan sastra. Upaya-upaya itu dilakukan secara terpisah-pisah oleh beberapa divisi dan badan di dalam kementrian, dengan wacana, penggarapan, dan metode yang berbeda-beda. Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya menyusun buku Sastra Budi Pekerti (2017); buku ini hanya pada tataran wacana pedagogi internal, tidak dirilis. Kemudian, Ditjen Kebudayaan bersama Badan Bahasa menyusun “Pusaka Sastra Indonesia” (2018), karya-karya “kanonik” lintas-genre selama satu abad (1900–1999), berisikan sejumlah karya utama dan pendamping, petikan karya, dan pertanggungjawaban pemilihan. Meskipun cenderung “tradisionalis”, bisa dibilang daftar inilah yang paling mendekati konsep kanon. Pusaka juga tidak dirilis resmi, dengan sejumlah kekurangan yang disadari—barangkali keduanya sirkuler memberi sebab-akibat.
Dan yang termutakhir, sebagai turunan Kurikulum Merdeka, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan merilis Program “Sastra Masuk Kurikulum” dan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (Mei 2024). Meskipun sempat dirilis resmi, buku bermasalah itu kemudian ditarik kembali karena menimbulkan kontroversi dari masyarakat. Kini sedang direvisi, tidak terlalu jelas kapan akan selesai.
Konfigurasi sastra ke dalam kurikulum baru dan kegiatan baca-membaca adalah ikhtiar baik dari pemerintah pusat untuk memperbaiki pengajaran sastra dan persoalan literasi—untuk “menumbuhkan minat baca”, dalam sambutan buku panduan. Sebagai kelanjutan (atau keluaran) dari serangkaian upaya pengembangan pedagogis, tentu dilatarbelakangi pemikiran serius, semestinyalah penggarapan buku panduan juga seserius itu.
Adanya daftar bacaan berarti pemerintah menyadari, dalam retrospeksi, bahwa cara-cara membaca yang selama ini diajarkan pada siswa menghasilkan tingkat literasi yang payah dan minat baca yang rendah. Meskipun peringkat agak naik, hasil survei PISA 2022 untuk komprehensi membaca anak kelas 10 Indonesia masih di bawah rata-rata dunia, sebanyak 75% anak sekolah tidak sampai level 2 dari 5.
Artinya, perlu strategi dan praktik membaca yang berbeda. Pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra—serta mata pelajaran lain—di sekolah dasar-menengah saat ini nyatanya belum cukup menyiapkan anak untuk “membaca dunia” dan berpikir tentangnya. Institusi sekolah belum cukup memberikan dasar yang kokoh bagi literasi: praktik-praktik membaca dan menulis, komprehensi, berpikir kritis-imajinatif, kefasihan bertutur, juga kebiasaan membaca.
Kebijakan kurikulum dan program dari pemerintah pusat tentu punya sejumlah tujuan ideal, tetapi dalam penerapannya tidak selalu ideal. Selama ini, kegiatan ajar-mengajar pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra di sekolah tiap-tiap daerah hingga ke dalam ruang kelas berbeda-beda dan timpang: sangat tergantung pada kultur didik, privilese dan aksesibilitas tiap sekolah. Selain itu, tak lepas dari political will pemerintah daerah sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan setempat dan tantangan bentang geografis. Kesemua itu memengaruhi akses pada sumber-sumber daya seperti SDM guru dan kompetensi, metode ajar, ketersediaan buku bacaan, dan banyak lagi. Aksesibilitas dalam arti tidak hanya kemudahan beroleh fasilitas pendidikan, tetapi juga kesempatan yang setara. Dalam kata lain, distribusi “modal budaya” di sekolah dan akses pada praktik-praktik literasi tidak merata (Lihat J. Guillory, Cultural Capital). Tidak semua anak-anak SD hingga SMA Indonesia punya kesempatan yang sama untuk membaca buku. Sedangkan di luar sekolah, tradisi membaca buku dalam keluarga adalah juga privilese.
Lebih jauh, persoalan representasi (geografis) “kanon sastra” Indonesia – sebagai keluaran pola-pola produksi, diseminasi, dan konsumsi karya sastra selama ini – berakar dari ketidaksetaraan aksesibilitas itu; akses pada “modal” budaya dan praktik-praktik literasi.
Memelihara skeptisime tentu sehat, bagaimana kalau sistem pendidikan baru akan melanggengkan, kalau bukan mempertajam, ketimpangan kelas dan privilese dalam pendidikan selama ini? Tetapi, mungkin masih banyak di antara kita yang memercayai bahwa pendidikan sastra dan kegiatan baca-membaca buku masih penting dan diperlukan justru di saat ini.
Sebab fondasi literasi yang belum memadai itu goyah saat berhadapan dengan arus internet, kemajuan teknologi, dan globalisasi yang deras. Internet bagaikan dasamuka: ia memberi kemudahan akses pada buku dan informasi, sekaligus banyak penghiburan dan distraksi, juga bantuan Artificial Intelligence untuk mengerjakan tugas sekolah. Berikut efek sosial-budayanya: rentang perhatian bertambah pendek, pola konsumsi media yang berubah, preferensi “teks” multimodal untuk rekreasi ketimbang baca buku yang masih harus diimajinasikan lagi. Tidak semua siswa—dan guru—suka membaca.
Kriteria pedagogis yang memperhitungkan kondisi modern ini—di antara sejumlah lain—menjadi penting dalam formasi (dan reformasi) rekomendasi bacaan siswa. Tentu saja, kriteria daftar bacaan siswa untuk pedagogi berbeda dengan kriteria “kanon sastra”, meskipun sejumlah karya “kanonik” mungkin ada di dalamnya.
Bercermin dari beberapa ikhtiar sebelumnya dan reaksi masyarakat pada buku panduan, tampak pemerintah tidak berkehendak membuat “kanon sastra” atau “kanon nasional” Indonesia. Ada kesadaran bahwa versi kanon otoritatif yang semacam itu akan selalu problematik, kebutuhan pedagogisnya dapat tergantikan oleh rekomendasi daftar bacaan yang lebih fleksibel (selama pengerjaannya baik, sesuai kebutuhan spesifik dan kondisi), juga kesadaran akan risiko bahwa apapun yang dikukuhkan dan dilembagakan niscaya rentan pada agenda kuasa tertentu.
Tegangan dan tarik-menarik antara kelompok konservatif (estetika) dan progresif (multikulturalisme) sebagai wacana sastra yang sehat, dapat dengan cepat menjelma buruk rupa menjadi perkara lain. Buku panduan untuk pendidikan dan sastra-budaya rentan menjelma lini proksi yang dimanipulasi dan dijejali oleh kepentingan ideologi dan politik. Kontroversi kemarin dekat saja jaraknya dengan penyensoran: buku-buku yang “baik” harus sesuai kriteria dan norma-norma budaya nasional yang ditentukan oleh kuasa politis tertentu.
Bukankah sejarah sastra kita menyimpan rekam jejak pemberangusan buku dan penulis? Kita juga tidak ingin kebablasan terjerumus pada perang budaya atau perang kanon seperti di belahan bumi lain, Amerika Serikat, misalnya.
Di sana, polemik antara kelompok konservatif dan progresif sudah berlangsung sejak tahun 1960-an sebagai gerakan sosial. Jelmaannya pada Perang Budaya kemudian diramaikan oleh Kanon Barat Bloom yang muncul tahun 1990-an. Kanon dengan penilaian kualitas estetik-sastrawi itu dianggap tradisionalis, konservatif—terlalu barat-sentris, lelaki, kulit putih. Kini tampak anakronistik, namun masih berguna. Di seberangnya, pluralisme liberal dengan semangat representasi dan inklusi. Revisi kurikulum kanon sastra menjadi lini yang sangat politis: “Canon Wars” antara karya-karya “Amerika” dengan pertalian warisan Eropa dan tradisi Yunani-Romawi versus “Amerika” yang multikultural dan inklusif: gender, ras, etnik imigran, preferensi seksual, dan banyak lagi kategori identitas yang “politically correct”. Hingga kini, sejumlah buku sastra penting masih dicoret dari kurikulum dan perpustakaan publik di beberapa negara bagian konservatif.
Perkembangan teknologi dan internet menghadirkan berbagai situs dan forum pembaca di internet yang menyusun kanon secara komunal dan egaliter: genre beragam, tidak membedakan novel pop atau sastra, karya kuna atau kekinian, pemeringkatan berdasarkan jumlah suara. Meski begitu, di antara banyak populisme ini ada juga kanon bermutu dari para pembaca serius. Dalam skena meriah dengan versi kanon yang banyak itu, bagi yang ingin, banyak jalan menuju buku bagus kwalitet nomor satu. Bukankah hidup manusia pendek saja, sedangkan buku begitu banyak di dunia ini? Mengutip James Joyce, “Hidup terlalu pendek untuk membaca buku jelek.”
Pada akhirnya, novel pop atau novel sastra, manga atau manual coding, Si Kabayan atau Sherlock Holmes, siswa membaca buku 15 menit sebelum pelajaran saja sudah bagus. Untuk dapat mengubah dari sekadar kewajiban, menjadi berminat, menyukai, hingga mencintai sastra mencintai bahasa, tentu lebih bagus. Selama semua anak Indonesia punya aksesibilitas dan kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan yang baik dan buku-buku yang cukup, artinya institusi sekolah (juga keluarga dan masyarakat) telah mampu memberi anak modal budaya yang cukup untuk trayek hidupnya kelak.
Berangkat dari kerangka berpikir “kanon sastra” sebagai medan kegiatan membaca buku (sastra) secara kolektif, telaah dan amatan atas medan dan persoalannya—termasuk sikap pro-kontra kanon—tersebar dalam sejumlah wacana interdisipliner yang kait-mengait dalam edisi ini.
A.S. Laksana menulis esai kritis atas buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra berjudul “Sebuah Panduan yang Cerewet tapi Salah“. Dalam telaah kaleidoskopik dari banyak sisi yang saling menguatkan argumen, ia menyoal proses kerja penyusunan dan isi buku. Sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan pengajaran sastra, proses panjang—sejak perencanaan, pemilihan karya, penulisan isi dan cara panduan, pelaksanaan, hingga evaluasi—membutuhkan serangkaian kerja serius yang kompleks dan metodis, dengan pembandingan yang telah dilakukan di Finlandia dan negara-negara lain. Juga tentang perlunya bacaan dari karya terjemahan, bahasa asing ataupun daerah, sebagai bagian dari Sastra Indonesia.
Saeful Anwar menulis esai “Apakah Harus Ada Kanon Sastra Indonesia?”. Bertolak dari buku panduan dan sejumlah masalah pedagogisnya, dia meletakkannya dalam konteks kondisi medan pengajaran sastra di Indonesia saat ini, khususnya pada pendidikan tinggi, sebagai keluaran dari historiografi penyusunan kanon dan persoalannya selama ini. Berikut bahasan sejumlah upaya mutakhir penyusunan kanon dan contoh praktik-praktik seputarnya. Dari tinjauan sejumlah pemikiran di Anglo-Amerika seputar formasi kanon sastra dan pengajaran irisan pedagogisnya, dia mengajukan kriteria penyusunan kanon, negosiasi estetika dan representasi keberagaman di dalamnya.
Dalam esai “Kanon Sastra Kita: Kritik dan Representasi“, Linda Christanty menulis amatan atas sejumlah topik yang kait-mengait. Diawali dengan sejarah perjumpaan masa kecilnya dengan buku cerita lalu buku sastra, kemudian sejarah “kanon sastra” Indonesia sejak era prakemerdekaan—termasuk amatan terhadap beberapa karya “kanonik” prokolonial yang masih dipelajari hingga kini. Berikut tantangan estetika versus inklusi dalam representasi saat ini. Juga bahasan tradisi kanonisasi Tiongkok yang telah lebih lama sebagai model penyusunan kanon.
“Kemungkinan-kemungkinan Kanon” yang ditulis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah sebuah esai perspektif—sebagai siswa, pembaca, dan penulis. Berisikan tinjauan konsep kanon, perjumpaannya dengan “kanon sastra” sebagai siswa di bangku sekolah, sejumlah masalah dan kekurangan yang dirasakannya saat belajar: dari perselisihan selera, alienasi, isi dan cara pengajaran sastra yang tidak cukup memberi ketertarikan bagi siswa untuk mendekati sastra, hingga kanon ideal baginya.
Dalam esai “Kode, Kanon, dan Runtuhnya Tembok Kota: Fungsi Kritik Sastra di Masa Kegaduhan Digital“, Ari J. Adipurwawidjana melihat sastra Indonesia sebagai kota dengan tembok dan gerbang yang melindungi kemurniannya. Para penjaga gerbang konvensional—otoritas privat, lembaga pendidikan, penerbit—mengatur kode-kode tertentu tentang yang terbaik, yang “susastra”. Namun, ranah digital sebagai media baru menawarkan kode-kode lain, perjalanan teks untuk masuk ke dalam kota sastra pun berubah.
Pada rubrik Marginalia, Esha Tegar Putra dalam esainya, “Belok Kiri, Belok Kanan, Terbentur Kanon”, mengevaluasi buku Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010) karya Asep Sambodja. Buku ini suatu upaya merevisi dan melengkapi buku sejarah sastra Indonesia, terutama periode 1960-an, dengan mempertimbangkan para penulis yang dicap beraliran kiri. Ada temuan ketimpangan porsi telaah karya yang mendalam atau sekadar biodata singkat, juga metode klasifikasi yang kurang ajeg dan menimbulkan masalah baru karena masih banyak karya penulis yang bertema sama di luar sastrawan Lekra dan Manikebu.
Salah seorang penyair kanonik Indonesia, Joko Pinurbo, belum lama ini berpulang. Dalam rubrik blog, Avianti Armand menulis obituari tentang “Jokpin, Puisi, dan ‘Ibu’”. Penyair dikenang melalui puisi-puisinya yang menggunakan dan melibatkan benda-benda sehari-hari sebagai perangkat puitik, dan menyusunnya menjadi semesta yang menyajikan alegori dan selalu berhasil menyajikan ironi. Amatan bagaimana puisi-puisi terbaiknya adalah yang bertema “ibu”, yang menghadirkan proyeksi afeksi dan rasa yang kaya, juga kompleksitas relasi dan posisi “ibu”.
Pada rubrik Percakapan “Hilmar Farid: Mendidik dan Membudayakan Baca Buku (Sastra)“, redaksi bercakap dengan Direktur Jenderal Kebudayaan—Kemendikbudristek. Hilmar mengurai kebijakan pendidikan dalam Kurikulum Merdeka—dari pemikiran, penerjemahan, pelaksanaan, hingga evaluasi—dan konfigurasi sastra di dalamnya, termasuk sejumlah ikhtiar pengembangan pengajaran sastra yang dilakukan. Bagaimana kebijakan kurikulum dan turunan-turunan penerjemahan hingga pelaksanaannya dalam kegiatan ajar-mengajar adalah proses navigasi suatu medan yang kompleks hingga ke daerah-daerah dan ruang-ruang kelas. Juga tentang keengganan pemerintah menyusun kanon “otoritatif”. Sejumlah perspektif kebudayaan—dari budaya didik, budaya literasi dan baca buku, budaya berbahasa—serta sejumlah topik terkait lain.
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.